Anda di halaman 1dari 13

Kasus GERD

Seorang anak perempuan usia 10 tahun dengan riwayat asma selama 3 tahun terakhir. Aktifitas
fisik berat disertai dengan wheezing, tidur tidak terganggu. Pasien mendapat terapi harian
Albuterol, Budesonide, Fluticason/Salmeterol. Pasien juga mengeluh nyeri dada dan ulu hati saat
pagi hari, mual pada pagi hari, tidak ada disfagia dan penurunan berat badan. Uji alergi, sekresi
Cl keringat, dan rontgen toraks dalam batas normal. Riwayat keluarga dengan asma, alergi debu
dan makanan, ayah pasien dalam terapi PPI karena GERD. Riwayat penyakit dahulu: regurgitasi
sampai usia 7 bulan, diberikan terapi antagonis H2RA dan PPI namun tidak memberi respon.

A. Pendahuluan
a. Definisi
Definisi GERD menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks.
Gastroesofageal di Indonesia tahun 2013 adalah suatu gangguan berupa isi lambung
mengalami refluks berulang ke dalam. Esofagus, menyebabkan gejala dan/atau.
Komplikasi yang mengganggu. GERD adalah suatu keadaan patologis akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala akibat keterlibatan
esofagus, faring, laring dan saluran napas. Sedangkan menurut American College of
Gastroenterology, GERD adalah suatu kondisi fisik di mana asam dari lambung mengalir
mundur ke atas ke esofagus. Jadi, GERD adalah suatu keadaan patologis di mana cairan
asam lambung mengalami refluks sehingga masuk ke dalam esofagus dan menyebabkan
gejala.
b. Patogenesis
GERD adalah penyakit multifaktorial, di mana esofagitis terjadi akibat refluks dari
lambung ke esofagus jika:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus.
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
3. Terjadi gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung yang disebabkan
adanya modulasi persepsi neural esofageal baik sentral maupun perifer.
Beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap patogenesis GERD adalah adanya
infeksi H. pylori, gaya hidup, peranan motilitas, dan hipersensitivitas viseral.
(Tjokroprawiro et al., 2015).
c. Tujuan Terapi
1. Mengurangi atau menghilangkan gejala, 
2. Mengurangi frekuensi dan durasi refluks gastroesofageal, 
3. Mempercepat penyembuhan luka pada mukosa, dan 
4. Mencegah terjadinya komplikasi.
(DiPiro et al., 2015).
d. Outcome Terapi
Mengembalikan pasien seperti keadaan awal, mengurangi keasaman refluks, mengurangi
volume lambung yang tersedia untuk direfluks, memperbaiki pengosongan lambung,
meningkatkan tekanan LES, meningkatkan pembersihan asam esofagus, dan melindungi
mukosa esofagus (DiPiro et al., 2015).

e. Algoritma Terapi

Diagnosis GERD
Pengobatan awal untuk GERD

Strategi perawatan jangka panjang untuk GERD dan strategi terapeutik untuk GERD
tahan proton pump inhibitor (PPI) (Iwakiri et all., 2016).

f. Strategi Terapi
Berdasarkan Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux
Disease tahun 1995 dan revisi tahun 2013, terapi GERD dapat dilakukan dengan :
1. Treatment Guideline I : Lifestyle Modification
2. Treatment Guideline II : Patient Directed Therapy
3. Tretament Guideline III : Acid Suppression
4. Treatment Guideline IV : Promotility Therapy
5. Treatment Guideline V : Maintenance Therapy
6. Treatment Guideline VI : Surgery Therapy
7. Treatment Guideline VII : Refractory GERD
Terapi Farmakologi :
1. Antasida
Antasida dapat meredakan gejala segera untuk GERD ringan dan sering
digunakan bersamaan dengan terapi penekanan asam. Pasien yang sering
menggunakan antasida untuk gejala kronis harus menerima terapi supresi asam
kekuatan resep sebagai gantinya.    Antasida memiliki durasi pendek, yang
mengharuskan pemberian yang sering sepanjang hari untuk memberikan
netralisasi asam kontinue. Kombinasi produk mungkin lebih unggul daripada
antasid saja dalam menghilangkan gejala GERD, tetapi data efikasi yang
menunjukkan penyembuhan endoskopi masih kurang ( DiPiro et al., 2015).

2. PPI
PPI (dexlansoprazole, esomeprazole, lansoprazole, omeprazole, pantoprazole, dan
rabeprazole) memblokir sekresi asam lambung dengan menghambat hidrogen
kalium adenosin trifosfatase dalam sel parietal lambung, menghasilkan efek
antisekresi yang mendalam dan tahan lama. PPI lebih unggul dari H2RA pada
pasien dengan GERD sedang hingga berat dan harus diberikan secara empiris
kepada pasien dengan gejala yang menyusahkan. Efek samping termasuk sakit
kepala, pusing, mengantuk, diare, konstipasi, dan mual. Efek samping jangka
panjang yang potensial termasuk infeksi enterik, defisiensi vitamin B12,
hipomagnesemia, dan patah tulang. PPI dapat mengurangi penyerapan obat-
obatan seperti ketoconazole dan itraconazole yang membutuhkan lingkungan
asam untuk penyerapan.Pasien harus minum PPI oral di pagi hari 15 hingga 30
menit sebelum sarapan atau makanan terbesar mereka hari untuk memaksimalkan
kemanjuran, karena agen ini menghambat hanya secara aktif mensekresi pompa
proton ( DiPiro et al., 2015).
3. H2R
Antagonis reseptor histamin 2 (H2RAs) simetidin, ranitidin, famotidin, dan
nizatidine dalam dosis terbagi efektif untuk mengobati GERD ringan hingga
sedang. H2RA non-resep dosis rendah atau dosis standar yang diberikan dua kali
sehari mungkin bermanfaat untuk menghilangkan gejala GERD ringan.
Kemanjuran H2RAs untuk pengobatan GERD sangat bervariasi dan seringkali
lebih rendah dari yang diinginkan. Kursus berkepanjangan sering dibutuhkan.Efek
samping yang paling umum termasuk sakit kepala, mengantuk, kelelahan, pusing,
dan sembelit atau diare.Karena semua H2RA sama-sama berkhasiat, pemilihan
agen spesifik harus didasarkan pada perbedaan dalam farmakokinetik, profil
keamanan, dan biaya.
                                                                                                ( DiPiro et al., 2015).
Terapi Non-Farmakologi
Dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, yang merupakan pengaturan pola
hidup yang dapat dilakukan dengan :
1) Menurunkan berat badan bila penderita obesitas atau menjaga berat badan
sesuai dengan IMT ideal.
2) Meninggikan kepala ± 15-20 cm/ menjaga kepala agar tetap elevasi saat posisi
berbaring.
3) Makan malam paling lambat 2 – 3 jam sebelum tidur.
4) Menghindari makanan yang dapat merangsang GERD seperti cokelat, minuman
mengandung kafein, alkohol, dan makanan berlemak – asam – pedas.
5) Hindari makanan yang mengurangi tekanan LES. 
6) Sertakan makanan kaya protein untuk menambah tekanan LES. 
7) Hindari makanan dengan efek iritasi pada mukosa esofagus. 
8) Makanlah dalam porsi kecil dan hindari makan segera sebelum tidur (dalam 3 jam
jika memungkinkan). 
9) Berhenti merokok. 
10) Hindari alkohol. 
11) Hindari pakaian ketat (DiPiro et al., 2015).
12) Meninggikan posisi kepala 6 inchi (15-20 cm) saat tidur
13) Jangan makan terlalu kenyang
14) Makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur
(Tjokroprawiro.,et al., 2015).

B. Analisis SOAP
1. Anamnesis (Subjective)
1. Seorang Ny A usia 30 tahun.
2. Memiliki kebiasaan pola makan yang tidak teratur, kebiasaan terlalu memikirkan
masalah sampai stress.
3. Riwayat terapi harian : Albuterol, Budesonide, Fluticason/Salmeterol.
4. Pasien mengeluh sesak nafas disertai nyeri dada, perut perih, batuk, tenggorokan
terasa asam dan pahit. Hal ini dirasakan setiap saat sejak 2 minggu yang lalu
5. Pada saat kunjungan, pasien dalam keadaan dapat berjalan aktif, duduk aktif, tampak
pucat. Keluhan yang masih dirasakan adalah badan masih terasa lemas.
6. Aspek personal dari pasien berupa keluhan sesak nafas sejak ± 2 minggu.
7. Memiliki riwayat keluarga dengan asma, alergi debu dan makanan, ayah pasien dalam
terapi PPI karena GERD.
8. Riwayat penyakit sebelumnya: regurgitasi sampai usia 7 bulan, diberikan terapi
antagonis H2RA dan PPI namun tidak memberi respon.

2. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang (Objective)


Pada pemeriksaan fisik tampak sakit ringan, tekanan darah : 150/90 mmHg, Nadi : 80
x/menit, Frekuensi napas 16 x/menit, suhu 36,6oC. Berat badan 73 kg, tinggi badan 157
cm, IMT 29,6. Konjungtiva sedikit anemis. Telinga, hidung, tenggorok, paru, dan jantung
dalam batas normal. Abdomen cembung simetris, nyeri tekan sekitar ulu hati, perkusi
timpani dan auskultasi bising usus normal.

3. Penegakan Diagnostik (Assessment)


1. Asma dapat dipicu oleh GERD, karena pasien asma lebih rentan mengalami penyakit
GERD. Mekanismenya yaitu akibat produksi asam lambung yang ed berlebihan dan
melemahnya tonus sfingter esofagus maka asam lambung akan bergerak masuk ke
dalam esophagus dan mengiritasi ujung saraf di esophagus yang akan meneruskan
sinyal ke otak. Selanjutnya, otak akan merespon dengan impuls ke paru-paru, yang
akan menstimulasi lendir pada saluran bronkus, sehingga terjadi obstruksi saluran
pernapasan. Hal ini akan menimbulkan gajala asma seperti batuk, mengi, sesak dada.
Dengan demikian terganggunya jalan nafas akan mengakibatkan terjadinya asma.
2. Wheezing (mengi) menunjukkan adanya obstruksi saluran pernapasan, karena pasien
melakukan aktivitas fisik yang berat. Selain itu, wheezing juga dapat disebabkan
karena refluks asam lambung hingga memasuki saluran pernapasan (paru-paru) secara
langsung atau sering disebut dengan aspiration sehingga terjadi wheezing.
3. Tidur tidak terganggu menunjukkan bahwa tidak terjadi esofagitis yang parah.
Sehingga tidak sampai mengganggu jalannya nafas saat tidur.
4. Pasien memilik riwayat terapi harian : Albuterol, Budesonide, Fluticason/Salmeterol.
Obat ini dapat menjadi faktor risiko terjadinya GERD.
5. Albuterol merupakan agonis reseptor β2 tidak selektif, yang memiliki mekanisme
aksi relaksasi otot polos bronchial dengan sedikit efek pada detak jantung. Obat ini
memiliki efek samping dyspepsia (Medscape, 2021). Penelitian menyatakan bahwa
penggunaan obat albuterol dapat menurunan kontraksi dari esophageal sphincter
sehingga mtenyebabkan asam lambung refluks (Anonim, 2021).
6. Budesonide merupakan obat gastrointestinal yang diindikasikan untuk ulcerative
colitis dan crohn disease selain itu juga sebagai obat kortikosteroid yang
diindikasikan untuk asthma, allergic rhinitis dan nasal polyps. Memiliki mekanisme
aksi mengontrol laju sintesis protein, menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear,
fibroblast, membalikkan permeabilitas kapiler dan stabilisasi lisosom pada tingkat sel
untuk mencegah atau mengendalikan peradangan. Obat ini memiliki efek samping
dyspepsia & respiratory infection (Medscape, 2021).
7. Fluticason/Salmeterol
Fluticason merupakan obat golongan antiasthmatic dan decongestan yang memiliki
aktivitas vasokonstriksi dan anti inflamasi yang kuat dengan menghubungkan ester
fluorocarbothioate pada posisi karbon (C 17) (MIMS, 2017). Obat ini memiliki efek
samping nyeri pada gastrointestinal (Medscape, 2021). Sedangkan Salmeterol
merupakan obat golongan antiasthmatic yang merangsang adenyl cyclase
intraseluler, enzim yang mengkatalisis konversi ATP menjadi siklik-3',5'-adenosin
monofosfat (cAMP) yang mengakibatkan relaksasi otot polos bronkus dan
menghambat pelepasan mediator hipersensitivitas langsung dari sel mast. Obat
salmaterol kontraindikasi jika diberikan monoterapi dalam pengobatan asma (MIMS,
2017).
8. Pasien mengeluh nyeri dada dan ulu hati pada pagi hari, menunjukkan bahwa terjadi
gastroesophageal reflux saat tidur malam hari. Ketika cairan asam yang normalnya
hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi esophagus sehingga menimbulkan rasa
nyeri pada dada dan ulu hati (heart burn). Untuk mengatasi hal ini pasien disarankan
untuk menaikkan posisi kepala ketika tidur, karena posisi berbaring datar ketika tidur
diperkirakan meningkatkan risiko refluks esofagus.
9. Pasien mengalami mual pada pagi hari. Mual disebabkan karena adanya distensi atau
iritasi pada esophagus akibat refluks asam lambung ke dalam esophagus ketika tidur.
10. Tidak ada disfagia menunjukkan bahwa GERD belum menimbulkan esofagitis yang
parah sehingga pasien tidak mengalami kesulitan saat menelan makanan dan tidak
terjadi penurunan berat badan.
11. Pasien memiliki riwayat keluarga dengan asma, alergi debu dan makanan, serta
ayah pasien dalam terapi PPI karena GERD sehingga ada kemungkinan pasien
mengalami asma dan GERD yang disebabkan oleh faktor genetik.
12. Riwayat penyakit sebelumnya: regurgitasi sampai usia 7 bulan, diberikan terapi
antagonis H2RA dan PPI namun tidak memberi respon. Hal ini disebabkan
karena pasien yang menderita GERD dengan riwayat asma lebih sulit diterapi
dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki riwayat asma.
13. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan uji alergi, sekresi Cl keringat, dan
rontgen toraks dalam batas normal. Hal ini menunjukkan bahwa pasien tidak
memiliki alergi apapun, tidak memiliki gangguan keseimbangan klorida seperti
hipoklorinemia dan hiperklorinemia serta pasien tidak memiliki masalah serius
pada paru-paru, jantung.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang yang telah dibahas,


dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami GERD. Karena pada anamnesis
ditemukan gejala khas GERD yakni heart burn (MAAG) dan gejala ekstra esofageal
seperti nyeri dada non kardiak, asma, wheeze, nausea( mual) (Tjokroprawiro et al.,
2015). Selain itu riwayat obat-obatan seperti anticholinergic agents, β2-adrenergic
agonists, calcium channel blockers, NSAIDs, alpha-adrenergic antagonists,
barbiturates, estrogens, narcotic analgesics, tricyclic antidepressants, chemotherapy
dapat berkontribusi pada gejala saluran pencernaan bagian atas sehingga
memengaruhi GERD. Serta beberapa obat lainnya seperti bisphosphonates,
antibiotics, potassium supplements dapat menyebabkan cedera saluran pencernaan
bagian atas dan memperburuk gejala seperti refluks atau cedera yang disebabkan
oleh refluks (Hunt et al., 2015).
Jika keluhan semakin berat dan timbul kembali setelah diterapi maka pasien
disarankan untuk melakukan pemeriksaan EGD (Esophago Gastro Duodenoscopy)
untuk melihat adanya kerusakan esophagus serta untuk mengetahui apakah pasien
mengalami GERD erosif atau GERD non-erosif sehingga dapat diberikan
penatalaksanaan terapi yang tepat (Alwi, 2017). Jika tersedia dapat dilakukan
pemeriksaan pH metri 24 jam, untuk menilai paparan asam dalam esofagus dan
mengkorelasikan dengan gejala yang ada (Hunt et al., 2015).

4. Penatalaksanaan Terapi (Plan)


a. Tujuan Terapi
1. Mengurangi atau menghilangkan gejala,
2. Mengurangi frekuensi dan durasi refluks gastroesofageal,
3. Mempercepat penyembuhan luka pada mukosa, dan
4. Mencegah terjadinya komplikasi.
(DiPiro et al., 2015).
b. Pilihan dan Regimen Terapi
 Terapi farmakologi :
✓ Penggunaan obat Albuterol bisa diteruskan, obat albuterol diindikasikan
untuk menurunkan kontraksi dari esophageal sphincter sehingga
menyebabkan asam lambung refluks. Dosis Inhalation 1 kali bisa
ditingkatkan 2 inhalations max 400 mcg.
✓ Penggunaan obat budesonide bisa diteruskan, obat budesonide
diindikasikan untuk ulcerative colitis (kolitas ulseratif) dan crohn disease
selain itu juga sebagai obat kortikosteroid yang diindikasikan untuk asthma,
allergic rhinitis dan nasal polyps ( polip hidung).
Aerosol dosis terukur max 200-800 mcg perhari dosis terbagi, inhaler serbuk
200-800 mgc per hari terbagi menjadi dua dosis. Dengan efek samping
dyspepsia & respiratory infection.
✓ penggunaan obat fulticason/salmeterol bisa diteruskan, fulticason/salmeterol
diindikasikan untuk mencegah dan mengurangi gejala-gejala akibat asam atau
gangguan pada paru-paru. Dosis kombinasi salmeterol 50 mg dan fulticason
provionat 100 mg serbuk inhalasi digunakan 1 kali hirup sehari. Efek samping
merasa gelisah, detak jantung tidak teratur, mulut terasa kering, sakit kepala dan
pilek.
(MIMS, 2017).
penambahan obat omeprazol pada terapi ini karena hanya omeprazole yang dapat
digunakan pada anak untuk pengobatan GERD dengan gejala yang parah,
diindikasikan untuk tukak lambung dan tukak duodenum yang terkait dengan
AINS, Dosis omeprazol yaitu 20 mg per oral sekali sehari dengan durasi
pemakaian hingga 4 minggu . Dosis omeprazol bagi anak ditingkatkan karena
sudah terjadi resistensi bagi anak tersebut.
(BPOM,2015).
 Terapi non-farmakologi :
✓ Hindari makanan yang mengurangi tekanan LES.
✓ Sertakan makanan kaya protein untuk menambah tekanan LES.
✓ Hindari makanan dengan efek iritasi pada mukosa esofagus.
✓ Makanlah dalam porsi kecil dan hindari makan segera sebelum tidur (dalam 3
jam jika memungkinkan).
✓ Berhenti merokok.
✓ Hindari alkohol.
✓ Hindari pakaian ketat (DiPiro et al., 2015).
✓ Meninggikan posisi kepala 6 inchi (15-20 cm) saat tidur
✓ Jangan makan terlalu kenyang
✓ Makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur
(Tjokroprawiro.,et al., 2015).

c. Outcome terapi
Mengembalikan pasien seperti keadaan awal, mengurangi keasaman refluks,
mengurangi volume lambung yang tersedia untuk direfluks, memperbaiki
pengosongan lambung, meningkatkan tekanan LES, meningkatkan pembersihan asam
esofagus, dan melindungi mukosa esofagus (DiPiro et al., 2015).
d. Monitoring Terapi
● Memantau frekuensi dan tingkat keparahan gejala GERD dan edukasi pasien
tentang gejala yang menunjukkan adanya komplikasi sehingga membutuhkan
perhatian medis segera, seperti disfagia atau odynophagia.
● Mengevaluasi pasien dengan gejala persisten adanya penyempitan atau komplikasi
lainnya.
● Memantau pasien untuk efek obat yang merugikan dan adanya gejala atipikal
seperti radang tenggorokan, asma, atau nyeri dada. Gejala-gejala ini memerlukan
diagnostik lebih lanjut.
(DiPiro et al., 2015).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2021. Albuterol.
https://reference.medscape.com/drug/proventil-hfa-ventolin-hfa-albuterol-343426#10
diakses pada tanggal 3 Oktober 2012, pukul 11:46 WITA.
Anonim, 2019. Asthma and Gastroesophageal Reflux Disease. Asthma and Allergy Foundation
of America (Online), https://asthmaandallergies.org/asthma-allergies/asthma-and-
gastroesophageal-reflux-disease/ diakses pada tanggal 4 Oktober 2012, pukul 1:12 WITA.
Anonim, 2021. Budesonide.
https://reference.medscape.com/drug/entocort-ec-uceris-budesonide-342078 diakses pada
tanggal 4 Oktober, pukul 1.22 WITA.
Anonim, 2019. Fluticasone Furoate.
https://reference.medscape.com/drug/arnuity-ellipta-fluticasone-furoate-inhaled-999960
diakses pada tanggal 3 Oktober 2021, pukul 10.35 WITA.
Alwi, I., et al., 2017. Penatalaksanaan Di Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Panduan Praktik Klinis.
Jakarta : InternaPublishing. Hal. 172-173.
American College of Gastroenterology. Is it just a little heartburn or something more serious ?
American College of Gastroenterology [Internet]. [cited 2021 October 05]. Available from:
https://s3.gi.org/patients/pdfs/UnderstandGERD.pdf
BPOM,2015.Omeprazole.http://pionas.pom.go.id/monografi/omeprazol diakses pada tanggal 03
Oktober, pukul 10:26 WITA.
De Vault KR, Castell DO. Updated guidelines for the diagnosis and treatment of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2005;100:190-200.
DiPiro, J. T., et al., 2015. Pharmacotherapy Handbook. 9th Edition. USA : McGraw-Hill
Medical. P. 207, 209-210, 212.
Hunt, R., et al., GERD Global Perspective on Gastroesophageal Reflux Disease. World
Gastroenterology Organisation Global Guidelines.
MIMS., 2017. MIMS. Edisi 16. Jakarta : PT Medidata Indonesia. Hal. 60-61.
Tjokroprawiro, A., et al., 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Airlangga
University Press. Hal. 212, 213.
Katz PO, Gerson LB, Vela MF. Corrigendum: Guidelines for the diagnosis and management of
gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2013;108:308-28.
Ndraha S. Penyakit refluks gastroesofageal. Medicinus. 2014;27(1):5-7.

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit


refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease / GERD) di Indonesia. Jakarta :
Perkumpulan Gastrienterologi Indonesia; 2013.

Saputera, Monica Djaja., Budianto, Widi. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Gastriesophageal
Reflux Disease (GERD) di Pusat Pelayanan Kesehatan Primer. Continuing Medical Education.

The Indonesian Society of Gastroenterology. National consensus on the management of


gastroesophageal reflux disease in Indonesia. Acta Medica Indon. 2014;46(3):263-71.

Anda mungkin juga menyukai