Anda di halaman 1dari 5

A.

Pengertian
Gastroesophageal reflux disease ( GERD ) adalag maag yang disebaban
radang lambung berupa kerusakan dinding lambung karena produksi asam lambung
dan penyakit asam lambung yang naik sampai ke kerongkongan disebabkan naiknya
asam lambung pada katub lambung sehingga tidak berfungsi secara optimal ( evin
Adrian, 2019). Penyakit ini sering terjadi diakibatkan banyaknya aktivitas penderita
dan faktor utamanya adalah stress atau beban pikiran ( Laras, 2020)
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis
sebagai akobat reflux kandunga lambung ke dalam esofagus dengan berbagai gejala
yang timbul akibat keterlibatan esofagus, laring, dan seluruh nafas (Ricky & Bogi,
2019)

B. Etiologi
Gerd disebabkan karena kelemahan atau kegagalan relaksasi dari lower
esophageal spinchter (LES) atau otot yang berbentuk cincin yang bertugas mengatur
proses buka-tutup pintu / klep saluran kerongkongan yang menghubungkan
esophagus bawah dengan lambung, klep ini normalnya akan menutup saluran
kerongkongan setelah mkanan turun ke lambung, bila otot ini lemah klep ini akan
tetap terbuka sehingga asam lambung akan naik kembali ke kerongkongan .
Gerd bisa dibagi menjadi tipe erosif dan non-erosif. Beberapa faktor resiko
terjadinya reflux gastroesofageal antara lain:
 Obesitas, usia lebih dari 40 tahun
 Wanita, ras
 Kehamilan
 Merokok
 Diabetes
 Asma
 Riwayat keluarga dengan GERD
 Scleroderma
 Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks
gastroesofageal, seperti bwang, saus tomat, mint, minuman berkarbonasi,
coklat, kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi
makan yang terlalu besar
 Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks
gastroesofageal, dlam hal ini obat-obatan yang menganggu kerja otot sfinter
esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan, calcium
channel blokers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin beberpa jenis
antibiotika dan non-steroidalanti-inflamatorry drugs (NSAIDs) dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus. (Ricky & Bogi, 2019)
C. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, makanan seharusnya masuk ke dalam mulut
menuju sfingter, esofagus bagian bawah, dan menutup saat makanan sudah masuk
ke lambung untuk mencegah naiknya makanan atau asam lambung kembal ke
asofagus. Disana makanan umumnya bertahan selama tiga hingga empat jam untuk
dicerna.
Namun pada kasus Gerd terdapat kelainan berupa terlalu kendur (relaksasi)
atau lemahnya sfingter atau esofagus bagian bawah sehinga makanan yang sudah
ditampung naik kembali ke kerongkongan atau bisa saja hanya berupa cairan asam
lambungnya.
Ketika makanan atau asam lambung naik kembali ke kerongkongan,
umumnya penderita mengalami sensasi terbakar atau panas didadanya. Seseorang
dapat mengalami gerd ringan setidaknya 2 kali dalam seminggu dan gerd sedang
sampai berat setidaknya 1 kali dalam seminggu.
Gangguan yang cukup berat dan menganggu aktivitas serta tidur juga bisa
menjadi indikasi Gerd. Jika tidak ditangani dengan baik, maka dapat timbul
komplikasi yang bisa merugikan anda. Misalnya peradangan pada esofagus yang
dapat menyebabkan perdarahan, luka, tukak, hingga jaringan parut padaa esofagus.
Jaringan parut ini dapat membuat esofagus menjadi lebih sempit yang
selanjutnya akan menganggu proses menelan. Diantara 10-15% pederita GERD Yang
berkepanjangan dapat memicu masalah kesehatan yang lebih serius. Salah satunya
adalah Barret’s esofagus yang bisa menjadi kanker esofagus dikemudian hari.

D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak diepigastrium
atau retrosternal bagian bawah, berikut gejala lainnya :
 Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
 Disfagia, kesulitan menelan makanan bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi
esofagus yang berat
 Mual atau regurgitasi, dan rasa pahit dilidah
 Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retros-temal yang mirip dengan keluhan
pada serangan angina pektoris
 Gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada
non-kardiak, suara serak, laringitis, erosi gigi, batuk kronik, bronkiektasis atau
asma (Suzana, Dkk, 2016).

E. Pathway

GERD

Kerusakan mukosa esofagus

Rangsang Medola Oblongata Respon Peradangan lokal

hipersaliva
Disfagia, Nyeri
odinofagia epigastrik
anoreksia

Intake menurun Reaksi Inefektif Nyeri akut


mual breast
/muntah feeding

hipervolemia Deficit nutrisi


neusea
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Nonfarmakologi
Penatalaksanaan GERD tanpa obat yang saat ini direkomendasikan karena
didasari oleh bukti penelitian yang cukup antara lain :
a. Menurunkan berat badan bagi pasien yang overweight (kelebihan berat
badan) atau yang baru saja mengalami peningkatan berat badan
b. Menaiikan posisi kepala pada saat tidur dan tidak makan 2-3 jam sebelum
waktu tidur malam untuk pasien yang mengalami gejala refluks dimalam
hari (nocturnal GERD)
c. Berhenti merokok dan menghindari konsumsi makanan yang dapat memicu
gejala GERD ( Contoh: coklat, jeruk, kopi, makanan berlemak, makanan
pedas, minuman berkarbonasi, dan alkohol).
2. Penatalaksanaan Farmakologi
Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan GERD antara lain: golongan
penghambat pompa proton (proton pump inhibitor s, PPIs) dan penghambat H2.
a. Penghambat pompa proton dan Antagonis reseptor H2
Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton bekerja dengan cara
memblok pompa proton (H+,K+-ATPase) yang tersdapat dimembran sel
parietal lambung sehingga menghambat sekresi asam lambung oleh sel
parietal secara irreversibel. Penghambat pompa proton merupakan prodrug
yang tidak stabil dalam suasana asam. Setelah diabsorpsi dari usus golongan
ini dimetabolisme menjadi bentuk aktifnya yang berkaitan dengan pompa
proton jenis obatnya yaitu Esomeprozole, lansoprazole, omeprazole,
pantoprazole, rabeprazole. Sementara iu obat-obat dari golongan ini
antagonis reseptor H2 bekerja dengan memblok reseptor histamin di
membran sel parietal lambung. Selain hormon gastrin dan asetikolin.
Histamin adalah salah satu senyawa yang menstimulasi H+, K+-ATPase untuk
mensekresi asam lambung, jenis obatnya yaitu famotidine dan ranitidine.
b. Prokinetik
Obat-obat prokinetik, dalam hal ini metoclopramide bekerja dengan
meningkatkan kekuatan sfingter esofagus bagian bawah, peristaltis
esofagus, dan mempercepat pengosongan lambung
c. Terapi pemeliharaan
Tanpa terapi pemeliharaan, resiko kekambuhan diperkirakan 60-80% dalam
satu tahun. Berdasarkan penelitian, terapi yang paling efektif mencegah
kekambuhan adalah PPIs full dose, diikuti oleh PPSi lowdose dan terakhir
H2Ras. Terapi pemeliharaan diberikan kepada pasien GERD yang tetap
mengalami gejala PPIs dihentikan dan kepada pasien yang mengalami
komplikasi, termasuk esofagitis erosif dan esofagus barret. Termasuk
diberikan sesuai permintaan / kebutuhan (on demand) atau terapi
intermittent. (Syilvi, 2018)

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan serial rontgen foto saluran makanan atas dengan kontras, monitoring
Ph esophagus, endoskopi, skintigrafi dengan nukir, dan manometri esophagus.
Beberapa jenis pemeriksaan cukup invasif, sehingga tidak disarankan untuk
dilakukan tanpa adanya indikasi khusus. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
diantranya sebagai berikut:
1. Uji inhibitor pompa proton
Uji PPI merupakan salah satu metode diagnostik yang paling mudah
dilakukan dan tidak invasif. Uji PPI umumnya dilakukan pada pasien-pasien GERD
tanpa adanya bahaya atau resiko esofagus Barret. Uji PPI ini dilakukan dengan
pemberian PPI selama 2 minggu tanpa dilakukan endoskopi terlebih dahulu. Bila
didaptkan pebaikan klinis dengan pemberian PPI dang gejala kembali setelah
terapi dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Uji PPI ini merupakan
salah satu metode diagnostik yang dianjurkan pada konsensus nasional di
Indonesia tahun 2014, akan tetapi studi terbaru di Inggris menunjukkan bahwa
uji PPI memiliki sensitifitas 71% dan spesifisitas hanya 44%. hal ini membuat
penegakan diagnosis GERD berdasarakan uji PPI saja harus dipertanyakan karena
beresiko untuk penyalahgunaan PPI dan overdiagnosis GERD.
2. Pemantauan Ph (Ph-Metri)
Pemantauan / monitoring Ph adalah salah satu metode diagnostik GERD
yang paling baik dan cukup sederhana. Pemeriksaan ini merupakan salah satu
pemeriksaan yang disarankan dalam konsensus nasional di Indonesia, terutama
pada pasien dengan memiliki gejala ekstraesofageal sebelum terapi PPI atau
pasien yang gagal terapi PPI. Pengukuran Ph dapat dilakukan dalam 24 jam atau
48 jam (bila tersedia) dengan atau tanpa terapi supresi asam lambung.
Konsensus Lyon tahun 2018 merekomendasikan untuk melakukan Ph metri
tanpa terap PPI terutama pada pasien-pasien yang belum pernah didiagnosis
GERD sebelumnya. Apabila pasien sudah pernah terbukti GERD atau memiliki
komplikasi dai GERD. Ph -metri dilakukan dengan dosis PPI 2x lebih banyak.
Pasien-pasien dengan GERD akan menunjukkan perbaikan Ph bila diberikan
terapi PPI
3. Endoskopi dan histopatologi
Endoskopi saluran gastrointestinal atas dan pemeriksaan histopatologi
merupakan pemeriksaan baku emas untuk GERD dengan kmplikasi. Histopatologi
juga dapat menunjukkan metaplasia, displasia, atau malignansi. Pemeriksaan
dengan endoskopi merupakan prosedur yang invasif, sehingga pemeriksaan ini
sebaikan idak dilakukan bila tidak terdapat indikasi. Pemeriksaan ini sebaiknnya
hanya dilakukan pada pasien-pasien yang memiliki gejala bahaya.
4. Tes Barium
Pemeriksaan dengan barium saat ini sudah tidak rutin diakukan karena
tidak sensitif untuk diagnosis GERD. Namun demikian, pemeriksaan lebih unggul
bila dicurigai adanya stenosis asofagus, hernia hiastus, striktur, dan disfagia.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan untuk evaluasi disfagia pasca operasi
antirefluks bersamaan dengan endoskopi
5. Pemeriksaan lain
Banyak modalitas diagnostik lain yang dapat dilakukan. Diantaranya manometri
esofagus dan tes bilitec. Pemeriksaan ini lebih ditujukan untuk evaluasi
komplikasi GERD, bukan untuk diagnosis GERD secara rutin. Jika terdapat
kecurigaan infeksi helicobacter pylori, dapat dilakukan urea breath test atau
biopsi menggunakan endoskopi.

H. Pengkajian Fokus

Anda mungkin juga menyukai