Dosen Pembimbing :
Oleh:
DESYANA
20227060
2023
LAPORAN PENDAHULUAN GERD
2. Epidemiologi
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di
negara Barat. Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa
menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah retrosternal), suatu
keluhan klasik GERD. Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak
ditemukan. hanya sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter
karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati
sendiri dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan
disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang
berobat ke dokter (Djajapranata, 2018).
Laju prevalensi kejadian GERD di seluruh dunia sekitar 15%-25%,
untuk prevalensi di Asia Timur pada tahun 2005-2010 menjadi 5,2%-8,5%.3
Dari hasil penelitian di Indonesia, prevalensi GERD mengalami
peningkatan. Pada Maret 2016, prevalensi penyakit refluks gastroesofagus
yang terdiagnosis dengan menggunakan endoskopi di Jakarta sebesar 22,8%.
(Kuswono, 2021)
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum
gangguan yang terkait, termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala
yang terkait, esofagitis erosif, striktur peptikum, Barrett esofagus, dan
adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan hubungan
antara beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya
komorbiditas pada pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang
serupa diantara mereka.
3. Anatomi Fisiologi
a Esofagus
Bagian saluran pencernaan ini merupakan tabung otot yang berfungsi
menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Esofagus diselaputi oleh
epitel berlapis gepeng tanpa tanduk. Pada lapisan submukosa terdapat
kelompokan kelenjar-kelenjar esofagea yang mensekresikan mukus.
Pada bagian ujung distal esofagus, lapisan otot hanya terdiri sel-sel otot
polos, pada bagian tengah, campuran sel-sel otot lurik dan polos, dan
pada ujung proksimal, hanya sel-sel otot lurik.
b Lambung
Lambung merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar,
yang fungsi utamanya adalah menampung makanan yang telah dimakan,
mengubahnya menjadi bubur yang liat yang dinamakan kimus (chyme).
Permukaan lambung ditandai oleh adanya peninggian atau lipatan yang
dinamakan rugae. Invaginasi epitel pembatas lipatan-lipatan tersebut
menembus lamina propria, membentuk alur mikroskopik yang
dinamakan gastric pits atau foveolae gastricae. Sejumlah kelenjar-
kelenjar kecil, yang terletak di dalam lamina propria, bermuara ke dalam
dasar gastric pits ini. Epitel pembatas ketiga bagian ini terdiri dari sel-
sel toraks yang mensekresi mukus. Lambung secara struktur histologis
dapat dibedakan menjadi: kardia, korpus, fundus, dan pylorus.
4. Faktor Predisposisi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
a Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
b Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
c Ketahanan epitel esofagus menurun
d Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin,
garam empedu, HCL
e Kelainan pada lambung
f Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
g Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
h Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat
refluks
i Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang
memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat
Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
(Yusuf, 2009)
5. Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal
reflux disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam
esophagus. GERD sering kali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri
yang terjadi ketika cairan asam yang normalnya hanya ada di lambung,
masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus.
Refluks gastroesofagus bisanya terjadi setelah makan dan disebabkan
melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang
lebih tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang
bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus
karena adanya kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah
sfingter sejati, tetapi suatu area yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini
normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik menyalurkan bolus
makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot polos sfingter
melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus
seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak
organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen
lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan
isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika sfingter melemah
atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup lambung. Refluks akan terjadi
dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah
(esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi
karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dalam keadaan
normal, refluks dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat
tinggi di sfingter. Sebagai contoh, jika isi lambung berlebihan tekanan
abdomen dapat meningkat secara bermakana. Kondisi ini dapat disebabkan
porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas. Tekanan abdomen yang
tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal ini
memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi
berbaring, terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks.
Refluks isi lambung mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam
dalam isi lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus,
namun sel-sel tersebut tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung
(Corwin, 2019: 600).
6. Pathway
GERD
8. Gejala Klinis
a Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
b Muntah
c Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah
makan atau ketika berbaring
d Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
e Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan,
bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang
biasanya berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya,
mirip dengan lokasi panas dalam perut.
f Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada
saluran udara
g Suara parau
h Ludah berlebihan (water brash)Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa
i globus)
j Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
k Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
l Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena)
atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
m Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan
sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa
terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah
sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.
9. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
a) Klien tampak muntah
b) Klien tampak lemah
c) Klien tampak batuk-batuk
d) Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
a) Suara terdengar serak
b) Bising usus <12 detik per menit
c) Suara jantung S1/S2 reguler
c Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi
bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam
dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat
memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4
pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.
e Manometri esofagus
Mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang
normal dari katup yang berfungsi buruk kekuatan sphincter.
11. Terapy
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah
menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah
kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya
komplikasi.
a Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi
refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah
meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama
tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti
merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel
epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan
yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung,
menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari
pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen,
menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi
dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jika
memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis
kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
b Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori
gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam
lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan
obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah
berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup
efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD. Berikut adalah
obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD: