Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN GERD

DI RS CINTA KASIH CIPUTAT


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Manajemen

Dosen Pembimbing :

Ns. Beata Rivani, M. Kep

Oleh:

DESYANA
20227060

UNIVERSITAS ICHSAN SATYA

STASE MANAJEMEN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

2023
LAPORAN PENDAHULUAN GERD

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra
esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2017).

Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis


makan. Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi
peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera
dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu,
dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis,
bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal
terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esophagitis
refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti
erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).

Jadi, GERD merupakan suatu keadaan patologis akibat maksuknya


isi lambung ke esofagus yang biasa terjadi setelah makan dan dapat terjadi
pada posisi tegak oleh adanya konstraksi peristaltik primer lambung.

2. Epidemiologi
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di
negara Barat. Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa
menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah retrosternal), suatu
keluhan klasik GERD. Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak
ditemukan. hanya sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter
karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati
sendiri dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan
disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang
berobat ke dokter (Djajapranata, 2018).
Laju prevalensi kejadian GERD di seluruh dunia sekitar 15%-25%,
untuk prevalensi di Asia Timur pada tahun 2005-2010 menjadi 5,2%-8,5%.3
Dari hasil penelitian di Indonesia, prevalensi GERD mengalami
peningkatan. Pada Maret 2016, prevalensi penyakit refluks gastroesofagus
yang terdiagnosis dengan menggunakan endoskopi di Jakarta sebesar 22,8%.
(Kuswono, 2021)
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum
gangguan yang terkait, termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala
yang terkait, esofagitis erosif, striktur peptikum, Barrett esofagus, dan
adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan hubungan
antara beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya
komorbiditas pada pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang
serupa diantara mereka.

3. Anatomi Fisiologi
a Esofagus
Bagian saluran pencernaan ini merupakan tabung otot yang berfungsi
menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Esofagus diselaputi oleh
epitel berlapis gepeng tanpa tanduk. Pada lapisan submukosa terdapat
kelompokan kelenjar-kelenjar esofagea yang mensekresikan mukus.
Pada bagian ujung distal esofagus, lapisan otot hanya terdiri sel-sel otot
polos, pada bagian tengah, campuran sel-sel otot lurik dan polos, dan
pada ujung proksimal, hanya sel-sel otot lurik.
b Lambung
Lambung merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar,
yang fungsi utamanya adalah menampung makanan yang telah dimakan,
mengubahnya menjadi bubur yang liat yang dinamakan kimus (chyme).
Permukaan lambung ditandai oleh adanya peninggian atau lipatan yang
dinamakan rugae. Invaginasi epitel pembatas lipatan-lipatan tersebut
menembus lamina propria, membentuk alur mikroskopik yang
dinamakan gastric pits atau foveolae gastricae. Sejumlah kelenjar-
kelenjar kecil, yang terletak di dalam lamina propria, bermuara ke dalam
dasar gastric pits ini. Epitel pembatas ketiga bagian ini terdiri dari sel-
sel toraks yang mensekresi mukus. Lambung secara struktur histologis
dapat dibedakan menjadi: kardia, korpus, fundus, dan pylorus.

4. Faktor Predisposisi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
a Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
b Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
c Ketahanan epitel esofagus menurun
d Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin,
garam empedu, HCL
e Kelainan pada lambung
f Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
g Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
h Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat
refluks
i Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang
memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat
 Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
(Yusuf, 2009)
5. Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal
reflux disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam
esophagus. GERD sering kali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri
yang terjadi ketika cairan asam yang normalnya hanya ada di lambung,
masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus.
Refluks gastroesofagus bisanya terjadi setelah makan dan disebabkan
melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang
lebih tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang
bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus
karena adanya kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah
sfingter sejati, tetapi suatu area yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini
normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik menyalurkan bolus
makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot polos sfingter
melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus
seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak
organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen
lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan
isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika sfingter melemah
atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup lambung. Refluks akan terjadi
dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah
(esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi
karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dalam keadaan
normal, refluks dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat
tinggi di sfingter. Sebagai contoh, jika isi lambung berlebihan tekanan
abdomen dapat meningkat secara bermakana. Kondisi ini dapat disebabkan
porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas. Tekanan abdomen yang
tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal ini
memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi
berbaring, terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks.
Refluks isi lambung mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam
dalam isi lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus,
namun sel-sel tersebut tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung
(Corwin, 2019: 600).
6. Pathway

faktor defensive dari esofagus faktor opensif dari bahan refl

GERD

Perubahan Informasi klg, Waktu & Frek Kerusakan Mukosa Esofagus


status anak kurang kontak
kesehatan mukosa dgn
asam
meningkat Respon
Rangsang Medola Oblongata
peradangan
Ansietas Kurang Metaplasia lokal
Pengetahuan epitel
Hipersaliva
Disfagia, Nyeri Peradanga
Barret Desease Odinofagia Epigastrik n
Esofageal
Anoreksia

PK Ganggua Inefektif Nyeri PK


Keganasa n breast Perdarah
Intake
n Menelan feeding n
menurun

Kekurangan Ketidakseimbang Keterlambat


volume an nutrisi kurang an tumbuh
cairan dari kebutuhan kembang
7. Klasifikasi
Kalsifikasi Los Angeles
Derajat Gambaran endoskopi
kerusakan
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm
tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

Menurut The Genval Workshop Report: 2019, terdapat dua kelompok


GERD. Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis erosif ), didefinisikan
sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal
akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis
GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Yang kedua adalah
penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga
disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan
gejalagejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat
pemeriksaan endoskopi saluran cerna.

8. Gejala Klinis
a Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
b Muntah
c Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah
makan atau ketika berbaring
d Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
e Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan,
bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang
biasanya berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya,
mirip dengan lokasi panas dalam perut.
f Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada
saluran udara
g Suara parau
h Ludah berlebihan (water brash)Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa
i globus)
j Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
k Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
l Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena)
atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
m Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan
sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa
terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah
sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.

9. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
a) Klien tampak muntah
b) Klien tampak lemah
c) Klien tampak batuk-batuk
d) Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
a) Suara terdengar serak
b) Bising usus <12 detik per menit
c) Suara jantung S1/S2 reguler

10. Pemeriksaan Diagnostik


a Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks).
Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD,
keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).

b Esofagografi dengan barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang
peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada
kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar
radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa,
ulkus, atau penyempitan lumen.

c Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi
bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam
dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat
memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4
pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.

d Tes Perfusi Berstein


Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang
selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus
dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat
pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien
dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa
nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan
larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini
dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak
menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.

e Manometri esofagus
Mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang
normal dari katup yang berfungsi buruk kekuatan sphincter.

11. Terapy
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapi endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah
menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah
kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya
komplikasi.
a Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi
refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah
meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama
tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti
merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel
epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan
yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung,
menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari
pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen,
menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi
dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jika
memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis
kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.

b Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori
gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam
lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan
obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi
lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah
berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup
efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD. Berikut adalah
obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD:

1) Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam


menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi
esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat
memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
2) Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini
adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih
tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya
efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang
serta tanpa komplikasi.
3) Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai
untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong
kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan
GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
4) Metoklopramid. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta
tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat
pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk,
pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
5) Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor
dopamine dengan efek samping yang lebih jarang disbanding
metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun
efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui
dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
6) Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan
tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan
domperidon.
7) Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Berbeda
dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan
cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer
terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja
secara topikal (sitoproteksi).
8) Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI).
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan
GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa
proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam
lambung.
9) Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan,
penyempitan, tukak atau gejala yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun tindakan
pembedahan jarang dilakukan.
10) Terapi endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks
penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi
endoskopi pada GERD yaitu:
a) Penggunaan energi radiofrekuensi
b) Plikasi gastric endoluminal
c) Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat
implan di bawah mukosa esophagus bagian distal, sehingga
lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.
12. Komplikasi
a Batuk dan asma
b Erosif esophagus
c Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastic
d Esofagitis ulseratif
e Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
f Peradangan esophagus
g Aspirasi
h Tukak kerongkongan
13. Prognosis
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi
episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang
menyebabkan kematian). Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat
kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar
pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D
dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan
pada akhirnya Ca Esofagus.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1 Pengkajian Keperawatan
2 Pengumpulan Data
a Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Lingkungan kebisingan mempengaruhi rasa aman dan
nyaman. Lingkungan pasien mencangkup semua faktor fisik
dan psikososial yang mempengaruhi atau berakibat terhadap
kehidupan atau kelangsungan hidup pasien. Keamanan yang
ada dalam lingkungan ini akan mengurangi insiden
terjadinya penyakit dan cidera yang akan mempengaruhi
rasa aman nyaman pasien.
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Trauma pada jaringan tubuh, misalnya ada luka bekas
operasi atau bedah menyebakan terjadinya kerusakan
jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor sehingga
mengganggu rasa nyaman pasien.
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat ini dapat gangguan rasa aman dan nyaman, karena
dengan adanya riwayat penyakit maka klien akan beresiko
terkena penyakit sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman
seperti nyeri.
b Keluhan Utama
1) Perilaku non verbal : beberapa prilaku non verbal yang adapt
kita amati antara lain ekspresi wajah, gemeretak gigi,
menggigit bibir bawah, dll.
2) Kualitas : Deskripsi menolong orang mengkomunikasikan
kualitas dari nyeri. Anjurkan pasien menggunakan Bahasa
yang dia ketahui.
3) Faktor Presipitasi : bebberapa faktor presipitasi yang
meningkatkan nyeri antara lain lingkungan, suhu ekstrim,
kegiatan yang tiba-tiba
4) Intensitas : nyeri dapat berupa ringan, sedang, berat atau tak
tertahankan, atau dapat menggunakan skala dari 0 – 10
5) Waktu dan lama : perawat perlu mengetahui, mencatat
kapan nyeri mulai, berapa lama, bagaimana timbulnya, juga
interval tanpa nyeri, kapan nyeri terakhir timbul
6) Karakteristik Nyeri (PQRST)
P (Provokatif) : faktor yang mempengaruhi gawat dan
ringannya nyeri
Q (Quality) : seperti apa nyeri tersebut (tajam,
tumpul atau tersayat)
R (Regio) : daerah perjalanan nyeri
S (Skala Nyeri) : keparahan/intensitas nyeri
T (Time) : lama/waktu serangan / frekuensi nyeri
Pengkajian Skala Nyeri :
 Skala nyeri 1 – 3 nyeri ringan (masih bisa ditahan,
aktivitas tak terganggu)
 Skala nyeri 4 – 6 nyeri sedang (menggangu aktivitas
fisik)
 Skala nyeri 7 – 10 ( tidak dapat melakukan aktivitas
secara mandiri)
c Pemeriksaan Fisik
1) Ekspresi wajah
a) Menutup mata rapat-rapat
b) Membuka mata lebar-lebar
c) Menggigit bibir bawah
2) Verbal : menangis, berteriak
3) Tanda-tand vital : Tekanan darah, Nadi, pernapasan, Suhu
4) Ekstremitas : amati gerak tubuh pasien untuk
mengalokasikan tempat atau rasa yang tidak nyaman
d Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan dengan skala nyeri
2) Pemeriksaan USG untuk data penunjang apabila ada nyeri
tekan diabdomen
3) Rontgen untuk mengetahui tukak dalam yang abnormal
4) Pemeriksaan laboratorium sebagai data penunjang
pemeriksaan fisik lainnya
5) CT-Scan mengetaui adanya pembulu dara yang pecah di
otak
6) EKG
7) MRI

3 Diagnosa Keperawatan (SDKI)


a Nyeri Akut (D.0077)
b Nausea (D.0076)
c Hipovolemia (D.0023)
d Resiko Defisit Nutrisi (D.0032)

4 Luaran Keperawatan dan Intervensi Keperawatan (SLKI dan


SIKI)
Dalam buku standar intervensi keperawtaan (SIKI) tahun 2019,
intervensi keperawtan segala bentuk terapi yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis
untuk mencapai peningkatan, pencegahan, dan pemukihan kesehatan
klien individu, keluarga, dan komunitas. Intervensi keperawatan
terdiri dari intervensi utama dan pendukung.
NO SLKI SIKI
1. Tingkat nyeri meurun Manajemen Nyeri
(L.08066) 1. Identifikasi lokasi,
 Keluhan nyeri menurun durasi, frekuensi,
 Meringis menurun kualitas, intensitas nyeri.

 Sikap protektif 2. Identifikasi skala nyeri.

menurun 3. Identifikasi factor yan

 Gelisah menurun memperberat dan

 Kesulitan tidur memperongan nyeri.

menurun 4. Monitor efek samping


penggunaan analgesic.
 Frekuensi nadi
5. Berikan tehnik
membaik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(Mis, TENS, hypnosis
akupresur, terapi music,
terapi pijat, aroma
terapi,kompres
hangat/dingin).
6. Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan).
7. Fasilitasi istirahat dan
tidur.
8. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri. Jelaskan strategi
meredakan nyeri.
Nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
9. Kolaborasi pemberian
analgesik,jika perlu.
2. Tingkat Nausea menurun Manajemen Mual (I.03117)
(L.08065) Observasi :
 Nafsu makan meninkat  Identifikasi pengalaman
 Keluahan mual menurun mual
Daftar Pustaka
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan edisi 4 volume 2. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tarwoto & Wartonah 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta : Salemba medika
Dewan Pengurus PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI
Dewan Pengurus PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI
Dewan Pengurus PPNI (2018).Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai