Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

GERD (GASTROESOFAGEAL REFLUX DISEASE)

RATNA WATININGSIH

2302032484

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

2023
BAB 1
KONSEP TEORI

1.1. Definisi
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang
jarang terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan
keluhan yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa
mendiagnosa.Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke
dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah
makan (Asroel, 2014).
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra
esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2013). ada orang normal, refluks ini
terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.Karena sikap posisi tegak tadi
dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir
masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung.Refluks sejenak ini
tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau
gejala.Oleh karena itu, dinamakan refluks fisiologis.Keadaan ini baru
dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan
esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama.Istilah
esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung,
seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2013).
Jadi, GERD merupakan suatu keadaan patologis akibat maksuknya isi
lambung ke esofagus yang biasa terjadi setelah makan dan dapat terjadi pada
posisi tegak oleh adanya konstraksi peristaltik primer lambung.
1.2. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3. Ketahanan epitel esofagus menurun
4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya
pepsin, garam empedu, HCL
5. Kelainan pada lambung
6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat
refluks
9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang
memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat
10. Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
(Yusuf, 2015)
1.3. Patofisiologis
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD
(gastroesophageal reflux disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi
lambung ke dalam esophagus.GERD sering kali disebut nyeri ulu hati
(heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam yang normalnya
hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti
terbakar di esophagus. Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah
makan dan disebabkan melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan
di dalam lambung yang lebih tinggi dari esophagus.Dengan kedua
mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam
esophagus. Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke
esofagus karena adanya kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus
bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area yang tonus ototnya meningkat).
Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik
menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot
polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter
esofagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini,
karena banyak organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan
tekanan abdomen lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan demikian,
ada kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi,
jika sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup
lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke
daerah bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks yang berulang dapat
memperburuk kondisi karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di
area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan
normal, refluks dapat terjadi jika terdapat gradien tekananyang sangat tinggi
di sfingter. Tekanan abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter
esofagus ke rongga toraks. Hal ini memperbesar gradien tekanan antara
esofagus dan rongga abdomen. Posisi berbaring, terutama setelah makan
juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi lambung mengiritasi esofagus
karena tingginya kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun esofagus
memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut tidak sebanyak atau
seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600).
1.4. Pathway

Obat - obatan, Hormonal,


Pendeknya LES, Infeksi H. Hernia Heatus Pengosongan Lambung Obesitas
Pylori dan korpus pedominas lambat, dilatasi lambung
gastritis

Tekanan intra
Bagian dari lambung atas Transient LES abdomen meningkat
Kekuatan lower Relaxation
yang terhubung dengan
Esophageal Sphincter
esophagus akan mendorong
(LES) menurun
ke atas melalui diafragma

Penurunan tekanan
penghambat refluks

Aliran retrograde yang mendahului Refluks spontan saat relaksasi


kembalinya tonus LES setelah LES tidak adekuat
menelan

Aliran asam lambung ke


esofagus

Kontak asam lambung dan mukosa


esophagus dalam waktu lama dan/atau
berulang
GASTROESOPHAGEAL
REFLUKS DISEASE (GERD)

Asam lambung mengiritasi Nafas bau asam Refluks saat malam hari
sel mukosa esofagus

Kerusakan sel mukosa Merangsang pusat Aspirasi isi lambung ke


esofagus mual tracheobronkial

Peradangan Mual Risiko


Aspirasi

Hearth burn non Odinofagia Penurunan


cardiac nafsu makan

Gangguan
Nyeri Akut Intake nutrisi
Menelan inadekuat

BB menurun

Deficit Nutrisi
1.5. Manifestasi Klinis
1. Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2. Muntah
3. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah
makan atau ketika berbaring
4. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
5. Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan,
bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang
biasanya berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya,
mirip dengan lokasi panas dalam perut.
6. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada
saluran udara
7. Suara parau
8. Ludah berlebihan (water brash)
9. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10. Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11. Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena)
atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan
sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa
terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah
sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.
1.6. Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan
gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease
(NERD).
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.
Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
1.7. Penatalaksanaan
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya).Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif
dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.Berikut adalah obat-obatan
yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD:
a. Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam
menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis.
Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan
sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah
rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal.
b. Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah
simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi
asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk
terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
c. Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk
pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat
bergantung pada penekanan sekresi asam.
d. Metoklopramid. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan
dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan
antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui
sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
e. Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine
dengan efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid
karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun efektivitasnya dalam
mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES
serta mempercepat pengosongan lambung.
f. Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus
LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan
lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
g. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Berbeda dengan
antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
h. Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI). Golongan
obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan
obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir
proses pembentukan asam lambung.
2. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat
berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor
H2.Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)
yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance
therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat
esofagitisnya.
1.8. Komplikasi
1. Batuk dan asma
2. Erosif esophagus
3. Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik
4. Esofagitis ulseratif
5. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
6. Striktur esophagus / Peradangan esophagus
7. Aspirasi
8. Tukak kerongkongan
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama
atau kepercayaan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tanggal
MRS (masuk rumah sakit)
b. Keluhan Utama
Pada pasien dengan perintonitis sering sekali mengeluh nyeri pada bagian
abdomen atau perut. Selain hal tersebut kaji lebih dalam atau tanyakan
pada klien kapan nyeri tersebut muncul, nyeri menyebar atau tidak,
bagaimana kualitas nyeri, serta apakah yang menyebabkan nyeri tersebut
muncul
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan dan kronologi klien datang ke pelayanan kesehatan. Klien dengan
GERD umunya mengalami nyeri pada bagian perut yang akan hilang
dengan sendirinya. Selain keluhan nyeri pada bagian perut klien dengan
GERD juga mengalami demam atau menggigil dengan suhu mencapai
380C, perut terasa kaku, mual dan muntah, kesulitan buang air besar
(BAB), kehilangan nafsu makan, terdapat nyeri tekan pada bagian
abdomen, serta perasaan haus terus menerus
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji atau tanyakan kepada klien terkait penyakit yang sebelumnya pernah
dialami, apakah ada penyakit yang berhubungan dengan kondisi yang saat
ini dialami oleh klien
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji riwayat penyakit yang dialami oleh keluarga baik penyakit menular
atau penyakit tidak menular. Tanyakan kepada keluarga apakah ada
anggota keluarga yang mengalami penyakit yang saat ini dialami oleh
klien
f. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
Persepsi tentang kesehatan dapat berubah disebabkan karena tindakan
medis dan perawat di rumah sakit, terkadang muncul persepsi yang
salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Pola hidup sehat klien yang
menderita perintonitis harus ditingkatkan dalam menjaga kebersihan
diri, perawatan, dan tatalaksana hidup sehat
2. Pola Nutrisi/Metabolik (ABCD) (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Status nutrisi klien dapat diketahui melalui pengukuran tinggi badan
dan berat badan, kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS juga harus ditanyakan, pasien dengan GERD akan mengalami
penurunan nafsu makan akibat dari rasa nyeri pada abdomen dan
penekanan pada struktur abdomen. Sehingga pasien dengan
perintonitis keadaan umumnya tampak lemah, membrane mukosa
pucat, dan turgor kulit tidak elastis
3. Pola Eliminasi (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Pengkajian pola eliminasi sebelum dan sesudah MRS perlu ditanyakan
mengenai kebiasaan defekasi. Keadaan umum pasien yang lemah,
pasien lebih banyak bed rest sehingga dapat menimbulkan konstipasi,
selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus. Pada umumya klien
dengan GERD mengalami kesulitan buang air besar (BAB) dan sedikit
mengeluarkan urine
4. Pola Aktivitas dan Latihan (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Akibat dari sesak nafas kebutuhan O 2 jaringan akan kurang terpenuhi,
sehingga pasien akan cepat mengalami kelelahan dalam melakukan
aktivitas. Selain itu aktivitas pasien dalam sehari-hari akan berkurang
akibat dari nyeri pada bagian abdomen yang dialami, dengan demikian
kebutuhan ADL pasien dibantu perawat atau keluarga
5. Pola Istirahat dan Tidur
Adanya nyeri pada abdomen, sesak napas, dan peningkatan suhu tubuh
akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur
klien
6. Pola Kognitif dan Perceptual
Kaji apakah klien mengetahui terkait hal-hal yang berhubungan
dengan penyakit atau prosedur yang akan dilakukan, dan kaji apakah
klien mengetahui tatalaksana yang harus dilakukan terkait prosedur
tersebut
7. Pola Konsep Diri
Kaji bagaimana klien memandang dirinya dalam kondisi sakit saat ini,
kaji apakah klien bisa menerima dan mudah adaptasi dengan penyakit
yang di derita saat ini
8. Pola Seksualitas dan Reproduksi
Kaji apakah klien mengalami gangguan seksualitas dan reproduksi
setelah keadaan sakit. Klien dengan GERD biasanya terdapat ganggua
dalam memenuhi hubungan intim
9. Pola Peran dan Hubungan
Kaji ada atau tidaknya dukungan untuk meningkatkan motivasi klien
dalam hal kesembuhan, kaji hubungan dengan pasangan, anak, cucu,
dan keluarga. Klien dengan GERD membutuhkan dukungan penuh
dari keluarga untuk proses penyembuhan penyakit yang dialami
10. Pola Mekanisme Koping
Kaji apakah ketika ada masalah klien selalu terbuka untuk
menceritakan masalah yang dialami, kaji apakah klien dapat
beradaptasi dengan lingkungan setelah mengetahui kondisi
penyakitnya
11. Sistem Nilai dan Keyakinan
Kaji apakah klien mengalami ganggun dalam keyakinan melakukan
ibdanhnya saat pada kondisi sakit.
g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Pasien tampak lemah, nyeri pada abdomen, dan demam dan menggigil
2) Pemeriksaan TTV
- TD (bisa hipotensi, berada dibawah 90/60 mmHg)
- RR (takipnea, lebih dari 24 x/menit)
- N (takikardi, lebih dari 100 x/menit)
- Suhu (hipertermia lebih dari 370C)
3) Pemeriksaan sistem respirasi
- Inspeksi pada pasien GERD tampak semetris, pergerakan
pernafasan menurun, dan pasien biasanya sesak nafas (dyspnea)
- Kaji apakah suara paru terdengar sonor atau tidak
- Auskultasi suara nafas (apakah terdapat suara napas tambahan atau
tidak)
4) Pemeriksaan sistem cardiovaskuler
- Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung
- Perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung dimana daerah
jantung terdengar pekak, hal ini bertujuan untuk menentukan ada
tidaknya pembesaran jantung atau ventrikel kiri
- Auskultasi untuk menentukan adanya suara tambahan seperti
gallop dan murmur
5) Pemeriksaan sistem pencernaan
- Pada saat inspeksi perlu diperhatikan apakah abdomen membuncit
atau datar, selain itu ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa
- Pada saat palpasi juga perlu diperhatikan adakah nyeri tekan pada
abdomen, massa (tumor), turgor kulit abdomen, dan apkaah hepar
teraba atau tidak
- Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
menimbulkan suara pekak
- Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltic usus, dimana nilai
normalnya 5-35 x/menit
6) Pemeriksaan sistem musculoskeletal
Dilakukan untuk mengetahui kekuatan otot pada daerah ekstremitas
7) Pemeriksaan sistem integument
Pada pasien dengan GERD biasanya tampak sianosis akibat adanya
kegagalan sistem transport oksigen. Pada saat dilakukan palpasi perlu
diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam), tekstur
kulit (halus, lunak, kasar), serta turgor kulit untuk mengetahui derajat
dehidrasi seseorang.
2.2 Diagnosa Kepearwatan
1. Nyeri Akut Berhubungan dengan agen pencedera fisiologo (D.0077)
2. Pola Nafas Tidak Efektif b.d Hambatan Upaya Nafas (D.0005)
3. Defisit Nutrisi b.d Ketidakmampuan Absorbsi Nutrien (D.0019)
4. Intoleransi Aktifitas berhubungan dengan tirah baring (D.0356)
2.3 Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
.
1. Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)
Agen Intervensi selama Observasi
Pencederaan 3x24 jam, di 1. Identifikasi lokasi,
fisiologis harapkan tingkat karakteristik, durasi,
(D.0077) nyeri Menurun: frekuensi, kualitas, intensitas
Kriteria hasil nyeri
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
menurun (5) 3. Identifikasi faktor yang
2. Meringis memperberat nyeri dan
menurun (5) memperingn nyeri
3. Sikap 4. Identifikasi pengetahuan dan
protektif keyakinan nyeri
menurun (5) 5. Identifikasi respon nyeri non
4. Gelisah verbal
menurun (5) 6. Identifikasi Pengaruh nyeri
5. Kesulitan tidur pada kualitas hidup
menurun (5) 7. Monitor efek samping
6. Berfokus pada pengunaan analgesik
diri sendiri Terapeutik
menurun (5) 1. Berikan teknik non
famakologi untuk
menggurangi rasa nyeri
destraksi relaksasi
Edukasi
1. Anjurkan teknik non
farmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri
3. Fasilitas istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, priode dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan monior yeri secara
mandarin
4. Anjurkan teknik non
farmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik

2. Pola Nafas Tidak Setelah dilakukan Pemantauan Respirasi


Efektif b.d Intervensi selama Obserνasi
Hambatan Upaya 3x24 jam, maka 1. Monitor frekuensi, irama,
Nafas (D.0005) Kapasitas adaptif kedalaman, dan upaya napas
Intrakranial 2. Monitor pola napas (seperti
meningkat: bradipnea, takipnea,
Kriteria hasil hiperventilasi, Kussmaul,
(L.06049): Cheyne-Stokes, Biot,
1. Tingkat ataksik0
kesadaran 3. Monitor kemampuan batuk
meningkat (5) efektif
2. Tekana darah 4. Monitor adanya produksi
membaik (5) sputum
1. Respon pupil 5. Monitor adanya sumbatan
membaik (5) jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
1. Atur interval waktu
pemantauan respirasi
2. sesuai kondisi pasien
3. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
1. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
3. Defisit Nutrisi Setelah di Manajemen Nutrisi (I. 03119)
b.d lakukan Observasi
Ketidakmampua tindakan 1. Monitor Status Nutrisi
n Absorbsi Asuhan 2. Identifikasi Alergi atau
Nutrien Keperawatan Intoleransi makanan
(D.0019) selama 3x24 3. Identifikasi makanan yang
jam di di sukai
harapkan 4. Monitor Asupan makanan
tingkat nyeri 5. Monitor berat badan
menurun : 6. Monitor
Kriteriahasil hasilpemeriksaanlaboratori
1. Keluhan um
nyeri Terapiutik
menurun (5) 1. Lakukan oral Hygine
2. Meringis sebelum makan, jika perlu
menurun (5) 2. Sajikan makanan secara
3. Sikap menarik dan suhu yang sesuai
protektif 7. Berikan nutrisi sediki
menurun (5) ttapisering
4. Gelisah 8. Berikan makanan tinggi serat
menurun (5) 9. Berikan makanan tinggi
5. Kesulitan kalori dan tinggi protein
tidur 10. Berikan suplemen makanan
menurun (5) Edukasi
6. Berfokus 1. Anjurkan posisi duduk, jika
pada diri mampu
sendiri Kolaborasi
menurun(5) 1. Kolaborasi pemberian medikasi
1.
4. Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen Energi
Aktifitas tindakan Observasi
berhubungan keperawatan 1. Identifikasi ganguan fungsi
dengan tirah selama 3x24 jam, tubuh yang melibatkan
baring (D.0356) diharapkan kelelahan
toleransi Aktifitas 2. Monitor pola dan jam tidur
meningkat dengan 3. Monitor kelelahan fisik dan
kriterial hasil : emosional
(L.05047) Terapiutik
1. Kemudahan 1. Anjurkan tirah baring
dalam 2. Anjurkan melakukan
melakukan aktifitas secara bertahap
aktifitas Edukasi
sehari hari (5) 1. Sediakan lingkungan yang
2. Kekuatan nyaman dan renda stimulis
tubuh bagian 2. Lakuakan latihan rentang
atas (5) gerak pasif atau aktif
3. Toleransi 3. Berikan aktifitas distraksi
Dlam yang menenangkan
menaiki 4. Fasilitasi duduk di sisi
tangga tempat tidur, jika tidak dapat
membaik (5) berpinda atau berjalan
4. Keluhan lelah Kolaborasi
menurun (5) 1. Kolaborasi dengan ahli gizi
5. Perasaan tentang cara meningkatkan
lemah asupan makanan
menurun
6. Dispnea saat
aktifitas
menurun (5)
1.

2.4 EVALUASI
Setela tindakan keperawatan di laksanakan evaluasi proses dan hasil
mengacuh pada kriteria evaluasi yang telah di tentukan pada masing masing
diagnoa keperawatan sehingga:
3. Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervnsi di hentikan)
4. Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi di lanjutkan )
5. Maalah teratasi atau tujuan tidak tercapai (perlu di lakukan pengkajian
ulang dan intervensi dirubah)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner/Suddarth., (2006). Medical Surgical Nursing. JB Lippincot Company,


Philadelphia.

Carpenito, Lynda Juall. (2008). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8, EGC,
Jakarta.

Depkes RI. (2007), Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan Diknakes, Jakarta.

Doenges, M.E. Moorhouse M.F. Geissler A.C. (2009), Rencana Asuhan


Keperawatan, Edisi 3. EGC, Jakarta.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
(Definisi dan Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
(Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Kemenkes RI. (2019). Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile
2018]. Retrieved from http://www.depkes.go.id/ resources/ download/
pusdatin/profil-kesehatan- indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-
KesehatanIndonesia-2018.pdf

Purnomo, Basuki B. 2014. Dasar-dasar Urology, Jakarta : CV Sagung Seto.Reza

Skinder, D., Zacharia, I., Studin, J., and Covino, J., 2016. Benign Prostatic
Hyperplasia: A Clinical Review Vol. 29 No. 8.

Syamsuhidayat. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai