Anda di halaman 1dari 14

GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)

A. Definisi
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang
terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang
berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks
gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara
intermiten pada orang, terutama setelah makan. Penyakit refluks gastroesofageal
(Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan
patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang
menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) diesofagus maupun
ekstra esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2013). Pada orang normal, refluks ini
terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena sikap posisi tegak tadi dibantu
oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke
esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan
refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-
ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu
yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan
lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esofagus. Jadi, GERD merupakan
suatu keadaan patologis akibat maksuknya isi lambung ke esofagus yang biasa terjadi
setelah makan dan dapat terjadi pada posisi tegak oleh adanya konstraksi peristaltik
primer lambung.

B. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1) Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2) Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3) Ketahanan epitel esofagus menurun
4) Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam
empedu, HCL
5) Kelainan pada lambung
6) Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7) Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
9) Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan
fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek
antikolinergik (seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium,
progesteron, dan nitrat
10) Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan

C. Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux
disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD
sering kali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan
asam yang normalnya hanya ada dilambung, masuk dan mengiritasi atau
menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus. Refluks gastroesofagus biasanya
terjadi setelah makan dan disebabkan melemahnya tonus sfingter esophagus atau
tekanan di dalam lambung yang lebih tinggi dari esophagus. Dengan kedua
mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena
adanya kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi
suatu area yang tonus ototnya meningkat).
Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik menyalurkan
bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot polos sfingter
melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus seharusnya
tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini karena banyak organ yang berada
dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar daripada
tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong ke
dalam esofagus. Akan tetapi, jika sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak
dapat menutup lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi
(lambung) ke daerah bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks yang berulang
dapat memperburuk kondisi karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di
area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dalam keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi disfingter. Tekanan
abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal
ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi
berbaring, terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi
lambung mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam dalamisi lambung.
Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut tidak
sebanyak atau seaktifsel yang ada di lambung.

D. Patway

Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)

Refluks gastroesofageal Penurunan nafsu makan

Kekurangan mukosa Intake nutrisi tidak adekuat

Respon peradangan lokal


Risiko Defisit Nutrisi (D.0032)

Nyeri epigastrium

Nyeri Akut (D. 0077)

E. Manifestasi Klinik
1) Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2) Muntah
3) Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan
atau ketika berbaring
4) Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
5) Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan,
bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang
biasanya berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya,
mirip dengan lokasi panas dalam perut.
6) Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada
saluran udara
7) Suara parau
8) Ludah berlebihan (water brash)
9) Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10) Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11) Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (padaanak)
12) Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan
yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan
dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan
kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter(melena) atau darah merah
terang, jika pendarahan cukup berat.
13) Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan
sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barett). Perubahan bisa terjadi
bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum
kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.

F. Pemeriksaan Penunjang
1) Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala
khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).
2) Esofagografi dengan Barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding
dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
3) Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

G. Penatalaksanaan
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan
adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini
tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala
pada tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam
terapi medikamentosa GERD:
1) Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai
buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus
bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.
2) Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat
ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
3) Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada
prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi
asam.
4) Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya
rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan
lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
5) Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui
sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
6) Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
7) Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl
di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat
ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
8) Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan
GERD. Golongan obat-obatan ini bekerjalangsung pada pompa proton sel
parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai
tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
9) Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitiserosive derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2. Umumnya
pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan
atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.

H. Komplikasi
 Batuk dan asma
 Erosif esophagus
 Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik
 Esofagitis ulseratif
 Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
 Striktur esophagus / Peradangan esophagus
 Aspirasi
 Tukak kerongkongan
HIPERTENSI

A. Pengertian
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara
abnormal dan terus-menerus pada beberapa kali pemeriksaan tekanan darah yang
disebabkan beberapa faktor resiko yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam
mempertahankan tekanan secara normal. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg.

B. Etiologi
Penyebab hipertensi diantaranya karena faktor keturunan/genetik, ciri dari
perseorangan (umur, jenis kelamin dan ras) serta kebiasaan hidup/gaya hidup
seseorang (seperti konsumsi garam tinggi, kegemukan atau makan berlebihan, stres
atau ketegangan jiwa, kebiasaan merokok, minum alkohol dan obat-obatan)
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Hipertensi
a) Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Riwayat keluarga
b) Faktor yang dapat diubah/dikontrol
1. Kebiasaan merokok
2. Konsumsi natrium/garam
3. Konsumsi lemak jenuh
4. Kebiasaan konsumsi minuman beralkohol
5. Obesitas
6. Olahraga
7. Stres

C. Tanda dan Gejala


a) Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai rasa mual muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intracranial.
b) Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensic.
c) Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
d) Nuctoria karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
e) Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
f) Sebagian besar tanda dan gejala hipertensi berasal dari efek merusak jangka
panjang pada pembuluh darah besar dan kecil dari jantung, ginjal, otak, dan
mata. Efek ini dikenal sebagai penyakit organ target.

D. Klasifikikasi Hipertensi
1) Klasifikasi berdasarkan Etiologi
a. Hipertensi esensial (primer)
Merupakan 90% dari kasus penderita hipertensi. Dimana sampai saat
ini belum diketahui penyebab pasti. Beberapa faktor yang berpengaruh
dalam terjadinya hipertensi essensial, seperti: faktor genetik, stress dan
psikologis, serta faktor lingkungan dan diet (peningkatan penggunaan
garam dan berkurangnya asupan kalium dan kalsium)
b. Hipertensi sekunder
Pada hipertensi sekunder, penyebab dari patofisiologi dapat diketahui
dengan jelas sehingga lebih mudah untuk dikendalikan dengan obat-
obatan. Penyebab hipertensi sekunder diantaranya berupa kelainan
ginjal seperti tumor, diabetes, kelainan adrenal, kelainan aorta,
kelainan endokrin lainya seperti obesitas, resistensi insulin,
hipertiroidisme, dan pemakaian obat-obatan seperti kontrasepsi oral
dan kortikosteroid.
2) Klasifikasi berdasarkan derajat hipertensi
No Katagori Sistolik (mmHg) Diastolik
(mmHg)
1. Optimal < 120 < 80
2. Normal 120 – 129 80- 84
3. High Normal 130 – 139 85 – 89
4. Hipertensi
Grade 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Grade 2 (sedang) 160 – 179 100 -109
Grade 3 (berat) 180 – 209 100 – 119
Grade 4 (sangat berat) > 210 > 120
E. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak
dipusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis, dan keluar dari kolumna medulla
spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf
simpatis ke ganglia simpati. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetikolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskanya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonrtiksi. Individu dengan hipertensi sangat
sensitiv terhadap enorepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi
epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan
steroid lainya, yang dapat memperkuat respon vasokontrikstor pembuluh darah.
Vasokontriksi mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan
rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada giliranya merangsa sekresi
aldosterone dan oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan
air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor
ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relasasi otot
polos pembuluh darah yang pada giliranya menurunkan kemampuan distensi dan daya
regang pembuluhdarah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuanya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung
(volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer.

F. Patway
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Riwayat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
b. Pemeriksaan retina
c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kerusakan organ seperti ginjal
dan jantung
d. EKG untuk mengetahui hipertropi ventrikel kiri
e. Urinalisa untuk mengetahui protein dalam urin, darah, glukosa
f. Pemeriksaan : renjogram, pielogram intravena anterior renal, pemeriksaan
fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin
g. Foto dada dan CT scan

H. Komplikasi
1. Hipertrofi ventrikel kiri
2. Proteinuria dan gangguan fungsi ginjal
3. Aterosklerosi pembuluh darah
4. Retinopati
5. Stroke atau Transient ischemic attack (TIA)
6. Infark miokard
7. Angina pectoris
8. Gagal jantung
aktivitas Tekanan kerusakan darah tinggi pembuluh kecil dari jantung, otak,
ginjal, dan retina. Hasilnya adalah gangguan fungsional progresif dari organ
organ ini, dikenal sebagai penyakit sasaran-organ.

I. Penatalaksanaan
Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan menurunkan
resiko penyakit kardiovaskuler dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan
terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik dibawah 140 mmHg
dan diastolik dibawah 90 mmHg dan mengontrol faktor resiko. Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan antara lain :
1) Penatalaksanaan Nonfarmakologi :
Penatalaksanaan nonfarmakologis dengan memodifikasi dengan
memodifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah
tinggi Penatalaksanaan hipertensi dengan nonfarmakologis terdiri dari
berbagai macam cara memodifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan
darah yaitu:
a. Mempertahankan berat badan ideal
Mempertahankan berat badan ideal sesuai Body Mass Index (BMI)
dengan rentang 18,5-24,9 kg/m2). BMI dapat diketahui dengan
membagi berat badan anda dengan tinggi badan anda yang telah
dikuadratkan dalam satuan meter. Mengatasi obesitas (kegemukan)
juga dapat dilakukan dengan melakukan diet rendah kolesterol namun
dengan kaya serat dan protein, dan jika berhasil menurunkan badan
2,5-5kg maka tekanan darah diastolic dapat diturunkan sebanyak 5
mmHg.
b. Kurangi asupan natrium (sodium)
Mengurangi asupan natrium dapat dilakukan dengan cara diet rendah
garam yaitu tidak lebih dari 100mmol/hari (kira-kira 6 gr NaCl atau 2,4
gr garam/hari). Jumlah yang lain dengan mengurangi asupan garam
sampai kurang dari 2300 mg (1 sendok teh) setiap hari. Pengurangan
konsumsi garam menjadi ½ sendok teh/hari, dapat menurunkan sistolik
sebanyak 5 mmHg dan diastolik sekitar 2,5 mmHg.
c. Batasi konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol harus dibatasi karena konsumsi alkohol berlebihan
dapat meningkatkan tekanan darah. Para peminum berat mmpunyai
resiko mengalami hipertensi empat kali lebih besar dari pada mereka
yang tidak minum minuman beralkohol.
d. Makan K dan Ca yang cukup dari diet
Pertahankan asupan diet potassium (>90 mmol (3500 mg)/hari) dengan
cara mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak total. Kalium dapat
menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan jumlah natrium yang
terbuang bersama air kencing dengan setidaknya menggonsumsi buah-
buahan sebanyak 3-5 kali dalam sehari, seseorang bisa mencapai
asupan potassium yang cukup.
e. Menghindari merokok
Merokok memang tidak berhubungan secara langsung dengan
timbulnya hipertensi, tetapi merokok dapat meningkatkan resiko
komplikasi pada pasien hipertensi seperti penyakit jantung dan stroke,
maka perlu dihindari mengonsumsi tembakau (rokok) karena dapat
memperberat hipertensi Nikotin dalam tembakau membuat jantung
bekerja lebih keras karena menyempitkan pembuluh darah dan
meningkatkan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah, maka
pada penderita hipertensi dianjurkan nuntuk menghentikan kebiasaan
merokok.
f. Meningkatkan aktifitas fisik
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi. Cara untuk
meningkatkan aktivitas fisik seperti melakukan olahraga aerobik
seperti: bersepeda, berenang, berlari dan berjalan cepat secara teratur
setidaknya 30 menit sehari selama ≥ 3 kali seminggu.
g. Penurunan stress
Stress memang tidak menyebabkan hipertensi yang menetap namun
jika episode stress sering terjadi dapat menyebabkan kenaikan
sementara yang sangat tinggi. Menghindari stress dengan menciptakan
suasana yang menyenangkan bagi penderita hipertensi dan
memperkenalkan berbagai metode relaksasi seperti yoga atau meditasi
yang dapat mengontrol system saraf yang akhirnya dapat menurunkan
tekanan darah.
h. Terapi masase (pijat)
Prinsipnya pijat yang dilakukan pada penderita hipertensi adalah untuk
memperlancar aliran energi dalam tubuh sehingga gangguan hipertensi
dan komplikasinya dapat diminimalisir, ketika semua jalur energy
terbuka dan aliran energy tidak lagi terhalang oleh ketegangan otot dan
hambatan lain maka resiko hipertensi dapat dihentikan.
2) Pengobatan Farmakologi
a. Diuretik (Hidroklorotiazid)
Mengeluarkan cairan tubuh sehingga volume cairan di tubuh
berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih
ringan.
b. Penghambat simpatetik (metildopa, klonidin dan reserpine)
menghambat aktivitas saraf simpatis
c. Beta blocker (metoprolol, propranolol dan atenolol)
 Menurunkan daya pompa jantung
 Tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial.
 Pada penderita diabetes militus: dapat menutupi gejala
hipoglikemia
 Vasodilator (prasosin, hidralasin)
 Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot
polos pembuluh darah.
 ACE inhibitor (Captopril)
1. Menghambat pembentukan zat angiotensin II
2. Efek samping batuk kering , pusing, sakit kepala dan
lemas.
 Penghambat reseptor angiotensin II pada reseptor sehingga
memperingan daya pompa jantung.
 Antagonis kalsium (diltiazem dan verapamil)

Anda mungkin juga menyukai