1. DEFINISI GERD
a) Gastroesophageal reflux disease adalah gerakan terbalik pada makanan dan asam
lambung menuju kerongkongan dan kadangkala menuju mulut. Reflux terjadi ketika
otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi perut mengalir kembali
menuju kerongkongan (esophageal sphincter bagian bawah) tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
b) GERD adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus
sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan
komplikasi.
c) Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang
disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa
esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan
yang berulang.
d) Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah penyakit refluks lambung, atau
penyakit kerusakan mukosa yang disebabkan oleh asam lambung yang datang dari
perut ke kerongkongan. GERD biasanya disebabkan oleh perubahan penghalang
antara perut dan kerongkongan, termasuk relaksasi abnormal sphincter esofagus
bagian bawah, yang biasanya memegang penutup bagian atas perut, atau hiatus
hernia. Perubahan ini dapat bersifat permanen atau temporer ("transient").
2. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1) Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2) Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
3) Ketahanan epitel esophagus menurun
4) Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya pepsin, garam
empedu, HCl
5) Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
6) Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
7) Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
8) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi
hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
9) Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10) Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
3. EPIDEMIOLOGI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di negara-
negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika.
Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta, mendapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani
pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia, gastroesofageal reflux didapatkan pada
45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal,
refluksesfagopulmoner dan bat relaksan otot polos yaitu golongan betha adrenergik,
aminofilin, inhibitr fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi LES esfagus. Pada Bayi
mengalami refluks ringan, sekitar 1 : 300 hingga 1:1000. Gastroesofagus refluks paling
banyak terjadi pada bayi sehat berumur 4 bulan, dengan > 1x episode regurgitas, Pada
umur 6 – 7 bulan, gejala berkurang dari 61% menjadi 21%. Hanya 5% bayi berumur 12
bulan yang masih mengalami GERD.
4. PATOFISIOLOGI
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux
disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD sering
kali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam yang
normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti
terbakar di esophagus.
Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan
melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih tinggi
dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam bergerak
masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya
kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area
yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang
peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot
polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus
seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak organ yang
berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar daripada
tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam
esofagus. Akan tetapi, jika sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat
mnutup lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah
bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi
karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai contoh,
jika isi lambung berlebihan tekanan abdomen dapat meningkat secara bermakana.
Kondisi ini dapat disebabkan porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas. Tekanan
abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal ini
memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi berbaring,
terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi lambung
mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun
esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut tidak sebanyak atau
seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600).
5. KLASIFIKASI
Klasifikasi Los Angeles
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus–kasus dengan gejala klinis GERD yang berdasarkan keyakinan seorang
klinisi diduga kuat menderita penyakit GERD dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Atau juga pada kasus–kasus dengan gejala klinis GERD yang sudah dilakukan
pengobatan tapi tidak memberikan hasil yang memuaskan, pemeriksaan penunjang harus
dilakukan untuk membantu mendiagnosa, mencari penyebab dan melihat apakah telah
terjadi komplikasi akibat GERD. Di bawah ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai
pemeriksaan penunjang yang dilakukan saat ini untuk membantu mendukung suatu
diagnosa GERD.
Manometri esophagus.
Manometri merupakan suatu teknik untuk mengukur tekanan otot. Caranya adalah
dengan memasukkan sejenis kateter yang berisi sejenis transduser tekanan untuk
mengukur tekanan. Kateter ini dimasukkan melalui hidung setelah pasien menelan air
sebanyak 5 ml. Ukuran kateter ini kurang lebih sama dengan ukuran pipa naso-gastrik.
Kateter ini dimasukkan sampai transduser tekanan berada di lambung. Pengukuran
dilakukan pada saat pasien meneguk air sebanyak 10–15 kali. Tekanan otot spingter pada
waktu istirahat juga bisa diukur dengan cara menarik kateter melalui spingter sewaktu
pasien disuruh melakukan gerakan menelan. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui
baik tidaknya fungsi esofagus ataupun SEB dengan berbagai tingkat berat ringannya
kelainan.
Pemantauan pH esophagus.
Pemantauan pH esofagus dilakukan selama 24 jam. Uji ini merupakan cara yang paling
akurat untuk menentukan waktu kejadian asidifikasi esofagus serta frekuensi dan
lamanya refluks. Prinsip pemeriksaan adalah untuk mendeteksi perubahan pH di bagian
distal esofagus akibat refluks dari lambung. Uji memakai suatu elektroda mikro melalui
hidung dimasukkan ke bagian bawah esofagus. Elektroda tersebut dihubungkan dengan
monitor komputer yang mampu mencatat segala perubahan pH dan kemudian secara
otomatis tercatat. Biasanya yang dicatat episode refluks yang terjadi jika terdeteksi pH <
4 di esofagus untuk jangka waktu 15–30 detik. Kelemahan uji ini adalah memerlukan
waktu yang lama, dan dipengaruhi berbagai keadaan seperti: posisi pasien, frekuensi
makanan, keasaman dan jenis makanan, keasaman lambung, pengobatan yang diberikan
dan tentunya posisi elektroda di esofagus.
Uji Berstein.
Uji Berstein termasuk uji provokasi untuk melihat apakah pemberian asam dalam jumlah
kecil ke dalam esofagus dapat membangkitkan gejala GERD. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan bahwa kelainan bersumber pada esofagus jika pemeriksaan lain
memberikan hasil negatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan garam
fisiologis melalui pipa nasogastrik sebanyak 7 – 8 ml per menit selama 10 menit diikuti
pemberian 0.1 N larutan asam hidroklorida (waktu maksimal untuk pemeriksaan adalah
20 menit). Kemudian pasien mengatakan setiap keluhan atau gejala yang timbul. Jika uji
Bernstein positif maka pasien dikatakan hipersensitif atau hiperresponsif terhadap
rangsangan asam.
Sintigrafi.
Pemeriksaan sintigrafi untuk mendeteksi adanya GERD sudah lama dikenal di kalangan
ahli radiologi. Selain karena sensitivitasnya yang lebih baik dari pemeriksaan barium
peroral, juga mempunyai radiasi yang lebih rendah sehingga aman bagi pasien. Prinsip
utama pemeriksaan sintigrafi adalah untuk melihat koordinasi mekanisme aktifitas mulai
dari orofaring, esofagus, lambung dan waktu pengosongan lambung. Kelemahan
modalitas ini tidak dapat melihat struktur anatomi. Gambaran sintigrafi yang terlihat
pada refluks adalah adanya gambaran spike yang keluar dari lambung. Tinggi spike
menggambarkan derajat refluks sedangkan lebar spike menggambarkan lamanya refluks.
Ultrasonografi.
Pada beberapa sentra pemeriksaan USG sudah dimasukkan ke dalam pemeriksaan rutin
untuk mendeteksi adanya refluks. Malah dikatakan bahwa USG lebih baik dari
pemeriksaan barium per oral maupun sintigrafi. Tetapi beberapa penelitian menyebutkan
bahwa USG tidak mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang baik sehingga tidak
dianjurkan. Kelemahan yang lain adalah lamanya waktu yang diperlukan dalam
pemeriksaan dan pada beberapa kasus terdapat kesulitan untuk melihat bentuk esofagus
(echotexture).
8. KOMPLIKASI
Batuk dan asma
Erosif esofagus
Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
Pada sebahagian besar kasus merupakan lanjutan dari refluk esofagitis, yang
merupakan faktor risiko terhadap adenokarsinoma esofagusdan adenoma gastro-
esofageal junction.
Esofagitis ulseratif
Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
Perdarahan dari refluks esofagitis umumnya ringan, namun kadang kala timbul
perdarahan masif, sehingga tidak jarang terjadi anemia defisiensi besi.
Striktur esophagus / Peradangan esophagus
Peradangan esophagus menyebabkan nyeri selama menelan dan perdarahan yang
biasanya ringan, tetapi bias juga berat. Penyempitan menyebabkan kesulitan menelan
makanan padat bertambah buruk
Aspirasi
Tukak kerongkongan
Tukak esophageal peptic adalah luka terbuka yang terasa nyeri pada lapisan
kerongkongan. Nyeri ini biasanya dirasakan di belakang tulang dada atau tepat
dibawahnya.
9. DIAGNOSA BANDING
a) Dispepsia
Dyspepsia adalah sekumpulan gejala yang berasal dari saluran pencernaan atas. Bisa
berhubungan dengan makan atau minum dan diantaranya berupa rasa terbakar pada
jantung dan nyeri (biasanya “asam”) pada perut atas/dada bawah, “kembung”,
anoreksia, muntah, bersendawa, cepat kenyang, perut keroncongan (borborgygmi)
hingga kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa juga menjadi kronis.
Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan terus-menerus.
b) Esofagitis Korosif
Esofagitis korosif adalah peradangan di daerah esofagus yang disebabkan oleh luka
bakar karena tertelannya zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa
kuat, dan zat organik. Esofagitis korosif mempunyai keluhan gejala sakit ketika
menelan, muntah, dan sakit di lambung.
c) Batu Empedu
Suatu episode ikterus obstruktif, gangguan tes fungsi hati atau pancreatitis akut atau
dilatasi duktus biliaris komunis pada ultrasonografi menunjukkan adanya batu duktus
biliaris komunis. Mempunyai gejala nyeri kolik yang berat pada perut bagian
abdomen bagian atas yang menjalar kesekitar batas iga kanan dengan atau tanpa
muntah.
d) Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti)
saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala/gejala pernapasan
akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat
membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Tanda dan gejalanya meliputi tidak
bisa menghirup cukup udara, rasa penuh di dada, dada terasa berat, rasa tercekik,
napas pendek dan berat.
e) Angina Pektoris
Angina pektoris merupakan suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia miokard
yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan
oksigen miokard dengan dan kemampuan pembuluh dara hkoroner menyediakan
oksigen secukupnya untuk kokntraksi mmiokard. Gejalanya adalah sakit dada sentral
atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher atau
punggung.
Angina pektoris di jadikan diagnosis banding karena GERD dapat menimbulkan
keluhan rasa nyeri di dada yang kadang – kadang disertai rasa seperti kejang yang
menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina
pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa.
Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu
adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang hipersensitif.
10. PENATALAKSANAAN
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan
gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi.
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan
posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan
untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari
lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena
keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi
sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat
badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat
mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat,
teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi
asam, jikan memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta
adrenergic, progesterone.
2. Terapi medikamentosa
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD
tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap
HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat
terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis
2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya
efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada
prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi
asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah
dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di
esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping
yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah
otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya
dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di
eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap
akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan
atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
Baik antagonis reseptor histamin (H2) dan penghambat pompa proton (proton pump
inhibitors) dapat mengurangi gejala dan memulihkan mukosa (selaput lendir) saluran
cerna.
11. PROGNOSIS
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau
keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang menyebabkan kematian). Prognosis
dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang
diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D
dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan pada akhirnya
Ca Esofagus.
1. PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh
informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana
asuhan keperawatan klien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS dan respon verbal klien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan
nadi, dan kondisi patologis.
Pulse rate
Respiratory rate
Suhu
e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
Klien tampak muntah
Klien tampak lemah
Klien tampak batuk-batuk
Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
Suara terdengar serak
a. Bising usus menurun <12x/menit
b. Suara jantung S1/S2 reguler
Penurunan tekanan
penghambat refluks
GASTRO ESOPHAGEAL
REFLUK DISEASE (GERD)
GASTRO ESOPHAGEAL
REFLUK DISEASE (GERD)
Peradangan Mual
3. INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen kimia (asam lambung) ditandai dengan
klien mengeluh mengalami perubahan selera makan, perubahan frekuensi
pernapasan, iritabilitas.
Tujuan:
Setelah diberikan perawatan dalam waktu .... x 24jam, diharapkan nyeri klien
berkurang dengan kriteria hasil:
1. Klien menyatakan nyerinya berkurang
2. Klien tidak tampak melindungi bagian yang sakit
3. Nadi normal (110 – 180 x/menit) dan RR klien normal (30-60 x/menit)
4. Klien dapat istirahat dengan nyaman
Intervensi
1. Kaji dan catat kondisi keluhan nyeri klien (dengan pola P, Q, R, S, T), yaitu
dengan memperhatikan lokasi, intensitas, frekuensi, dan waktu.
Rasional: Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda
perkembangan komplikasi.
5. PK Perdarahan
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi yang terjadi dengan kriteria hasil:
Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal (Ht: 36-52%, Hb: 12,0-17,5
gr/100 ml)
Klien tidak mengalami episode perdarahan
Tanda-tanda vital berada dalam batas normal (TD: 87-105/60-69 mm Hg,
Nadi: 110 - 180 x/menit, RR : 30 - 60 x/mnt, Suhu : 36 - 370C ± 0,50C)
Intervensi:
Mandiri:
1. Kaji pasien untuk menemukan bukti-bukti perdarahan atau hemoragi
Rasional: Untuk mengetahui tingkat keparahan perdarahan pada klien sehingga
dapat menentukan intervensi selanjutnya
2. Pantau hasil lab b/d perdarahan
Rasional: Banyak komponen darah yang menurun pada hasil lab dapat
membantu menentukan intervensi selanjutnya
3. Siapkan pasien secara fisik dan psikologis untuk menjalani bentuk terapi lain jika
diperlukan
Rasional: Efek cedera terutama pada cedera tajam umumnya dapat
mengakibatkan perdarahan
Kolaborasi :
4. Kolaborasi pemberian transfusi faktor VIII, IX sesuai indikasi
Rasional: Keadaan fisik dan psikologis yang baik akan mendukung terapi yang
diberikan pada klien sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal
5. Kolaborasi pemberian transfusi faktor VIII, IX sesuai indikasi
Rasional: Meningkatkan factor koagulasi sehingga menurunkan perdarahan
4. EVALUASI
1. Nyeri berkurang dengan kriteria hasil:
Rasa nyeri berkurang
Tidak tampak melindungi bagian yang sakit
Nadi normal (110-180 x/menit) dan RR normal (30-60 x/menit)
Klien dapat istirahat dengan nyaman
2. Kebutuhan nutrisi teratasi dengan kriteria hasil:
Tidak menghindari makan
Tidak mual muntah
Berminat terhadap makanan
Tidak mengeluh mengalami gangguan sensasi rasa
3. Aspirasi tidak terjadi dengan kriteria hasil
Tidak mengalami aspirasi
4. Infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil:
Terjadi pengendalian resiko, dibuktikan dengan indikator (antara 1-5: tidak
pernah, jarang, kadang-kadang, sering, konsisten menunjukkan)
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Suhu aksila: 36,5 – 37,50 C
Nadi: 110 – 180 x/menit
RR: 30 – 60 x/menit
Dapat menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
Dapat mengubah gaya hidup untuk mengurangi terjadinya resiko infeksi.
5. Perdarahan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal (Ht: 36-52%, Hb: 12,0-17,5
gr/100 ml)
Episode perdarahan tidak terjadi.
Tanda-tanda vital berada dalam batas normal (TD: 87-105/60-69 mm Hg,
Nadi: 110 180 x/menit, RR : 30 - 60 x/mnt, Suhu : 36 - 370C ± 0,50C)
6. Pertumbuhan dan perkembangan anak optimal dengan kriteria hasil:
Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan
tinggi badan
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bantalkesehatan.com/index.php?
option=com_content&view=article&catid=77:kumpulan-artikel&id=71:nyeri-ulu-hati-tak-
sembuh-waspadai-gejala-gerd&Itemid=37 (akses: 17 April 2011)
http://storiku.wordpress.com/2010/04/25/gastroesophageal-refluks-disease-gerd/ (akses: 17
April 2011)
Wilkinson, J.M, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta.