Anda di halaman 1dari 31

LEARNING TASK

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN


GASTROESOPHAGEAL REFLUKS DISEASE (GERD)

OLEH : SGD VII

NI PT INDRA SUWARI DEWI (0902105013)

NI MADE JUNIARI (0902105014)

NI MADE SINTHA PRATIWI (0902105027)

NI MADE YUNITA SARI (0902105028)

IB PUTU SURYA WEDATAMA (0902105046)

NI LUH KUSMA DEWI (0902105053)

I GEDE BAYU WIRANTIKA (0902105063)

AYU PRAMISWARI (0902105067)

MADE DENY WIDIADA (0902105080)

NI WAYAN MIRA RIANTY (0902105083)

NI PT DIAN SEPTIANA ANDRIANI (0902105086)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2011
KONSEP DASAR PENYAKIT
GASTROESOPHAGEAL REFLUKS DISEASE (GERD)

1. DEFINISI GERD
a) Gastroesophageal reflux disease adalah gerakan terbalik pada makanan dan asam
lambung menuju kerongkongan dan kadangkala menuju mulut. Reflux terjadi ketika
otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi perut mengalir kembali
menuju kerongkongan (esophageal sphincter bagian bawah) tidak berfungsi
sebagaimana mestinya.
b) GERD adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus
sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan
komplikasi.
c) Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang
disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa
esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan
yang berulang.
d) Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah penyakit refluks lambung, atau
penyakit kerusakan mukosa yang disebabkan oleh asam lambung yang datang dari
perut ke kerongkongan. GERD biasanya disebabkan oleh perubahan penghalang
antara perut dan kerongkongan, termasuk relaksasi abnormal sphincter esofagus
bagian bawah, yang biasanya memegang penutup bagian atas perut, atau hiatus
hernia. Perubahan ini dapat bersifat permanen atau temporer ("transient").

2. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1) Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2) Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
3) Ketahanan epitel esophagus menurun
4) Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya pepsin, garam
empedu, HCl
5) Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
6) Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
7) Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
8) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi
hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
9) Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10) Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan

3. EPIDEMIOLOGI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di negara-
negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-negara Asia-Afrika.
Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta, mendapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani
pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia, gastroesofageal reflux didapatkan pada
45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal,
refluksesfagopulmoner dan bat relaksan otot polos yaitu golongan betha adrenergik,
aminofilin, inhibitr fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi LES esfagus. Pada Bayi
mengalami refluks ringan, sekitar 1 : 300 hingga 1:1000. Gastroesofagus refluks paling
banyak terjadi pada bayi sehat berumur 4 bulan, dengan > 1x episode regurgitas, Pada
umur 6 – 7 bulan, gejala berkurang dari 61% menjadi 21%. Hanya 5% bayi berumur 12
bulan yang masih mengalami GERD.

4. PATOFISIOLOGI
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux
disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD sering
kali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam yang
normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti
terbakar di esophagus.
Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan
melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih tinggi
dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam bergerak
masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya
kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area
yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang
peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot
polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus
seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak organ yang
berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar daripada
tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam
esofagus. Akan tetapi, jika sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat
mnutup lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah
bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi
karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai contoh,
jika isi lambung berlebihan tekanan abdomen dapat meningkat secara bermakana.
Kondisi ini dapat disebabkan porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas. Tekanan
abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal ini
memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi berbaring,
terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi lambung
mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun
esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut tidak sebanyak atau
seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600).

5. KLASIFIKASI
Klasifikasi Los Angeles

Derajat Gambaran endoskopi


kerusakan
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi
seluruh lumen esophagus)
6. MANIFESTASI KLINIS
a) Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
b) Muntah
c) Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar ke leher,
tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika berbaring
d) Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan (stricture) pada
kerongkongan dari reflux.
e) Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa dihasilkan
dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya berlokasi di belakang
tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan lokasi panas dalam perut.
f) Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran udara
g) Suara parau
h) Ludah berlebihan (water brash)
i) Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
j) Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
k) Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
l) Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan yang
biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau keluar
melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna
ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
m) Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan
sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut
kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak
ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada
beberapa orang.
Tabel 1. Tanda dan Gejala PRGE pada Bayi dan Anak
Bayi Anak dan Remaja
Tidak mau makan/minum/menetek Nyeri perut
Muntah berulang Rasa terbakar di dada/ulu hati
(heartburn)
Gagal tumbuh (failure to thrive) Muntah berulang
Rewel terus-menerus Kesulitan menelan (disfagia)
Tersedak/apnea (henti napas sesaat) Batuk kronik/mengi
berulang
Posisi opistotonus Suara serak

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus–kasus dengan gejala klinis GERD yang berdasarkan keyakinan seorang
klinisi diduga kuat menderita penyakit GERD dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Atau juga pada kasus–kasus dengan gejala klinis GERD yang sudah dilakukan
pengobatan tapi tidak memberikan hasil yang memuaskan, pemeriksaan penunjang harus
dilakukan untuk membantu mendiagnosa, mencari penyebab dan melihat apakah telah
terjadi komplikasi akibat GERD. Di bawah ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai
pemeriksaan penunjang yang dilakukan saat ini untuk membantu mendukung suatu
diagnosa GERD.

Barium per oral.


Prinsip pemeriksaan adalah melihat refluks bubur barium. Pemeriksaan ini sangat
berguna untuk melihat adanya kelainan struktural dan kelainan anatomis dari esofagus,
adanya inflamasi dan esofagitis dengan erosi yang hebat (inflamasi berat). Ketika
pemeriksaan ini dilakukan pasien diberi minum bubur barium, baru foto rongen
dilakukan. Pada pemeriksaan ini dapat terlihat adanya suatu ulkus, hiatal hernia, erosi
maupun kelainan lain. Dari pemeriksaan dengan bubur barium dapat dibuat gradasi
refluks atas 5 derajat, yaitu derajat:
1. Refluks hanya sampai didistal esofagus.
2. Refluks sampai di atas karina tapi belum sampai di servikal esofagus.
3. Refluks sampai di servikal esofagus.
4. Refluks sampai di servikal dan disertai dilatasi dari bagian kardia lambung.
5. Refluks dengan aspirasi paru.
Tetapi pemeriksaan ini tidak dapat mendeteksi ulkus ataupun erosi yang kecil. Pada
pemeriksaan ini bisa terjadi positif semu jika pasien menangis selama pemeriksaan,
peningkatan tekanan intraabdomen dan meletakkan kepala lebih rendah dari tubuh. Bisa
juga terjadi negatif semu jika bubur barium yang diminum terlampau sedikit. Kelemahan
lain, refluks tidak dapat dilihat jika terjadi transient low oesophageal sphincter
relaxation (TLSOR).

Manometri esophagus.
Manometri merupakan suatu teknik untuk mengukur tekanan otot. Caranya adalah
dengan memasukkan sejenis kateter yang berisi sejenis transduser tekanan untuk
mengukur tekanan. Kateter ini dimasukkan melalui hidung setelah pasien menelan air
sebanyak 5 ml. Ukuran kateter ini kurang lebih sama dengan ukuran pipa naso-gastrik.
Kateter ini dimasukkan sampai transduser tekanan berada di lambung. Pengukuran
dilakukan pada saat pasien meneguk air sebanyak 10–15 kali. Tekanan otot spingter pada
waktu istirahat juga bisa diukur dengan cara menarik kateter melalui spingter sewaktu
pasien disuruh melakukan gerakan menelan. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui
baik tidaknya fungsi esofagus ataupun SEB dengan berbagai tingkat berat ringannya
kelainan.

Pemantauan pH esophagus.
Pemantauan pH esofagus dilakukan selama 24 jam. Uji ini merupakan cara yang paling
akurat untuk menentukan waktu kejadian asidifikasi esofagus serta frekuensi dan
lamanya refluks. Prinsip pemeriksaan adalah untuk mendeteksi perubahan pH di bagian
distal esofagus akibat refluks dari lambung. Uji memakai suatu elektroda mikro melalui
hidung dimasukkan ke bagian bawah esofagus. Elektroda tersebut dihubungkan dengan
monitor komputer yang mampu mencatat segala perubahan pH dan kemudian secara
otomatis tercatat. Biasanya yang dicatat episode refluks yang terjadi jika terdeteksi pH <
4 di esofagus untuk jangka waktu 15–30 detik. Kelemahan uji ini adalah memerlukan
waktu yang lama, dan dipengaruhi berbagai keadaan seperti: posisi pasien, frekuensi
makanan, keasaman dan jenis makanan, keasaman lambung, pengobatan yang diberikan
dan tentunya posisi elektroda di esofagus.

Uji Berstein.
Uji Berstein termasuk uji provokasi untuk melihat apakah pemberian asam dalam jumlah
kecil ke dalam esofagus dapat membangkitkan gejala GERD. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan bahwa kelainan bersumber pada esofagus jika pemeriksaan lain
memberikan hasil negatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan garam
fisiologis melalui pipa nasogastrik sebanyak 7 – 8 ml per menit selama 10 menit diikuti
pemberian 0.1 N larutan asam hidroklorida (waktu maksimal untuk pemeriksaan adalah
20 menit). Kemudian pasien mengatakan setiap keluhan atau gejala yang timbul. Jika uji
Bernstein positif maka pasien dikatakan hipersensitif atau hiperresponsif terhadap
rangsangan asam.

Endoskopi dan biopsy.


Pemeriksaan endoskopi (esofagogastroduodenoskopi atau panendoskopi) memungkinkan
untuk melihat dan sekaligus melakukan biopsi epitel esofagus. Endoskopi dan biopsi
dapat menentukan ada dan beratnya esofagitis, striktura dan esofagitis Barret, serta dapat
menyingkirkan kelainan lain seperti penyakit Crohn. Tapi gambaran normal esofagus
selama endoskopi belum tentu tidak ada esofagitis secara histopatologi. Jika esofagitis
tidak terlihat maka perubahan mukosa menjadi hiperemis maupun pucat harus menjadi
perhatian. Oleh karena itu jika pemeriksaan endoskopi dilakukan, sebaiknya dilakukan
juga biopsi.

Sintigrafi.
Pemeriksaan sintigrafi untuk mendeteksi adanya GERD sudah lama dikenal di kalangan
ahli radiologi. Selain karena sensitivitasnya yang lebih baik dari pemeriksaan barium
peroral, juga mempunyai radiasi yang lebih rendah sehingga aman bagi pasien. Prinsip
utama pemeriksaan sintigrafi adalah untuk melihat koordinasi mekanisme aktifitas mulai
dari orofaring, esofagus, lambung dan waktu pengosongan lambung. Kelemahan
modalitas ini tidak dapat melihat struktur anatomi. Gambaran sintigrafi yang terlihat
pada refluks adalah adanya gambaran spike yang keluar dari lambung. Tinggi spike
menggambarkan derajat refluks sedangkan lebar spike menggambarkan lamanya refluks.

Ultrasonografi.
Pada beberapa sentra pemeriksaan USG sudah dimasukkan ke dalam pemeriksaan rutin
untuk mendeteksi adanya refluks. Malah dikatakan bahwa USG lebih baik dari
pemeriksaan barium per oral maupun sintigrafi. Tetapi beberapa penelitian menyebutkan
bahwa USG tidak mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang baik sehingga tidak
dianjurkan. Kelemahan yang lain adalah lamanya waktu yang diperlukan dalam
pemeriksaan dan pada beberapa kasus terdapat kesulitan untuk melihat bentuk esofagus
(echotexture).

8. KOMPLIKASI
 Batuk dan asma
 Erosif esofagus
 Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
Pada sebahagian besar kasus merupakan lanjutan dari refluk esofagitis, yang
merupakan faktor risiko terhadap adenokarsinoma esofagusdan adenoma gastro-
esofageal junction.
 Esofagitis ulseratif
 Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
Perdarahan dari refluks esofagitis umumnya ringan, namun kadang kala timbul
perdarahan masif, sehingga tidak jarang terjadi anemia defisiensi besi.
 Striktur esophagus / Peradangan esophagus
Peradangan esophagus menyebabkan nyeri selama menelan dan perdarahan yang
biasanya ringan, tetapi bias juga berat. Penyempitan menyebabkan kesulitan menelan
makanan padat bertambah buruk
 Aspirasi
 Tukak kerongkongan
Tukak esophageal peptic adalah luka terbuka yang terasa nyeri pada lapisan
kerongkongan. Nyeri ini biasanya dirasakan di belakang tulang dada atau tepat
dibawahnya.

9. DIAGNOSA BANDING
a) Dispepsia
Dyspepsia adalah sekumpulan gejala yang berasal dari saluran pencernaan atas. Bisa
berhubungan dengan makan atau minum dan diantaranya berupa rasa terbakar pada
jantung dan nyeri (biasanya “asam”) pada perut atas/dada bawah, “kembung”,
anoreksia, muntah, bersendawa, cepat kenyang, perut keroncongan (borborgygmi)
hingga kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa juga menjadi kronis.
Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan terus-menerus.
b) Esofagitis Korosif
Esofagitis korosif adalah peradangan di daerah esofagus yang disebabkan oleh luka
bakar karena tertelannya zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa
kuat, dan zat organik. Esofagitis korosif mempunyai keluhan gejala sakit ketika
menelan, muntah, dan sakit di lambung.
c) Batu Empedu
Suatu episode ikterus obstruktif, gangguan tes fungsi hati atau pancreatitis akut atau
dilatasi duktus biliaris komunis pada ultrasonografi menunjukkan adanya batu duktus
biliaris komunis. Mempunyai gejala nyeri kolik yang berat pada perut bagian
abdomen bagian atas yang menjalar kesekitar batas iga kanan dengan atau tanpa
muntah.
d) Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti)
saluran napas terhadap berbagai rangsangan sehingga timbul gejala/gejala pernapasan
akibat penyempitan saluran napas difus dengan derajat bervariasi yang dapat
membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Tanda dan gejalanya meliputi tidak
bisa menghirup cukup udara, rasa penuh di dada, dada terasa berat, rasa tercekik,
napas pendek dan berat.
e) Angina Pektoris
Angina pektoris merupakan suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia miokard
yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan
oksigen miokard dengan dan kemampuan pembuluh dara hkoroner menyediakan
oksigen secukupnya untuk kokntraksi mmiokard. Gejalanya adalah sakit dada sentral
atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher atau
punggung.
Angina pektoris di jadikan diagnosis banding karena GERD dapat menimbulkan
keluhan rasa nyeri di dada yang kadang – kadang disertai rasa seperti kejang yang
menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehinga menyerupai keluhan seperti angina
pektoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa.
Mungkin juga rasa nyeri di dada tersebut disebabkan oleh dua mekanisme yaitu
adanya gangguan motor esophageal dan esophagus yang hipersensitif.
10. PENATALAKSANAAN
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan
gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah
timbulnya komplikasi.
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat
memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk
mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan
posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan
untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari
lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena
keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi
sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat
badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat
mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat,
teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi
asam, jikan memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus
LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta
adrenergic, progesterone.
2. Terapi medikamentosa
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD :
 Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD
tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap
HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat
menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi
terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat
terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
 Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis
2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya
efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi.
 Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada
prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi
asam.
 Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah
dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di
esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
 Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping
yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah
otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
 Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya
dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
 Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di
eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini
cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
 Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap
akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan
atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
Baik antagonis reseptor histamin (H2) dan penghambat pompa proton (proton pump
inhibitors) dapat mengurangi gejala dan memulihkan mukosa (selaput lendir) saluran
cerna.

Obat Dosis Frekuensi


Antagonis H2
Cimetidine 40 mg/kg/hari 3 – 4 x/hari
Famotidine 1 mg/kg/hari 2 x/hari
Ranitidine 5-10 mg/kg/hari 2 – 3 x/hari
Penghambat Pompa Proton (PPI)
Lansoprazole 0.4-2.8 mg/kg/hari Sekali sehari
Omeprazole 0.7-3.3 mg/kg/hari Sekali sehari

3. Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan, penyempitan, tukak


atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun
tindakan pembedahan jarang dilakukan.
4. Terapi endoskopi :
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks penelitian, akhir-
akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada GERD yaitu :
1. penggunaan energi radiofrekuensi
2. plikasi gastric endoluminal
3. implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di bawah
mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal
menjadi lebih kecil.
5. Pada anak :
1) Bayi dengan refluks harus diberi makan pada posisi tegak atau setengah
tegak dan kemudian dijaga pada posisi tegak untuk 30 menit setelah makan.
2) Untuk anak yang lebih tua, kepala pada tempat tidur bisa diangkat 6 inci
(kira-kira 15 ¼ cm) untuk membantu mengurangi refluks di waktu malam,
menghindari makan 2 sampai 3 jam sebelum waktu tidur, minum minuman
berkarbonat atau apa yang mengandung kafein, menjauhi asap tembakau.
3) Pada bayi dengan ASI Eksklusif, jangan mengganti/menambahkan ASI
dengan susu formula, dan pada bayi dengan konsumsi susu formula, tidak perlu
mengganti ke jenis susu formula khusus.

11. PROGNOSIS
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau
keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang menyebabkan kematian). Prognosis
dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang
diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D
dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan pada akhirnya
Ca Esofagus.

12. HEALTH EDUCATION (HE)


 Beri tahu klien mengenai penyebab refluks , cara menghindari refluks dengan
pengobatan antirefluks (medikasi, makanan, dan terapi posisional) dan gejala apa
yang harus dilihat dan dilaporkan.
 Minta klien menghindari keadaan apapun yang meningkatkan tekanan
intraabdominal (misalnya membengkokkan badan, batuk, laithan berat, pakaian
ketat, konstipasi dan obesitas) atau substansi apapun yang mengurangi control
sfingter (misalnya kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, makanan
berlemak, dan obat tertentu).
 Sarankan klien duduk tegak lurus, terutama setelah makan dan mengkonsumsi
makanan dalam jumlah sedikit namun sering. Minta ia menghindari makanan yang
sangat berbumbu, jus asam, minuman beralkohol, makanan kecil sebelum tidur dan
makanan kaya lemak/ karbohidrat yang bisa menurunkan tekanan sfingter
esophageal bawah. Sarankan ia tidak berbaring dalam 3 jam setelah makan.
 Minta klien minum antacid sesuai perintah (biasanya 1-3 jam setelah makan dan
sebelum tidur).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN GASTROESOPHAGEAL REFLUKS DISEASE (GERD)

1. PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh
informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana
asuhan keperawatan klien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS dan respon verbal klien.

b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
 Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan
nadi, dan kondisi patologis.
 Pulse rate
 Respiratory rate
 Suhu

c. Riwayat penyakit sebelumnya


Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah menderita penyakit paru yang dapat
menjadi predisposisi GERD.

d. Pola Fungsi Keperawatan


1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
 Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah
epigastrium, seperti terbakar.
Data obyektif :
 Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
 Tidak terjadi perubahan tonus otot.
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
 Klien mengatakan bahwa ia tidak mengalami demam.
Data Obyektif:
 Suhu tubuh normal (36,5-37,5 oC)
 Kadar WBC meningkat.
3. Eliminasi
Data Subyektif:
 Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif
 Bising usus menurun (<12x/menit)
4. Makan/ minum
Data Subyektif:
 Klien mengatakan mengalami mual muntah.
 Klien mengatakan tidak nafsu makan.
 Klien mengatakan susah menelan.
 Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
 Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
5. Sensori neural
Data Subyektif:
 Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
 Status mental baik.
6. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
 Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.
P : nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan refluks.
Q : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S : klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan makanan. Nyeri
pada dada menetap.
Data Obyektif:
 Klien tampak meringis kesakitan.
 Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
 Tekanan darah klien meningkat
 Klien tampak gelisah
7. Respirasi
Data Subyektif :
 Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
 Klien mengatakan mengalami batuk
Data obyektif:
 Terlihat ada sesak napas.
 Terdapat penggunaan otot bantu napas.
 Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30-40 x/mnt
dan pada anak-anak > 20-26 x/menit..
 Klien terlihat batuk.
8. Keamanan
Data Subyektif :
 Klien mengatakan merasa cemas
Data obyektif:
 Klien tampak gelisah
9. Interaksi sosial
Data Subyektif:
 Klien mengatakan suaranya serak
 Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena suaranya
tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
 Suara klien terdengar serak
 Suara klien tidak terdengar jelas.

e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
 Klien tampak muntah
 Klien tampak lemah
 Klien tampak batuk-batuk
 Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
 Suara terdengar serak
a. Bising usus menurun <12x/menit
b. Suara jantung S1/S2 reguler

f. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang


1. Endoskopi
2. Esofagografi dengan barium
3. Monitoring pH 24 jam
4. Tes Perfusi Berstein
5. Manometri esofagus
5. Pathway

Obat-obatan, Hormonal, Hernia Heatus Pengosongan lambung Obesitas


Pendeknya LES, infeksi H. lambat, dilatasi lambung
Pylori dan korpus pedominas
Bagian dari lambung atas Tekanan intra
gastritis
yang terhubung dengan Transient LES Relaxation abdomen meningkat
esophagus akan
Kekuatan Lower
mendorong ke atas melalui
Esophageal Sphincter (LES)
diafragma
menurun

Penurunan tekanan
penghambat refluks

Aliran retrograde yang Refluks spontan saat relaksasi


mendahului kembalinya LES tidak adekuat
tonus LES setelah menelan

Aliran asam lambung ke esofagus

Kontak asam lambung dan mukosa esophagus


dalam waktu lama dan/atau berulang

GASTRO ESOPHAGEAL
REFLUK DISEASE (GERD)
GASTRO ESOPHAGEAL
REFLUK DISEASE (GERD)

Asam lambung mengiritasi sel mukosa Nafas bau asam


esofagus
Merangsang
Kerusakan sel mukosa esofagus pusat mual

Peradangan Mual

Hearth burn non cardiac Muntah


Odinofagia

Nyeri Akut Penurunan


Gangguan nafsu makan
Menelan
Defisien
Perubahan status kesehatan volume cairan Relaksasi dari glotis
Intake nutrisi
dan penurunan
inadekuat reflex batuk
Ancaman ansietas biologis
BB menurun
Risiko Aspirasi
Ansietas
Ketidakseimbangan
Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN (berdasarkan prioritas)
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen kimia (asam lambung) ditandai dengan klien
dikeluhkan mengalami perubahan selera makan, perubahan frekuensi pernapasan,
iritabilitas.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan klien menghindari makan,
kurang minat terhadap makanan, mengeluh gangguan sensasi rasa, pasien mual
muntah.
3. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestinal, penurunan
reflex batuk, sfingter esophagus bawah inkompeten.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma mukosa esophagus
5. PK perdarahan
6. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan efek
ketunadayaan fisik ditandai dengan penurunan waktu respons, lesu/tidak bersemangat.

3. INTERVENSI
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen kimia (asam lambung) ditandai dengan
klien mengeluh mengalami perubahan selera makan, perubahan frekuensi
pernapasan, iritabilitas.
Tujuan:
Setelah diberikan perawatan dalam waktu .... x 24jam, diharapkan nyeri klien
berkurang dengan kriteria hasil:
1. Klien menyatakan nyerinya berkurang
2. Klien tidak tampak melindungi bagian yang sakit
3. Nadi normal (110 – 180 x/menit) dan RR klien normal (30-60 x/menit)
4. Klien dapat istirahat dengan nyaman
Intervensi
1. Kaji dan catat kondisi keluhan nyeri klien (dengan pola P, Q, R, S, T), yaitu
dengan memperhatikan lokasi, intensitas, frekuensi, dan waktu.
Rasional: Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga tanda-tanda
perkembangan komplikasi.

2. Kaji pengetahuan pasien tentang nyeri dan kepercayaan tentang nyeri.


Rasional: Memudahkan dalam melakukan intervensi, karena kultur atau budaya
klien dapat mempengaruhi persepsi tentang nyeri.
3. Ciptakan lingkungan yang tenang dan membatasi pengunjung.
Rasional: Suasana yang tenang dapat mengurangi stimulus nyeri.
4. Kontrol dan kurangi kebisingan
Rasional: Suasana yang tenang dapat mengurangi stimulus nyeri.
5. Ajarkan pasien teknik distraksi
Rasional: Untuk memanajemen atau mengalihkan rasa nyeri pada klien.
6. Kaji riwayat adanya alergi obat.
Rasional: Mengetahui apakah ada alergi terhadap obat analgesik.
7. Pastikan pasien menerima analgesic.
Rasional: Memastikan klien menerima obat pereda rasa nyeri

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan klien menghindari makan,
klien mual muntah, kurang minat terhadap makanan, mengeluh gangguan
sensasi rasa.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteria hasil:
1. Klien tidak menghindari makan
2. Klien tidak mual muntah
3. Klien berminat terhadap makanan
4. Klien tidak mengeluh mengalami gangguan sensasi rasa
Intervensi :
a) Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan sesudah makan.
Rasional: Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan
menimbulkan mual.
b) Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk mengurangi perasaan
tegang pada lambung.
Rasional : Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat mengurangi beban
saluran pencernaan.
c) Atur agar mendapatkan nutrien yang berprotein/kalori yang disajikan pada
saat individu ingin makan.
Rasional: Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat.
d) Siapkan dalam kemasan yang menarik dan makanan yang disukai pasien.
Rasional: Dapat meningkatkan selera makan.
e) Timbang berat badan pasien saat ia bangun dari tidur dan setelah berkemih
pertama.
Rasional: Menimbang berat badan saat baru bangun dan setelah berkemih
untuk mengetahui berat badan mula-mula sebelum mendapatkan nutrient.
Kolaborasi
a) Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori harian yang
realistis dan adekuat.
Rasional: Konsultasi ini dilakukan agar klien mendapatkan nutrisi sesuai
indikasi dan kebutuhan kalorinya.

3. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan motilitas gastrointestial,


penurunan refleks batuk, sfingter esofagus bawah inkompeten
Tujuan:
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan aspirasi tidak
terjadi dengan kriteria hasil:
1. Tidak mengalami aspirasi
Intervensi:
a) Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang.
Rasional : Mencegah penyumbatan jalan nafas.
b) Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Membantu mencegah cairan refluks agak tidak teraspirasi ke
saluran pernapasan.
c) Kaji kembali adanya obstruksi benda-benda dalam mulut dan tenggorokan.
Rasional : Benda-benda tersebut dapat teraspirasi dan menyumbat jalan
napas
d) Beri tahu makanan yang harus dihindari anak kecil seperti buah dengan biji,
kacang, permen karet, anggur dan lain-lain
Rasional: Makanan-makanan tersebut cenderung mudah teraspirasi
e) Ajarkan penatalaksanaan kedaruratan obstruksi jalan napas seperti memukul
punggung dan dorongan dada (bayi), maneuver Heimlich (anak-anak)
Rasional: Dengan mengajarkan kedaruratan medic pada orang tua/keluarga
maka diharapkan dapat memberikan pertolongan penyelamatan awal pada
bayi atau anak untuk mengatasi obstruksi jalan napas.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma mukosa esophagus


Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .. x 24 jam diharapkan infeksi dapat di
cegah dengan kriteria hasil:
1. Menunjukkan pengendalian resiko, dibuktikan dengan indikator (antara 1-
5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, konsisten menunjukkan)
2. Menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas normal (Suhu aksila: 36,5 –
37,50 C, Nadi: 110 – 180 x/menit, RR: 30 – 60 x/menit)
3. Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
4. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko.
Intervensi:
1. Pertahankan tehnik aseptik.
Rasional: menurunkan resiko infeksi nosokomial.
2. Observasi adanya tanda-tanda infeksi.
Rasional: untuk mendeteksi secara dini adanya infeksi.
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan diakukan. Intrusikan
pasien/orang terdekat untuk mencuci tangan sesuai indikasi.
Rasional: mengurangi resiko kanstaminasi silang.
4. Pantau tanda-tanda vital, termasuk suhu.
Rasional: adanya proses inflamasi atau infeksi membutuhkan evaluasi atau
pengobatan.
5. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai dengan indikasi.
Rasional: untuk menurunkan terjadinya infeksi.

5. PK Perdarahan
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam, perawat dapat
meminimalkan komplikasi yang terjadi dengan kriteria hasil:
 Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal (Ht: 36-52%, Hb: 12,0-17,5
gr/100 ml)
 Klien tidak mengalami episode perdarahan
 Tanda-tanda vital berada dalam batas normal (TD: 87-105/60-69 mm Hg,
Nadi: 110 - 180 x/menit, RR : 30 - 60 x/mnt, Suhu : 36 - 370C ± 0,50C)
Intervensi:
Mandiri:
1. Kaji pasien untuk menemukan bukti-bukti perdarahan atau hemoragi
Rasional: Untuk mengetahui tingkat keparahan perdarahan pada klien sehingga
dapat menentukan intervensi selanjutnya
2. Pantau hasil lab b/d perdarahan
Rasional: Banyak komponen darah yang menurun pada hasil lab dapat
membantu menentukan intervensi selanjutnya
3. Siapkan pasien secara fisik dan psikologis untuk menjalani bentuk terapi lain jika
diperlukan
Rasional: Efek cedera terutama pada cedera tajam umumnya dapat
mengakibatkan perdarahan
Kolaborasi :
4. Kolaborasi pemberian transfusi faktor VIII, IX sesuai indikasi
Rasional: Keadaan fisik dan psikologis yang baik akan mendukung terapi yang
diberikan pada klien sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal
5. Kolaborasi pemberian transfusi faktor VIII, IX sesuai indikasi
Rasional: Meningkatkan factor koagulasi sehingga menurunkan perdarahan

6. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b.d efek ketunadayaan fisik


d.d penurunan waktu respons, lesu / tidak bersemangat.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x24 jam diharapkan pertumbuhan
dan perkembangan anak optimal dengan kriteria hasil :
1. Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi badan
Intervensi
1. Kaji tingkat tumbuh kembang anak
Rasional : mengetahui tingkat tumbuh kembang anak sehingga dapat
menentukan intervensi yang tepat.
2. Berikan stimulasi tumbuh kembang, aktivitas bermain, game, nonton TV,
puzzle, nmenggambar, dan lain-lain sesuai kondisi dan usia anak.
Rasional : dengan adanya stimulasi tumbuh kembang dapat menstimulasi otak
sehingga dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak sesuai dengan DDST.
3. Libatkan keluarga agar tetap memberikan stimulasi selama dirawat
Rasional : keluarga terutama orang tua merupakan orang-orang terdekat anak,
peran orang tua dan keluarga sangat membantu dalam mengoptimalkan
pemberian tindakan / intervensi yang dilakukan.

4. EVALUASI
1. Nyeri berkurang dengan kriteria hasil:
 Rasa nyeri berkurang
 Tidak tampak melindungi bagian yang sakit
 Nadi normal (110-180 x/menit) dan RR normal (30-60 x/menit)
 Klien dapat istirahat dengan nyaman
2. Kebutuhan nutrisi teratasi dengan kriteria hasil:
 Tidak menghindari makan
 Tidak mual muntah
 Berminat terhadap makanan
 Tidak mengeluh mengalami gangguan sensasi rasa
3. Aspirasi tidak terjadi dengan kriteria hasil
 Tidak mengalami aspirasi
4. Infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil:
 Terjadi pengendalian resiko, dibuktikan dengan indikator (antara 1-5: tidak
pernah, jarang, kadang-kadang, sering, konsisten menunjukkan)
 Tanda-tanda vital dalam batas normal
Suhu aksila: 36,5 – 37,50 C
Nadi: 110 – 180 x/menit
RR: 30 – 60 x/menit
 Dapat menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
 Dapat mengubah gaya hidup untuk mengurangi terjadinya resiko infeksi.
5. Perdarahan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
 Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal (Ht: 36-52%, Hb: 12,0-17,5
gr/100 ml)
 Episode perdarahan tidak terjadi.
 Tanda-tanda vital berada dalam batas normal (TD: 87-105/60-69 mm Hg,
Nadi: 110 180 x/menit, RR : 30 - 60 x/mnt, Suhu : 36 - 370C ± 0,50C)
6. Pertumbuhan dan perkembangan anak optimal dengan kriteria hasil:
 Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan
tinggi badan
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, 3 th ed. Jakarta : EGC.

http://www.totalkesehatananda.com/gerd8.html (akses: 17 april 2011)

http://ilmubedah.info/gastro-esofageal-refluks-disease-gerd-20110214.html (akses: 17 April


2011)

http://www.bantalkesehatan.com/index.php?
option=com_content&view=article&catid=77:kumpulan-artikel&id=71:nyeri-ulu-hati-tak-
sembuh-waspadai-gejala-gerd&Itemid=37 (akses: 17 April 2011)

http://storiku.wordpress.com/2010/04/25/gastroesophageal-refluks-disease-gerd/ (akses: 17
April 2011)

J. Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Wilkinson, J.M, 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai