SKLERITIS
Pembimbing:
dr. Mustafa K. Shahab, Sp.M
dr. Agah Gadjali, Sp.M
dr. Henry A.W., Sp.M
dr. Hermansyah, Sp.M
dr. Gartati Ismail, Sp.M
Disusun oleh:
Salam Sejahtera
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan pertolonganNya kami dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun
untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagi CoAss Universitas Pelita Harapan
yang sedang menjalani program kepaniteraan klinik di departemen mata Rumah Sakit
Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto.
Dalam referat ini akan dibahas secara menyeluruh mengenai skleritis. Adapun
referat ini menggunakan berbagai sumber kepustakaan, baik dari buku maupun jurnal
dan artikel yang diunduh dari internet. Penulis sangat berharap referat ini dapat
memenuhi kebutuhan pembaca dan memberikan manfaat berupa pengetahuan baru
bagi pembaca yang budiman.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada para pembimbing, yaitu
dr. Agah Gadjali, Sp.M, dr. Henry A.W., Sp.M, dr. Hermansyah, Sp.M, dr. Gartati
Ismail, Sp.M, dan dr. Mustafa K.S, Sp.M, yang telah banyak memberikan arahan dan
masukan yang berarti.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki
banyak keterbatasan. Oleh sebab itu kami menerima dengan senang hati segala kritik
dan saran yang membangun demi kepentingan kita bersama. Akhir kata semoga
referat ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian. Kiranya Tuhan
memberkati kita semua.
Penyusun
i
Daftar Isi
Kata Pengantar ................................................................................................................i
Daftar Isi ....................................................................................................................... ii
Pendahuluan ................................................................................................................... 1
Pembahasan
I. Anatomi dan Fisiologi Sklera ..................................................................................... 2
II. Etiologi ...................................................................................................................... 3
III. Patofisiologi ............................................................................................................. 5
IV. Klasifikasi ................................................................................................................ 6
V. Diagnosis ................................................................................................................... 9
VI. Diagnosa Banding .................................................................................................. 11
VII. Penatalaksanaan.................................................................................................... 13
VIII. Komplikasi .......................................................................................................... 19
IX. Prognosis................................................................................................................ 19
Kesimpulan .................................................................................................................. 20
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 21
ii
Pendahuluan
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini
terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga
dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan
suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit autoimun.
Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika
Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang
ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis
posterior.11 Skleritis lebih sering dijumpai pada wanita, pada umumnya sekitar umur
20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral.2
Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri
berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat
membangunkan dari tidur akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata
dan penekanan pada bulbus okuli juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa
nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi
pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing
di dalam mata.3 Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan penurunan
tajam penglihatan.
Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs. Bisa diberikan
Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen 600 mg setiap hari. Kebanyakan kasus
menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan pemberian NSAIDs ini.
Apabila terapi ini tidak menunjukkan respon yang baik selama 1-2 minggu, dapat
diberikan Prednison oral 0,5-1,5 mg/kg/hari. Pada kasus yang berat terkadang
diperlukan Metilprednisolon 1 gram intravena. Apabila mikroorganisme penyebab
telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan antibiotik spesifik.
Dalam referat ini akan dibahas secara menyeluruh mengenai skleritis. Adapun
referat ini dibuat sebagai syarat kelulusan dalam kepaniteraan klinik ilmu penyakit
mata Rumah Sakit Bhayangkara tingkat I Raden Said Sukanto.
1
I. Anatomi dan Fisiologi Sklera
Sklera, yang lebih dikenal sebagai bagian putih dari mata, adalah jaringan
terkeras dari mata. Sklera bersambung pada bagian depan dengan sebuah jendela
membran yang bening, yaitu kornea. Pada sklera juga terdapat konjungtiva untuk
menjaga kelembapan mata. Sklera terdiri dari jaringan fibrosa dengan ketebalan 10 –
14 mikron, dan kaya akan serat elastik serta mengandung otot halus.9 Sklera berfungsi
untuk melindungi struktur bola mata yang halus dan tempat melekatnya otot bola
mata.
Sklera tertipis terletak pada insersio dari otot rektus, yaitu 0.3 mm. Pada garis
ekuator ketebalan sklera sekitar 0.4 – 0.5 mm dan pada bagian posterior mencapai 1
mm. Perbedaan ketebalan sklera ini relevan terhadap daerah yang rentan tersobek
karena trauma. Trauma tumpul cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya,
yaitu di belakang insersio otot rektus.6
Saraf optik tertempel pada sklera di bagian belakang mata. Sklera membentuk
lengkungan untuk membuat jalan untuk saraf optik, yang disebut sebagai lamina
kribosa. Selain itu ada juga beberapa jalur lain yang desebut sebagai emissaria. Pada
sekitar saraf optik terdapat jalur yang dilewati oleh arteri dan saraf siliar posterior.
Sekitar 4 mm posterior dari ekuator terdapat jalan untuk vena vorteks. Pada bagian
2
anterior terdapat jalan untuk pembuluh darah siliaris anterior yang memperdarahi otot
rektus.6
Gambar 2. Sklera
(Sumber: http://www.thirdeyehealth.com/images/sclera-1.jpg)
II. Etiologi
Rheumatoid arthritis
Systemic lupus erythematosus
Ankylosing spondylitis
Reactive arthritis
Psoriatic arthritis
Gouty arthritis
Inflammatory bowel diseases
Relapsing polychondritis
Polymyositis
Sjögren syndrome
Mixed connective tissue disease
Progressive systemic sclerosis
3
o Penyakit vaskulitik, antara lain:14
Polyarteritis nodosa
Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome
Wegener’s granulomatosis
Behçet disease
Giant cell arteritis
Cogan syndrome
II. Infeksi dan Granulomatosa (7%)1
o Tuberkulosis
o Sifilis
o Sarkoidosis
o Toksoplasmosis
o Herpes simpleks
o Herpes zoster
o Infeksi Pseudomonas
o Infeksi Streptokokus
o Infeksi Stafilokokus
o Aspergilosis
o Leprosi
III. Lain-lain (2%)
o Atopi
o Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan
(pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).15
IV. Idiopatik
4
III. Patofisiologi
Gambar 3. Skleritis
(Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm)
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan
endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang
mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon
granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).10
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal
(reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan
menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG
yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan
juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk
reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara
5
umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan
pembentukan kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi
utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan
permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui
FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan
isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement
sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam lokasi
seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III
adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.16
IV. Klasifikasi
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari
skleritis anterior adalah:11
6
1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada
seluruh permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul
radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior.
Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit
sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada
sklera terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai
sklerokeratitis.
4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien
yang sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh
pembentukan nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai
skleromalasia perforans.
7
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah
resolusi dari nodul
(Sumber: http://www.nature.com/eye/journal/v21/n2/images/6702524f1.jpg)
Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini
jarang terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis.2
Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata
8
(koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai
penglepasan retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.3
V. Diagnosis
5.1 Anamnesis
Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami
pasien. Pasien dengan necrotizing anterior scleritis with inflammation akan
mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai tajam penglihatan yang menurun, bahkan
dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien dengan non-necrotizing scleritis
biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi komplikasi seperti uveitis. Rasa
nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat
menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada
malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya.
9
o Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau
segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior
scleritis.
o Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral
bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut
posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena
adanya edema pada sklera dan episklera.
o Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai
jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan
episklera.
o Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area
avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus.
o Pemeriksaan kelopak mata untuk kemungkinan blefaritis atau
konjungtivitis juga dapat dilakukan.
Pemeriksaan skleritis posterior11
o Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan
proptosis.
o Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior.
Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal.
o Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan
koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.17
10
8. B-Scan Ultrasonography dapat membantu mendeteksi adanya skleritis
posterior.5
(Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865-overview#a30)
o Episkleritis
Episkleritis adalah reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak antara
konjungtiva dan permukaan sklera.4 Episkleritis dapat merupakan suatu reaksi
toksik, alergik, bagian dari infeksi, serta dapat juga terjadi secara spontan dan
idiopatik. Episkleritis umumnya mengenai satu mata, terutama pada wanita usia
pertengahan dengan riwayat penyakit reumatik. Episkleritis sering tampak seperti
skleritis. Namun, pada episkleritis proses peradangan dan eritema hanya terjadi
pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Episkleritis
mempunyai onset yang lebih akut dan gejala yang lebih ringan dibandingkan
dengan skleritis. Selain itu episkleritis tidak menimbulkan turunnya tajam
penglihatan.
11
Gambar 8. Episkleritis
(Sumber: http://www.acuitypro.com/images/Episcler.jpg)
Keluhan pasien episkleritis berupa mata kering, rasa nyeri ringan, dan rasa
mengganjal. Terdapat pula konjungtiva yang kemotik. Bentuk radang pada
episkleritis mempunyai gambaran benjolan setempat dengan batas tegas dan
warna merah ungu di bawah konjungtiva. Bila benjolan ini ditekan dengan kapas
atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, maka akan timbul rasa sakit yang
dapat menjalar ke sekitar mata. Terlihat mata merah satu sektor yang disebabkan
melebarnya pembuluh darah di bawah konjungtiva. Pembuluh darah episklera ini
dapat mengecil bila diberi fenilefrin 2,5% topikal. Sedangkan pada skleritis,
melebarnya pembuluh darah sklera tidak dapat mengecil bila diberi fenilefrin
2,5% topikal.
12
Gambar 10. Pelebaran pembuluh darah episklera yang mengecil dengan pemberian
fenilefrin 2,5% topikal.
VII. Penatalaksanaan
13
Jika oral kortikosteroid gagal, obat – obatan imunosupresif
dapat digunakan. Methotrexate adalah obat pilihan pertama,
tapi dapat juga digunakan azathioprine, mycophenolate,
mofetil, cyclophosphamide, atau cyclosporine. Untuk pasien
dengan Wegener’s granulomatosis atau polyarteritis nodosa,
cyclophosphamide adalah pilihan utama.
Jika masih gagal, dapat diberikan obat – obatan
imunomodulator seperti infliximab atau adalimumab yang
diharapkan dapat efektif.
o Necrotizing scleritis
Obat – obatan imunosupresif ditambahkan dengan
kortikosteroid pada bulan pertama, kemudian jika mungkin
dikurangi perlahan – lahan.
Jika gagal, pengobatan imunomodulator dapat digunakan.
Injeksi steroid periokular tidak boleh dilakukan karena dapat
memperparah proses nekrosis yang terjadi.
2. Pengobatan untuk skleritis yang infeksius. Pengobatan sistemik dengan atau
tanpa antimikrobial topikal dapat digunakan. Sementara kortikosteroid dan
imunosupresif tidak boleh digunakan.
3. Konsultasi. Dapat dilakukan kepada ahli penyakit dalam untuk penyakit
penyerta, dan konsultasi dengan spesialis hematologi atau onkologi untuk
pengawasan terapi imunosupresif.
Obat ini digunakan untuk menurunkan rasa nyeri dan peradangan. NSAIDs
bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin, menghalangi
perjalanan dari lekosit, dan menghambat fosfodiesterase.
Pemberian:
Minum pada waktu yang bersamaan dengan makanan atau dengan air untuk
menghindari gangguan pada saluran pencernaan.
14
1. Indometasin (Indocin)
Sering dianggap sebagai obat pilihan pertama. Indometasin dapat dengan cepat
diserap. Metabolisme terjadi di hati dengan demetilasi, deasetilasi, dan
konjugasi glukuronid.
Pemberian pada lansia harus diawasi fungsi ginjal, Penurunan fungsi ginjal
lebih mungkin terjadi usia lanjut. Dosis/frekuensi terendah disarankan.
2. Diflunisal (Dolobid)
Naproxen diserap dengan cepat dan memiliki paruh waktu sekitar 12 – 15 jam.
Obat yang berikatan kuat dengan protein dan siap diserap secara oral.
15
Memiliki paruh waktu yang singkat (1.8-2.6 jam).
5. Sulindac (Clinoril)
Gunakan dosis terendah yang paling efektif untuk jangka waktu terpendek.
6. Piroxicam (Feldene)
B. Agen Imunosupresan
16
Peningkatan sampai respon optimum; tidak melebihi dosis tunggal dari 20 mg
(meningkatkan resiko supresi sum –sum tulang). Kurangi sampai serendah
mungkin. Kurangi sampai dosis efektif terendah dengan waktu istirahat
terpanjang
Pemberian IV:
Dosis tunggal: 40-50 mg/kg dibagi selama 2-5 hari; dapat diulangi dalam
interval 2-4 minggu
Dosis setiap hari: 1-2.5 mg/kg/hari
Pemberian oral:
Dosis : 400-1000 mg/sq.meter dibagi selama 4-5 hari sebagai terapi intermiten
Terapi berulang: 50-100 mg/sq.meter/hari
Pemberian:
Awasi: Hitung sel darah (Sel darah putih dapat menurun sampai 2000-
3000/cu.mm tanpa resiko serius terkena infeksi)
3. Azathioprine (Imuran)
Dosis awal: 1 mg/kg IV/PO setap hari atau dipisah 2 kali sehari, dapat
ditingkatkan seperti berikut:
17
Sebesar 0.5 mg/kg/hari setelah 6-8 minggu, kemudian sebesar 0.5 mg/kg/hari
setiap 4 minggu, tidak melebihi 2.5 mg/kg/hari.
Pengawasan: Kurangi dosis sebanyak 0.5 mg/kg setiap 4 minggu sampai dosis
efektif terendah tercapai
4. Cyclosporine (Neoral)
Siklik polipeptida yang menekan beberapa imun humoral dan reaksi imun
yang dilakukan sel, seperti hipersensitifitas tipe lambat dan penolakan
cangkok.
Dosis: 2.5 mg/kg/hari dibagi 2 kali sehari PO kurang lebih 8 minggu, Dapat
ditambah menjadi tidak lebih dari 4 mg/kg/hari
C. Glukokortikoid
Untuk efek jangka panjang, berikan dosis oral 7 kali setiap harinya IM setiap
minggu.
18
2. Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred)
VIII. Komplikasi
IX. Prognosis
19
Kesimpulan
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Skleritis merupakan
penyakit yang jarang terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit
sistemik, yaitu penyakit autoimun dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara
idiopatik. Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa
nyeri berat yang dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Selain itu terdapat pula mata
merah berair, fotofobia, dan penurunan tajam penglihatan.
20
Daftar Pustaka
21
12. Smolin, Gilbert et al. Smolin and Thoft’s The Cornea : Scientific Foundations
and Clinical Practice. Edisi ke – 4. Philadelphia: LIPPINCOTT WILLIAMS
& WILKIN; 2005.
13. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with
rheumatoid arthritis and with other systemic immune-mediated diseases.
Ophthalmology. 1994.
14. Sainz de la Maza M, Foster CS, Jabbur NS. Scleritis associated with systemic
vasculitic diseases. Ophthalmology. 1995.
15. French DD, Margo CE. Postmarketing surveillance rates of uveitis and
scleritis with bisphosphonates among a national veteran cohort. Retina. 2008.
17. Thill M, Richard G. Giant pigment epithelial tear and retinal detachment in a
patient with scleritis. Retina. Jul-Aug 2005;25(5):667-8. [Medline].
22