Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN
Mata merupakan organ tubuh yang penting dan berfungsi sebagai media
pengelihatan. Agar dapat melihat, mata harus menangkap pola pencahayaan di
lingkungan sebagai suatu bayangan optis di suatu lapisan sel yang peka terhadap
sinar, yaitu retina, seperti kamera non-digital menangkap bayangan pada film. Mirip
dengan film yang dapat diproses menjadi salinan visual dari bayangan asli, citra yang
tersandi di retina disalurkan melalui serangkaian tahap pemrosesan visual hingga
akhirnya secara sadar dipersepsikan sebagai kemiripan visual dari bayangan asli.
Saraf optik merupakan saraf otak kedua atau Nervus II yang meneruskan
rangsangan pengelihatan dari retina ke otak. Serabut saraf dari retina berjalan dalam
saraf optik masuk ke korteks visual primer. Saraf optik terdiri atas 1,2 juta akson
serabut saraf yang berasal dari 100 juta fotoreseptor di retina. Apabila terjadi kelainan
pada saraf optik ini, tentu saja akan terjadi gangguan dari pengelihatan. Kelainan
pada saraf optik dapat terjadi pada retina, papil saraf optik, kiasma optik, traktus
optik, dan nucleus ganglion genikulatum. Kelainan-kelainan pada saraf optik antara
lain neuropati optik, neuritis optik, iskemik optik neuropati, defisiensi optik
neuropati, neurorenitis, papil edema, dan pseupapil edema.
Neuritis optik merupakan peradangan saraf optik yang dapat terjadi di dalam
mata (papillitis) atau luar bola mata (neuritis retrobulbar). Pada papilitis akut sering
terjadi kehilangan pengelihatan dengan cepat dan pembengkakan dari diskus optikus.
Neuritis optik sangat berkaitan dengan sklerosis multipel (peradangan yang terjadi
pada otak dan sumsum tulang belakang). Neuritis optik merupakan keadaan saraf
optik yang degeneratif. Terdapat banyak penyebab dari neuritis optik, namun yang
tersering merupakan penyakit demielinatif. Gejala tersering yang dirasakan antara
lain nyeri dan hilangnya pengelihatan secara akut dan biasanya hanya mengenai
mata. Tanpa terapi, ada kemungkinan neuritis optik ini akan sembuh dengan
sendirinya dalam 4 hingga 12 hari.

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan
penulis dan pembaca mengenai kasus papillitis pada mata serta mengetahui secara
rinci langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis dan memberikan terapi pada
pasien tersebut. Poin-poin tersebut akan dijelaskan lebih rinci pada bab selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi dan Epidemiologi


Neuritis optik dikenal juga dengan sebutan neuropati optik inflamatorik

merupakan suatu peradangan yang terjadi pada saraf optik. 2 Peradangan yang terjadi
pada saraf optik ini dapat terjadi di luar maupun di dalam bola mata. Peradangan saraf
optik yang terjadi di dalam bola mata disebut dengan papilitis, sedangkan peradangan
saraf optik yang terjadi di belakang bola mata disebut dengan neuritis retrobulbar.
Neuritis retrobulbar adalah suatu neuritis optik yang terjadi cukup jauh dibelakang
diskus optikus sehingga diskus optikus tetap normal selama episode akut. 3 Pada
neuritis retrobulbar tidak terdapat kelainan pada papil saraf optik.2 Papilitis adalah
edema diskus yang disebabkan oleh peradangan pada caput nervi optiki (nervus
optikus intraocular). Hilangnya penglihatan merupakan gejala utama dari neuritis
optik dan secara khusus berguna untuk membedakan papilitis dengan papilledema. 3
Papilitis akut ditandai dengan kehilangan pengelihatan dalam 2 hingga 3 hari.
Secara epidemiologi, papilitis akut paling sering terjadi pada usia 30 hingga 50 tahun,
namun bisa saja terjadi pada usia 5 hingga 60 tahun. Biasanya papilitis akut hanya
terjadi pada satu mata atau unilateral, namun terdapat kemungkinan mata yang
satunya lagi bisa terkena juga. Papilitis akut merupakan salah satu penyebab dari
pembengkakan diskus optikus.
2.2

Etiologi
Neuritis optik dapat disebabkan oleh banyak hal, namun yang tersering adalah

penyakit demielinatif. Penyebab lain dari neuritis optik antara lain diperantarai-imun,
infeksi langsung, neuropati optik granulomatosa, penyakit peradangan sekitar,
gangguan vaskular, imbalans nutrisi dan metabolic, herediter, reaksi toksik, trauma,
dan efek samping dari obat-obatan. Penyakit demielinatif yang dapat menyebabkan

neuritis optik antara lain sclerosis multiple, neuromielitis optika (penyakit Devic) dan
idiopatik. Penyebab neuritis optik yang diperantarai-imun antara lain neuritis optik
pasca infeksi virus (mumps, morbili), pasca imunisasi, ensefalomielitis diseminata
akut, polineuropati idiopatik akut, lupus eritematosus sistemik. Infeksi langsung yang
dapat menyebabkan neuritis optik antara lain infeksi herpes zoster, sifilis,
tuberculosis, crytococcosis, dan cytomegalovirus. Peradangan sekitar yang dapat
menyebabkan neuritis optik antara lain peradangan intraocular, penyakit orbita,
penyakit sinus dan penyakit intracranial. Gangguan vaskular yang dapat
menyebabkan neuritis optik antara lain arteritis temporal dan oklusi arteri retina
sentral. Penyakit herediter yang dapat menyebabkan neuritis optik adalah neuropatik
optik herediter Leber. Reaksi toksik yang dapat menyebabkan neuritis optik
diakibatkan oleh tembakau, methanol, kina, arsen dan salisilat.
2.3

Patofisiologi
Dasar patologi penyebab Neuritis optikus yang paling sering adalah

inflamasi demielinisasi dari saraf optik. Patologi yang terjadi sama dengan yang
terjadi pada multipel sklerosis (MS) akut, yaitu adanya plak di otak dengan
perivascular cuffing, edema pada selubung saraf yang bermielin, dan pemecahan
myelin (Behrman, 2014).
Inflamasi pada endotel pembuluh darah retina dapat mendahului demielinisasi
dan terkadang terlihat sebagai retinal vein sheathing.

Kehilangan mielin dapat

melebihi hilangnya akson.


Demielinisasi yang terjadi pada Neuritis optikus diperantarai oleh imun, tetapi
mekanisme spesifik dan antigen targetnya belum diketahui. Aktivasi sistemik sel T
diidentifikasi pada awal gejala dan mendahului perubahan yang terjadi didalam cairan
serebrospinal. Perubahan sistemik kembali menjadi normal mendahului perubahan
sentral (dalam 2-4 minggu). Aktivasi sel T menyebabkan pelepasan sitokin dan agenagen inflamasi yang lain. Aktivasi sel B melawan protein dasar mielin tidak terlihat di
darah perifer namun dapat terlihat di cairan serebrospinal pasien dengan Neuritis

optikus. Neuritis optikus juga berkaitan dengan kerentanan genetik, sama seperti MS.
Terdapat ekspresi tipe HLA tertentu diantara pasien Neuritis optikus.
2.4

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari papillitis terbagi menjadi dua yaitu akut dan kronik.

Pada manifestasi akut diawali dengan timbulnya gejala yang dirasakan pada satu mata
(monokular), kemudian pada mata yang lainnya baik secara simultan maupun
berlangsung cepat (Osborne, B, 2016). Manifestasi klinis tersebut antara lain adalah,
gejala nyeri yang dirasakan pada pasien. Nyeri ini biasa timbul saat pasien
menggerakan bola mata nya. Nyeri diikuti dengan adanya penurunan ketajaman
penglihatan. Penurunan tajam penglihatan ini dapat berlangsung dalam hitungan jam
maupun hari, dan memuncak dalam 1-2 minggu. Visus dapat mengurangi persepsi
cahaya dimana pasien mengeluh adanya pandangan kabur, kesulitan membaca,
adanya bintik buta, dan menurun atau hilangnya persepsi terhadap warna.
Selain menurunnya visus, gangguan lapangan pandang juga merupakan tipe
defek visual yang sering ditemukan. Karakteristik gangguan lapang pandang yang
sering ditemukan adalah skotomata sentral. Defek pupil aferen juga selalu terjadi
pada neuritis optic bila mata yang lain tidak ikut terlibat. Adanya defek pupil aferen
ini ditynjukkan dengan pemeriksaan swinging light test (Marcus-Gunn pupil). Yang
terakhir yaitu ditemukan pula perdarahan peripail yang menyertai papillitis karena
neuropati optik iskemik anterior (Morganda,R. 2014)
Pada manifestasi kronik, dapat terjadi kehilangan penglihatan secara persisten,
dan kebanyakan pasien mengalami perbaikan penglihatan dalam 1 tahun. Defek pupil
aferen relatif menetap pada beberapa pasien kira-kira dua tahun setelah gejala awal.
Desaturasi warna, terutama warna merah. Pasien dengan desaturasi warna merah akan
melihat warna merah sebagai pink, atau orange bila melihat dengan mata yang
terkena.

Fenomena Uhthoff yaitu terjadinya eksaserbasi temporer dari gangguan


penglihatan yang timbul dengan peningkatan suhu tubuh. Olahraga dan mandi dengan
air panas merupakan pencetus klasik. Diskus optik terlihat mengecil dan pucat,
terutama didaerah temporal. Pucatnya diskus meluas sampai batas diskus ke serat
retina peripapil.
2.5

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dalam penegakan diagnosis papillitis

adalah
1. Pemeriksaan CT(computerized tomography) orbita dan kepala, untuk mencari
penyebab neuritis optik pada kanal optik.
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging), untuk melihat nervus optikus dan korteks
serebri. Hal ini dilakukan terutama pada kasus-kasus yang diduga terdapat sklerosis
multiple
3. Pungsi lumbal dan pemeriksaan darah, Dilakukan untuk melihat adanya proses
infeksi atau inflamasi.

2.6

Diagnosis
Diagnosis papillitis dapat ditegakkan melalui temuan-temuan yang didapatkan

dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis,


pasien mengeluhkan hilang atau kaburnya penglihatan, yang biasanya unilateral dan
memburuk dalam hitungan hari maupun minggu. Pasien juga biasanya mengeluhkan
kesulitan membaca, adanya bintik buta, perbedaan subyektif terhadap terangnya
cahaya, persepsi warna yang terganggu. Perlu diketahui juga apakah hilangnya
penglihatan dirasakan secara akut atau bertahap. Pada anak, biasanya gejala
penurunan ketajaman penglihatan mendadak mengenai kedua mata, sedangkan pada
orang dewasa seringkali unilateral.

Riwayat yang khas juga dirasakan yaitu apakah terdapat nyeri oribital saat
bola mata digerakkan. Selain itu apakah pasien merasakan kehilangan terhadap
persepsi warna. Perlu ditanyakan juga apakah gejala yang timbul semakin berat
dengan adanya aktivitas. Melalui anamnesis pula ditanyakan apakah pasien memiliki
riwayat terinfeksi virus seperti infeksi saluran pernapasan, gastrointestinal, dan
lainnya. Perlu juga ditanyakan apakah terdapat gejala fokal neurologis seperti mati
rasa atau numbness dan kesemutan pada ekstremitas.
Pada

pemeriksaan

fisik,

dilakukan

pemeriksaan

tajam

penglihatan.

Didapatkan penurunan visus yang bervariasi, dari ringan sampai kehilangan


penglihatan total.
Hilangnya visus dapat :

ringan ( 20 / 30)
sedang ( 20 / 60)
maupun berat ( 20 / 70)
Uji konfrontasi untuk melihat ada tidaknya defek lapang pandang. Tipe-tipe

gangguan lapang pandang dapat berupa: skotoma sentrosekal, kerusakan gelendong


saraf parasentral, kerusakan gelendong saraf yang meluas ke perifer, kerusakan
gelendong saraf yang melibatkan fiksasi dan perifer saja.
Selan itu pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan buta warna (ishihara). Jika
ada biasanya gangguan terjadi pada penglihatan warna merah. Pemeriksaan
funduskopi dilakukan untuk melihat apakah adanya pembengkakan atau perdarahan
pada retina atau saraf optik (Morganda,R. 2014).
2.7

Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada papillitis atau neuritis optik adalah neuropati optik.

Perbandingannya adalah pada neuropati optik gejala visusnya adalah defek akut
lapangan pandang terutama altitudinal. Tidak ditemukan gejala nyeri pada bola mata
saat digerakkan maupun nyeri pada daerah orbita.

Diagnosis banding lainnya adalah Ischemic Optic Neuropathy (ION), dimana


gejala penyakit ini juga hilangnya ketajaman penglihatan secara mendadak. Tidak
ditemukan gejala nyeri pada orbita maupun saat bola mata digerakkan. Defek lapang
pandang biasanya

pada bagian inferior altitudinal.

Gambaran funduskopi

menunjukkan adanya pembengkakan saraf optik yang berwarna pucat.


Selain itu papillitis juga dapat dibandingkan dengan diagnosis Acute
papilledema. Perbedaan yang khas adalah pada penyakit ini ketajaman penglihatan
dan persepsi warna normal, kecuali apabila ditemukan edema pada makula. Selain itu
juga tidak ditemukan adanya rasa nyeri pada pergerakkan bola mata. Pada uji lapang
pandang sering ditemukan titik buta yang lebih lebar.
2.8

Penatalaksanaan
Pasien tanpa riwayat Multiple Sclerosis atau Neuritis optikus :
1. Dari hasil MRI bila terdapat minimum 1 lesi demielinasi tipikal :
Regimen selama 2 minggu :
a. 3 hari pertama diberikan Methylprednisolone 1kg/kg/hari i.v
b. 11 hari setelahnya dilanjutkan dengan Prednisolone 1mg/kg/hari oral
c. Tappering off dengan cara 20 mg prednisone oral untuk hari pertama
( hari ke 15 sejak pemberian obat ) dan 10 mg prednisone oral pada
hari ke 2 sampai ke 4
d. Dapat diberikan Ranitidine 150 mg oral untuk profilaksis gastritis
Menurut Neuritis optikus Treatment Trial (ONTT) pengobatan dengan steroid
dapat menurunkan progresivitas Multiple sclerosis selama 3 tahun. Terapi
steroid hanya mempercepatkan pemulihan visual tapi tidak meningkatkan
hasil pemulihan pandangan visual.
2. Dari hasil MRI bila 2 atau lebih lesi demielinasi :

a. Menggunakan regimen yang sama dengan yang di atas


b. Merujukan pasien ke spesialis neurologi untuk terapi interferon -1
selama 28 hari
c. Tidak menggunakan oral prednisolone sebagai terapi primer karena
dapat meningkatkan resiko rekuren atau kekambuhan

3. Dengan tidak ada lesi demielinasi dari hasil MRI :


a. Risiko terjadi MS rendah, kemungkinan terjadi sekitar 22% setelah 10
tahun kemudian
b. Intravena steroid dapat digunakan untuk mempercepatkan pemulihan
visual
c. Biasanya tidak dianjurkan untuk terapi kecuali muncul gangguan visual
pada mata kontralateral
d. MRI lagi dalam 1 tahun kemudian

Pasien dengan riwayat Multiple sclerosis atau Neuritis optikus :


1. Observasi
2. Memeriksa pasien pada minggu ke 4-6 setelah muncul gejala dan pemeriksaan
ulang tiap 3-6 bulan kemudian
3. Pasien yang berisiko tinggi MS atau demielinisasi sistem saraf pusat dari hasil
MRI sebaiknya dirujuk ke spesialis neurologi untuk evaluasi dan terapi
lanjutan.

2.9

Komplikasi dan Prognosis


Tanpa terapi, penglihatan mulai membaik setelah 2-3 minggu sejak

timbulnya gejala, kadang-kadang dapat membaik dalam beberapa hari. Perbaikan


visus biasanya terjadi perlahan hingga beberapa bulan. Visus yang buruk sewaktu
episode akut biasanya akan menunjukkan hasil perbaikan.

10

Menurut Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT), 38% akan berkembang


menjadi multiple sclerosis dalam 10 tahun setelah episode pertama idiopathic
demyelinative optic neuritis, 22% pada pasien dengan hasil MRI otak yang normal
dan 56% pada lesi matter putih (Riordan, et al, 2007).
Setiap kekambuhan akan menyebabkan pemulihan yang tidak sempurna dan
memperburuk penglihatan.

11

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

Identitas Pasien

Nama

: IWAP

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir

: 15 Januari 2006

Umur

: 10 tahun

Alamat

: Br. Kengetan Singakerta Ubud, Gianyar, Bali

Agama

: Hindu

Suku

: Bali

Kewarganegaraan

: Indonesia

Pekerjaan

: Dibawah Umur

Status

: Belum Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 7 Maret 2016


3.2

Anamnesis

Keluhan utama
Kedua mata kabur
Autoanamnesa
Pasien datang ke poliklinik Mata RSUP Sanglah pada tanggal 6 Februari 2016
dengan keluhan kedua mata kabur. Keluhan kedua mata kabur sudah dirasakan sejak
2 hari sebelum MRS. Mata kabur dikatakan muncul mendadak setelah pasien
bermain-main di halaman rumahnya dengan mata sebelah kanan terlebih dahulu
dirasakan kabur. Besoknya mata kiri dirasakan kabur juga. Mata kabur yang
dirasakan membuatkan pasien tidak dapat membaca dan tidak dapat melakukan
aktivitas secara mandiri. Namun, pada saat ini pasien masih dapat bersekolah seperti
biasa tetapi dipantau oleh orang tua. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri di bola
matanya terutama apabila digerakkan. Keluhan-keluhan seperti keluhan mata berair
dan mata merah disangkal oleh ibu pasien.

12

Riwayat penyakit sebelumnya, ibu pasien mengaku pasien pernah rawat inap
karena penyakit demam berdarah sekitar 1 bulan yang lalu. Ibu pasien mengatakan
pesien belum pernah mengalami penyakit mata sebelumnya. Riwayat penyakit
sistemik seperti hipertensi, kencing manis, dan penyakit jantung disangkal oleh ibu
pasien. Riwayat trauma juga disangkal. Riwayat alergi dan penggunaan kaca mata
maupun lensa kontak juga disangkal oleh ibu pasien. Riwayat pengobatan
sebelumnya, ibu pasien mengatakan pasien mengkonsumsi obat antasida tablet, Ca
laktat tablet, vitamin B komplek dan prednison.
Riwayat penyakit keluarga, dikatakan pada keluarga pasien tidak ada anggota
keluarga yang menderita keluhan yang serupa. Riwayat penyakit mata dan sistemik
lainnya disangkal oleh ibu pasien. Riwayat sosial, pasien merupakan anak kedua dari
dua bersaudara. Pasien masih duduk di bangku sekolah dasar. Pasien dijemput dan
diantar ke sekolah oleh orang tuanya setiap hari.
Pemeriksaan Fisik
Status Present
Kesan umum :

Baik

Kesadaran

Compos Mentis

GCS

E4V5M6

Tekanan darah :

120/80 mmHg

Nadi

84x/menit, regular, isi cukup

Laju respirasi :

20x/menit, regular

Suhu aksila

36,50C

Status Generalis
Mata

: dijelaskan pada status ophthalmology

THT

: kesan tenang

Mulut

: sianosis (-)

Leher

: pembesaran kelenjar (-)

13

Thoraks

:simetris (+)

Cor

: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo

:vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen

:distensi (-), bising usus (+) normal

Ekstremitas

: hangat

+ +

edema

+ +

Status Ophthalmology
OD

OS

6/9

Visus

6/12

Normal

Palpebra

Normal

Tenang

Konjungtiva

Tenang

Jernih

Kornea

Jernih

Dalam

Bilik mata depan

Dalam

Bulat, regular

Iris

Bulat, regular

Middilatasi, RP (+),
RAPD (-)

Pupil

Middilatasi, RP (+),
RAPD (-)

Jernih

Lensa

Jernih

Jernih

Vitreous

Jernih

Papil batas tidak tegas,


CDR cbe, hiperemis,
aa/vv 2/3 vena turtuos.

Papil batas tidak tegas,


Funduskopi

Retina baik, RM (+)


N/P

CDR cbe, hiperemis,


aa/vv 2/3 vena turtuos.
Retina baik, RM (+)

TIO

N/P

14

Gambar 3.1. Tampilan kedua mata pasien


3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada indikasi sehingga tidak dilakukan.
3.4 Diagnosis Kerja
ODS optic disc swelling ec papilitis
3.5 Penatalaksanaan
a) Medikamentosa
Methyl prednisolon inj 4 x 125mg
Vitamin B complex 1 x 1 tab
Antasida syrup 3 x tab
Kalc 1 x tab
b) Perancangan diagnostik
Pro MRI
Cek lab (ANA, IgG, IgM anti toxo, CMV)
c) KIE
Hindari mata dari paparan debu
d) Monitoring
Kontrol 7 hari lagi

15

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis dengan ODS optic disc swelling ec papilitis karena dari
anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluhkan kedua matanya kabur secara
mendadak dengan mata kanan mulai kabur terlebih dahulu disertai mata sebelah kiri
pada esok harinya. Mata kabur yang dirasakan membuatkan pasien tidak dapat
membaca dan tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri. Hal ini sudah sesuai
dengan literatur yaitu salah satu keluhan yang dialami oleh pasien dengan Papilitis
adalah pandangan kabur mendadak pada satu mata (monocular) kemudian pada mata
lainnnya yang berlangsung secara simultan maupun berlangsung cepat.
Selanjutnya, pasien juga mengeluhkan adanya rasa nyeri pada kedua mata
terutama apabila digerakkan tetapi tidak disertai dengan keluhan mata merah dan
mata berair serta pandangan menjadi silau. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa keluhan nyeri dirasakan pada hampir sembilan puluh persentase
pasien, diikuti dengan adanya penurunan ketajaman penglihatan yang dapat
berlangsung dalam hitungan jam maupun hari, dan memuncak dalam 1-2 minggu. Hal
ini dikatakan karena proses pembentukan kelenjar myelin dan proliferasi saluran
natrium di segmental-segmental saraf telah dimulai dan dapat bertahan lebih dari dua
tahun. (Jose Perez-Cambrodi, 2014)
Pada riwayat sosial, pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien
masih di bangku sekolah dasar serta dijemput dan diantar ke sekolah oleh orang
tuanya setiap hari. Selalunya neuritis optik terjadi setelah infeksi viral, di mana anakanak lebih rentan terkena infeksi.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa visus menurun pada kedua mata
sedangkan palpebra, konjungtiva, kornea, bilik mata depan dan iris dalam batas
normal. Namun, terdapat middilatasi pada pupil di mata kanan dan kiri pasien.
Relative afferent papillary defect (RAPD) tidak ditemukan di kedua-dua mata pasien.
Pada pemeriksaan funduskopi, ditemukan pada kedua-dua mata pasien papil batas
tidak tegas, CDR cbe hiperemis, aa/vv 2/3 vena turtous. Retina dalam kondisi yang

16

baik dan reflek makula (+) pada kedua mata pasien. Hal ini sudah sesuai dengan
literatur yang menyebutkan bahwa pada kasus papilitis disertai dengan penurunan
tajam penglihatan, adanya defek pupil aferen yaitu pupil berdilatasi karena tidak
adanya dorongan aferen pada refleks cahaya, serta perdarahan peripapil. Terapi yang
diberikan kepada pasien terdiri atas terapi medikamentosa dan juga edukasi. Terapi
medika mentosa yang diberikan terdiri atas: Methyl prednisolon inj 4 x 125mg untuk
menurunkan progresivitas Multiple Sclerosis selama 3 tahun. Terapi steroid hanya
mempercepatkan pemulihan visual tapi tidak meningkatkan hasil pemulihan
pandangan visual. Vitamin B complex 1 x 1 tab untuk memperbaiki nutrisi pada
saluran neuron optik, Antasida syrup 3 x tab untuk profilaksis gastritis dan Kalc 1 x
tab. Hal ini sudah sesuai dengan literature yang menyebutkan bahwa menurut
neuritis optikus Treatment Trial (ONTT), pengobatan dengan steroid bertujuan untuk
menurunkan progresivitas Multiple Sclerosis selama 3 tahun. Selanjutnya pengobatan
buat anak-anak adalah dengan mengobservasi jika terdapat keluhan yang memburuk.
Pasien juga diedukasi untuk menghindari paparan debu untuk mencegah perburukan
dari bagian mata lainnya. Pasien juga diminta untuk kontrol 7 hari kemudian untuk
mengevaluasi kembali keluhan pasien. Hal ini sudah sesuai dengan literature yang
menyatakan bahwa dengan terapi yang adekuat, neuritis optikus pada anak-anak akan
sembuh sepenuhnya.

17

BAB V
KESIMPULAN
Neuritis optik merupakan peradangan saraf optik yang dapat terjadi di dalam
mata (papillitis) atau luar bola mata (neuritis retrobulbar). Pada papilitis akut sering
terjadi kehilangan pengelihatan dengan cepat dan pembengkakan dari diskus optikus.
Neuritis optik sangat berkaitan dengan sklerosis multipel (peradangan yang terjadi
pada otak dan sumsum tulang belakang). Pasien didiagnosis dengan ODS optic disc
swelling ec papilitis karena pasien mengeluhkan kedua matanya kabur secara
mendadak dengan mata kanan mulai kabur terlebih dahulu disertai mata sebelah kiri
pada esok harinya. Mata kabur yang dirasakan membuatkan pasien tidak dapat
membaca dan tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri. Pasien juga
mengeluhkan nyeri di bola matanya terutama apabila digerakkan.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa visus menurun pada kedua mata
dan terdapat middilatasi pada pupil di mata kanan dan kiri pasien. Relative afferent
papillary defect (RAPD) tidak ditemukan di kedua-dua mata pasien. Pada pasien ini
direncanakan pemeriksaan MRI untuk melihat nervus optikus dan korteks serebri
yang dilakukan terutama pada kasus-kasus yang diduga terdapat sklerosis multipel.
Terapi yang diberikan kepada pasien terdiri atas terapi medikamentosa dan
juga edukasi. Terapi medika mentosa yang diberikan terdiri atas: Methyl prednisolon
inj 4 x 125mg untuk menurunkan progresivitas Multiple Sclerosis selama 3 tahun.
Terapi steroid hanya mempercepatkan pemulihan visual tapi tidak meningkatkan hasil
pemulihan pandangan visual. Vitamin B complex 1 x 1 tab untuk memperbaiki nutrisi
pada saluran neuron optik, Antasida syrup 3 x tab untuk profilaksis gastritis dan
Kalc 1 x tab. Selanjutnya pengobatan buat anak-anak adalah dengan
mengobservasi jika terdapat keluhan yang memburuk. Pasien juga diedukasi untuk
menghindari paparan debu untuk mencegah perburukan dari bagian mata lainnya.

18

Pasien juga diminta untuk kontrol 7 hari kemudian untuk mengevaluasi kembali
keluhan pasien.

19

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, S. 2014. Optic Neuritis, Papillitis, and Neuronal Retinopathy. British
Journal of Ophthalmology, 48(4), pp.209-217.
Ilyas, Sidarta. 2014. Saraf Optik. Dalam: Ilyas S, penyunting. Ikhtisar Ilmu
Penyakit Mata, Edisi pertama. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, hal:
209-222
Jose Perez-Cambrodi, Rafael. 2014. Optic Neuritis in Pediatric Population : A
Review In Current Tendencies of Diagnosis and Management.
Journal of
Optometry. Hal : 125-130
Osborne, B. (2016). Optic neuritis: Pathophysiology, clinical features, and
diagnosis.
[online]
Uptodate.com.
Available
at:
http://www.uptodate.com/contents/optic-neuritis-pathophysiologyclinical-features-and-diagnosis [Diakses pada 9 Mar. 2016].
Riordan-Eva, Paul dan Hoyt, William F. 2007. Neuro-Oftalmologi. Dalam:
Vaughan Daniel G, Asbury Taylor, Eva Paul Riordan, penyunting.
Oftalmologi Umum, Edisi ke-17. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC,
hal: 262-308
R,

Margonda
(2014).
Optik
Neuritis.
[online]
Available
at:
http://academicjournalyarsi.ac.id [Diakses pada: 9 Mar. 2016].

Sherwood, Lauralee. 2012. Sistem Saraf Tepi: Divisi Aferen; Indra Khusus.
Dalam: Sherwood L, penyunting. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke
Sistem,
Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, hal: 210-231

Anda mungkin juga menyukai