BAB I
PENDAHULUAN
free flowing blood (arterio-venosus, tumor, atau lesi nonvaskuler) dan bermanfaat
untuk investigasi diagnostik lesi-lesi intraserebral lainnya (Yang, 1981). Karena itu,
penulis pada referat ini akan membahas mengenai gambaran-gambaran MRI yang ada
pada seseorang dengan abses serebri. Diharapkan hal ini dapat mempermudah dalam
penegakkan diagnosis dan menentukan lokasi abses pada otak pada abses serebri.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Abses serebri dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun
seringnya terjadi pada anak usia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses serebri
yaitu embolisasi oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas
atrioventrikuler (terutama tetralogy fallot), meningitis, otitis media kronis
dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp,
status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial.
Patogenesis abses serebri tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus (Plum,
Posner, Saper dan Schiff, 2007).
Di Indonesia belum ada data pasti mengenai kasus abses serebri,
namun di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus abses sereberi
per tahun. Prevalensinya sekitar 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah
penderita pria lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 2-3:1.
Menurut Britt, Richard dkk, penderita abses serebri lebih banyak dijumpai
pada pria daripada wanita dengan perbandingan 3:1 yang umumnya di usia
produktif (usia 20-50 tahun) (Dewanto dkk, 2007).
Pada hasil penelitian Hakin AA, terdapat 20 pasien abses serebri yang
terkumpul selama tahun 1984-1986 dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Jumlah penderita abses serebri lebih banyak pada laki-laki dibanding
perempuan (11:9) berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian
4
C. Etiologi
Sebagian besar abses serebri berasal langsung dari penyebaran infeksi
telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan
maxillaries) (Dewanto dkk, 2007).
Abses serebri dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari
infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektas, pneumonia),
endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit bawaan Tetralogi
Fallot (abses multiple, lokasi pada susbtansi putih dan abu dari jaringan
otak). Abses serebri yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya
sesuai dengan perederan darah yang didistribusi oleh arteri serebri media
terutama lobus parietal atau cerebellum dan batang otak (Dewanto dkk,
2007).
Abses dapat dijumpai pada penderita penyakit imunologik seperti
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang
dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Sekitar 20-37% penyebabnya
tidak diketahui. Penyebab abses serebri yang jarang dijumpai, osteomyelitis
tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septicemia.
Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus
otak (Plum, Posner dan Schiff, 2007).
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde
thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau
temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal dan terletak superfisial di otak
yang dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal menyebabkan abses
di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis
menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris
menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis
5
menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat
menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan
tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum
timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma yang menyebar ke
serebelum (Plum, Posner dan Schiff, 2007).
Bakteri penyebab abses serebri antara lain, Streptococcus aureus,
Streptococci (viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri anaerob
(bakteri kokus gram positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp, Prevotella
spp, Actinomyces spp dan Clostridium spp, basil aerob gram-negatif (enteric
rods, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter diversus dan
Haemophilus spp). Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba) dan fungus
(Actinomycosis, Candida albicans) dapat pula menimbulkan abses namun ini
jarang terjadi.
D. Patofisiologi
Abses serebri merupakan pathogen yang berkembang di dalam
parenkim otak, biasanya serebritis yang kemudian menyebar menjadi abses
serebral. Abses ini dapat terjadi akibat dari penyebaran perkontinuitatum dari
fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh
atau secara langsung seperti trauma kepala atau operasi kraniotomi. Abses
akibat penyebaran hematogen dapat mengenai setiap area otak namun sering
mengenai area pertemuan substansia alba dan grisea dan perkontinuitatum
biasanya di area dekat permukaan otak pada lobus tertentu (Harris, 2004).
Tahap awal abses serebri, terjadi reaksi peradangan yang difus pada
jaringan otak dengan infiltarsi leukosit yang disertai edem, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang disertai bintik perdarahan. Beberapa hari
hingga beberapa minggu akan terjadi nekrosis dan pencairan dari pusat lesi
sehingga terbentuk suatu rongga abses. Jaringan yang mengalami nekrotik
akan dikelilingi astroglia, fibroblas dan makrofag. Mulanya abses tidak
memiliki batas tegas tapi lama kelamaan dengan terjadinya fibrosis yang
6
fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik
untuk pemberantasan infeksi jika hal tersebut terjadi. Berbeda dengan proses
infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung sangat virulensi dan destruktif
(Plum, Posner, Saper dan Schiff, 2007).
E. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal, gambaran klinis abses serebri belum khas namun
terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksia dan gejala-
gejala peningkatan tekanan intracranial (muntah, sakit kepala dan kejang).
Semakin besarnya abses, gejala akan semakin terlihat/khas berupa trias abses
serebri yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis), peningkatan
TIK (sakit kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala neurologik
fokal (kejang, paresis, ataksia, afasia) (Batubara, 1992).
Abses yang terjadi di lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada
gejala-gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia
homonym disertai penurunan kesadaran menunjukkan prognosis yang
kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi kedalam kavum
ventrikel (Batubara, 1992).
Abses di lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran
dan pengecapan didapatkan disfasi, defek penglihatan kwardan alas
kontraleteral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah
dan anggota gerak atas dapat terjadi jika perluasan abses ke dalam lobus
frontalis relatif asimtomatik, berlokasi di daerah anterior sehingga gejala
fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasnya berlokasi pada
satu hemisfer dan menyebabkan gangguan keseimbangan seperti ataksia,
tremor, dismetri dan nistagmus. Abses pada batang otak jarang terjadi,
biasanya berasal dari hematogen dan berakibat fatal (Batubara, 1992).
9
B. Keuntungan MRI
1. Tidak memerlukan sinar-X
2. Tidak merusak kesehatan pada penggunaannya yang tepat
3. Banyak pemeriksaan yang dapat dikerjakan tanpa memerlukan zat kontras
4. Disamping gambar informasi yang jelas, MR juga dapat menunjukkan
parameter biologic (spektroskopi)
5. Potongan yang dihasilkan dapat 3 dimensi (aksial, koronal dan sagittal)
dan banyak potongan dapat dibuat hanya dalam satu waktu (lebih dari 8
potongan sekaligus)
C. Kerugian MRI
1. Alat mahal
2. Waktu pemeriksaan cukup lama
3. Pasien yang mengandung metal tidak bisa diperiksa terutama alat pacu
jantung, sedangkan pasien dengan wire & stent maupun pen bisa
dilakukan
4. Pasien Claustrofobi (takut ruang sempit) membutuhkan anestesi umum
11
D. Penggunaan MR
Saat ini MR merupaka pemeriksaan rutin di klinik/rumah sakit besar.
Dengan menggunakan MR, pemeriksaan dapat dilakukan secara menyeluruh
pada organ tubuh, mulai dari kepala sampai kaki. Setiap jaringan mempunyai
karakteristik yang khas pada T1 dan T2, sehingga jika ada perbedaan
intensitas dari jaringan normal, mudah diketahui bahwa hal tersebut
merupakan kelainan. Hampir 90% pemeriksaan MRI dilakukan pada organ
kepala dan vertebra dan sisanya (10%) untuk pemeriksaan organ yang lain.
E. MRI Kepala
Dengan MR dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dan putih.
Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih sedikit air dibandingkan
dengan otak yang abu-abu. Pada otak yang putih lebih banyak lemak
dibanding yang abu-abu, oleh karena itu bagian otak yang putih mempunyai
waktu T1 yang pendek dan T2 yang panjang.
Pada gambar T1 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal yang
lebih sedikit dibandingkan dengan yang putih. Cairan likuor tidak
menghasilkan sinyal (hipointens)
Pada gambar T2 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal intensitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian otak yang putih. Cairan likuor
juga mempunyai sinyal intensitas tinggi (hiperintens)
Lemak mempunyai sinyal intensitas yang tinggi yang sama pada gambar
T1 dan T2 dengan perbedaan waktu relaksasi dapat dibedakan antara bagian
otak yang padat dengan kista. Untuk membedakannya, jika mengandung
lemak atau darah diperlukan pemeriksaan dengan teknik Fat suppression atau
inversion recovery. Dimana bila memang lemak maka akan menjadi
hipointens dan bukan lemak menjadi hiperintens.
Indikasi MRI kepala:
1. Tumor
2. Stroke/CVD infark hemorhagik atau non-hemorhagik
12
sinyal yang lemah dan pada gambar T2 mempunyai sinyal intensitas tinggi.
Pada pemberian kontras penyagatan tergantung dari gradasi tumor tersebut.
Metastasis intrakranial : hampir 90% disertai edema perifokal positif,
sehingga sukar dibedakan dengan glioblastoma. Perlu zat kontras untuk
mengetahui multipel lesi penyagatan. Yang sukar bila lesi hanya satu,
sedangkan primer di tempat lain ada seperti di paru dan payudara.
Meningioma : CT lebih baik dalam mendiagnosis daripada MRI, karena
tumor ini banyak mengandung perkapuran. Pada keadaan meragukan, baru
diperlukan zat kontras yang mengandung unsur Gadolinium (Gd3+) pada
umumnya menyagat, dibandingkan gambar T1 sebelum dengan sesudah
kontras diberikan
g. Infark : tanda perubahan dini dari iskemia otak adalah edema sitotoksis.
Hal ini ditandai dengan perpanjangan waktu T1 dan T2. Pada gambar T1
hipointens dan menjadi hiperintens pada T2.
h. Infeksi : pada infeksi otak tampak kerusakan setempat dengan sinyal yang
intensitasnya berbeda-beda. Perlu zat kontras untuk memperjelas kelainan
yang ada.
i. Kelainan Pembuluh Darah : malformasi arteriovenosus mempunyai
sinyal yang lemah karena kelainan ii darah cepat sekali mengalir. Aliran
darah pada MRI mempunyai sinyal yang lemah. Pada T1 dan T2 tampak
hipointens. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan MR angiografi sehingga
dapat melihat sumber arteri dan nidus dengan jelas dapat terlihat disekitar
vena yang melebar. Aneurisma juga dapat terlihat jelas pada MR
angiografi.
14
Pada Gambar 1, pasien mengeluh sakit kepala dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Nampak gambaran abses terlihat memudar, mengandung banyak leukosit;
meskipun tidak ada catatan pertumbuhan biakan. Pada diagnosis bakteri kokus-
anaerobik gram positif ditegakkan berdasarkan dari penelitian histologi dasar. Dari
hasil MRI kepala yang dilakukan menunjukkan ada pengaruh massa dan
peningkatan/peninggian ring pada kasus abses frontal sinistra.
15
Pada Gambar 7, MRI pasien abses serebri dengan klinis sakit kepala, demam
dan diplopia (pandangan ganda). Pada lobus frontal dextra otak mengalami
19
pendorongan pada midline (panah dobel) oleh karena abses intrakranial (panah
tunggal) yang meluas keatas dari orbita medial dextra dan sel udara ethmoid medial
(panah lengkung merah). Organisme Aspergillus ditemukan dari sinus dan jaringan
otak.
Pada Gambar 8, adalah MRI pasien abses sererbri dengan onset tiba-tiba
berupa diplopia, demam dan pembengkakan area orbital dextra. Ini merupakan tanda
peningkatan yang berada di dalam sinus ethmoid dextra dari daerah yang timbul
infeksi. Pada sinus maksilaris dextra medial superior tampak rusak/hancur (panah
kuning).
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sangat penting bagi para dokter untuk terbiasa dengan temuan gambaran MRI
yang spesifik agar dapat menentukan diagnosis dengan tepat sehingga pasien dapat
ditangani dengan baik. MRI merupakan modalitas pilihan karena tidak ada radiasi
sinar-X dan tidak membahayakan kesehatan dengan penggunaan yang tepat.
Penggunaan MRI dan penggunaan kontras pada MRI juga dapat memastikan dengan
baik diagnosis dari edema serebri dan membedakannya dari kelainan serebri lainnya
sehingga nantinya dapat memutuskan apakah kasus tersebut membutuhkan
pembedahan atau hanya cukup terapi konservatif saja.
24
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, AS. 1992. Koma dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Ed 80. FK
USU. Hal 85-87.
Bell W, Chun WM, Jabbour JT dkk. 1988. Brain Abscess, Bacterial Infectious of the
Nervous System. In: Sweiman, Wright, editor. The Pratica of Pediatric
Neurology. 1st ed. P.678-86.
Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. (2007). Plum and Posners Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford University Press. New York. Hal. 5-9.
Yang SY. 1981. Brain Abscess: A Review of 400 Cases. J Neurosurg; 55: 794-9
Dewanto, G. Suwono, WJR. Budi, dkk. (2007). Diagnosis & Tatalaksana Penyakit
Saraf. Fakultas UNIKA ATMAJAYA. EGC
Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in
Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7
Ozbayrak M, Ulus OS, Berkman MZ, Kocagoz S, Karaarslan E. Atypical pyogenic
brain abscess evaluation by diffusion-weighted imaging: diagnosis with
multimodality MR imaging. Jpn J Radiol. 2015 Aug 15.
Hsu CC, Singh D, Kwan G, Deuble M, Aquilina C, Korah I, et al. Neuromelioidosis:
Craniospinal MRI Findings in Burkholderia pseudomallei Infection. J
Neuroimaging. 2015 Aug 10.
25