Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I

PENDAHULUAN

Abses serebri merupakan proses supurasi yang menyebabkan tekanan di


sekitarnya akibat invasi dan perkembangan mikroorganisme yang terlokalisir di
dalam atau di antara jaringan otak. Abses serebri dimulai sebagai serebritis yang
lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul
otak yang disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa.
Mikroorganisme penyebab abses serebri meliputi bakteri, jamur dan parasit tertentu.
Mikroorganisme ini dapat mencapai susbtansia otak melalui aliran darah, perluasan
infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan kardiopolmuner. Dalam
beberapa kasus, sumber infeksinya tidak diketahui (Bell dkk, 1988).

Meskipun teknologi semakin berkembang, angka kematian abses serebri


masing tinggi yaitu sekitar 10-60% dengan rata-rata 40%. Penyakit ini jarang
dijumpai di negara-negara maju, namun karena tingginya risiko kematian penyakit
ini, abses serebri menjadi golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan
masyarakat (life threatening infection). Pada 80% kasus, abses serebri terjadi di lobus
frontal, parietal dan temporal dan 20% sisanya di lobus occipital, serebelum dan
batang otak (Batubara, 1992).
Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus
infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh atau secara
langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Pada penyebaran hematogen
abses dapat terjadi semua area otak, tetapi paling banyak di pertemuan susbtansia alba
dan grisea dan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi di area dekat permukaan
otak pada lobus tertentu (Plum, Fosner, Saper dan Schiff, 2007).
Dalam penegakkan diagnosis abses serebri, pemeriksaan MRI cenderung
unggul dalam menegakkan diagnosis lebih dini dan akurat serta lebih definitif untuk
menentukan penyebaran dan tampilan kompleks proses inflamasi, khususnya
pemeriksaan dengan zat kontras. MRI dapat membedakan antara bekuan darah dan
2

free flowing blood (arterio-venosus, tumor, atau lesi nonvaskuler) dan bermanfaat
untuk investigasi diagnostik lesi-lesi intraserebral lainnya (Yang, 1981). Karena itu,
penulis pada referat ini akan membahas mengenai gambaran-gambaran MRI yang ada
pada seseorang dengan abses serebri. Diharapkan hal ini dapat mempermudah dalam
penegakkan diagnosis dan menentukan lokasi abses pada otak pada abses serebri.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abses Sereberi


A. Definisi
Abses serebri adalah infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai
serebritis yang lokalisatoik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang
dikelilingi oleh kapsul otak yang disebabkan berbagai macam variasi bakteri,
fungus dan protozoa (Batubara, 1992).

B. Epidemiologi
Abses serebri dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun
seringnya terjadi pada anak usia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses serebri
yaitu embolisasi oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas
atrioventrikuler (terutama tetralogy fallot), meningitis, otitis media kronis
dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp,
status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial.
Patogenesis abses serebri tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus (Plum,
Posner, Saper dan Schiff, 2007).
Di Indonesia belum ada data pasti mengenai kasus abses serebri,
namun di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus abses sereberi
per tahun. Prevalensinya sekitar 0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah
penderita pria lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 2-3:1.
Menurut Britt, Richard dkk, penderita abses serebri lebih banyak dijumpai
pada pria daripada wanita dengan perbandingan 3:1 yang umumnya di usia
produktif (usia 20-50 tahun) (Dewanto dkk, 2007).
Pada hasil penelitian Hakin AA, terdapat 20 pasien abses serebri yang
terkumpul selama tahun 1984-1986 dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Jumlah penderita abses serebri lebih banyak pada laki-laki dibanding
perempuan (11:9) berusia sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian
4

35% (dari 20 penderita, 7 orang meninggal). Dengan pesat perkembangan


pelayanan vaksinasi, pengobatan infeksi pediatric serta pandemik AIDS,
terjadi pergeseran prevalensi ke usia dekade 3-5 kehidupan.

C. Etiologi
Sebagian besar abses serebri berasal langsung dari penyebaran infeksi
telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan
maxillaries) (Dewanto dkk, 2007).
Abses serebri dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari
infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektas, pneumonia),
endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit bawaan Tetralogi
Fallot (abses multiple, lokasi pada susbtansi putih dan abu dari jaringan
otak). Abses serebri yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya
sesuai dengan perederan darah yang didistribusi oleh arteri serebri media
terutama lobus parietal atau cerebellum dan batang otak (Dewanto dkk,
2007).
Abses dapat dijumpai pada penderita penyakit imunologik seperti
AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang
dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Sekitar 20-37% penyebabnya
tidak diketahui. Penyebab abses serebri yang jarang dijumpai, osteomyelitis
tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septicemia.
Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus
otak (Plum, Posner dan Schiff, 2007).
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde
thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau
temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal dan terletak superfisial di otak
yang dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal menyebabkan abses
di bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis
menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris
menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis
5

menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat
menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan
tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum
timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma yang menyebar ke
serebelum (Plum, Posner dan Schiff, 2007).
Bakteri penyebab abses serebri antara lain, Streptococcus aureus,
Streptococci (viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri anaerob
(bakteri kokus gram positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp, Prevotella
spp, Actinomyces spp dan Clostridium spp, basil aerob gram-negatif (enteric
rods, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter diversus dan
Haemophilus spp). Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba) dan fungus
(Actinomycosis, Candida albicans) dapat pula menimbulkan abses namun ini
jarang terjadi.

D. Patofisiologi
Abses serebri merupakan pathogen yang berkembang di dalam
parenkim otak, biasanya serebritis yang kemudian menyebar menjadi abses
serebral. Abses ini dapat terjadi akibat dari penyebaran perkontinuitatum dari
fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh
atau secara langsung seperti trauma kepala atau operasi kraniotomi. Abses
akibat penyebaran hematogen dapat mengenai setiap area otak namun sering
mengenai area pertemuan substansia alba dan grisea dan perkontinuitatum
biasanya di area dekat permukaan otak pada lobus tertentu (Harris, 2004).
Tahap awal abses serebri, terjadi reaksi peradangan yang difus pada
jaringan otak dengan infiltarsi leukosit yang disertai edem, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang disertai bintik perdarahan. Beberapa hari
hingga beberapa minggu akan terjadi nekrosis dan pencairan dari pusat lesi
sehingga terbentuk suatu rongga abses. Jaringan yang mengalami nekrotik
akan dikelilingi astroglia, fibroblas dan makrofag. Mulanya abses tidak
memiliki batas tegas tapi lama kelamaan dengan terjadinya fibrosis yang
6

progresif akan membentuk kapsul dengan dinding yang terkonsentris. Tebal


kapsul antara beberapa milimiter sampai sentimeter (Harris, 2004).
Ada empat pembagian stadium patologi abses serebri, yaitu:
1) Stadium serebritis dini (early cerebritis)
Adanya reaksi radang lokal dengan infiltrasi polimorfonuklear
leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi.
Reaksi ini terjadi dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari
ketiga. Terdapat sel-sel radang pada tunika adventisia dari pembuluh
darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular
ini yang disebut serebritis. Pada stadium ini, terjadi edema disekitar otak
dan peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (late cerebritis)
Di stadium ini, terjadi perubahan histologis yang sangat bermakna
dimana daerah pusat nekrosis akan membesar akibat peningkatan
acellular debris dan pembentukan nanah karena perlepasan enzim-
enzim dari sel-sel radang. Pada tepi pusat nekrosis akan ditemui sel
radang, makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar.
Fibroblast mulai menjadi reticulum dan membentuk kapsul kolagen.
Pada fase ini, edema otak akan menyebar luas sehingga lesi menjadi
semakin besar.
3) Stadium pembentukan kapsul dini (early capsule formation)
Pusat nekrosis perlahan mengecil, makrofag menelan acellular
debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast akan membentuk anyaman reticulum dan mengelilingi pusat
nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat
karena kurangnya vaskularisasi di daerah susbtansi putih dibandingan
susbtansi abu. Pembentukan kapsul yang lambat di permukaan tengah
memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Jika abses
cukup besar, dapat terjadi robekan hingga ke dalam ventrikel lateralis.
Dalam pembentukan kapsul akan terlihat anyaman reticulum yang
7

tersebar menbentuk kapsul kolagen dan reaksi astrosit di sekitar otak


akan mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (late capsule formation)
Di stadium ini, pembentukan abses menjadi sempurna dengan
gambaran histologis sebagai berikut:
- Bentuk dan pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang
- Daerah tepi dari sel radang, makrofag dan fibroblast
- Kapsul kolagen yang tebal
- Lapisan neurovaskuler sehubungan dengan serebritis yang berlanjut
- Reaksi astrosit, gliosis dan edema otak di luar kapsul
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan
meluas kearah ventrikel sehingga jika terjadi ruptur dan menimbulkan
meningitis. Infeksi jaringan facial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,
amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan abses serebri yang berlokasi di lobus frontalis. Otitis media,
mastoiditis terutama menyebabkan abses serebri lobus temporalis dan
serebelum, sedangkan abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen (Batubara, 1992).
Respon Imunologik pada Abses Serebri
Dalam otak, ada sistem imun khusus terhadap bahaya yang datang melalui
lintasan hematogen, disebut sawar darah otak (blood brain barrier). Jika terjadi
toksemia dan septicemia, sawar darah otak akan mengalami kerusakan dan
tidak dapat bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi yang terjadi pada jaringan
otak jarang diakibatkan oleh bakterimia saja, karena itu jaringan otak sehat
cukup resisten terhadap infeksi. Bakteri yang dimasukkan secara langsung ke
otak pada hewan percobaan ternyata tidak membangkitkan abses serebri,
dengan pengecualian jika jumlah kuman sangat banyak atau sebelum inokulasi
intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Meski dalam banyak hal
sawar darah otak sangat protektif namun dapat terjadi hambatan penetrasi
8

fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik
untuk pemberantasan infeksi jika hal tersebut terjadi. Berbeda dengan proses
infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung sangat virulensi dan destruktif
(Plum, Posner, Saper dan Schiff, 2007).

E. Manifestasi Klinis
Pada stadium awal, gambaran klinis abses serebri belum khas namun
terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksia dan gejala-
gejala peningkatan tekanan intracranial (muntah, sakit kepala dan kejang).
Semakin besarnya abses, gejala akan semakin terlihat/khas berupa trias abses
serebri yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis), peningkatan
TIK (sakit kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala neurologik
fokal (kejang, paresis, ataksia, afasia) (Batubara, 1992).
Abses yang terjadi di lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada
gejala-gejala neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia
homonym disertai penurunan kesadaran menunjukkan prognosis yang
kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi kedalam kavum
ventrikel (Batubara, 1992).
Abses di lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran
dan pengecapan didapatkan disfasi, defek penglihatan kwardan alas
kontraleteral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah
dan anggota gerak atas dapat terjadi jika perluasan abses ke dalam lobus
frontalis relatif asimtomatik, berlokasi di daerah anterior sehingga gejala
fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasnya berlokasi pada
satu hemisfer dan menyebabkan gangguan keseimbangan seperti ataksia,
tremor, dismetri dan nistagmus. Abses pada batang otak jarang terjadi,
biasanya berasal dari hematogen dan berakibat fatal (Batubara, 1992).
9

2.2 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) merupakan salah satu cara
pemeriksaan diganostik dalam ilmu kedokteran, khusunya radiologi, untuk
menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia menggunakan medan magnet tanpa
sinar X. Pada prinsipnya, MR adalah inti atom yang bergetar dalam medan magnet.
Prinsip ini pertama kali dikemukan oleh Bloch dan Purcell pada tahun 1946. Prinsip
ini, proton merupakan inti atom hidrogen dalam sel tubuh berputar (spinning), jika
atom hidrogen ditembak tegak lurus pada intinya dengan radio frekuensi tinggi dalam
medan magnet secara periodik akan beresonansi, maka proton akan bergetar menjadi
searah/sejajar. Dan ketika radio frekuensi tinggi dimatikan, proton yang bergetar akan
kembali ke posisi semula dan akan menginduksi dalam satu kumparan untuk
menghasilkan sinyal elektrik yang lemah. Jika hal ini dilakukan berulang dan sinyal
elektrik ditangkap kemudian diproses dalam computer maka akan dapat disusun
membentuk suatu gambar.
Metode ini dipakai karena tubuh manusia mempunyai konsentrasi atom
hidrogen yang tinggi (70%). Untuk menghasilkan sebuah gambar dari proton,
setidaknya diperlukan tenaga medan magnet 0,064 Tesla. Untuk suatu medan magnet
rendah 0,2 Tesla dibutuhkan kumparan yang normal dimana tenaga listrik diubah
menjadi panas dan untuk medan magnet 0,3 Tesla dibutuhkan kumparan
istimewa/super. Masa kini alat MRI yang dipakai muali dari 0,064 T sampai 3 Tesla.
Suatu alat MRI yang lengkap terdiri dari:
- Sistem magnet
- Alat pemancar radio frekuensi tinggi
- Alat penerima radio frekuensi tinggi
- Computer
- Tenaga listrik dan sistem pendingin
10

A. Menurut medan magnet ada 3 jenis MRI


1. Magnet permanen: dapat dibuat sampai 0,3 Tesla
2. Magnet resistif: perlu arus listrik, kekuatan hingga 0,2 Tesla
3. Magnet superkonduktif: perlu pendingin (helium) suhu -269 o C dengan
kekuatan 0,5-3 Tesla
Keuntungan medan magent besar, homogenitas dan kestabilan tinggi
sehingga resolusi gambar menjaid lebih baik dan waktu pemeriksaan
lebih singkat dibandingan 1 & 2.

B. Keuntungan MRI
1. Tidak memerlukan sinar-X
2. Tidak merusak kesehatan pada penggunaannya yang tepat
3. Banyak pemeriksaan yang dapat dikerjakan tanpa memerlukan zat kontras
4. Disamping gambar informasi yang jelas, MR juga dapat menunjukkan
parameter biologic (spektroskopi)
5. Potongan yang dihasilkan dapat 3 dimensi (aksial, koronal dan sagittal)
dan banyak potongan dapat dibuat hanya dalam satu waktu (lebih dari 8
potongan sekaligus)

C. Kerugian MRI
1. Alat mahal
2. Waktu pemeriksaan cukup lama
3. Pasien yang mengandung metal tidak bisa diperiksa terutama alat pacu
jantung, sedangkan pasien dengan wire & stent maupun pen bisa
dilakukan
4. Pasien Claustrofobi (takut ruang sempit) membutuhkan anestesi umum
11

D. Penggunaan MR
Saat ini MR merupaka pemeriksaan rutin di klinik/rumah sakit besar.
Dengan menggunakan MR, pemeriksaan dapat dilakukan secara menyeluruh
pada organ tubuh, mulai dari kepala sampai kaki. Setiap jaringan mempunyai
karakteristik yang khas pada T1 dan T2, sehingga jika ada perbedaan
intensitas dari jaringan normal, mudah diketahui bahwa hal tersebut
merupakan kelainan. Hampir 90% pemeriksaan MRI dilakukan pada organ
kepala dan vertebra dan sisanya (10%) untuk pemeriksaan organ yang lain.

E. MRI Kepala
Dengan MR dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dan putih.
Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih sedikit air dibandingkan
dengan otak yang abu-abu. Pada otak yang putih lebih banyak lemak
dibanding yang abu-abu, oleh karena itu bagian otak yang putih mempunyai
waktu T1 yang pendek dan T2 yang panjang.
Pada gambar T1 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal yang
lebih sedikit dibandingkan dengan yang putih. Cairan likuor tidak
menghasilkan sinyal (hipointens)
Pada gambar T2 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal intensitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian otak yang putih. Cairan likuor
juga mempunyai sinyal intensitas tinggi (hiperintens)
Lemak mempunyai sinyal intensitas yang tinggi yang sama pada gambar
T1 dan T2 dengan perbedaan waktu relaksasi dapat dibedakan antara bagian
otak yang padat dengan kista. Untuk membedakannya, jika mengandung
lemak atau darah diperlukan pemeriksaan dengan teknik Fat suppression atau
inversion recovery. Dimana bila memang lemak maka akan menjadi
hipointens dan bukan lemak menjadi hiperintens.
Indikasi MRI kepala:
1. Tumor
2. Stroke/CVD infark hemorhagik atau non-hemorhagik
12

3. Penyakit demyelinisasi (multiple sclerosis)


4. Kelainan vascular seperti aneurisma, AVM dan stenosis
5. Infeksi
6. Metastase
a. Edema : menggunakan MR edema perifokal pada tumor seperti
glioblastoma (hampir 90% edema perifokal positif) dapat diketahui dengan
mudah.
b. Perdarahan otak : perdarahan stasioner mempunyai waktu T1 yang lebih
pendek karena zat besi dalam hemoglobin merupakan suatu bahan
paramagnetis
c. Perlemakan : pada tumor dengan kandungan lemak banyak, seperti
teratoma, dermoid dan lipoma, mempunyai waktu T1 yang pendek. Pada
gambar T1 dan T2 mempunyai sinyal yang intensif (hiperintens)
d. Perkapuran patologik : perkapuran mempunyai sedikit proton yang
bergerak sehingga pada MRI tampak mempunyai sinyal yang lemah.
Perkapuran dapat ditemukan pada pascainfark, tumor dan pembuluh
e. Penyakit demielinisasi : sklerosis multipel mempunyai sensitivitas yang
tinggi, sehingga penyakit ini dapat cepat diketahui dan mudah untuk
pengontrolan perjalanan penyakit.
f. Tumor otak : pada MRI ditandai melalui kerusakan/lesi yang ada dengan
bermacam-macam intensitas sinyal atau melalui tanda-tanda yang tidak
langsung dari tumor seperti pergeseran tempat, pendesakan atau pelebaran
ventrikel dan edema perifokal yang positif.
Tumor menyebabkan perubahan waktu relaksasi. Tumor ganas lebih sering
mempunyai waktu relaksasi yang lebih panjang dibanding tumor jinak.
MRI dapat menunjukkan pula bagian tumor yang vital dan nekrosis. Pada
bagian nekrosis mempunyai sinyal sedikit.
Astrositoma : hanya sekitar 2% dan disertai edema perifokal. Tumor ini
lebih dari 80% mengandung air sehingga pada gambaran T1 mempunyai
13

sinyal yang lemah dan pada gambar T2 mempunyai sinyal intensitas tinggi.
Pada pemberian kontras penyagatan tergantung dari gradasi tumor tersebut.
Metastasis intrakranial : hampir 90% disertai edema perifokal positif,
sehingga sukar dibedakan dengan glioblastoma. Perlu zat kontras untuk
mengetahui multipel lesi penyagatan. Yang sukar bila lesi hanya satu,
sedangkan primer di tempat lain ada seperti di paru dan payudara.
Meningioma : CT lebih baik dalam mendiagnosis daripada MRI, karena
tumor ini banyak mengandung perkapuran. Pada keadaan meragukan, baru
diperlukan zat kontras yang mengandung unsur Gadolinium (Gd3+) pada
umumnya menyagat, dibandingkan gambar T1 sebelum dengan sesudah
kontras diberikan
g. Infark : tanda perubahan dini dari iskemia otak adalah edema sitotoksis.
Hal ini ditandai dengan perpanjangan waktu T1 dan T2. Pada gambar T1
hipointens dan menjadi hiperintens pada T2.
h. Infeksi : pada infeksi otak tampak kerusakan setempat dengan sinyal yang
intensitasnya berbeda-beda. Perlu zat kontras untuk memperjelas kelainan
yang ada.
i. Kelainan Pembuluh Darah : malformasi arteriovenosus mempunyai
sinyal yang lemah karena kelainan ii darah cepat sekali mengalir. Aliran
darah pada MRI mempunyai sinyal yang lemah. Pada T1 dan T2 tampak
hipointens. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan MR angiografi sehingga
dapat melihat sumber arteri dan nidus dengan jelas dapat terlihat disekitar
vena yang melebar. Aneurisma juga dapat terlihat jelas pada MR
angiografi.
14

2.3 Gambaran MRI pada Abses Serebri


Pada gambaran MRI, abses serebri dapat terlihat jelas dibandingkan pada hasil
CT dimana gambaran MRI akan menunjukkan perbedaan abses serebri dengan
penyebab tumor serebri lainnya.
Penggunaan kontras intravena membantu dalam mempertegas dinding abses
dan meningkatkan hasil perbedaan gambaran abses sreberi dari kontusio atau infark
serebri. Ada banyak neoplasma serebri memiliki pola peninggian yang sama dan sulit
dibedakan dari abses serebri (Gambar 1)

Gambar 1. MRI Abses Serebri (Sagittal contrast-enhanced T1 MRI)

Pada Gambar 1, pasien mengeluh sakit kepala dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Nampak gambaran abses terlihat memudar, mengandung banyak leukosit;
meskipun tidak ada catatan pertumbuhan biakan. Pada diagnosis bakteri kokus-
anaerobik gram positif ditegakkan berdasarkan dari penelitian histologi dasar. Dari
hasil MRI kepala yang dilakukan menunjukkan ada pengaruh massa dan
peningkatan/peninggian ring pada kasus abses frontal sinistra.
15

Abses yang memenuhi ruang cairan serebrospinal dapat dibedakan


berdasarkan karakteristik restriksi difusi dan hiperintens marginal pada MRI
(Gambar 2).

Gambar 2. Abses Serebri (T1 contrast-enhanced MRI)

Pada Gambar 2, tampak MRI dengan hiperintens T1 pada abses temporal


dextra. Nampak massa ireguler dengan peningkatan sedang di bagian perifer. Gambar
ini didapatkan dari awal perjalan klinis penyakit, dimana etiologinya adalah
pembengkakan gigi.
16

Gambar 3. Abses Serebri

Pada Gambar 3, terdapat penebalan difusi pada gambaran MRI. Ini


menunjukkan adanya peningkatan sinyal cahaya sampai ke abses pada fossa temporal
dextra.

Gambar 4. MRI Abses Lobus Temporal Dextra


17

Pada Gambar 4, terlihat gambaran hiperintens T1 menunjukkan berbagai


macam-macam jenis abses serebri. Tanda pada dinding yang tebal merupakan
peningkatan signifikan diikuti pemberian kontras pada basis gadolinium.
MRI otak dengan atau tanpa peningkatan kontras gadolinium intravena
merupakan pemeriksaan paling sensitif pada ensefalitis toxoplasmosis. Lesi dengan
kontras mungkin bersifat hiperintens dibandingkan dengan jaringan otak yang normal
dan sulit untuk diidentifikasi dibandingkan dengan pola edema lainnya yang terlihat
di sekitar otak. Pada peningkatan ring, yang mana hasil terbaik dapat dilihat pada
studi peningkatan gadolinium dengan penebalan T1, merupakan peningkatan pada
area lesi yang aktif. Berdasarkan tatalaksana menggunakan pyrimethamine dan
sulfadisin atau klindamisin, lesi mengecil dengan resolusi pada peningkatan ring
(Gambar 5).

Gambar 5. Abses Serebri (Coronal T1-weighted postgadolinium-enhanced MRI)

Pada Gambar 5, merupakan gambaran MRI abses serebri dengan keluhan


demam diikuti trauma kepala. Osteomyelitis pada tulang berkembang pada pasien ini
diikuti trauma kranial. Abses subdural bilateral (panah kuning) berkembang karena
perluasan dari infeksi sepanjang tulang. Tepian serebritis ditandai dengan
corakan/pola peningkatan di dalam garis tepi yang berada lebih dalam pada lobus
parietal (panah putih).
18

Gambar 6. Abses Serebri (Axial T2-weighted MRI)


Pada Gambar 6, menunjukkan gambaran MRI pasien dengan abses frontal
dextra. Ini menunjukkan adanya pengaruh massa dan edema sekitar. Pada dinding
yang mengalami abses biasanya terlihat tipis (panah hitam).

Gambar 7. Abses Serebri (Gadolinium-enhanced coronal T1-weighted MRI)

Pada Gambar 7, MRI pasien abses serebri dengan klinis sakit kepala, demam
dan diplopia (pandangan ganda). Pada lobus frontal dextra otak mengalami
19

pendorongan pada midline (panah dobel) oleh karena abses intrakranial (panah
tunggal) yang meluas keatas dari orbita medial dextra dan sel udara ethmoid medial
(panah lengkung merah). Organisme Aspergillus ditemukan dari sinus dan jaringan
otak.

Gambar 8. Abses Serebri (Coronal T1-weighted gadolinium-enhanced MRI)

Pada Gambar 8, adalah MRI pasien abses sererbri dengan onset tiba-tiba
berupa diplopia, demam dan pembengkakan area orbital dextra. Ini merupakan tanda
peningkatan yang berada di dalam sinus ethmoid dextra dari daerah yang timbul
infeksi. Pada sinus maksilaris dextra medial superior tampak rusak/hancur (panah
kuning).
20

Gambar 9. Abses Serebri (Coronal T1-weighted spin-echo gadolinium-enhanced


MRI)
Pada Gambar 9, MRI menunjukkan hasil pada zona sentral yang mengalami
peningkatan pada abses, dengan daerah penurunan sinar (edema, garis putih).
Organisme Nocardia dibiakan dari dalam kavitas abses.

Gambar 10. Abses Serebri


21

Pada Gambar 10, gambraran MRI abses serebri menunjukkan pemulihan


inversi cairan pada daerah axial (FLAIR) di abses serebri area oksipital-parietal
sinistra. Pola edema (panah putih) mengelilingi daerah abses sentral (A). Abses
sekunder terlihat anterior pada kavitas abses primer.

- MRI pada Abses Serebri berdasarkan Waktu


a. Stadium Serebritis Dini
Pada stadium ini nampak sebuah gambaran yang zona hiperintens yang
tidak jelas pada subkortikal yang terlihat pada pencitraan penebalan T2.
Lesi yang nampak hiperintens pada pencitraan diffusion-weighted
dengan nilai apparent-diffusion-coefficient (ADC) yang kurang dari 0,9
biasanya mengalami abses serebri dimana lesi hipointens pada pencitraan
diffusion-weighted dengan nilai > 2 adalah lesi sistik nonabses.
Pada studi dengan penebalan-T1 peningkatan kontras menunjukkan area
peningkatan yang kurang jelas di dalam isointense pada daerah edema yang
sedikit hipointens.
b. Stadium Serebritis Lanjut
Selama stadium ini, area nekrotik sentral adalah hipertintens jaringan
otak pada densitas proton dan rantai T2-weighted.
Pada daerah yang tebal, terkadang tampak tidak beraturan yang
memanjang dengan gambaran isointens menjadi sedikit hiperintens pada
gambar spin-echo T1-weighted dan isointens menjadi relative hipointens
pada densitas proton dan pemindaian T2-weighted.
Biasanya terlihat pada edema perifer. Pinggirannya sangat meningkat
yang mengikuti pemberian kontras sehingga akan nampak gambaran lesi
satelit.
c. Stadium Pembentukan Kapsul Dini dan Lanjut
Selama kedua stadium ini berlangsung, kapsul abses kolagen terlihat
kontras seperti cincin yang berdinding tipis, isointens menjadi cincin dengan
sedikit hiperintens yang menjadi hipointens pada MRI T2-weighted.
22

Gambaran diffusion-weighted membantu dalam penggambaran bentuk


khusus pada abses serebri. Jika abses serebri mengalami ruptur ke sistem
ventrikuler, maka pada gambaran diffusion-weighted akan nampak pola
khusus.
Bahan purulen dalam ventrikel akan terlihat sama seperti kavitas abses
sentral, dengan sinyal hiperintens yang kuat pada gambaran diffusion-
weighted.

Tabel 1. Abses Serebri dengan Pencitraan CT Scan dan MRI


Stage Interval Temuan Pencitraan
CT MR
(days)
Early cerebritis 1-3 Poorly defined Edema more evident
hypodens area or
normal findings;
minimal CE may be
apparent
Serebritis 4-9 Early patchy Ring enhancement
lanjut enhancement visualized early
progressing to ring in
this stage
Early capsule 10-14 distinct CE of thin-
formation walled capsule
Late capsule > 14
formation
* Abbreviations: CE = contrast enhancement
23

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sangat penting bagi para dokter untuk terbiasa dengan temuan gambaran MRI
yang spesifik agar dapat menentukan diagnosis dengan tepat sehingga pasien dapat
ditangani dengan baik. MRI merupakan modalitas pilihan karena tidak ada radiasi
sinar-X dan tidak membahayakan kesehatan dengan penggunaan yang tepat.
Penggunaan MRI dan penggunaan kontras pada MRI juga dapat memastikan dengan
baik diagnosis dari edema serebri dan membedakannya dari kelainan serebri lainnya
sehingga nantinya dapat memutuskan apakah kasus tersebut membutuhkan
pembedahan atau hanya cukup terapi konservatif saja.
24

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, AS. 1992. Koma dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Ed 80. FK
USU. Hal 85-87.
Bell W, Chun WM, Jabbour JT dkk. 1988. Brain Abscess, Bacterial Infectious of the
Nervous System. In: Sweiman, Wright, editor. The Pratica of Pediatric
Neurology. 1st ed. P.678-86.
Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. (2007). Plum and Posners Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford University Press. New York. Hal. 5-9.
Yang SY. 1981. Brain Abscess: A Review of 400 Cases. J Neurosurg; 55: 794-9
Dewanto, G. Suwono, WJR. Budi, dkk. (2007). Diagnosis & Tatalaksana Penyakit
Saraf. Fakultas UNIKA ATMAJAYA. EGC
Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in
Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7
Ozbayrak M, Ulus OS, Berkman MZ, Kocagoz S, Karaarslan E. Atypical pyogenic
brain abscess evaluation by diffusion-weighted imaging: diagnosis with
multimodality MR imaging. Jpn J Radiol. 2015 Aug 15.
Hsu CC, Singh D, Kwan G, Deuble M, Aquilina C, Korah I, et al. Neuromelioidosis:
Craniospinal MRI Findings in Burkholderia pseudomallei Infection. J
Neuroimaging. 2015 Aug 10.
25

Asano M, Fujimoto N, Fuchimoto Y, Ono K, Ozaki S, Kimura F, et al. Brain abscess


mimicking lung cancer metastases; a case report. Clin Imaging. 2013 Jan-Feb.
37(1):147-50.
Erdogan C, Hakyemez B, Yildirim N, Parlak M. Brain abscess and cystic brain
tumor: discrimination with dynamic susceptibility contrast perfusion-weighted
MRI. J Comput Assist Tomogr. 2005 Sep-Oct. 29(5):663-7.
Fanning NF, Laffan EE, Shroff MM. Serial diffusion-weighted MRI correlates with
clinical course and treatment response in children with intracranial pus
collections. Pediatr Radiol. 2006 Jan. 36(1):26-37.
Reddy JS, Mishra AM, Behari S, Husain M, Gupta V, Rastogi M. The role of
diffusion-weighted imaging in the differential diagnosis of intracranial cystic
mass lesions: a report of 147 lesions. Surg Neurol. 2006 Sep. 66(3):246-50;
discussion 250-1.
Soto-Hernndez JL, Moreno-Andrade T, Gngora-Rivera F, Ramrez-Crescencio MA.
Nocardia abscess during treatment of brain toxoplasmosis in a patient with
aids, utility of proton MR spectroscopy and diffusion-weighted imaging in
diagnosis. Clin Neurol Neurosurg. 2006 Jul. 108(5):493-8.
Agarwal V, Kumar M, Singh JK, Rathore RK, Misra R, Gupta RK. Diffusion tensor
anisotropy magnetic resonance imaging: a new tool to assess synovial
inflammation. Rheumatology (Oxford). 2009 Apr. 48(4):378-82.
Hong JM, Choi JY, Park HY, Huh K. Serial magnetic resonance imagings of multiple
brain abscesses in a patient with pneumococcal meningoencephalitis. J
Korean Med Sci. 2008 Dec. 23(6):1102-4.
Nath K, Ramola M, Husain M, Kumar M, Prasad K, Gupta R. Assessment of
therapeutic response in patients with brain abscess using diffusion tensor
imaging. Surg Neurol. 2009 Aug 6.

Anda mungkin juga menyukai