Anda di halaman 1dari 30

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN ABSES


SEREBRI DI IRNA NON BEDAH II SARAF
RSUP M.DJAMIL PADANG

Oleh

FILDZAH HAZIRAH

NO.BP 1841312003

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

TAHUN 2018
LAPORAN PENDAHULUAN ABSES SEREBRI

A. Landasan Teoritis Penyakit


1) Definisi
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai
serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang
dikelilingi oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri,
fungus dan protozoa. Abses otak adalah suatu proses infeksi yang melibatkan
parenkim otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang
berdekatan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melaui
sistem vaskular.berdasarkan lokasinya 80% abses terdapat pada cerebrum dan
50% pada cerebelum dan 5 - 20% terjadi lebih dari satu tempat (Esther).
2) Etiologi
Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi
menjadi:

a. Organisme aerobik:
a) Gram positif : Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus
b) Gram negatif : E. coli, Hemophilus influenza, Proteus,
Pseudomonas
b. Organisme anaerobik :B. fragilis, Bacteroides sp, Fusobacterium sp,
Prevotella sp, Actinomyces sp, dan Clostridium sp.
c. Fungi : Kandida, Aspergilus, Nokardia
d. Parasit : E. histolytica, Schistosomiasis, Amoeba
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi
telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan
maxillaries). Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen
dari infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase,
pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit
jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi
putih dan abu dari jaringan otak). Abses otak juga dapat terjadi karena
penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran
darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis,
atau cerebellum dan batang otak. Dapat juga timbul akibat trauma tembus
pada kepala atau trauma pasca operasi.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik
seperti AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Dari 20-37% penyebab
abses otak tidak diketahui. Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara
retrograde thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus
frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak
superficial di otak, dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat
juga menyebabkan abses di bagian anterior atau inferior lobus frontalis.
Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau
temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus
temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus
frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus
temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena
kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan
tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke dalam serebelum.

Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau factor


lingkungan.
a. Faktor tuan rumah (host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi
mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak
yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem
imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna.
b. Faktor kuman
Kuman tertentu cenderung neurotropik seperti yang
membangkitkan meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor
virulensi yang tidak bersangkut paut dengan faktor pertahanan host.
Kuman yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan
infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat ganggguan pada system
limfoid atau retikuloendotelial.
c. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat
masuk ke dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui
air, atau udara.
3) Patofisiologi
Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum
dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat
yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi
kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada
setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan
grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah
dekat permukaan otak pada lobus tertentu.
Pada tahap awal abses serebri terjadi reaksi radang yang difus pada
jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah
beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada
pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas
dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotikan. Mula-mula abses
tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif
terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi
perubahan patologi abses serebri dalam 4 stadium yaitu :
a. Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear
leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi,
yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel
radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan
mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini
disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan
peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
b. Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah
pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellular
debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel
radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-
makrofag besar dan gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast
mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada
fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat
besar.
c. Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris
dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis.
Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena
kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan
substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila
abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar
membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai
meningkat.
d. Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan
gambaran histologis sebagai berikut:
 Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang.
 Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
 Kapsul kolagen yang tebal.
 Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang
berlanjut.
 Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan
meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan
meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,
amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan abses serebri yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis
media, mastoiditis terutama menyebabkan abses serebri lobus temporalis
dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen. Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian
sampai ke susunan saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman
yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak perkuntinuitatum. Invasi
hematogenik melalui arteri intraserebral merupakan penyebaran ke otak
secara langsung.
4) Manifestasi Klinis
Pada stadium awal gambaran klinik abses serebri tidak khas, terdapat
gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala
peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang.
Dengan semakin besarnya abses serebri gejala menjadi khas berupa trias
abses serebri yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis),
peninggian tekanan intracranial (sakit kepala, muntah proyektil, papil edema)
dan gejala neurologik fokal (kejang, paresis, ataksia, afaksia)
Manifestasi abses serebral sebenarnya didasarkan dengan adanya:

a. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial, berupa sakit kepala,


muntah, dan papiledema.
b. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor,
dan tanda rangsang meningeal.
c. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis.
d. Tanda lokal jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf
kranial, afasia, ataksia, paresis.
Gejala lokal yang terlihat pada abses otak
a. Frontalis : mengantuk, tidak ada perhatian, hambatan dalam
mengambil keputusan, Gangguan intelegensi, kadang-kadang
kejang.
b. Temporalis : tidak mampu meyebut objek, tidak mampu membaca,
menulis atau, mengerti kata-kata, hemianopia.
c. Parietalis: gangguan sensasi posisi dan persepsi stereognostik
,kejang fokal, hemianopia homonim, disfasia ,akalkulia ,agrafia
d. Serebelum: sakit kepala suboksipital ,leher kaku, gangguan
koordinasi, nistagmus, tremor intensional.
5) Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a. Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status
mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks
patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan
keterlibatan meningen.
b. Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem
musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari
anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
c. Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu
pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit
dan laju endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya
memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein
yang sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal
atau sedikit berkurang, kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan
ventrikel.
d. CT scan otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi
abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada
daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns.
CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan
suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini
banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga
lebih akurat.
Gambaran CT-scan pada abses :
 Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.
Gambaran CT-Scan :
Pada hari pertama terlihat daerah yang hipodens dengan sebagian
gambaran seperti cincin. Pada hari ketiga gambaran cincin lebih jelas
sesuai dengan diameter serebritisnya. Didapati mengelilingi pusat
nekrosis.
 Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat
nekrosis dari zona central inflamasi.
Gambaran CT-Scan :
Gambaran cincin sempurna, 10 menit setelah pemberian kontras
perinfus. Kontras masuk ke daerah sentral dengan gambaran lesi
homogen  menunjukkan adanya cerebritis.
 Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,
hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada
stadium ini dapat terlihat gambaran ring enhancement.
Gambaran CT-Scan :
Hampir sama dengan fase cerebritis, tetapi pusat nekrosis lebih kecil
dan kapsul terlihat lebih tebal.
 Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens
(sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement
(kapsul abses)
Gambaran CT-Scan :
Gambaran kapsul dari abses jelas terlihat, sedangkan daerah nekrosis
tidak diisi oleh kontras.
6) Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan
menghilangkan kuman penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan :
a. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat
mengancam jiwa
b. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
c. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
d. Pengobatan terhadap infeksi primer
e. Pencegahan kejang
f. Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat
dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat
digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole.
Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi pembedahan kepala,
maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan
sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih
dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.

7) Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun
komplikasinya adalah:

a. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid


b. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
c. Edema otak
d. Herniasi oleh massa Abses otak
e. Retardasi mental
f. Epilepsi
g. Kelainan neurologik fokal yang lebih berat.

8) WOC
Terlampir
9) Pemeriksaan Fisisik Sistem Persyarafan
Pemeriksan fisik sehubungan dengan sistem persarafan untuk mendeteksi
gangguan fungsi persarafan. Dengan cara inspeksi, palpasi dan perkusi
menggunakan refleks hammer. Pemeriksaan pada sistem persarafan secara
menyeluruh meliputi : status mental, komunikasi dan bahasa, pengkajian
saraf kranial, respon motorik, respon sensorik dan tanda-tanda vital. Secara
umum dalam pemeriksaan fisik klien gangguan sistem persarafan, dilakukan
pemeriksaan :
a. Status Mental
 Orientasi
Tanyakan tentang tahun, musim, tanggal, hari dan bulan.
Tanyakan “kita ada dimana” seperti : nama rumah sakit yang ia tempati,
negara, kota, asal daerah, dan alamat rumah. Berikan point 1 untuk
masing-masing jawaban yang benar
 Registration (memori)
Perlihatkan 3 benda yang berbeda dan sebutkan nama benda-benda
tersebut masing-masing dalam waktu 1 detik. Kemudian suruh orang
coba untuk mengulang nama-nama benda yang sudah diperlihatkan.
Berikan point 1 untuk masing-masing jawaban benar
 Perhatian dan perhitungan
Tanyakan angka mulai angka 100 dengan menghitung mundur. Contoh
angka 100 selalu dikurangi 7. berhenti setelah langkah ke 5.
Untuk orang coba yang tidak bisa menghitung dapat menggunakan kata
yang dieja. Contoh kata JANDA, huruf ke 5, ke 4, ke 3 dst. berikan skor
1 unuk masing-masing jawaban benar
 Daya ingat (recall)
Sebutkan tiga benda kemudian suruh Orang coba mengulangi nama
benda tersebut. Nilai 1 untuk masing-masing jawaban benar
 Bahasa :
1) Memberikan nama
Tunjukkan benda (pensil dan jam tangan) pada Orang coba, dan
tanyakan nama benda tersebut (2 point)
2) Pengulangan kata
Ucapkan sebuah kalimat kemudian Suruh Orang coba mengulang
kalimat tersebut. Contoh ‘saya akan pergi nonton di bioskop’ (skor 1)
3) Tiga perintah berurutan
Berikan Orang coba selembar kertas yang berisi 3 perintah yang
berurutan dan ikuti perintah tersebut seperti contoh. Ambil pensil itu
dengan tangan kananmu, lalu pindahkan ke tangan kirimu kemudian
letakkan kembali dimeja. (skor tiga)
4) Membaca
Sediakan kertas yang berisi kalimat perintah contoh. (tutup matamu).
Suruh Orang coba membaca dan melakukan perintah tersebut (skor 1)
5) Menulis
Suruh Orang coba menulis sebuah kalimat pada kertas kosong (skor 1)
6) Mengkopi(menyalin)
Gambarlah suatu objek kemudian suruh orang coba meniru gambar
tersebut (nilai 1)

Skor maksimun pada test ini adalah 30, sedangkan rata-rata normal dengan
nilai 27.

Gangguan Berbahasa (afasia)

1) Afasia motorik, karena lesi di area Broca, klien tidak mampu menyatakan
pikiran dengan kata-kata, namun mengerti bahasa verbal dan visual serta
dapat melaksanakan sesuatu sesuai perintah.
2) Afasia sensorik / perseptif, karena lesi pada area Wernicke, ditandai
dengan hilangnya kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual
tapi memiliki kemampuan secara aktif mengucapkan kata-kata dan
menuliskannya. Apa yang diucapkan dan ditulis tidal mempunyai arti apa-
apa.
3) Disatria, gangguan pengucapan kata-kata secara jelas dan tegas karena lesi
pada upper motor neuron (UMN) lateral bersifat ringan dan lesi UMN
bilateral bersifat berat.

Tingkat Kesadaran
1) Alert : Composmentis / kesadaran penuh
Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli
individu terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan.
2) Lethargic : Kesadaran
 Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan
bicara.
 Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien
dapat berespon dengan cepat.
 Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.
3) Obtuned
Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan
respon misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat
membingungkan.
4) Stuporus
 Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal.
 Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus.
5) Koma
Tidak dapat memberikan respon walaupun dengan stimulus maksimal,
tanda vital mungkin tidak stabil

Glascow Coma Scale (GCS)


Didasarkan pada respon dari membuka mata (Eye open = E), respon
motorik (motorik response=M), dan respon verbal (verbal response=V).
Dimana masing-masing mempunyai “scoring” tertentu mulai dari yang
paling baik (normal) sampai yang paling jelek. Jumlah “total scoring” paling
jelek adalah 3 (tiga) sedangkan paling baik (normal) adalah 15.
Score :
3 – 4 : vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja
<7 : koma
> 11: moderate disability
15 : composmentis
Adapun scoring tersebut adalah :

Respon Scoring
1. Membuka Mata = Eye open (E)
 Spontan membuka mata 4
 Terhadap suara membuka mata 3
 Terhadap nyeri membuka mata 2
 Tidak ada respon 1
2. Motorik = Motoric response (M)
 Menurut perintah 6
 Dapat melokalisir rangsangan sensorik di kulit (raba) 5
 Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak 4
 Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur 3
dekortikasi
 Ekstensi abnormal/postur deserebrasi 2
 Tidak ada respon 1
3. Verbal = Verbal response (V)
 Berorientasi baik 5
 Bingung 4
 Kata-kata respon tidak tepat 3
 Respon suara tidak bermakna 2
 Tidak ada respon 1

b. Saraf kranial :
1. Test nervus I (Olfactory)
 Fungsi penciuman
 Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda
yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan
sebagainya.
 Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
2. Test nervus II ( Optikus)
 Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
 Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua
baris di koran, ulangi untuk satunya.
 Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien
memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah,
gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung
memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.
3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)
 Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
 Test N III (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan senter
kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien
dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil
kena sinar.
 Test N IV, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm
sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya
deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
 Test N VI, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa
menengok.
4. Test nervus V (Trigeminus)
 Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak
mata atas dan bawah.
Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan
mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya
sentuhan.
 Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa
melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.
5. Test nervus VII (Facialis)
 Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam,
manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan
kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan
merangsang pula sisi yang sehat.
 Otonom, lakrimasi dan salivasi
 Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien
untuk : tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara
pemeriksa berusaha membukanya
6. Test nervus VIII (Acustikus)
 Fungsi sensoris :
 Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien,
pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari
bergantian kanan-kiri.
 Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan
lurus, apakah dapat melakukan atau tidak.
7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
 N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi
bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus.
Bagian parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
 N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula,
palatum lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.
 Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah
simetris dan tertarik keatas.
 Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx
dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
8. Test nervus XI (Accessorius)
 Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian
palpasi kekuatannya.
 Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan ----
test otot trapezius.
9. Nervus XII (Hypoglosus)
 Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
 Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
 Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat
dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
c. Fungsi sensorik :

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit


diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif
sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang
pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada
permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa
konsentrasi dengan baik).

Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan


sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas
(burning), rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang
lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching /
kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai
keluhan sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik
meliputi :

1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum
pada perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2. Kapas untuk rasa raba.
3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4. Garpu tala, untuk rasa getar.
5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :
 Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
 Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan
sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis
 Pen / pensil, untuk graphesthesia.
d. Sistem Motorik

Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks


cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus
pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan lower motor neuron.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan
kekuatan.

1) Massa otot : hypertropi, normal dan atropi


2) Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak
pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan / tungkai klien
ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat dirasakan oleh
pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif sehingga
tenaga itu mencerminkan tonus otot.
Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan
otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah,
melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan
spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi
bergelombang dalam melakukan fleksi dan ekstensi extremitas klien.

Sementara penderita dalam keadaan rileks, lakukan test untuk


menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan sendi
pergelangan tangan.

Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.

 Kekuatan otot :
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji.
Klien secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh
sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba.
Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s
(memiliki nilai 0 – 5)

0 = tidak ada kontraksi sama sekali.

1 = gerakan kontraksi.

2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau


melawan tahanan atau gravitasi.

3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.


5 = kekuatan kontraksi yang penuh.

Aktifitas refleks :

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon


menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0 = tidak ada respon

1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )

2 = normal ( ++ )

3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap


abnormal ( +++ )

4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :


1) Refleks patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi
kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan
tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa
kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.
2) Refleks biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan
lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari
pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku),
kemudian dipukul dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila
terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan
terjadi penyebaran gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi
bahu.
3) Refleks triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon triceps
diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2
cm diatas olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat
bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut
menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang
sementara.
4) Refleks achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan
refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas
tungkai bawah kontralateral.
5) Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal
berupa gerakan plantar fleksi kaki.
6) Refleks abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus.
Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah
daerah yang digores.
7) Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada
penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah
kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking
dan kemudian melintasi bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul
jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar.
Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.
e. Pemeriksaan Khusus Sistem Persyarafan
Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis)
dilakukan pemeriksaan :
1) Kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak
dapat menempel pada dada ---- kaku kuduk positif (+).
2) Tanda Brudzinski I
Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain
didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala
klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila
kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
3) Tanda Brudzinski II
Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi
panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada
sendi panggul dan lutut.
4) Tanda Kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah
pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350
terhadap tungkai atas.
Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit
terhadap hambatan.
5) Test Laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan
nyeri sepanjang m. ischiadicus.
Mengkaji abnormal postur dengan mengobservasi :
1) Decorticate posturing, terjadi jika ada lesi pada traktus corticospinal.
Nampak kedua lengan atas menutup kesamping, kedua siku, kedua
pergelangan tangan dan jari fleksi, kedua kaki ekstensi dengan
memutar kedalam dan kaki plantar fleksi.
2) Decerebrate posturing, terjadi jika ada lesi pada midbrain, pons atau
diencephalon.
Leher ekstensi, dengan rahang mengepal, kedua lengan pronasi,
ekstensi dan menutup kesamping, kedua kaki lurus keluar dan kaki
plantar fleksi.
B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Anamnesis

a. Identitas kilen, usia, jenis, kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,


agama, suku bangsa, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan utama ; nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang ; demam, anoreksi dan malaise, peninggian,
tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal .
d. Riwayat penyakit dahulu ; pernah atau tidak menderita infeksi telinga
(otitis media, mastoiditis ) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses
paru,empiema )jantung ( endokarditis ), organ pelvis, gigi dan kulit.
e. Riwayat Penyakit keluarga
Pengkajian Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan penanganan penyakit: tanyakan pandangan klien &
keluarga ttg penyakit dan pentingnya kesehatan bagi klien dan keluarga?
Apakah klien merokok / minum alcohol / pernah mengkonsumsi obat
obat tertentu ? apakah ada alergi?
b. Pola Nutrisi dan metabolik : pada abses serebri terjadi penurunan nafsu
makan disertai penurunan berat badan
c. Pola Eliminasi : BAK dan BAB dibantu ke kamar mandi oleh keluarga
d. Pola aktifitas / olahraga : pada pasien abses serebri mengalami
kelemahan fisik dan aktivitas dibantu oleh orang lain
e. Pola Istirahat dan tidur: sering terbangun karena merasa nyeri kepala
f. Pola Persepsi dan kognitif : pada pasien abses serebri terjadi penurunan
kesadaran
g. Pola peran dan hubungan : mengalami masalah dalam berkomunikasi
dengan orang lain
h. Pola Seksualitas: mengalami perubahan dalam pemenuhan kebutuhan
seks
i. Pola Koping - toleransi stress : mengalami kecemasan karena penyakit
yang dialami
j. Pola Keyakinan dan nilai: mengalami perubahan dalam pemenuhan
spiritual karena keterbatasan aktivitas
2. Diagnosa NANDA NOC NIC

No Diagnosa NOC NIC


1. Resiko ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Promosi Jaringan serebral
jaringan serebral keperawatan hasil yang diharapkan  Mengurangi hipertensi dg perluasan volume atau
Faktor resiko : 1. Kemampuan kognitif vsasokonsitriksi utk mengutamankan parameter
 Tumor Otak  Komunikasi yg jelas & tepat hemadinamik & jaringan serebral
 Artherosklerosis arteri  Orientrasi  Memberikan obat asoaktik untuk mengoptimalkan
 Aneurisma serebral  Memroses Informasi parameter hemadinamik
 Emboli  Membuat Keputusan yang 2. Perawatan Sirkulasi
 Trauma Kepala tepat  Melakukan tidankan yg komprehensif ttg sirkulasi
 Hipertensi 2. Status Nurologi peripheral

 Endokodit  fungsi neurologi : tdk  Evaluasi edema dan denyut nadi perifer

 Disemirasi koogulasi Inkavas bingung  Memeriksa kulit yg rusak karena luka


kuler  Fungsi neurologi :  Memantau ketidaknyamanan dan nyeri
sensoriksensorik kronik 3. .PemantauanTek.Intrakranial
 Komunikasi  Menyediakan informasi kpd keluarga
 Ukuran pupil  Pantau TTV
 Tidak ada sakit kepala  Monitor batuk dann reflex BAB
 Pantau respon klien
4. Pemantauan Neurologi
 Monitor ukuran pupil bentuk, kesimestrisan dan reaksi
 Pantau tingkat orientasi
 Pantau tremor
2. Ketidakseimbangan nutrisi : Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi
Kurang dari kebutuhan . keperawatan hasil yang diharapkan  Pantau adanya alergi pd klien
Batasan Karakteristik : Status nutrisi  Monitor intake kalori dan gaya hdp klien
 Nyeri abdomen  Intake nutrisi  Monitor pola diet klien
 Tidak Nafasu makan  Intake makanan cairan  Berikan plhan makanan
 BB 20 % dibawah ideal  Masa tubuh  Ajarkan program diet dan pelaksanaannya
 Lemah Status Nutrisi : Intake cairan  Pantau TTV
 Diarae  Intake makanan lewat mulut
 Mual, muntah  Intake makanan leawat slang
 Mulkus membrane pucat  Pemberian cairan lewat mulut
 Gangguan menelan  Intake total parenteral nutrisi
 Ganguan pengecap Status nutrisi : Intake nutrisi
 Kurang pengetahuan  Intake Kalori
Faktor yang berhubungan  Intake Protein
 Faktor biologis  Intake Lemak
 Ketidakmampuan untuk
menyerap nutrisi  Intake KH
 Ketidakmampuan untuk  Intake Mineral dan elektrolik
mencerna makanan
 Ketidakmampuan untuk
menelan makanan
 Keuangan cukup
 Fakto psikologis

3. Hipertermi Termoregulation Penanganan demam


Batasan karakteristik Definisi:  Memonitor temperatur secara berkala
 Kejang
Keseimbangan antara produksi  Memonitor kehilangan cairan yang tidak terlihat
 Kulit memecah
panas, peningkatan panas, dan  Memonitor warna kulit dan temperatur
 Peninggatan suhu tubuh
diatas normal kehilangan panas.  Memonitor tekanan darah, nadi dan pernafasan secara
 Seizurus  Suhu tubuh klien turun berkala
 Takikardi
(normal 37oC +- 1oC)  Memonitor tingkat penurunan kesadaran
 Takipnu
 Terbaba hangat  Kulit klien melembab  Memonitor intake dan output
 Klien merasa nyaman dengan  Memberikan obat antipiretik jika dibutuhkan
Faktor yang berhubungan  Memberikan cairan intravena
suhu tubuhnya
 Anestesi  Sakit kepala klien berkurang
 Berkeringat banyak
 Dehidrasi TTV
 Terpapar lingkungan yang
 Suhu tubuh normal
panas
 Pakaian yang tidak sesuai  Tekanan darah normal
 Peningkatan tingkat  RR normal
metabolik
 Nadi normal
 Penyakit
 Pengobatan
 Trauma
 Aktifitas berat/kuat

4. Nyeri Akut Level nyeri Manajemen nyeri:


Batasan Karakteristik: Definisi : Keparahan nyeri yang  Menunjukkan pengkajian yang komprehensif dari nyeri
 Perubahan nafsu makan diamati atau dilaporkan. untuk menunjukkan lokasi, karakter, onset/durasi
 Perubahan tekanan darah - Klien melaporkan nyeri berkurang frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri dan
 Perubahan frekuensi jantung - Klien menunjukkan ekspresi nyeri faktor-faktor pencetusnya

 Perubahan frekuensi berkurang  Mengamati perilaku tidak nyaman non-verbal, terutama

pernafasan - Klien mengatakan mual jika tidak mampu berkomunikasi secara efektif

 Laporan isyarat berkurang  Menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk


 diaforesis - TTV normal pengalaman ketidaknyamanan tentang nyeri dan
 Prilaku diatraksi (mis; penerimaan respon pasien tentang nyeri
mondar-mandir, mencari  Menentukan dampak dari pengalaman nyeri dalam
orang lain dan/atau aktivitas kualitas hidup (tidur, selera makan, aktivitas, kognisi,
lain, aktivitas yang berulang ) suasana hati, hubungan, penampilan kerja, dan
 Mengekspresikan prilaku ( tanggungjawab peran)
mis: gelisah,merengek,  Mengurangi atau mengeliminasi faktor pencetus atau
menangis, wadata, yang meningkatkan nyeri (takut, kelelahan, perilaku yang
iritabilitas, mendesah) monoton, kurang pengetahuan)

 Masker wajah Fokus (mis :  Memilih dan mengimplementasikan berbagai macam

mata kurang bercahaya, pengukuran (farmakologi, non-farmakologi,

tampak kacau, gerakan mata interpersonal) untuk memfasilitasi penghilangan nyeri

berpencar atau tetap pada  Mengajari prinsip manajemen nyeri

satu fokus meringis )  Mempertimbangkan tipe dan sumber nyeri ketika

 Prilaku berjaga jaga, memilih strategi menghilangkan nyeri

Melindungi area nyeri  Mendorong pasien untuk memonitor nyerinya dan ikut

 Fokus menyempit ( mis : campur seperlunya


 Mengajarkan untuk menggunakan teknik non-
gangguan persepsi nyeri,
farmakologi
hambatan proes berfikir, Administrasi analgesik
penurunan interaksi dengan  Definisi : Menggunakan agen farmakologi untuk
orang yang dan menghilangkan atau mengurangi nyeri
lingkungannya )  Mengevaluasi kemampuan pasien untuk berpartisipasi
 Indikasi nyeri yang dapat dalam pemilihan analgesik, jalur, dosis dan keterlibatan
diamati pasien jika dibutuhkan
 Perubahan posisi untuk  Memilih analgesik yang sesuai atau kombinasi analgesik
menghindari nyeri jika lebih daari satu yang diresepkan
 Sikap melindungi tubuh  Menentukan pemilihan analgesik berdasarkan tipe dan

 Dilaktasi pupil keparahan nyeri

 Melaporkan nyeri  Memonitio tanda-tanda vital sebelum dan sesudah

 Fokus pada diri sendiri pemberian analgesik


 Memperhatikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain
 Gangguan tidur
yang membantu relaksasi untuk memfasilitasi respon
Faktor yang berhubungan :
analgesik
 Agen cedera (biologi, kimia,
 Mendokumentasikan srespon analgesik dan efek yang
fisika, psikologi )
tidak diinginkan

5. Resiko Cedera Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Jatuh


Faktor Resiko keperawatan hasil yang diharapkan:  Identifikasi deficit kognitif dan fisik yg dpt
 Kondisi darah abmormal Pengetahuan : Perlindungan diri mengakibatkan jatuh
 Disfungsi biokimia  Menjeleskan bagaimna  Manage lingkungan yg aman
 Usia dan psikologis pencegahan jatuh, kecelakaan,  Sediakan alat bantu
 Disfungsi efektor keamanan air, api, benda  Atur tempat tdr klien seaman mungkin, pasang sel
 Disfungsi sensory elktronik, prilaku pribadi,  Minta klien untuk segan memanggil jika butuh
Status Neurologi pertolongan
 Fungsi neurologi : motorik  Jauhkan benda tajam dan berbahaya
pusat  Ajarkan keluarga ttg risiko cedera dan pencegahannya
 Fungsi neurologi : sensorik  Anjurkan keluarga untuk sering memantau klien
cranial Managemen kaamanan lingkungan
 Komunikasi,Ukuran pupil, tdk  Kolaborasi dg petugas lain dan keluarga
ada sakit kepala
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing, SM. 2006. Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mardjono, Mahar, dkk. Abses Serebri. Neurologi Klinis Dasar.hal 320-321.


Jakarta: Dian Rakyat. 2008.

Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian


Rakyat.

Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan SPO
Neurologi “ PERDOSSI’’. hal 27-29. Jakarta: 2006.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah.
(Ed.8). Jakarta: EGC

Sudewi, AA Raka, dkk. Abses Serebri. Infeksi pada system saraf “PERDOSSI”.
Hal 21-27. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair. 2011.

Anda mungkin juga menyukai