Anda di halaman 1dari 24

TUGAS PENGAYAAN

Diagnosis and Early Management of Cerebral Abcess

Disusun untuk memenuhi tugas Dokter Muda

di Laboratorium/SMF Neurologi FKUB-RSSA Malang

oleh:

Adityas Ramadhanni

210070200011091

Periode 13 Maret – 9 April 2023

Pembimbing:

dr. Dessika Rahmawati, Sp.S(K)

LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2023
DAFTAR ISI

TUGAS PENGAYAAN 1

DAFTAR ISI 2

DAFTAR GAMBAR 3

DAFTAR TABEL 4

A. Definisi 1

B. Epidemiologi 1

C. Etiologi 2

D. Patofisiologi 4

E. Klasifikasi 6

F. Diagnosis 7

G. Diagnosis Banding 14

H. Tatalaksana 14

I. Prognosis 19

DAFTAR PUSTAKA 20

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran CT scan abses serebral pada fase awal………………….11

Gambar 2. Gambaran CT scan abses serebri pada fase lanjut/late cerebri…….12

Gambar 3. Gambaran CT scan abses serebri pada early capsule formation…..12

Gambar 4. Gambaran CT scan abses serebri pada late capsule formation…….13

Gambar 5. Gambaran MRI pada abses serebri…………………………………….13

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lokasi abses intrakranial dan temuan klinis……………………………….8

4
A. Definisi

Abses otak adalah infeksi lokal intrakranial yang dimulai dengan area

cerebritis dan berkembang menjadi kumpulan nanah yang dikelilingi oleh

kapsul. Abses otak dapat disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri,

fungi, dan parasit yang berasal dari fokus infeksi yang berdekatan dengan

otak ataupun menyebar secara hematogen. Mikroorganisme tersebut

mencapai substansia otak melalui aliran darah, perluasan infeksi sekitar otak,

luka tembus trauma kepala dan kelainan kardiopulmoner. Pada beberapa

kasus tidak diketahui sumber infeksinya (Winn HR, 2017)

Abses intrakranial sendiri dapat berasal dari infeksi struktur organ yang

berdekatan dengan otak (misalnya, otitis media, infeksi gigi, mastoiditis,

sinusitis), sebagai efek sekunder dari penyebaran secara hematogen yang

berasal dari organ yang agak jauh (terutama pada pasien dengan penyakit

jantung bawaan sianotik), setelah trauma di daerah kepala ataupun pasca

operasi, dan pada kondisi yang jarang terjadi yaitu mengikuti terjadinya

meningitis sebelumnya (Miranda A., 2013).

B. Epidemiologi

Abses serebri dapat terjadi pada berbagai kelompok usia namun paling

sering terjadi pada anak berusia 3 samai 5 tahun. Penyebab abses serebri

pada anak diantaranya adnaya embolisasi sebagai akibat daro penyakit

jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler diantaranya seperti tetralogy

of fallot (Winn HR, 2017).

Di Indonesia belum ada data pasti, namun Amerika Serikat dilaporkan

sekitar 1500-2500 kasus abses serebri per tahun. Prevalensi diperkirakan

0,3-1,3 per 100.000 orang/tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak

1
daripada Wanita, yaitu dengan perbandingan 2-3:1, dan rata0rata umur

penderuta berusia 30 sampai 40 tahun (Winn HR, 2017).

Pada usia 20-40 tahun terdapat peningkatan risiko terkena abses serebri

yang sumber utamanya berasalh dari infeksi telinga. Kejadian terjadinya

penyakit abses serebri juga dapat diperparah apabila infeksi diikuti dengan

trauma kepala (Winn HR, 2017).

Pada anak-anak, abses serebri sebesar 25% terutama disebabkan oleh

infeksi sekunder yang berasal dari telinga atau pada anak-anak yang

menderita kelainan jantung kongenital. Laporan dari University of Virginia

Children’s melaporkan bahwa dari tahun 2000 sampai 2007 rata-rata ada 2

anak yang didiagnosis menderita abses otak setiap tahunnya (Greenberg,

2016).

C. Etiologi

Penyebab dari abses serebri paling banyak berasal dari penyebaran

infeksi telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis, dan

maxilaris). Abses serebri dapat timbul akibat dari penyebaran secara

hematogen dari infeksi paru sistemik seperti empyema, abses paru,

bronkiektasis, dan pneumonia. Selain dari infeksi paru juga dapat tersebar

akibat endocarditis bacterial akut dan subakut serta pada penyakit

kongenital seperti tetralogy Fallot (Greenberg, 2016).

Abses juga dijumpai pada penderita penyakit immunologic seperti AIDS,

serta pada penderita penyakit kronis yang mendapatkan terapi

kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan system kekebalan tubuh. Walau

demikian masih terdapat 20-37% penyebab abses serebri yang tidak

2
diketahui secara pasti. Penyebab terjadinya abses bisa karena bakteri,

jamur, serta parasit, diuraikan sebagai berikut :

1. Bakteri

Bakteri yang paling sering menyebabkan abses otak adalah

Streptococcus (aerob, anaerob, dan mikroaerophili) yang ditemukan hingga

pada 70% kasus. Organisme ini termasuk grup Streptococcus anginosus

(milerri), yang merupakan flora normal di rongga mulut, appendix, dan traktur

genitalia wanita. Selain itu terdapat bakteri Staphilococcus aureus yang

umumnya ditemukan pada kasus penderita dengan cedera kranial atau

endokarditis infektif (Greenberg, 2016).

2. Fungi

Candida merupakan jamur yang paling sering menyebabkan abses otak

berupa mikroabses, makroabses dan difusi nodul glial. Penyakit saluran

saraf pusat akibat Rhizopus arrbizus bisa disebabkan karena masuknya

mikroorganisme secara langsung akibat trauma kepala terbuka ataupun

penyebaran hematogen. Pasien immunokompromais termasuk pasien

tranplantasi dan AIDS, infeksi jamur lebih sering ditemukan. Organisme

tersebut yakni Toxoplasma gondii, Nocardia asteroids, Candida albicans,

Listeria monocytogenes, Mycobacterium, Aspergillus fumigatus. Jamur

lainnya yang telah dilaporkan menjadi penyebab abses otak adalah

Cryptococcus neoformans dan mikosis endemik (Coccidioides spp.,

Histoplasma spp., dan Blastomyces dermatitis) (Greenberg, 2016).

3. Parasit

Beberapa parasit yang diketahui menjadi penyebab abses otak ialah

protozoa dan helminthes seperti Trypanosoma cruzi, Taenia solium,

3
Entamoeba histolytica, Schistosoma spp., Microsporidia spp., dan

Paragonimus spp. Protozoa penyebab infeksi otak yang terpenting adalah

Toxoplasma gondii yang bisa terlihat terutama pada penderita HIV

(Greenberg, 2016).

D. Patofisiologi

Abses serebri disebabkan oleh peradangan intrakranial dengan kondisi

pembentukan abses sebagai kelanjutannya. Lokasi intrakranial yang paling

sering ialah di area frontal temporal, frontal-parietal, parietal, serebelum, dan

lobus oksipital. Regio frontotemporal merupakan lokasi tersering dari abses

serebri. Infeksi sendiri dapat memasuki kompartemen intrakranial secara

langsung ataupun tidak langsung melalui 3 rute. Rute yang menjadi jalur

penyebaran untuk menyebabkan terjadinya infeksi intrakranial diantaranya

adanya fokus supuratif yang berdekatan dengan intrakranial (45-50%

kasus), adanya kondisi trauma (10% kasus), dan berasal dari fokus infeksi

yang jauh dapat menyebar secara hematogen (25% kasus) (Winn HR,

2017)..

1. Fokus supuratif yang berdekatan

Pada rute ini merupakan rute dengan penyebarannya langsung melalui

intrakranial, dan biasanya lebih lebih sering terkait dengan infeksi otitis

subakut dan kronis serta mastoiditis dibandingkan dengan sinusitis. Otitis

media subakut dan kronis serta mastoiditis umumnya menyebar ke lobus

temporal inferior dan cerebellum. Sinusitis frontal atau ethmoid menyebar ke

lobus frontalis (Winn HR, 2017)..

Selain itu infeksi odontogenik dapat menyebar ke intrakranial melalui

penyebaran langsung ataupun melalui jalur hematogen. Infeksi odontogenik

4
regio mandibula juga biasanya menyebar ke lobus frontalis. Penyebaran

yang berdekatan bisa meluas ke berbagai lokasi di sistem saraf pusat,

menyebabkan trombosis sinus kavernosus; meningitis retrograde; dan abses

serebri, epidural, dan subdural. Jaringan vena tanpa katup yang

menghubungkan sistem vena intracranial dan pembuluh darah pada mukosa

sinus memberikan jalur alternatif dari masuknya bakteri menuju intracranial

(Winn HR, 2017)..

Kemudian penyebaran intrakranial dari infeksi melalui jalur vena biasa

terjadi pada penyakit sinus paranasal, terutama pada peradangan kronis

eksaserbasi akut. Otitis media kronis dan mastoiditis umumnya menyebar ke

lobus temporal inferior dan cerebellum, menyebabkan infeksi sinus frontal

atau ethmoid dan infeksi gigi dari lobus frontal (Winn HR, 2017)..

2. Trauma

Trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak terbuka memungkinkan

organisme untuk langsung berada dan berkembang biak di otak. Abses

serebri juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari operasi intrakranial, dan

juga adanya benda asing, seperti ujung pensil, sisa-sisa rumput, peluru, dan

pecahan peluru. Kadang abses serebri bisa berkembang setelah trauma

pada wajah (Winn HR, 2017)..

3. Penyebaran secara hematogen dari fokus infeksi yang jauh

Abses serebri lebih sering bermultiplikasi dan bermultilokulasi dan sering

ditemukan dalam distribusi arteri serebri media. Lobus yang paling sering

terkena efeknya adalah lobus frontalis, temporalis, parietalis, cerebellum,

dan terakhir occipital. Penyebaran hematogen berhubungan dengan

penyakit jantung sianotik (terutama pada anak-anak), malformasi arteri dan

5
vena pulmonalis, endokarditis, infeksi paru-paru kronis (misalnya, abses,

empyema, bronkiektasis), infeksi kulit, infeksi daerah abdomen dan pelvis,

neutropenia, transplantasi, dilatasi esofagus, penggunaan obatobatan

injeksi, dan infeksi HIV (Winn HR, 2017)..

E. Klasifikasi

Berdasarkan fasenya, abses serebral dibedakan menjadi 4 fase, yakni:

1. Fase serebritis dini (Early cerebritis)

Fase ini terjadi pada hari 1 sampai pada hari ke 3. Fase srebritis ini

ditunjukkan melalui terjadinya reaksi radang lokal dengan infiltrasi

polymorphonuclear leukosit, limfosit, dan plasma sel dengan pergeseran

aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari

ke-3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah

dan mengelilingi daerah nekrosis infkesi. Peradangan pervaskular ini disebut

cerebritis. Pada fase ini terjadi edema pada sekitar otak dan peningkatan

efek massa karena pembesaran abses (Winn HR, 2017)..

2. Fase serebritis lanjut (Late cerebritis)

Fase ini terjadi pada hari ke 4 sampai hari ke 9. Pada fase ini akan terjadi

perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis membesar

oleh karena peningkatan “acelullar debris” dan pembentukan nanah karena

pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati

daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblas yang

terpancar. Fibroblas mulai menjadi retikulum yang akan membentuk kapsul

kolagen. Pada fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi

menjadi sangat besar (Winn HR, 2017)..

3. Fase pembentukan kapsul dini (Early capsule formation)

6
Fase ini terjadi pada hari ke 10 sampe ke 13. Pusat nekrosis mulai

mengecil, makrofag-makrofag menelan “acellular debris” dan fibroblas

meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan fibroblas ini membentuk

anyaman retikulum mengelilingi pusat nekrosis. Di daerah ventrikel,

pembentukan dinding sangat lambat karena kurangnya vaskularisasi di

daerah substansi putih dibandingkan substansia abu. Pembentukan kapsul

yang terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar

kedalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke dalam

ventrikel lateralis. Pada permukaan kapsul, terlihat daerah anyaman

retikulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen, reaksi atrosit di sekitar

otak mulai meningka (Miranda A., 2013).

4. Fase pembentukan kapsul lanjut (Late capsule formation)

Terjadi pada hari ke 14 atau lebih. Pada fase ini terjadi perkembangan

lengkap abses dengan gambaran histologis sebagai berikut: bentuk pusat

nekrosis diisi oleh “acelullar debris” dan sel-sel radang. Daerah tepi dari sel

radang, makrofag dan fibroblast. Kapsul kolagen yang tebal. Lapisan

neovaskular sehubungan dengan cerebritis yang berlanjut. Reaksi astrosit,

gliosis dan edema otak diluar kapsul (Miranda A., 2013).

F. Diagnosis

Pada kasus abses serebral penegakan diagnosis juga sama seperti

kasus yang lainnya yang dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Hasil anamnesis dapat ditemukan gejala umum berupa demam, nafsu

makan menurun, dan berat badan turun. Gejala neurologis dapat berupa

7
penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah dan kejang. Sumber

infeksi dapat diperkirakan jika pasien pernah memiliki riwayat trauma tembus

otak, paska kraniotomi, infeksi telinga dan mastoid, infeksi hidung dan sinus

parasinus, infeksi gigi dan pneumonia. Faktor presdipoisi juga dapat

ditentukan jika pasien memiliki kelainan jantung bawaan, kencing manis,

pemakaian kemoterapi, pemakaian kortikosteroid, pemakaian implant dan

pemakaian antibiotic (Miranda A., 2013).

Sebanyak sekitar dua pertiga pasien, gejala akan muncul selama 2

minggu atau kurang. Tampilan klinis berkisar dari lambat sampai dengan

kondisi yang fulminan. Kebanyakan gejala merupakan hasil dari ukuran dan

lokasi dari space-occupying lesion ataupun lesi itu sendiri(Miranda A., 2013).

Trias yang dirasakan meliputi demam, sakit kepala (seringnya berat dan

terasa di sisi yang mengalami abses), dan defisit neurologis fokal terjadi

pada kurang dari setengah pasien yang mengalami abses intrakranial.

Gejala yang sering dirasakan oleh pasien adalah adanya sakit kepala, pada

70% kasus, perubahan status mental (mungkin menunjukkan adanya edema

serebri) pada 65% kasus, adanya defisit neurologis fokal pada 65% kasus.

Dapat pula adanya keluhan demam pada 50% kasus, mual dan muntah

pada 40% kasus, kejang pada 25-35% kasus, adanya kaku kuduk pada 25%

kasus, serta ditemukannya papilledema pada 25% kasus. Sakit kepala yang

mendadak memburuk, diikuti oleh tanda-tanda kegawatan meningismus,

sering dikaitkan dengan rupturnya abses. Apabila berdasarkan lokasinya di

intrakranial akan didapatkan beberapa gejala sebagai berikut (Winn HR,

2017).:

Tabel 1. Lokasi abses intrakranial dan temuan klinis

8
No
2. Pemeriksaan Lokasi
Fisik Temuan Klinis
. Intrakranial
1. Lobus Parietal Sakit kepala, penurunan luas lapangan pandang
2. Lobus Frontal Sakit kepala, rasa kantuk meningkat, penurunan
perhatian, perubahan kepribadian, kemunduran
status mental, gangguan bicara
3. Lobus Temporal Sakit kepala ipsilateral, afasia/disfasia,
penurunan luas lapangan pandang
4. Serebellum Sakit kepala, nystagmus, ataxia, muntah,
dysmetria, meningismus, papil edema
5. Batang Otak Gangguan fungsi nervus kranialis, deficit
asenden dan desenden pathway.

Tanda-tanda neurologis lokal dapat ditemukan pada kebanyakan pasien.

Tanda-tanda dan/atau gejala yang muncul biasanya merupakan kondisi

yang menunjukkan fungsi langsung dari lokasi abses intracranial. Abses di

cerebellum biasanya akan memberikan gejala adanya nystagmus, ataksia,

muntah, dan dysmetria (koordinasi gerakan anggota tubuh terganggu).

Abses di batang otak biasanya akan memunculkan gejalan dan tanda

adanya kelemahan otot-otot wajah, sakit kepala, demam, muntah, disfagia,

dan hemiparesis (Winn HR, 2017)...

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium rutin

Pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan pada abses serebri

adalah pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit,

pemeriksaan laju endap darah (LED), serum C-reactive protein (CRP).

Dapat pula dilakukan tes serologi untuk beberapa pathogen, misalnya

antibodi serum immunoglobulin G, polymerase chain reaction (PCR) dari

9
cairan cerebrospinal untuk Toxoplasma. Pemeriksaan kultur darah

sebaiknya dilakukan sebelum penggunaan antibiotic (Greenberg, 2016)..

Hasil-hasil yang didapatkan biasanya terdapat leukositosis moderat,

dan kadar LED sering ditemukan meningkat pada hingga dua pertiga

pasien serta CRP umumnya meningkat. Kadar natrium serum mungkin

rendah karena ketidaksesuaian produksi hormon antidiuretik. Jumlah

trombosit dapat tinggi ataupun rendah (Greenberg, 2016)..

b. Cairan Serebrospinal

Lumbal pungsi jarang dibenarkan dan merupakan kontraindikasi jika

terdapat peningkatan tekanan intrakranial oleh karena berpotensi menjadi

herniasi di sistem saraf pusat hingga kematian. Hasilnya biasanya tidak

menguntungkan, yang terdiri dari peningkatan kadar protein, pleositosis

dengan jumlah neutrofil yang bervariasi, kadar glukosa normal, dan hasil

kultur steril. Lumbal pungsi sebagian besar bermakna untuk

menyingkirkan proses penyakit lainnya, terutama meningitis bakterial.

Gambaran CT scan atau MRI sebelum lumbal pungsi mutlak diindikasikan

pada adanya setiap temuan neurologis fokal atau papilledema. Angka

leukosit biasanya tinggi, mencapai 100.000/μL atau lebih tinggi bila abses

mengalami ruptur ke dalam ventrikel. Banyak eritrosit umumnya diamati

pada waktu itu, dan kadar asam laktat cairan serebrospinal kemudian

meningkat ke lebih dari 500 mg (Greenberg, 2016)..

c. Aspirasi Abses

Aspirasi abses biasanya diperoleh melalui CT stereotactic atau

operasi. Dari aspirasi tersebut dapat dilakukan pemeriksaan kultur aspirat

abses untuk aerob, anaerob, dan organisme tahan asam serta jamur.

10
Dapat dilakukan pengecatan gram, pengecatan tahan asam (untuk

Mycobacterium), pengecatan tahan asam modifikasi (untuk Nocardia),

dan pengecatan khusus jamur (misalnya, perak methenamine,

mucicarmine). Serologi antibodi anti-cysticercal dapat dilakukan untuk

diagnosis neurocysticercosis. Dilakukan pula pemeriksaan histopatologi

dari jaringan otak. Beberapa penelitian menggunakan PCR DNA rantai

ribosom 16S meningkatkan jumlah spesies bakteri didapat dari abses

otak dibandingkan dengan kultur standar (Greenberg, 2016).

d. Pemeriksaan Radiologis

 CT Scan

Pemeriksaan CT scan yang dilakukan dengan pemberian kontras,

dapat menunjukkan deteksi mengenai ukuran, jumlah, dan lokasi

abses. Pemeriksaan ini telah menjadi andalan diagnosis dan

perawatan tindak lanjut. Metode ini digunakan untuk mengkonfirmasi

diagnosis, untuk melokalisasi lesi, dan untuk memantau

perkembangan setelah perawatan (Feraco P et al, 2020).

Gambaran CT scan yang menunjukkan adanya abses serebri

apabila dilakukan pemeriksaan dengan pemberian kontras adalah

adanya gambaran hipodens.

Gambar 1. Gambaran CT scan abses serebral pada fase awal.

11
Pada fase lanjut akan didapatkan gambaran yang hipodens, tetapi

pada pinggirnya mulai akan terlihat penyerapan kontras atau yang

peningkatan densitas menjadi sedikir lebih hiperdens pada daerah

sekitar hipodens atau yang disebut enhancement ring (Persebsi,

2016).

Gambar 2. Gambaran CT scan abses serebri pada fase

lanjut/late cerebri.

Pada fase pembentukan kapsul dini/early capsule formation

didapatkan peningkatan densitas pada sekililing nodul hipodens yang

membentuk cincin, Gambaran enhancement ring semakin terlihat

dibandingkan pada fase lanjut (Persebsi, 2016).

12
Gambar 3. Gambaran CT scan abses serebri pada early

capsule formation.

Pada fase pembentukan kapsul lanjutl/late capsule formation

akan semakin terjadi peningkatan densitas pada sekeliling nodul

hipodens, dan akan tampak pada gambaran CT scan baik dengan

kontras ataupun tidak (Persebsi, 2016).

Gambar 4. Gambaran CT scan abses serebri pada late capsule

formation

 MRI

Pemeriksan MRI pada abses otak lebih sensitif pada fase early

cerebriti, lebih sensitif dalam mendekteksi lesi satelit dan lebih akurat

dalam mengestimasi perpanjangan nekrosis sentral, perbesaran cincin

area dan edema serebral. Berkebalikan dengan CT scan, pada

pemeriksaan MRI akan menunjukkan gambaran yang bewarna terang

atau hiperintens (Feraco P et al, 2020).

13
Gambar 5. Gambaran MRI pada abses serebri

Hal yang harus difollow up pada pemeriksaan CT scan dan MRI

yakni;

a. Derajat ring enhancement

b. Edema

c. Efek massa

d. Ukuran lesi dengan cara membandingkan minggu pertama dan ke

empat. Lesi dengan ukuran rata-rata 2,5 cm pada 95% kasus bisa

diselesaikan dengan pemberian antibiotik saja yang dapat menurunkan

ukuran lesi dalam waktu 1 bulan (Persebsi, 2016).

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari abses serebri yakni tumor otak (astrositoma),

infark serebri, tuberkuloma, dan kista arachnoid. Selain itu dapat juga berupa

bacterial meningitis, brain tumors, demyelination, epidural/subdural abscess,

encephalitis, fungal or parasitic infestations: cryptococcosis/cysticercosis,

mycotic aneurysm, septic dural sinus thrombosis (Persebsi, 2016).

H. Tatalaksana

1. Medikamentosa

Pasien yang diduga menderita abses otak, pengambilan sampel

jaringan dilakukan hampir pada setiap kasus untuk menegakkan

14
diagnosis dan menentukan patogen sehingga bisa memilih antibiotik

spesifik untuk mikroorganisme penyebab. Umumnya prosedur eksisi atau

surgical drainage digunakan untuk mengobati abses otak. Pengobatan

murni dengan antibiotik sampai saat ini masih menjadi kontroversial

(Greenberg, 2016).

Pengobatan farmakologi tanpa operasi dapat dipertimbangkan jika

(Greenberg, 2016):

a. Pasien dalam kondisi buruk untuk dilakukan operasi

b. Multiple abses terutama jika abses berukuran kecil

c. Abses berada di lokasi yang sulit dijangkau seperti di batang otak

d. Abses bersamaan dengan meningitis atau ependimitis

Pengobatan farmakologi akan lebih berhasil jika (Greenberg, 2016):

a. Terapi dimulai pada saat fase cerebritis, walaupun banyak dari lesi

tersebut akan membentuk kapsul.

b. Lesi kecil, abses yang berukuran 0,8 - 2,5cm akan lebih berhasil jika

diobati dengan antibiotik. Pengobatan akan gagal jika abses sudah

berukuran 2,5 - 6cm. Ukuran abses sebesar 3cm menjadi nilai batas

untuk dilakukan operasi.

c. Lamanya timbul gejala klinis masih di bawah 2 minggu.

d. Pasien menunjukan perbaikan klinis yang nyata dalam waktu 1 minggu.

Antibiotik diberikan selama 6-8 minggu, pengobatan ditambah jika hasil

CT masih menunjukkan hasil abnormal yang persisten. Hasil perbaikan

hasil CT scan bisa tidak seiring dengan perbaikan klinis. Durasi

pemberian antibiotik bisa dikurangi jika abses dan kapsul sepenuhnya

15
telah dieksisi. Antibiotik oral bisa diberikan seiring dengan pemberian

antibiotik secara intravena.

Terapi empirik pada pasien abses otak yang belum diketahui kultur dan

sensitivitasnya adalah (Greenberg, 2016)

1. Sefalosporin generasi III.4

 Sefotaksim

- Dewasa : 1 gram tiap 8 jam, intravena. Bila sangat berat dapat

dinaikan 2 gram tiap 4 jam intravena

- Anak : 50 mg/kg intravena setiap 6 jam.

 Seftriakson

- Dewasa : 2 gram intravena tiap 12 jam

- Anak : 75 mg/kg dosis insial dilanjutkan 100mg/kg/hari dibagi

setiap 12 jam

2. Metronidazol:

- Dewasa (30mg/kg/hari iv dibagi setiap 8 jam),

- Anak (10 mg/kg iv setiap 8 jam) atau

3. Vancomycin (melawan MRSA)

- Dewasa : 1 gr intravena setiap 12 jam

- Anak : 15 mg/kg setiap 8 jam intravena

Selain antibiotik juga diperlukan medikamentosa tambahan seperti

kortikosteroid, manitol, Lasix, dan anti-konvulsan (phenytoin 300-600 mg

per hari dibagi 2-3 dosis atau 5-8 mg/kg BB selama 1-2 tahun) . Khusus

untuk kortikosteroid hanya diberikan apabila terdapat edema yang hebat

serta menimbulkan deteriorasi neurologis, Syarat lainnya adalah

sensivitas kuman telah diketahui, untuk kortikosteroid pada dewasa dapat

16
menggunakan dexamethasone 10-12 mg loading dose diikuti 4 mg setiap

6 jam IV atau PO. Sedangkan pada anak-anak dapat menggunakan

dexamethasone dengan dosisnya 0,5 mg/kg setiap hari dengan

perharinya tidak lebih dari 16 mg. Dan kortikosteroid segera ditapering off

setelah keadaan membaik (Greenberg, 2016).

2. Operasi

Tindakan operasi dibutuhkan pada penderita abses otak untuk

mempercepat penyembuhan infeksi. Tindakan operasi yang digunakan

ialah needle aspiration dan eksisi. Ekternal drainage masih menjadi

kontroversial dalam penangan abses otak dan pemberian antibiotik pada

abses sudah tidak berhasil, bisa digunakan untuk abses Apergilluss yang

sulit diatasi (Greenberg, 2016) :

a. Efek pendesakan masa yang signifikan pada gambaran CT Scan atau

MRI

b. Sulit menegakkan diagnosis terutama pada orang dewasa

c. Lokasi abses dekat ventrikel.

d. Tekanan intrakranial yang meningkat

e. Status neurologis yang buruk seperti pasien yang hanya merespon jika

diberi nyeri atau bahkan tidak merespon sama sekali.

f. Abses akibat trauma yang berhubungan dengan benda asing

g. Abses akibat jamur

h. Abses multiloculoted

i. Tidak mampu dilakukan serial CT-scan/MRI setiap 1-2 minggu

j. Pengobatan dengan farmakologi yang gagal ditandai dengan

kemunduran status neurologis, perkembangan abses menuju ventrikel,

17
setelah 2 minggu abses mengalami pembesaran, atau bisa

dipertimbangkan jika setelah 4 minggu tidak terdapat penurunan ukuran.

 Needle Aspiration

Needle aspiration merupakan tindakan yang paling sering dikerjakan

terutama pada lesi yang dalam. Needle aspiration bisa dikerjakan dengan

menggunakan anastesi lokal jika dibutuhkan. Tindakan bisa

dikombinasikan dengan mengirigasi antibiotik atau normal salin. 70%

kasus abses otak, tindakan aspirasi dilakukan secara berulang dan

biasanya tindakan bisa ikuti dengan eksisi pada lesi multiple (Greenberg,

2016).

Syarat melakukan needle aspiration yakni:

1. Meminimalkan panjang tusukan yang melalui otak

2. Hindari melewati ventrikel, saraf atau struktur vaksular

3. Hindari melewati stuktur luar kompartemen intrakranial yang terinfeksi

(tulang yang terinfeksi, luka kulit kepala, dan sinus paranasal)

4. Pada kasus abses multipel, target ialah: Ketika diagnosis tidak

diketahui, needle aspiration dilakukan pada lesi terluas atau yang

menyebabkan gejala klinis terbanyak. Jika diagnosis abses telah

dikonfirmasi aspirasi dilakukan pada lesi dengan diamater >2,5 cm, lesi

yang menyebabkan efek massa klinis yang nyata dan lesi yang

membesar (Greenberg, 2016).

 Eksisi

Eksisi hanya bisa dilakukan pada fase kronis (late capsule stage).

Tindakan dilakukan dengan cara mengangkat abses seperti halnya tumor

yang terkapsulasi dengan baik. Lamanya penggunaan antibiotik dapat

18
dipersingkat dalam 3 hari pada beberapa kasus eksisi total. Tindakan ini

direkomendasikan untuk abses yang disebabkan karena benda asing dan

infeksi Nocardia. Tindakan juga dibutuhkan pada abses jamur, multipel,

lesi resisten (Greenberg, 2016).

 Eksternal drainase

Eksternal drainase saat ini masih menjadi kontroversial dan jarang

digunakan (Greenberg, 2016).

 Inisiasi antibiotik secara langsung pada abses.

Tindakan ini sangat tidak dianjurkan walaupun bisa digunakan pada

abses Aspergillus yang sulit diobati (Greenberg, 2016).

I. Prognosis

Angka kematian sebagai akibat dari abses serebri semakin hari

semakin berkurang 5-10% dikarenakan terdapat penegakan diagnosis

yang tepat dan cepat menggunakan bantuan MRI dan juga CT Scan serta

tentunya manajemen terapi yang tepat. Sehingga untuk prognosis pasien

abses serebral berdasarkan dari :

1. Cepatnya diagnosis ditegakkan

2. Derajat perubahan patologis

3. Soliter atau multiple

4. Penanganan yang adekuat

Pada abses serebri soliter prognosisnya akan lebih baik daripada

abses multiple. Kemudian untuk deficit fokal pada pasien akan membaik

tetapi kejang akan menteap pada 50% penderita (Greenberg, 2016).

19
DAFTAR PUSTAKA

Feraco, P., Donner, D., Gagliardo, C., Leonardi, I., Piccinini, S., Del Poggio, A., Franciosi,

R., Petralia, B. and den Hauwe, L. van (2020) “Cerebral abscesses imaging: A

practical approach”, Journal of Population Therapeutics and Clinical

Pharmacology, 27(3), pp. e14-e27.

Greenberg MS. Handbook of Neurosurgery. 8th ed. Nerw York: Thieme; 2016.

p.320-6.

Miranda A., Hernando et al. Brain Abscess: Current Management. Journal of

Neurosciences in Rural Practice 2013; S67–S81.

Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran Ilmu Bedah Saraf. 2016.

Winn HR. Brain abscess. In: Tunkel AR, Scheld WM, editors.Youmans and Winn

Neurological Surgery. 7th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2017. p.

e187-97.

20

Anda mungkin juga menyukai