Endometriosis
Oleh:
Adityas Ramadhani 210070200011091
Khalda Nabila 210070200011023
Elvara Rachmawati 210070200011143
Pembimbing:
Dr. dr. Tatit Nurseta, Sp.OG(K)
LABORATORIUM OBSTETRI-GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
2023
1
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Endometriosis
Disusun Oleh:
Adityas Ramadhani 210070200011091
Khalda Nabila 210070200011023
Elvara Rachmawati 210070200011143
Mengesahkan,
PPDS Pembimbing, SPV Pembimbing,
dr. Obi Chandra Kapisa Dr. dr. Tatit Nurseta, Sp. OG(K)
NIP. 19670909199703100
2
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN 2
DAFTAR ISI 3
DAFTAR GAMBAR 4
DAFTAR TABEL 5
BAB I 6
1.1 Latar Belakang 7
1.2 Rumusan Masalah 8
1.3 Tujuan 8
1.4 Manfaat 9
BAB II 9
2.1 Identitas Pasien 9
2.2 Subyektif 10
2.4 Assessment 12
2.5 Planning 12
BAB III 13
3.1 Definisi Endometriosis 13
3.2 Etiologi dan Patofisiologi Endometriosis 14
3.3 Epidemiologi Endometriosis 19
3.4 Faktor Risiko Endometriosis 19
3.5 Diagnosis Endometriosis 21
3.5.1 Anamnesis 21
3.5.2 Pemeriksaan Fisik 22
3.5.3 Pemeriksaan penunjang 23
3.6 Klasifikasi Endometriosis 27
3
3.7 Diagnosis Banding Endometriosis 29
3.8 Tatalaksana Endometriosis 30
3.9 Komplikasi Endometriosis 35
3.10 Prognosis Endometriosis 36
BAB IV 37
BAB V 40
DAFTAR PUSTAKA 41
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR TABEL
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Endometriosis dijabarkan sebagai penyakit dimana endometrium tumbuh
pada luar uterus, dengan dampaknya dapat menimbulkan inflamasi pada daerah
sekitar tempat bertumbuhnya lesi endometriosis tersebut. Maka dari hal itu wajar
apabila dampak yang dirasakan antara lain adalah nyeri, walaupun nyeri yang
dirasakan relatif pada setiap wanita (Hendarto, H, 2015).
Prevalensi terjadinya endometriosis sekitar 2-10% pada populasi wanita.
Pada penelitian lain mengatakan bahwa endometriosis muncul sekitar 10-15%
pada wanita usia reproduktif. Meskipun demikian angka tersebut belum dapat
dipastikan dikarenakan endometriosis terkadang muncul secara asimtomatis,
dan adanya beberapa kasus yang tidak terangkum dalam pencatatan (Parasar,
P., Ozcan, P., dan Terry, K, L, 2017).
Endometriosis sendiri sering dikaitkan dengan adanya faktor risiko,
diantaranya berupa usia menarche yang dini, siklus menstruasi yang pendek,
BMI rendah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan siklus hormonal pada ketiga
faktor tersebut dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki faktor risiko
tersebut (Parasar, P., Ozcan, P., dan Terry, K, L, 2017).
Tatalaksana penting dilakukan, dalam jangka pendeknya untuk mengobati
dari keluhan pasien, dan dalam jangka panjangnya untuk memperbaiki kualitas
hidup pasien. Terapi pada endometriosis yang ada yaitu obat-obatan, hormonal,
bedah dan kombinasi obat dan bedah. Pilihan pengobatan tergantung pada
keadaan individu pasien (Luqyana, S, D dan Rodiani, 2019).
Selain terapi, pencegahan pada endometriosis sebenarnya juga penting
dilakukan. Tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang memang sulit untuk
dicegah seperti menarche dini, dan juga adanya keluarga yang memiliki riwayat
penyakit yang sama. Sehingga yang dapat dilakukan adalah salah satunya
memperbaiki pola hidup seperti mencapai BMI yang ideal, memakanan makanan
yang bergizi seimbang serta mengurangi makanan cepat saji (Luqyana, S, D dan
Rodiani, 2019).
7
Endometriosis merupakan salah satu dari sekian penyakit ginekologi yang
cukup sering ditemui pada masyarakat. Salah satu tanda yang umum dari
penyakit ini merupakan nyeri dan infertilitas, dan apabila tidak mendapatkan
penanganan lebih lanjut maka akan mengganggu kualitas hidup dari wanita yang
mengalaminya. Maka dari itu penting untuk mengetahui terkait definisi hingga
tatalaksana dari endometriosis agar dapat mendeteksi secara dini dari penyakit
endometriosis.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Apakah pengertian dari endometriosis?
2. Bagaimana epidemiologi dari endometriosis?
3. Bagaimana patofisiologi dari endometriosis?
4. Apakah faktor risiko dari endometriosis?
5. Bagaimana penegakan diagnosis dari endometriosis?
6. Apa saja diagnosis banding dari endometriosis?
7. Bagaimana tatalaksana dari endometriosis?
8. Apa saja komplikasi dari endometriosis?
9. Bagaimanakah prognosis dari endometriosis?
1.3 Tujuan
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengertian dari endometriosis?
2. Mengetahui epidemiologi dari endometriosis?
3. Mengetahui patofisiologi dari endometriosis?
4. Mengetahui faktor risiko dari endometriosis?
5. Mengetahui penegakan diagnosis dari endometriosis?
6. Mengetahui diagnosis banding dari endometriosis?
7. Mengetahui tatalaksana dari endometriosis?
8. Mengetahui komplikasi dari endometriosis?
9. Mengetahui prognosis dari endometriosis?
8
1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk dapat
meningkatkan pemahaman akan endometriosis, sehingga kedepannya akan
berguna dalam mempercepat dari deteksi awal dari endometriosis.
9
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. I
Usia : 39 th
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Gatot Subrorto RT/RW 001/005
Status : Sudah Menikah 1x (14 tahun)
2.2 Subyektif
● Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan adanya nyeri ketika seminggu sebelum, sesudah
dan ketika haid. Keluhan berlangsung sejak 1 bulan yang lalu (Desember 2022).
● Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri ketika haid disertai perut yang semakin
membesar sejak sebulan yang lalu. Pergi kemudian pergi RS Graha Medika dan
dikatakan terdapat myoma+kista, kemudian pasien disarankan untuk rujuk ke
RSSA. Pada 12 Desember 2022 pasien tiba di poli FER RSSA dan dilakukan
pemeriksaan USG, dari hasil pemeriksaan pasien dikatakan terdapat kista dan
myoma. Pasien direncanakan tindakan laparotomi kistektomi dan myomektomi
serta kromotubasi durante operasi secara terjadwal.
● Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat terdiagnosis myoma uteri pada tahun 2015
- Riwayat hipertensi, DM, Penyakit jantung disangkal
- Riwayat penurunan BB disangkal
● Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat tumor/keganasan di keluarga disangkal
- Riwayat hipertensi pada orang tua pasien
● Riwayat Operasi :
- Pasien riwayat myomektomi pada tahun 2015
● Riwayat Alergi :
- Pasien tidak memiliki alergi
● Riwayat Pengobatan :
- Pasien mengkonsumsi obat novapirol ketika nyeri sejak 2015
10
● Riwayat Menstruasi :
- Riwayat menarche usia 13 th
- Siklus teratur 28-31 hari dengan lama 7-10 hari
- Darah yang keluar ketika mens banyak (Ganti pembalut 5-6 x/hari)
- Nyeri haid (+)
● Riwayat Sosial :
- Riwayat merokok (-), alkohol (-), suami pasien perokok aktif (+)
2.3 Objektif
KU: Tampak Sakit Ringan GCS: 456 TB : 155 kg BB : 78 kg BMI
: 34,6 kg/m2 TD:140/90 mmHg RR: 20x/mnt HR: 89x/mnt T:
36,5ºC SpO2: 98% on room air
Kepala Anemis (+/+) ikterik (-)
Leher Pembesaran KGB (-) pembesaran kelenjar tiroid
(-)
Thorax Simetris, retraksi (-)
Cor: S1 tunggal S2 normal, M(-), G(-)
Pulmo: Ves/Ves, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen Soefl (+), TFU setinggi setengah simfisis pubis,
konsistensi padat kenyal, teraba massa kistik
ukuran 10x10 cm, batas tegas permukaan rata,
mobilitas terbatas, scar pfannenstiel.
Genitalia Flux (-), fluor (-)
eksterna
Ekstremitas Akral hangat, CRT <2”
11
● MCV : 69,20 um^3
● MCH : 21,50 pg
● MCHC : 31,10 g/dL
● RDW : 20,10 %
● PDW : 11,8 fL
● MPV : 9,8 fL
● P-LCR : 25,1 %
● PCT : 0,21 %
● NRBC Absolute : 0,00 10^3/uL
● NRBC Percent : 0,0 %
● Albumin : 3,96 g/dL
● Natrium : 135 mmol/L
● Kalium : 3,68 mmol/L
● Klorida : 111 mmol/L
● Ca125: 236,8
Pemeriksaan USG (19/12/2022)
● Tampak VU terisi cukup
● Tampak uterus anteflexi, membesar, dengan gambaran pusaran air
didalamnya ukuran 8,05 x 7,78 cm
● Tampak massa kistik pada adnexa ukuran 5,44 x 7,69 cm
- Kesan : Cystoma ovari, myoma uteri.
2.4 Assessment
● Myoma Uteri
● Cystoma Ovari susp. kista coklat
● Riw. Myomektomi (th 2015)
● HT Stage II
● Anemia
● Obesitas
2.5 Planning
● Planning Treatment
- Pro laparotomi kistektomi dan myomektomi elektif (09/01/23)
12
- Pro transfusi PRC 2 lb/hr s/d Hb > 10 gr/dL
- Pre medikasi :
- Cefazoline 2 gram
- Ranitidin 50 mg
- Metoclopramide 10 mg
- Persiapan Operasi :
- Sedia darah, puasa, lavement
● Planning Edukasi
- Edukasi mengenai kondisi pasien saat ini
- Edukasi pasien untuk dilakukan operasi berupa pengangkatan kista dan
myoma
- Edukasi apabila terdapat keluhan pasca operasi
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Endometriosis
Pada awalnya endometriosis merupakan penyakit dimana terdapat jaringan
endometrium baik stroma ataupun kelenjar yang tumbuh diluar uterus. Kemudian
berlanjut pada tahun 1980, mulai dikenalkan istilah nonpigmented atau subtle
endometriosis, yaitu lesi endometriosis kecil, superfisial, tanpa warna hitam
hemosiderin, tidak dikelilingi sklerosis tetapi aktif, misal white vesicle, flame like
lesion dan selanjutnya dikenal istilah endometriosis mikroskopis. Berlanjut pada
tahun 1990 mulai dikenalkan dengan istilah Deep Infiltrating Endometriosis yaitu
lesi endometriosis yang menginfiltrasi masuk ke dalam di bawah peritoneum.
Pada akhirnya, definisi yang disepakati adalah definisi menurut European
Society for Human Reproduction and Embriology (ESHRE), yaitu terdapat
jaringan mirip endometrium berada di luar kavum uteri yang menginduksi reaksi
inflamasi kronis (Hendarto, H, 2015).
Jaringan endometrium atau yang dapat disebut sebagai lesi endometrium
dapat tumbuh dalam peritoneum panggul, ovarium, dinding uterus, kavum
douglasi, septum rektovagina, ureter, vesica urinaria, bahkan ditemukan lokasi
jauh seperti pada usus, apendik, perikardium, pleura, dan sebagainya.
Endometriosis ini bereaksi dengan adanya hormon estrogen, sehingga lesi
endometriosis ini berespon terhadap fluktuasi hormon dari siklus menstruasi
(Luqyana, S, D dan Rodiani, 2019).
3.2 Etiologi dan Patofisiologi Endometriosis
Endometriosis dalam teori asumsi sampson yang menyatakan bahwa sel- sel
yang hidup yang ada dalam cairan peritoneal dengan menstruasi retrograde
dapat berimplantasi, tumbuh, dan masuk kedalam rongga peritoneal. Menstruasi
retrograde menggambarkan refluks darah dari saluran telur ke peritoneum
selama menstruasi ini sering terjadi pada wanita usia reproduksi. Endometriosis
merupakan jaringan endometrium yang masuk kedalam limfatik dan pembuluh
darah. Pasien dengan endometriosis mengalami peningkatan kadar serum dari
14
sejumlah sitokin pro inflamasi seperti IL-1,IL-6,dan IL-8 menghasilkan
kemotaksis, rekrutmen dan aktivasi makrofag peritoneal dan proliferasi monosit.
Eksisi bedah dari lesi endometriotik menyebabkan penurunan kadar serum
interleukin. Tumor necrosis factor-alpha (TNF-a) dalam cairan peritoneum
diproduksi oleh makrofag peritoneal dan menguatkan respon inflamasi. Estrogen
hormon utama. Peningkatan aksi aromatase pada endometriosis infiltrasi
menyebabkan peningkatan aktivitas estrogen lokal. Ketidakmampuan
progesteron untuk memiliki tindakan antagonis dengan estrogen dalam jaringan
endometrium dapat dijadikan faktor penentu untuk pembentukan endometriosis.
Terdapat beberapa teori dalam penggambaran patogenesis dari
endometriosis, yakni:
1. Teori aliran balik darah mens (Retrograde Menstruation)
Pada teori ini menerangkan terdapat aliran balik darah mens yang
berisi jaringan endometrium melalui saluran tuba falopi kemudian jaringan
endometrium tersebut melakukan implantasi di rongga peritoneum. Salah
satu hal yang mendasari terjadinya aliran balik ini ialah adanya obstruksi
pada kanalis servikalis sebagai akibat dari anomali duktus mullerii
sehingga darah tidak dapat keluar secara normal di uterus. Walaupun
demikian tidak semua wanita yang mengalami aliran darah balik ini akan
mengalami endometriosis. Hal ini dikaitkan dengan penyimpangan respon
imun yang tidak wajar pada lingkungan peritoneum.
Selain hal tersebut menurut Hemmings et al, ditemukan bahwa
pasien yang sedang menjalani operasi untuk endometriosis memiliki
kecenderungan terjadinya fibroid lebih besar daripada mereka yang tidak
memiliki endometriosis, hal ini diduga karena hormon dependent dan
perubahan tekanan intrauterin selama menstruasi yang menyebabkan
peningkatan aliran menstruasi retrograde.
2. Teori metaplasia
Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berasal dari ekstra uteri
yang secara abnormal melakukan transdiferensiasi atau transformasi
menjadi sel endometriosis. Teori metaplasia celomic menyatakan bahwa
15
endometriosis berasal dari metaplasia sel-sel yang sudah terspesialisasi
di lapisan mesotel di peritoneum dan organ visera abdomen. Diduga
hormon dan faktor imunologi yang berperan menstimuli sel-sel peritoneum
tersebut menjadi sel mirip endometrium (Sourial S, 2014).
Teori metaplasia coelomic ini dapat menerangkan kejadian
endometriosis pada remaja putri prepubertas yang belum mendapat haid.
Ternyata endometriosis juga dapat ditemui pada fetus perempuan,
keadaan ini diduga merupakan hasil defek embriogenesis. Berdasarkan
teori ini sel embrionik residu dari duktus Wolf dan Mulleri tetap persisten
dan karena pengaruh hormon esterogen berkembang menjadi
endometriosis (Hendy H, 2015)
16
terhadap estrogen. Perubahan hormon tersebut berpengaruh pada
proliferasi sel endometrium ektopik, penempelan pada mesotelium dan
penghindaran dari clearance sistem imun tubuh. Keadaan diatas
mendukung konsep bahwa endometriosis adalah esterogen dependent
disease (Burney RO, 2012).
Selain endometriosis yang tergantung oleh estrogen. Diketahui
bahwa myoma juga tergantung pada estrogen. Berdasarkan beberapa
penelitian dikatakan bahwa hipoestrogenik mempunyai peran dalam
perkembangan myoma dan juga endometriosis. Hal ini dikarenakan sel-
sel fibroid dalam myoma mengekspresikan aromatase yang menghasilkan
peningkatan konsentrasi jaringan estrogen dalam nodul fibroid
dibandingkan dengan jaringan disekitarnya. Kejadian yang sama juga
ditunjukkan dengan jaringan endometriotik yang juga mengekspresikan
aromatase serta menghasilkan estrogen secara independen dari ovarium
(Bulun SE et al, 2005).
4. Teori inflamasi dan stress oksidatif
Beberapa studi membuktikan telah terjadi peningkatan penanda
inflamasi di serum dan peritoneum perempuan penderita endometriosis.
Selain itu, keluhan nyeri pada penderita endometriosis dapat berkurang
dengan pemberian obat nonsteroid antiinflamasi. Bukti diatas mendukung
inflamasi kronis terlibat dalam patogenesis endometriosis (augoulea A,
2012). Pada peritoneum perempuan dengan endometriosis ditemukan
banyak makrofag aktif dan sejumlah sitokin. Suatu protein mirip
haptoglobin ditemukan berikatan dengan makrofag di peritoneum
sehingga membuat makrofag tersebut kehilangan kemampuan fagositosis
dan justru akan mengeluarkan beberapa sitokin pro-inflamasi, yaitu IL-6,
macrophage migration inhibitory factor (MIF), TNF-α, IL-1β, IL-8,
regulated on activation normal T expressed and secreted (RANTES) dan
monocyte chemotactic protein (MCP) -1. Di jaringan endometriosis TNF-α
memicu sel endometriosis memproduksi prostaglanding (PG)F2α dan
PGE2, sedangkan makrofag di peritoneum juga mensekresi enzim COX-2
17
yang memproduksi PGE2 dan selanjutnya akan mengaktivasi
steroidogenic acute regulator protein dan aromatase. Aktivasi PGE2 akan
menyebabkan terjadi peningkatan estradiol lokal di jaringan
endometriosis. Mekanisme diatas yang mendasari interaksi esterogen-
dependent dengan proses inflamasi di endometriosis (Burney RO, 2012)
5. Teori defek sistem imun
Kemampuan jaringan endometrium untuk mampu bertahan hidup di
lokasi ektopik diduga berhubungan dengan respon imun penderita yang
abnormal. Sampai saat ini belum diketahui imunitas abnormal ini sebagai
sebab atau akibat kejadian endometriosis. Telah diketahui terjadi
perubahan imunitas seluler maupun humoral pada penderita
endometriosis sehingga respon ini yang abnormal ini akan menghasilkan
eliminasi yang tidak efektif terhadap debris-debris aliran balik darah haid.
Kondisi ini menjadi faktor penyebab perkembangan penyakit
endometriosis (Berkkanoglu M, 2003)
6. Teori genetik
Endometriosis adalah penyakit yang sangat tergantung dengan
esterogen. Sangat mungkin bahwa variasi genetik yang menghasilkan
peningkatan pengaruh esterogen pada lesi endometriosis akan
mempengarungi perkembangan endometriosis. Seperti mutasi pada
kromosom gen CDC42 dan WNT4 yang diketahui memiliki peran dalam
endometriosis dan juga myoma (Uimari, O et al, 2021).
7. Teori stem cell
Stem cell adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang
mempunya dua sifat, yaitu mampu berdiferensiasi menjadi sel lain dan
mampu memperbarui atau meregenerasi diri sendiri. Secara spesifik telah
diketahui eksistensi stem cell pada regenerasi endometrium setiap bulan
setelah haid dan pada reepitelisasi endometrium pasca persalinan dan
kuret. Stem cell tersebut ditemukan berada pada lapisan basalis
endometrium. Stem cell endometrium yang lepas melalui saluran tuba
falopii saat menstruasi bertanggung jawab terhadap terjadinya implan
18
endometriosis dan juga stem cell yang bersirkulasi berasal dari bone
marrow dapat mencapai rongga peritoneum ikut berperan pada
patogenesis endometriosis.
19
● Pendidikan – pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga
perilaku akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap peran
serta dalam bidang kesehatan. Suatu penelitian mengungkapkan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula konsep diri
yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sehingga, semakin tinggi tingkat
pendidikan maka semakin mudah untuk menerima informasi dan
pengetahun yang dimiliki sehingga dapat mencegah terjadinya
endometriosis dan mempunya pola hidup yang lebih sehat.
● Paparan polutan – menurut sebuah penelitian, terdapat suatu faktor risiko
tentang terjadinya endometriosis dimana adanya paparan dari zat-zat
polutan polycholrinated biphenyls dan dioxin. Beberapa studi
mengungkapkan bahwa paparan dari dioxin dapat menyebabkan
endometriosis. Bukti baru juga menunjukkan bahwa zat polutan lingkungan
lainnya seperti phthalates, bisphenol A atau polutan organochlorinated
berkontribusi terhadap kejadian endometriosis. Paparan polychlorinated
biphenyls dan dioxin dapat memodulasi respon imunologi, mempengaruhi
secara biologis terhadap efek potensial terhadap patogenesis terjadinya
endometriosis.
● Riwayat keluarga (ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan
endometriosis
● Konsumsi alkohol dalam jumlah minimal 10g perhari
● Perokok aktif
● BMI rendah
● Penggunaan kontrasepsi oral
● Jumlah kelahiran yang sedikit
● Usia 25-29
● Ras kaukasian
20
Kelompok usia janin - anak: ● Aktivitas fisik pada kelompok
● Paparan diethyllstilbestol (DES) usia anak-anak dan dewasa
● Berat badan lahir rendah ● Faktor makanan
● Kehamilan lewat waktu ● Laktasi
● Menarche yang terlalu dini ● Konsumsi buah sitrus
Kelompok usia remaja - dewasa: ● Kehamilan
● Siklus menstruasi yang pendek ● Menstruasi yang dimulai pada
● Indeks massa tubuh yang akhir remaja
rendah
● Rasio pinggang-pinggul yang
rendah
● Paritas yang rendah
● Racun lingkungan
● Kerja larut malam
● Merokok
21
● Dismenorea : nyeri abdomen sesuai dengan waktu menstruasi, terdapat
rasa kemeng terutama saat menstruasi
● Dispareunia: nyeri saat hubungan seksual
● Nyeri saat defekasi: pada endometriosis dinding rektosigmoid
● Perubahan menstruasi dalam bentuk polimenorea atau hipermenorea
(menoragi)
● Infertilitas : gangguan saluran tuba fallopii sehingga tidak berfungsi
sebagai saluran ovum spermatozoa dan tempat konsepsi dan gangguan
motilitas tuba saat melakukan pengangkapan ovum karena perlekatan
22
uterus fixed dan retrofleksi yang disebabkan kerana perlekatan organ dan deeply
infiltating disease.
Untuk memprediksi lokasi dan keberadaan lesi endometriosis, ESHRE
Guideline Developmental Groups memberikan rekomendasi pemeriksaan klinis
sebagai berikut:
Tabel 3.3 Pemeriksaan Fisik Endometriosis
a. Pemeriksaan histopatologi
b. Urinalis
c. Pap smear
d. Laparoskopi
Metode definitif untuk diagnosis endometriosis termasuk penentuan
stadium dan evaluasi kekambuhan pascaterapi adalah visualisasi
langsung dengan pembedahan. Sebagian besar tindakan visualisasi
tersebut menggunakan laparoskopi yaitu tindakan pembedahan di
abdomen atau panggul menggunakan insisi kecil 0,5-1,5 cm dengan
memasukkan kamera kedalamnya. Laparoskopi dapat dilakukan untuk
23
diagnostik sekaligus untuk tindakan operasi. Saat mengerjakan
tindakan laparoskopi sebaiknya melakukan pemeriksaan secara
sistematis, meliputi:
● Pemeriksaan uterus dan adneksa
● Peritoneum dan fossa ovarium
● Rektum dan sigmoid
● Apendiks dan caecum
● Diafragma
Pemeriksaan laparoskopi dengan kualitas bagus seperti diatas
dapat dilakukan hanya dengan memakai satu lubang sekunder untuk
memasukan grasper guna menyingkirkan usus yang menghalangi
visualisasi atau fluid suction guna memastikan seluruh kavum douglasi
terevaluasi.
Sampai saat ini tindakan laparoskopi dengan atau tanpa konfirmasi
histologi telah banyak digunakan untuk diagnosis atau menyingkirkan
keberadaan endometriosis. Sehingga apabila anamnesis dan
pemeriksaan klinis telah mengarah ke dugaan endometriosis,
sebaiknya dilakukan laparoskopi untuk inspeksi visualisasi lesi
endometriosis yang sampai saat ini masih merupakan cara penentuan
diagnosis definitif. Saat laparoskopi, ditentukan stadium
endometriosis, digunakan cara klasifikasi Revised American Fertility
Society. Terdapat tiga tipe lesi endometriosis yang telihat saat
viualisasi dengan laparoskopi, yaitu:
1) Lesi superfisial – lesi berlokasi di peritoneum dan permukaan
ovarium. Lesi dapat berbentuk blue-black powder burn, subtle
lesion: petechial, vesicular, polypoid dan haemorrhagic lesion
2) Kista endometriosis atau endometrioma – lesi endometriosis
berbentuk kista berisi cairan kecoklatan kental yang mengelompok
pada permukaan peritoneum (fossa ovarium). Endometrioma
terbentuk akibat invaginasi korteks ovarium setelah terjadi
akumulasi debris darah haid
24
3) Deep infiltrating endometriosis – lesi endometriosis melakukan
infiltrasi lebih dari 5 mm dibawah permukaan peritoneum, dapat
juga penetrasi atau melekat pada struktur lain, misalnya kandung
kemih, usus, ureter, dan vagina.
25
Gambar 3.3 Skoring Endometriosis berdasarkan AFS
e. Tes biokimia
Penanda biokimia yang paling banyak dikembangkan untuk
diagnosis endometriosis adalah cancer antigen-125 (CA-125), cancer
antigen-199 (CA-199), interleukin-6 (IL-6), dan urocortin. CA-125
secara signifikan berkaitan dengan adhesi pelvis, dimana nilai CA-125
> 35 U/ml mempunyai risiko 5,4 kali lebih besar untuk mengalami
adhesi berat, sedangkan CA-125 >65 U/ml dianggap berkorelasi
dengan endometriosis stadium lanjut. Nilai CA-125 dapat digunakan
untuk melakukan follow-up progresivitas endometriosis selama terapi.
Terdapat banyak biomolekul yang dikembangkan sebagai penanda
biokimia endometriosis, namun belum ada yang memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang teruji. Oleh karena itu, penanda biokimia saat ini
26
hanya menjadi pelengkap metode diagnosa selain pencitraan atau
laparoskopi. Pendekatan diagnostik baru seperti micro-RNA (miRNA)
yang berada dalam peredaran darah sistemik telah dianggap seabgai
kandidat biomarker yang menjanjikan karena stabil dalam sirkulasi
dan memiliki profil ekspresi yang sangat spesifik. Terdapat enam
miRNA yang dapat digunakan untuk membedakan endometriosis dan
patologi ginekologi lainnya, yaitu miR-125b-5p, miR-150-5p, miR-342-
3p, miR-451a, miR-3613-50, dan let-7b. (Halim,2021)
f. Pemeriksaan USG
Endometrioma dideteksi menggunakan USG transvagina dengan
gambaran ground-glass, homogen, internal echo difus dengan latar
belakang hipoechoic. Suatu review sistematik yang melibatkan 1257
kasus tumor adneksa dengan menggunakan USG transvagina
didapatkan 13-38% adalah endometriosis. Berdasarkan data tersebut
penggunaan USG transvagina untuk deteksi endometrioma
mempunya sensitivitas 64-89% dan spesifisitas 89-100%.
Penggunaan USG transvagina untuk deteksi endometrioma
mempunya keuntungan, yaitu tidak tergantung pada operator dan
dapat digunakan secara lebih luas.
g. Sistoskopi
h. Kolonorektoskopi
3.6 Klasifikasi Endometriosis
Konsensus World Endometriosis Society pada tahun 2014 memutuskan bahwa
model klasifikasi penyakit endometriosis dapat menggunakan klasifikasi dari
Revised American Society for Reproductive Medicine (r-ASRM), klasifikasi
Enzian, dan Endometriosis Fertility Index (EFI). Hingga ditemukannya sistem
klasifikasi yang lebih baik, ahli bedah sebaiknya menggunakan sistem klasifikasi
endometriosis r-ASRM dan Enzian untuk mengoptimalkan informasi
pascaoperasi. Derajat endometriosis dalam klasifikasi r-ASRM mempunyai
korelasi yang terbatas dengan tingkat beratnya gejala dan infertilitas terkait
27
endometriosis. Klasifikasi Enzian digunakan untuk menilai deeply infiltrative
endometriosis (DIE). (Halim,2021)
No Klasifikasi Endometriosis
2. Endometrioma
4. Adenomioma
Klasifikasi r-ASRM tidak menilai keterampilan dan upaya yang dibutuhkan ahli
bedah dalam pengangkatan endometriosis, oleh karena itu klasifikasi
endometriosis yang baru telah dibentuk oleh American Association of
Gynecologic Laparoscopists (AAGL) tahun 2021, yang secara akurat
memberikan informasi tingkat kesulitan pembedahan yang dibutuhkan dalam
pengangkatan endometriosis di rongga panggul. Klasifikasi AAGL 2021
mempunyai korelasi baik antara tingkat klasifikasi dengan beratnya gejala,
walaupun terdapat keterbatasan yaitu tidak dapat diterapkan pada endometriosis
di luar rongga perut. (Halim,2021).
28
Gambar 3.4 Klasifikasi American Association of Gynecologic Laparoscopists
(AAGL) 2021
29
pada wanita dengan nyeri pelvis meliputi divertikulitis, irritable bowel syndrome,
uterine fibroids, batu saluran kemih, dan interstitial cystitis.
Umumnya, gambaran klinis dan riwayat pasien dapat menggeser
kemungkinan diagnosis lain, misalnya uterine fibroids lebih sering terjadi pada
kelompok pasien usia tua. Namun, beberapa kondisi hampir tidak mungkin untuk
mengesampingkan kondisi lain hingga dilakukannya laparoskopi (misal:
adenomyosis) atau dilakukan percobaan terapi. Selalu pertimbangkan
kemungkinan patologi lain yang timbul bersamaan seperti infeksi pelvis dan
kondisi usus. Sebagai tambahan, pada sejumlah kecil wanita, kelainan uterin dan
Mullerian, keduanya dapat menjadi faktor risiko dari endometriosis, hal tersebut
dapat timbul dan mempersulit diagnosis dan pengobatan.
30
Gambar 3.5 Algoritma tatalaksana endometriosis
31
Tabel 3.5 Terapi hormonal endometriosis
● Progestogen
● Antiprogestogen
● Pil kontrasepsi kombinasi (PKK)
● Agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRH)
● Antagonis GnRH, levonorgestrel intrauterine system (LNG-IUS)
● Danazol
● Aromatase inhibitor
32
eronogestrel merupakan pilihan terapi progesterone untuk mengatasi
nyeri akibat endometriosis.
● Agonis GnRH
Agonis GnRH seperti nafarelin, leuprolide, buserelin, goserelin,
atau triptorelin digunakan sebagai salah satu pilihan dalam mengurangi
nyeri terkait endometriosis, dan digunakan sebagai terapi lini kedua
karena penekanan efek samping yang belum tentu efektif oleh PKK.
Disamping itu, agonis GnRH sering digunakan sebagai terapi
endometriosis derajat berat sebelum dilakukan stimulasi ovarium pada
program bayi tabung. Agonis GnRH dapat dikombinasi dengan PKK
untuk mencegah efek samping kondisi hipoestergenikk seperti
menurunnya densitas tulang. Penggunaan agonis GnRH ini
menyebabkan penekanan esterogen yang mirip dengan kondisi
menopause atau yang disebut dengan pseudomenopause.
● Antagonis GnRH
Elagolix berpotensi menjadi terapi endometriosis dibandingkan
relugolix dan degarelix, karena telah terbukti mengurangi nyeri jangka
pendek secara signifikan pada dismenorea dan nyeri panggul
nonmenstruasi. Potensi efek samping yang ada pada golongan ini antara
lain kemerahan pada kulit, nyeri kepala, insomnia, dan kadar lipid serum
yang tinggi. Antagonis GnRH dapat diberikan secara oral untuk
mengurangi nyeri terkait endometriosis, meskipun bukti ilmiah mengenai
dosis atau durasi pengobatan masih terbatas.
● Danazol
Danazol bukan pilihan utama pada tatalaksana nyeri terkait
endometriosis karena potensi efek sampingnya yang berat seperti akne,
edema, vaginal spotting, penambahan berat badan, kram otot, dan
penambahan rambut wajah.
● Aromatase Inhibitor
Aromatase inhibitor direkomendasikan pada wanita dengan nyeri
terkait endometriosis refractory terhadap pembedahan atau terapi medis
33
lainnya. Aromatase inhibitor diberikan dalam kombinasi dengan PKK,
progestogen, agonis GnRH, atau antagonis GnRH. Pemeriksaan bone
mass density (BMD) secara berkala direkomendasikan karena
aromatase inhibitor berpotensi menyebabkan gejala menopause dan
mengurangi densitas tulang.
c. Pembedahan
Manajemen bedah merupakan salah satu pilihan untuk mereduksi nyeri
terkait endometriosis, hal ini dipertimbangkan setelah perawatan konservatif
tidak berhasil. Manajemen bedah untuk endometriosis dapat berupa eksisi
dan/atau ablasi lesi endometriosis, kistektomi, hingga histerektomi dengan
atau tanpa ooforektomi.
3.8.2 Tatalaksana Infertilitas Terkait Endometriosis
a. Medikamentosa
Terapi hormonal tidak direkomendasikan pada kasus endometriosis pada
wanita yang merencanakan kehamilan, kecuali bagi yang memutuskan untuk
tidak segera hamil. Adapun terapi hormonal seperti agonis GnRH dengan
protokol ultralong bermanfaat untuk menjaga kualitas oosit dan dapat
merekrut lebih banyak folikel sehingga dapat meningkatkan keberhasilan
kehamilan bahkan pada wanita dengan endometriosis tingkat III-IV. Agonis
GnRH dapat diberikan sebagai tambahan terapi pada tindakan fertilisasi in
vitro (FIV, intracytoplasmic sperm injection (ICSI), dan cryopreservation
untuk pelestarian kesuburan wanita.
b. Pembedahan
Manajemen bedah yang dapat meningkatkan kemungkinan kehamilan
spontan antara lain eksisi atau ablasi lesi endometriosis, adhesiolisis untuk
endometriosis yang tidak melibatkan usus, kandung kemih atau ureter, dan
eksisi dinding kista endometrioma dengan memperhitungkan cadangan
ovarium. Dalam tatalaksana infertilitas, sebaiknya tidak diberikan terapi
penekan hormon pasca operasi dengan tujuan tunggal untuk meningkatkan
peluang kehamilan di masa depan. Laparoskopi operatif dapat ditawarkan
sebagai pilihan tatalaksana untuk infertilitas terkait endometriosis tingkat I/II,
34
begitu juga dengan deeply infiltrative endometriosis (DIE) meskipun belum
ada bukti yang meyakinkan.
c. Fertilisasi in vitro (FIV) dan Inseminasi Buatan
Tindakan ini merupakan teknik yang tepat pada kasus infertilitas yang
berhubungan dengan endometriosis, terutama jika terdapat gangguan fungsi
tuba, faktor infertilitas pria, skor endometriosis fertility index (EFI) rendah,
dan/atau refractory terhadap pengobatan lain. Infertilitas dengan
endometriosis tingkat I/II atau tingkat III/IV dengan tuba paten, dapat diatasi
dengan inseminasi buatan (intrauterine insemination/IUI) yang
dikombinasikan dengan terapi obat untuk stimulasi ovarium.
Tingkat kekambuhan endometriosis pasca-FIV tidak meningkat
dibandingkan dengan wanita yang tidak menjalani FIV. Setelah operasi, skor
EFI harus dinilai dalam menentukan tingkat keberhasilan teknologi
reproduksi berbantu (TRB). Inseminasi buatan dengan stimulasi ovarium
merupakan penanganan infertilitas yang sering dilakukan dengan alternatif
dari tindakan FIV yang lebih invasif, dan dapat digunakan sebagai
tatalaksana lini pertama untuk infertilitas yang tidak dapat dijelaskan.
Sampai saat ini belum ada rekomendasi yang dapat dibuat untuk
intervensi non medikamentosa dalam menangani gejala nyeri dan infertilitas
terkait endometriosis secara spesifik. Pengobatan tradisional Tiongkok,
terapi nutrisi, elektroterapi, akupuntur, fisioterapi, olahraga, dan intervensi
psikologis telah dipelajari untuk mengurangi gejala nyeri terkait
endometriosis atau meningkatkan kualitas hidup pada wanita dengan
endometriosis, namun hasilnya masih kontroversi.
3.9 Komplikasi Endometriosis
● Gangguan infertilitas, subfertilitas, nyeri panggul kronis
● Disminore,dispareunia,diskezia
● Penurunan kualitas hidup pasien
● Perlengketan disfungsi usus dan kandung kemih dikarenakan proses
pembedahan
● Kanker ovarium dapat terjadi pada kasus endrometrioma ovarium
35
● Disfungsi usus seperti konstipasi dikarenakan peradangan iritasi pada sistem
pencernaan
3.10 Prognosis Endometriosis
Pasien dengan diagnosa endometriosis akan mengalami permasalahan
dalam kehamilan seperti kehamilan ektopik dan risiko mengalami keguguran
lebih tinggi. Pada wanita yang tidak melakukan pengobatan lesi endometriotik
akan mengalami regresi secara spotan. Tingkat kekambuhan endometriosis
setelah dilakukan operasi sekitar 67%. Pada sekitar 59% pasien yang telah
melakukan perawatan akan tetap merasakan rasa sakit di akhir terapi.
Penghentian pengobatan,kekambuhan nyeri sekitar 34%.
36
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
TEORI KASUS
Gejala yang dapat timbul pada Gejala pada pasien yang menunjukkan
endometriosis diantaranya sebagai endometriosis :
berikut: 1. Nyeri ketika seminggu, sesudah
dan ketika haid
1. Dismenorea : Nyeri pada
2. Darah yang keluar ketika mens
abdomen ketika menstruasi
banyak
2. Dispareunia : Nyeri saat
Riwayat pernikahan : Sudah menikah
berhubungan seksual
selama 14 tahun tetapi memiliki anak
3. Menoragia : Pendarahan yang
(infertilitas primer)
banyak ketika menstruasi
Riwayat kehamilan dan persalinan : -
4. Infertilitas
imunologi sehingga menjadi salah usia 13 tahun, dengan siklus teratur 28-
37
penyakit endometriosis
5. Konsumsi alkohol
6. BMI yang rendah
7. Penggunaan kontrasepsi oral
8. Merokok
9. Jumlah paritas rendah
10. Usia produktif
PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN
38
3. Pemeriksaan Biokimia pusaran air didalamnya ukuran
Penanda biokimia yang paling 8,05 x 7,78 cm
banyak dikembangkan untuk ● Tampak massa kistik pada
diagnosis endometriosis adalah adnexa ukuran 5,44 x 7,69 cm
cancer antigen-125 (CA-125), cancer - Kesan : Cystoma ovari, myoma
antigen-199 (CA-199), interleukin-6 uteri.
(IL-6), dan urocortin.
ASSESMENT ASSESMENT
TATALAKSANA TATALAKSANA
39
- Sedia darah, puasa, lavement
Planning Education
40
BAB V
KESIMPULAN
41
DAFTAR PUSTAKA
Bulun SE, Lin Z, Imir G, Amin S, Demura M, Yilmaz B, et al. 2005. Regulation of
aromatase expression in estrogen-responsive breast and uterine disease: From
bench to treatment. Pharmacol Rev, 57:359-83.
ESHRE. 2022. Guideline Endometriosis. Guideline of European Society Human
Reproduction and Embryology.
Halim, B., dan Adiwinata, T. 2021. Tatalaksana terkini endometriosis. Jurnal Medicinus,
34(3):3-13.
Hemmings R, Rivard M, Olive DL, Poliquin-Fleury J, Gagné D, Hugo P, et al. 2004.
Evaluation of risk factors associated with endometriosis. Fertil Steril, 81:1513-21.
Hendarto, H. (2015). Endometriosis “dari aspek teori sampai penanganan klinis”.
Surabaya: Airlangga University Press (AUP).
Luqyana, S, D, dan Rodiyani. 2019. Diagnosis dan tatalaksana terbaru endometriosis.
Jurnal mahasiswa kedokteran Indonesia, 7(2): 67-75.
Uimari, O., Nazri, H., Tapmeier, T. 2021. Endometriosis and uterine fibroids
(Leiomyomaya): cocmorbid, risks and complications. Journal Frontiers in
Reproductive Health, 3:1 -8.
Parasar, P., Ozcan, P., dan Terry, L, K. 2017. Endometriosis: Epidemiology, Diagnosis
and Clinical Management. Journal Current Obstetric Gynecology Reproduction,
6:34-41.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2017. Konsensus Tatalaksana
Nyeri Endometriosis. HIFERI.
Scioscia, M., et al. 2020. Differential Diagnosis of Endometriosis by Ultrasound: A
Rising Challenge. Diagnostic Vol.10 No.848. www.mdpi.com/journal/diagnostic.
Suparman, E., Suparman., E. 2012. Penatalaksanaan Endometriosis. Jurnal Biomedik,
Vol. 4, No.2.
42