Anda di halaman 1dari 47

REFERAT

PRIMARY AND SECONDARY SURVEY

PERIODE
24 Oktober - 20 November 2022

Disusun Oleh :
Calista Felicia Ghaydaqila 210070200011079
Adityas Ramadhan 210070200011091
Ni Luh Arini Sukma Dewi 210070200011135

Fadhillah Randy Widiawan 210070200011103

Pembimbing

dr. Hanggia Primadita., M.Kes, Sp.An

DEPARTEMEN ILMU ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2022

LEMBAR PERSETUJUAN

1
PRIMARY DAN SECONDARY SURVEY

PERIODE

24 Oktober - 20 November 2022

Disusun oleh:

Calista Felicia Ghaydaqila 210070200011079

Adityas Ramadhani 210070200011091

Ni Luh Arini Sukma Dewi 210070200011135

Fadhillah Randy Widiawan 2100702000111032

Disetujui untuk dibacakan pada

Hari :

Tanggal :

Menyetujui,

Pembimbing

dr. Hanggia Primadita., M.Kes, Sp.An

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 3
DAFTAR GAMBAR 4
BAB I PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 7
1.4 Manfaat Penelitian 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Primary Survey 8
2.1.1 Pengertian Primary Survey 8
2.1.2 Tujuan Primary Survey 8
2.1.3 Penanganan pada Primary Survey 9
2.1.3.1 Airway & C Spine Control 9
2.1.3.2 Breathing 17
2.1.3.3 Circulation 23
2.1.3.4 Disability 25
2.1.3.5 Exposure 26
2.2 Secondary Survey 28
2.2.1 Pengertian Secondary Survey 28
2.2.2 Tujuan Secondary Survey 28
2.2.3 Penanganan pada Secondary Survey 28
2.2.3.1 Subjektif 28
2.2.3.2 Objektif 29
2.2.3.3 Head to Toe 36
BAB III PENUTUP 43
3.1 Kesimpulan 43
3.2 Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 44

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Chin-Lift Maneuver………………………………………………..10


Gambar 2.2 Jaw-Thrust
Maneuver……………………………………………..11
Gambar 2.3 Oropharyngeal Airway…………………………………………….12
Gambar 2.4 Laryngeal Mask Airway (LMA).................................................12
Gambar 2.5 Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA)................................13
Gambar 2.6 Laryngeal Tube Airway (LTA)...................................................13
Gambar 2.7 Multilumen Esophageal Airway………………………………….13
Gambar 2.8 Penggunaan Bougie dalam Intubasi Sulit………………………15
Gambar 2.9 Teknik Restriksi Servikal
Spine…………………………………..17
Gambar 2.10 Kanula hidung……………………………………………………20
Gambar 2.11 Simple Face Mask……………………………………………….21
Gambar 2.12 Masker non-rebreathing…………………………………………22
Gambar 2.13 Jenis respon terhadap resusitasi cairan………………………25
Gambar 2.14 LEMON 3-3-2 rule……………………………………………….32
Gambar 2.15 Mallampati score…………………………………………………34
Gambar 2.16 LogRoll……………………………………………………………40

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan


tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan. Sedangkan pelayanan gawat darurat adalah tindakan medis
yang dibutuhkan oleh korban/pasien gawat darurat dalam waktu segera
untuk menyelamatkan nyawa dan pencegahan kecacatan (PMK no. 19,
2016). Pelayanan gawat darurat harus segera dilakukan, tetapi hal tersebut
tidak dapat dilakukan apabila para tenaga kesehatan tidak mengetahui
kondisi kegawatdaruratan apa yang sedang mengancam pasien, maka dari
itu diperlukan initial assessment untuk menemukan tanda gawat darurat
pada pasien, yakni dengan primary survey dan secondary survey (Hidayati
et al, 2014).

Penanganan pada pasien utamanya pada pasien gawat darurat


harus dilakukan sesegera mungkin. Hal pertama yang dapat dilakukan
ketika menemukan pasien adalah menemukan tanda dan kegawatdaruratan
yang dimiliki oleh pasien yakni dengan primary survey terlebih dahulu.
Primary survey dirancang untuk menilai dan mengobati cedera yang
mengancam jiwa dengan cepat. Maka dari itu primary survey harus
diselesaikan dengan sangat cepat. Pada pasien trauma penyebab utama
kematian adalah obstruksi jalan napas, gagal napas, perdarahan masif, dan
cedera otak. Oleh karena itu, hal-hal berikut merupakan area yang
ditargetkan selama primary survey (Noll J et al, 2021).

Secara ringkas primary survey terdiri atas ABCDE, yakni airway


(jalan nafas), breathing (usaha nafas), circulation (sirkulasi darah), disability
(kesadaran), dan exposure (paparan). Pada airway hal yang harus
dipastikan adalah patensi dari jalan nafas, yakni dengan melihat apakah
ada sumbatan seperti lidah jatuh kebelakang atau adanya sumbatan cairan.
Kemudian pada breathing yang harus dipastikan adalah apakah ada tanda
dan gejala dari distress nafas, yakni seperti tachypnea, dan retraksi dada.
Selanjutnya pada circulation hal yang harus dipastikan ialah apakah ada

5
tanda hipoperfusi seperti CRT (capillary refill time) yang lebih dari 2 detik,
ataukah adanya akral yang basah dingin dan pucat. Lalu pada disability
dapat di cek apakah adanya tanda penurunan dari kesadaran. Dan terakhir
pada exposure, penolong dapat menilai dari apakah adanya jejas pada
tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, apakah ada demam,
ataukah terdapat kulit yang bewarna pucat ataupun kuning (ikterik)
(Kristanty et al, 2009)

Setelah melakukan pemeriksaan pada primary survey yang


selanjutnya dilakukan adalah memberikan penanganan awal untuk
memperbaiki dari kondisi ABCDEnya. Setelah itu akan dilakukan penilaian
lanjutan, yakni secondary survey. Pada hal ini akan lebih memperdalam
pada pemeriksaan head to toe dan juga menganamnesis dari riwayat alergi,
penyakit, obat-obatan, makanan terakhir dan kejadian yang mengakibatkan
pasien dibawa ke rumah sakit. Pada secondary survey penting untuk
mencari tau terkait 3 hal berikut yakni AMPLE, B1-B6, dan pemeriksaan fisik
dari head to toe (ATLS, 2018 ).

Maka dari itu pentingnya melakukan initial assessment agar kegawat


daruratan dari pasien dapat segera diketahui dan dapat segera ditangani.
Waktu sangatlah berharga dalam 2 prosedur ini, sehingga harus dilakukan
dengan cepat, tepat dan efisien agar pasien dapat segera terselamatkan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:


1. Apakah definisi dari primary survey ?
2. Apakah tujuan dari primary survey ?
3. Apa saja pemeriksaan pada primary survey ?
4. Apakah definisi dari secondary survey?
5. Apakah tujuan dari secondary survey?
6. Apa saja pemeriksaan pada secondary survey?

6
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :


1. Mengetahui definisi dari primary survey
2. Mengetahui tujuan dari primary survey
3. Mengetahui pemeriksaan pada primary survey?
4. Mengetahui definisi dari secondary survey?
5. Mengetahui tujuan dari secondary survey?
6. Mengetahui pemeriksaan pada secondary survey?

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari pembuatan referat ini adalah untuk dapat meningkatkan


pemahaman akan primary dan secondary survey agar semakin
meningkatkan kewaspadaan akan adanya kegawatdaruratan pada
pasien.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Primary Survey
2.1.1 Pengertian Primary Survey
Primary Survey (Penilaian Awal) merupakan usaha yang
dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien
atau korban mengalami keadaan yang mengancam jiwa.
Penilaian awal sangat mempengaruhi keberhasilan usaha
pertolongan yang akan dilakukan. Primary Survey adalah
mengatur pendekatan ke pasien sehingga pasien segera dapat
diidentifikasi dan tertanggulangi dengan efektif. Masalah- masalah
yang mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan,
sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, dievaluasi
serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak datang di
IGD (Unit Gawat Darurat). Pemeriksaan Primary Survey
berdasarkan standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan
nafas), breathing (B: Pernafasan), circulation (C: Sirkulasi,
disability (D: Ketidakmampuan), dan Exposure (E: Penerapan)
(Krisanty, 2009).
Primary Survey merupakan langkah pertama yang dilakukan
sejak detik pertama pasien masuk instalasi gawat darurat. Dasar
dari pemeriksaan primary survey adalah ABCD, yaitu Airway
(jalan nafas), Breathing (pernafasan), Circulation (sirkulasi darah),
Disability (status neurologi) (Wahjoepramono, 2005). Sistem
pelayanan tanggap darurat ditujukan untuk mencegah kematian
dini salah satunya karena trauma yang bisa terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera. Perawatan
kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko kecacatan dan
bahkan kematian. Maka dari itu primary survey merupakan salah
satu item kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan
untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan kematian.

8
2.1.2 Tujuan Primary Survey
Primary survey dirancang untuk membantu Responder Medis
Darurat untuk mendeteksi semua kegawatdaruratan terhadap
pasien. Ancaman hidup langsung biasanya melibatkan pasien
ABC, dan masing-masing dikoreksi saat ditemukan. Tujuan lain
dari primary survey dirancang adalah untuk menilai dan
mengobati cedera yang mengancam jiwa dengan cepat (Spahn et
al, 2019).
2.1.3 Penanganan pada Primary Survey
2.1.3.1 Airway & C Spine Control
1. Airway
Penanganan Airway meruapakan fokus pertama dalam
primary survey. Hal penting yang pertama kali harus
dilakukan adalah mengidentifikasi masalah pada jalan
nafas. Potensial masalah pada obstruksi jalanan nafas
dapat dilihat melalui tanda trauma atau luka bakal pada
leher, muka dan laring. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi
secara partial ataupun komplit. Untuk menilai jalan nafas
dapat dilihat dari respon pasien ketika di ajak berbicara,
respon “verbal” menunjukkan jalan nafas yang paten.
Sebaliknya pada pasien dengan penurunan kesadaran
merupakan resiko jalan nafas terganggu sering
memerlukan jalan nafas definitif. Pemasangan Endo
Tracheal Tube (ETT) merupakan cara mencapai jalan
nafas definitif (American College of Surgeon, 2018).
Mengidentifikasi tanda objektif obstruksi jalan nafas :
1. Observasi pasien untuk mengetahui apakah
pasien agitasi atau kebingungan, hal ini
menunjukan pasien mengalami hipoksia atau
hipercarbia. Sianosis dapat ditemukan pada kulit
dan kuku, namun sianosis sendiri merupakan
tanda lambat dari hipoksia. Lihat ada tidaknya
retraksi dinding dada dan penggunaan otot nafas
tambahan, jika ada dapat merupakan

9
kompromais pada jalan nafas. Selain itu
penggunaan pulse oksimetri dapat digunakan
untuk mengetahui oksigenasi yang inadekuat
sebelum terjadinya sianosis
2. Mendengarkan adanya suara nafas tambahan.
Adanya snoring, gurlgling dan crowing
menunjukan obstruksi pastial dari laring atau
faring.
3. Mengevaluasi perilaku pasien. Pasien yang
berprilaku kasar dan agresif mungkin
sebenarnya mengalami hipoksia.
Manajemen jalan nafas dapat dibagi menjadi 2 jenis,
yang menggunakan alat dan tidak. Manuver yang
dilakukan untuk mempatensikan jalan nafas dapat
menyebabkan atau memperburuk c-spine injury sehingga
restriksi dari gerakan servikal perlu dilakukan selama
prosedur.
1. Manuver Chin-Lift

Gambar 2.1 Chin-Lift Maneuver


Manuver chin-lift dilakukan dengan
menempatkan jari jari salah satu tangan di bawah
mandibula dan secara gentle mengangkatnya dan
mengarahkan ke arah anterior. Pada posisi ini perlu
diperhatikan untuk tidak hiperekstensikan leher.

10
2. Manuver Jaw-Thrust

Gambar 2.2 Jaw-Thrust Maneuver


Untuk melakukan manuver jaw-thrust, pegang
sudut dari mandibula dengan masing masing tangan
dan dorong madibula ke depan.
3. Nasopharyngeal Airway
Penggunaan NPA adalah dengan memasukan
kedalam salah satu lubang hidung hingga kebelakang
orofaring secara perlahan. Tabung NPA harus
terlubrikasi dengan baik dan dimasukan ke lubang
hidung yang tampak tidak terobstruksi, apabila terjadi
obstruksi selama pemasangan hentikan pemasangan
dan ganti dengan libang hidung yang lain. Penggunaan
metode ini tidak digunakan dengan pasien curiga fraktur
plate cribriform.
4. Oropharyngeal Airway

11
Gambar 2.3 Oropharyngeal Airway
Pemasangan oropharyngeal airway dengan cara
bagian yang melengkung diarahkan keatas, hingga
menyentuh soft palate. Kemudian dialkukan putaran
180 derajat sehingga sisi lengkung menghadap lidah.
Penggunaan teknik ini dapat menimbulkan reflek
muntah pada pasien yang sadar, sehingga perlu
diperhatikan kemungkinan terjadi aspirasi.
5. Extraglottic dan Supraglottic Device
Penggunaan alat extraglottic atau supraglottic
ditujukan pada pasien yang membutuhkan manajemen
jalan nafas lebih lanjut namun gagal dilakukan intubasi
atau kemungkinan gagal jika dilakukan. Beberapa alat
untuk manajemen jalan nafas extraglottic dan
supraglottic antara lain
● Laryngeal mask airway

12
Gambar 2.4 Laryngeal Mask Airway (LMA)
● Intubating laryngeal mask airway

Gambar 2.5 Intubating Laryngeal Mask Airway


(ILMA)
● Laryngeal tube airway

Gambar 2.6 Laryngeal Tube Airway (LTA)


● Multilumen esophageal airway

13
Gambar 2.7 Multilumen Esophageal Airway
Pemberian jalan nafas definitif memerlukan
pemasangan tube di trakea dengan cuff yang
dikembangkan dibawah pita suara, yang kemudian
dihunbungkan dengan alat ventilasi yang kaya akan
oksigen dengan jalan nafas yang paten mengggunakan
metode stabilisasi yang tepat.
Kriteria untuk dilakukannya jalan nafas definitif antara
lain.
● A, Ketidakmampuan untuk mempertahankan
patensi jalan nafas, termasuk yang penyebab
potensial obstruksi yang akan terjadi selanjutnya.
Salah satu contohnya adalah trauma inhalasi,
fraktur dacial dan hematoma retrofaringeal.
● B, Ketidakmampuan untuk mempertahankan
oksigenasi dengan suplementasi sungkup atau
terdapat apneu
● C, Kondisi obtudansi atau prilaku agresif akibat
hiperperfusi serebral
● D, Obtudansi yang mengindikasikan terdapat
cidera kepala yang memperlukan bantuan
ventilasi (GCS < 8), kejadian kejang berulang
dan kebutuhan untuk menjaga agar tidak terjadi
aspirasi dari darah atau muntah.

14
Terdapat tiga jenis jalan nafas definitif antara lain
orotracheal tube, nasotracheal tube dan surgical airway.
1. Endotracheal Tube
Pada pasien dengan GCS kurang dari 8
merupakan indikasi segera untuk dilakukan intubasi.
Orotracheal tube lebih sering digunakan untuk patensi
jalan nafas. Hal ini dikarenakan orotracheal tube
memilki lebih sedikit komplikasi dibanding nasofaringeal
tube. Terdapat beberapa kontraindikasi dilakukannya
nasofaringeal tube antara lain fraktur basis cranii. Pada
proses intubasii dapat dilakukan penekanan di cricoid,
hal ini bertujuan mencegah terjadinya aspirasi. Pada
kondisi intubasi yang sulit dapat dibantu dengan
penggunaann gum elatic bougie (GEB). Konfirmasi
posisi ETT dapat dilakukan dengan memeriksa suara
nafas pada kedua sisi dada yang sama dan tidak
adanya suara borborygmi (suara gurgling) di
epigastrium. Metode lain yang dapat digunakan adalah
detektor karbon dioksida. Peningkatan kadar karbon
dioksida menunjukan ETT sudah dalam posisi yang
tepat. Foto polos thorax dapat dilakukan untuk
konfirmasi setelah posisi ETT di esofagus dapat
disingkirkan.

15
Gambar 2.8 Penggunaan Bougie dalam Intubasi
Sulit
2. Surgical Airway
Ketidakmampuan untuk dilakukan intubasi
merupakan indikasi yang jelas dalam manajemen
alternatif airway seperti LMA, LTA atau surgical airway.

2. C- Spine control
Selain manajemen pada airway yang telah di sebutkan
sebelumnya. Manajemen C-spine kontrol tidak boleh
terlewatkan. Hal ini penting dikarenakan pada pasien
cidera servikal dapat menyebabkan paresis atau paralisis
otot pernafasan. Semakin proksimal cidera semakin
mungkin terjadi permasalahan pada respirasi. Cidera
dibawah C3 menunjukkan fungsi diafragma yang bertahan

16
namun tidak dengan otot intercostal dan abdominal.
Kondisi pasien ini menunjukan pola pernafasan abdominal.
Pola pernafasan ini tidak efektif dan menghasilkan
pernfasan cepat, dangkal yang dapat menyebabkan
atelektasis dan ventilasi perfusi inadekuat dan pada
akhirnya gagal nafas.
Sebagai upaya C-spine control dapat dipasang cervical
collar pada pasien. Indikasi pemasangan cervical collar
apabila dicurigai taruma servikal dari mekanisme
terjadinya trauma, salah satunya adalah trauma tumpul
akibat kecelakaan mobil. Selain itu melalui pemeriksaan
fisik apabila pasien mengalami trauma di regio kepala atau
maxillofacial, pasien tersebut dapat dicurigai mengalami
trauma servikal.
Apabila pada kondisi tertentu diperlukan manuver
untuk membebaskan jalan nafas, cervical collar dapat di
buka dengan tetap dilakukan restriksi secara manual.

Gambar 2.9 Teknik Restriksi Servikal Spine


Pemeriksaan neurologis yang normal tidak
menyingkirkan kemungkinan trauma pada servikal.
Kecurigaan cidera servikal harus tetap ada hingga
pemeriksaan servikal selesai. Selama itu pula penggunaan
cervical collar terus digunakan hingga terbukti tidak terjadi
cedera cervical pada pasien. Pemeriksaan servikal dapat

17
mencakup X ray dan atau CT scan. Penggunaan X-ray
dapat dihindari apabila pasien memenuhi kriteria NEXUS
low risk criteria atau Canadian C-Spine Rule (CCR).
2.1.3.2 Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup ke
dalam dengan yang dihembuskan ke luar dari paru. Pada
awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-
teknik sederhana seperti head-tilt manuver dan chin-lift
manuver tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang
spontan, maka penggunaan bag-valve mask adalah yang
paling efektif untuk membantu ventilasi. Teknik ini efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan
dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin
kerapatan yang baik. Berikut adalah cara melakukan
pemasangan bag-valve mask (American College of
Surgeons, 2009):
1) Posisikan kepala lurus dengan tubuh.
2) Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran
yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung
dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
3) Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar di bagian
mulut).
4) Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada
angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang
ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka.
5) Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan
sedikit kepala pasien.
6) Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang
sudah dipasangkan.
7) Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-
sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan
sungkup muka bersama-sama).

18
8) Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa). Bila
yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri
memfiksasi sungkup muka, sementara tangan kanan
digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).
Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan
dengan melakukan metode berikut (ATLS, 2018):
a. Look: Lihat naik turunnya dada yang simetris dan
pergerakan dinding dada yang adekuat. Pergerakan
dinding dada yang asimetris dapat menunjukkan tanda
dari flail chest dan apabila tiap pernapasan yang
dilakukan membutuhkan otot bantu pernapasan atau
terdapat adanya retraksi (labored breathing) maka
terdapat ancaman terhadap oksigenasi penderita.
b. Listen: Dengar adanya suara napas pasien. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau
kedua hemitoraks merupakan tanda akan adanya
cedera dada. Apabila terdapat adanya laju pernafasan
yang cepat/takipnea dapat merupakan tanda bahwa
pasien kekurangan oksigen.
c. Feel: Merasakan adanya hembusan napas pasien.
d. Pulse Oximeter dapat digunakan untuk mengukur
saturasi oksigen pasien dan mengukur perfusi perifer.
Namun alat ini tidak dapat mengukur kecukupan
ventilasi. Selain itu, saturasi oksigen yang rendah dapat
menjadi indikasi hipoperfusi atau syok.

Penting untuk mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala


dari keadaan-keadaan yang sering muncul dalam
masalah ventilasi pada pasien gawat darurat seperti
tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open
pneumothorax. Penanganan yang dapat dilakukan
adalah (ATLS, 2018):

19
1. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12
liter/menit.
2. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath
No.14) di ICS II-Linea midclavicular.
3. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube.
4. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa
yang diplester pada tiga sisi (flutter-type voice effect).

Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis


berupa upaya pengobatan dengan pemberian oksigen
(O2) untuk mencegah atau memperbaiki hipoksia
jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan agar
tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan
oksigen (O2) ke dalam sistem respirasi, meningkatkan
daya angkut oksigen (O2) ke dalam sirkulasi dan
meningkatkan pelepasan atau ekstraksi oksigen (O2)
ke jaringan. Alat terapi oksigen (O2) terdiri dari
(Hardavella et al, 2019).

● Nasal Cannula

Gambar 2.10 Kanula hidung (Hardavella et al.,


2019)

Tabel 2.1 Kelebihan dan kelemahan kanul hidung (Htun &


Thein, 2016).

20
Kelebihan Kelemahan

1. Mudah digunakan 1. Pengeringan dan


iritasi pada mukosa
2. Pemberian oksigen aliran hidung
rendah
2. Kemungkinan
3. Tidak seketat masker wajah pendarahan hidung

4. Tidak ada penambahan 3. Luka di sekitar


ruang mati lubang hidung eksternal
dalam penggunaan
5. Lebih bisa ditoleransi jangka panjang
daripada masker oksigen

6. Mudah untuk bicara dan


makan / minum

● Masker Wajah Sederhana (Simple mask)

Masker wajah sederhana dapat diatur untuk


menghasilkan antara 5 dan 10 L • min (35–55%
FIO2) dan diindikasikan ketika oksigen dalam
jumlah sedang dibutuhkan. Diletakkan tepat di
atas mulut dan hidung pasien, dan memiliki port
pernafasan samping tempat pasien
menghembuskan karbon dioksida. Udara yang
dilembabkan dapat ditambahkan jika konsentrasi
oksigen dapat menyebabkan mukosa hidung
kering. Makan dan minum bisa menjadi sulit
dengan masker yang terpasang (Hardavella et
al, 2019).

21
Gambar 2.11 Simple Face Mask (Hardavella et
al., 2019)

● Masker dengan Reservoir

Merupakan masker wajah standar dengan


penambahan kantong reservoir untuk
meningkatkan kapasitas reservoir O2 sebanyak
600 ml. Ada dua jenis masker kantong reservoir
yaitu masker non-rebreathing dan partial
rebreathing (Htun & Thein, 2016).

- Masker non-rebreathing

Masker non-rebreather adalah perangkat arus


rendah dengan FIO2 tinggi. Alat ini menggunakan
kantong reservoir (∼1000 mL) untuk memberikan
konsentrasi oksigen yang lebih tinggi. Ini dapat diatur
untuk mengirimkan antara 10 dan 15 L • min − 1
.
Aliran oksigen <10 L • min - 1 dapat

22
menyebabkan kantong kolaps, selama inspirasi.
Masker ini berguna pada pasien hipoksia berat
yang berventilasi baik, tetapi memiliki risiko
retensi dan aspirasi karbon dioksida jika muntah
(Hardavella et al, 2019). Pada masker terdapat
katup satu arah dan dilengkapi port di setiap sisi
untuk pernafasan, menghasilkan kemampuan
untuk memberi pasien oksigen sebesar 100 %
pada laju aliran LPM yang lebih tinggi. Dengan
adanya 100% O2 dalam kantong reservoir,
pasien dapat menerima konsentrasi oksigen
yang lebih tinggi dengan mengurangi persentase
gas yang dihirup yang terdiri dari oksigen
atmosfer (Weekly & Bland, 2020).

Gambar 2.12 Masker non-rebreathing


(Hardavella et al, 2019).

- Masker partial rebreathing

Masker partial rebreathing memiliki kantong


penampung yang terpasang ke masker yang
memberikan volume penampung tambahan.
Oksigen yang dihembuskan dari dead space

23
anatomis yang tidak ikut serta dalam pertukaran
gas terkumpul di kantong reservoir. Hal ini
sangat membantu dalam situasi di mana suplai
oksigen kurang dan konservasi oksigen akan
sangat berguna. Masker pernafasan parsial
menghasilkan FiO2 antara 0,6 dan 0,8. Kantung
reservoir harus tetap digelembungkan untuk
memastikan delivery FiO2 tertinggi dengan
evakuasi CO2 yang memadai. Untuk itu,
diperlukan aliran gas baru lebih dari 8 L / menit
(Batool & Garg, 2017).

2.1.3.3 Circulation
Permasalahan sirkulasi pada pasien trauma dapat
berasal dari beberapa hal, volume darah, cardiac output
dan perdarahan merupakan faktor utama yang harus
diperhatikan.
1. Volume Darah dan Cardiac Output
Tahap pertama dan krusial dalam penanganani
pasien adalah dengan cepat mengontrol perdarahan
dan memulai resusitasi. Setelah tidak terbukti tension
pneumothorax sebagai penyebab syok, pertimbangkan
hipotensi yang disebabkan oleh kehilangan darah
hingga dapat dibuktikan sebaliknya.
Dalam pemeriksaan yang cepat untuk menilai
kondisi pasien, terdapat tiga elemen penting yang perlu
diperhatikan
● Tingkat kesadaran
Ketika perdarahan terjadi, penurunan volume
darah yang tersirkulasi ke otak berkurang
sehingga berdampak pada gangguan kesadaran
● Perfusi kulit

24
Tanda perfusi yang buruk pada pasien
hipovolemik dapat dilihat pada kulit muka dan
ekstremitas yang pucat.
● Denyut nadi
Denyut nadi yang cepat merupakan tanda umum
dari hipovolemia. Apabila pada nadi sentral tidak
ditemukan dan tidak ada faktor penyebab lain,
merupakan tanda signifikan untuk dilakukan
resusitasi
2. Perdarahan
Mengidentifikasi sumber perdarahan eksternal
maupun internal. Pada perdarahan eksternal dapat
dikontrol dengan pemberian tekanan pada luka. Lokasi
paling mungkin untuk terjadi perdarahan internal adalah
dada, abdomen, retroperitoneum, pelvis, dan tulang
panjang. Sumber perdarahan dapat di identifikasi
dengan melakukan USG FAST (Focused Assessment
with Sonography for Trauma).
Kontrol perdarahan definitif perlu dilakukan
bersamaan dengan penggantian cairan intravaskular
yang tepat. Pemasangan IV line 2 jalur dilakukan untuk
memasukan cairan, darah dan plasma. Apabila akses
periferal tidak dapat dilakukan maka dapat
menggunakan akses intraosseus dan vena sentral.
Pada kasus trauma dapat terjadi syok hipovolemik,
disituasi seperti ini resusitasi menggunakan kristaloid
dapat diberikan. Apabila pasien tidak respon terhadap
pemberian cairan resusitasi maka perlu untuk diberikan
tranfusi darah. Respon pada pemeberian cairan dapat
dikategorikan menjadi tiga rapid response, transient
response dan minimal atau no response

25
Gambar 2.13 Jenis respon terhadap resusitasi cairan
Untuk mengetahui respon pemberian cairan
adekuat atau tidak dapat dinilai dari tekanan darah yang
kembali normal, tekanan nadi dan kecepatan nadi.
Pengukur produksi urin bermakna dalam mengetahui
perfusi renal. Target produksi urin minimal adalah 0,5
mL/kg/hr (American College of Surgeon, 2018).

2.1.3.4 Disability
Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan
tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-
tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis.
Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan
suatu spektrum keadaan yang luas mulai dari letargi
sampai status koma. Perubahan apapun yang
mengganggu jaras ascending sistem aktivasi retikular dan
sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan
gangguan tingkat kesadaran (American College of
Surgeons, 2009).
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu
dengan menggunakan AVPU (ATLS, 2018).
● A: Alert, kesadaran penuh. Pasien mengetahui adanya
pemeriksa dan dapat merespon lingkungan di sekitar

26
mereka. Pasien juga dapat mengikuti perintah,
membuka mata secara spontan, dan melacak objek.
● V: Respond to verbal. Mata pasien tidak terbuka
spontan. Mata pasien hanya terbuka sebagai respon
terhadap rangsangan verbal yang diarahkan ke pasien.
● P : Respond to pain. Mata pasien tidak terbuka secara
spontan. Pasien hanya akan merespons dengan
adanya rangsangan sakit yang dilakukan pemeriksa.
Pasien dapat bergerak, mengeluh, atau menangis
secara langsung sebagai respons terhadap rangsangan
yang menyakitkan.
● U : Unresponsive. Pasien tidak merespons secara
spontan. Pasien tidak menanggapi rangsangan verbal
atau menyakitkan.
Sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan
metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status
neurologis, dan dapat dilakukan pada saat secondary
survey. GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem
skoring yang sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran pasien (ATLS, 2018).
2.1.3.5 Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey,
penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya,
kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log
roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering
dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intravena yang sudah dihangatkan untuk mencegah
agar pasien tidak hipotermi. Di rumah sakit penderita
harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk evaluasi
kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita.
Setelah pakaian dibuka perhatikan terhadap injury/jejas
pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut agar
penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut

27
hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary
survei dicurigai ada perdarahan dari belakang tubuh maka
dilakukan log roll untuk mengetahui sumber perdarahan
(Fitriani, S, 2011)
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan
disertai tindakan untuk mencegah hipotermia.
Pemasangan bidai atau vakum matras untuk
menghentikan perdarahan juga dapat dilakukan pada fase
ini. Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak
dilakukan pada survey primer adalah pemeriksaan, foto
servical, foto thoraks, dan foto polos abdomen. Tindakan
lainnya yang dapat dikerjakan setelah survey primer
adalah pemasangan monitor EKG, kateter, dan NGT (Ali,
J et al, 1997).

28
2.2 Secondary Survey
2.2.1 Pengertian Secondary Survey

Secondary survey merupakan pemeriksaan secara lengkap yang


dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Tujuan dari
secondary survey adalah untuk mendapatkan data anamnesis yang
relevan dan lengkap tentang pasien, serta untuk mengevaluasi dan
mengobati penyebab yang tidak ditemukan selama primary survey.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil.
Pada pemeriksaan secondary survey dilakukan pemeriksaan neurologi
lengkap, termasuk GCS bila belum dilakukan pada primary survey.
Pada secondary survey juga dilakukan foto rontgen dan pemeriksaan
laboratorium (Zemaitis, 2022).

2.2.2 Tujuan Secondary Survey


Tujuan dari secondary survey adalah untuk mendapatkan
anamnesis yang terperinci, melakukan pemeriksaan fisik dari ujung
kepala hingga ujung kaki, menilai kembali semua tanda vital, dan
mendapatkan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan terkait untuk
mengidentifikasi cedera dan kelainan metabolik (Zemaitis, 2022).
Secondary survey adalah untuk mengidentifikasi semua penyakit dan
cedera atau masalah yang berkaitan dengan keluhan pasien (Howard
dan Steinmann, 2010).
2.2.3 Penanganan pada Secondary Survey
2.2.3.1 Subjektif
Pada secondary survey bagian subjektif dilakukan anamnesis
mengenai riwayat terjadinya kejadian. Data yang didapat dari
anamnesis dapat bersumber dari pasien sendiri (autoanamnesis),
saksi pada saat kejadian, ataupun keluarga (alloanamnesis). Hal
yang harus digali dari anamnesis yakni riwayat “AMPLE” yaitu (ATLS,
2018):

29
1. Alergi: ditanyakan mengenai apakah pasien mempunyai riwayat
alergi obat ataupun makanan dosis obat yang diminum, atau
penyalahgunaan obat

2. Medikasi: ditayakan mengenai obat apa saja yang sedang


dikonsumsi pasien saat ini.

3. Past Illness/Pregnancy: ditanyakan apakah pasien mempunyai


riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi, asma,
dan penyakit jantung, serta ditanyakan apabila pasien perempuan
apakah sedang hamil atau tidak.

4. Last meal: ditanyakan kepada pasien kapan minum dan makan


terakhir

5. Event/environment: ditanyakan bagaimana proses dan kondisi


lingkungan yang berhubungan saat kejadian terjadi

2.2.3.2 Objektif

Setelah menanyakan secara subjektif melalui anamnesis dengan


pendekatan AMPLE, pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan
objektif dengan pendekatan B1-B6 yang mengacu pada tiap bagian
organ. Seluruh rangkaian pemeriksaan fisik tersebut bisa dilakukan
dengan I-P-P-A (inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi), kecuali
bagian B5 yang dilakukan secara I-A-P-P, pemeriksaan B1-B6 yaitu
(Indra dan Kulsum, 2020) :

1. B1 (breathing) merupakan pengkajian bagian organ pernapasan.

a) Pola napas: Dinilai kecepatan, irama, dan kualitas.

b) Bunyi napas: Bunyi napas normal; vesikuler, broncho vesikuler.

c) Penurunan atau hilangnya bunyi napas dapat menunjukan adanya


atelektasis, premotorak atau fibrosis pada pleura.

30
d) Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema)
merupakan bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui
sekresi di dalam trakeobronkial dan alveoli.

e) Ronchi (dapat terjadi akibat penurunan diameter saluran napas


dan peningkatan usaha napas)

f) Bentuk dada: Perubahan diameter anterior-posterior (AP)


menunjukan adanya COPD

g) Ekspansi dada: Dinilai penuh tidak penuh, dan kesimetrisan nya.

h) Ketidaksimetrisan mungkin menunjukan adanya atelektasis, lesi


pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, pneumotoraks,
atau penempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang
tepat.

i) Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai: Retraksi dari otot-
otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding
dada.

j) Sputum.

Sputum yang keluar harus dinilai warnanya, jumlah dan


konsistensinya. Mukoid sputum biasa terjadi pada bronkitis kronik
dan asthma bronkiale, sputum yang purulen (kuning hijau) biasa
terjadi pada pneumonia, bronkiektasis, bronkitis akut; sputum yang
mengandung darah dapat menunjukan adanya edema paru, TBC.
dan kanker paru,

Pada pengkajian breathing terdapat beberapa hal yang harus


diperhatikan terkait penyulit pada airway ketika melaksanakan pre
operasi. Hal yang dapat dikaji antara lain dari LEMON dan MOANS.

31
LEMON merupakan singkatan yang berguna untuk menilai potensi
intubasi yang sulit LEMON telah terbukti bermanfaat untuk evaluasi
pra anestesi, dan beberapa komponennya sangat relevan dalam
trauma (misalnya, cedera c-spine dan pembukaan mulut terbatas).
Komponen dari LEMON terdiri dari (ATLS, 2018):
a. L : Look Externally
Melihat beberapa karakteristik yang dapat menyebabkan kesulitan
intubasi atau ventilasi. Misalnya leher pendek, trauma facial, gigi
yang besar, kumis atau jenggot ataupun lidah yang besar.
b. E : Evaluate the 3-3-2 rule
3-3-2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari
sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan pada
mulut. 3 jari bukaan mulut, 3 jari jarak antara mentum hingga hyoid, 2
jari jarak antara hyoid dan laryngeal prominence.

Gambar 2.14 LEMON 1 3-3-2 rule (Walls dan Murphy, 2012)

c. M : Mallampati score digunakan sebagai alat untuk klasifikasi untuk


memvisualisasi hipofaring, pasien dalam posisi supine, membuka
mulut sambil menjulurkan lidah.
Kelas 1: orofaring, tonsil, seluruh uvula terlihat.

32
Kelas 2: pilar tonsil tidak terlihat
Kelas 3: hanya sebagian kecil dari dinding orofaring terlihat
Kelas 4: hanya palatum durum terlihat

Gambar 2.15 Mallampati score (Lee at al, 2006).

d. O : Obstruction/ obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi, seperti
abses peritonsil, trauma. Obesitas dapat menyebabkan sulitnya
intubasi karena memperberat ketika melakukan laringoskop dan
mengurangi visualisasi laring

e. N : Neck Mobility
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan
berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi
menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan
bebas ketika laringoskop atau intubasi. Keterbatasan ekstensi sendi
terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis.

Selanjutnya hal yang dapat diperhatikan yakni pada MOANS untuk


menilai kesulitan penggunaan masker oksigen, yang terdiri dari
(Bradley et al, 2016):
a. M: Male, mask seal
Pada kondisi seseorang tersebut pria dan berjenggot tentunya akan
lebih menyulitkan dibandingkan dengan pasien tanpa jenggot karena

33
masker oksigen akan menempel sempurna menutupi dagu, mulut
dan hidung. Sedangkan pada pasien dengan jenggot yang lebat akan
dapat menimbulkan celah sehingga udara tidak dapat masuk dengan
optimal

b. O: obesity atau obstruction


Pada pasien dengan kondisi yang edema utamanya pada wajah
akan mempersulit penggunaan air mask, dikarenakan masker tidak
akan menutupi bagian wajah dengan sempurna. Sedangkan pada
kondisi obstruksi juga akan mempersulit penanganan dengan air
mask dikarenakan oksigen tidak akan masuk dengan leluasa ke
dalam saluran nafas akibat adanya sumbatan.

c. A: age
Apabila pasien pada usia ekstrim yakni usia neonatal dan juga usia
geriatri yakni lebih dari 55 tahun juga akan mempersulit penggunaan
air mask karena masker yang digunakan tidak dapat serta merta
menggunakan masker dewasa pada umumnya. Harus menggunakan
masker khusus agar tercapai penggunaan masker oksigen yang
optimal.

d.N: no teeth
Pada pasien tanpa gigi akan menyulitkan apabila disertai dengan gigi
tiruan. Ditakutkan apabila gigi tiruan tersebut tidak paten akan
tercopot dan mengakibatkan obstruksi.

e.S: Stiff lung


Pada pasien dengan penyulit adanya paru-paru yang kaku akan
menyebabkan kesulitan dalam penggunaan air mask, dikarenakan
paru-paru yang susah mengembang maka udara pun akan susah
untuk masuk kedalam paru-paru.

2. B2 (blood) merupakan pengkajian organ yang berkaitan dengan


sirkulasi darah, yakni jantung dan pembuluh darah.

34
a) Irama jantung: frekuensi x/menit, reguler atau irreguler
b) Distensi vena jugularis
c) Tekanan darah
d) Bunyi jantung: Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
1) S1: Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi
akibat penutupan katup mitral dan trikuspid.
2) S2 Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat
penutupan pulmonal dan katup aorta.
3) S3: Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya
dilatasi ventrikel.
e) Murmur: terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
f) Perfusi: CRT (Capillary Refill Time) tekniknya dengan cara
menekan salah satu jari kuku pasien. Normal < 2 detik, Abnormal > 2
detik. Adakah sianosis (warna kebiruan) di sekitar bibir klien, cek
konjungtiva pasien, apakah konjungtiva klien anemis (pucat) atau
tidak, normalnya konjungtiva berwarna merah muda.
Akral: Normalnya Hangat, kering, merah, frekuensi nadi. Normalnya
60 - 100x/ menit, tekanan darah. Normalnya 100/ 80 mmHg – 130/90
mmHg.

3. B3 (brain) merupakan pengkajian fisik mengenai kesadaran dan


fungsi persepsi sensori.

Cek tingkat kesadaran pasien, untuk menilai tingkat kesadaran dapat


digunakan suatu skala (secara kuantitatif) pengukuran yang disebut
dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS memungkinkan untuk
menilai secara obyektif respon pasien terhadap lingkungan.
Komponen yang dinilai adalah : Respon membuka mata, respon
verbal, dan respon motorik (E-V-M).

Eye (respon membuka mata):


(4): spontan
(3): dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

35
(2): dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
(1): tidak ada respon

Verbal (respon verbal)


(5): Orientasi baik
(4): Bingung, disorientasi tempat dan waktu
(3): Kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas
namun tidak dalam satu kalimat)
(2): suara tanpa arti (mengerang)
(1): Tidak ada respon

Motorik (respon motorik)


(6): Mengikuti perintah
(5): Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(4): Withdraws (menghindar / menarik ekstremitas atau tubuh
menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3): Flexi abnormal (tangan satu / keduanya posisi kaku diatas dada)
(2): Ekstensi abnormal (tangan satu atau keduanya ekstensi di sisi
tubuh dengan jari mengepal)
(1): Tidak ada respon

Selain itu juga dilihat dan nilai refleks pupil: reaksi terhadap cahaya
(kanan dan kiri), ukuran pupil

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon


seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi (Jain dan Iverson, 2022):

a) Compos mentis: kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat


menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekeliling
b) Apatis: Keadaan segan untuk berhubungan dengan sekitarnya,
sikapnya acuh tak acuh

36
c) Delirium: Gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), berteriak,
halusinasi
d) Somnolen: Kesadaran menurun, respon psikomotor lambat,
mudah tertidur, nmaun kesadaran dapat pulih bila dirangsang,
tetapi jatuh tertidur kembali, mampu memberi jawaban verbal.
e) Stupor: Keadaan seperti tertidur, tetapi ada respon terhadap nyeri.
f) Coma: Tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun.

4. B4 (bladder) merupakan pengkajian sistem urologi.


Urine: warna, jumlah (produksi normal 0,5 – 1 cc/kg/jam. Penurunan
jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.

5. B5 (bowel) merupakan pengkajian sistem digestive atau


pencernaan.
Nyeri, mual muntah, penilaian pada rongga mulut adalah ada
tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat
menunjukan adanya dehidrasi. Ada tidaknya bising usus harus
diperiksa sebelum melakukan palpasi dan perkusi pada abdomen,
menilai bentuk abdomen. Distensi dapat terjadi karena adanya cairan
ataupun perdarahan.

6. B6 (bone) merupakan pengkajian sistem muskuloskletal dan


integumen.
Pergerakan sendi, fraktur, lesi, turgor kulit, menilai apakah terdapat
edema pada seluruh ekstrimitas dan perubahan warna kulit menjadi
sianosis yang dapat berhubungan dengan rendahnya kadar
hemoglobin ataupun terjadi syok.

2.2.3.3 Head to Toe

a. Kepala dan Maksilofasial


Melakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur, luka termal,

37
ruam, perdarahan, nyeri tekan (Delp & Manning, 2008). Penilaian,
lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal, re-evaluasi pupil; re-evaluasi
tingkat kedasaran dengan skor GCS; penilaian mata untuk
perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi lensa, dan
adanya lensa kontak; evaluasi saraf cranial;pemeriksaan telinga dan
hidung akan adanya kebocoran cairan serebrospinal; pemeriksaan
mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebrospinal,
perlukaan jaringan lunak dan gigi goyang (ATLS, 2018).
Pemeriksaan area maxillofacial harus mencakup palpasi semua
struktur tulang, penilaian oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian
jaringan lunak. Trauma maksilofasial yang tidak berhubungan dengan
obstruksi jalan napas atau perdarahan mayor harus diobati hanya
setelah pasien stabil dan kondisi yang mengancam jiwa terkait cedera
telah dikelola dan diatasi (ATLS, 2018).

a. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
visus, apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa
nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival
perdarahan, serta diplopia
b. Hidung : Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c. Telinga : Periksa adanya nyeri, tinnitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
d. Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
e. Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
f. Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi, amati tekstur lidah, warna,
kelembaban, lesi, apakah tonsil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,

38
pembengkakan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang
atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri (Delp &
Manning, 2008)

b. Vertebra servikalis dan leher


Penilaian, lakukan pemeriksaan adanya cedera tumpul atau
tajam, deviasi trakea dan pemakaian otot pernafasan tambahan,
palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema
subkutis, deviasi trakea, simetri pulsasi; auskultasi arteri karotis dan
tentukan adanya murmur; pembuatan foto servikal lateral. Pada saat
memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi,
edema, ruam, lesi, dan massa, kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan
menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau
tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, pembekakan, emfisema subkutan (Kemenkes, 2017).

Pasien dengan trauma maksilofasial atau kepala harus dianggap


memiliki cedera tulang belakang leher (misalnya, fraktur dan / atau
cedera ligamen), dan tulang belakang leher gerak harus dibatasi.
Tidak adanya defisit neurologis tidak menghilangkan kecurigaan
adanya cedera pada cervical. Pemeriksaan dilakukan dengan
radiografi dan/atau CT scan, yang diinterpretasikan oleh dokter
spesialis radiologi dalam mendeteksi fraktur cervical (ATLS, 2018).

c. Toraks
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam, bekas
luka, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi
toraks bilateral, apakah terpasang pacemaker, frekuensi dan irama
denyut jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi
untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. Auskultasi
suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub) (Kemenkes, 2017).

39
d. Abdomen
Penilaian, lakukan inspeksi abdomen bagian depan dan belakang
untuk adanya trauma tajam atau tumpul dan adanya perdarahan
internal; auskultasi bising usus; perkusi abdomen untuk menemukan
nyeri tekan lepas; palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil; pembuatan
foto pelvis posisi AP; bila diperlukan lakukan USG Abdomen; bila
hemodinamik normal, dapatkan CT Scan Abdomen (Kemenkes, 2017).

Cedera intraabdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,


misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran,
fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma
tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda
tertusuk, ecchymosis, bekas luka, dan stoma (Yayasan Ambulance
Gawat Darurat 118, 2010).

Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan,


nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah
kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali, splenomegali, defans
muskular, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu
akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan
pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultrasonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus
halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu
memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan
transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (ATLS, 2018).

e. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Penilaian perineum, apakah terdapat kontusio dan hematoma,
laserasi, perdarahan uretra. Penilaian rektum, apakah terdapat
perdarahan rektum, bagaimana tonus sfingter ani, utuhnya dinding
rektum, fragmen tulang, bagaimana posisi prostat. Penilaian vagina,

40
apakah terdapat adanya darah daerah vagina, laserasi vagina (ATLS,
2018). Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia
subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan
straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil,
denyut jantung janin pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu
(Kemenkes, 2017).

f. Muskuloskeletal

Penilaian, lakukan inspeksi lengan dan tungkai akan adanya


trauma tumpul atau tajam, termasuk adanya laserasi kontusio dan
deformitas, palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan,
krepitasi, pergerakan abnormal dan bagaimana sensoriknya, palpasi
semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan ekualitas; pemeriksaan
pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan; inspeksi dan palpasi
vertebra torakalis dan lumbalis untuk adanya trauma tajam atau
tumpul, termasuk adanya kontusio, laserasi, nyeri tekan, deformitas
dan bagaimana sensoriknya; evaluasi foto pelvis akan adanya fraktur;
pembuatan foto ekstremitas sesuai indikasi (Kemenkes, 2017).

g. Ektremitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat


inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanya luka dekat daerah
fraktur (fraktur terbuka), pada saat palpasi jangan lupa untuk
memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,
jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan
intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga
membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada
penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan. Inspeksi
pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi
harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertrofi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat

41
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien
hypoxia lambat s/d 5-15 detik (Curtis et al, 2009).

h. Bagian punggung

Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,


memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh).
Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung. Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ruam, lesi, dan edema serta nyeri,
begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas (Curtis
et al, 2009).

Gambar 2.16 Log Roll (Bennett dan Beattie, 2016)

I. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat


kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Perubahan dalam status
neurologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Evaluasi motorik
dan sensorik dari keempat ekstremitas dan tentukan adanya tanda
lateralisasi (Kemenkes, 2017). Konsultasi dini dengan ahli bedah saraf
diperlukan untuk pasien dengan cedera kepala. Pemantauan kondisi
tingkat kesadaran dan perubahan dalam pemeriksaan neurologis,
Kondisi dapat mencerminkan memburuknya cedera intrakranial. Jika
pasien dengan cedera kepala dan kondisi neurologis memburuk,

42
lakukan penilaian kembali terkait kecukupan oksigenasi, ventilasi dan
perfusi ke otak (pada primary survey ABCDE). Intervensi pembedahan
intrakranial atau langkah-langkah untuk mengurangi tekanan
intrakranial mungkin diperlukan (ATLS, 2018).

43
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Kesimpulan
Manajemen penanganan pada pasien gawat darurat harus dikerjakan
secara cepat dan tepat. Penanganan yang dilakukan yakni Initial
manajemen yang terdiri atas primary dan secondary survey. Primary survey
merupakan langkah awal untuk mengetahui kegawatdaruratan apa yang
terjadi pada pasien. Terdiri dari ABCDE yakni airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure. Sedangkan untuk pemeriksaan lebih dalam dari
head to toe menggunakan secondary survey. Terdiri atas subjektif (AMPLE)
dan objektif (B1-B6). AMPLE yaitu alergi, medikasi, past illness/medical
history, last meal, Event. Kemudian untuk B1 yaitu breathing, B2 blood, B3
brain, B4 bladder, B5 bowel, B6 bone.

3.2 Saran
Penulisan pada referat ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu perlu adanya perbaikan pada penulisan kedepannya serta perbanyak
sumber penulisan agar referat yang dihasilkan kedepannya dapat semakin
bermanfaat bagi para pembaca.

44
DAFTAR PUSTAKA

Ali, J., Aprahamian, C., Bell, RM., et al. 1997. Advanced Trauma Life
Support. American College of Surgeon. USA.
American College of Surgeons (2018) Advanced Trauma Life
Support. 10th edn. Chicago: American College of Surgeons.

Batool S, Garg R. 2017. Appropriate Use of Oxygen Delivery Devices. The


Open Anesthesiology Journal, 2017, 11, 35-38.

Bennett, J., Beattie, L.K. (2016). Log Roll. In: Ganti, L. (eds) Atlas of
Emergency Medicine Procedures. Springer, New York, NY.
Bradley, P., Chapman, G., Crooke, B., and greenland, K. 2016.
Airway Assesment. Australian and New Zeland College of
Anaesthetists.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The
emergency nursing assessment process: a structured framedwork
for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing
Journal, 12; 130-136
Delp & Manning. 2008. Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic
Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga.
Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.
Fitriani, Sinta. 2011. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu : Yogyakarta Ikatan
Dokter Bedah Indonesi (IKABI). 2004.Advanced Trauma Life
Support. Edisi Ketujuh
Hardavella, G., Karampinis, I., Frille, A., Sreter, K., & Rousalova, I. 2019.
Oxygen devices and delivery systems. Breathe, 15(3), e108–e116.
Hidayanti, A, N., Akbar, M, I, A., dan Rosyid, A, N. 2014. Gawat
Darurat Medis dan Bedah. Airlangga University Press: Surabaya.

Htun, A. and Thein, W., 2016. Oxygen Therapy. International Journal of

45
Novel Research in Healthcare and Nursing, 3(2), pp.8-14.

Howard, P. K., and Steinmann, R. A. 2010. Sheehy’s Emergency


Nursing;Principle and Practice. Sixth Edition. Amerika: Mosby
Elsevier.

Indra, I. and Kulsum, K., 2020. Pre-Anesthesia Assessment and


Preparation. Budapest International Research in Exact Sciences
(BirEx) Journal, 2(2), pp.228-235.
Jain S, Iverson LM. Glasgow Coma Scale. [Updated 2022 Jun 21].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513298/
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Nomor
hk.01.07/menkes/132/2017 tentang pedoman nasional pelayanan
kedokteran tatalaksana trauma
Krisanty, P., et al. (2009) Ed. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta : Trans Info Medika, 103-105.
Lee A, Fan LT, et al. A systematic review (meta-analysis) of the
accuracy of the Mallampati tests to predict the difficult airway.
Anesth Analg. 2006 Jun. 102 (6):1867-78.
Murphy MF, Walls RM. 2012. Identification of the difficult and failed
airway. In: Manual of Emergency Airway Management, 4th ed, Walls
RM, Murphy MF (Eds), Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Noll J, Coccolini F, Catena F, Reichert M, Altinkilic B, Padberg W,
Riedel JG, Askevold I, Wagenlehner F, Hecker A. [New WSES-
AAST guidelines on trauma of the urogenital tract-Summary and
comments]. Chirurg. 2021 Nov;92(11):1016-1020
Spahn DR, Bouillon B, Cerny V, Duranteau J, Filipescu D, Hunt BJ,
Komadina R, Maegele M, Nardi G, Riddez L, Samama CM, Vincent
JL, Rossaint R. The European guideline on management of major
bleeding and coagulopathy following trauma: fifth edition. Crit Care.
2019 Mar 27;23(1):98.
Wahjoepramono. 2005. Stroke Tata Laksana Fase Akut. Jakarta.

46
Universitas Pelita Harapan

Weekley, M.S. and Lauren E.B. 2020. Oxygen Administration, National


Library of Medicine. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551617/, accessed on
26th Dec 2020.

Zemaitis MR, Planas JH, Waseem M. Trauma Secondary Survey.


[Updated 2022 Aug 7]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441902/

47

Anda mungkin juga menyukai