Referat Primary and Secondary Survey
Referat Primary and Secondary Survey
PERIODE
24 Oktober - 20 November 2022
Disusun Oleh :
Calista Felicia Ghaydaqila 210070200011079
Adityas Ramadhan 210070200011091
Ni Luh Arini Sukma Dewi 210070200011135
Pembimbing
MALANG
2022
LEMBAR PERSETUJUAN
1
PRIMARY DAN SECONDARY SURVEY
PERIODE
Disusun oleh:
Hari :
Tanggal :
Menyetujui,
Pembimbing
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
DAFTAR ISI 3
DAFTAR GAMBAR 4
BAB I PENDAHULUAN 5
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 7
1.4 Manfaat Penelitian 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Primary Survey 8
2.1.1 Pengertian Primary Survey 8
2.1.2 Tujuan Primary Survey 8
2.1.3 Penanganan pada Primary Survey 9
2.1.3.1 Airway & C Spine Control 9
2.1.3.2 Breathing 17
2.1.3.3 Circulation 23
2.1.3.4 Disability 25
2.1.3.5 Exposure 26
2.2 Secondary Survey 28
2.2.1 Pengertian Secondary Survey 28
2.2.2 Tujuan Secondary Survey 28
2.2.3 Penanganan pada Secondary Survey 28
2.2.3.1 Subjektif 28
2.2.3.2 Objektif 29
2.2.3.3 Head to Toe 36
BAB III PENUTUP 43
3.1 Kesimpulan 43
3.2 Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 44
3
DAFTAR GAMBAR
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
5
tanda hipoperfusi seperti CRT (capillary refill time) yang lebih dari 2 detik,
ataukah adanya akral yang basah dingin dan pucat. Lalu pada disability
dapat di cek apakah adanya tanda penurunan dari kesadaran. Dan terakhir
pada exposure, penolong dapat menilai dari apakah adanya jejas pada
tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, apakah ada demam,
ataukah terdapat kulit yang bewarna pucat ataupun kuning (ikterik)
(Kristanty et al, 2009)
6
1.3 Tujuan Penelitian
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Primary Survey
2.1.1 Pengertian Primary Survey
Primary Survey (Penilaian Awal) merupakan usaha yang
dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien
atau korban mengalami keadaan yang mengancam jiwa.
Penilaian awal sangat mempengaruhi keberhasilan usaha
pertolongan yang akan dilakukan. Primary Survey adalah
mengatur pendekatan ke pasien sehingga pasien segera dapat
diidentifikasi dan tertanggulangi dengan efektif. Masalah- masalah
yang mengancam nyawa terkait jalan napas, pernapasan,
sirkulasi, dan status kesadaran pasien diidentifikasi, dievaluasi
serta dilakukan tindakan dalam hitungan menit sejak datang di
IGD (Unit Gawat Darurat). Pemeriksaan Primary Survey
berdasarkan standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan
nafas), breathing (B: Pernafasan), circulation (C: Sirkulasi,
disability (D: Ketidakmampuan), dan Exposure (E: Penerapan)
(Krisanty, 2009).
Primary Survey merupakan langkah pertama yang dilakukan
sejak detik pertama pasien masuk instalasi gawat darurat. Dasar
dari pemeriksaan primary survey adalah ABCD, yaitu Airway
(jalan nafas), Breathing (pernafasan), Circulation (sirkulasi darah),
Disability (status neurologi) (Wahjoepramono, 2005). Sistem
pelayanan tanggap darurat ditujukan untuk mencegah kematian
dini salah satunya karena trauma yang bisa terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera. Perawatan
kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko kecacatan dan
bahkan kematian. Maka dari itu primary survey merupakan salah
satu item kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus dilakukan
untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan kematian.
8
2.1.2 Tujuan Primary Survey
Primary survey dirancang untuk membantu Responder Medis
Darurat untuk mendeteksi semua kegawatdaruratan terhadap
pasien. Ancaman hidup langsung biasanya melibatkan pasien
ABC, dan masing-masing dikoreksi saat ditemukan. Tujuan lain
dari primary survey dirancang adalah untuk menilai dan
mengobati cedera yang mengancam jiwa dengan cepat (Spahn et
al, 2019).
2.1.3 Penanganan pada Primary Survey
2.1.3.1 Airway & C Spine Control
1. Airway
Penanganan Airway meruapakan fokus pertama dalam
primary survey. Hal penting yang pertama kali harus
dilakukan adalah mengidentifikasi masalah pada jalan
nafas. Potensial masalah pada obstruksi jalanan nafas
dapat dilihat melalui tanda trauma atau luka bakal pada
leher, muka dan laring. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi
secara partial ataupun komplit. Untuk menilai jalan nafas
dapat dilihat dari respon pasien ketika di ajak berbicara,
respon “verbal” menunjukkan jalan nafas yang paten.
Sebaliknya pada pasien dengan penurunan kesadaran
merupakan resiko jalan nafas terganggu sering
memerlukan jalan nafas definitif. Pemasangan Endo
Tracheal Tube (ETT) merupakan cara mencapai jalan
nafas definitif (American College of Surgeon, 2018).
Mengidentifikasi tanda objektif obstruksi jalan nafas :
1. Observasi pasien untuk mengetahui apakah
pasien agitasi atau kebingungan, hal ini
menunjukan pasien mengalami hipoksia atau
hipercarbia. Sianosis dapat ditemukan pada kulit
dan kuku, namun sianosis sendiri merupakan
tanda lambat dari hipoksia. Lihat ada tidaknya
retraksi dinding dada dan penggunaan otot nafas
tambahan, jika ada dapat merupakan
9
kompromais pada jalan nafas. Selain itu
penggunaan pulse oksimetri dapat digunakan
untuk mengetahui oksigenasi yang inadekuat
sebelum terjadinya sianosis
2. Mendengarkan adanya suara nafas tambahan.
Adanya snoring, gurlgling dan crowing
menunjukan obstruksi pastial dari laring atau
faring.
3. Mengevaluasi perilaku pasien. Pasien yang
berprilaku kasar dan agresif mungkin
sebenarnya mengalami hipoksia.
Manajemen jalan nafas dapat dibagi menjadi 2 jenis,
yang menggunakan alat dan tidak. Manuver yang
dilakukan untuk mempatensikan jalan nafas dapat
menyebabkan atau memperburuk c-spine injury sehingga
restriksi dari gerakan servikal perlu dilakukan selama
prosedur.
1. Manuver Chin-Lift
10
2. Manuver Jaw-Thrust
11
Gambar 2.3 Oropharyngeal Airway
Pemasangan oropharyngeal airway dengan cara
bagian yang melengkung diarahkan keatas, hingga
menyentuh soft palate. Kemudian dialkukan putaran
180 derajat sehingga sisi lengkung menghadap lidah.
Penggunaan teknik ini dapat menimbulkan reflek
muntah pada pasien yang sadar, sehingga perlu
diperhatikan kemungkinan terjadi aspirasi.
5. Extraglottic dan Supraglottic Device
Penggunaan alat extraglottic atau supraglottic
ditujukan pada pasien yang membutuhkan manajemen
jalan nafas lebih lanjut namun gagal dilakukan intubasi
atau kemungkinan gagal jika dilakukan. Beberapa alat
untuk manajemen jalan nafas extraglottic dan
supraglottic antara lain
● Laryngeal mask airway
12
Gambar 2.4 Laryngeal Mask Airway (LMA)
● Intubating laryngeal mask airway
13
Gambar 2.7 Multilumen Esophageal Airway
Pemberian jalan nafas definitif memerlukan
pemasangan tube di trakea dengan cuff yang
dikembangkan dibawah pita suara, yang kemudian
dihunbungkan dengan alat ventilasi yang kaya akan
oksigen dengan jalan nafas yang paten mengggunakan
metode stabilisasi yang tepat.
Kriteria untuk dilakukannya jalan nafas definitif antara
lain.
● A, Ketidakmampuan untuk mempertahankan
patensi jalan nafas, termasuk yang penyebab
potensial obstruksi yang akan terjadi selanjutnya.
Salah satu contohnya adalah trauma inhalasi,
fraktur dacial dan hematoma retrofaringeal.
● B, Ketidakmampuan untuk mempertahankan
oksigenasi dengan suplementasi sungkup atau
terdapat apneu
● C, Kondisi obtudansi atau prilaku agresif akibat
hiperperfusi serebral
● D, Obtudansi yang mengindikasikan terdapat
cidera kepala yang memperlukan bantuan
ventilasi (GCS < 8), kejadian kejang berulang
dan kebutuhan untuk menjaga agar tidak terjadi
aspirasi dari darah atau muntah.
14
Terdapat tiga jenis jalan nafas definitif antara lain
orotracheal tube, nasotracheal tube dan surgical airway.
1. Endotracheal Tube
Pada pasien dengan GCS kurang dari 8
merupakan indikasi segera untuk dilakukan intubasi.
Orotracheal tube lebih sering digunakan untuk patensi
jalan nafas. Hal ini dikarenakan orotracheal tube
memilki lebih sedikit komplikasi dibanding nasofaringeal
tube. Terdapat beberapa kontraindikasi dilakukannya
nasofaringeal tube antara lain fraktur basis cranii. Pada
proses intubasii dapat dilakukan penekanan di cricoid,
hal ini bertujuan mencegah terjadinya aspirasi. Pada
kondisi intubasi yang sulit dapat dibantu dengan
penggunaann gum elatic bougie (GEB). Konfirmasi
posisi ETT dapat dilakukan dengan memeriksa suara
nafas pada kedua sisi dada yang sama dan tidak
adanya suara borborygmi (suara gurgling) di
epigastrium. Metode lain yang dapat digunakan adalah
detektor karbon dioksida. Peningkatan kadar karbon
dioksida menunjukan ETT sudah dalam posisi yang
tepat. Foto polos thorax dapat dilakukan untuk
konfirmasi setelah posisi ETT di esofagus dapat
disingkirkan.
15
Gambar 2.8 Penggunaan Bougie dalam Intubasi
Sulit
2. Surgical Airway
Ketidakmampuan untuk dilakukan intubasi
merupakan indikasi yang jelas dalam manajemen
alternatif airway seperti LMA, LTA atau surgical airway.
2. C- Spine control
Selain manajemen pada airway yang telah di sebutkan
sebelumnya. Manajemen C-spine kontrol tidak boleh
terlewatkan. Hal ini penting dikarenakan pada pasien
cidera servikal dapat menyebabkan paresis atau paralisis
otot pernafasan. Semakin proksimal cidera semakin
mungkin terjadi permasalahan pada respirasi. Cidera
dibawah C3 menunjukkan fungsi diafragma yang bertahan
16
namun tidak dengan otot intercostal dan abdominal.
Kondisi pasien ini menunjukan pola pernafasan abdominal.
Pola pernafasan ini tidak efektif dan menghasilkan
pernfasan cepat, dangkal yang dapat menyebabkan
atelektasis dan ventilasi perfusi inadekuat dan pada
akhirnya gagal nafas.
Sebagai upaya C-spine control dapat dipasang cervical
collar pada pasien. Indikasi pemasangan cervical collar
apabila dicurigai taruma servikal dari mekanisme
terjadinya trauma, salah satunya adalah trauma tumpul
akibat kecelakaan mobil. Selain itu melalui pemeriksaan
fisik apabila pasien mengalami trauma di regio kepala atau
maxillofacial, pasien tersebut dapat dicurigai mengalami
trauma servikal.
Apabila pada kondisi tertentu diperlukan manuver
untuk membebaskan jalan nafas, cervical collar dapat di
buka dengan tetap dilakukan restriksi secara manual.
17
mencakup X ray dan atau CT scan. Penggunaan X-ray
dapat dihindari apabila pasien memenuhi kriteria NEXUS
low risk criteria atau Canadian C-Spine Rule (CCR).
2.1.3.2 Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup ke
dalam dengan yang dihembuskan ke luar dari paru. Pada
awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-
teknik sederhana seperti head-tilt manuver dan chin-lift
manuver tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang
spontan, maka penggunaan bag-valve mask adalah yang
paling efektif untuk membantu ventilasi. Teknik ini efektif
apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan
dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin
kerapatan yang baik. Berikut adalah cara melakukan
pemasangan bag-valve mask (American College of
Surgeons, 2009):
1) Posisikan kepala lurus dengan tubuh.
2) Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran
yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung
dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
3) Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar di bagian
mulut).
4) Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada
angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang
ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka.
5) Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan
sedikit kepala pasien.
6) Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang
sudah dipasangkan.
7) Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-
sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan
sungkup muka bersama-sama).
18
8) Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa). Bila
yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri
memfiksasi sungkup muka, sementara tangan kanan
digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).
Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan
dengan melakukan metode berikut (ATLS, 2018):
a. Look: Lihat naik turunnya dada yang simetris dan
pergerakan dinding dada yang adekuat. Pergerakan
dinding dada yang asimetris dapat menunjukkan tanda
dari flail chest dan apabila tiap pernapasan yang
dilakukan membutuhkan otot bantu pernapasan atau
terdapat adanya retraksi (labored breathing) maka
terdapat ancaman terhadap oksigenasi penderita.
b. Listen: Dengar adanya suara napas pasien. Penurunan
atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau
kedua hemitoraks merupakan tanda akan adanya
cedera dada. Apabila terdapat adanya laju pernafasan
yang cepat/takipnea dapat merupakan tanda bahwa
pasien kekurangan oksigen.
c. Feel: Merasakan adanya hembusan napas pasien.
d. Pulse Oximeter dapat digunakan untuk mengukur
saturasi oksigen pasien dan mengukur perfusi perifer.
Namun alat ini tidak dapat mengukur kecukupan
ventilasi. Selain itu, saturasi oksigen yang rendah dapat
menjadi indikasi hipoperfusi atau syok.
19
1. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12
liter/menit.
2. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath
No.14) di ICS II-Linea midclavicular.
3. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube.
4. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa
yang diplester pada tiga sisi (flutter-type voice effect).
● Nasal Cannula
20
Kelebihan Kelemahan
21
Gambar 2.11 Simple Face Mask (Hardavella et
al., 2019)
- Masker non-rebreathing
22
menyebabkan kantong kolaps, selama inspirasi.
Masker ini berguna pada pasien hipoksia berat
yang berventilasi baik, tetapi memiliki risiko
retensi dan aspirasi karbon dioksida jika muntah
(Hardavella et al, 2019). Pada masker terdapat
katup satu arah dan dilengkapi port di setiap sisi
untuk pernafasan, menghasilkan kemampuan
untuk memberi pasien oksigen sebesar 100 %
pada laju aliran LPM yang lebih tinggi. Dengan
adanya 100% O2 dalam kantong reservoir,
pasien dapat menerima konsentrasi oksigen
yang lebih tinggi dengan mengurangi persentase
gas yang dihirup yang terdiri dari oksigen
atmosfer (Weekly & Bland, 2020).
23
anatomis yang tidak ikut serta dalam pertukaran
gas terkumpul di kantong reservoir. Hal ini
sangat membantu dalam situasi di mana suplai
oksigen kurang dan konservasi oksigen akan
sangat berguna. Masker pernafasan parsial
menghasilkan FiO2 antara 0,6 dan 0,8. Kantung
reservoir harus tetap digelembungkan untuk
memastikan delivery FiO2 tertinggi dengan
evakuasi CO2 yang memadai. Untuk itu,
diperlukan aliran gas baru lebih dari 8 L / menit
(Batool & Garg, 2017).
2.1.3.3 Circulation
Permasalahan sirkulasi pada pasien trauma dapat
berasal dari beberapa hal, volume darah, cardiac output
dan perdarahan merupakan faktor utama yang harus
diperhatikan.
1. Volume Darah dan Cardiac Output
Tahap pertama dan krusial dalam penanganani
pasien adalah dengan cepat mengontrol perdarahan
dan memulai resusitasi. Setelah tidak terbukti tension
pneumothorax sebagai penyebab syok, pertimbangkan
hipotensi yang disebabkan oleh kehilangan darah
hingga dapat dibuktikan sebaliknya.
Dalam pemeriksaan yang cepat untuk menilai
kondisi pasien, terdapat tiga elemen penting yang perlu
diperhatikan
● Tingkat kesadaran
Ketika perdarahan terjadi, penurunan volume
darah yang tersirkulasi ke otak berkurang
sehingga berdampak pada gangguan kesadaran
● Perfusi kulit
24
Tanda perfusi yang buruk pada pasien
hipovolemik dapat dilihat pada kulit muka dan
ekstremitas yang pucat.
● Denyut nadi
Denyut nadi yang cepat merupakan tanda umum
dari hipovolemia. Apabila pada nadi sentral tidak
ditemukan dan tidak ada faktor penyebab lain,
merupakan tanda signifikan untuk dilakukan
resusitasi
2. Perdarahan
Mengidentifikasi sumber perdarahan eksternal
maupun internal. Pada perdarahan eksternal dapat
dikontrol dengan pemberian tekanan pada luka. Lokasi
paling mungkin untuk terjadi perdarahan internal adalah
dada, abdomen, retroperitoneum, pelvis, dan tulang
panjang. Sumber perdarahan dapat di identifikasi
dengan melakukan USG FAST (Focused Assessment
with Sonography for Trauma).
Kontrol perdarahan definitif perlu dilakukan
bersamaan dengan penggantian cairan intravaskular
yang tepat. Pemasangan IV line 2 jalur dilakukan untuk
memasukan cairan, darah dan plasma. Apabila akses
periferal tidak dapat dilakukan maka dapat
menggunakan akses intraosseus dan vena sentral.
Pada kasus trauma dapat terjadi syok hipovolemik,
disituasi seperti ini resusitasi menggunakan kristaloid
dapat diberikan. Apabila pasien tidak respon terhadap
pemberian cairan resusitasi maka perlu untuk diberikan
tranfusi darah. Respon pada pemeberian cairan dapat
dikategorikan menjadi tiga rapid response, transient
response dan minimal atau no response
25
Gambar 2.13 Jenis respon terhadap resusitasi cairan
Untuk mengetahui respon pemberian cairan
adekuat atau tidak dapat dinilai dari tekanan darah yang
kembali normal, tekanan nadi dan kecepatan nadi.
Pengukur produksi urin bermakna dalam mengetahui
perfusi renal. Target produksi urin minimal adalah 0,5
mL/kg/hr (American College of Surgeon, 2018).
2.1.3.4 Disability
Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan
tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-
tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis.
Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan
suatu spektrum keadaan yang luas mulai dari letargi
sampai status koma. Perubahan apapun yang
mengganggu jaras ascending sistem aktivasi retikular dan
sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan
gangguan tingkat kesadaran (American College of
Surgeons, 2009).
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu
dengan menggunakan AVPU (ATLS, 2018).
● A: Alert, kesadaran penuh. Pasien mengetahui adanya
pemeriksa dan dapat merespon lingkungan di sekitar
26
mereka. Pasien juga dapat mengikuti perintah,
membuka mata secara spontan, dan melacak objek.
● V: Respond to verbal. Mata pasien tidak terbuka
spontan. Mata pasien hanya terbuka sebagai respon
terhadap rangsangan verbal yang diarahkan ke pasien.
● P : Respond to pain. Mata pasien tidak terbuka secara
spontan. Pasien hanya akan merespons dengan
adanya rangsangan sakit yang dilakukan pemeriksa.
Pasien dapat bergerak, mengeluh, atau menangis
secara langsung sebagai respons terhadap rangsangan
yang menyakitkan.
● U : Unresponsive. Pasien tidak merespons secara
spontan. Pasien tidak menanggapi rangsangan verbal
atau menyakitkan.
Sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan
metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status
neurologis, dan dapat dilakukan pada saat secondary
survey. GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem
skoring yang sederhana untuk menilai tingkat
kesadaran pasien (ATLS, 2018).
2.1.3.5 Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey,
penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya,
kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log
roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering
dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intravena yang sudah dihangatkan untuk mencegah
agar pasien tidak hipotermi. Di rumah sakit penderita
harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk evaluasi
kelainan atau injury secara cepat pada tubuh penderita.
Setelah pakaian dibuka perhatikan terhadap injury/jejas
pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut agar
penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut
27
hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary
survei dicurigai ada perdarahan dari belakang tubuh maka
dilakukan log roll untuk mengetahui sumber perdarahan
(Fitriani, S, 2011)
Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan
disertai tindakan untuk mencegah hipotermia.
Pemasangan bidai atau vakum matras untuk
menghentikan perdarahan juga dapat dilakukan pada fase
ini. Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak
dilakukan pada survey primer adalah pemeriksaan, foto
servical, foto thoraks, dan foto polos abdomen. Tindakan
lainnya yang dapat dikerjakan setelah survey primer
adalah pemasangan monitor EKG, kateter, dan NGT (Ali,
J et al, 1997).
28
2.2 Secondary Survey
2.2.1 Pengertian Secondary Survey
29
1. Alergi: ditanyakan mengenai apakah pasien mempunyai riwayat
alergi obat ataupun makanan dosis obat yang diminum, atau
penyalahgunaan obat
2.2.3.2 Objektif
30
d) Rales (merupakan tanda awal adanya CHF. emphysema)
merupakan bunyi yang dihasilkan oleh aliran udara yang melalui
sekresi di dalam trakeobronkial dan alveoli.
i) Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai: Retraksi dari otot-
otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi
paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat
terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakan dinding
dada.
j) Sputum.
31
LEMON merupakan singkatan yang berguna untuk menilai potensi
intubasi yang sulit LEMON telah terbukti bermanfaat untuk evaluasi
pra anestesi, dan beberapa komponennya sangat relevan dalam
trauma (misalnya, cedera c-spine dan pembukaan mulut terbatas).
Komponen dari LEMON terdiri dari (ATLS, 2018):
a. L : Look Externally
Melihat beberapa karakteristik yang dapat menyebabkan kesulitan
intubasi atau ventilasi. Misalnya leher pendek, trauma facial, gigi
yang besar, kumis atau jenggot ataupun lidah yang besar.
b. E : Evaluate the 3-3-2 rule
3-3-2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari
sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan pada
mulut. 3 jari bukaan mulut, 3 jari jarak antara mentum hingga hyoid, 2
jari jarak antara hyoid dan laryngeal prominence.
32
Kelas 2: pilar tonsil tidak terlihat
Kelas 3: hanya sebagian kecil dari dinding orofaring terlihat
Kelas 4: hanya palatum durum terlihat
d. O : Obstruction/ obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi, seperti
abses peritonsil, trauma. Obesitas dapat menyebabkan sulitnya
intubasi karena memperberat ketika melakukan laringoskop dan
mengurangi visualisasi laring
e. N : Neck Mobility
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan
berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi
menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan
bebas ketika laringoskop atau intubasi. Keterbatasan ekstensi sendi
terdapat pada spondylosis, rheumatoid arthritis.
33
masker oksigen akan menempel sempurna menutupi dagu, mulut
dan hidung. Sedangkan pada pasien dengan jenggot yang lebat akan
dapat menimbulkan celah sehingga udara tidak dapat masuk dengan
optimal
c. A: age
Apabila pasien pada usia ekstrim yakni usia neonatal dan juga usia
geriatri yakni lebih dari 55 tahun juga akan mempersulit penggunaan
air mask karena masker yang digunakan tidak dapat serta merta
menggunakan masker dewasa pada umumnya. Harus menggunakan
masker khusus agar tercapai penggunaan masker oksigen yang
optimal.
d.N: no teeth
Pada pasien tanpa gigi akan menyulitkan apabila disertai dengan gigi
tiruan. Ditakutkan apabila gigi tiruan tersebut tidak paten akan
tercopot dan mengakibatkan obstruksi.
34
a) Irama jantung: frekuensi x/menit, reguler atau irreguler
b) Distensi vena jugularis
c) Tekanan darah
d) Bunyi jantung: Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung
1) S1: Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi
akibat penutupan katup mitral dan trikuspid.
2) S2 Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat
penutupan pulmonal dan katup aorta.
3) S3: Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya
dilatasi ventrikel.
e) Murmur: terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya
terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF.
f) Perfusi: CRT (Capillary Refill Time) tekniknya dengan cara
menekan salah satu jari kuku pasien. Normal < 2 detik, Abnormal > 2
detik. Adakah sianosis (warna kebiruan) di sekitar bibir klien, cek
konjungtiva pasien, apakah konjungtiva klien anemis (pucat) atau
tidak, normalnya konjungtiva berwarna merah muda.
Akral: Normalnya Hangat, kering, merah, frekuensi nadi. Normalnya
60 - 100x/ menit, tekanan darah. Normalnya 100/ 80 mmHg – 130/90
mmHg.
35
(2): dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
(1): tidak ada respon
Selain itu juga dilihat dan nilai refleks pupil: reaksi terhadap cahaya
(kanan dan kiri), ukuran pupil
36
c) Delirium: Gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), berteriak,
halusinasi
d) Somnolen: Kesadaran menurun, respon psikomotor lambat,
mudah tertidur, nmaun kesadaran dapat pulih bila dirangsang,
tetapi jatuh tertidur kembali, mampu memberi jawaban verbal.
e) Stupor: Keadaan seperti tertidur, tetapi ada respon terhadap nyeri.
f) Coma: Tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun.
37
ruam, perdarahan, nyeri tekan (Delp & Manning, 2008). Penilaian,
lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
laserasi, kontusi, fraktur dan luka termal, re-evaluasi pupil; re-evaluasi
tingkat kedasaran dengan skor GCS; penilaian mata untuk
perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi lensa, dan
adanya lensa kontak; evaluasi saraf cranial;pemeriksaan telinga dan
hidung akan adanya kebocoran cairan serebrospinal; pemeriksaan
mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebrospinal,
perlukaan jaringan lunak dan gigi goyang (ATLS, 2018).
Pemeriksaan area maxillofacial harus mencakup palpasi semua
struktur tulang, penilaian oklusi, pemeriksaan intraoral, dan penilaian
jaringan lunak. Trauma maksilofasial yang tidak berhubungan dengan
obstruksi jalan napas atau perdarahan mayor harus diobati hanya
setelah pasien stabil dan kondisi yang mengancam jiwa terkait cedera
telah dikelola dan diatasi (ATLS, 2018).
a. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
visus, apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa
nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival
perdarahan, serta diplopia
b. Hidung : Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan
palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c. Telinga : Periksa adanya nyeri, tinnitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
d. Rahang atas: periksa stabilitas rahang atas
e. Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
f. Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi, amati tekstur lidah, warna,
kelembaban, lesi, apakah tonsil meradang, pegang dan tekan
daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
38
pembengkakan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang
atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri (Delp &
Manning, 2008)
c. Toraks
Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam, bekas
luka, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi
toraks bilateral, apakah terpasang pacemaker, frekuensi dan irama
denyut jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi
untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. Auskultasi
suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub) (Kemenkes, 2017).
39
d. Abdomen
Penilaian, lakukan inspeksi abdomen bagian depan dan belakang
untuk adanya trauma tajam atau tumpul dan adanya perdarahan
internal; auskultasi bising usus; perkusi abdomen untuk menemukan
nyeri tekan lepas; palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans
muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil; pembuatan
foto pelvis posisi AP; bila diperlukan lakukan USG Abdomen; bila
hemodinamik normal, dapatkan CT Scan Abdomen (Kemenkes, 2017).
e. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Penilaian perineum, apakah terdapat kontusio dan hematoma,
laserasi, perdarahan uretra. Penilaian rektum, apakah terdapat
perdarahan rektum, bagaimana tonus sfingter ani, utuhnya dinding
rektum, fragmen tulang, bagaimana posisi prostat. Penilaian vagina,
40
apakah terdapat adanya darah daerah vagina, laserasi vagina (ATLS,
2018). Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia
subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan
straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil,
denyut jantung janin pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu
(Kemenkes, 2017).
f. Muskuloskeletal
g. Ektremitas
41
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien
hypoxia lambat s/d 5-15 detik (Curtis et al, 2009).
h. Bagian punggung
I. Neurologis
42
lakukan penilaian kembali terkait kecukupan oksigenasi, ventilasi dan
perfusi ke otak (pada primary survey ABCDE). Intervensi pembedahan
intrakranial atau langkah-langkah untuk mengurangi tekanan
intrakranial mungkin diperlukan (ATLS, 2018).
43
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Kesimpulan
Manajemen penanganan pada pasien gawat darurat harus dikerjakan
secara cepat dan tepat. Penanganan yang dilakukan yakni Initial
manajemen yang terdiri atas primary dan secondary survey. Primary survey
merupakan langkah awal untuk mengetahui kegawatdaruratan apa yang
terjadi pada pasien. Terdiri dari ABCDE yakni airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure. Sedangkan untuk pemeriksaan lebih dalam dari
head to toe menggunakan secondary survey. Terdiri atas subjektif (AMPLE)
dan objektif (B1-B6). AMPLE yaitu alergi, medikasi, past illness/medical
history, last meal, Event. Kemudian untuk B1 yaitu breathing, B2 blood, B3
brain, B4 bladder, B5 bowel, B6 bone.
3.2 Saran
Penulisan pada referat ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu perlu adanya perbaikan pada penulisan kedepannya serta perbanyak
sumber penulisan agar referat yang dihasilkan kedepannya dapat semakin
bermanfaat bagi para pembaca.
44
DAFTAR PUSTAKA
Ali, J., Aprahamian, C., Bell, RM., et al. 1997. Advanced Trauma Life
Support. American College of Surgeon. USA.
American College of Surgeons (2018) Advanced Trauma Life
Support. 10th edn. Chicago: American College of Surgeons.
Bennett, J., Beattie, L.K. (2016). Log Roll. In: Ganti, L. (eds) Atlas of
Emergency Medicine Procedures. Springer, New York, NY.
Bradley, P., Chapman, G., Crooke, B., and greenland, K. 2016.
Airway Assesment. Australian and New Zeland College of
Anaesthetists.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The
emergency nursing assessment process: a structured framedwork
for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing
Journal, 12; 130-136
Delp & Manning. 2008. Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic
Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga.
Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.
Fitriani, Sinta. 2011. Promosi Kesehatan. Graha Ilmu : Yogyakarta Ikatan
Dokter Bedah Indonesi (IKABI). 2004.Advanced Trauma Life
Support. Edisi Ketujuh
Hardavella, G., Karampinis, I., Frille, A., Sreter, K., & Rousalova, I. 2019.
Oxygen devices and delivery systems. Breathe, 15(3), e108–e116.
Hidayanti, A, N., Akbar, M, I, A., dan Rosyid, A, N. 2014. Gawat
Darurat Medis dan Bedah. Airlangga University Press: Surabaya.
45
Novel Research in Healthcare and Nursing, 3(2), pp.8-14.
46
Universitas Pelita Harapan
47