Anda di halaman 1dari 60

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Endometriosis 3

2.1.1 Definisi 3

2.1.2 Klasifikasi dan Staging 4

2.1.3 Patofisiologi 5

2.1.4 Manifestasi Klinis 10

2.1.5 Diagnosis 10

2.1.6 Tatalaksana 14

2.2 Anogenital Distance 18

2.2.1 Definisi 18

2.2.2 Pengukuran AGD 19

2.2.3 Hubungan AGD dengan usia, jenis kelamin, dan berat lahir 21

2.2.4 Hubungan AGD dengan Kehamilan 23

2.2.5 Hubungan AGD dengan Infertilitas 24

2.3 Hubungan AGD dengan Endometriosis 24

2.4 Studi terkait dan peran penilaian 27

1
BAB III PENUTUP 30

DAFTAR PUSTAKA 31

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Endometriosis didefinisikan sebagai adanya jaringan endometrium

di lokasi yang abnormal atau ektopik. Secara histologis, endometriosis

adalah adanya jaringan atau kelenjar mirip endometrium di luar rongga

rahim. Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang paling sering

diamati pada wanita yang aktif secara reproduktif. Jaringan endometrium

ektopik bersifat responsif terhadap rangsangan hormonal. Endometriosis

sering dikaitkan dengan dispareunia, nyeri haid, dan nyeri panggul. Gejala

endometriosis dapat berdampak negatif pada kualitas hidup pasien (Alimi

et al., 2018).

Perkiraan prevalensi menunjukkan bahwa endometriosis

mempengaruhi sebanyak 10% wanita premenopause di seluruh dunia,

dan sekitar 30-50% wanita menunjukkan gejala. Endometriosis dapat

menyebabkan nyeri panggul yang kronis berkisar 70%, risiko untuk terjadi

tumor ovarium 15-20%, angka kejadian infertilitas berkisar 30-40%, risiko

berubah menjadi ganas 0,7-1% dan gangguan psikis. Angka kejadian di

Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi

epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar

13,6-69,5% pada kelompok infertilitas (Prima Mukti, 2014). Endometriosis

adalah penyakit ginekologis yang jinak, berbagai faktor telah diduga

berperan dalam pembentukan dan perkembangan endometriosis. Hal ini

mencakup profil genetik dan epigenetik, peradangan, aktivitas hormonal,

1
siklus menstruasi, metabolisme prostaglandin, faktor imunologi dan

endocrine disrupting chemicals (EDC) (Parazzini et al., 2017; Eisenberg et

al., 2018; Crestani et al, 2020). EDC, seperti phtalates dan

organochlorines, merupakan bahan kimia yang mempunyai sifat seperti

estrogen. Paparan terhadap EDC pada saat kehidupan intrauterine, akan

meningkatkan risiko terhadap kejadian endometriosis di usia dewasa

(Crestani et al., 2020). Menurut the revised American Society for

Reproductive Medicine (r-ASRM), endometriosis diklasifikasikan ke dalam

4 derajat, yaitu derajat I (minimal), derajat II (mild), derajat III (moderate)

dan derajat IV (severe) (Emil Mammadov et al., 2018).

Terdapat beberapa faktor prediktif yang digunakan untuk

mendiagnosis endometriosis secara non-invasif, antara lain biomarker

darah dan urin serta gambaran endometrium. Namun tingkat akurasi dari

pemeriksaan tersebut masih sangat rendah, yaitu sekitar 56%-74%.

Diagnosis dengan pemeriksaan klinik dan imaging (USG, TVUS, dan MRI)

juga memiliki tingkat akurasi yang rendah untuk beberapa tipe

endometriosis yang sering ditemukan pada laparoskopi. Salah satu

metode pemeriksaan non invasif lainnya yang dapat digunakan untuk

memprediksi endometriosis adalah pengukuran anogenital distance

(AGD). AGD adalah parameter pengukuran yang relatif baru yang

menunjukkan jarak dari anus ke genitalia. Pengukuran AGD dilakukan

menggunakan penggaris atau kaliper dengan tingkat akurasi milimeter,

yang diukur dari klitoris ke anus (anoclitoral distance / AGD-AC) dan dari

fourchette posterior ke anus (anofourchette distance / AGD-AF). Fetus

perempuan memiliki AGD yang lebih pendek dibandingkan laki-laki, hal ini

2
digunakan sebagai penanda awal untuk menentukan jenis kelamin selama

trimester pertama. Pada laki-laki, AGD dapat menjadi penanda paparan

androgen intrauterin. Paparan androgen intrauterin yang tinggi

menghasilkan AGD yang lebih panjang. Sebaliknya, paparan bahan kimia

seperti estrogen dan beberapa ftalat dapat mengurangi AGD. Pada

sebuah penelitian kohort prospektif yang dilakukan Crestani dkk,

menunjukkan bahwa ada hubungan antara paparan pengganggu endokrin

seperti bahan kimia organoklorin dengan meningkatnya risiko

endometriosis (Crestani et al., 2020).

Hingga saat ini, di Indonesia belum ada penelitian yang dilakukan

untuk menilai adanya hubungan antara AGD dengan endometriosis. Oleh

karena itu, penulis ingin melakukan penelitian terkait hal tersebut.

1.1 RUMUSAN MASALAH

Apakah terdapat hubungan antara jarak anogenital dan kejadian

endometriosis?

1.2 HIPOTESIS PENELITIAN

Terdapat hubungan antara jarak anogenital dan kejadian

endometriosis

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 TUJUAN UMUM

Mengetahui hubungan antara Jarak anogenital dan kejadian

endometriosis

3
1.4.2 TUJUAN KHUSUS

1. Mengukur jarak anogenital pada pasien endometriosis

2. Mengukur jarak anogenital pada pasien kontrol

3. Membandingkan jarak anogenital pada pasien endometriosis dan

kontrol.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 MANFAAT KEILMUAN

Memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan antara kejadian

jarak anogenital dan kejadian endometriosis.

Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai hubungan

jarak anogenital dengan kejadian endometriosis.

1.4.2 MANFAAT BAGI PELAYANAN

Dapat digunakan untuk edukasi, promotif, preventif dan

meningkatkan pemahaman untuk terapi yang lebih komprehensif pada

pasien dengan endometriosis.

1.4.3 MANFAAT AKADEMIK

Penelitian ini dilakukan sebagai sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan pendidikan PPDS-1 di Departemen Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Endometriosis

2.1.1 Definisi

Endometriosis didefinisikan sebagai adanya endometrium di lokasi

yang abnormal atau ektopik (Gambar 1). Secara histologis, endometriosis

adalah adanya jaringan atau kelenjar mirip endometrium di luar cavum

uterus. Endometriosis adalah kelainan ginekologi yang bergantung pada

hormon yang paling sering diamati pada wanita yang aktif secara

reproduktif. Jaringan endometrium ektopik merespons rangsangan

hormonal dan mengalami pertumbuhan serta pelepasan siklik.

Endometriosis sering dikaitkan dengan dispareunia, nyeri haid siklik, dan

nyeri panggul. Episode nyeri ini dapat berdampak negatif pada kualitas
9,10
hidup pasien yang mengalami kondisi ini.

Endometriosis seringkali dapat muncul tanpa gejala, dan oleh

karena itu, diagnosisnya sering terlewatkan. Prevalensinya antara 5% dan

10% pada wanita pramenopause dan dapat mencapai 35% pada wanita

yang menderita subfertilitas, endometriosis dapat menjadi penyebab

utama infekunditas. Faktor risiko endometriosis antara lain yaitu menarche

yang dimulai pada usia kurang dari 11 tahun, serta menstruasi yang berat

dan berkepanjangan. Kedua faktor ini meningkatkan paparan lingkungan

ekstrauterin terhadap darah menstruasi dan risiko endometriosis. Tempat

paling umum dari endometriosis pelvis adalah ovarium, ligamen uterus,

cavum Douglas, dan tuba fallopi. Implan endometriotik juga dapat

5
ditemukan di ekstra-pelvis, conohnya di saluran gastrointestinal, paru-

paru, diafragma, perut, dan perikardium.10–12

Tiga bentuk utama endometriosis yang ditemukan di regio pelvis

yaitu: lesi ovarium, peritoneal, dan infiltrasi endometriosis. Secara

morfologi, terdapat tiga jenis lesi endometriotik: lesi putih, merah, dan

hitam. Lesi merah menunjukkan aktivitas dengan tingkat vaskularisasi

yang tinggi, sedangkan lesi putih merupakan fase lanjutan dari lesi merah

yang telah mengalami proses inflamasi dan fibrosis. Lesi hitam klasik

disebabkan oleh dekomposisi jaringan siklik dan penyembuhan dengan

pembentukan jaringan parut.10,13

14
Gambar 1. Skema area yang sering mengalami endometriosis.

2.1.2 Klasifikasi dan Staging

Keparahan endometriosis dapat diklasifikasikan menggunakan skor

American Fertility Society yang direvisi (resolusi tinggi), yang sekarang

disebut sebagai kriteria American Society for Reproductive Medicine

(ASRM). Klasifikasi ini telah digunakan secara luas dalam praktik

klinis. ASRM didasarkan pada rekaman temuan ruang operasi dan

6
perbandingan efikasi intervensi terapeutik. Kriteria ASRM

mengklasifikasikan endometriosis pada skor poin dari Tahap I (minimal)

hingga Tahap IV (berat) berdasarkan lokasi dan ukuran lesi yang terlihat

selama prosedur pembedahan (Tabel 1).  Semakin tinggi skornya,

semakin parah endometriosis.15

Tabel 1. Klasifikasi endometriosis menurut ASRM. 14

Keparahan Skor
Tahap i (minimal) Skor poin antara 1-5
Tahap ii (ringan) Skor poin antara 6-15
Tahap iii Skor poin antara 16-40

(sedang)
Tahap iv (berat) Skor poin > 40
 

Salah satu kelemahan utama dari sistem klasifikasi ASRM adalah

ketidakmampuannya untuk memprediksi kemungkinan konsepsi setelah

pembedahan, yang sangat penting bagi pasien yang mencoba untuk

hamil. Hal ini menyebabkan pengembangan sistem klasifikasi yang lebih

baru, seperti Endometriosis Fertility Index (EFI). EFI menggabungkan

sistem penilaian poin ASRM dengan informasi kesuburan pasca

operasi. Pasien diberi skor mulai dari nol hingga 10 dan setelah tiga

tahun; mereka dengan skor antara 0 dan 3 memiliki kemungkinan 10%

untuk hamil, sedangkan mereka dengan skor antara 9-10 memiliki

peluang 75% untuk hamil. EFI tidak mempertimbangkan perawatan

fertilisasi in vitro (IVF) setelah operasi dan telah digunakan secara luas

dalam berbagai penelitian sebagai prediktor tingkat kehamilan dan

kelahiran hidup setelah laparoskopi.15,16

7
2.1.3 Patofisiologi

Alimi dkk menyatakan bahwa terdapat berbagai hipotesis dan teori

yang diajukan untuk patogenesis endometriosis, yaitu teori implantasi atau

metastasis, metaplasia, induksi, dan teori penyakit endometriosis, serta

teori sel induk. Teori yang paling diterima secara luas adalah implantasi,

yang melibatkan pembentukan lesi awal pada uterus yang berfungsi

sebagai nidus untuk proliferasi jaringan endometrium. Jaringan

endometrium kemudian menyebar ke daerah panggul lainnya melalui

menstruasi retrograde, lalu mengalami perlekatan dan invasi ke

peritoneum, yang mengarah pada pembentukan jaringan endometrium

ektopik di luar uterus. Banyak wanita mengalami aliran menstruasi

retrograde, namun hanya sekitar 10% yang menderita endometriosis,

sehingga muncul usulan teori sel induk. Karena sel-sel progenitor

endometrium dilepaskan selama siklus menstruasi, teori menstruasi

retrograde diperluas, dan ditetapkan bahwa sel-sel induk ini menyebar ke

peritoneum melalui proses tersebut. Jenis sel yang memulai proses

penyebaran menjelaskan perbedaan tingkat endometriosis. Endometriosis

yang dimulai dengan sel induk endometrium cenderung lebih berat

daripada yang berasal dari penyebaran sel yang lebih terdiferensiasi. Hal

ini disebabkan oleh plastisitas sel induk dan kemampuan untuk

menempel, berdiferensiasi, dan berproliferasi secara ekstensif, sehingga

menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk menginvasi situs

ektopik. Wanita dengan aliran menstruasi yang lebih banyak dan lebih

lama atau perdarahan uterus abnormal juga lebih rentan terhadap

8
endometriosis, karena kondisi ini meningkatkan paparan lingkungan

ekstrauterus ke jaringan endometrium.10

Semua faktor yang meningkatkan aliran menstruasi juga

merupakan faktor risiko endometriosis, seperti menarche dini, menstruasi

berat dan lama, serta siklus menstruasi yang pendek. Distribusi anatomi

lesi endometriotik adalah bukti terkuat yang mendukung hipotesis

menstruasi retrograde. Misalnya, lesi endometriotik cenderung memiliki

distribusi asimetris, yang dapat dijelaskan oleh pengaruh gravitasi pada

aliran menstruasi, anatomi abdominopelvis dan aliran menstruasi searah

jarum jam peritoneum. Lesi endometriotik di pelvis lebih sering ditemukan

di kompartemen posterior dan di sisi kiri, sedangkan lesi di abdomen dan

toraks sebagian besar terletak di sisi kanan. Endometriosis pleura

diperkirakan disebabkan oleh kombinasi aksi menstruasi retrograde, aliran

cairan peritoneum searah jarum jam dan aliran transdiafragmatika dari


17
jaringan endometrium melalui diafragma berpori.

Hipotesis lain yang diajukan adalah metaplasia Müllerian, emboli

limfovaskular sel endometrium, dan proliferasi sel induk endometrium atau

progenitor sumsum tulang, namun tidak satupun dari model ini yang

memperhitungkan distribusi anatomis lesi. Teori alternatif ini mungkin

berperan dalam endometriosis di lokasi yang tidak biasa (misalnya, otak,

hati, atau paru-paru). Menstruasi retrograde tidak menjelaskan

mekanisme implantasi jaringan endometrium ke peritoneum. Oleh karena

itu, beberapa mekanisme lain seperti faktor inflamasi, imunitas tubuh yang

tidak teratur, hormon, faktor genetik dan epigenetik serta faktor

lingkungan, dapat bertindak serentak untuk menyebabkan endometriosis

9
(Gbr. 2). Selain itu, kelainan endometrium yang sudah ada sebelumnya

juga dapat mendukung implantasi dan pertumbuhan fragmen

endometrium patologis di luar rongga uterus, misalnya gangguan

biosintesis steroid (seperti hiperestrogenisme, resistensi progesteron atau

ekspresi berlebihan aromatase), neoangiogenesis, neurogenesis

endometrium dan profil proinflamasi di jaringan endometrium. Namun,

bagaimana mekanisme tersebut berkontribusi pada fenotipe

endometriosis yang berbeda masih belum jelas.17

Perkembangan histologis menuju fibrosis pada lesi endometriotik

ini tidak sama dengan perkembangan penyakit stadium I atau II menjadi

penyakit stadium III atau IV menurut klasifikasi ASRM dan tidak

berkorelasi dengan perkembangan lesi superfisial ke bentuk yang lebih

parah (OMA dan DIE). Bukti menunjukkan bahwa endometriosis adalah

penyakit stabil (berlawanan dengan penyakit proliferatif seperti kanker)

yang berkembang menjadi fibrosis dari waktu ke waktu. Pembedahan itu

sendiri dapat menjadi faktor risiko perkembangan endometriosis,

sebagaimana dibuktikan dengan peningkatan risiko endometriosis pada

pasien dengan riwayat pembedahan. Efek ini mungkin hasil dari aktivasi

jalur adrenergik, stres kronis dan peningkatan angiogenesis. Terjadinya

endometriosis pascamenopause simptomatik dapat dikaitkan dengan

produksi estrogen ekstra-ovarium oleh lesi endometriotik dan jaringan

adiposa.17

10
17
Gambar 2. Konsep “kehidupan endometrium”.

Keterangan: Pajanan in utero dan neonatal awal terhadap karakteristik

ibu, faktor ginekologi dan pola makan pascakelahiran (termasuk

endometriosis atau fibroid uterus terkait, merokok selama kehamilan,

preeklamsia selama kehamilan, pemberian susu formula dan

prematuritas) dapat berkontribusi pada gangguan pemrograman

endometrium ontogenetik, yang berpotensi mengakibatkan endometrium

patologis. Selama masa pubertas dan remaja, menstruasi retrograde dari

endometrium yang abnormal menghasilkan lesi ektopik. Selama masa

dewasa, lesi ektopik sensitif terhadap fluktuasi hormonal karena fungsi

ovarium, terapi hormonal dan kehamilan. Dengan demikian, endometriosis

adalah penyakit seumur hidup, yang perjalanannya kita sebut 'kehidupan

endometriosis'. Menopause dapat menyebabkan lesi yang tetap terpapar

pada produksi estradiol oleh adiposit perifer. Selama 'kehidupan

endometriosis', inflamasi, angiogenesis, neurogenesis, dan fibrogenesis

adalah proses utama yang terlibat dalam pembentukan dan pemeliharaan

11
lesi ektopik. Proses ini dikendalikan oleh faktor genetik, epigenetik dan
17
imunologi yang dipengaruhi oleh lingkungan dan penyakit terkait.

a. Nyeri terkait Endometriosis

Uterus berkembang secara embriologis dari duktus

paramesonefrikus (juga disebut duktus Mullerian). Tanpa adanya faktor

penghambat Mullerian, ia akan berproliferasi dan berdiferensiasi serta

menimbulkan tuba falopi, uterus, dan sepertiga bagian atas saluran

vagina. Pada endometriosis, jaringan endometrium menyebar dari uterus

ke organ panggul lainnya, seperti ovarium dan saluran tuba.

Endometriosis infiltrasi dalam/ deep infiltrating endometriosis (DIE), yang

didefinisikan sebagai adanya implan endometriotik lebih dari 5 mm di

bawah peritoneum, merupakan indikator utama tingkat keparahan nyeri

wanita dengan pengalaman gangguan ini. Sebuah studi observasi

retrospektif pada wanita yang menjalani prosedur pembedahan untuk

menghilangkan lesi DIE menunjukkan bahwa sebagian besar wanita

dengan kondisi ini merasakan berbagai bentuk nyeri panggul, di mana

usus adalah lokasi nyeri yang paling sering, diikuti oleh ligamen

uterosakral. Avila dkk mengamati lebih lanjut bahwa dispareunia dalam

berhubungan dengan DIE septum vagina dan rektovaginal. DIE juga dapat

terjadi di saluran kemih, dengan keterlibatan kandung kemih dan/ atau

ureter, dan lazim terjadi pada 6% wanita dengan endometriosis pelvis. 14

Nyeri viseral dan somatik merupakan gejala utama yang dialami

pasien endometriosis dan bisa sangat kompleks. Nyeri visceral muncul

dari organ dalam, seperti kandung kemih, uterus, dan rektum, sedangkan

12
nyeri somatik dialami ketika terjadi rangsangan saraf sensorik di kulit dan

jaringan dalam. Nyeri endometriosis adalah kombinasi kompleks dari

kedua jenis nyeri yang dialami semua pasien dengan derajat yang
14
berbeda, yang menyebabkan kompleksitas pengobatan.

Perdebatan apakah mekanisme nyeri yang dialami pasien

endometriosis berasal dari neuropatik atau nosiseptif terus berlanjut, tetapi

lebih banyak bukti yang mendukung teori nosiseptif. Cedera atau penyakit

sistem saraf somatosensori umumnya menyebabkan nyeri neuropatik,

yang dapat dibedakan dari penyebab non-neuropatik dengan tidak adanya

stimulus nosiseptif. Sebaliknya, kerusakan jaringan aktual atau yang akan

terjadi dan stimulasi neuron nosiseptif berikutnya dapat menyebabkan

nyeri nosiseptif. 14

Argumen untuk nyeri neuropatik diperlemah oleh hilangnya gejala

nyeri setelah operasi pengangkatan lesi endometriotik, dan sensitisasi

sentral pasien dengan endometriosis dapat dikaitkan dengan proses

inflamasi yang terjadi setelah kerusakan jaringan non-saraf pada nyeri

nosiseptif. Namun, pasien dapat mengalami nyeri neuropatik saat

menjalani prosedur pembedahan karena cedera saraf yang mungkin

terjadi selama proses ini. Hal ini diduga menjadi penyebab nyeri berulang
14
pada pasien endometriosis yang lesi telah diangkat.

b. Infertilitas terkait Endometriosis

Infertilitas adalah komplikasi umum yang terjadi pada wanita

dengan endometriosis sedang hingga berat. Studi kohort besar oleh

Prescott et al menunjukkan bahwa wanita yang berusia kurang dari 35

13
tahun dengan endometriosis memiliki peningkatan risiko infertilitas, yang

dapat terjadi dari lesi endometriotik atau distorsi implan dari anatomi

panggul normal. Wanita dengan endometriosis juga terbukti mengalami

peningkatan makrofag dan sitokin spesifik dalam cairan peritoneal. Hal ini

disebabkan oleh inflamasi akut yang diinduksi oleh implan endometrium

ektopik. Makrofag ini mempertahankan keadaan inflamasi kronis dan

pembentukan adhesi, serta angiogenesis. Peningkatan makrofag dan

jaringan parut dapat mengganggu motilitas sperma normal dan fungsi

siliaris dari tuba falopi. Perkembangan adhesi juga dapat menghalangi

transportasi tuba normal, sehingga menyebabkan infertilitas. Mekanisme

infertilitas lainnya pada wanita dengan endometriosis yaitu gangguan

folikulogenesis sekunder akibat disfungsi hipofisis, defek fase luteal,

resistensi progesteron, dan antibodi anti-endometrium. 15,18

Chapron dkk menyatakan bahwa endometriosis jelas berhubungan

dengan infertilitas, namun diagnosis endometriosis tidak sama dengan

infertilitas. Penyakit ini dapat mempengaruhi fertilitas secara merugikan

dengan mekanisme berbeda yang bekerja pada tingkat rongga panggul,

ovarium dan uterus itu sendiri. Misalnya, mekanisme patologis seperti

inflamasi kronis pada cairan peritoneumyang menyebabkan perubahan

proses fertilisasi, gangguan fungsi ovarium, kelainan endometrium

eutopik, adhesi pelvis, penurunan frekuensi hubungan seksual karena

nyeri saat berhubungan seks (dispareunia) dan kemungkinan kerusakan

akibat pembedahan pada ovarium setelah eksisi ovarian endometriomas

(OMA). Selain itu, adenomiosis, yang sering dikaitkan dengan

endometriosis, juga berkontribusi pada infertilitas. Hubungan antara

14
fenotipe endometriosis dan infertilitas masih diperdebatkan. Bukti

menunjukkan bahwa kehadiran OMA itu sendiri tampaknya tidak

menyebabkan infertilitas. Sebaliknya, infertilitas pasien dengan OMA

dapat dikaitkan dengan pembedahan karena efek negatif dari eksisi bedah

OMA pada cadangan ovarium.17

2.1.4 Manifestasi Klinis

Endometriosis bisa asimtomatik, tetapi manifestasi klinis yang

paling umum yaitu nyeri haid siklik, nyeri panggul kronis, dispareunia,

menorrhagia, dan dyschezia. Nyeri panggul pada wanita dengan

endometriosis digambarkan sebagai nyeri sebelum menstruasi dan

dispareunia dalam yang memburuk saat menstruasi. Sakit punggung

bagian bawah dan sakrum selama menstruasi juga bisa terjadi. Evaluasi

diagnostik pertama pada pasien ini adalah pemeriksaan fisik dan USG

panggul. Temuan pemeriksaan fisik dapat berupa nyeri tekan ligamen

uterosakral dan nodularitas, serta adanya massa adneksa yang

kemungkinan besar merupakan endometrioma ovarium. Endometrioma

ovarium, juga dikenal sebagai kista coklat, adalah kista besar berisi cairan

yang berkembang di ovarium karena deposisi jaringan endometrium

melalui menstruasi retrograde.19

2.1.5 Diagnosis

Endometriosis sulit didiagnosis karena beberapa alasan. Salah satu

faktornya yaitu kurangnya pemahaman patogenesis oleh para profesional

kesehatan. Selain itu, ada ketidakpastian mengenai patogenesis

15
endometriosis, heterogenitas penyakit, dan kemungkinan penyakit

asimtomatik serta potensi adanya komorbiditas adenomiosis dapat

mempersulit diagnosis. Selain itu, gejala yang terjadi selama masa remaja

dapat terabaikan oleh praktisi kesehatan. Walaupun faktor-faktor yang

disebutkan di atas berperan penting, penjelasan utama untuk kesulitan

dalam diagnosis adalah bahwa nyeri panggul merupakan gejala utama

dari endometriosis. Nyeri ini dapat muncul dalam berbagai bentuk

(misalnya, dismenore, dispareunia, atau nyeri panggul kronis), dan

berpotensi saling tumpang tindih. Namun, presentasi klinis nyeri tidak

patognomonik atau identik dengan endometriosis. Selain itu, nyeri

tersebut dapat dikaitkan dengan gejala non-ginekologi (terutama saluran

kemih dan/ atau pencernaan). 14

Penggalian riwayat melalui anamnesis pasien sangat penting untuk

mendiagnosis endometriosis. Langkah kunci ini sering diabaikan selama

pemeriksaan klinis awal. Sifat nyeri yang siklik adalah ciri utama dari

penyakit ini. Selain itu, selama pemeriksaan klinis, petugas kesehatan

harus memeriksa kelainan berikut: lesi kebiruan yang terlihat pada forniks

vagina, nodul sensitif yang teraba atau area menebal yang melibatkan

salah satu dari beberapa lokasi panggul (torus uterinus, ligamentum

uterosakral, sepertiga bagian atas dinding posterior vagina, cavum

Douglas atau cul-de-sac vagina); massa adneksa; memperbaiki uterus

yang terbalik; dan/ atau nyeri panggul saat mobilisasi. Namun

pemeriksaan fisik yang normal tidak mengesampingkan endometriosis

dan pemeriksaan fisik pada saat menstruasi dapat meningkatkan deteksi.


17

16
Tes biologis saat ini memiliki sedikit manfaat atau bahkan tidak

bermanfaat dalam diagnosis endometriosis dan tidak ada tes biomarker

yang telah diidentifikasi hingga saat ini. Sebaliknya, pencitraan medis

berperan penting dalam diagnosis endometriosis. USG transvaginal

(TVUS) (Gbr. 3) dan MRI (Gbr. 4) tidak hanya cocok untuk mendiagnosis

dua fenotipe endometriosis (OMA dan DIE) tetapi juga untuk evaluasi

adenomiosis. Selain itu, lesi sigmoid, ileokekal dan urologi dapat dideteksi

dengan teknik radiologi tambahan seperti ultrasonografi transrektal, CT

scan multidetektor dengan opasifikasi kolon retrograde dan urografi lanjut,

da / atau uro-MRI. Selain itu, skintigrafi dapat digunakan untuk

mengeksplorasi fungsi ginjal pada kasus dugaan endometriosis ureter.

Dari teknik yang disebutkan di atas, TVUS menjadi pendekatan pencitraan

lini pertama untuk evaluasi dugaan endometriosis. SUP tidak dapat

divisualisasikan dengan pencitraan karena ukuran lesi di bawah ambang

batas untuk deteksi. Dalam kasus ketidakpastian diagnostik, inhibitor

ovulasi berkelanjutan harus digunakan sebagai uji klinis. Jika gejala tetap

ada meskipun menstruasi dihentikan, etiologi selain endometriosis harus

diselidiki; strategi ini memungkinkan penghindaran laparoskopi diagnostik

yang tidak perlu.17

17
Gambar 3. Pencitraan endometriosis dan adenomiosis menggunakan

TVUS.17

Keterangan: A) Ultrasonografi transvaginal (TVUS) dari DIE dengan

keterlibatan kandung kemih. Gambar ini menunjukkan pandangan sagital

dengan keterlibatan nodular hypoechoic dari dinding kandung kemih

(panah putih). B) TVUS DIE dengan keterlibatan ligamentum uterosakral.

Panel kiri menunjukkan keterlibatan ligamen uterosakral yang muncul

sebagai penebalan hipoekoik yang tidak teratur dari ligamen (panah

putih). Panel kanan menunjukkan ligamentum uterosakral sisi kanan

normal (USDRT), yang merupakan struktur hiperekoik tipis, lebih mudah

diidentifikasi ketika dikelilingi oleh cairan peritoneal (panah putih). C)

Endometrioma ovarium. Panel kiri menunjukkan kista non-spesifik

hipoekoik unilokular dengan USG transabdominal. Panel kanan

menunjukkan kista unilokular TVUS. D) TVUS adenomiosis. Gambar

menunjukkan presentasi khas adenomiosis pada uterus di bidang sagital.

Gambar abu-abu menunjukkan echotexture miometrium ireguler non-

18
homogen dengan area miometrium ireguler hiperekoik (panah putih),

hipoekoik (panah putih), dan pola striasi linier yang memancar (tanda

bintang putih). 17

17
Gambar 4. Pencitraan endometriosis menggunakan MRI.

Keterangan: A) MRI menunjukkan DIE anterior yang berhubungan dengan

adenomiosis fokal myometrium luar (FAOM) anterior. Panel kiri

menunjukkan gambar MRI dari kandung kemih yang menginfiltrasi

endometriosis. Gambar T2-weighted sagital yang menunjukkan obliterasi

kantong vesikouterin dan penebalan abnormal dinding kandung kemih

posterior (panah putih) dengan perkembangan timbal balik FAOM anterior

(panah putih). Panel kanan menunjukkan bagian aksial T2-weighted yang

menunjukkan nodul di dinding kandung kemih (lingkaran putus-putus). B)

MRI endometriosis infiltrasi dalam posterior dan endometriosis usus

berhubungan dengan FAOM posterior. Panel kiri menunjukkan gambar

T2-weighted sagital yang menggambarkan obliterasi cul-de-sac posterior

19
dan penebalan dinding asimetris sepertiga bagian bawah kolon sigmoid

(dikelilingi oleh panah putih). Plak endometriotik menginfiltrasi dinding

kolon sigmoid dan juga dinding posterior uterus, menyebabkan perlekatan

antara kolon dan uterus. FAOM posterior tampak sebagai area hiposignal

T2 (tanda bintang putih), bersebelahan dengan nodul di dinding usus.

Panel kanan menunjukkan bagian aksial T2-weighted yang

menggambarkan keterlibatan ligamen uterosakral bilateral dalam

penebalan T2 hiposignal (panah putih). C) MRI endometrioma ovarium.

Bagian aksial dari endometrioma ovarium bilateral (panah putih). Lesi

adneksa menunjukkan 'bayangan' pada gambar T2-weighted (panel kiri),

dengan tiga level cairan hemoragik karena agregasi komponen darah.

Pencitraan aksial T1-weighted dengan supresi lemak (panel kanan) dan

tanpa supresi lemak (panel tengah) menunjukkan beberapa lesi adneksa

bilateral hiperintens. D) MRI adenomiosis. Presentasi khas adenomiosis

dalam uterus oleh MRI T2-weighted sagital: penebalan area yang

menyebar serta seluruh miometrium di bagian perut dan punggung

berkorelasi dengan adenomiosis difus berat; panah putih menunjukkan

fokus kecil dengan intensitas sinyal tinggi yang mewakili endometrium

heterotopik dengan pembesaran zona persimpangan yang tidak normal

(panah ganda putih). 17

2.1.6 Tatalaksana

Endometriosis adalah penyakit inflamasi kronis yang membutuhkan

penanganan seumur hidup. Ada tiga pilihan terapeutik utama untuk

20
manajemen endometriosis, yaitu farmakoterapi, pembedahan dan

Assisted reproductive technologies (ART). 17

a. Farmakoterapi

Terapi medis yang tersedia untuk endometriosis yaitu perawatan

non-hormonal, seperti obat penghilang nyeri dan NSAID, serta perawatan

hormonal, seperti kontrasepsi oral kombinasi (COC), progestin dan analog

hormon pelepas gonadotropin (GnRHa). Banyak prosedur pembedahan

yang tidak memadai dan tidak perlu dilakukan untuk endometriosis,

ekseresis lesi endometriotik dengan pembedahan tidak berpengaruh pada

menstruasi retrograde. Selain itu, kekambuhan lesi yang tinggi setelah

perawatan bedah dan pembedahan tidak efektif untuk mengobati nyeri

karena sensitisasi sentral. Oleh karena itu, farmakoterapi harus

dipertimbangkan untuk manajemen nyeri dan inflamasi yang berhubungan


17
dengan endometriosis untuk pasien yang tidak ingin hamil.

Terapi hormonal untuk endometriosis bekerja dengan menekan

fluktuasi hormonal (hormon gonadotropin dan ovarium), mengakibatkan

penghambatan ovulasi dan menstruasi serta penurunan inflamasi di

bagian hilir. Namun, perawatan ini tidak diindikasikan pada pasien yang

ingin mencoba hamil karena semua perawatan hormon seks wanita

merupakan kontrasepsi. Pengobatan hormonal efektif untuk pengobatan

gejala tetapi tidak menyembuhkan, yaitu menghilangkan rasa nyeri tanpa

menghilangkan lesi endometriotik. Dalam kasus yang jarang terjadi,

pasien dapat tahan terhadap pengobatan dengan kontrasepsi oral

kombinasi, progestin dan GnRHa, di mana penggunaan danazol dan

21
aromatase inhibitor dapat dipertimbangkan, tetapi terapi ini memiliki

tingkat efek samping yang tinggi. Untuk pasien yang tidak merespon terapi

hormonal, terapi baru (terutama antagonis GnRH, modulator reseptor

estrogen atau progesteron selektif, obat anti-angiogenik, antioksidan,

imunomodulator dan agen epigenetik) cukup menjanjikan dalam terapi


17
endometriosis, meskipun memerlukan evaluasi yang lebih menyeluruh.

Meskipun berbagai perawatan hormonal memiliki efikasi yang sama

untuk menghilangkan nyeri, terlepas dari mekanisme kerjanya, terapi

tersebut berbeda dalam hal keamanan, tolerabilitas, dan biaya.

Penanganan nyeri terkait endometriosis pada pasien yang saat ini tidak

berencana untuk hamil memerlukan pendekatan bertahap secara

individual, seperti COC atau progestin adalah obat murah yang harus

dipertimbangkan sebagai terapi medis lini pertama. Namun, antara

seperempat hingga sepertiga pasien tidak merespons perawatan ini. Pada

pasien ini, obat berbiaya tinggi (seperti GnRHa) digunakan sebagai terapi

lini kedua (Gbr. 5). Sebagai catatan, pasien yang menggunakan GnRHa

selama lebih dari 6 bulan dapat berisiko kehilangan BMD dan terapi

tambahan (menggunakan pengganti hormonal estroprogestatif) harus

diresepkan untuk mencegah hal ini. Pencegahan nyeri dan kekambuhan

OMAsetelah pembedahan adalah indikasi utama terapi hormonal pada

pasien yang tidak ingin hamil. Penatalaksanaan medis nyeri panggul

persisten terkait endometriosis harus diintegrasikan ke dalam pendekatan

interdisipliner yang mencakup pengobatan yang menargetkan sistem saraf

pusat dan pengobatan nosiseptor perifer (misalnya, relaksasi dasar


17
panggul, fisioterapi, dan diet).

22
b. Pembedahan.

Pembedahan adalah pilihan terapeutik yang sesuai pada

endometriosis untuk pengobatan nyeri panggul dan infertilitas yang efektif.

Terdapat dua modalitas bedah harus dipertimbangkan. Yang pertama

adalah pembedahan konservatif, yang didefinisikan sebagai ekseresis lesi

endometriotik tanpa pengangkatan uterus dan/ atau ovarium.

Pembedahan konservatif bisa komplit (tanpa lesi endometriotik sisa) atau

non-komplit (dengan lesi endometriotik persisten setelah pembedahan).

Modalitas kedua adalah pembedahan definitif, yang mencakup

pengangkatan semua lesi endometriotik yang terkait dengan histerektomi

bersamaan dengan atau tanpa ooforektomi (pengangkatan satu atau

kedua ovarium). Pada pasien yang menjalani pembedahan konservatif,

kehamilan dapat terjadi segera setelah prosedur pembedahan.

Pembedahan untuk endometriosis dilakukan dengan laparoskopi operatif,

kecuali pada kasus DIE yang jarang terjadi dengan lesi multifokal dan

banyak pembedahan sebelumnya, yang mungkin memerlukan laparotomi.


17

Meskipun pembedahan tetap menjadi strategi manajemen yang

penting untuk endometriosis, terdapat beberapa batasan yang harus

dipertimbangkan. Sebagai contoh, pembedahan memungkinkan ekseresis

lesi endometriotik, namun tidak mengobati penyebab penyakit dan

dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Tingginya tingkat

kekambuhan ini terutama karena ekseresis lesi endometriotik yang tidak

23
lengkap. Pembedahan dapat memiliki komplikasi besar, khususnya dalam

kasus pembedahan DIE (misalnya, infeksi pascaoperasi, fistula

rektovaginal, kandung kemih neurogenik dan disfungsi usus), yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup pasien. Setelah operasi, perawatan

hormonal pasca operasi diperlukan untuk mencegah kambuhnya penyakit

dan nyeri (selama pasien tidak memiliki keinginan untuk hamil). Selain itu,

setelah eksisi bedah endometriosis, nyeri panggul lebih mungkin secara


17
signifikan untuk menetap pada pasien dengan adenomiosis.

Indikasi untuk operasi dan ART pada pasien dengan infertilitas

masih diperdebatkan. Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan

bahwa operasi endometriosis sebelum ART dapat bermanfaat, tidak

terdapat cukup data untuk merekomendasikan operasi sistematis sebelum

ART untuk meningkatkan kemungkinan kehamilan. Bukti menunjukkan

bahwa riwayat operasi untuk endometriosis sebelumnya, dengan atau

tanpa operasi ovarium, dapat berdampak negatif pada kehamilan ART

dan angka kelahiran hidup. Selain itu, pengelolaan kegagalan ART sangat

kontroversial. Hanya sejumlah kecil penelitian yang melaporkan bahwa

pembedahan dapat meningkatkan tingkat kehamilan setelah kegagalan

ART. Dalam situasi ini, konsepsi spontan jarang diamati dan sebagian

besar kehamilan diperoleh dengan ART tambahan setelah operasi

endometriosis. 17

c. Assisted reproductive technologies (ART)

Pada pasien dengan infertilitas terkait endometriosis, ART (yaitu,

fertilisasi in vitro (IVF) dan injeksi sperma intrasitoplasma) merupakan

24
pilihan yang sesuai untuk mencapai kehamilan. ART dapat melewati

proses inflamasi yang terjadi di rongga panggul yang terjadi akibat

menstruasi retrograde pada endometriosis. Inflamasi ini dapat

menurunkan kemungkinan fertilisasi in vivo dengan mengganggu interaksi

sperma-oosit. Sebaliknya, dokter umumnya menganggap inseminasi

intrauterin (IUI, yang didefinisikan sebagai injeksi sperma ke dalam uterus)


17
tidak dapat mengatasi efek negatif dari inflamasi terkait endometriosis.

Perbandingan outcome ART untuk pasien dengan infertilitas terkait

endometriosis dan pasien dengan penyebab infertilitas lainnya tidak

menunjukkan adanya perbedaan dalam angka kelahiran hidup. Meskipun

efek staging ASRM endometriosis masih kontroversial, outcome ART

tampaknya tidak berkorelasi dengan fenotipe endometriosis (SUP, OMA

atau DIE). Keberadaan OMA dapat memengaruhi respons ovarium

selama stimulasi ovarium terkontrol selama ART. Dibandingkan dengan

wanita tanpa endometriosis, kehadiran OMA dikaitkan dengan tingkat

pembatalan siklus yang lebih tinggi, dosis gonadotropin yang dibutuhkan

lebih tinggi, jumlah rata-rata oosit yang diambil lebih rendah, jumlah rata-

rata oosit metafase II yang diambil lebih rendah dan jumlah total embrio

yang terbentuk lebih rendah, namun angka kehamilan dan angka

kelahiran hidup adalah serupa. Riwayat operasi endometriosis

sebelumnya (dengan atau tanpa operasi ovarium) menurunkan hasil ART

secara signifikan. Adenomiosis, yang sering dikaitkan dengan

endometriosis dapat memengaruhi hasil ART secara independen dan

negatif, menyebabkan penurunan peluang kehamilan dan kelahiran hidup


17
serta peningkatan risiko keguguran.

25
Petugas kesehatan harus mengingat beberapa hal yang berkaitan

dengan modalitas ART untuk pasien infertilitas dan endometriosis.

Terdapat beberapa protokol stimulasi untuk menginduksi hiperstimulasi

ovarium terkontrol, yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan folikel

ovarium multipel. Oosit dikumpulkan secara transvaginal dengan bantuan

ultrasonografi, untuk mendapatkan embrio melalui IVF sebelum

dipindahkan ke dalam uterus. Untuk meningkatkan angka kehamilan,

pasien harus menjalani pengobatan awal dengan GnRHa agonis untuk

jangka waktu 3-6 bulan atau terus menggunakan kontrasepsi estrogen

dan progestin sebelum memulai ART. Studi menyarankan untuk

mencegah ovulasi dini selama hiperstimulasi yang dikendalikan ART, baik

protokol agonis atau antagonis tampak sama efektifnya. Namun,

penelitian menunjukkan bahwa pemicu ovarium agonis GnRHa dapat

membatasi perkembangan gejala nyeri dalam periode segera setelah

ART. Menariknya, hasil awal menunjukkan bahwa, pada wanita dengan

endometriosis, transfer embrio yang ditunda (yaitu, penundaan transfer

embrio untuk menghindari efek merugikan dari stimulasi ovarium pada

penerimaan endometrium), merupakan pilihan potensial yang dapat


17
meningkatkan tingkat keberhasilan ART.

Risiko yang ditimbulkan pada pasien endometriosis dengan ART

belum diketahui secara pasti. Namun, IVF dan injeksi sperma

intrasitoplasma tidak memperburuk gejala juga tidak mendorong progresi

atau rekurensi endometriosis. Pada wanita dengan endometriosis yang

menjalani ART, abses tubo-ovarium dapat terjadi setelah pengambilan

oosit (<1%), abses ini tidak selalu terkait dengan pengambilan oosit dan

26
dapat terjadi secara sporadis. Risiko hasil yang tidak menguntungkan

dengan kehamilan ART umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan

konsepsi spontan, kehamilan ART tunggal dan multipel dikaitkan dengan

risiko tinggi komplikasi terkait kehamilan. Namun, penafsiran hasil ART


17
global ini harus mempertimbangkan indikasi ART.

2.2 Anogenital Distance

2.2.1 Definisi

Jarak anogenital / anogenital distance (AGD) adalah jarak yang

diukur antara pusat anus dan batas posterior atau anterior genitalia (AGD

dari anus ke fourchette posterior ditandai sebagai AGD-AF; dan jarak ke

klitoris anterior ditandai sebagai AGD-AC). AGD dikaitkan dengan kadar

androgen in-utero, sehingga terdapat perbedaan sesuai jenis kelamin,

AGD laki-laki lebih panjang dari perempuan. Penelitian terbaru

menunjukkan bahwa AGD mengalami plastisitas sepanjang hidup,

perbedaan antara jenis kelamin ini muncul pada awal kehamilan selama

pembentukan alat kelamin.4,20

Kehidupan awal adalah periode kritis perkembangan, di mana

eksposur dapat memberikan efek kritis pada pembentukan dan fungsi

organisme sepanjang hidupnya. Paparan bahan kimia sintetis dalam

uterus yang mengganggu fungsi endokrin (bahan kimia yang mengganggu

endokrin, EDC), seperti ftalat, zat perfluoroalkyl, dioksin dan parasetamol

berhubungan dengan panjang AGD, terutama pada bayi baru lahir dan

bayi laki-laki. Gilboa dkk menerbitkan grafik AGD janin laki-laki dan

perempuan normal yang diukur melalui pencitraan ultrasonik janin ibu, dan

27
sebagian besar penelitian berfokus pada AGD pada bayi baru lahir. AGD

yang diukur pada bayi baru lahir berhubungan dengan kesehatan

reproduksi pria seperti malformasi kongenital, kualitas sperma dan kanker

prostat. Pada wanita, AGD berhubungan dengan endometriosis dan fungsi

ovarium. 21

2.2.2 Pengukuran AGD

AGD merupakan pengukuran antropometri yang berguna untuk

perkembangan genital pada hewan dan manusia. AGD awalnya

ditemukan oleh ahli toksikologi reproduksi dalam percobaan hewan

pengerat. Sebagai penanda yang mudah diukur dan sensitif, AGD telah

menjadi bioassay aksi androgen janin dan titik akhir toksisitas reproduksi

pada hewan. Paparan pengganggu endokrin dapat mengakibatkan

berkurangnya AGD; sehingga dapat digunakan untuk mengukur efek

kesehatan dari senyawa dengan sifat pengubah endokrin atau bahan

kimia pengganggu endokrin (EDC) dalam toksikologi lingkungan. Selain

itu, AGD adalah parameter klinis yang penting untuk mengatasi titik akhir

sensitif terhadap endokrin di tahun pertama kehidupan dan untuk menilai

dampak merugikan dari paparan dalam uterus terhadap EDC lingkungan.


22

AGD muncul dari perkembangan tuberkulum genital,

pembengkakan alat kelamin, dan membran kloaka ke dalam penis atau

klitoris, skrotum atau labia majora, dan anus. Penelitian pada hewan

menunjukkan bahwa AGD adalah indikator sensitif paparan androgen

prenatal dan dapat digunakan sebagai alat pengukuran retrospektif

28
paparan androgen janin selama maskulinisasi. Peningkatan konsentrasi

androgen menyebabkan peningkatan AGD; oleh karena itu, pria memiliki

AGD lebih panjang dari pada wanita. Pada manusia, AGD dapat dinilai

sejak lahir hingga anak usia dini; oleh karena itu, pengukuran saat lahir

dapat dikaitkan dengan gangguan reproduksi di kemudian hari. Meskipun

terdapat ketidaksepakatan tentang instrumen yang ideal untuk

pengukuran AGD, AGD digunakan sebagai titik akhir dalam pedoman

Badan Perlindungan Lingkungan AS untuk studi toksisitas reproduksi

(http://www.epa.gov). 22

Karena tidak ada definisi khas untuk AGD, sangat penting untuk

memperhatikan pengukuran dan penjelasan saat membaca dari sumber

yang berbeda. Penelitian pada manusia sebelumnya telah menerapkan

berbagai metode yaitu: jarak dari anus ke titik garis tengah paling posterior

skrotum (Salazar-Martinez et al, 2004), jarak dari anus ke titik garis tengah

paling inferior persimpangan penoscrotal, dan jarak dari anus ke titik garis

tengah paling superior dari persimpangan penopubik (Swan et al, 2005).

Pada laki-laki, penanda diukur dari dasar anterior penis ke tengah anus

dan jarak anoskrotal (ASD) dari dasar posterior skrotum ke tengah anus.

Demikian pula, pada wanita, jarak anoklitoral (ACD) dicatat sebagai jarak

antara klitoris dan pusat anus, dan jarak anofourchettal (AFD) sebagai

jarak yang diukur dari konvergensi fourchette posterior ke pusat anus.

Longnecker et al menggunakan protokol serupa untuk pengukuran pada

manusia (laki-laki) dengan sedikit perbedaan dari definisi oleh Swan et al.

Protokol antropometri untuk pengukuran AGD pada manusia laki-laki

29
maupun perempuan yang diusulkan oleh Salazar-Martinez et al berbeda

dari definisi Longnecker et al dan Swan et al. 22

Protokol oleh Salazar-Martinez et al jauh lebih sederhana dan

digunakan secara luas untuk banyak penelitian pada manusia. Perbedaan

masing-masing protocol pengukuran dapat dilihat pada gambar di bawah.

Seperti pengukuran antropometri lainnya, keandalan AGD dipengaruhi

oleh kesalahan pengukuran. Karena AGD adalah jarak yang kecil secara

morfologis, kesalahan pengukuran bisa menjadi masalah serius. Karena

pengukuran AGD bergantung pada penanda yang berbeda pada jaringan

lunak, AGD dan ASD laki-laki mudah untuk diukur secara alami karena

batasnya mudah diidentifikasi. Langkah pertama adalah mengidentifikasi

lipatan skrotum pertama atau perubahan tekstur (kulit rugated),

dibandingkan dengan perineum. Setelah ditemukan, kaliper dibuka

sampai tepi yang dapat digerakkan berada di lipatan. Dalam beberapa

kasus, skrotum perlu diangkat (tanpa peregangan) untuk dapat

mengidentifikasi penanda. Namun jarak ACD dan AFD wanita memiliki


22
batas yang kurang jelas dan lebih sulit untuk dilacak.

30
Gambar 5. Diagram skematik dan pengukuran berdasarkan jenis

kelamin.

Karena tidak ada data normatif untuk setiap kelompok etnis, sulit

untuk menentukan apakah variasi besar dari data AGD yang dilaporkan

berasal dari kesalahan pengukuran sistemik atau perbedaan etnis. Studi

tambahan masih diperlukan untuk menentukan rentang normatif untuk

berbagai usia dan kelompok etnis. Penggunaan AGD dalam studi

epidemiologi kian meningkat dan metode untuk pengukuran yang andal

sedang dikembangkan. 22

2.2.3 Hubungan AGD dengan usia, jenis kelamin, dan berat lahir

AGD mungkin satu-satunya instrumen yang tepat untuk

mempelajari sekresi androgen dalam uterus. Normalisasi AGD pada usia

yang berbeda untuk kedua jenis kelamin dan penyesuaian dengan ukuran

tubuh lainnya adalah dasar untuk membedakan antara dampak paparan

lingkungan dan perkembangan normal. Studi sebelumnya menunjukkan

31
bahwa usia, jenis kelamin, berat dan panjang lahir, serta ras harus
22
dipertimbangkan untuk membentuk data normatif.

Dalam studi kohort Inggris, AGD diukur saat lahir dan pada usia 3,

12, 18, dan 24 bulan. AGD ditandai dengan pola jenis kelamin-dimorfik

dan peningkatan yang cepat dalam 12 bulan pertama kehidupan

kemudian diikuti oleh peningkatan bertahap pada kedua jenis kelamin.

AGD dan panjang penis berkurang pada anak laki-laki dengan hipospadia

atau kriptorkismus. Temuan lebih lanjut mendukung AGD sebagai

biomarker kuantitatif untuk memeriksa efek prenatal dari paparan

pengganggu endokrin pada perkembangan saluran reproduksi pria.

Berbeda dari penelitian bayi baru lahir dan bayi yang disajikan di atas,

satu-satunya penelitian laki-laki dewasa dengan usia rata-rata 43 ± 13

tahun menunjukkan bahwa AGD tetap menjadi penilaian konstan dan

indikator seumur hidup dari tindakan androgen intrinsik pria dewasa.

Namun, setiap perubahan AGD yang terjadi selama masa transisi dari
22
masa kanak-kanak hingga dewasa tetap tidak pasti.

Dalam penelitian cross-sectional deskriptif, AGD saat lahir

dilaporkan sekitar dua kali lipat lebih besar pada pria (rata-rata, 21 mm)

dibandingkan pada wanita (rata-rata, 11 mm), dan ada sedikit tumpang

tindih dalam distribusi untuk pria dan wanita. Dimorfisme seksual AGD

pada manusia dihasilkan dari paparan in utero agen aktif hormonal.

Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa jenis kelamin bayi dan usia ibu

berhubungan positif dengan AGD pada bayi laki-laki tetapi tidak pada bayi

perempuan. 22

32
Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 169 bayi dalam 1-3 hari

pertama periode post partum di AS, para peneliti menerapkan protokol

yang serupa dengan yang dilakukan oleh Swan et al. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa berat badan dan panjang badan berhubungan

penting dengan AGD, ukuran dimorfik seksual yang paling kuat diprediksi

oleh berat badan bayi. Sebuah studi tentang keandalan dan faktor

penentu AGD dan dimensi penis pada bayi laki-laki baru lahir dari Meksiko

menunjukkan bahwa berat lahir dan panjang kehamilan lebih dekat

hubungannya dengan AGD daripada panjang penis. Penelitian tersebut

dengan jelas menunjukkan bahwa AGD dapat diukur dengan baik pada

bayi laki-laki yang baru lahir dan bahwa pengukuran tersebut lebih dapat
22
diandalkan dibandingkan dengan panjang penis.

Selain itu, diketahui bahwa AGD untuk dimensi tubuh secara

keseluruhan membutuhkan penyesuaian pada hewan percobaan.

Sebagian besar penelitian manusia sebelumnya hanya melaporkan data

pengukuran AGD kasar. Namun, karena kemungkinan besar AGD

bergantung pada ukuran tubuh, AGD harus dikoreksi dengan berat lahir

atau panjang lahir untuk menghubungkan AGD individu dengan faktor

lingkungan, dan koreksi AGD ini berdasarkan berat atau panjang lahir

tidak akan mengacaukan hasil. Dalam sebuah studi yang mengevaluasi

dampak pajanan ftalat prenatal, Swan et al menggunakan indeks

anogenital (AGI = AGD / berat) pada anak laki-laki yang dianggap sebagai

ukuran yang lebih tepat. Namun, pendekatan terbaik untuk penyesuaian


22
tersebut masih dikembangkan pada manusia.

33
Meskipun AGD dianggap stabil sepanjang hidup, dan pada pria

AGD tidak terkait dengan usia, Wainstock et al menyatakan bahwa AGD

wanita menunjukkan plastisitas, dan mungkin meningkat seiring

bertambahnya usia. Lee dkk juga telah menunjukkan bahwa AGD berubah

sepanjang hidup, dan AGD lebih pendek pada pasca menopause

dibandingkan dengan wanita pramenopause. Temuan ini tidak

bertentangan dengan temuan Lee, karena AGD dapat menurun selama

transisi menopause seperti yang dijelaskan oleh Lee et al. Sedangkan

Zota et al menunjukkan bahwa di Amerika Serikat tingkat metabolit ftalat

telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, yang mungkin

mencerminkan paparan populasi yang lebih rendah terhadap EDC dan

memperpendek AGD. 23

AGD mungkin menunjukkan plastisitas sepanjang hidup, sehingga

ada kemungkinan bahwa efek paparan awal kehidupan pada AGD baru

terlihat di kemudian hari. Beberapa studi tentang AGD pada wanita

dewasa menunjukkan bahwa hal itu terkait dengan karakteristik


23
reproduksi, dan kemungkinan eksposur kehidupan awal.

2.2.4 Hubungan AGD dengan Kehamilan

Penelitian Wainstock dkk mengukur 300 wanita dalam kondisi yang

sama pada tahap awal persalinan, di mana pengukuran ini dapat diterima

dan dimungkinkan. Hanya ada sedikit penelitian yang membahas AGD

pada wanita dewasa, namun tidak ada yang membahas AGD pada wanita

hamil. Sampel studi Wainstock dkk termasuk sampel yang heterogen

dalam hal paritas, usia, dan etnis, yang memungkinkan penyelidikan

34
kemungkinan hubungan dengan beberapa karakteristik. Saat ini terdapat

kurangnya pemahaman hubungan antara AGD dan paritas atau jumlah

persalinan pervaginam diharapkan. AGD dalam populasi studi Wainstock

dkk lebih panjang daripada yang ditemukan oleh Lee dkk, baik pada

wanita premenopause maupun postmenopause. Ini mungkin disebabkan

oleh perbedaan etnis. AGD wanita kemungkinan juga dipengaruhi oleh

kehamilan, dan kemungkinan meningkat menjelang persalinan karena

perubahan hormonal dan berat janin. Namun karena AGD tidak terkait

dengan minggu kehamilan atau berat lahir bayi baru lahir, hal ini tidak

mungkin terjadi. AGD dalam populasi studi Wainstock dkk lebih panjang

dari yang dilaporkan oleh Mendiola dkk, namun subjek dalam penelitian

Mendiola dkk lebih muda (usia rata-rata 20), perbedaan ini kemungkinan

menyebabkan perbedaan hasil dimana temuan Wainstock dkk

menunjukkan AGD berhubungan positif dengan usia. Wainstock dkk tidak

menemukan perbedaan antar etnis dalam AGD. Ada kemungkinan bahwa

dua etnis yang berpartisipasi dalam penelitian ini tidak cukup berbeda,

karena keduanya adalah ras Kaukasia.23

2.2.5 Hubungan AGD dengan Infertilitas

AGD berhubungan dengan perawatan kesuburan secara

signifikan, dan wanita dengan AGD yang lebih pendek lebih mungkin

untuk menerima perawatan kesuburan. Hal ini menunjukkan bahwa AGD

yang lebih pendek dan masalah kesuburan mungkin dipengaruhi oleh

gangguan fungsi endokrin kehidupan awal. Mendiola et al menunjukkan

bahwa wanita dengan diagnosis endometriosis atau deep infiltrating

35
endometriosis (DIE) memiliki AGD yang lebih pendek dibandingkan

dengan kontrol tanpa diagnosis tersebut. Dalam studi sebelumnya,

Mendiola et al menemukan folikel ovarium lebih banyak pada wanita

dengan AGD panjang, hal ini juga mendukung hubungan terbalik antara

kesuburan dan AGD wanita. Namun, AGD dewasa cukup stabil selama

siklus menstruasi, hal ini menunjukkan bahwa AGD tidak terpengaruh oleh

fluktuasi hormonal di masa dewasa, dan mungkin tidak terpengaruh oleh

perawatan kesuburan. 23

2.3 Hubungan AGD dengan Endometriosis

Hubungan AGD dengan endometriosis dipelajari dalam studi oleh

Sánchez-Ferrer dkk. Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai kinerja dan

kegunaan klinis AGD terhadap endometriosis (endometrioma, DIE, atau

keduanya). AGD-AF menunjukkan nilai prediktif terbaik dalam

membedakan keberadaan dan jenis endometriosis (DIE). Temuan ini

menunjukkan bahwa AGD-AF, biomarker dari lingkungan hormonal

intrauterine mungkin berguna untuk mengidentifikasi wanita dengan

endometrioma dan khususnya DIE. Kerangka kerja tersebut konsisten

dengan tindakan antiandrogen yang diamati, misalnya ftalat, yang dapat

mempeependek AGD pada manusia dan temuan Mendiola yang

menunjukkan bahwa lingkungan antiandrogenik atau estrogenik dalam

rahim, diekspresikan oleh AGD yang lebih pendek, menyebabkan risiko

endometriosis yang lebih tinggi di masa dewasa. Penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk mengklarifikasi efek diferensial dari senyawa ini pada


24
jalur yang dimediasi reseptor estrogen.

36
Gambar 6. Pengukuran AGD-AF dan AGD-AC. Landmark untuk

mengukur jarak anogenital (AGD): dari permukaan klitoris ke anus


25
(AGD-AC) dan dari fourchette posterior ke anus (AGD-AF).

Penelitian sebelumnya pada wanita menunjukkan bahwa AGD

yang lebih panjang berkorelasi dengan jumlah folikel ovarium yang lebih

tinggi dan kadar testosteron yang lebih tinggi pada wanita dewasa,

ketidakteraturan dalam siklus menstruasi ibu mereka sebelum kehamilan,

dan AGD-AF yang lebih pendek berhubungan erat dengan endometriosis.

Asosiasi ini menunjukkan bahwa lingkungan prenatal hiperandrogenik

atau hiperestrogenik yang potensial dapat memberikan pengaruh jangka

panjang pada saluran reproduksi, termasuk AGD. AGD dapat menjadi

penanda dua arah dari lingkungan hormonal prenatal, menjadi lebih

pendek di lingkungan intrauterin dengan tingkat paparan yang relatif tinggi

terhadap estrogen (seperti endometriosis) atau paparan antiandrogen,

seperti ftalat yang memperpendek AGD; atau AGD lebih panjang yang

mungkin merupakan konsekuensi dari lingkungan pranatal dengan tingkat

37
androgen yang relatif tinggi (seperti pada wanita dengan endometriosis).

Meskipun penilaian langsung terhadap kadar estrogen atau androgen

mungkin mencerminkan lingkungan hormonal prenatal yang lebih baik

daripada AGD, kadar hormonal tidak ditentukan secara teratur selama

kehamilan. Karena AGD adalah biomarker yang dapat dengan mudah

diukur sepanjang umur, ini mungkin merupakan ukuran yang lebih mudah

untuk didapatkan dan penentuannya lebih berguna dari periode prenatal

hingga dewasa. Kinerja AGD-AF berbeda tergantung pada jenis

endometriosis. Perbedaan ini mungkin dijelaskan oleh etiopatogenesis

yang berbeda dari masing-masing jenid endometriosis (endometrioma

atau DIE). 24

Model prediktif berdasarkan gambaran klinis, berguna untuk pasien

dengan bentuk endometriosis lanjut. Di sisi lain, AGD-AF, sebagai

biomarker potensial endometriosis mungkin berguna untuk memprediksi

risiko berkembangnya kondisi ini bahkan sebelum manifestasi klinis

terjadi. 24

AGD-AC tidak berbeda tergantung jenis endometriosis. Kadar

testosteron serum berhubungan dengan AGD-AF yang lebih panjang

secara signifikan, tetapi tidak dengan AGD-AC. Hal ini mungkin

disebabkan karena perbedaan ukuran bantalan lemak di anterior simfisis

pubis, area yang termasuk dalam AGD-AC tetapi tidak termasuk dalam
24
AGDAF, dan itu tidak dapat diperhitungkan saat menyesuaikan BMI.

Berdasarkan pemaparan diatas, pengukuran AGD-AF dapat secara

akurat membedakan keberadaan DIE. Pengukuran ini dapat memberikan

informasi klinis yang berguna pada pasien dengan endometriosis,

38
terutama yang berkaitan dengan DIE, yang memiliki konotasi klinis dan

embriologis yang penting. Oleh karena itu, dokter dapat mengevaluasi

kemungkinan individu untuk mengembangkan endometriosis klinis yang

berat sebelum pasien mengembangkan gejala serius atau masalah

infertilitas dengan pengukuran antropometri ini. Temuan ini memiliki

implikasi kesehatan masyarakat tambahan karena pencegahan paparan

prenatal terhadap zat hormonal dan pengganggu endokrin harus menjadi

prioritas tinggi. Perhatian untuk mencegah pajanan dalam rahim terhadap

zat gangguan endokrin membuka kemungkinan nyata untuk strategi

pencegahan endometriosis. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk

mengkonfirmasi temuan ini pada populasi lain, untuk pengukuran AGD

standar, dan untuk menguatkan apakah hanya AGD-AF yang merupakan

penanda yang benar-benar berguna dalam praktik klinis untuk wanita

dewasa. 24

2.4 Studi terkait dan peran penilaian

Studi oleh Crestani dkk (2020) merupakan studi pertama yang

menunjukkan bahwa endometriosis yang terbukti secara histologis dan

pembedahan berhubungan dengan AGD pendek (terutama AGD-AF)

pada wanita usia reproduksi secara signifikan. AGD tidak ditemukan

berkorelasi baik dengan tingkat keparahan atau lokasi penyakit. 25

Kekuatan penelitian Crestani dkk adalah bahwa diagnosis

endometriosis dibuktikan melalui pembedahan dan dikonfirmasi oleh

pemeriksaan histologi seperti yang direkomendasikan oleh komunitas

ginekologi. Dalam penelitian sebelumnya yang melaporkan pengukuran

39
AGD pada wanita dengan endometriosis, endometriosis didiagnosis

dengan pemeriksaan klinis dan TVUS (Sánchez-Ferrer et al., 2017;

Sánchez-Ferrer et al., 2019): kelompok kontrol dalam penelitian ini terdiri

dari pasien tanpa gejala sugestif endometriosis dan dengan pemeriksaan

fisik normal serta TVUS normal. Pemilihan ini menimbulkan bias besar

karena telah dibuktikan bahwa 2-50% pasien dengan endometriosis tidak

menunjukkan gejala menurut Nisenblat et al. Selain itu, pemeriksaan fisik,

bahkan yang dilakukan oleh para ahli, seringkali dapat salah

mendiagnosis endometriosis menurut Bazot et al. Tinjauan Cochrane

baru-baru ini oleh Nisenblat et altentang akurasi teknik pencitraan untuk

menilai diagnosis endometriosis panggul, menunjukkan rendahnya akurasi

TVUS, bahkan ketika dilakukan oleh dokter berpengalaman: meskipun

akurasi TVUS tinggi untuk mendiagnosis endometrioma, hanya 65% untuk


25
keterlibatan ligamen uterosakral dan endometriosis peritoneal.

Diagnosis dini non-invasif pasien dengan dugaan endometriosis

sangat penting untuk manajemen pasien yang optimal. Namun, dengan

tidak adanya presentasi klinis patognomonik atau teknik pencitraan,

diagnosis dapat memakan waktu selama 5–11 tahun. Terlebih lagi,

diagnosis sangat sulit pada remaja yang memiliki gejala berbeda dari

orang dewasa. Misalnya, sebagian besar remaja mengalami nyeri non-

siklik. Selain itu, tidak mungkin untuk memeriksa pasien perawan dengan

rute vagina atau dengan TVUS. Dihadapkan dengan dilema klinis ini,

penelitian oleh Crestani dkk cukup menarik karena menunjukkan bahwa

pengukuran AGD dapat menjadi alternatif diagnostik non-invasif untuk

endometriosis. Crestani dkk menemukan bahwa AGD-AF adalah penanda

40
yang lebih baik daripada AGD-AC, dengan AUC 0.840 (95% CI 0.782–

0.898) dibandingkan dengan 0.756 (95% CI 0.684–0.828). Data ini sesuai

dengan data Sanchez-Ferrer et al (2017) yang menunjukkan bahwa,

berdasarkan pemeriksaan fisik dan TVUS, AGD- dikaitkan dengan adanya

endometrioma dan DE (P <0,001-0,02) atau keduanya (Sánchez-Ferrer et

al., 2017). Menggunakan analisis multivariabel, penelitian Crestani dkk ini

menemukan bahwa AGD-AF tidak tergantung pada usia, obesitas,

persalinan pervaginam sebelumnya, dan paritas. Nilai batas 20 mm untuk

AGD-AF memiliki spesifisitas 0,98 dan PPV 0,969 (95% CI 0,826-0,998)

yang mendukung penggunaannya sebagai penanda fisik endometriosis.

Hasil ini juga sesuai dengan hasil studi Sánchez-Ferrer et al (2017), yang

memperoleh cut-off 20,9 mm. Untuk pasien dengan endometrioma dan

DE, Mendiola et al mengamati bahwa wanita dengan tertile terendah dari

distribusi AGD-AF adalah 7,6 kali (95% CI 2,8-21,0; P trend <0,001) lebih

mungkin untuk mengalami endometriosis dibandingkan dengan yang

berada di tertile atas. Demikian pula, untuk wanita dengan DE, AGD-AF di

bawah median adalah 41,6 kali (95% CI 3,9-438; P = 0,002) lebih mungkin

untuk memiliki endometriosis dibandingkan dengan AGD-AF di atas

median. Namun, berbeda dengan penelitian ini, tidak ada kriteria

sederhana yang ditemukan untuk mengidentifikasi pasien dengan risiko

tinggi endometriosis. 25

Hasil penting lainnya dari Crestani dkk adalah bahwa AGD-AF

pendek tidak tergantung pada klasifikasi r-ASRM dan Enzian. Crestani dkk

mengamati bahwa pasien dengan r-ASRM stadium I-II (23 pasien, 24%)

memiliki nilai AGD-AF yang serupa dengan stadium lanjut, memastikan

41
bahwa AGD-AF dapat digunakan untuk mendiagnosis pasien dengan lesi

endometriosis minor. Demikian pula, Crestani dkk tidak menemukan

hubungan antara pengukuran AGD-AF dan adanya endometrioma.

Dengan cara yang sama, hasil ini mendukung bahwa pengukuran AGD-

AF tidak bergantung pada luasnya DE bahkan pada pasien dengan

infiltrasi kolorektal, yang merupakan salah satu bentuk endometriosis yang

paling parah. Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh

Mendiola et al yang menunjukkan hubungan antara AGD-AF dan

keberadaan DE. Sanchez-Ferrer dkk mencatat bahwa AUC tertinggi (0,91;

95% CI 0,84 hingga 0,97) diperoleh untuk subkelompok DE dengan

sensitivitas dan spesifitas masing-masing 84,4 dan 91,4%. 25

Dari sudut pandang patofisiologis, AGD-AF pendek pada wanita

dengan endometriosis menunjukkan bahwa mereka terpapar faktor

genetik dan epigenetik. serta pengganggu endokrin awal selama

kehidupan intrauterine mereka. Menggunakan transkriptom darah tali

pusat, Remy et al menemukan bahwa keberadaan

diklorodiphenyldichloroethylene, polychlorinated biphenyl-153,

perfluorooctanoic acid dan perfluorooctane sulfonate berpotensi

menyebabkan gangguan metabolisme di kemudian hari. Solomon et al

mengidentifikasi gen dengan differentially methylated regions (DMR)

dalam kelompok 336 bayi baru lahir di Meksiko-Amerika. Gen dengan

DMR ini terlibat dalam respons inflamasi (interleukin receptor-associated

kinase 4 danendothelial cell-specific molecule 1), kanker (kanker payudara

tipe 1 dan LIM serta sarcoma homolog 3 protein 1), fungsi endokrin

(kanopi 1) dan fertilitas pria (intraflagellar transport 140 homolog,

42
calcineurin B homologous protein 3 dan pain receptor domain 8).

Sebaliknya, walaupun beberapa laporan menyoroti jalur yang sama dalam

patogenesis endometriosis dan adenomiosis, panjang AGD normal

ditemukan pada wanita dengan adenomiosis. Penelitian Crestani dkk

menunjukkan patogenesis yang berbeda antara endometriosis dengan


25
paparan dini terhadap pengganggu endokrin dan adenomiosis.

Keterbatasan dari penelitian Crestani dkk antara lain yaitu:

pertama, ukuran sampel relatif kecil dan terdapat proporsi tinggi pasien

dengan endometriosis kolorektal, yang mencerminkan aktivitas pusat ahli.

Namun, seperempat dari populasi dengan endometriosis memiliki r-ASRM

stadium I-II, yang menunjukkan relevansi AGD-AF sebagai penanda

endometriosis terlepas dari luasnya penyakit. Kedua, karena rendahnya

jumlah pasien dengan adenomiosis pada kelompok endometriosis, studi

tidak dapat mengevaluasi relevansi AGD-AF menurut adenomiosis

internal dan eksternal, yang mungkin memiliki patogenesis yang berbeda.

Ketiga, populasi studi ini mengecualikan remaja sedangkan pengukuran

AGD-AF dalam demografi ini bisa menjadi alat non-invasif yang relevan

untuk diintegrasikan dalam pendekatan diagnostik pertama. Sehingga

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi penggunaan

pengukuran AGD-AF sebagai tes triase untuk mengurangi biaya

diagnosis.

43
2.5 Kerangka Teori

44
2.6 Kerangka Konsep

Keterangan :
: Variabel terikat
: Variabel bebas
: Variabel perancu

45
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan

desain penelitian potong lintang/cross-sectional, yang bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara jarak anogenital dengan kejadian

endometriosis.

3.2 WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilakukan di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS

jejaring pendidikan lainnya di Makassar. Pengambilan sampel dilakukan di

poliklinik, dan pengukuran jarak anogenital dilakukan dengan pemeriksaan

fisik. Penelitian dilakukan selama 1 tahun dari Juli 2021 - Juli 2022.

3.3 POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian adalah semua pasien yang didiagnosis sebagai

endometriosis dan pasien kontrol di Rumah Sakit Pendidikan di Makassar

Provinsi Sulawesi Selatan rumah sakit jejaring lainnya

3.4 SAMPEL PENELITIAN

Sampel adalah semua penderita endometriosis yang memenuhi

kriteria inklusi dan pasien kontrol yang telah menandatangani surat

persetujuan.

3.5 CARA PENGAMBILAN SAMPEL

Sampel diperoleh dengan metode consecutive sampling, yaitu

mengambil sampel yang sesuai dengan ketentuan atau persyaratan

46
sampel dari populasi tertentu yang paling mudah dijangkau atau

didapatkan.

3.6 PERKIRAAN BESAR SAMPEL

Besar sampel yang diperlukan untuk pengujian dua sisi diperoleh

dengan rumus (Lemeshow, 1998) sebagai berikut :

n=12.1

Berdasarkan hasil penelitian Pluta, et al (2018) maka :

a. Tingkat kesalahan tipe I dan arah kesalahan tipe I

Kesalahan tipe I (α) yang dipakai sebesar 0,20 atau 20 %

dengan arah kesalahan tipe I (α) dua arah (two sided) sehingga

nilai Z sebesar 1.28

b. Tingkat kesalahan tipe II dan arah kesalahan tipe II

Kesalahan tipe II (α) yang dipakai sebesar 0.5 atau 95 %

dengan arah kesalahan tipe I (β) satu arah (one sided) sehingga

nilai Z sebesar 1.96

c. Standar deviasi = 6.4

d. X1-X2 = =32.3-21.5 = 10.8

Berdasarkan rumus di atas, maka total sampel untuk dua kelompok

yang dibutuhkan minimal sebanyak 24 orang.

47
3.7 KRITERIA INKLUSI

A. Bersedia ikut serta dalam kegiatan penelitian

B. Perempuan berusia >20 tahun.

C. Perempuan yang terdiagnosa endometriosis yang telah dilakukan

bedah laparoskopi/laparotomi dan ada hadil pemeriksaan patologi

anatomi.

KRITERIA EKSKLUSI

A. Perempuan dengan riwayat partus pervaginam atau mempunyai

riwayat trauma pada daerah perineum.

B. Perempuan hamil atau dengan penyakit ginekologi lainnya

C. Pasien yang sedang dalam pengobatan hormonal

D. Perempuan dengan BMI >25 kg/m2

E. Pasien yang memiliki riwayat penyakit endokrin

F. Tidak setuju atau dengan berpartisipasi dalam penelitian klinis

lain.

3.8 CARA PENGUMPULAN DATA

3.8.1 PENGUMPULAN DATA

Dalam penelitian ini digunakan data primer yang diperoleh dengan

menggunakan questionaire, pada lembar yang telah disediakan, kemudian

catat hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada lembar yang

disediakan.

48
3.8.2 ALAT DAN BAHAN

● Formulir informasi untuk subjek penelitian dan surat kesediaan

untuk mengikuti penelitian

● Lembar Kuesioner

● Label nama subyek

● Kaliper (unutk mengukur jarak anogenital)

3.8.3 PROSEDUR PENELITIAN

● Peneliti memberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian,

menanyakan identitas pasien, juga dilakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik.

● Apabila pasien memenuhi syarat dalam kriteria inklusi dan eksklusi,

serta bersedia ikut serta dalam penelitian, maka pasien/wali diminta

menandatangani surat persetujuan untuk mengikuti prosedur

penelitian, disaksikan oleh anggota keluarga.

● Dilakukan anamnesis terhadap ibu yang bersedia mengikuti

penelitian ini dan telah mengisi surat persetujuan, data dicatat

dalam lembar kuisioner.

● Dilakukan pencatatan identitas penderita: nama, umur, pekerjaan,

riwayat penyakit, alamat dan nomor telepon, riwayat penyakit

endometriosis dalam keluarga, riwayat konsumsi obat-obatan, dan

intensitasnya dalam seminggu dan siklus haid.

● Dilakukan pemeriksaan fisik umum dan tanda-tanda vital yang

meliputi : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu.

● Dilakukan pengukuran jarak anogenital

49
● Jadwal Penelitian

o Persiapan : 2 minggu

o Pengumpulan sampel : 40 minggu

o Pengolahan data : 2 minggu

o Penulisan pelaporan : 2 minggu

o Seminar hasil penelitian : 2 minggu

3.9 ANALISIS DATA

Data yang diperoleh dicatat, kemudian dianalisis menggunakan

metode Chi-square, yaitu metode statistik yang digunakan untuk melihat

kemaknaan dan hubungan antara variabel kategorik tidak berpasangan

tabel 2x2. Syarat untuk uji Chi Square adalah sel yang mempunyai nilai

expected kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel. Jika syarat uji Chi

Square tidak terpenuhi maka ujia alternatifnya adalah uji Fisher. Untuk

melihat kejelasan tentang dinamika hubungan antara faktor risiko dan

faktor efek dilihat melalui nilai prevalensi rasio odds (POR). Untuk

interpretasi hasil menggunakan derajat kemaknaan α (P alpha) sebesar

5% dengan catatan jika p <0,05 (p value ≤ p alpha) maka H0 di tolak (ada

hubungan antara variabel bebas dengan terikat), sedangkan bila p≥0,05

maka H0 diterima (tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan

terikat). Sedangkan untuk mengetahui prevalens penyakit maka

digunakan analisis Prevalence Odds Ratio (POR). Chi-square: menguji

apakah ada hubungan antara baris dengan kolom pada sebuah tabel

kontigensi. Data yang digunakan merupakan data kualitatif.

50
Apabila data tidak dapat dikategorikan maka akan dilakukan uji

korelasi, namun sebelumnya akan dilakukan uji normalitas terlebih dahulu

yaitu menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, jika nilai (Sig.) lebih besar

0,05 maka data berdistribusi normal dan langkah selanjutnya akan

menggunakan uji Pearson, namun apabila nilai (Sig.) lebih kecil 0,05

maka data tidak berdistribusi normal dan langkah selanjutnya akan

menggunakan uji Spearman

Penilaian hasil uji hipotesis dinyatakan sebagai berikut:

Kekuatan Korelasi (r) :

o Sangat lemah bila r = 0,00 – 0,199

o Lemah bila r = 0,20 – 0,399

o Sedang bila r = 0,40 – 0,599

o Kuat bila r = 0,60 – 0,799

o Sangat kuat bila r = 0,80 – 1,000

Nilai p : - bermakna bila p < 0,05

- tidak bermakna bila p > 0,05

Arah korelasi : - Positif (+) : searah

- Negatif (-) : berlawanan arah

3.10 DEFINISI OPERASIONAL

No. Definisi Operasional


1 Endometriosis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

endometrium di lokasi yang abnormal atau ektopik berdasarkan

gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

sebagai penderita endometriosis.


2 Jarak anogenital/ anogenital distance (AGD) adalah jarak yang

51
diukur antara pusat anus dan batas posterior atau anterior

genitalia (AGD dari anus ke fourchette posterior ditandai

sebagai AGD-AF; dan jarak ke klitoris anterior ditandai sebagai

AGD-AC).

Hasil Ukur:

● AGD-AC

● AGD-AF

Skala variabel : Numerik

3.11 ALUR PENELITIAN

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dan patologi

Kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Kandidat penelitian

Pemeriksaan jarak anogenital

Analisis data

52
3.12 IZIN PENELITIAN DAN KELAYAKAN ETIK

1. Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti meminta kelayakan etik

(ethical clearance) dari komisi etik penelitian biomedis pada

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Setiap subyek yang ikut serta dalam penelitian ini :

● Diberikan penjelasan latar belakang, maksud dan tujuan

penelitian ini

● Diberikan kebebasan untuk memilih apakah bersedia

mengikuti penelitian ini atau tidak

● Diberikan kesempatan untuk bertanya tentang penelitian ini dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian ini.

● Kepada perempuan yang bersedia ikut dalam penelitian ini,

diminta untuk mengisi dan menandatangani surat persetujuan.

3. Tetap lebih mengutamakan pelayanan dengan selalu

mengindahkan tata cara etik yang berlaku. Setiap penderita tetap

mendapat pengobatan sesuai protokol pengobatan, termasuk

apabila pasien menolak tidak akan mempengaruhi kualitas

pengobatan.

4. Semua biaya pemeriksaan ditanggung oleh peneliti.

5. Segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan dijamin

kerahasiaannya, namun pasien diberikan akses untuk

mengetahui hasil pemeriksaan dirinya.

53
Personalia Penelitian

Pelaksana : dr. Ricky Ricardo Nalley

Pembantu pelaksana : Sejawat PPDS Obgin FK-UNHAS

Pembimbing pertama : Prof. Dr. dr. Nusratuddin Abdullah,

Sp.OG(K),MARS

Pembimbing kedua : Dr. dr. Fatmawati Madya, Sp.OG (K)

Pembimbing statistik : Dr. dr. St. Nur Asni, Sp.OG (K)

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Giudice LC. Endometriosis. N Engl J Med. 24 Juni

2010;362(25):2389–98.

2. Nisenblat V et al. Blood biomarkers for the non-invasive diagnosis of

endometriosis. Cochrane Database Syst Rev. 1 Mei 2016;

3. Nisenblat V et al. Combination of the non-invasive tests for the

diagnosis of endometriosis. Cochrane Database Syst Rev [Internet].

13 Juli 2016; Tersedia pada:

http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD012281

4. Dean A et al. Anogenital Distance or Digit Length Ratio as Measures

of Fetal Androgen Exposure: Relationship to Male Reproductive

Development and Its Disorders. J Clin Endocrinol Metab. 1 Juni

2013;98(6):2230–8.

5. Swan SH et al. First trimester phthalate exposure and anogenital

distance in newborns. Hum Reprod. 1 April 2015;30(4):963–72.

6. Cano-Sancho G et al. Human epidemiological evidence about the

associations between exposure to organochlorine chemicals and

endometriosis: Systematic review and meta-analysis. Environ Int.

Februari 2019;123:209–23.

7. Sánchez-Ferrer ML et al. Accuracy of anogenital distance and anti-

Müllerian hormone in the diagnosis of endometriosis without

surgery. Int J Gynecol Obstet. Januari 2019;144(1):90–6.

55
8. Reid S et al. The association between ultrasound-based ‘soft

markers’ and endometriosis type/location: A prospective

observational study. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. Maret

2019;234:171–8.

9. Siquara De Sousa AC et al. Neural involvement in endometriosis:

Review of anatomic distribution and mechanisms. Clin Anat.

November 2015;28(8):1029–38.

10. Klemmt PAB et al. Molecular and Cellular Pathogenesis of

Endometriosis. Curr Women s Heal Rev. 16 April 2018;14(2):106–

16.

11. Prescott J et al. A prospective cohort study of endometriosis and

subsequent risk of infertility. Hum Reprod. Juli 2016;31(7):1475–82.

12. Machairiotis N et al. Extrapelvic endometriosis: a rare entity or an

under diagnosed condition? Diagn Pathol. 2013;8(1):194.

13. Tosti C et al. Pathogenetic Mechanisms of Deep Infiltrating

Endometriosis. Reprod Sci. 12 September 2015;22(9):1053–9.

14. Alimi Y et al. The Clinical Anatomy of Endometriosis: A Review.

Cureus. 25 September 2018;10(9):1–9.

15. Tanbo T et al. Endometriosis-associated infertility: aspects of

pathophysiological mechanisms and treatment options. Acta Obstet

Gynecol Scand. Juni 2017;96(6):659–67.

16. Collinet P et al. Management of endometriosis. J Gynecol Obstet

Hum Reprod. September 2018;47(7):265–74.

56
17. Chapron C et al. Rethinking mechanisms, diagnosis and

management of endometriosis. Nat Rev Endocrinol [Internet].

2019;15(11):666–82. Tersedia pada:

http://dx.doi.org/10.1038/s41574-019-0245-z

18. Harris-Glocker M et al. Role of female pelvic anatomy in infertility.

Clin Anat. Januari 2013;26(1):89–96.

19. Pahwa AK et al. Physical examination of the female internal and

external genitalia with and without pelvic organ prolapse: A review.

Clin Anat. April 2015;28(3):305–13.

20. Lee D et al. A Pilot Study of the Impacts of Menopause on the

Anogenital Distance. J Menopausal Med. 2015;21(1):41–6.

21. Fisher BG et al. Prenatal paracetamol exposure is associated with

shorter anogenital distance in male infants. Hum Reprod. November

2016;31(11):2642–50.

22. Liu C et al. Anogenital distance and its application in environmental

health research. Environ Sci Pollut Res. 2014;21(8):5457–64.

23. Wainstock T et al. Fertility and anogenital distance in women.

Reprod Toxicol [Internet]. 2017;73:345–9. Tersedia pada:

http://dx.doi.org/10.1016/j.reprotox.2017.07.009

24. Sánchez-Ferrer ML et al. Investigation of anogenital distance as a

diagnostic tool in endometriosis. Reprod Biomed Online. April

2017;34(4):375–82.

25. Crestani A et al. Anogenital distance in adult women is a strong

57
marker of endometriosis: results of a prospective study with

laparoscopic and histological findings. Hum Reprod Open. 1 Maret

2020;(3):1–9.

58

Anda mungkin juga menyukai