PENDAHULUAN
Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak primer yang paling sering dilaporkan di
Amerika (Dolecek et. al., 2012). Data insidensi meningioma yang dilaporkan di negara Asia
masih terbatas. Di Indonesia, khususnya di RS Dr Sardjito Yogyakarta data dari bagian Patologi
Anatomi menunjukkan bahwa meningioma adalah tumor otak terbanyak pada tahun 2001-2008
yaitu sebanyak 43,18% (Susilowati, 2010).
Insidensi meningioma dilaporkan 2 kali lipat lebih tinggi pada wanita dibanding pria,
dengan peningkatan rasio 3,5:1 pada masa reproduksi (Wiemels et. al., 2014). Pada tahun 2007
diperkirakan lebih dari 100.000 wanita di Amerika mengalami pembedahan untuk diagnosis,
dengan 9000 kasus meningioma baru (Claus et. al.,2007). Hasil yang serupa dilaporkan di RSUP
Dr Sardjito Yogyakarta, yaitu rasio wanita dibanding pria adalah 4:1 dengan usia rata-rata
40,6 tahun (Zebua, 2011).
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan masih sangat sedikit yang diketahui
mengenai etiologi meningioma. Perubahan ukuran meningioma pada siklus menstruasi, kehamilan
dan menopouse serta hubungannya dengan kanker payudara banyak dilaporkan oleh berbagai
penelitian. Begitu juga dengan perubahan simtomatologi selama siklus menstruasi, misalnya gejala
yang berhubungan dengan meningioma seperti diplopia, skotoma sentral atau ptosis dapat
meningkat selama fase luteal dari siklus menstruasi (Wahab dan Al Azzawi, 2003). Berdasarkan
hal tersebut hormon steroid endogen maupun eksogen diduga berhubungan dengan meningioma
dan mungkin berperan dalam tumorigenesis dan progresifitas meningioma (Claus et. al., 2007).
Terapi sulih hormon dan kontrasepsi adalah faktor risiko yang sering dihubungkan dengan
meningioma. Penggunaan terapi sulih hormon pada wanita menopouse dilaporkan positif
berhubungan dengan meningioma, sedangkan kontrasepsi oral tidak menunjukkan hasil yang
konsisten (Claus et. al.,2007; Qi et. al.,2013). Hubungan tersebut terutama dengan paparan hormon
yang mengandung hormon progestin. Qi, et. al., (2013) juga melaporkan peningkatan risiko
meningioma pada pengguna terapi sulih hormon, wanita paska menopouse, dan paritas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Meningioma pertama kali dipopulerkan oleh Harvey Cushing pada tahun 1922.
Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang terjadi di luar jaringan
parenkim otak yaitu berasal dari meninges otak. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap
dengan pertumbuhan yang lambat (Al-Hadidy, 2007).
II.2 EPIDEMIOLOGI
Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse) dan pertumbuhan
memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk en masse adalah meningioma globular klasik
sedangkan bentuk en plaque adalah tumor dengan adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura
yang luas (Talacchi, 2011). Pembagian meningioma secara histopatologi berdasarkan WHO 2007
terdiri dari 3 grading dengan resiko rekuren yang meningkat seiring dengan pertambahan grading
(Fischer & Bronkikel, 2012).
Beberapa subtipe meningioma antara lain:
Grade I:
- Meningothelial meningioma
- Fibrous (fibroblastic) meningioma
- Transitional (mixed) meningioma
- Psammomatous meningioma
- Angiomatous meningioma
- Mycrocystic meningioma
- Lymphoplasmacyte-rich meningioma
- Metaplastic meningioma
- Secretory meningioma
Grade II:
- Atypical meningioma
- Clear cell meningioma
- Chordoid meningioma
Grade III:
- Rhabdoid meningioma
- Papillary meningioma
- Anaplastic (malignant) meningioma
C. Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya
meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada penderita
cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya
meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa
adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma, terutam riwayat
cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera
kepala dan bukan dari tingkat keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).
D. Genetik
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya
meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada penderita
cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya
meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa
adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma, terutam riwayat
cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera
kepala dan bukan dari tingkat keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang timbul pada pasien yang
tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik
turunan yang memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering
dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal
dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada kromosom 22q12 (insiden di US:
1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain itu, pada meningioma sporadik dijumpai hilangnya kromosom,
seperti 1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q, 17q dan 20q
(Evans, 2005; Smith, 2011).
Penelitian lain mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik dengan resiko
terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur
metabolisme hormon. Penelitian terbaru focus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang
terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen endogen dan eksogen. Namun belum
dijumpai hubungan yang signifikan antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen
GST atau CYP450. Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer, 2005; Choy, 2011).
D. Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memberi dugaan
adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan
kehamilan, siklus menstruasi, danmenopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon
eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya
meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon
endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause,
paritas, dan usia pertama saat menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi (Wiemels, 2010;
Barnholtz-Sloan2007; Taghipour, 2007).
II.5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada meningioma dapat berupa embolisasi, pembedahan, radiosurgery,
dan radiasi. Terdapat dua tujuan utama dari pembedahan yaitu paliatif dan reseksi tumor.
Pembedahan merupakan terapi utama pada penatalaksanaan semua jenis meningioma. Tujuan dari
reseksi meningioma adalah menentukan diagnosis definitif, mengurangi efek massa, dan
meringankan gejala-gejala. Reseksi harus dilakukan sebersih mungkin agar memberikan hasil
yang lebih baik. Sebaiknya reseksi yang dilakukan meliputi jaringan tumor, batas duramater
sekitar tumor, dan tulang kranium apabila terlibat. Reseksi tumor pada skull base sering kali
subtotal karena lokasi dan perlekatan dengan pembuluh darah (Modha & Gutin, 2005).
Angiografi preoperatif dapat menggambarkan suplai pembuluh darah terhadap tumor dan
memperlihatkan pembungkusan pembuluh darah. Selain itu, angiografi dapat memfasilitasi
embolisasi preoperatif. Beberapa jenis meningioma terutama malignan umumnya memiliki
vaskularisasi yang tinggi, sehingga embolisasi preoperatif mempermudah tindakan reseksi tumor.
Hal ini disebabkan oleh berkurangnya darah yang hilang secara signifikan saat reseksi. Embolisasi
preoperatif dilakukan pada tumor yang berukuran kurang dari 6 cm dan dengan pertimbangan
keuntungan dibandingkan dengan resiko dari embolisasi (Dowd, 2003; Levacic et al; 2012).
Tabel 2.1. Tingkat rekurensi Setelah reseksi berdasarkan kriteria Simpson
(Modha & Gutin, 2005)
Berdasarkan tabel di atas diperlihakan bahwa reseksi meningioma total hingga Simpson
grade 1 juga menunjukkan resiko terjadinya rekurensi hingga 9%. Faktor-faktor yang secara
signifikan berpengaruh pada rekurensi meliputi reseksi inkomplit, jenis histologis atipikal dan
malignan berdasarkan klasifikasi WHO, adanya penonjolan nukleolar, adanya mitosis lebih dari
dua per 10 highpower fields dan gambaran menyangat kontras yang heterogen pada Ct-scan kepala
(Al-Hadidy, 2007).
Walaupun meningioma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan memiliki tingkat
mitosis yang rendah, radioterapi memberikan manfaat secara klinis yang telah dilaporkan pada
banyak serial kasus yaitu baik regresi ataupun berhentinya pertumbuhan tumor. Manfaat
radioterapi masih menjadi perdebatan, Radioterapi disarankan sebagai terapi adjuvan pada reseksi
inkomplit, tumor rekuren dan atau grade tinggi, serta sebagai terapi utama pada beberapa kasus
seperti meningioma saraf optik dan beberapa tumor yang tidak dapat direseksi (Al-Hadidy, 2007;
Minniti, 2009).
Modalitas lain pada terapi meningioma adalah stereostatic radiosurgery. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa stereostatic radiosurgery memberikan hasil yang efektif dalam
mengontrol pertumbuhan tumor secara lokal dengan resiko komplikasi yang kecil. Stereostatic
radiosurgery umumnya dilakukan pada tumor jinak berukuran kecil atau yang tidak dapat
dioperasi dan pada tumor esidual atau rekuren setelah operasi. Terapi ini disarankan pada
meningioma berukuran dibawah 3 cm yang melibatkan skull base dan sinus kavernosus dengan
tujuan mencegah progresi tumor (Al-Hadidy, 2007; Minniti, 2009).
Hormon Progesteron
Progesteron adalah hormon steroid turunan dari kolestrol yang utamanya disintesis oleh
ovarium, kelenjar adrenal dan plasenta. Kadar progesteron lebih tinggi kadarnya pada wanita
dibandingkan laki-laki. Kadar hormon progesterone berubah berdasarkan siklus hidup terutama
perkembangan embrionik, siklus reproduksi (siklus menstruasi dan estrous), kehamilan dan
menopause (Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memainkan peran penting dalam regulasi sejumlah fungsi seperti
ovulasi, implantasi, mempertahankan kehamilan, regulasi siklus sel, respon imunitas, ventilasi,
perilaku seksual, tidur, belajar dan memori pada beberapa jaringan seperti uterus, ovarium,
kelenjar mamae, pankreas, tulang, paru dan otak. Hormon progesteron bekerja melalui mediasi
oleh reseptor intraselular spesifik yang terdiri dari dua isoform yaitu PR-A dan PR-B dengan fungsi
yang berbeda. Pola ekspresi isoform PR sangat kritis untuk regulasi kerja progesteron pada sel-sel
(Camacho-Arroyo, 2009).
Hormon progesteron memiliki kerja yang beragam pada jaringan yang baik berhubungan
maupun tidak berhubungan dengan reproduksi. Hormon progesteron diproduksi dan bertahan
dengan periode waktu yang berbeda-beda (menit, jam, hari dan bulan). Selain itu, progesteron
dapat juga memiliki lebih dari satu efek pada sel yang sama oleh karena beberapa mekanisme yang
melibatkan molekul berbeda pada kompartemen sel yang berbeda. Progesteron bekerja dengan
melalui dua mekanisme utama, yaitu genomik (klasik) dan nongenomik (non-klasik). Mekanisme
kerja melalui jalur genomic (klasik) yaitu dengan mengubah ekspresi dari Gen target yang
dimediasi oleh reseptor progesterone dan memiliki efek jangka panjang. Sedangkan pada jalur
nongenomik (non-klasik) melibatkan modifikasi pada tingkat membrane sel dan memiliki efek
yang cepat. Hubungan silang antara mekanisme genomik dan nongenomik dapat timbul, dan pada
kondisi ini hormone progesterone mampu bekerja dengan regulasi yang baik untuk fungsi yang
bervariasi (Camacho-Arroyo, 2009; Bernauer, 2001).
Gambar 2.2. Mekanisme kerja hormon progesteron secara genomik dan non-
genomik (Camacho-Arroyo, 2009)
Secara umum, efek non-genomik dari progesteron berlangsung cepat. Hormon ini bekerja
pada tingkat membran dan sitoplasma dan tidak masuk ke dalam sel. Pada kondisi ini, progesteron
tidak sensitif terhadap inhibitor transkripsi dan sintesis protein. Variasi mekanisme non-genomik
dari interaksi progesteron telah diketahui dengan baik, yaitu (1). Reseptor-reseptor progesteron
yang terletak pada membran sel memiliki profil struktur dan farmakologis yang berbeda-beda, (2).
Kanal ion seperti kanal Ca2+ dan K+ (3). Lokasi modulator yang terletak pada reseptor
neurotransmiter seperti reseptor GABAA, dan (4). Reseptor neurotransmiter dan faktor-faktor
pertumbuhan yang berpasangan dengan protein G. Interaksi ini menghasilkan perubahan
padakonduksi ionik, kaskade second messenger, produksi cAMP, perubahanphosphoionisitide,
dan protein kinase C dan aktivasi MAP kinase (CamachoArroyo, 2009; Bernauer, 2001).
Reseptor Progesteron
Reseptor progesteron merupakan keluarga dari ligand-activated zincfinger transcription factors.
Keluarga dari protein nuclear termasuk reseptor dari steroid dan hormon tiroid, asam retinoid,
vitamin D, ecdysonedan lainnya dengan ikatan endogen yang belum teridentifikasi (Scarpin,
2009). N-terminal A/B domain memiliki sekuensi dan panjang yang sangat bervariasi pada semua
anggota dari keluarga reseptor ini. Hal ini termasuk aktivasi fungsi yang meregulasi transkripsi
gen. Domain yang paling dikonservasi adalah C yang mengandung regio ikatan DNA dan memiliki
dua Zinc finger tipe II yang berhubungan dengan pengenalan DNA. Domain D adalah regio yang
mengandung nuklear penentu lokasi sinyal dan sisi ikatan untuk protein chaperone yang
mempertahankan reseptor dalam keadaan inaktif. Domain E bersifat multifungsi dan mengandung
regio ikatan dengan AF yaitu nuclear penentu lokasi lainnya yang berfungsi sebagai protein heat-
shock dan asosiasi kofaktor. Dan terakhir adalah domain F yang terletak di C-terminal dan
memiliki ligant-depent AF (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).
Regulasi transkripsi yang dimediasi oleh reseptor progesteron didahului dengan interaksi
hormon progesteron dengan reseptor progesteron. Setelah berikatan, reseptor progesteron
berdisosiasi dari protein chaperone dan dimerisasi dengan molekul reseptor progesteron lainnya.
Selanjutnya, reseptor progesteron mengalami fosforilasi dalam bentuk ikatan dan merekruit
kofaktor remodelling chromation seperti koaktivator SRC-1 atau corepressor SMRT yang
acetylate atau deacetylate histone. Reseptor progesteron berinteraksi dengan sekuens DNA
spesifik yang pendek dan dikenal sebagai hormone responsive elements (HRE). Interaksi ini juga
menginduksi fosforilasi reseptor progesterone dan reseptor progesteron berinteraksi dengan basal
machinery of transcription yang terlibat dalam ekspresi gen. Setelah pemisahan fosforilasi reseptor
progesteron dari kompleks transkripsi, reseptor progesteron ini akan menjadi sasaran degradasi
melalui jalur ubiquitin-proteasome (Camacho-Arroyo, 2009; Scarpin, 2009; Leonhardt, 2003).
Indeks Proliferasi
Indeks proliferasi biasanya diukur dengan MIB-1 antibodi yang akan mengikat antigen Ki-
67. Ki-67 diekspresikan pada sel yang sedang berproliferasi melalui siklus sel. Labeling index (LI)
adalah persentase dari nukleus sel tumor yang imunoreaktif. Pengambilan sampel tumor
merupakan sumber kesalahan dalam menentukan LI karena tumor memiliki heterogenitas histologi
dengan perbedaan regional dari proliferasi sel. Daerah tumor yang paling ganas secara histologis
merupakan pilihan yang biasanya digunakan untuk analisis LI (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).
Peningkatan Ki-67 berhubungan dengan grade histologi yang lebih tinggi dan peningkatan resiko
rekuren pada meningioma. LI rata-rata pada meningioma jinak sebesar 3%, untuk meningioma
atipikal sebesar 8% dan untuk meningioma malignan sebesar 17%. Kebanyakan penelitian
melaporkan indeks proliferasi yang lebih tinggi pada meningioma rekuren dibandingkan dengan
yang nonrekuren.
Meningioma dengan indeks MIB-1 sebesar 4% atau lebih secara signifikan memiliki
kecenderungan lebih tinggi untuk rekuren. KI-67 juga telah dilaporkan lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita dan pada meningioma dengan edema di MRI. KI-67 lebih rendah
pada meningioma dengan kalsifikasi. Meningioma yang berhubungan dengan NF-2 memiliki LI
yang lebih tinggi dibandingkan yang sporadik dan hal ini mencerminkan sifat yang lebih agresif
dari meningima ini (Korhonen, 2012; Akyildiz, 2010).