Anda di halaman 1dari 22

Referat

KANKER SERVIKS

Oleh : Desi Recsanti Yessi Oktiari Alfonsus Arya K. G0005076 G0006026 G0006037

Pembimbing

dr. Suradi Maryono, Sp.PD-KHOM-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN Kanker adalah suatu proses perubahan pada sel normal yang berproliferasi tanpa kendali akibat mutasi gen. mutasi gen dapat disebabkan oleh berbagai agen, seperti agen bahan kimia, radiasi dan virus. Virus penyebab kanker disebut vonkogen. HPV adalah salah satu jenis virus yang dapat menyebabkan perubahan pada siklus sel normal. Di Indonesia kanker serviks telah menjadi masalah penting karena telah menempati urutan utama penyebab kanker pada wanita, melebihi jumlah penderita kanker payudara (Novel dkk, 2010). Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negara-negara sedang berkembang. Setiap tahun diperkirakan terdapat 500.000 kasus kanker serviks baru di seluruh dunia, 77% di antaranya ada di negaranegara sedang berkembang. Di Indonesia diperkirakan sekitar 90-100kanker baru di natara 100.000 penduduk pertahunnya, atau sekitar 180.000 kasus baru per tahun, dengan kanker serviks menempati urutan pertama di antara kanker pada wanita. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa faktor-faktor resiko terjadinya kanker serviks meliputi hubungan seksual usia dini (<20 tahun), berganti-ganti pasangan seksual, merokok, trauma kronis pada serviks uteri dan higiene genetalia (Sjamsuddin, 2001). Kanker serviks adalah jenis kanker yang telah diketahui protein karsinogennya yaitu protein E6 dan E7. Gen E6 dan E7 merupakan vektor pembawa protein karsinogen dari HPV; oleh karena itu sesungguhnya kanker serviks dapat diatasi dengan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer yaitu mencegah infeksi HV melalui vaksinasi, sedangkan pencegahan sekunder adalah melalui deteksi dini yang dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya uji sitologi dan uji DNA HPV (Novel dkk, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Menurut National Cancer Institute, kanker serviks adalah kanker yang terbentuk di jaringan dari leher rahim (organ menghubungkan rahim dan vagina). Biasanya kanker yang tumbuh lambat yang mungkin tidak memiliki gejala tetapi dapat ditemukan dengan tes Pap teratur (suatu prosedur di mana sel-sel yang dikerik dari leher rahim dan dilihat di bawah mikroskop). Kanker serviks hampir selalu disebabkan oleh human papillomavirus (HPV).

B. Prevalensi dan Insidensi Kanker serviks merupakan kanker terbanyak ketiga pada wanita di seluruh dunia (Globocan, 2008). Pada tahun 2002, terdiagnosa lebih dari 493.200 kasus dan diperkirakan 273.500 wanita meninggal setiap tahunnya karena penyakit ini. Pap smear telah mampu menurunkan insidensi dan mortalitas kanker serviks, namun hanya sepertiga wanita berisiko yang mendapatkan screening (Perroy dan Kotz, 2010).

Diagram 1. Insidensi dan mortalitas kanker serviks di dunia (Globocan, 2008)

Tabel 1. Insidensi dan mortalitas kanker serviks di dunia (Globocan, 2008) Insidensi kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun dan menunjukkan puncaknya pada usia 45-54 tahun di Indonesia (Aziz, 2001). Faktor risiko epidemiologis terbesar untuk kanker serviks yaitu infeksi HPV, yang merupakan awal dari perkembangan neoplasi leher rahim. HPV DNA ditemukan pada 99,7% dari seluruh karsinoma leher rahim. Tipe HPV 16 ialah yang paling sering ditemukan pada jenis karsinoma sel skuamosa dan tipe HPV 18 paling sering ditemukan pada adenokarsinoma. Faktor risiko lain yang berkaitan ialah keadaan imunosupresi, infeksi HIV atau memiliki riwayat terkena penyakit menular seksual, merokok, paritas tinggi dan penggunaan kontrasepsi oral (American Cancer Society, 2011). Estimasi terakhir yang dilakukan oleh American Cancer Society untuk kanker serviks di Amerika Serikat pada tahun 2010 ialah, sekitar 12.200 kasus baru kanker serviks invasif terdiagnosa dan sekitar 4.210 wanita meninggal akibat kanker serviks (American Cancer Society, 2011). Beberapa peneliti memperkirakan kanker serviks non invasif (karsinoma insitu) terjadi kira-kira empat kali lipat dibanding kanker serviks invasif. Kanker serviks cenderung terjadi pada usia paruh baya, sebagian besar kasus ditemukan

pada wanita dibawah 50 tahun. Kanker serviks jarang terjadi pada wanita dengan usia kurang dari 20 tahun (American Cancer Society, 2011). Kanker serviks di Amerika Serikat paling sering mengenai wanita ras Hispanic, dengan rata-rata dua kali lipat dibanding wanita ras non-Hispanic, sedangkan wanita ras Afrika-Amerika terserang kanker serviks 50% lebih sering dibanding wanita ras kulit putih non-Hispanic (American Cancer Society, 2011). Dalam sebuah artikel oleh Hexan Y.S et al menunjukan insidensi kanker serviks diantara negara Asia Ocenia bervariasi dari yang paling rendah di Australia dengan ASR (umur rata-rata yang distandarisasi) dari 4,9 per 100.000 wanita sampai yang paling tinggi 27 dan 27,4 di India dan Kamboja serta 28 di Mongolia dan di Nepal menempati 32 per 100.000 wanita. Lebih jauh lagi, ASR bervariasi antara berbagai negara terutama di negara besar seperti India dan Cina. Sehingga, apabila kita melihat analisa dari tren waktu insidensi penyakit, penelitian menggambarkan insidensi kanker serviks saat ini meningkat di negara Cina.

Diagram 2. Mortalitas dan Insidensi Kanker Serviks di Negara-negara Asia Oceania (Hextan, 2011)

C. Patogenesis Infeksi HPV ditandai oleh perubahan morfologi dan pembelahan sel yang tak terkendali akibat percepatan proliferasi dan terhambatnya diferensiasi sel. Sifat kelaianan ada yang tetap jinak dan ditandai oleh batas yang tegas dengan jaringan normal (Novel dkk, 2010). Secara seluler, mekanisme terjadinya kanker serviks berkaitan dengan siklus sel yang diekspresikan oleh HPV. Protein utama yang terkait dengan karsinogen adalah E6 dan E7. Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linier dan terpotong di antara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV dan DNA manusia menyebabkan gen E2 tidak berfungsi, jika E2 tidak berfungsi akan merangsang E6 dan E7 berikatan dengan gen p53 dan pRb (Novel dkk, 2010). Ikatan antara E6 dan p53 akan menyebabkan p53 kehilangan fungsi sebagai gen tumor supresor yang bekerja di fase G1. Gen p53 akan menghentikan siklus sel di fase G1, agar sel dapat memperbaiki kerusakan sebelum berlanjut ke fase S. Mekanisme kerja p53 adalah dengan menghambat kompleks cdk-cyclin yang akan merangsang sel memasuki fase selanjutnya sehingga ketika E6 berikatan dengan p53 akan menyebabkan sel terus bekerja, terus membelah dan menjadi abnormal. Jalur yang digunakan p53 melalui p21 yang akan melawan aktivitas cdk-cyclin, karena itu inaktivasi p21 mengakibatkan regulasi p53 terganggu. Sedangkan E7 akan berikatan dengan pRB, yang seharusnya pRB berikatan dengan E2F. E2F adalah gen yang akan merangsang siklus sel melalui aktivasi proto-onkogen c-myc, N-myc. Ikatan pRB menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1. Jika E2F tidak terikat akan menyebabkan E2F menstimulasi proliferasi sel. Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan proliferasi sel melebihi batas normal sehingga berubah menjadi sel karsinoma (Novel dkk, 2010).

D. Etiologi dan Faktor Resiko Faktor risiko epidemiologis terbesar untuk kanker serviks yaitu infeksi HPV, yang merupakan awal dari perkembangan neoplasi leher rahim. HPV DNA ditemukan pada 99,7% dari seluruh karsinoma leher rahim. Tipe HPV 16 ialah yang paling sering ditemukan pada jenis karsinoma sel skuamosa dan tipe HPV 18 paling sering ditemukan pada adenokarsinoma. Faktor risiko lain yang 6

berkaitan ialah keadaan imunosupresi, infeksi HIV atau memiliki riwayat terkena penyakit menular seksual, merokok, paritas tinggi dan penggunaan kontrasepsi oral (Alan and Nathan, 2007). 1. Perilaku seksual Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker serviks. Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia kurang dari 20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang berganti-ganti lebih beresiko untuk menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai etiologi kanker serviks menunjukkan bahwa faktor resiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada istrinya. Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad 20, menyikap kemungkinan adanya hubungan antara kanker serviks dengan agen yang dapat menimbulkan infeksi. Karsinogen ini bekerja di daerah transformasi, menghasilkan suatu gradasi kelainan permulaan keganasan, dan paling berbahaya bila terpapar dalam waktu 10 tahun setelah menarche. Keterlibatan peranan pria terlihat dari adanya korelasi antara kejadian kanker serviks dengan kanker penis di wilayah tertentu. Lebih jauh meningkatnya kejadian tumor pada wanita monogami yang suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak wanita lain menimbulkan konsep Pria Beresiko Tinggi sebagai vektor dari agen yang dapat menimbulkan infeksi (Sjamsuddin, 2001). Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks, tetapi penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam penyakit akibat hubungan seksual (PHS). Penyakit kelamin dan keganasan serviks keduanya saling berkaitan secara bebas, dan diduga terdapat korelasi non-kausal antara beberapa penyakit akibat hubungan seksual dengan kanker serviks (Sjamsuddin, 2001). 2. Kontrasepsi Kondom dan diafragma dapat memberikan perlindungan. Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan resiko relatif 1,53 kali. WHO melaporkan resiko relatif pada

pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,9 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian (Sjamsuddin, 2001). 3. Merokok Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus (Sjamsuddin, 2001). 4. Nutrisi Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya alvokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan dengan peningkatan resiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacang-kacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan (Sjamsuddin, 2001).

E. Kriteria Diagnosis Gejala Perubahan prekanker pada serviks biasanya tidak menimbulkan gejala dan perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani pemeriksaan panggul dan Pap smear (Calvagna, 2007). Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal berubah menjadi keganasan dan menyusup ke jaringan di sekitarnya. Pada saat ini akan timbul gejala berikut (Calvagna, 2007): 1. Perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara 2 menstruasi, setelah melakukan hubungan seksual dan setelah menopause 8

2. Menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak) 3. Keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, coklat, mengandung darah atau hitam serta berbau busuk

Gejala dari kanker serviks stadium lanjut (Calvagna, 2007): 1. Nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan 2. Nyeri panggul, punggung atau tungkai 3. Dari vagina keluar air kemih atau tinja 4. Patah tulang (fraktur).

Perubahan awal yang terjadi pada sel leher rahim tidak selalu merupakan suatu tanda-tanda kanker. Pemeriksaan Pap smear yang teratur sangat diperlukan untuk mengetahui lebih dini adanya perubahan awal dari sel-sel kanker. Perubahan sel-sel kanker selanjutnya dapat menyebabkan perdarahan setelah aktivitas sexual atau diantara masa menstruasi (Calvagna, 2007). Keputihan merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera sehabis senggama (disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75-80%) (Calvagna, 2007). Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah makin lama akan lebih sering terjadi, juga diluar senggama (perdarahan spontan). Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut (II atau III), terutama pada tumor yang bersifat eksofitik. Pada wanita usia lanjut yang sudah menopause bilaman mengidap kanker serviks sering terlambat datang meminta pertolongan. Perdarahan sponta saat defekasi akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala, memaksa mereka datang ke dokter. Adanya perdarahan spontan pervaginam saat berdefekasi, perlu dicurigai kemungkinan adanya karsinoma serviks tingkat lanjut. Adanya bau busuk yang khas memperkuat dugaan adanya karsinoma. Anemia yang menyertai sebagai akibat perdarahan pervaginam yang berulang. Rasa nyeri akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf, memerlukan pembiusan umum untuk dapat melakukan pemeriksaan dalam yang cermat, khususnya pada lumen vagina yang sempit dan dinding yang sklerotik dan meradang (Calvagna, 2007). 9

Gejala lain yang dapat timbul ialah gejala-gejala yang disebabkan oleh metastasis jauh. Sebelum tingkat akhir (terminal stage), penderita meninggal akibat perdarahan yang eksesif, kegagalan faal ginjal (CRF=Chronic Renal Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kadung kemih, yang menyebabkan obstruksi total. Membuat diagnosis karsinoma serviks uterus yang klinis sudah agak lanjut tidaklah sulit. Yang menjadi masalah ialah bagaimana mendiagnosis dalam tingkat yang sangat awal, misalnya dalam tingkat pra-invasif, lebih baik bila mendiagnosisnya dalam tingkatan pra-maligna

(displasia/diskariosis serviks) (Calvagna, 2007).

Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut (Calvagna, 2007): 1. Pap smear. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian akibat kanker servikspun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1 kali/tahun. Jika selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil yang normal, Pap smear bisa dilakukan 1 kali/2-3tahun. Hasil pemeriksaan Pap smear menunjukkan stadium dari kanker serviks: a. Normal. b. Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas). c. Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas). d. Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar) e. Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).

10

Gambar 1. Pemeriksaan Pap smear

Gambar 2. Perbedaan gambaran sel serviks normal dan displasia 2. Biopsi. Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika Pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. 3. Kolposkopi. Kolposkopi adalah suatu prosedur pemeriksaan vagina dan leher rahims oleh seorang dokter yang berpengalaman dalam bidang tersebut. Dengan memeriksa permukaan leher rahims, dokter akan menentukan penyebab abnormalitas dari sel-sel leher rahims seperti yang dinyatakan dalam pemeriksaan Pap smear. Cara pemeriksaan kolposkopi adalah sebagai berikut: dokter akan memasukkan suatu cairan kedalam vagina dan memberi warna saluran leher rahims dengan suatu cairan yang membuat permukaan leher rahims yang mengandung sel-sel yang abnormal terwarnai.. Kemudian dokter akan melihat kedalam saluran leher rahims melalui sebuah alat yang disebut

11

kolposkop. Kolposkop adalah suatu alat semacam mikroskop binocular yang mempergunakan sinar yang kuat dengan pembesaran yang tinggi. Jika area yang abnormal sudah terlokalisasi, dokter akan mengambil sampel pada jaringan tersebut (melakukan biopsi) untuk kemudian dikirim ke lab guna pemeriksaan yang mendetail dan akurat. Pengobatan akan sangat tergantung sekali pada hasil pemeriksaan kolposkopi anda. 4. Tes Schiller. Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau kuning. Untuk membantu menentukan stadium kanker, dilakukan beberapa pemeriksan berikut: a. Sistoskopi b. Rontgen dada c. Urografi intravena d. Sigmoidoskopi e. Skening tulang dan hati f. Barium enema

Hasil Pap smear dikatakan abnormal jika sel-sel yang berasal dari leher rahim ketika diperiksa di bawah mikroskop akan memberikan penampakan yang berbeda dengan sel normal. Kejadian ini biasanya terjadi 1 dari 10 pemeriksaan Pap smear. Beberapa faktor yang dapat memberikan indikasi diketemukannya penampakan Pap smear yang abnormal adalah (Calvagna, 2007): 1. Unsatisfactory Pap smear. Pada kasus ini, berarti pegawai di laboratorium tersebut tidak bisa melihat sel-sel leher rahim dengan detail sehingga gagal untuk membuat suatu laporan yang komprehensive kepada dokter. 2. Jika ada infeksi atau inflamasi. Kadang-kadang pada pemeriksaan Pap smear memberikan penampakan terjadinya inflamasi. Ini berarti bahwa sel-sel di dalam leher rahims mengalami suatu iritasi yang ringan sifatnya. Memang kadang-kadang inflamasi dapat kita deteksi melalui pemeriksaan Pap smear, biarpun tidak timbul keluhan karena tidak terasanya gejala klinis yang ditimbulkannya. Sebabnya bermacam-macam. Mungkin telah terjadi infeksi yang dikarenakan oleh bakteri, atau karena jamur.

12

3. Atypia atau Minor Atypia. Yang dimaksud dengan keadaan ini adalah jika pada pemeriksaan Pap smear terdeteksi perubahan-perubahan sel-sel leher rahims, tetapi sangat minor dan penyebabnya tidak jelas. Pada kasus ini, biasanya hasilnya dilaporkan sebagai 'atypia'. Biasanya terjadinya perubahan

penampakan sel-sel tersebut dikarenakan adanya peradangan, tetapi tidak jarang pula karena infeksi virus. Karena untuk membuat suatu diagnosa yang definitif tidak memungkinkan pada tahap ini, dokter anda mungkin akan

merekomendasikan anda untuk menjalani pemeriksaan lagi dalam waktu enam bulan. Pada umumnya, sel-sel tersebut akan kembali menjadi normal lagi.

4. Klasifikasi dan Stadium Stadium Kanker serviks (Benedet et al., 2006) FIGO Stadium 0 Stadium I IA Karsinoma in situ Karsinoma terbatas seluruhnya pada serviks Karsinoma invasif yang didiagnosis secara mikroskopis Daerah invasi dengan kedalaman 3 mm dan lebar 7 IA1 IA 2 mm Daerah invasi dengan kedalaman lebih dari 3 mm dan kurang dari 5 mm dengan lebar 7 mm Karsinoma invasif yang terlihat secara makroskopis atau IB secara mikroskopis lebih luas dari stadium IA2 Lesi kanker kurang dari 4 cm IB1 IB2 Stadium II IIA IIB Stadium III Lesi kanker lebih dari 4 cm Invasi tumor ke uterus tanpa invasi ke dinding pelvis dan sepertiga bawah vagina Tumor tanpa invasi parametrial Tumor dengan invasi parametrial Tumor menyebar ke dinding panggul, sepertiga bagian bawah vagina serta menyebabkan hidronefrosis dan tidak berfungsinya ginjal Tumor menyebar ke sepertiga bagian bawah vagina T2a T2b T3 T1b1 T1b2 T2 T1b T1a2 T1a1 Deskripsi TNM Tis T1 T1a

13

IIIA

tanpa penyebaran ke dinding pelvis Tumor menyebar ke dinding pelvis disertai

T3a

IIIB Stadium IV IVA IVB

hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal Kanker telah menyebar ke daerah tubuh yang lain Kanker telah menyebar ke daerah sekitar serviks seperti kandung kemih atau rektum Kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh

T3b

T4 M1

5.

Tata Laksana Pilihan pengobatan lokal dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya ukuran tumor, stadium, struktur histologis, keterlibatan kelenjar getah bening, faktor risiko, komplikasi dari pembedahan atau radiasi, dan keinginan pasien. Lesi intraepitel dikelola dengan teknik ablatif dangkal, kanker microinvasif yang menyerang kurang dari 3 mm (stadium IA1) dikelola dengan operasi konservatif (excisional conization or extrafascial hysterectomy), kanker invasif awal (stadium IA2 dan IB1 dan sebagian kacil stadium IIA) dikelola dengan operasi radikal atau radioterapi, dan stadium IB2 sampai IVA dikelola dengan radioterapi (Ozols et al., 2001). Stadium pre invasif (Stadium 0) Pasien dengan lesi skuamosa invasif dapat diobati dengan terapi ablatif dangkal (cryosurgery atau terapi laser) atau dengan eksisi loop jika: 1. 2. 3. 4. Seluruh zona transformasi telah divisualisasikan dengan kolposkopi Hasil biopsi sesuai dengan hasil pap smear Temuan kuretase endoserviks negatif Tidak ada kecurigaan dari invasi pada pemeriksaan sitologi maupun kolposkopi Jika pasien tidak memenuhi kriteria, harus dilakukan konisasi (Ozols et al., 2001).

14

Tahap karsinoma mikroinvasif (Stadium IA) Pengobatan standar untuk stadium IA1 adalah histerektomi total atau histerektomi vagina. Diseksi kelenjar getah getah bening pelvis tidak dianjurkan karena resiko metastasisnya kurang dari 1% (Ozols et al., 2001). Indikasi histerektomi adalah wanita yang sudah cukup anak tanpa adanya invasi limfovaskular, sedangkan pada wanita yang masih ingin mempertahankan kesuburan, terapi yang adekuat adalah konisasi dengan simple margin (Perroy dan Kotz, 2010). Untuk pasien dengan stadium IA2, resiko metastasi kelenjar getah beningnya sebesar 5%. Oleh karena itu harus dilakukan limfadenektomi pelvis bilateral (Ozols et al., 2001). Walaupun terapi pembedahan merupakan standar untuk karsinoma in situ dan karsinoma mikroinvasif, pasien dengan masalah medis berat atau kontra indikasi lain dapat diobati dengan radioterapi (Ozols et al., 2001).

Stadium IB dan IIA Karsinoma serviks di awal stadium IB dapat diobati secara efektif dengan gabungan external beam irradiation dan brachiterapi atau dengan histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis bilateral. Tujuan dari kedua perlakukan tersebut adalah untuk menghancurkan sel-sel ganas di leher rahim, jaringan paraservikal, dan kelenjar getah bening regional. Tingkat kelangsungan hidup pada pasien yang diterapi dengan pembedahan maupun radiasi biasanya berkisar antara 80% dan 90%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua terapi sama-sama efektif (Ozols et al., 2001). Pembedahan cenderung lebih disukai wanita muda dengan tumor kecil karena fungsi ovarium masih terjaga. Sedangkan wanita usia tua, wanita pasca menopouse cenderung memilih radioterapi untuk menghindari morbiditas dan prosedur pembedahan besar (Ozols et al., 2001).

Stadium IIB, III, dan IVA Radioterapi merupakan pengobatan lokal utama untuk kebanyakan pasien dengan karsinoma invasif lanjut. Keberhasilan pengobatan tergantung pada keseimbangan antara external beam irradiation dan brachiterapi,

mengoptimalkan dosis untuk tumor dan jaringan normal serta durasi keseluruhan 15

pengobatan. External beam irradiation berguna untuk memberikan dosis homogen untuk karsinoma serviks primer serta jaringan yang berpotensi sebagai tempat penyebaran tumor (Ozols et al., 2001).

Stadium IVB Pasien yang sudah mencapai stadium IVB sebagian besar tidak dapat disembuhkan. Perawatan pasien pada tahap ini harus menekan gejala secara paliatif dengan obat nyeri serta radioterapi lokal. Sel tumor mungkin bisa merespon kemoterapi, namun biasanya responnya singkat (Ozols et al., 2001). Beberapa kemoterapi paliatif yang sering digunakan adalah cisplatin, carboplatin, ifosfamide, placitaxel, irinotecan, vinorelbine, dan gemcitabine (Perroy dan Kotz, 2010). Cisplatin membunuh sel pada semua siklus pertumbuhannya, menghambat biosintesis DNA dan berikatan dengan DNA membentuk ikatan silang (cross linking). Tempat ikatan utama adalah N7 pada guanin, namun juga terbentuk ikatan kovalen dengan adenin dan sitosin. Efek samping utama cisplatin adalah nefrotoksisitas. Hidrasi yang cukup dengan garam fisiologis atau manitol penting untuk mengurangi nefrotroksisitas (Nafrialdi dan Gan, 2007). Dosis terapinya 50 mg/m2 intravena setiap hari selama 3 minggu (Perroy dan Kotz, 2010). Nedaplatin adalah derivat dari cisplatin dengan efektivitas yang sama, dengan efek samping nefrotoksis dan gastrointestinal toksis lebih rendah (Mabuchi dan Kimura, 2010). Penatalaksanaan pada Pasien Hamil Pada pasien hamil dengan displasia, pada umumnya penanganannya ditunda sampai pasien melahirkan. Penanganan pada karsinoma invasif tergantung pada stadium tumor serta umur kehamilan. Jika kanker terdiagnosa sebelum janin matur, maka penanganan kanker sesuai stadiumnya harus segera dilakukan. Pada pasien dengan stadium IA dan IB, penanganannya bisa ditunda, namun pada stadium yang lebih lanjut terapinya tidak boleh ditunda, kecuali diagnosis tegak pada trimester III dan pasien tersebut harus melahirkan secara caesar (Perroy dan Kotz, 2010).

16

Penanganan pada Pasien dengan HIV Kanker serviks pada pasien dengan HIV lebih progresifitasnya lebih tinggi dan prognosisnya lebih buruk dari pada pasien tanpa HIV. Penatalaksaan pada pasien dengan HIV sama dengan pasien tanpa HIV, meskipun responnya biasanya lebih buruk. Sebuah data dari Afrika menunjukkan bahwa kanker serviks merupakan AIDS-defining neoplasm terbanyak pada wanita (Perroy dan Kotz, 2010).

6. Prognosis Faktor prognostik yang mempengaruhi ketahan hidup yaitu, stadium, keadaan kelenjar limfe, ukuran tumor dan kedalaman invasi ke dalam stroma serviks, invasi pembuluh darah limfe serta perluasan dan juga tipe dan derajat gambaran histologinya. Sebagai contoh, setelah operasi radikal pasien dengan stadium penyakit IB atau IIA memiliki ketahanan hidup 5 tahun sekitar 88-96 tanpa keterlibatan kelenjar limfe, dibanding dengan 64-73% pada pasien dengan metastase ke kelenjar limfe (Alan dan Nathan, 2007). Tabel dibawah ini merangkum angka ketahanan hidup berdasarkan stadium penyakit, berdasarkan pada Laporan Tahunan FIGO Mengenai Hasil Penanganan Kanker Ginekologi (Alan dan Nathan, 2007).

Ketahanan Hidup Pasein dengan kanker serviks berdasarkan Stadium FIGO (Alan dan Nathan, 2007) Stadium Jumlah pasien (%) Ketahanan Hidup (%) 1 tahun IA1 IA2 IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVB 869 227 3489 881 2375 160 1949 245 189 99,8 98,2 98,1 94,1 93,3 82,8 81,5 56,1 45,8 2 tahun 99,5 97,7 94,0 85,6 80,7 58,8 62,2 35,6 23,9 5 tahun 98,7 95,9 86,5 68,8 64,7 40,4 43,4 19,5 15,0

17

7. Pencegahan Vaksin telah dikembangkan untuk mencegah infeksi dengan beberapa jenis HPV terkait dengan kanker serviks. Saat ini tersedia vaksin dimaksudkan untuk menghasilkan kekebalan terhadap HPV tipe 16 dan 18, sehingga perempuan yang terkena virus ini tidak mengalami infeksi. 1. Vaksin Gardasil, disebut vaksin quadrivalent karena melindungi terhadap empat tipe HPV: 6, 11, 16, dan 18. Gardasil diberikan melalui serangkaian tiga suntikan ke dalam jaringan otot selama periode 6 bulan. Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui Gardasil untuk digunakan pada wanita untuk pencegahan kanker leher rahim, dan beberapa kanker vulva dan vagina, disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18 dan untuk digunakan dalam pria dan wanita untuk pencegahan kutil kelamin disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11 . Vaksin ini telah disetujui untuk penggunaan pada wanita dan pria usia 9 sampai 26. 2. Cervarix, disebut vaksin bivalen karena target dua jenis HPV: 16 dan 18. Vaksin ini juga diberikan dalam tiga dosis selama periode 6 bulan. FDA telah menyetujui Cervarix untuk digunakan pada perempuan usia 10 sampai 25 untuk pencegahan kanker leher rahim disebabkan oleh HPV tipe 16 dan 18. Baik dari vaksin HPV telah terbukti untuk menyediakan perlindungan yang lengkap terhadap infeksi HPV persisten dengan jenis lain, meskipun beberapa hasil awal menunjukkan bahwa kedua vaksin mungkin menyediakan perlindungan parsial terhadap beberapa tambahan jenis HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks. Secara keseluruhan sekitar 30 persen dari kanker serviks tidak akan dicegah oleh vaksin. Selain itu, dalam kasus Gardasil, 10 persen kutil kelamin tidak akan dicegah oleh vaksin ini. Karena vaksin tidak melindungi terhadap semua infeksi HPV yang menyebabkan kanker serviks, penting bagi perempuan yang divaksinasi untuk terus menjalani skrining kanker serviks seperti yang dianjurkan bagi perempuan yang belum divaksinasi. Vaksin juga sedang dikembangkan untuk mencegah infeksi dengan beberapa jenis HPV lain yang juga menyebabkan kanker. Studi jangka panjang sedang dilakukan untuk melihat bagaimana vaksin ini akan mengurangi risiko kanker serviks (American Cancer Society, 2011).

18

Beberapa vaksin eksperimental juga sedang dipelajari untuk wanita dengan infeksi HPV, untuk membantu sistem kekebalan tubuh mereka menghancurkan virus dan menyembuhkan infeksi sebelum kanker berkembang. Masih ada vaksin lainnya dimaksudkan untuk membantu perempuan yang telah memiliki kanker serviks stadium lanjut yang telah terulang atau metastasis. Vaksin ini berusaha menghasilkan reaksi kekebalan ke bagian-bagian dari virus (E6 dan E7 protein) yang membuat sel kanker serviks tumbuh tidak normal. Diharapkan bahwa kekebalan ini akan membunuh kanker sel atau menghentikan pertumbuhannya (American Cancer Society, 2011). Sebuah penelitian di Korea Selatan mengatakan bahwa aspirin memiliki efek menghambat pertumbuhan sel kanker serviks melalui aktivasi apoptosis (Lee et al., 2008)

19

BAB III KESIMPULAN

1. 2. 3.

Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di negara-negara sedang berkembang Faktor risiko epidemiologis terbesar untuk kanker serviks yaitu infeksi HPV Kanker serviks adalah jenis kanker yang telah diketahui protein karsinogennya yaitu protein E6 dan E7

4.

Faktor risiko yang berkaitan ialah keadaan imunosupresi, infeksi HIV atau memiliki riwayat terkena penyakit menular seksual, merokok, paritas tinggi dan penggunaan kontrasepsi oral

5.

Kanker serviks ditandai dengan perdarahan vagina yang abnormal, keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, coklat, mengandung darah atau hitam serta berbau busuk

6. 7.

Diagnosis ditegakkan dengan Pap smear, biopsi, kolposkopi, dan tes Schiller Pilihan pengobatan lokal dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya ukuran tumor, stadium, struktur histologis, keterlibatan kelenjar getah bening, faktor risiko, komplikasi dari pembedahan atau radiasi, dan keinginan pasien

8.

Faktor prognostik yang mempengaruhi ketahan hidup yaitu, stadium, keadaan kelenjar limfe, ukuran tumor dan kedalaman invasi ke dalam stroma serviks, invasi pembuluh darah limfe serta perluasan dan juga tipe dan derajat gambaran histologinya.

9.

Pencegahan primer yaitu mencegah infeksi HV melalui vaksinasi, sedangkan pencegahan sekunder adalah melalui deteksi dini yang dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya uji sitologi dan uji DNA HPV

20

BAB IV KEPUSTAKAAN

American Cancer Society. 2011. Cervical Cancer. http://www.cancer.org/cancer/cervicalcancer/detailedguide/cervical-cancer-pdf1 (25 April 2011) Alan. H and Nathan L. 2007. Premalignant and malignant disorders of uterine cervix dan chemotherapy for gynecologic cancer . In : Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology Tenth Edition. United States of America: McGrawHill Companies, Inc.p: Aziz M.F. 2001. Masalah pada Kanker Serviks. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran Edisi 133. Jakarta. p: 6 Benedet J. L., Hacker N. F., Ngan H. Y. S (editors). Staging classification and clinical practice guidelines of gynaecologic cancers. Int J Gynaecol Obstet 2000; 20:207. http://www.figo.org/content/PDF/staging-booklet.pdf Calvagna M. 2007. Diagnosis of Cervical Cancer. American Cancer Society website. http://www.cancer.org (2 Mei 2011) Globocan. 2008. International Agency of Research Cancer (IARC) Section of Cancer Information http://globocan.iarc.fr/factsheets/populations/factsheet.asp?uno=900. (21 Mei 2011) Hextan Y. S. Ngan et al. 2011. Review Article: Asia Oceania Guidelines for the implementation of Programs for Cervical Cancer Prevention and Control. J of Cancer Epidemiology. p: 2 Lee S. K., Park M. S., Nam N.J. 2008. Aspirin Has Antirumor Effects via Expression of Calpain Gene in Cervical Cancer Cells. J of Onc Vol 2008. p: 4 Mabuchi S., Kimura T. 2010. Nedaplatin: A Radiosensitizing Agent for Patient with Cervical Cancer. Department of Obstetrics and Gynaecology Osaka University School of Medicine. p: 1 Nafrialdi dan Gan S. 2007. Antikanker. Dalam: Gunawan S.G. (ed). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru. p:746 National Cancer Institute. 2011. Cervical Cancer. http://www.cancer.gov/cancertopics/types/cervical (2 Mei 2011) National Cancer Institute. 2011. Human Papillomavirus (HPV) Vaccines. http://www.cancer.gov/cancertopics/hpv-vaccines/Page1 (21 Mei 201)

21

Novel S.S., Safitri R., Nuswantara S. 2010. Deteksi dini kanker serviks melalui uji sitologi dan uji DNA HPV. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran 175 Vol. 37 No. 2. Jakarta. p: 91. Ozols R. F., Schawartz P. E., Eifel P. J. 2001. Ovarian Cancer, Fallopian Tube Carcinoma, and Peritoneal Carcinoma. In Devita V. T., Hellman S., Rosenberg S. A. Principle and Practice on Oncology 6th Ed. Williams & Wilkins Publishers. p: 1101-9 Perroy A. C., Kotz H. L. 2010. Cervical Cancer. In Abraham J., Allegra C. J., Gulley J. L., Gulley J. Bethesda Handbook of Clinical Oncology Third Edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins. p: 248 Sjamsuddin S. 2001. Pencegahan dan Deteksi Dini Kanker Serviks. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran Edisi 133. Jakarta. pp: 9-10

22

Anda mungkin juga menyukai