Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MENINGIOMA

DISUSUN OLEH :

CICHA SETYANINGTIAS

P1337420616017

PROGRAM STUDI S1 TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG


I. JENIS KASUS
A. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) meningioma adalah tumor yang
berasal dari sel meningothelial (arachnoid) leptomeningen. Tumor ini dapat terjadi
dimana saja sepanjang lokasi sel arachnoid, biasanya menempel pada permukaan
dalam duramater. Meningioma merupakan tumor kedua tersering pada tumor otak,
lebih dari 90% bersifat jinak, pertumbuhannya lambat. Meningioma juga dapat
menunjukkan perilaku agresif, seperti invasi ke otak, duramater, tumbuh berdekatan
dengan tulang dan berisiko rekurensi ( Lewis, 2005 ).
Meningioma sering terjadi pada usia pertengahan dan usia tua dengan usia
puncak 40-44 tahun. Insiden meningioma akan meningkat dengan bertambahnya
usia, terutama usia diatas 65 tahun dan lebih banyak terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki. Meningioma dapat juga terjadi pada anak-anak dan bersifat
lebih agresif (Petter,2007).
Lokasi meningioma sering pada intrakranial, yaitu 85-90% daerah
supratentorial sepanjang sinus vena dural, antara lain daerah convexity (34,7%),
parasagital (22,3%), daerah sayap sphenoid (17,1%). Lokasi meningioma dapat
menyebabkan gejala klinik yang bervariasi dan sangat menentukan prognosis serta
pemilihan terapi, terutama pembedahan (Petter,2007).

B. Klasifikasi
Meningioma dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi tumor, pola
pertumbuhan dan histopatologi. Berdasarkan lokasi tumor dan urutan paling sering
adalah konveksitas, parasagital, tuberkulum sella, falks, sphenoid rigde,
cerebellopontine angle, frontal base, petroclival, fosa posterior, tentorium, middle
fossa, intraventricular dan foramen magnum. Meningioma juga dapat timbul secara
ekstrakranial walaupun sangat jarang, yaitu pada medula spinalis, orbita , cavum
nasi, glandula parotis, mediastinum dan paru-paru (Lewis,2005)
Pola pertumbuhan meningioma terbagi dalam bentuk massa (en masse) dan
pertumbuhan memanjang seperti karpet (en plaque). Bentuk en masse adalah
meningioma globular klasik sedangkan bentuk en plaque adalah tumor dengan
adanya abnormalitas tulang dan perlekatan dura yang luas. Pembagian meningioma
secara histopatologi berdasarkan WHO terdiri dari 3 grading dengan resiko rekuren
yang meningkat seiring dengan pertambahan grading (Petter, 2007). Beberapa
subtipe meningioma antara lain:
Grade I: − Meningothelial meningioma
− Fibrous (fibroblastic) meningioma
− Transitional (mixed) meningioma
− Psammomatous meningioma
− Angiomatous meningioma
– Mycrocystic meningioma
− Lymphoplasmacyte-rich meningioma
− Metaplastic meningioma
− Secretory meningioma
Grade II: − Atypical meningioma
− Clear cell meningioma
− Chordoid meningioma
Grade III: − Rhabdoid meningioma
− Papillary meningioma
− Anaplastic (malignant) meningioma
C. Etiologi
1. Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti
menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan
antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak
jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi
disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang
belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat
dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi
peningkatan insiden meningioma yang signifikan. Pengobatan dengan
menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan resiko terjadinya
meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi radiasi untuk
leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya peningkatan
resiko terjadinya meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain
itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko
terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian yang membuktikan
adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya meningioma setelah
mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia 15 hingga 40 tahun
(Calvocoressi & Claus, 2010; Claus, 2012). Beberapa ciri-ciri untuk
membedakan meningioma spontan dengan akibat paparan radiasi adalah usia
muda saat didiagnosis, periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi
yang relatif tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan
anaplastik (Markus, 2006).

2. Radiasi Telepon Genggam


Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi
radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan atom.
Energi RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan kerusakan
jaringan, namun pengaruhnya terhadap kesehatan masih belum diketahui
secara pasti. Penelitian metaanalisis menemukan bahwa tidak terdapat
hubungan antara penggunaan insiden meningioma.Penelitian metaanalisis lain
yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada 13
negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan antara
penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma (Petter, 2007).

3. Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya meningioma,
meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada
penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya
hubungan dengan terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian juga
menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko
terjadinya meningioma, terutam riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun.
Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan
dari tingkat keparahannya (Markus,2006).

4. Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang
timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita
tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang memicu
perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang. Meningioma sering
dijumpai pada penderita dengan Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu
Kelainan gen autosomal dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi
germline pada kromosom 22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa).
Selain itu, pada meningioma sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti
1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q, 15q,
17q dan 20q (Evans, 2005; Smith, 2011). Penelitian lain mengenai hubungan
antara kelainan genetik spesifik dengan resiko terjadinya meningioma
termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi siklus sel, detoksifikasi dan jalur
metabolisme hormon. Penelitian terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan
GST, yaitu gen yang terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen
endogen dan eksogen. Namun belum dijumpai hubungan yang signifikan
antara resiko terjadinya meningioma dan variasi gen GST atau CYP450.
Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan (Lewis,2005).

5. Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki
memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks. Terdapat laporan
adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi, dan
menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen seperti
kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya
meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada
paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma
berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat
menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi (Petter,2007).

D. Manifestasi Klinis
Gejala umumnya seperti (Petter, 2007):
1. Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau pada
pagi hari.
2. Perubahan mental
3. Kejang
4. Mual muntah
5. Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.

Meningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara tidak
sengaja melalui MRI. Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat hingga tumor dapat
mencapai ukuran yang sangat besar tanpa menimbulkan gejala selain perubahan
mental sebelum tiba-tiba memerlukan perhatian medis, biasanya di lokasi
subfrontal.1 Gejala umum yang sering muncul meliputi kejang, nyeri kepala hebat,
perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan
kabur. Gejala lain yang muncul ditentukan oleh lokasi tumor, dan biasanya
disebabkan oleh kompresi atau penekanan struktur neural penyebab.
 Meningioma falx dan parasagital, sering melibatkan sinus sagitalis superior.
Gejala yang timbul biasanya berupa kelemahan pada tungkai bawah.
 Meningioma konveksitas, terjadi pada permukaan atas otak. Gejala meliputi
kejang, nyeri kepala hebat, defisit neurologis fokal, dan perubahan
kepribadian serta gangguan ingatan. Defisit neurologis fokal merupakan
gangguan pada fungsi saraf yang mempengaruhi lokasi tertentu, misalnya
wajah sebelah kiri, tangan kiri, kaki kiri, atau area kecil lain seperti lidah.
Selain itu dapat juga terjadi gangguan fungsi spesifik, misalnya gangguan
berbicara, kesulitan bergerak, dan kehilangan sensasi rasa.
 Meningioma sphenoid, berlokasi pada daerah belakang mata dan paling
sering menyerang wanita. Gejala dapat berupa kehilangan sensasi atau rasa
baal pada wajah, serta gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan disini
dapat berupa penyempitan lapangan pandang, penglihatan ganda, sampai
kebutaan. Dapat juga terjadi kelumpuhan pada nervus III.
 Meningioma olfaktorius, terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan
otak dengan hidung. Gejala dapat berupa kehilangan kemampuan menghidu
dan gangguan penglihatan.
 Meningioma fossa posterior, berkembang di permukaan bawah bagian
belakang otak terutama pada sudut serebelopontin. Merupakan tumor kedua
tersering di fossa posterior setelah neuroma akustik. 1 Gejala yang timbul
meliputi nyeri hebat pada wajah, rasa baal atau kesemutan pada wajah, dan
kekakuan otot-otot wajah. Selain itu dapat terjadi gangguan pendengaran,
kesulitan menelan, dan kesulitan berjalan.
 Meningioma suprasellar, terjadi di atas sella tursica, sebuah kotak pada
dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari. Gejala yang dominan
berupa gangguan penglihatan akibat terjadi pembengkakan pada diskus
optikus. Dapat juga terjadi anosmia, sakit kepala dan gejala hipopituari.
 Meningioma tentorial. Gejala yang timbul berupa sakit kepala dan tanda-
tanda serebelum.
 Meningioma foramen magnus, seringkali menempel dengan nervus
kranialis. Gejala yang timbul berupa nyeri, kesulitan berjalan, dan
kelemahan otot-otot tangan.
 Meningioma spinal, paling sering menyerang daerah dada terhitung sekitar
25-46% dari tumor spinal primer. Gejala yang timbul merupakan akibat
langsung dari penekanan terhadap medula spinalis dan korda spinalis,
paling sering berupa nyeri radikular pada anggota gerak, paraparesis,
perubahan refleks tendon, disfungsi sfingter, dan nyeri pada dada.
Paraparesis dan paraplegia timbul pada 80% pasien, namun sekitar 67%
pasien masih dapat berjalan.
 Meningioma intraorbital. Gejala yang dominan terutama pada mata berupa
pembengkakan bola mata, dan kehilangan penglihatan.
 Meningioma intraventrikular, timbul dari sel araknoid pada pleksus
koroidales dan terhitung sekitar 1% dari keseluruhan kasus meningioma.
Gejala meliputi gangguan kepribadian dan gangguan ingatan, sakit kepala
hebat, pusing seperti berputar. Selain itu dapat juga terjadi hidrosefalus
komunikans sekunder akibat peningkatan protein cairan otak.

E. Patofisiologi
Mitosis pada meningioma diperkirakan distimulus oleh beberapa jenis protein
growth factors. Beberapa jenis growth factors yang berpengaruh reseptor Epidermal
Growth Factor (EGF), Granulin, Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Vascular
Endothelial Growth Factor (VEGF), Insulin Growth Factor (IGF), Fibroblast Growth
factor (FGF), hormon progesteron dan estrogen. Hormon EGF adalah hormon
polipeptida yang bekerja melalui aktivasi reseptor EGF dan stimulus proliferasi yang
bervariasi baik secara in vivo dan in vitro. Reseptor EGF merupakan glikoprotein
yang terletak ekstraselular. Reseptor ini diperkirakan memiliki peranan dalam regulasi
pembelahan sel dan pertumbuhan tumor. Ekspresi berlebihan dari reseptor EGF telah
terbukti menstimulasi angiogenesis, proliferasi metastase, dan kelangsungan hidup
sel. Peptida lain yang diperkirakan berperan dalam perbaikan jaringan dan
tumorigenesis adalah granulin. Granulin merupakan suatu peptida dari leukosit yang
berfungsi dalam mediasi siklus progresi dan kematian sel epitel dan mesenkim. Pada
penelitian Choong ditemukan bahwa kadar granulin berhubungan dengan ukuran
tumor dan perkembagan edema peritumoral dari meningioma intrakranial. Penemuan
ini menunjukkan bahwa adanya kemungkinan granulin mempengaruhi pertumbuhan
meningioma seperti pada glioma. Peptida lain yang mempengaruhi pertumbuhan sel
adalah FGF yaitu berperan dalam proliferasi sel, apoptosis dan angiogenesis.
Mekanisme pemicu mitosis dari FGF adalah aktivasi dari beberapa kaskade
cytoplasmic serine/ threonine kinase termasuk kaskade p44/42 MAPK/ERK dan jaras
PI3K-AktPRAS40-mTOR dan STAT3.. Mekanisme ini mempengaruhi proliferasi sel
dan apoptosis dari banyak tumor ganas solid termasuk meningioma. Namun ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kegunaan kemoterapi terhadap
reseptor ini dan regulasinya dalam pertumbuhan meningioma (Johnson, 2010). Telah
diketahui bahwa IGF-II berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan normal
fetus. Pada penelitian ditemukan adanya hubungan antara ekspresi IGF-II dengan
agresivitas dari pertumbuhan meningioma, namun masih memerlukan penelitian lebih
lanjut (Nordqvist, 1997). Protein dan mRNA dari PDGF-B diekspresikan secara luas
oleh jaringan meningioma secara luas, namun peranan fungsionalnya belum dapat
dijelaskan secara mendetail (Shamah, 1997). VEGF berfungsi memediasi
angiogenesis pada tumor otak. Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang kuat
antara ekspresi VEGF dan neovaskularisasi pada meningioma. Pada prinsipnya VEGF
diatur oleh faktor transkripsi hypoxia inducible factor-1 (HIF-1). Tampak bahwa
HIF-1 dan VEGF meningkat pada emboli meningioma.56
Data memberi kesan bahwa VEGF memiliki fungsi lain selain angiogenesis
pada meningioma, seperti merangsang pertumbuhan tumor. PDGF-B dihipotesakan
memicu produksi VEGF dalama meningkatkan proliferasi pembuluh darah dan
pertumbuhan tumor (Reinhard, 2004).

F. Pemeriksaan Penunjang
Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari
meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan gambaran
radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading dari meningioma hanya
dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan histologi (Sidharta,2008).
1. CT Scan
Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika
dibandingkan dengan jaringan otak normal. Seringkali tumor juga
memberikan gambaran berlobus dan kalsifikasi pada beberapa kasus.1 Edema
dapat bervariasi dan dapat tidak terjadi pada 50% kasus karena pertumbuhan
tumor yang lambat, tetapi dapat meluas. Edema lebih dominan terjadi di
lapisan white matter dan mengakibatkan penurunan densitas. Perdarahan,
cairan intratumoral, dan akumulasi cairan dapat jelas terlihat. Invasi sepanjang
dura serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteblas yang
menyebabkan hiperostosis pada 25% kasus. Gambaran CT scan paling baik
untuk menunjukan kalsifikasi dari meningioma. Penelitian membuktikan
bahwa 45% proses kalsifikasi adalah meningioma.

2. MRI
Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens
pada sisanya jika dibandingkan dengan jaringan otak normal. Kelebihan MRI
adalah mampu memberikan gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3
dimensi, membedakan tipe jaringan ikat, kemampuan multiplanar dan
rekonstruksi. MRI dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor, pembesaran
arteri, invasi sinus venosus, dan hubungan antara tumor dengan jaringan
sekitarnya.
Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular,
menilai aliran darah sinus dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika
direncakan dilakukan embolisasi preoperasi untuk mengurangi resiko
perdarahan intraoperatif.
Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan
nekrosis sentral seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada
sekitar 15% kasus meningioma. Meningioma malignan sering menunjukan
gambaran destruksi tulang, nekrosis, gambaran iregular, dan edema yang luas.
Diagnosis banding secara radiografi meliputi metastasis dural, tumor
meningeal primer lain, granuloma dan aneurisma. Metastasis seringkali
dikaitkan dengan edema luas dan destruksi tulang sementara meningioma
dikaitkan dengan edema sedang dan hiperostosis (Reinhard,2004).

3. Histopatologi
Meningioma intrakranial banyak ditemukan di regio parasagital,
selanjutnya di daerah permukaan konveks lateral dan falx cerebri. Di kanalis
spinalis meningioma lcbih sering menempati regio torakal. Pertumbuhan
tumor ini mengakibatkan tekanan hebat pada jaringan sekitamya, namun
jarang menyebuk ke jaringan otak. Kadang-kadang ditemukan fokus-fokus
kalsifikasi kecil-kecil yang berasal dari psammoma bodies, bahkan dapat
ditemukan pembentukan jaringan tulang baru.
Secara histologis, meningioma biasanya berbentuk globuler dan
meliputi dura secara luas. Pada permukaan potongan, tampak pucat translusen
atau merah kecoklatan homogen serta dapat seperti berpasir. Dikatakan
atipikal jika ditemukan proses mitosis pada 4 sel per lapangan pandang
elektron atau terdapat peningkatan selularitas, rasio small cell dan nukleus
sitoplasma yang tinggi, uninterupted patternless dan sheet-like growth.
Sedangkan pada anaplastik akan ditemukan peningkatan jumlah mitosis sel,
nuklear pleomorphism, abnormalitas pola pertumbuhan meningioma dan
infiltrasi serebral. Berdasarkan gambaran umum histology, ada 3 subtipe
meningioma yaitu meningotelial (syncytial), transsisional, dan meningioma
fibroblastic.

4. Pemeriksaan Imonohistokimia
Imunohistokimia dapat membantu diagnosis meningioma. Pada pasien
dengan meningioma, 80% menunjukkan adanya epithelial membrane antigen
(EMA) yang positif. Stain negatif untuk anti-Leu 7 antibodi (positif pada
Schwannomas) dan glial fibrillary acidid protein (GFAP). Reseptor
Progesteron dapat ditemukan dalam sitosol dari meningioma. Bisa juga
terdapat reseptor hormon sex yang lain. Reseptor somatostatin juga ditemukan
konsisten pada meningioma. (Husain, 2003).

G. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya
adalah memutuskan diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa
meningioma sering timbul tanpa gejala, hadir tiba-tiba dengan kejang, atau
melibatkan struktur tertentu sehingga reseksi hampir mustahil dilakukan. Tumor jenis
ini tidak memerlukan intervensi segera dan dapat dipantau bertahun-tahun tanpa
menunjukan pertumbuhan yang berarti. Jika pasien menunjukan gejala yang
signifikan seperti hemiparesis, atau ada progresi yang jelas terlihat melalui pencitraan
radiologi, maka diperlukan intervensi segera. Sampai saat ini, penatalaksanaan yang
paling penting adalah dengan pembedahan. (Sidharta, 2008)
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer untuk meningioma.
Tujuan utamanya adalah mengangkat jaringan tumor sebanyak-banyaknya
tanpa kehilangan fungsi otak. Eksisi komplit dapat menyembuhkan
kebanyakan meningioma. Faktor-faktor yang berperan dalam pembedahan
meliputi lokasi dari tumor, defisit nervus kranialis preoperasi, vaskularitas,
invasi dari sinus venosus, dan keterlibatan arteri. Reseksi sebagian dapat
menjadi pilihan jika pengangkatan seluruh tumor dapat mengakibatkan
kehilangan banyak fungsi otak.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, meningioma digolongkan
ke dalam 3 grup berdasarkan resiko pembedahannya. Cara
penggolongannya menggunakan algoritme CLASS, yakni Comorbidity
(komorbiditas), Location (lokasi), Age (umur pasien) Size (ukuran tumor),
Symptoms and signs (tanda dan gejala). Grup 1 dengan skor CLASS lebih
dari +1, memiliki angka keberhasilan yang tinggi, yakni pada 98,1%
kasus. Grup 2 dengan skor 0 sampai -1 memiliki hasil yang buruk pada
sekitar 4% kasus. Sementara grup 3 dengan skor di bawah -2 memiliki
hasil paling buruk yakni 15% dari seluruh kasus.
Teknik terbaru saat ini adalah dengan memanfaatkan rekonstruksi 3
dimensi dengan komputer untuk membantu ahli bedah dalam
merencanakan prosedur operasi. MRI intraoperasi dapat menunjukan
gambaran langsung selama pembedahan. Embolisasi preoperasi dilakukan
untuk mengurangi vaskularitas tumor, memfasilitasi pengangkatan tumor,
dan mengurangi resiko perdarahan. Embolisasi pada ekor dura dapat
mengurangi resiko kekambuhan. Namun prosedur ini tidak banyak
dilakukan mengingat tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas maupun
personel yang terlatih dalam bidang ini.
Tindakan pembedahan mampu menghilangkan beberapa gejala
neurologis, kecuali neuropati kranial yang seringkali sulit dihilangkan.
Angka morbiditas akibat pembedahan bervariasi antara 1-14%. Setelah
reseksi komplit, angka kekambuhan untuk meningioma grade rendah
adalah sekitar 20% dalam 5 tahun pertama dan 25% dalam 10 tahun. Jika
tumor muncul kembali, harus dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi
ulang. Secara umum, angka harapan hidup 5 tahun untuk pasien berusia di
bawah 65 tahun adalah sekitar 80%, dan menurun mendekati 50% untuk
pasien di atas 65 tahun. (Markus,2006)

2. Radioterapi
Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah
tindakan pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal atau malignan.
Radioterapi digunakan sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai
melalui pembedahan atau ada kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.
Regresi total terlihat pada 95% pasien dalam 5 tahun pertama dan 92%
dalam 10 dan 15 tahun setelah dilakukan radioterapi dengan atau tanpa
eksisi subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada pasien yang
dilakukan kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara
pada pasien yang hanya dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu
kekambuhan sekitar 125 bulan pada pasien yang mendapat terapi
kombinasi dan 66 bulan pada pasien yang menjalani reseksi subtotal saja.
Pada tumor malignan, angka harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan
dan radiasi adalah 28%. Angka kekambuhan tumor maligna adalah 90%
setelah reseksi subtotal dan 41% setelah terapi kombinasi.
Radiosurgery Stereotactic menggunakan berbagai sinar radiasi yang
terfokus untuk secara akurat menggunakan satu penatalaksanaan dosis
tinggi, di satu sisi juga meminimalkan efek pada jaringan normal yang
berdekatan. Hal ini sangat menguntungkan pada pasien dengan kondisi
yang kurang baik untuk dilakukannya pembedahan. Tetapi terapi ini
biasanya hanya digunakan pada ukuran tumor yang besar n ya kurang dari
3 centimeter.
Untuk Tumor Jinak dapat juga dilakukan embolisasi preoperasi untuk
mengurangi supply darah ke tumor. Embolisasi ini dapat dilakukan
bersamaan dengan diagnosis Angiography. Hal ini dilakukan supaya
Tumor mengalami necrosis, dan memperluas bagian dari Meningioma
yang dapat dengan aman di reseksi selama Operasi (Petter,2007)

3. Terapi Medis
Interferon saat ini sedang diteliti sebagai inhibitor angiogenesis.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghentikan pertumbuhan
pembuluh darah yang mensuplai tumor. Interferon dapat dipertimbangkan
pada pasien yang mengalami kekambuhan dan meningioma maligna.
Hidroxyurea dan obat-obat kemoterapi lain diyakini dapat memulai proses
kematian sel atau apoptosis pada sebagian meningioma. Namun pada uji
coba klinis, obat ini dianggap gagal karena meningioma bersifat
kemoresisten. Inhibitor dari receptor progesteron seperti RU-486 juga
sedang dievaluasi sebagai pengobatan untuk meningioma. Namun
percobaan klinik terbaru, RU-486 tidak menunjukan perbaikan apapun.
Begitu juga dengan terapi antiestrogen yang tidak menunjukan perbaikan
nyata ssecara klinis pada percobaan. Beberapa agen molekular seperti
penghambat receptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growth
Factor Receptor / EGFR), inhibitor receptor faktor pertumbuhan derivat
platelet (Platelet Derived Growth Factor Receptor / PDGFR), dan
penghambat tirosin kinase masih diuji coba secara klinis. Kebanyakan uji
coba ini terbuka untuk pasien dengan meningioma yang tidak dapat
dioperasi atau yang mengalami kekambuhan.7 Kortikosteroid dapat
digunakan untuk mengontrol edema sekitar tumor namun tidak dapat
digunakan dalam jangka panjang karena efek sampingnya yang merugikan
(Sidharta,2008)
Tergantung pada lokasi dari tumor, gejala yang ditimbulkan, dan
keinginan pasien, beberapa meningioma dapat ditunggu dan dipantau
secara hati-hati dan teliti.
H. Komplikasi
Komplikasi operasi termasuk kerusakan jaringan otak di sekitarnya yang
normal, perdarahan, dan infeksi. Tumor akan dapat datang kembali. Risiko ini
tergantung pada seberapa banyak tumor yang telah dioperasi dan apakah itu jinak,
atipikal, atau ganas. Jika tumor tidak dihilangkan sepenuhnya dengan operasi, terapi
radiasi sering direkomendasikan setelah operasi untuk mengurangi risiko itu datang
kembali (Petter,2007).

I. Prognosis
Tindakan operasi : Untuk tumor di lokasi yang tidak berbahaya, hingga 85% dari
meningioma dapat disembuhkan dengan operasi. Sebagian besar tingkat keberhasilan
ditentukan oleh kondisi pasien sebelum operasi, lokasi dan besar tumor.
Lokasi, jumlah tumor yang tersisa setelah operasi, dan keterampilan ahli bedah saraf
adalah elemen penting dalam memprediksi hasil yang sukses
Tindakan radiasi : Radiosurgery stereotactic menghentikan pertumbuhan meningioma
di hingga 80 persen dari kasus ( Petter,2007)
J. PATHWAYS (Terlampir)
K. MASALAH / DIAGNOSA
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologis (neoplasma)
2. Gangguan mobilitas fisik b.d
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
4. Kerusakan integritas jaringan b.d prosedur bedah
INTERVENSI DAN RASIONALISASI

No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasionalisasi


. Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah diberikan asuhan NIC :
keperawatan selama
3x24 jam, nyeri yang Pain Managemen
dirasakan klien
1. Lakukan pengkajian 1. Untuk mengetahui tingkat
berkurang dengan criteria
nyeri secara nyeri pasien
hasil :
komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik,
NOC label : Pain durasi, frekuensi,
Control kualitas dan faktor
presipitasi 2. Untuk mengetahui tingkat
2. Observasi reaksi ketidaknyamanan
 Klien melaporkan nyeri
nonverbal dari dirasakan oleh pasien
berkurang
ketidaknyamanan
 Klien dapat mengenal 3. Gunakan strategi 3. Untuk mengalihkan
lamanya (onset) nyeri komunikasi terapeutik perhatian pasien dari rasa
untuk mengungkapkan nyeri
 Klien dapat pengalaman nyeri dan
menggambarkan faktor penerimaan klien 4. Agar klien mampu
penyebab terhadap respon nyeri menggunakan teknik
4. Ajarkan cara penggunaan nonfarmakologi dalam
 Klien dapat terapi non farmakologi memanagement nyeri yang
menggunakan teknik (distraksi, guide dirasakan
non farmakologis imagery,relaksasi)

 Klien menggunakan
analgesic sesuai
instruksi Analgesic Administration
1. Pemberian analgetik
1. Kolaborasi pemberian dapat mengurangi rasa
Pain Level
analgesic nyeri pasien

 Klien melaporkan
nyeri berkurang

 Klien tidak tampak


mengeluh dan
menangis
 Ekspresi wajah klien
tidak menunjukkan
nyeri

 Klien tidak gelisah

2. Ketidakefekti Setelah mendapat 1. Monitor daerah yang 1. Untuk menegtahui apakah


fan perfusi tindakan keperawatan hanya peka terhadap sirkulasi baik
jaringan selama 3 x 24 jam, panas/dingin 2. Menegtahui apakah ada
cerebral NOC : 2. Monitor adanya paratese luak atau laserasi
Circulation status 3. Instruksikan kelarga 3. Untuk mengurangi
Tissue perfussion : untuk mengobservasi tekanan intracranial
cerebral kulit ada luka atau 4. Untuk mengurangi nyeeri
Mendemonstrasikan laserasi akibat peregrakan
status sirkulasi yang 4. Batasi gerak kepala,
ditandai
leher, punggung
 Tekanan sistol dan 5. Kolaborasie pemberian
diastoe sesuai yang
analgetik
diharapkan
6. Monitor tromboplebitis
 Tidak ada
ortostatistikhipertensi

 Tidak ada tanda


peningkatan tekanan
intrakranial

Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai

 Berkomuniksi dgn
jelas dan sesuai
kemampuan

 Menunjukan
perhatian,
konsentrasi, orientasi

 Menunjukan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh
3. Gangguan Setelah diberikan asuhan Monitor vital sign Untuk mengetahui
keperawatan selama 3 x perkembangan sesudah dan
mobilitas
24 jam diharapkan pasien Konsultasikan dengan terapi sebelum mobilisasi
fisik tentang rencana
ambulasi Agar pasien dapat memenuhi
 Joint movement :
activy kebutuhan akan mobilisasi
Bantu klien menggunakan
 Mobility level
alat bantu Agar menegrti tingkat
 Self care : ADLs
 Transfer performance kemampuan pasien menegnai
Kaji kemampuan pasien mobilisasi
Kriteria hasil : mobilisasi
 Klien meningkat Agar terhindar dari kekakuan
dalam aktivitas fisik Latih pasien dalam otot
 Mengerti tujuan dan pemenuhan kebutuhan
oeningkatan mobilitas ADLs
 Memverbalisasikan
perasaan dalam Ajarkan merubah posisi
meningkatkan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
 Memperagakan
penggunaan walker

4. Kerusakan Setelah dilakukan asuhan NIC Skin care: Topical 1. Mengevaluasi status
keperawatan selama 3x treatments  kerusakan kulit sehingga
integritas
24 jam diharapkan 1. Pantau perkembangan dapat memberikan
jaringan kerusakan kulit klien
integritas jaringan tidak intervensi yang tepat.
mengalami kerusakan setiap hari.
lebih jauh, dengan 2. Keadaan yang lembab dapat
2. Cegah penggunaan linen meningkatkan
kriteria hasil :
bertekstur kasar dan jaga perkembangbiakan
agar linen tetap bersih, mikroorganisme dan untuk
NOC Tissue Integrity:
tidak lembab, dan tidak mencegah terjadinya lesi
Skin & mucous
kusut. kulit akibat gesekan dengan
membrane
linen.
3. Lakukan perawatan kulit
 Temperatur kulit secara aseptik 2 kali 3. Untuk meningkatkan proses
normal sehari. penyembuhan lesi kulit serta
mencegah terjadinya infeksi
 Sensasi kulit normal sekunder.

 Kulit elastis

 Hidrasi kulit adekuat NIC Wound care  1. Memonitor karakteristik


luka dapat membantu
 Warna kulit normal 1. Monitor karakteristik perawat dalam
luka, meliputi warna, menentukan perawatan
 Bebas lesi jaringan ukuran, bau dan luka dan penangan yang
pengeluaran pada luka sesuai untuk pasien
 Kulit intak (tidak ada
2. normal salin adalah cairan
eritema dan nekrosis) 2. Bersihkan luka dengan fisologis yang mirip
normal salin dengan cairan tubuh
NOC Wound healing :
primary intention sehingga aman digunakan
3. Lakukan pembalutan
untuk membersihkan dan
pada luka sesuai dengan
merawat luka.
 Tidak ada perluasan kondisi luka
3. permbalutan luka
tepi luka dilakukan untuk
4. Pertahankan teknik steril
dalam perawatan luka mempercepat proses
 Tidak ada eritema di
pasien penutupan luka. Pemilihan
daerah sekitar luka
bahan dan cara balutan
disesuaikan dengan jenis
luka pasien.
4. perawatan luka dengan
tetap menjaga kesterilan
dapat menghindarkan
pasien dari infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Black, Peter, et al. 2007. Meningiomas : Science and Surgery. Clinical


Neurosurgery. vol 54 chapter 16 p. 91-99.

Nurarif, Amin Huda & Hardi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta : Percetakan
Medication Publishing

Rowland, Lewis P, ed. 2005. Merritt’s Neurology. 11th ed. New York : Lippincott
Williams & Wilkins.

Riemenschneider, Markus J, et al. 2006. Histological Classification and Molecular


Genetics of Meningiomas. The Lancet Neurology. December vol 5 p. 1045-1054.
Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan 13.
Jakarta : Dian Rakyat.

Rohkamm, Reinhard. 2004. Color Atlas of Neurology. Stuttgart : Thieme.

Anda mungkin juga menyukai