OLEH :
D-IV
KEPERAWATAN TK. 2,
SEMESTER IV
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2015/2016
C. Etiologi
a. Radiasi Ionisasi
Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti
menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung
hubungan antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-
tahun telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan
tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi
base-pair dan kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum
replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan
insiden meningioma yang signifikan (Calvocoressi & Claus, 2010).
Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan
resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis
memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya meningioma
terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain itu, paparan radiasi
untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko terjadinya
meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012) yang
membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya
meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali
antara usia 15 hingga 40 tahun (Calvocoressi & Claus, 2010; Claus,
2012).Beberapa ciri-ciri untuk membedakan meningioma spontan
dengan akibat paparan radiasi adalah usia muda saat didiagnosis,
periode latensi yang pendek, lesi multipel, rekurensi yang relatif
tinggi, dan kecenderungan meningioma jenis atipikal dan anaplastik
(Calvocoressi & Claus, 2010).
b. Radiasi Telepon Genggam
Radiasi yang dihasilkan oleh telepon genggam adalah energi
radiofrequency (RF) yang tidak menyebabkan ionisasi molekul dan
atom. Energi RF berpotensi menimbulkan panas dan menyebabkan
kerusakan jaringan, namun pengaruhnya terhadap kesehatan masih
belum diketahui secara pasti. Penelitian metaanalisis yang dilakukan
oleh Lahkola et al (2005) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan
antara penggunaan insiden meningioma.Penelitian metaanalisis lain
yang lebih besar yaitu penelitian INTERPHONE yang dilakukan pada
13 negara juga memberikan laporan bahwa tidak dijumpai hubungan
antara penggunaan telepon genggam dan insiden meningioma
(Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007; Calvocoressi & Claus, 2010).
c. Cedera Kepala
Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu
resiko terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian
tidak konsisten. Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan
fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al
(2002) juga menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera
kepala dengan resiko terjadinya meningioma, terutama riwayat cedera
pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan
banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat
keparahannya (Wiemels, 2010; Phillips, 2002).
d. Genetik
Umumnya meningioma merupakan tumor sporadik yaitu tumor yang
timbul pada pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan
penderita tumor otak jenis apapun. Sindroma genetik turunan yang
memicu perkembangan meningioma hanya beberapa dan jarang.
Meningioma sering dijumpai pada penderita dengan
Neurofibromatosis type 2 (NF2), yaitu Kelainan gen autosomal
dominan yang jarang dan disebabkan oleh mutasi germline pada
kromosom 22q12 (insiden di US: 1 per 30.000-40.000 jiwa). Selain
itu, pada meningioma sporadik dijumpai hilangnya kromosom, seperti
1p, 6q, 10, 14q dan 18q atau tambahan kromosom seperti 1q, 9q, 12q,
15q, 17q dan 20q (Evans, 2005; Smith, 2011). Penelitian lain
mengenai hubungan antara kelainan genetik spesifik dengan resiko
terjadinya meningioma termasuk pada perbaikkan DNA, regulasi
siklus sel, detoksifikasi dan jalur metabolisme hormon. Penelitian
terbaru fokus pada variasi gen CYP450 dan GST, yaitu gen yang
terlibat dalam metabolisme dan detoksifikasi karsinogen endogen dan
eksogen. Namun belum dijumpai hubungan yang signifikan antara
resiko terjadinya meningioma dan variasi gen GST atau CYP450.
Penelitian lain yang berfokus pada gen supresor tumor TP53 juga
tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Lai, 2005; Malmer,
2005; Choy, 2011).
e. Hormon
Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki
memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks. Terdapat
laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus
menstruasi, dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna
hormon eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti
dengan resiko timbulnya meningioma memberikan hasil yang
kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen
memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan
status menopause, paritas, dan usia pertama saat menstruasi, tetapi
masih menjadi kontroversi (Wiemels, 2010; Barnholtz-Sloan, 2007;
Taghipour, 2007).
D. Klasifikasi
WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang
telah diketahui, termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe
sel dan derajat pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop.
Penatalaksanaannya pun berbeda-beda di tiap derajatnya.
a. Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat . Tumor tidak menimbulkan
gejala, mungkin pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan
MRI secara periodik. Jika tumor semakin berkembang, maka pada
akhirnya dapat menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah
dapat direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi
dengan tindakan bedah dan observasi secara berterusan.
b. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini
tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan mempunyai
angka kekambuhan yang lebih tinggi juga. Pembedahan adalah
penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya
membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan.
c. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut
meningioma malignant atau meningioma anaplastik. Meningioma
malignant terhitung kurang dari 1 % dari seluruh kejadian
meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaan yang pertama
untuk grade III diikuti dengan terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi
tumor, dapat dilakukan kemoterapi.
F. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum
jelas. Kaskade eikosanoid diduga memainkan peranan dalam
tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral. Dari lokalisasinya
Sebagian besar meningioma terletak di daerah supratentorial. Insidens
ini meningkat terutama ada daerah yang mengandung granulatio
Pacchioni. Lokalisasi terbanyak pada daerah parasagital dan yang paling
sedikit pada fossa posterior.
Tumor otak menyebabkan timbulnya ganguan neurologik progresif.
Gejala-gejalanya timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga
menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan penderita.
Gejala-gejala sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu.
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan
oleh dua faktor : gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan
intra kranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada
jaringan otak, dan infiltrasi atau infasi langsung pada parenkim otak
dengan kerusakan jaringan neural. Disfungsi terbesar terjadi pada tumor
infiltratif yang tumbuh paling cepat (glioblastoma multiforma).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan
mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron
dihubungkan dengan kompresi, infasi, dan perubahan suplai darah ke
jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan
parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis
fokal.
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti
halnya faktor etiologi lainnya mekanisme hormon sex hingga memicu
meningioma hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pada sekitar 2/3
kasus meningioma ditemukan reseptor progesterone. Tidak hanya
progesteron, reseptor hormon lain juga ditemukan pada tumor ini
termasuk estrogen, androgen, dopamine, dan reseptor untuk platelet
derived growth factor. Beberapa reseptor hormon sex diekspressikan
oleh meningioma. Dengan teknik imunohistokimia yang spesifik dan
teknik biologi molekuler diketahui bahwa estrogen diekspresikan dalam
konsentrasi yang rendah. Reseptor progesteron dapat ditemukan dalam
sitosol dari meningioma. Reseptor somatostatin juga ditemukan
konsisten pada meningioma.
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi
dibandingkan pada meningioma soliter. Reseptor progesteron yang
ditemukan pada meningioma sama dengan yang ditemukan pada
karsinoma mammae. Jacobs dkk (10) melaporkan meningioma secara
bermakna tidak berhubungan dengan karsinoma mammae, tapi beberapa
penelitian lainnya melaporkan hubungan karsinoma mammae dengan
meningioma.
Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat
dan tidak menginvasi otak maupun medulla spinalis. Stimulus hormon
merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan meningioma.
Pertumbuhan meningioma dapat menjadi cepat selama periode
peningkatan hormon, fase luteal pada siklus menstruasi dan kehamilan.
G. Penatalaksanaan Medis
a. Operatif
Penatalaksanaan meningioma terganting dari lokasi dan ukuran
tumor itu sendiri. Terapi meningioma masih menempatkan reseksi
operatif sebagai pilihan pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi
operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan
konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf. dan pada
kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih
jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah berdasarkan faktor
resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya
mengangkat selurah tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak,
dan tulang untuk menurunkan kejadian rekurensi.
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian
antikonvulsan dapat segera diberikan, deksametason diberikan dan
dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa hari sebelum operas!
dilaksanakan. Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai
profilaksis pada semua pasien untuk organisme stafilokokkus, dan
pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki aktifitas terhadap
organisem pseudomonas, serta pemberian inetronidazol (untuk
organisme anaerob) ditambalikan apabila operas! direncanakan dengan
pendekatan melalui mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid.
Klasifikasi penatalaksanaan dari ukuran reseksi pada meningioma
intracranial:
1. Grade I : Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang
abnormal
2. Grade II : Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura
3. Grade III : Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi
dari perlekatan dura, atau mungkin perluasan ekstradural
( misalnya sinus yang terserang atau tulang yang
hiperostotik)
4. Grade IV : Reseksi parsial tumor
5. Grade V : Dekompresi sederhana (biopsy)
b. Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma
semakin banyak dipakai untuk terapi. External beam irradiation
dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk melanjutkan terapi
operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik
yang didaliului dengan operasi sebelumnya ataupun tidak, Pada
kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena lokasi yang
sulit, keadaan pasien yang buruk, atau pada pasien yang menolak
dilakukan operasi, external beam irradiation masih belum
menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir menyatakan terapi
external beam irradiation tampaknya akan efektif pada kasus
meningioma yang agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi
yang mendukung teori ini belurn banyak dikemukakan .
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan
pertimbangan koraplikasi yang ditimbulkan terutama pada
meningioma. Saraf optikus sangat rentan mengalami kerusakan
akibat radioterapi. Koraplikasi lain yang dapat ditimbulkan berupa
insufisiensi pituitari ataupun nekrosis akibat radioterapi.
c. Radiasi Stereotoktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1960an menggunakan alat Harvard proton
beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik radioterapi ini semakin
banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang
digunakan didapat melalui teknik yang bervariasi, yang paling sering
digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co gamma (gamma
knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton,
ion helium) dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan
stereotaktik ini dapat mengurangi kornplikasi, terutama pada lesi
dengan diameter kurang dari 2,5 cm.
Steiner dan koleganya menganalisa pasien meningioma yang
diterapi dengan gamma knife dan diobservasi selama 5 tahun.
Mereka menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat
dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan
pengontrolan pertumbuhan tumor dalam 2 tahun pada 96 % kasus.
Bara-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99
pasien yang diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan
pengontrolan pertumbuhan tumor sekitar 93 % kasus dengan 61 %
massa tumor mengecil. Kejadian defisit neurologis baru pada pasien
yang diterapi dengan stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 % .
d. Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih
belum banyak diketahui efikasinya untuk terapi meningioma jinak
maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk rekuren
meningioma atipikal atau jinak barn sedikit sekali diaplikasikan pada
pasien, tetapi terapi menggunakan regimen kemoterapi (baik
intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine (DTIC) dan
adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte
dan Yung), walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik
pada tumor jaringan lunak. Laporan dari Chamberlin pemberian
terapi kombinasi menggunakan cyclopliosphamide, adriamycin, dan
vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata
sekitar 5,3 tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti
hydroxyurea sedang dalam penelitian. Pertumbuhan sel pada
meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan menginduksi
apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan
dilaporkan pada satu kasus pemberian hydroxyurea ini memberikan
efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan meningioma yang
tidak dapat direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat
memperpanjang waktu terjadinya rekurensi pada kasus meningioma
yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang menimbulkon
toksisitas dibanding pemberian dengan kemoterapi.
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada
kasus dengan meningioma. Preparat yang dipakai biasanya
tamoxifen (anti estrogen) dan mifepristone (anti progesteron).
Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari dan dilanjiitkan 10
mg 2 kali/hari) telah digunakan oleh kelompok onkolologi
Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit dilakukan
reseksi dan refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien,
stabilisasi sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon
minimal atau parsial pada tiga pasien .
Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone
(RU486) 200 mg perhari selama 2 hingga 31 bulan. Pada studi yang
pertama didapatkan 5 dari 14 pasien menunjukkan perbaikan secara
objektif yaitu sedikit pengurangan massa tumor pada empat pasien
dan satu pasien gangguan lapang pandangnya membaik walaupun
tidak terdapat pengurangan massa tumor; terdapat
pertumbuhan ulang pada salah satu pasien tersebut. Pada studi yang
kedua dari kelompok Netherlands dengan jumlah pasien 10 orang
menunjukkan pertumbuhan tumor berlanjut pada empat pasien, stabil
pada tiga pasien, dan pengurangan ukuran yang minimal pada tiga
pasien. Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan
jumlah sampel yang lebih besar pada meningioma tetapi sampai
sekarang belum ada terapi yang menjadi prosedur tetap untuk terapi
pada tumor ini .
H. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa meningioma dapat ditentukan atas beberapa pemeriksaan sebagai
berikut:
a. Elektroensefalografi (EEG)
Tumor otak memberi EEG abnormal pada 75-85% dari kasus dan
15 - 25% dari penderita dengan tumor otak mempunyai EEG yang
normal. Tumor otak sendiri tidak memberi aktivitas listrik
abnormal. Hanya neuron-neuron yang membuat ini pada daerah
dekat tumor menjadi abnormal sedemikian rupa sehingga
hypersyndironisasi dari pelepasan-pelepasan listrik dari beribu-
ribu atau berjuta-juta sel saraf membentuk gelombang lanibat atau
gelombang runcing pada EEG. Mungkin tumor ini memberi
kelainan metabolik dari neuron-neuron didekatnya, mungkin
dengan tekanan langsung, oedema atau raengacau (merusak)
innervasi daerahnya. Meningoma raenunjukkan sedikit
abnormalitas pada E.E.G. Pada kasus-kasus didapatkan 53%
dengan focus abnormal. Pada meningioma intraventriculer enam
dari delapan kasus menunjukkan EEG yang abnormal.
b. Foto Tengkorak
Beberapa sarjana menyatakan bahwa perubahan-perabahan dari X
foto tengkorak pada meningioma 22,5% adalah normal, 75,5%
abnormal. Kelainan radiologis tersebut adalah:
1. Hyperostosis : 25% - 44,1 %
2. Pembesaran dari canalis yang dilalui oleh arteri
meningiamedia (foramen Spinosum): 25%
3. Perkapuran dari tumor : 3% — 20%
4. Kerusakan dari tulang : 1,5% -16,1%
5. Pembuatan specule : 4,3% adalah pembuatan tulang-tulang
baru sebagai tiang yang ramping tegak lurus pada
permukaan tulang yang normal.
6. Penebalan tulang yang difus
7. Hyperostosis dan kalsifikasi tumor terutama
Psammomatous merupakan tanda yang paling penting untuk
diagnosa meningioma disamping peningkatan vascularisasi
dan kerusakan tulang. Hiperostosis adalah salah satu
gambaran mayor dari meningioma pada foto polos.
Diindikasikan untuk tumor pada meninx. Tampak erosi
tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi dan
lesi litik pada tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh
darah meninx menggambarkan dilatasi arteri meninx yang
mensuplai darah ke tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-
25% kasus dapat bersifat fokal maupun difus .
c. Angiografi
Kelainan pembuluh darah yang paling khas pada meningioma
adalah adanya pembuluh darah yang meraberi darah pada
neoplasma oleh cabang-cabang arteri sistim karotis ekstema. Bila
mendapatkan arteri karotis ekstenia yang memberi darah ke tumor
yang letaknya intrakranial maka ini mungkin sekali neningioma.
Umumnya meningioma merupakan tumor vascular. Dan dapat
menimbulkan gambaran "spoke wheel appearance". Selanjutnya
arteri dan kapiler memperlihatkan gambaran vascular yang
homogen dan prominen yang disebut dengan mother and law
phenomenon. Meningioma menunjukkan ciri-ciri paling khas
sebagai berikut:
1. Mendapat darah dari sistem carotis eksterna.
2. Homogenous akan tetapi sharphy sircumscribed cloud, yaitu
adanya tumor cloud yang homogen dari cairan kontras pada
selurah tumor. Batas vaskuler intrinsik dari meningioma
sering jelas sekali dan konfigurasinya berbentuk bulat-
bulatan (lobulated)
3. Tetap adanya cairan kontras dalam tumor. Terdapat tetap
adanya tumor cloud untuk waktu yang agak lama pada
serialogram. Tumor Stain masih terlihat pada film terakhir
ialah delapan sampai sembilan detik setelah permulaan dari
injeksi cairan kontras.
d. Pneumoensefalografi atau Ventrikulografi
Pneumografi dapat menunjukkan paling jelas tumor
intraventrikuler dan tumor yang letaknya dalam, dekat pada
ventrikel atau mengadakan invasi pada straktur di garis tengah
(invading midline structures).
e. Brain Scan
Brain scan biasanya kurang cermat untuk diagnosa dari tumor
yang tumbuh lambat dan berasal dari glia. Mungkin tak lebih dari
separo menunjukkan Brainscan yang positif. Keterbatasan atau
kejelekan dari radionucleide brainscan ini ialali tak dapat
memberi petunjuk yang dapat dipercaya mengeiiai jenis atau
maeam nature dari lesi. la hanya menunjukkan suatu daerah
dengan uptake yang abnormal dalam kepala, yang dapat sebagai
neoplasma, vaskuler, radang atau trauma. la tak memberi
informasi mengenai status dari otak dan derajad dari deformitas
atau adanya edema otak, dilatasi ventrikel atau tekanan
intrakranial yang tinggi. Dalam hal ini, C.T. scan dari otak lebih
superior dibandingkan dengan isotop brain scan.
f. Pembiakan jaringan (Tissue Culture)
Sejak tahun 1928 pembiakan jaringan meningioma telah
dilakukan, tetapi tidak didapatkan bentuk-bentuk pertunibuhan,
sampai COSTERO dkk pada th 1955 mendapatkan pertunibuhan
meningioma whorls yang khusus. Bentuk whorls tidak selaiti
didapatkan pada semua pembiakan jaringan meningioma, tetapi
whorls ini merupakan tanda khas adanya meningioma dan tidak
pernah didapatkan pada tumor-tumor yang lain baik intra maupun
ekstraserebral. Menurat U.I.C.C. (Unio Intemationalis Contra
Cancrum) gambaran histopatologi sebagai berikut:
1. Epitheloid
2. Meningotheliomatous
3. Endotheliomatous
4. Fibroblastic / Fibromatous
5. Psammomatous
Dalam mendiagnosis suatu tumor otak, selain klinis, peranan radiologi
sangat besar. Dahulu angiografi, kemudian CT Scan dan terakhir MRI;
terutama untuk tumor-tumor di daerah fossa posterior, karena CT Scan
sukar mendiagnosis tumor otak akibat banyaknya artefak, sekalipun
dengan kontras. Dengan MRI suatu tumor dapat dengan jelas tervisualisasi
melalui di potongan 3 dimensi, sehingga memudahkan ahli bedah saraf
untuk dapat menentukan teknik operasi atau menentukan tumor tersebut
tidak dapat dioperasi mengingat risiko/komplikasi yang akan timbul.
a. Foto polos
Hiperostosis adalah salah satu gambaran mayor dari meningioma
pada foto polos. Di indikasikan untuk tumor pada mening. Tampak
erosi tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi dan lesi
litik pada tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh darah mening
menggambarkan dilatasi arteri meningea yang mensuplai darah ke
tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-25% kasus dapat bersifat fokal
maupun difus.
b. CT scan
Meningioma mempunyai gambaran yang agak khas tetapi tidak
cukup spesifik apabila diagnosis tanpa dilengkapi pemeriksaan
angiografi dan eksplorasi bedah. Angiografi penting untuk
menentukan suplai pembuluh darah ke meningiomanya dan untuk
menilai efek di sekitar struktur arteri dan venanya.
CT tanpa kontras
Kebanyakan meningioma memperlihatkan lesi hiperdens yang
homogen atau berbintik-bintik, bentuknya reguler dan berbatas tegas.
Bagian yang hiperdens dapat memperlihatkan gambaran
psammomatous calcifications. Kadang-kadang meningioma
memperlihatkan komponen hipodens yang prominen apabila disertai
dengan komponen kistik, nekrosis, degenerasi lipomatous atau
rongga-rongga.
a. Status Mental
Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien
stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami
perubahan.
b. Fungsi Intelektual
Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan
kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada beberapa kasus
klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu
nyata.
c. Kemampuan Bahasa
Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah
hemisfer yang dominan pada bagian posterior dari girus
temporalis superior (area Wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau
bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari
girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia
ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar.
Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara
yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot
yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien
mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
d. Lobus Frontal
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan
jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi
mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam
lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman,
lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustrasi dalam program rehabilitasi
mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh
respons alamiah klien terhadap penyakit katastrofik ini.
Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan,
frustrasi, dendam, dan kurang kerja sama.
e. Hemisfer
Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri
tubuh, penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap
sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang
berlawanan tersebut. Pada stroke hemifer kiri, mengalami
hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati,
kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global,
afasia, dan mudah frustrasi.
1) Reflek Fisiologis
a) Reflek patella
Pasien bebaring terlentang lutut diangkat keatas fleksi
kurang lebih dari 300. tendon patella (ditengah-tengah
patela dan Tuberositas tibiae) dipukul dengan reflek
hamer. respon berupa kontraksi otot guardrisep femoris
yaitu ekstensi dari lutut.
b) Reflek Bisep
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900
supinasi dan lengan bawah ditopang ada atas (meja
periksa) jari periksa ditempat kan pada tendon m.bisep
(diatas lipatan siku) kemudian dipukul dengan reflek
hamer.normal jika ada kontraksi otot biceps, sedikit
meningkat bila ada fleksi sebagian ada pronasi,
hiperaktif maka akan tejadi penyebaran gerakan-gerakan
pada jari atau sendi.
c) Reflek trisep
Lengan bawah disemifleksikan, tendon bisep dipukul
dengan dengan reflek hamer (tendon bisep berada pada
jarak 1-2 cm diatas olekronon) respon yang normal
adalah kontraksi otot trisep, sedikit meningkat bila ada
ekstensi ringan dan hiperaktif bila ekstensi bila ekstensi
siku tersebut menyebar keatas sampai ke otot – otot
bahu.
d) Reflek Achiles
Posisi kaki adalah dorso fleksi untuk memudah kan
pemeriksaan reflek ini kaki yang diperiksa
diletakan/disilangkan diatas tungkai bawah kontral
lateral.tendon achiles dipukul dengan reflek hamer,
respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.
e) Reflek Superfisial
- Reflek kulit perut
- Reflek kremeaster
- Reflek kornea
- Reflek bulbokavernosus
- Reflek plantar
2) Reflek Patologis
a) Babinski
Merupakan reflek yang paling penting ia hanya
dijumpai pada penyakit traktus kortikospital.
c. Rangsangan Meningeal
Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada
meningitis) dilakukan pemeriksaan :
1) Kaku kuduk
Bila leher di tekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga
dagu tidak dapat menempel pada dada --- Kaku kuduk
positif (+)
2) Tanda Brudzunsky I
Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala klien dan
tangan lain di dada klien untuk mencegah badan tidak
terangkat. Kemudian kepala klien di fleksikan kedada
secara pasif. Brudzinsky I positif (+)
3) Tanda Brudzinsky II
Tanda brudzinsky II positif (+) bila fleksi klien pada sendi
panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya pada sendi panggul dan lutut.
4) Tanda kerniq
Fleksi tungkai atas tegak lurus,lalu dicoba meluruskan
tungkai bawah pada sendi lutut normal-,bila tungkai
membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas. Kerniq +
bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit tibia
ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap
hambatan.
5) Test lasegue
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan
menimbulkan nyeri sepanjang Mischiadicus.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d penurunan
aliran darah ke otak
2. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan neuromuskular
3. Nyeri akut b/d agens cedera biologis
4. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b/d
ketidakmampuan untuk mencerna makanan
5. Resiko dekubitus b/d imobilitas fisik
6. Resiko jatuh b/d gangguan kesadaran
C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC)
Keperawatan Hasil (NOC)
1. Resiko NOC NIC
ketidakefektifan 1. Circulation Status Cerebral Perfusion Promotion
perfusi jaringan 2. Tissue prefusion: 1. Konsultasi dengan dokter
serebral cerebral untuk menemukan parameter
hemodinamik dan menjaga
Kriteria Hasil : parameter hemodunamik
1. Mendemonstrasikan dalam kisaran normal
status sirkulasi yang 2. Induksi hipertensi dengan
ditandai dengan: ekspansi volume atau
2. Tekanan systole dan inotropik atau agen
diastole dalam vasokonstriksi , seperti yang
rentang yang diperintahkan untuk
diharapkan mempertahankan parameter
3. Tidak ada ortostatik
hemodinamik dan
hipertensi
4. Tidak ada tanda- memelihara /
tanda peningkatan mengoptimalkan tekanan
tekanan intrakranial perfusi serebral
(tidak lebih dari 15 3. Kelola dan titrasi obat
mmHg) vasoaktif , seperti yang
5. Mendemonstrasikan diperintahkan , untuk
kemampuan kognitif mempertahankan parameter
yang ditandai hemodinamik
dengan: 4. Kelola agen untuk
6. Berkomunikasi memperluas volume
dengan jelas sesuai intravaskular , yang sesuai
dengan kemampuan ( mis , coloid , produk
7. Menunjukkan darah , dan kristaloid )
perhatian, 5. Kelola volume expander
konsentrasi, dan untuk mempertahankan
orientasi parameter hemodinamik ,
8. Memproses seperti yang diperintahkan
informasi 6. Monitor waktu prothrombin
9. Membuat keputusan (PT) dan waktu
dengan benar tromboplastin parsial (PTT) ,
10. Menunjukkan fungsi jika menggunakan hetastarch
sensori motori sebagai volume ekspander
cranial yang utuh: 7. Kelola agen rheologic ( mis ,
tingkat kesadaran manitol dosis rendah atau
membaik, tidak ada dekstran dengan berat
gerakan gerakan molekul rendah ) , seperti
involunter yang diperintahkan
8. Jaga tingkat hematokrit
sekitar 33 % untuk terapi
hemodilusi hipervolemi
9. Keluarkan darah pasien ,
sesuai , untuk
mempertahankan tingkat
hematokrit di kisaran yang
diinginkan
10. Pertahankan tingkat glukosa
serum dalam kisaran normal
11. Konsultasi dengan dokter
untuk menentukan
penempatan optimal kepala
tempat tidur ( mis , 0 , 15 ,
30 , derajat ) dan monitor
respon pasien terhadap posisi
kepala
12. Hindari fleksi leher atau
pinggul / lutut
13. Jaga tingkat pCO2 pada 25
mmHg atau lebih besar
14. Kelola calcium channel
blockers . seperti yang
diperintahkan
15. Kelola vasopressin , seperti
yang diperintahkan
16. Kelola dan pantau efek
diuretik osmotik dan loop -
aktif dan kortikosteroid
17. Kelola obat nyeri , yang
sesuai
18. Kelola obat antikoagulan ,
seperti yang diperintahkan
19. Kelola obat antiplatelet ,
seperti yang diperintahkan
20. Kelola obat trombolitik ,
seperti yang diperintahkan
21. Monitor PT pasien dan PTT
untuk menjaga satu sampai
dua kali normal, sesuai
22. Pantau efek samping terapi
antikoagulan
23. Monitor tanda-tanda
perdarahan (misalnya , tes
feses dan NG drainase untuk
darah )
24. Pantau status neurologis
25. Hitung dan memantau CPP
26. Monitor ICP pasien dan
respon neurologis
27. Monitor tekanan arteri rata-
rata ( MAP )
28. Pantau CVP
29. Monitor PAWP dan PAP
30. Monitor status pernapasan
( mis , tingkat , irama , dan
kedalaman respirasi ;
tekanan oksigen parsial ,
pCO2 , pH , dan tingkat
bikarbonat )
31. Auskultasi suara paru untuk
crackles atau suara adventif
lainnya
32. Monitor tanda-tanda
overload cairan ( mis ,
ronki , distensi vena
jugularis ( IVD ) , edema ,
dan peningkatan sekresi paru
)
33. Pantau penentu pengiriman
oksigen jaringan ( e , g .
PaCO2 . SaO2 , dan kadar
hemoglobin dan curah
jantung ) , jika tersedia
34. Pantau nilai-nilai
laboratorium untuk
perubahan oksigenasi atau
keseimbangan asam-basa ,
yang sesuai
35. Pantau asupan dan output
Intracranial Pressure (ICP)
Monitoring
1. Bantu dengan perangkat
monitoring ICP penyisipan
2. Berikan informasi kepada
pasien dan keluarga / orang
lain yang signifikan
3. Kalibrasi transduser
4. Pantau kualias dan
karakteristik gelombang ICP
5. Monitor tekanan perfusi
serebral
6. Pantau status neurologis
7. Monitor ICP pasien dan
respon neurologis
8. Monitor jumlah, tingkat , dan
karakteristik cairan
serebrospinal ( CSF )
drainase
9. Pantau dan output
10. Jaga sterilitas sistem
pemantauan
11. Monitor tekanan tubing
untuk gelembung udara ,
puing-puing , atau darah
beku
12. Ubah transduser , sistem
flush , dan drainase bag ,
seperti yang ditunjukkan
13. Dapatkan sampel CSF
drainase , yang sesuai
14. Pantau suhu dan hitung
WBC
15. Periksa kaku kuduk pasien
16. Kelola antibiotic
17. Posisikan pasien dengan
kepala dan leher dalam
posisi netral , hindari fleksi
hip ekstrim
18. Sesuaikan kepala tempat
tidur untuk mengoptimalkan
perfusi serebral
19. Monitor efek rangsangan
lingkungan pada ICP
20. Ubah prosedur penyedotan
untuk meminimalkan
peningkatan ICP dengan
pengenalan kateter ( mis ,
memberikan lidokain)
21. Monitor kadar CO2 dan jaga
dalam parameter yang
ditentukan
22. Pertahankan tekanan arteri
sistemik dalam jangkauan
tertentu
23. Kelola agen farmakologis
untuk mempertahankan ICP
dalam jangkauan tertentu
Neurologic Monitoring
1. Pantau ukuran pupil, bentuk,
simetri, dan reaktivitas
2. Pantau tingkat kesadaran
3. Monitor tingkat orientasi
4. Pantau tingkat kesadaran
pasien
5. Monitor tanda-tanda vital
6. Monitor status pernapasan
7. Monitor parameter
hemodinamik invasif, yang
sesuai
8. Monitor ICP Dan CPP
9. Pantau refleks kornea
10. Monitor batuk dan refleks
muntah
11. Monitor otot dan gerakan
motoric
12. Pantau kekuatan
cengkeraman
13. Pantau adanya tremor
14. Pantau simetri wajah
15. Monitor tonjolan lidah
16. Pantau gangguan visual:
diplopia, nistagmus,
pemotongan visual lapangan,
penglihatan kabur, dan
ketajaman visual
17. Perhatikan keluhan sakit
kepala
18. Pantau respon terhadap
rangsangan: verbal, taktil,
dan berbahaya
19. Pantau paresthesia: mati rasa
dan kesemutan
20. Pantau indra penciuman
21. Monitor respon Babinski
22. Pantau respon terhadap obat
23. Tingkatkan frekuensi
pemantauan neurologis ,
yang sesuai
24. Hindari aktivitas yang
meningkatkan tekanan
intrakranial
Vital Sign Monitoring
1. Monitor TD, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
4. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
5. Monitor suara paru
6. Monitor pola pernapasan
abnormal
7. Monitor suhu, warna dan
kelembaban kulit
8. Monitor sianosis perifer
9. Monitor adanya cushing
triad (tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
10. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
Analagesic Administration
1. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
2. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi.
3. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
4. Tentukan pilihan analgesik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
5. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal.
6. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
7. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali.
8. Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
9. Evaluasi efektivitas
analgesik, tanda dan gejala.
4. Ketidakseimba NOC NIC
ngan nutrisi 1. Nutritional Status Nutrition Management
kurang dari 2. Nutritional Status : food 1. Kaji adanya alergi makanan
kebutuhan and fluid intake 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
tubuh 3. Nutritional Status : untuk menentukan jumlah
nutrient intake kalori dan nutrisi yang
4. Weight control dibutuhkan pasien
3. Anjurkan pasien untuk
Kriteria Hasil : meningkatkan Intake Fe
1. Adanya peningkatan 4. Anjurka pasien untuk
berat badan sesuai meningkatkan protein dan
tujuan vitamin C
2. Berat badan ideal sesuai 5. Berikan substansi gula
6. Yakiknkan diet yang dimakan
dengan tinggi badan
3. Mampu mengandung tinggi serat
mengidentifikasikan untuk mencegah konstipasi
7. Berikan makanan yang
kebutuhan nutrisi
terpilih (sudah
4. Tidak ada tanda-tanda
dikonsultasikan dengan ahli
malnutrisi
gizi
5. Menunjukkan
8. Ajarkan pasien bagaimana
peningkatan fungsi
cara membuat catatan
pengecapan dari
makanan harian
menelan 9. Monitor jumlah nutrisi dan
6. Tidak terjadi penurunan
kandungan kalori
berat badanyang berarti 10. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
11. Kaji kemampuan pasien untuk
mendapatkan nutrisi yang
dibutuhan
Nutition Monitoring
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
aktivitas yang biasa
diakukan
4. Monitor interaksi anak dan
orang tua selamamakan
5. Monitor lingkungan selera
makan
6. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
7. Monitor kulit keringdan
perubahan pigmentasi
8. Monitor turgor kulit
9. Monitir kekeringan, rambut
kusam, dan mudah patah
10. Monitor mual dan muntah
11. Monitor kadar albumin,
kadar protein
12. Lepaskan impaksi tinja
secara manual, jika perlu
13. Timbang pasien secara
teratur
14. Ajarkan pasien atau keluarga
tentang proses pencarian
yang normal
15. Ajarkan pasien/keluarga
tentang kerangka waktu
untuk resolusi sembelit
5. Resiko NOC NIC
dekubitus 1. Tissue Integrity : skin Bed Rest Care
and mucous 1. Jelaskan alasan untuk
2. Wound healing : membutuhkan istirahat
primary and secondary 2. Hindari menggunakan seprei
intention bertekstur kasar
3. Jaga sprei bersih, kering, dan
Kriteria hasil : terhindar dari kerutan
1. Perfusi jaringan normal 4. Tempatkan meja samping
2. Tidak ada tanda-tanda tempat tidur dalam
infeksi jangkauan pasien
3. Ketebalan dan tekstur 5. Ubah posisi pasien
jaringan normal setidaknya setiap 2 jam
4. Menunjukkan 6. Monitor kondisi kulit
pemahaman dalam 7. Lakukan latihan ROM pasif
proses, perbaikan kulit dan aktif
dan mencegah 8. Pantau komplikasi tirah
terjadinya cidera baring (mis, hilangnya tonus
5. Menunjukkan terjadinya otot, sakit punggung,
proses penyembuhan sembelit, peningkatan stres,
luka depresi, kebingungan,
perubahan siklus tidur,
infeksi saluran kemih,
kesulitan dengan buang air
kecil, pneumonia)
Pressure Management
1. Bantu pasien bergerak
setidaknya setiap 2 jam
2. Monitor kulit untuk daerah
kemerahan dan kerusakan
3. Pantau mobilitas dan
aktivitas pasien
4. Gunakan perangkat yang
tepat untuk menjaga tumit
dan tonjolan tulang dari
tempat tidur
5. Pantau status gizi pasien
6. Monitor sumber tekanan dan
gesekan
6. Resiko jatuh NOC NIC
1. Trauma risk for Fall Prevention
2. Injury risk for 1. Mengidentifikasikan defisit
kognitif atau fisik pasien
Kriteria hasil yang dapat meningkatkan
1. Keseimbangan: potensi jatuh dalam
kemampuan untuk lingkungan tertentu.
mempertahankan 2. Mengidentifikasikan
ekuilibrium perilaku dan faktor yang
2. Gerakan mempengaruhi resiko jatuh
terkoordinasi: 3. Mengidentifikasikan
kemampuan otot karakteristik lingkungan
untuk bekerja sama yang dapat meningkatkan
secara volunter untuk potensi untuk jatuh
melakukan gerakan (misalnya lantai licin. tangga
yang bertujuan terbuka dan lain-lain)
3. Perilaku pencegahan 4. Sarankan perubahan dalam
jatuh: tindakan gaya berjalan
individu atau pemberi 5. Mendorong pasien untuk
asuhan untuk mengunakan tongkat atau
meminimalkan faktor alat pembantu berjalan
6. Kunci roda dari kursi roda,
resiko yang dapat
tempat tidur, atau brankar
memicu jatuh
selama transfer pasien
dilingkungan individu 7. Tempat artikel mudah
4. Kejadian jatuh : tidak
diangkau dari pasien
ada kejadian jatuh 8. Ajarkan pasien bagaimana
5. Pengetahuan : jatuh untuk meminimalkan
pemahaman cedera
pencegahan jatuh 9. Memantau kemampuan
pengetahuan untuk mentransfer dari
keselamatan anak fisik tempat tidur ke kursi dan
6. Pengetahuan: demikian pula sebaliknya
kemanan pribadi 10. Gunakan teknik yang tepat
7. Pelanggaran untuk mentransfer pasien ke
perlindungan tingkat dan dari kursi roda, tempat
kebingungan akut tidur, toilet, dan sebagainya
8. Tingkat agitasi\ 11. Menyediakan toilet
9. Komunitas ditinggikan untuk
pengendalian resiko memudahkan trnsfer
10. kekerasan 12. Menyediakan kursi dari
11. Komunitas ketinggian yang tepat,
pengendalian resiko dengan sandaran dan
12. Gerakan terkoordinasi sandaran tangan untuk
13. Kecenderungan resiko memudahkan transfer
pelarianuntuk kawin 13. Menyediakan tempat
14. Kejadian terjun tidurkasur dengan tepi yang
15. Mengasuh erat untuk memudahkan
keselamatan fisik transfer
remaja 14. Gunakan rel sisi ranjang
16. Mengasuh bayi/balita yang sesuai dengan tinggi
keselamatan fisik utnuk mencegah jatuh dari
17. Perilaku keselamatan temoat tidur, sesuai
pribadi kebutuhan
18. Keparahan cedera 15. Memberikan pasien
fisik tergantung dengan sarana
19. Pengendalian resiko bantuanpemanggilan
20. pengendalian resiko (misalnya bel,atau cahaya
penggunaan alkohol, panggilan) ketika penjaga
narkoba tidak ada
21. Pengendalian resiko : 16. Membatu toileting
pencahayaan sinar seringkali, interval
matahari dijadwalkan
22. Deteksi resiko 17. Menandai amang pintu dan
23. Lingkugan rumah tepi langkah sesuai
aman kebutuhan
24. Aman berkeliaran 18. Hapus dataran rendah
25. Zat penarikan perabotan (misalnya
keparahan tumpuan atau tabel) yang
26. Integritas jaringan : enimbulkan bahaya
kulit dan membran tersandung
mukosa 19. Hindari kekacauan pada
27. Perilaku kepatuhan permukaan lantai
20. Memberikan pencahayaan
visi
yang memadai untuk
meningkatkan visibilitas
21. Menyediakan lampu malam
disamping tempat tidur
22. Menyediakan pegangan
angan terlihat memegang
tiang
23. Menyediakan lajur anti
tergelinsir, permukaan lantai
notrip/tidak tersandung
24. Menyediakan permukaan
nonslip/anti tergelincirdi
bak mandi atau pancuran
25. Menyediakan kokoh, tinja
curam nonslip untuk
memfasilitasi jangkauan
mudah
26. Pastikan pasien yang
memakai sepatu yang pas,
kecangkan aman, memiliki
sol tidak mudah tergelincir
27. Anjurkan pasien utnuk
memakai kacamata sesuai
ketika keluar dari tempat
tidur
28. Memdidik anggota keluarga
tentang resiko yang
berkontribusi terhadap jatuh
dan bagaimana mereka dapat
menurunikan resiko tersebut
29. Sarankan adaptasi rumah
untuk meningkatkan
keselamatan
30. Intruksikan keluarga pada
pentingnya pegangan tangan
untuk kamar mandi, tangga,
dan trotoar
31. Sarankan alas kaki yang
aman
32. Mengembangkan cara untuk
pasien berpartisipasi
keselamatan dalam kegiatan
rekreasi
33. Lembaga program latihan
rutin fisik yang meliputi
berjalan
34. Tanda-tanda psting untuk
mengingatkan staf bahwa
pasien yang beresiko tinggi
untuk jauh
35. Berkolaborasi dengan
anggota tim kesehatan
lainnya untuk meminimalkan
efek samping dari obat yang
berkontribusi terhadap
jatuh : (misalnya hipotensi
ortostatik dan kiprah goyah)
36. Memberikan pengawasan
yang ketat dan/perangkat
penahan.
Referensi
Pembimbing Akademik / CT
( )
NIP.