Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENUGASAN I

MENINGIOMA

DISUSUN OLEH:

Lalu Wisnu R Danu N (H1A018053)

PEMBIMBING:

Dr. Isna Nintyastuti, Sp.M

DALAM RANGKA PENUGASAN MAHASISWA BLOK XIX

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN AJARAN 2020/2021


A. PENDAHULUAN

Meningioma merupakan tumor predominan jinak yang berasal dari sel meningotel
arakhnoid.Tumor ini biasanya terjadi pada orang dewasa dan sering melekat pada dura
mater.Meningioma dapat ditemukan di sepanjang permukaan eksternal otak dan juga di
dalam sistem ventrikel. Tumor ini memiliki gejala yang nonlokal dan tidak jelas, atau
gejala lokal yang disebabkan oleh penekanan pada jaringan otak di sekitarnya. Prognosis
keseluruhan ditentukan oleh ukuran dan lokasi lesi, kemungkinan dilakukan pembedahan,
dan derajat histologisnya (Kumar, Cotran dan Robbin, 2013)
Meningioma memiliki insiden sekitar 7 per 100.000 orang pertahun, dan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan bisa mencapai 2 kali lebih banyak pada
perempuan.Di Amerika Serikat kejadian meningioma mencapai 7,44 kasus per 100.000
penduduk. Kejadian meningioma di Amerika Serikat lebih banyak terjadi pada
perempuan yaitu sekitar 8,44 per 100.000 penduduk sedangkan laki-laki sekitar 3,76 per
100.000 penduduk pada tahun 2017. Insiden meningioma menurut usia meningkat dari
0,14 per 100.000 orang pada anak-anak usia 0-19 tahun menjadi 37,75 per 100.000 pada
usia 75-84 tahun. Kecenderungan perempuan terkena meningioma diperkirakan
karenakadar hormon seks endogen dan akan meningkat selama masa subur (Arinda,
Susanti and Indra, 2019).
B. ISI

1. Definisi
Meningioma adalah tumor di sistem saraf pusat yang paling sering terjadiusia
dewasa pertengahan hingga akhir dan berasal dari lapisan arakhnoid yaitu sel
meningothelial. Sembilan puluh persen meningioma bersifat jinak, 6% atipikal, dan 2%
ganas.Meningioma umumnya terjadi di intrakranial, intraspinal, dan orbita. Lokasi yang
jarang ditemukan adalah intraventrikular dan epidural (Janah, Rujito and Wahyono,
2020). Meningioma biasanya diberi nama berdasarkan lokasi ditemukannya. Misalnya,
meningioma yang berbatasan dengan tulang sphenoid antara lobus frontal dan temporal
disebut sphenoid ridge meningioma. Meningioma diklasifikasikan menjadi grade I, grade
II, dan grade III oleh WHO (Aman et al., 2016).

2. Etiologi
Etiologi dari meningioma belum dapat dipastikan namun diduga faktor genetik
memiliki hubungan dengan kejadian meningioma dan radiasi serta hormon seks sebagai
faktor resiko.Studi epidemiologi telah menunjukkan tingkat prevalensi yang lebih tinggi
meningioma pada wanita. Faktor genetik terkait dengan mutasi genetik berupa inaktivasi
gen NF 2 pada kromosom 22q sering dikaitkan dengan kejadian meningioma, sedangkan
tipe 1 NF tidak terkait. Penyebab lingkungan, radiasi pengion, dan hormon eksogen juga
telah berkorelasi dengan meningioma intrakranial dalam beberapa penelitian sebelumnya
(Wu, 2014).

3. Epidemiologi
Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering dengan
perkiraan sekitar 13-26% dari total tumor primer intrakranial. Angka kejadian dari
meningioma adalah 6/100.000 dengan kejadian paling banyak terdapat pada usia lebih
dari 50 tahun. Rasio antara perempuan dibanding laki laki adalah 2:1. 2-3% dari populasi
memiliki meningioma tanpa adanya keluhan dan 8% dengan meningioma multiple.
Sedangkan frekuensi meningioma di afrika hampir 30% dari semua tumor intrakranial
primer. Mayoritas meningioma yang telah terkonfirmasi adalah jinak dengan 1,7% ganas
(Baldi et al., 2018)

C. PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI

Meningioma biasanya berasal dari sel cap arachnoid meningothelial.Meningioma


sebagian besar bersifat sporadis, jinak, dan tumbuh perlahan.Pada meningioma, terjadi satu
atau lebih delesi kromosom fokal, namun dapat mengalami mutasi yang multiple yang
akhirnya menjadi meningioma ganas.Semakin banyak mutasi genetik dikaitkan dengan
percepatan pertumbuhan dan peningkatan kelas tumor. Berikut adalah hal hal terkait dengan
pertumbuhan dan perkembangan meningioma:

1. Mutasi genetik pada kromosom 22 di neurofibromatosis tipe 2


Keadaan ini adalah salah satu predisposisi paling umum yang terlihat pada meningioma
sporadis.Hampir semua meningioma terkait dengan NF2. Gen NF2 mengkode merlin
(protein) penekan tumor. Hilangnya alel pada 22q12 mengakibatkan hilangnya produk
gen NF2 merlin atau neurofibromin 2(Choy et al., 2011).
2. DAL-1
Setelah peran merlin dalam meningioma diketahui, dilakukan studi lanjutan tentang
family protein 4.1 yang secara struktural homolog dan secara fungsional mirip dengan
protein merlin.Produk gen NF2 memiliki anggota dari superfamili protein 4.1 yang
berhubungan dengan membran sel / sitoskeleton, dan hilangnya ekspresi protein 4.1B
atau penghapusan gen ditemukan pada 60-70% meningioma terlepas dari kelas tumornya.
Gen DAL-1 terletak di 18p11.3 dan mengkode protein 4.1B. Sejumlah penelitian telah
mengimplikasikan protein 4.1B sebagai supresor tumor potensial pada meningioma,
pengatur proliferasi dan apoptosis. Kehilangan protein 4.1B telah dibuktikan pada
meningioma pada tingkat DNA , tingkat RNA dan pada tingkat protein(Choy et al.,
2011).
3. Perubahan genetik yang kompleks
Meningioma atipikal dan anaplastik menunjukkan perubahan genetik yang jauh lebih
kompleks daripada yang jinak, dengan kehilangan pada 1p, 10q, 14q, dan yang lebih
jarang pada 6q dan 18q.Nilai yang lebih tinggi juga dikaitkan dengan perolehan
kromosom pada 1q, 9q, 12q, 15q, 17q, dan 20q. Selain perubahan genetik ini,
meningioma anaplastik menunjukkan kehilangan lebih sering pada 6q, 10q, 14q, dan 9p,
dengan amplifikasi pada 17q23(Shibuya, 2014).
4. Kelainan kromosom 14
Kehilangan kromosom 14q telah dilaporkan pada meningioma derajat yang lebih tinggi
serta pada meningioma berulang karena diduga bahwa kromosom 14q mengandung gen
penekan tumor(Choy et al., 2011).
5. Meningioma non-NF2
Di antara tumor dasar tengkorak, sebagian besar meningioma yang tidak terkait dengan
NF2 terletak di dasar tengkorak medial, sedangkan dasar tengkorak lateral dan posterior
mengalami mutasi NF2 atau hilangnya kromosom 22(Shibuya, 2014).
6. Meningioma dapat menunjukkan gambaran yang berbeda tergantung pada jenis kelamin
pasien, dan protein ELAVL4 mungkin terlibat dalam patogenesis meningioma pada
pasien laki-laki(Shibuya, 2014).

Gambar 1.Perubahan genetik yang mendasari pembentukan dan perkembangan


meningioma (Choy et al., 2011)
D. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis meningioma, bergantung pada lokasinya.Meningioma biasanya


berkembang lambat dan asimptomatis jika ukuran tumor kecil.Banyak yang ditemukan
secara kebetulan pada pencitraan otak.Meskipun tidak ada presentasi patognomonik
meningioma, gejala klinis sakit kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial seperti
nyeri kepala, mual muntah, kejang, penurunan visus sampai kebutaan.Keluhan dapat juga
disertai dengan defisit neurologis fokal (termasuk saraf kranial) atau kejang umum dan
parsial yang disebabkan oleh kompresi atau destruksi struktur otak akibat
masa.Kelemahan ekstremitas, gangguan afektif dan perubahan perilaku serta penurunan
kesadaran (bradipsike, depresi, letargi, apatis, confusion, koma) juga dapat terjadi.
Perubahan kepribadian, kebingungan dan tingkat kesadaran yang berubah dapat dilihat,
terutama pada meningioma anterior (frontal) atau parasagital, dan mereka mungkin
awalnya salah didiagnosis sebagai demensia atau depresi.Gejala juga dapat menyerupai
“TIA” atau stroke.(Buerki et al., 2018)
Pada sebuah penelitian yang di lakukan di California didapatkan karakteristik dan
manifestasi klinis pasien meningioma sebagai berikut(Magill et al., 2018):

E.
PENATALAKSANAAN
Modalitas terapi meningioma meliputi pembedahan dan radioterapi. Pemilihan
modalitas terapi akan ditentukan oleh jenis histopatologis tumor, gambaran imaging dan
pemeriksaan histopatologi dapat memperkirakan jenis histopatologis tumor.Pemeriksaan
CT-scan dan MRI telah terbukti bermanfaat untuk diagnosis dan tatalaksana
meningioma. Kedua pemeriksaan tersebut penting untuk persiapan sebelum operasi
pembedahan (Kenny, Herdini and Hariwiyanto, 2016)
1. Pembedahan
Umumnya, pembedahan yang bertujuan untuk reseksi total adalah pengobatan
utama untuk meningioma intrakranial. Hal ini juga bertujuan untuk menetapkan
diagnosis histopatologis yang menjadi acuan untuk pengambilan keputusan
selanjutnya. Pedoman saat ini merekomendasikan regimen pengobatan tergantung
pada tingkat tumor dan tingkat reseksi tumor seperti yang dijelaskan oleh
simpson.
Pembedahan dapat dilakukan apabila (indikasi) :
a) Pada pemeriksaan imaging didapatkan tanda pertumbuhan ataupun
didapatkan gejala akibat lesi tumor yang tidak dapat terkontrol dengan
medikamentosa.
b) Massa tumor yang menimbulkan gejala dan atau tanda penekanan maupun
destruksi parenkim otak dan asesibel untuk dilakukan pembedahan.

Selanjutnya, untuk menentukan jenis reseksi yang dilakukan, terlebih dahulu


menentukan tingkatan tumor berdasarkan histopatologi.

Gambar 2. Guideline meningioma berdasarkan tingkatan tumor


a. Tumor derajat I yang dapat direseksi total (Simpson derajat I-III) harus
dilanjutkan dengan observasi. Jika reseksi total tidak dapat dicapai, bedah
radio stereotaktik adalah terapi tambahan pilihan
b. Pada tumor tingkat II, radioterapi fraksionasi adalah terapi adjuvan pilihan
c. Tumor derajat III memerlukan pembedahan radikal dan radioterapi tambahan
karena perjalanan klinisnya yang agresif(Euskirchen and Peyre, 2018)

Luasnya reseksi dinyatakan menggunakan simpson grading melalui


pencitraan dan penilaian ahli bedah saraf .Simpson grade 5 adalah biopsi, grade 4
adalah reseksi subtotal, grade 3 adalahreseksi makroskopik tanpa eksisi dural atau
koagulasi, grade 2 adalah reseksi total bruto dengan koagulasi dural,sedangkan
derajat 1 adalah reseksi lengkap termasuk dural dan reseksi tulang yang
berdekatan(Euskirchen and Peyre, 2018). Namun demikian, kemampuan untuk
mencapai reseksi lengkap mungkin dibatasi oleh sejumlah faktor, termasuk lokasi
tumor; keterlibatan sinus vena dural di dekatnya, arteri, saraf kranial, dan invasi
otak ke jaringan yang fasih; dan faktor pasien lain yang mempengaruhi keamanan
pembedahan dan anestesi secara umum.

Lokasi tumor turut mempengaruhi jenis reseksi.Meningioma Convexity relatif


mudah untuk didekati dan direseksi.Falcine dan Parasagittal meningiomamasih
dangkal dan mudah dijangkau namun lebih kompleks untuk direseksi karena
sering melibatkan atau menyerang sinus sagital.Meningioma di dasar tengkorak
(sphenoid wing, olfactory groove, tuberculum sella, cerebellopontine angle atau
daerah petroclival) memerlukan teknik dan pendekatan bedah yang lebih maju
untuk mengakses tumor dengan aman tanpa retraksi dan cedera otak yang
ekstensif.Pada meningioma dasar tengkorak anterior, sejumlah tumor direseksi
melalui operasi endoskopiendonasal. Terapi jenis ini telah dibuktikan menjadi
efektif dan aman di tangan yang berpengalaman ahli bedah pada lesi suprasellar
seperti meningioma dari fossa anterior (Kulwin, Schwartz and Cohen-Gadol,
2013). Lokasi tumor yang paling sering direseksi dengan metode ini adalah adalah
tuberculum sellae diikuti oleh olfactory groove , planum sphenoidale, sinus
frontal (Zoli et al., 2018)

Pendekatan endonasal endoskopi meminimalkan retraksi saraf optik dan


mengurangi risiko kerusakan visual pasca operasi. Manfaat lainnya adalah invasi
minimal yang mengarah pada peningkatan kenyamanan pasien dan lebih singkat
rawat inap, dan optimal untuk kelompok lesi tertentu (Kulwin, Schwartz and
Cohen-Gadol, 2013). Namun demikian pendekatan jenis ini memiliki kerentanan
terhadap kebocoran cerebrospinal fluid (CSF) .Oleh karena itu,pemilihan terapi
seharusnya dipertimbangkan manfaat dan kerugiannya (Zoli et al., 2018).

2. Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu bagian yang penting
daripenatalaksanaan tumor otak maligna. Radioterapi dapat dilakukan sebagai
terapi kuratif, adjuvant pasca operasi,dan terapi paliatif. Radioterapi primer atau
adjuvan sering dipertimbangkan jika pengangkatan (lengkap) tidak mungkin
dilakukan. Hal ini biasanya terjadi pada pasien dengan kondisi klinis yang buruk,
tumor dengan morfologi kompleks atau di lokasi yang sulit(Day and Halasz,
2017).Radioterapi yang digunakan diantaranya eksternal fraksionasi (EBRT) dan
radiasi stereotaktik fraksi tunggal (SRS).
Tumor grade I WHO yang direseksi tidak sempurna (Simpson tingkat 4
atau 5), dan untuk tumor yang lebih tinggi tingkat patologis (derajat II atau III)
memerlukan pengobatan adjuvan untuk mencegah, atau setidaknya menunda,
kekambuhan.Tumor WHO grade I diradiasi dengan dosis kurang lebih 50 Gy,
sedangkan WHO grade II-III tumor dirawat sampai kira-kira 60 Gy dengan fraksi
harian selama 5-6 minggu menggunakan EBRT(Buerki et al., 2018).SRS fraksi
tunggal biasanya terbatas pada tumor dengan diameter <30 mm dan untuk tumor
tidak berbatasan langsung dengan (atau menekan) struktur sensitif radiasi seperti
kiasme optik. SRS multifraksi dapat digunakan untuk tumor berukuran lebih besar
(Day and Halasz, 2017)
Terapi dengan menggunakan radioterapi memiliki efek toksik baik secara
akut maupun jangka panjang.Toksisitas akut utama dari EBRT bergantung pada
lokasi tetapi umumnya mencakup alopesia fokal dan kelelahan sedangkan SRS
jarang.Toksisitas jangka panjang dari radioterapi kranial juga tergantung pada
ukuran dan lokasi dan dapat terjadi endokrinopati, efek kognitif, peningkatan
kejadian serebrovaskular dan / atau risiko keganasan sekunder (Buerki et al.,
2018)

F. KESIMPULAN
Meningioma merupakan tumor yang predominan jinak berasal dari sel meningotel
araknoid.Meningioma dapat ditemukan di sepanjang permukaan eksternal otak dan juga
di dalam sistem ventrikel.Tumor ini memiliki gejala yang nonlokal dan tidak jelas, atau
gejala lokal yang disebabkan oleh penekanan pada jaringan otak di sekitarnya sehingga
gejala yang timbul dapat beragam.Gejala klinis sakit kepala akibat peningkatan tekanan
intrakranial seperti nyeri kepala, mual muntah, kejang, penurunan visus sampai
kebutaanMeningioma biasanya berkembang lambat dan asimptomatis jika ukuran tumor
kecil. Banyak yang ditemukan secara kebetulan pada pencitraan otak.. Umumnya,
pembedahan yang bertujuan untuk reseksi total adalah pengobatan utama untuk
meningioma intrakranial. Hal ini juga bertujuan untuk menetapkan diagnosis
histopatologis yang menjadi acuan untuk pengambilan keputusan selanjutnya. Pedoman
saat ini merekomendasikan regimen pengobatan tergantung pada tingkat tumor dan
tingkat reseksi tumor seperti yang dijelaskan oleh simpson.Meningioma dapat juga
diterapi menggunakan radioterapi jika kondisi pasien, letak dan jenis lesi tidak memenuhi
kriteria untuk dilakukan operasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aman, R. A. et al. (2016) ‘Brain Tumor Management Guideline’, National Cancer Combat
Committee, pp. 1–79. Available at: http://kanker.kemkes.go.id/guidelines.php?id=5.

Arinda, L., Susanti, R. and Indra, S. (2019) ‘Angiomatous Type Meningioma in a Male Patient’,
Jurnal Kesehatan Andalas, 8(2S), p. 82. doi: 10.25077/jka.v8i2s.962.

Baldi, I. et al. (2018) ‘Epidemiology of meningiomas’, Neurochirurgie, 64(1), pp. 5–14. doi:
10.1016/j.neuchi.2014.05.006.

Buerki, R. A. et al. (2018) ‘An overview of meningiomas’, Future Oncology, 14(21), pp. 2161–
2177. doi: 10.2217/fon-2018-0006.

Choy, W. C. et al. (2011) ‘The molecular genetics and tumor pathogenesis of meningiomas and
the future directions of meningioma treatments’, Neurosurgical Focus, 30(5). doi:
10.3171/2011.2.FOCUS1116.

Day, S. E. and Halasz, L. M. (2017) ‘Radiation therapy for WHO grade I meningioma’, Chinese
Clinical Oncology, 6(Suppl 1). doi: 10.21037/cco.2017.06.01.

Euskirchen, P. and Peyre, M. (2018) ‘Management of meningioma’, Presse Medicale, 47(11-


12P2), pp. e245–e252. doi: 10.1016/j.lpm.2018.05.016.

Janah, R., Rujito, L. and Wahyono, daniel joko (2020) ‘Ekspresi PDL-1 pada meningioma’,
Journal of Chemical Information and Modeling, 21(1), pp. 1–9.

Kenny, K., Herdini, C. and Hariwiyanto, B. (2016) ‘Meningioma ekstrakranial primer pada sinus
paranasal’, Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 46(2), p. 192. doi: 10.32637/orli.v46i2.167.

Kulwin, C., Schwartz, T. H. and Cohen-Gadol, A. A. (2013) ‘Endoscopic extended


transsphenoidal resection of tuberculum sellae meningiomas: Nuances of neurosurgical
technique’, Neurosurgical Focus, 35(6), pp. 1–10. doi: 10.3171/2013.8.FOCUS13338.

Magill, S. T. et al. (2018) ‘Relationship between tumor location, size, and WHO grade in
meningioma’, Neurosurgical Focus, 44(4). doi: 10.3171/2018.1.FOCUS17752.
Shibuya, M. (2014) ‘Pathology and molecular genetics of meningioma: Recent advances’,
Neurologia Medico-Chirurgica, 55(1), pp. 14–27. doi: 10.2176/nmc.ra.2014-0233.

Wu, J. C. (2014) ‘Risk factors of meningioma’, Journal of the Chinese Medical Association,
77(9), pp. 451–452. doi: 10.1016/j.jcma.2014.07.005.

Zoli, M. et al. (2018) ‘The Endoscopic Endonasal Management of Anterior Skull Base
Meningiomas’, Journal of Neurological Surgery, Part B: Skull Base, 79(1), pp. S300–S310. doi:
10.1055/s-0038-1669463.

Anda mungkin juga menyukai