MENINGIOMA
DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
Meningioma merupakan tumor predominan jinak yang berasal dari sel meningotel
arakhnoid.Tumor ini biasanya terjadi pada orang dewasa dan sering melekat pada dura
mater.Meningioma dapat ditemukan di sepanjang permukaan eksternal otak dan juga di
dalam sistem ventrikel. Tumor ini memiliki gejala yang nonlokal dan tidak jelas, atau
gejala lokal yang disebabkan oleh penekanan pada jaringan otak di sekitarnya. Prognosis
keseluruhan ditentukan oleh ukuran dan lokasi lesi, kemungkinan dilakukan pembedahan,
dan derajat histologisnya (Kumar, Cotran dan Robbin, 2013)
Meningioma memiliki insiden sekitar 7 per 100.000 orang pertahun, dan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan bisa mencapai 2 kali lebih banyak pada
perempuan.Di Amerika Serikat kejadian meningioma mencapai 7,44 kasus per 100.000
penduduk. Kejadian meningioma di Amerika Serikat lebih banyak terjadi pada
perempuan yaitu sekitar 8,44 per 100.000 penduduk sedangkan laki-laki sekitar 3,76 per
100.000 penduduk pada tahun 2017. Insiden meningioma menurut usia meningkat dari
0,14 per 100.000 orang pada anak-anak usia 0-19 tahun menjadi 37,75 per 100.000 pada
usia 75-84 tahun. Kecenderungan perempuan terkena meningioma diperkirakan
karenakadar hormon seks endogen dan akan meningkat selama masa subur (Arinda,
Susanti and Indra, 2019).
B. ISI
1. Definisi
Meningioma adalah tumor di sistem saraf pusat yang paling sering terjadiusia
dewasa pertengahan hingga akhir dan berasal dari lapisan arakhnoid yaitu sel
meningothelial. Sembilan puluh persen meningioma bersifat jinak, 6% atipikal, dan 2%
ganas.Meningioma umumnya terjadi di intrakranial, intraspinal, dan orbita. Lokasi yang
jarang ditemukan adalah intraventrikular dan epidural (Janah, Rujito and Wahyono,
2020). Meningioma biasanya diberi nama berdasarkan lokasi ditemukannya. Misalnya,
meningioma yang berbatasan dengan tulang sphenoid antara lobus frontal dan temporal
disebut sphenoid ridge meningioma. Meningioma diklasifikasikan menjadi grade I, grade
II, dan grade III oleh WHO (Aman et al., 2016).
2. Etiologi
Etiologi dari meningioma belum dapat dipastikan namun diduga faktor genetik
memiliki hubungan dengan kejadian meningioma dan radiasi serta hormon seks sebagai
faktor resiko.Studi epidemiologi telah menunjukkan tingkat prevalensi yang lebih tinggi
meningioma pada wanita. Faktor genetik terkait dengan mutasi genetik berupa inaktivasi
gen NF 2 pada kromosom 22q sering dikaitkan dengan kejadian meningioma, sedangkan
tipe 1 NF tidak terkait. Penyebab lingkungan, radiasi pengion, dan hormon eksogen juga
telah berkorelasi dengan meningioma intrakranial dalam beberapa penelitian sebelumnya
(Wu, 2014).
3. Epidemiologi
Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering dengan
perkiraan sekitar 13-26% dari total tumor primer intrakranial. Angka kejadian dari
meningioma adalah 6/100.000 dengan kejadian paling banyak terdapat pada usia lebih
dari 50 tahun. Rasio antara perempuan dibanding laki laki adalah 2:1. 2-3% dari populasi
memiliki meningioma tanpa adanya keluhan dan 8% dengan meningioma multiple.
Sedangkan frekuensi meningioma di afrika hampir 30% dari semua tumor intrakranial
primer. Mayoritas meningioma yang telah terkonfirmasi adalah jinak dengan 1,7% ganas
(Baldi et al., 2018)
C. PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI
E.
PENATALAKSANAAN
Modalitas terapi meningioma meliputi pembedahan dan radioterapi. Pemilihan
modalitas terapi akan ditentukan oleh jenis histopatologis tumor, gambaran imaging dan
pemeriksaan histopatologi dapat memperkirakan jenis histopatologis tumor.Pemeriksaan
CT-scan dan MRI telah terbukti bermanfaat untuk diagnosis dan tatalaksana
meningioma. Kedua pemeriksaan tersebut penting untuk persiapan sebelum operasi
pembedahan (Kenny, Herdini and Hariwiyanto, 2016)
1. Pembedahan
Umumnya, pembedahan yang bertujuan untuk reseksi total adalah pengobatan
utama untuk meningioma intrakranial. Hal ini juga bertujuan untuk menetapkan
diagnosis histopatologis yang menjadi acuan untuk pengambilan keputusan
selanjutnya. Pedoman saat ini merekomendasikan regimen pengobatan tergantung
pada tingkat tumor dan tingkat reseksi tumor seperti yang dijelaskan oleh
simpson.
Pembedahan dapat dilakukan apabila (indikasi) :
a) Pada pemeriksaan imaging didapatkan tanda pertumbuhan ataupun
didapatkan gejala akibat lesi tumor yang tidak dapat terkontrol dengan
medikamentosa.
b) Massa tumor yang menimbulkan gejala dan atau tanda penekanan maupun
destruksi parenkim otak dan asesibel untuk dilakukan pembedahan.
2. Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu bagian yang penting
daripenatalaksanaan tumor otak maligna. Radioterapi dapat dilakukan sebagai
terapi kuratif, adjuvant pasca operasi,dan terapi paliatif. Radioterapi primer atau
adjuvan sering dipertimbangkan jika pengangkatan (lengkap) tidak mungkin
dilakukan. Hal ini biasanya terjadi pada pasien dengan kondisi klinis yang buruk,
tumor dengan morfologi kompleks atau di lokasi yang sulit(Day and Halasz,
2017).Radioterapi yang digunakan diantaranya eksternal fraksionasi (EBRT) dan
radiasi stereotaktik fraksi tunggal (SRS).
Tumor grade I WHO yang direseksi tidak sempurna (Simpson tingkat 4
atau 5), dan untuk tumor yang lebih tinggi tingkat patologis (derajat II atau III)
memerlukan pengobatan adjuvan untuk mencegah, atau setidaknya menunda,
kekambuhan.Tumor WHO grade I diradiasi dengan dosis kurang lebih 50 Gy,
sedangkan WHO grade II-III tumor dirawat sampai kira-kira 60 Gy dengan fraksi
harian selama 5-6 minggu menggunakan EBRT(Buerki et al., 2018).SRS fraksi
tunggal biasanya terbatas pada tumor dengan diameter <30 mm dan untuk tumor
tidak berbatasan langsung dengan (atau menekan) struktur sensitif radiasi seperti
kiasme optik. SRS multifraksi dapat digunakan untuk tumor berukuran lebih besar
(Day and Halasz, 2017)
Terapi dengan menggunakan radioterapi memiliki efek toksik baik secara
akut maupun jangka panjang.Toksisitas akut utama dari EBRT bergantung pada
lokasi tetapi umumnya mencakup alopesia fokal dan kelelahan sedangkan SRS
jarang.Toksisitas jangka panjang dari radioterapi kranial juga tergantung pada
ukuran dan lokasi dan dapat terjadi endokrinopati, efek kognitif, peningkatan
kejadian serebrovaskular dan / atau risiko keganasan sekunder (Buerki et al.,
2018)
F. KESIMPULAN
Meningioma merupakan tumor yang predominan jinak berasal dari sel meningotel
araknoid.Meningioma dapat ditemukan di sepanjang permukaan eksternal otak dan juga
di dalam sistem ventrikel.Tumor ini memiliki gejala yang nonlokal dan tidak jelas, atau
gejala lokal yang disebabkan oleh penekanan pada jaringan otak di sekitarnya sehingga
gejala yang timbul dapat beragam.Gejala klinis sakit kepala akibat peningkatan tekanan
intrakranial seperti nyeri kepala, mual muntah, kejang, penurunan visus sampai
kebutaanMeningioma biasanya berkembang lambat dan asimptomatis jika ukuran tumor
kecil. Banyak yang ditemukan secara kebetulan pada pencitraan otak.. Umumnya,
pembedahan yang bertujuan untuk reseksi total adalah pengobatan utama untuk
meningioma intrakranial. Hal ini juga bertujuan untuk menetapkan diagnosis
histopatologis yang menjadi acuan untuk pengambilan keputusan selanjutnya. Pedoman
saat ini merekomendasikan regimen pengobatan tergantung pada tingkat tumor dan
tingkat reseksi tumor seperti yang dijelaskan oleh simpson.Meningioma dapat juga
diterapi menggunakan radioterapi jika kondisi pasien, letak dan jenis lesi tidak memenuhi
kriteria untuk dilakukan operasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aman, R. A. et al. (2016) ‘Brain Tumor Management Guideline’, National Cancer Combat
Committee, pp. 1–79. Available at: http://kanker.kemkes.go.id/guidelines.php?id=5.
Arinda, L., Susanti, R. and Indra, S. (2019) ‘Angiomatous Type Meningioma in a Male Patient’,
Jurnal Kesehatan Andalas, 8(2S), p. 82. doi: 10.25077/jka.v8i2s.962.
Baldi, I. et al. (2018) ‘Epidemiology of meningiomas’, Neurochirurgie, 64(1), pp. 5–14. doi:
10.1016/j.neuchi.2014.05.006.
Buerki, R. A. et al. (2018) ‘An overview of meningiomas’, Future Oncology, 14(21), pp. 2161–
2177. doi: 10.2217/fon-2018-0006.
Choy, W. C. et al. (2011) ‘The molecular genetics and tumor pathogenesis of meningiomas and
the future directions of meningioma treatments’, Neurosurgical Focus, 30(5). doi:
10.3171/2011.2.FOCUS1116.
Day, S. E. and Halasz, L. M. (2017) ‘Radiation therapy for WHO grade I meningioma’, Chinese
Clinical Oncology, 6(Suppl 1). doi: 10.21037/cco.2017.06.01.
Janah, R., Rujito, L. and Wahyono, daniel joko (2020) ‘Ekspresi PDL-1 pada meningioma’,
Journal of Chemical Information and Modeling, 21(1), pp. 1–9.
Kenny, K., Herdini, C. and Hariwiyanto, B. (2016) ‘Meningioma ekstrakranial primer pada sinus
paranasal’, Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 46(2), p. 192. doi: 10.32637/orli.v46i2.167.
Magill, S. T. et al. (2018) ‘Relationship between tumor location, size, and WHO grade in
meningioma’, Neurosurgical Focus, 44(4). doi: 10.3171/2018.1.FOCUS17752.
Shibuya, M. (2014) ‘Pathology and molecular genetics of meningioma: Recent advances’,
Neurologia Medico-Chirurgica, 55(1), pp. 14–27. doi: 10.2176/nmc.ra.2014-0233.
Wu, J. C. (2014) ‘Risk factors of meningioma’, Journal of the Chinese Medical Association,
77(9), pp. 451–452. doi: 10.1016/j.jcma.2014.07.005.
Zoli, M. et al. (2018) ‘The Endoscopic Endonasal Management of Anterior Skull Base
Meningiomas’, Journal of Neurological Surgery, Part B: Skull Base, 79(1), pp. S300–S310. doi:
10.1055/s-0038-1669463.