Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Retinoblastoma merupakan tumor ganas primer intraokular yang paling
umum pada anak dan merupakan keganasan primer intraokular tersering kedua
(setelah melanoma mata) di semua kelompok umur.1 Massa tumor di retina
dapat tumbuh ke dalam vitreus (endofitik) dan tumbuh menembus keluar
(eksofitik). Angka kejadian retinoblastoma di seluruh dunia diperkirakan sebesar
1 dari 20.000 kelahiran hidup dan retinoblastoma merupakan 4% dari semua
keganasan pediatrik. Usia rata-rata saat presentasi retinoblastoma adalah di
bawah 12 bulan untuk kasus herediter dan mendekati 24 bulan pada kasus
sporadis. Presentasi setelah usia 6 tahun kasusnya sangat jarang. Tidak ada
kecenderungan ras atau jenis kelamin untuk kejadian retinoblastoma (Nugraheni
et al., 2018).
Sekitar 250-350 kasus baru retinoblastoma didiagnosis setiap tahun
Amerika Serikat. Penelitian oleh Jama Oncology pada tahun 2018 menemukan
bahwa terdapat 4.351 anak yang berasal dari dari 153 negara menderita
retinoblastoma. Lebih dari setengah (2276 [52,3%]) pasien berasal dari Asia,
1.024 (23,5%) berasal dari Afrika, 522 (12,0%) berasal Eropa, 512 (11,8%)
berasal dari Amerika, dan 17 (0,4%) berasal dari Oseania. Dari semua pasien,
533 (12,3%) berasal dari negara berpenghasilan rendah, 1.940 (44,6%) dari
menengah ke bawah, 1.212 (27,9%) dari menengah ke atas, dan 666 (15,3%)
dari negara berpenghasilan tinggi. Angka kejadian retinoblastoma di Indonesia
berdasarkan hasil Cancer Country Profile 2020 oleh WHO adalah 245 dari total
keseluruhan kasus kanker pada anak yaitu 7.574 (3,23%) (Ayu et al., 2018).
Retinoblastoma dapat bersifat herediter atau sporadis. Pada hampir
semua kasus, retinoblastoma disebabkan oleh mutasi pada gen penekan tumor
RB1 yang terletak di lengan panjang kromosom 13 di lokus 14 (13q14). Kedua
salinan gen RB1 harus mengalami mutasi untuk membentuk tumor. Kasus

1
herediter biasanya didiagnosis pada usia yang lebih muda, multifokal dan
bilateral, sedangkan kasus sporadis biasanya didiagnosis pada anak yang lebih
tua, yang cenderung memiliki keterlibatan unilateral dan unifokal. Bentuk
herediter dikaitkan dengan hilangnya fungsi gen retinoblastoma (RB1) melalui
mutasi atau delesi gen (Acces, 2023).
Gejala klinis awal yang paling umum dari retinoblastoma adalah
leukokoria (refleks pupil putih), yang biasanya terjadi pertama kali diperhatikan
oleh keluarga dan dideskripsikan sebagai gambaran mata berkilau atau mata
kucing (cat’s-eye appearance). Sekitar 25% dari kasus memiliki gambaran
strabismus (esotropia atau eksotropia). Gambaran yang kurang umum terlihat
adalah perdarahan vitreous, hyphema, peradangan mata atau periokular,
glaukoma, proptosis, dan pseudohypopyon. Secara keseluruhan, 66-75% anak
dengan retinoblastoma memiliki tumor unilateral, dengan sisanya mengalami
retinoblastoma bilateral (Rosdiana, 2011).
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis retinoblastoma adalah
Ultrasonografi mata (USG), Computerized Tomography Scan (CT Scan) atau
Magnetic Resonnce Imaging (MRI). Pemeriksaan USG mata memperlihatkan
gambaran massa yang bersifat lebih echogenic daripada vitreous, dengan
kalsifikasi. Gambaran ablasi retina dapat terjadi pada tumor yang bersifat
eksofitik . Pemeriksaan MRI dan CT Scan dapat memperlihatkan gambaran
ekstensi tumor (Rosdiana, 2011).
Diagnosis pasti retinoblastoma dapat dilakukan dengan pemeriksaan
histopatologi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada sediaan bola mata yang
telah di enukleasi. Pemeriksaan biopsi jarum halus (fine-needle aspiration
biopsy) merupakan kontra indikasi pada retinoblastoma, karena tindakan ini
akan menyebabkan sel tumor menyebar ke vitreous dan lapisan bola mata
(Rosdiana, 2011).
Gambaran retinoblastoma secara makroskopis bervariasi dan
mencerminkan stadium penyakit pada mata yang telah dienukelasi.
Retinoblastoma memiliki gambaran bewarna putih, encephaloid or brain-like

2
appearance dengan area kalsifikasi dan area nekrotik bewarna kuning. Gambaran
kalsifikasi sering ditemukan pada mata yang telah menjalani radioterapi atau
kemoterapi sebelumnya. Pada pemeriksaan mikroskopis terdapat gambaran sel
hiperkromatik kecil dengan rasio nukleus terhadap sitoplasma yang tinggi
dengan area nekrosis yang luas dan area kalsifikasi multifokal. Diferensiasi
tumor dikategorikan menjadi berdiferensiasi baik dan berdiferensiasi buruk.
Invasi saraf optik dikategorikan sebagai prelaminar, postlaminar dan invasi
margin yang direseksi. Invasi postlaminar didefinisikan sebagai invasi tumor di
luar lamina cribrosa nervus optikus (Rares et al., 2016).
Gambaran histopatologi dapat dievaluasi dan diidentifikasi untuk
memprediksi metastasis. Faktor prognostik seperti invasi ke koroid yang masif,
invasi retrolaminar, invasi ke ujung saraf optik yang direseksi, invasi ke iris dan
badan siliaris, invasi ke ruang anterior, sklera dan ruang ekstraskleral oleh sel
tumor, menjadi risiko yang lebih besar untuk terjadinya kekambuhan keganasan
orbital dan prediksi terjadinya metastasis (Rares et al., 2016).
Retinoblastoma berdiferensiasi buruk yang muncul pada usia yang lebih
tua juga menjadi risiko tinggi terjadinya nekrosis dan metastasis. Kasus dengan
risiko tinggi membutuhkan kemoterapi adjuvan sistemik untuk meningkatkan
kelangsungan hidup anak-anak yang berisiko terkena penyakit metastasis. Oleh
karena itu, penentuan risiko tinggi melalui pemeriksaan histopatologi menjadi
dasar penting untuk menentukan rencana pengobatan (Rares et al., 2016).
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Yang Dimaksud Dengan Retinoblastoma?


2. Apa Saja Etiologi Retinoblastoma?
3. Apa Saja Manifestasi Klinis Retinoblastoma?
4. Bagaimana Patofisiologi Retinoblastoma?
5. Bagaimana Gambar Pathway Retinoblastoma?
6. Bagaimana Pameriksaan Penunjang?
7. Bagaimana Penatalaksanaannya Retinoblastoma?

3
1.3 Tujuan

1. Untuk Mengetahui Definisi Retinoblastoma.


2. Untuk Mengetahui Etiologi Retinoblastoma.
3. Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Retinoblastoma.
4. Untuk Mengetahui Patofisiologi Retinoblastoma.
5. Untuk Mengetahui Gambar Pathway Retinoblastoma.
6. Untuk Mengetahui Pameriksaan Penunjang.
7. Untuk Mengetahui Penatalaksanaannya Retinoblastoma.

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Retinoblastoma


Retinoblastoma merupakan tumor endo-okular pada anak yang mengenai
syaraf embrionik retina. Secara histologis retinoblastoma muncul dari sel-sel
retina imatur yang dapat meluas ke struktur lain dalam bola mata hingga
ekstraokular. Retina tidak memiliki sistem limfatik, sehingga penyebaran tumor
retina baik secara langsung ke organ sekitar (vitreus, uvea, sklera, nervus
optikus, bilik mata depan, orbita, parenkim otak) maupun metastasis jauh
melalui rute hematogen (Rares et al., 2016)
Retino blastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik
yang tidak berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina pada anak. 40%
penderita retinoblastoma merupakan penyakit herediter. Retinoblastoma
merupakan tumor yang bersifat autosomal dominan dan merupakan tumor
embrional. Sebagian besar penderita dengan retinoblastoma aktif ditemukan
pada usia 3 tahun, sedang bila terdapat binokular biasanya terdapat pada usia
lebih muda 10 bulan (Airene et al., 2020).
2.2 Etiologi Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor yang dapat terjadi secara herediter dan
non herediter. Retinoblastoma herediter meliputi pasien dengan riwayat keluarga
positif dan yang mengalami mutasi gen yang baru pada waktu pembuahan.
Bentuk herediter dapat bermanifestasi sebagai penyakit unilateral atau bilateral.
Pada bentuk herediter, tumor cenderung terjadi pada usia muda. Tumor
unilateral pada bayi lebih sering dalam bentuk herediter, sedangkan anak yang
lebih tua lebih sering mengalami bentuk non-herediter (Wijayanti & Fauziah,
2017).
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen kromosom 13 pada locus 14
(13q14). Gen ini berperan dalam mengontrol bentuk hereditable dan
nonhereditable (sifat menurun atau tidak menurun) suatu tumor. Jadi pada setiap

5
individu sebenarnya sudah ada gen retinoblastoma normal. Pada kasus yang
herediter, tumor muncul bila satu alel 13q14 mengalami mutasi spontan
sedangkan pada kasus yang non-herediter baru muncul bila kedua alel 13q14
mengalami mutasi spontan (Wijayanti & Fauziah, 2017).
2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari retinoblastoma sering ditemukan yaitu leukokoria,
strabismus, mata merah, nyeri mata, glaukoma dan visus yang menurun. Gejala
yang jarang yaitu rubeosis iridis (kemerahan pada iris), selulitis orbita,
heterochromia iridis (perubahan warna pada iris), midriasis unilateral,
hyphaema, pada sebagian kecil anak bisa terjadi gagal tumbuh dan wajah yang
tidak normal. Bukti paling awal dari retinoblastoma adalah gerakan putih atau
yang dikenal sebagai gerakan mata kucing (cats-eyes refleks) atau leukocoria.
Hal ini menunjukan adanya tumor besar yang biasanya tumbuh dari tepi. Tumor
putih yang mengancam nyawa merefleksikan cahaya dan menghalangi
pandangan dari retina (Ayu et al., 2018).
Pada keadaan ini retinoblastoma masih bersifat intraokuler dan dapat
disembuhkan 3-6 bulan setelah tanda pertama retinoblastoma. Leukokoria juga
dapat mengidentifikasikan beberapa gangguan pengelihatan seperti Coats
disease, katarak, toksokariasis, dan retinopati prematur. Gejala kedua yang
paling umum adalah strabismus. Keadaan ini terjadi apabila tumor telah
mencapai area makular. Hal ini akan menyebabkan ketidakmampuan untuk
fiksasi dan akhirnya mata akan mengalami devisiasi (Rares et al., 2016).
2.4 Patofisiologi
Gen RB1 merupakan tumor supresor pertama yang dikloning. RB1
tersusun dari 183 kilobase DNA genomic, 27 exons dan kode untuk 110 kd
protein p110, dengan 928 asam amino. Pengaturan transkripsi dan proliferasi sel
berhubungan dengan fosforilasi protein RB. Yang terlibat dalam proses tersebut
adalah E2F1, faktor transkripsi yang mengatur siklus sel selama G1, histone
deasetilase 1, dan downstream cell-cycle-speific kinases. Hilangnya pRB
mengakibatkan sel-sel lepas kendali dan mitosis (Lanzkowsky 2016). Pada

6
kebanyakan sel, hilangnya pRB dapat dikompensasi dengan mengekspresikan
faktor protein lainnya. Akan tetapi, khusus pada prekursor sel kerucut retina,
mekanisme kompensasi cukup minim, sehingga mitosis sel menyebabkan kanker
(Nugraheni et al., 2018).
Patogenesis retinoblastoma diidentifikasi dengan mempelajari
retinoblastoma herediter. Diketahui bahwa 40% dari pasien retinoblastoma
merupakan retinoblastoma herediter, dengan predisposisi menghasilkan tumor
yang disebar sebagai dominan autosom. Carrier dari retinoblastoma mempunyai
risiko membentuk retinoblastoma multilateral dibandingkan dengan populasi
umum, dan meningkatkan risiko terkena penyakit osteosarkoma dan soft-tissue
sarcomas. Sedangkan 60% dari pasien retinoblastoma muncul secara sporadis
atau non herediter (selalu mengenai salah satu mata pasien) dan retinoblastoma
non herediter tidak ada risiko terkena kanker yang lain. Retinoblastoma dapat
terjadi secara herediter dan non herediter, Knudson mengajukan hipotesis “two-
hit” onkogenesis. Dari segi molekuler, hipotesis Knudson berbunyi:
1. Dua mutasi melibatkan alel dari RB pada kromosom 13q14 dibutuhkan
untuk membentuk retinoblastoma.
2. Kasus herediter, anak-anak menerima salah satu kopian gen RB yang
defek (first hit) dan kopian lainnya normal. Retinoblastoma berkembang
ketika alel RB normal bermutasi di retinoblast sebagai akibat dari mutasi
somatik spontan (second hit). Dikarenakan second hit tidak dapat
dihindari di bagian kecil pada retinoblast, mayoritas individu
mewariskan salah satu alel RB yang defek membentuk retinoblastoma
unilateral atau bilateral, dan retinoblastoma herediter diwariskan dalam
dominan autosom.
3. Kasus non herediter, baik alel RB normal harus bermutasi somatik pada
retinoblast yang sama (two hits). Probabilitas kejadian tersebut rendah
(menjelaskan mengapa retinoblastoma merupakan tumor yang jarang
pada populasi secara umum), tapi pada akhirnya tetap sama: sel retina
yang kehilangan fungsi RB dan menjadi kanker (Ayu et al., 2018)

7
2.5 Pathway

8
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. USG orbita
USG orbita biasanya digunakan untuk menentukan ukuran tumor. USG orbita
dapat juga mendeteksi kalsifikasi diantara tumor dan berguna untuk
menyingkirkan diagnose Coat’s disease.
2. CT-scan dan MRI
CT-scan dan MRI orbita dan kepala, sangat berguna untuk mengevaluasi
seluruh komponen mata, dan keterlibatan SSP. CT-scan dapat mendeteksi
klasifikasi sedangkan MRI tidak bisa. MRI lebih berguna dalam evaluasi
nervus. optikus, deteksi Rb trilateral dan Rb ekstraokular.
3. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
Aspirasi dan biopsi serta lumbal fungsi sangat disarankan untuk pemeriksaan
sitologi apabila ada penyebaran ekstraokuler.
4. Enukleasi suatu tindakan pengambilan seluruh bolamata dan memotong saraf
optik sepanjang mungkin, dengan mempertahankan jaringan orbita yang lain.
Enukleasi dilakukan pada keadaan dimana:
1) Tumor mengenai >50% bola mata
2) Diduga terdapat invasi tumor ke orbita atau saraf optik
3) Tumor mengenai segmen anterior mata dengan atau tanpa glaukoma
neovaskular (Ayu et al., 2018).
2.7 Penatalaksanaan
Terapi retinoblastoma berdasarkan prinsip umum bertujuan untuk
menghilangkan tumor dan menyelamatkan nyawa penderita, mempertahankan
penglihatan bila memungkinkan, menyelamatkan mata, menghindari tumor
sekunder yang dapat juga disebabkan karena terapi terutama pada anak yang
mengalami retinoblastoma yang diturunkan. Faktor terpenting yang menentukan
pemilihan terapi meliputi apakah tumor pada satu mata atau kedua mata,
bagaimana penglihatannya, dan apakah tumor telah meluas keluar bola mata.
Hasil terapi akan lebih baik bila tumor masih terbatas dalam mata dan akan

9
memburuk bila tumor telah menyebar. Berdasarkan stadium tumor, terapi yang
dapat digunakan yaitu:
1. Kemoterapi
Kemoterapi atau kemoreduksi telah menjadi bagian tidak terpisahkan
dari manajemen retinoblastoma. Apabila penyakitnya sudah menyebar ke bagian
ekstraokuler, kemoterapi merupakan terapi yang sangat dianjurkan. Obat
kemoterapi yang digunakan yaitu carboplatin, cisplatin, etoposid, teniposid,
siklofosfamid, ifosfamid,vinkristin, adriamisin, dan akhir-akhir ini
dikombinasikan dengan idarubisin. Dosis Vincristine 1,5 mg/m22 (0,05 mg/kg
pada anak 36 bulan), carboplatin 560 mg/m2 (18,6 mg/kg untuk anak <36 bulan)
(Nugraheni et al., 2018)
2. Pembedahan
Enukleasi adalah terapi yang paling sederhana dan aman untuk
retinoblastoma. Pemasangan bola mata biasanya dilakukan beberapa minggu
setelah prosedur enukleasi untuk meminimalkan efek kosmetik. Enukleasi
dianjurkan apabila terjadi glaukoma, invasi ke rongga naterior, atau terjadi
rubeosis iridis, dan apabila terapi lokal tidak dapat di evaluasi karena katarak
atau gagal untuk mengikuti pasien secara lengkap atau teratur. Enukleasi dapat
ditunda atau ditangguhkan pada sat diagnosis tumor sudah menyebar ke
ekstraokular. Pembedahan intraokular seperti vitrektomi, adalah kontraindikasi
pada pasien retinoblastoma karena akan menaikkan relaps orbita (Nugraheni et
al., 2018).
3. External Beam Radiation Therapy (EBRT)
External Beam Radiation Therapy (EBRT), yang dahulu menjadi terapi
pilihan pada retinoblastoma, kini dindikasikan apabila kemoterapi primer dan
terapi lokal gagal atau terjadi kontraindikasi (Pandey 2013). EBRT
menggunakan
eksalator linjar dengan dosis 40-45 Gy dengan pemecahan konvensional yang
meliputi seluruh retina. Pada bayi prosedur ini harus dibawah anastesi dan
imobilisasi dan harus ada keria sama antara dokter ahli mata, dan dokter

10
radioterapi untuk membuat perencanaan. Keberhasilan EBRT tidak hanva
berdasarkan ukuran tumor tetapi tergantung teknis dan lokasi. Efek samping
jangka panjang dari radioterapi harus diperhatikan seperti hambatan
pertumbuhan tulang orbita yang akhirnya akan menyebabkan gangguan
kosmetik (Nugraheni et al., 2018).
4. Plaque Radiotherapy (Brachytherapy) adalah terapi dapat digunakan pada terapi
penelamatan mata dimana terapi penyelamatan bola mata gagal untuk
menghaneurkan semua tumor aktif dan sebagai terapi utama terhadap beberapa
anak dengan ukuran tumor relatif kecil sampai sedang (Acces, 2023).
5. Kryo dan fotokoagulasi
Teknik digunakan untuk mengobati tumor kecil (kurang dari 5 mm).
Cara ini sudah banyak digunakan dan dapat dilakukan beberapa kali sampai
kontrol lokal tercapai. Kryoterapy biasanya menggunakan probe yang sangat
dingin untuk membekukan dan mematikan tumor. Sementara fotokoagulasi
menggunakan laser argon atau xenom untuk mematikan tumor (Rosdiana, 2011).

11
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Retino blastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik
yang tidak berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina pada anak. 40%
penderita retinoblastoma merupakan penyakit herediter. Retinoblastoma
merupakan tumor yang bersifat autosomal dominan dan merupakan tumor
embrional. Sebagian besar penderita dengan retinoblastoma aktif ditemukan
pada usia 3 tahun, sedang bila terdapat binokular biasanya terdapat pada usia
lebih muda 10 bulan (Ayu et al., 2018).
Manifestasi klinis dari retinoblastoma sering ditemukan yaitu leukokoria,
strabismus, mata merah, nyeri mata, glaukoma dan visus yang menurun. Gejala
yang jarang yaitu rubeosis iridis (kemerahan pada iris), selulitis orbita,
heterochromia iridis (perubahan warna pada iris), midriasis unilateral,
hyphaema, pada sebagian kecil anak bisa terjadi gagal tumbuh dan wajah yang
tidak normal. Bukti paling awal dari retinoblastoma adalah gerakan putih atau
yang dikenal sebagai gerakan mata kucing (cats-eyes refleks) atau leukocoria.
Hal ini menunjukan adanya tumor besar yang biasanya tumbuh dari tepi. Tumor
putih yang mengancam nyawa merefleksikan cahaya dan menghalangi
pandangan dari retina (Ayu et al., 2018).
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen kromosom 13 pada locus 14
(13q14). Gen ini berperan dalam mengontrol bentuk hereditable dan
nonhereditable (sifat menurun atau tidak menurun) suatu tumor. Jadi pada setiap
individu sebenarnya sudah ada gen retinoblastoma normal (Rosdiana, 2011).
3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam
memberikan pelayanan keperawatan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.

12
DAFTAR PUSTAKA

Acces, O. (2023). Open Acces. 04(02), 3334–3340.

Airene, J., Taba, P., & Ernst, C. (2020). Retinoblastoma unilateral : Sebuah laporan
kasus pada pelayanan kesehatan sekunder dengan fasilitas terbatas. 11(2), 540–
545. https://doi.org/10.15562/ism.v11i2.669

Ayu, K., Lastariana, Y., Ariawati, K., & Widnyana, P. (2018). Prevalens dan
karakteristik penderita retinoblastoma di RSUP Sanglah Denpasar pada tahun
2008-2015. 49(2), 179–183. https://doi.org/10.15562/medi.v49i2.109

Nugraheni, F. L., Mardalena, I., Olfah, Y., Keperawatan, J., & Kemenkes, P. (2018).
GAMBARAN PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG EFEK SAMPING
YOGYAKARTA kemoterapi pada ratinoblastoma 7(2), 53–59.

Rares, L., Ilmu, B., Mata, K., Kedokteran, F., Sam, U., & Manado, R. (2016).
Retinoblastoma. 4.

Rosdiana, N. (2011). Gambaran Klinis dan Laboratorium Retinoblastoma. 12(5), 319–


322.

Wijayanti, E., & Fauziah, D. (2017). Hubungan antara Ekspresi VEGF dan MMP-9
dengan Invasi Ekstra Okuler pada Retinoblastoma. 26(1).

13

Anda mungkin juga menyukai