Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN RETINOBLASTOMA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak Sakit Kronis dan Terminal
Dosen pengampu : Ibu Ade Susanti S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun oleh :
1. Habibah (20211660058)
2. Moh. Robby Subarkah (20211660059)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
TAHUN 2023/2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lebih dari satu abad yang lalu, retinoblastoma dianggap sebagai penyakit yang sudah
mendekati kematian. Retinablastoma pertama kali diidentifikasi tahun 1500an dan didefinisikan
sebagai kesatuan klinikopatologis tahun 1809. Sampai di pertengahan tahun 1900, pengetahuan
berkembang secara sporadik. Dengan adanya diagnosis dini menggunakan oftalmoskopi indirek
dan tatalaksana teknik enukleasi berperan besar meningkatkan angka harapan hidup dari 5%
pada tahun 1896 menjadi 81% pada tahun 1967.
Retinoblastoma adalah keganasan intraokular yang paling sering dialami oleh neonatus dan
anak-anak, insidens terjadinya yaitu 1 per 15.000-20.000 kelahiran dan sekitar 3% dari total
keganasan yang terjadi pada anak. Diperkirakan 7000-8000 anak mengalami retinoblastoma tiap
tahunnya di seluruh dunia dengan 3000-4000 diantaranya meninggal. Data di RS Cipto
Mangunkusumo, Divisi Oftalmologi, menunjukkan insidens berkisar pada 165 kasus dalam
periode 1993-2000 dan angka ini cenderung meningkat menjadi sekitar 30-40 kasus per tahun.
Studi di Amerika serikat, dilakukan analisis epidemiologi dari 1.452 kasus retinoblastoma dalam
kurun waktu antara tahun 1973 sampai 2009, didapatkan kebanyakan kasus didiagnosis sebelum
pasien berumur 2 tahun dan tidak didapatkan adanya hubungan secara umum mengenai umur
pasien saat didiagnosis dengan keberhasilan pasien untuk bertahan hidup. Tidak didapatkan
perbedaan jumlah kasus dan keberhasilan bertahan hidup yang signifikan antara laki-laki dan
perempuan.
Terdapat tiga penyebab utama yang menyebabkan kematian pada retinoblastoma, yaitu
keganasan sekunder, pineoblastoma dan metastasis. Angka harapan hidup pada retinoblastoma
dilaporkan melebihi 95% ketika didiagnosis secara dini pada tahap intraokular. Namun,
diagnosis dan penanganan yang terlambat yang sering terjadi di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia dapat mengakibatkan terjadinya metastasis ekstraokular, kehilangan
penglihatan dan kematian.
Pada negara-negara berkembang, kira-kira setengah populasi anak yang terdiagnosis
retinoblastoma meninggal, diduga karena baru terdiagnosis saat stadium penyakit yang sudah
lanjut, sementara hanya 3-4% anak yang terdiagnosis di Amerika dan Eropa meninggal karena
lebih awal dalam mendiagnosis dan penatalaksaan yang lebih komprehensif. Penundaan
penentuan diagnosis yang terjadi lebih dari 6 bulan setelah muncul tanda pertama dihubungkan
dengan terjadinya penyebaran ekstraokular dan 70% mortalitas. Adanya hambatan dalam
mendiagnosis secara dini pada negara berkembang dikarenakan belum baiknya sistem asuransi
kesehatan, kurangnya komunikasi dan kerjasama pihak- pihak yang terlibat, masih terbatasnya
peralatan penunjang diagnosis dan kurang efisiennya sistem rujukan. Hambatan lain termasuk
faktor pendidikan, kultural dan ekonomi.
Pada anak-anak yang mempunyai resiko retinoblastoma seharusnya dilakukan skrining
sedini mungkin dengan pemeriksaan funduksopi untuk bisa mendiagnosis tumor lebih awal.
Studi penelitian yang dilakukan di Paris dibuat suatu pedoman mengenai jadwal skrining pada
anak atau bayi yang baru lahir yang mempunyai riwayat keluarga menderita retinoblastoma.
Hasilnya dengan melakukan skrining secara berkala dan intensif mampu mengurangi jumlah
tindakan enukleasi dan external beam radiation (EBRT), walaupun masih belum mampu untuk
mengurangi penggunaan kemoterapi sistemik ataupun mendapatkan ketajaman visual yang lebih
baik. Hasil skrining negatif pada pemeriksaan mata anak tidak berarti anak tersebut bebas dari
tumor karena masih mungkin tumor belum muncul atau tumor tersebut berada di perifer dan
tidak terlihat (negatif palsu). Dengan dilakukannya pemeriksaan skrining secara intensif, mampu
menurunkan umur saat pertama kali didiagnosis dan didapatkan pada grade yang rendah.

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui etiologi/faktor, tanda dan gejala masalah keperawatan Retinoblastoma.

1.3 Manfaat
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan baru mengenai kasus Retinoblastoma terutama
dalam melakukan asuhan keperawatan pada anak dengan Retinoblastom
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN RETINOBLASTOMA
2.1 Definisi Penyakit
Retinoblastoma merupakan tumor endo-okular pada anak yang mengenai syaraf embrionik
retina. Secara histologis retinoblastoma muncul dari sel-sel retina imatur yang dapat meluas ke
struktur lain dalam bola mata hingga ekstraokular. Retina tidak memiliki sistem limfatik,
sehingga penyebaran tumor retina baik secara langsung ke organ sekitar (vitreus, uvea, sklera,
nervus optikus, bilik mata depan, orbita, parenkim otak) maupun metastasis jauh melalui rute
hematogen. (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2006).
Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel batang dan
kerucut) atau sel glia, yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat mutasi herediter bila mengenai
kedua mata atau bersifat mutasi somatik bila mengenai satu mata saja. Tumor ini tumbuhnya
sangat cepat sehingga vaskularisasi tumor tidak dapat mengimbangi tumbuhnya tumor sehingga
terjadi degenerasi dan nekrosis yang disertai kalsifikasi (Wijana, 1993).
Retinoblastoma merupakan salah satu tumor ganas pada mata yang disebabkan oleh kelainan
genetik pada tumor suppressor gene (RB-1) yang berfungsi sebagai pengatur apoptosis. Kelainan
ini menyebabkan poliferasi yang tidak terkontrol pada sel retina (Kemenkes RI, 2022).

2.2 Etiologi Penyakit


Retinoblastoma merupakan tumor yang dapat terjadi secara herediter dan non herediter.
Retinoblastoma herediter meliputi pasien dengan riwayat keluarga positif dan yang mengalami
mutasi gen yang baru pada waktu pembuahan. Bentuk herediter dapat bermanifestasi sebagai
penyakit unilateral atau bilateral. Pada bentuk herediter, tumor cenderung terjadi pada usia muda.
Tumor unilateral pada bayi lebih sering dalam bentuk herediter, sedangkan anak yang lebih tua
lebih sering mengalami bentuk non-herediter. (Permono et al., 2006).
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen kromosom 13 pada locus 14 (13q14). Gen ini
berperan dalam mengontrol bentuk hereditable dan non- hereditable (sifat menurun atau tidak
menurun) suatu tumor. Jadi pada setiap individu sebenarnya sudah ada gen retinoblastoma
normal. Pada kasus yang herediter, tumor muncul bila satu alel 13q14 mengalami mutasi spontan
sedangkan pada kasus yang non-herediter baru muncul bila kedua alel 13q14 mengalami mutasi
spontan (Campos, 2006).
2.3 Manifestasi Klinis Penyakit
Manifestasi klinis dari retinoblastoma sering ditemukan yaitu leukokoria, strabismus, mata
merah, nyeri mata, glaukoma dan visus yang menurun. Gejala yang jarang yaitu rubeosis iridis
(kemerahan pada iris), selulitis orbita, heterochromia iridis (perubahan warna pada iris),
midriasis unilateral, hyphaema, pada sebagian kecil anak bisa terjadi gagal tumbuh dan wajah
yang tidak normal.
Bukti paling awal dari retinoblastoma adalah gerakan putih atau yang dikenal sebagai
gerakan mata kucing (cats-eyes refleks) atau leukocoria. Hal ini menunjukan adanya tumor besar
yang biasanya tumbuh dari tepi. Tumor putih yang mengancam nyawa merefleksikan cahaya dan
menghalangi pandangan dari retina. Pada keadaan ini retinoblastoma masih bersifat intraokuler
dan dapat disembuhkan 3-6 bulan setelah tanda pertama retinoblastoma. Leukokoria juga dapat
mengidentifikasikan beberapa gangguan pengelihatan seperti Coats disease, premat katarak,
toksokariasis, dan retinopati premature.
Gejala kedua yang paling umum adalah strabismus. Keadaan ini terjadi apabila tumor telah
mencapai area makular. Hal ini akan menyebabkan ketidakmampuan untuk fiksasi dan akhirnya
mata akan mengalami devisiasi (Permono et al., 2006).

2.4 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada diagnosis retinoblastoma intraokular
a. Ultrasonografi (USG)
Fungsi:
1) Menilai cairan subretina, kalsifikasi atau implantasi Subretina/vitreus
2) Melihat ukuran dan invasi tumor pada N. optikus, koroid, sklera dan orbit
3) Menilai limfadenopati
4) Membantu pemilihan modalitas tata laksana yang akan digunakan
5) USG prenatal juga dapat dilakukan sebagai alat skrining retinoblastoma sejak bayi
dalam kandungan.
b. Wide-field photography
Fungsi:
Mendapatkan gambar retina dengan kualitas presisi yang tinggi, merekam data digital
pasien, membantu penegakan diagnosis serta memantau progresivitas penyakit pada
pasien.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras
Fungsi:
Mengetahui adanya kalsifikasi intraokular, adanya invasi ke N. optikus, dan melihat
ada atau tidaknya penyangatan di badan pineal. MRI kepala di regio brain berfungsi
untuk mengetahui malformasi otak yang berkaitan dengan tumor, serta mengetahui
retinoblastoma trilateral (pinealoblastoma).
2. Pemeriksaan yang perlu dilakukan apabila didapatkanretinoblastoma ekstraokular
a. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras
Fungsi:
Mengetahui adanya kalsifikasi dan memastikan ada atau tidaknya metastasis serta
destruksi tulang, mengetahui dan mengevaluasi batasan tumor, penyebaran tumor,
serta membantu membedakan penyebab leukokoria pada pasien, menegakkan
diagnosis dengan mengeksklusi diagnosis banding seperti penyakit Coats, kondisi
inflamasi, atau persistent fetal vasculature (PFV). Bila ditemukan tanda dan gejala
metastasis, baik secara klinis maupun pemeriksaan penunjang, seperti adanya
metastasis sumsum tulang dan/atau cairan otak maka disarankan untuk dilakukan MRI
whole spine. Prognosis pasien akan lebih buruk jika ditemukan metastasis pada MRI
whole spine.
b. Computed Tomography Scan (CT scan) dengan kontras
Fungsi:
Mengetahui dan mengevaluasi batasan tumor, penyebaran tumor, serta membantu
membedakan penyebab leukokoria pada pasien, ada atau tidaknya kalsifikasi.
Kekurangan: tidak dianjurkan pada pasien anak dengan retinoblastoma, terutama yang
herediter, karena pasien dengan mutasi gen RB-1 lebih berisiko mengalami keganasan
sekunder yang dapat dieksaserbasi oleh sinar radiasi. Angka kumulatif mortalitas
akibat keganasan sekunder pada pasien RB herediter sebesar 17,3% dan 22,2% pada
yang mendapat radiasi,sehingga modalitas imaging utama saat ini adalah MRI kepala
orbita.
Pada kasus retinoblastoma pasca enukleasi (pembedahan) diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut, antara lain:
1. Pemeriksaan Patologi Makroskopik (Gross)
Sampel pemeriksaan patologi makroskopik didapatkan dari sampel enukleasi tumor. Tumor
berwarna putih, ensefaloid/berbentuk seperti organ otak, dengan warna putih pucat pada daerah
kalsifikasi dan kuning pada daerah nekrotik. Keberadaan kalsifikasi biasanyamenunjukkan bekas
pengobatan radioterapi atau kemoterapi sebelumnya.
2. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dilakukan setelah mengambil jaringan dari mata yang telah
dienukleasi. Pemeriksaan ini penting dalam menentukan prognosis, stadium, dan identifikasi
keperluan terapia dan kemoterapi atau radioterapi. Pemeriksaan histopatologi dapat
mengidentifikasi “Histological high-risk features” (HHRF) atau faktor risiko tinggi berdasarkan
gambaran histopatologi untuk mengetahui metastasis. HHRF ditunjukkan dengan adanya
keterlibatan tumor pada bilik mata anterior, iris, badan siliar, trabekular meshwork, kanal
Schlemm, koroid, sklera, penyebaran ekstraokular, nervus optikus retrolaminar dan batas sayatan
nervus optikus. Standar pelaporan pemeriksaan Patologi Anatomik (PA) pada pasien
retinoblastoma adalah sebagai berikut.
a. Formulir permintaan pemeriksaan PA
Formulir permintaan pemeriksaan PA dibuat oleh klinisi yang dilengkapi dengan
informasi sebagai berikut:
1) Identitas pasien
2) Jenis cairan fiksasi yang digunakan (neutral buffered formalin 10%), volume adekuat
(1:10), dan berapa lama setelah operasi disebutkan jamnya
3) Cara operasi
4) Sisi kiri atau kanan
5) Apakah terdapat destruksi ke organ sekitar atau penyebaran jauh
b. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik melaporkan informasi sebagai berikut:
1) Ukuran bola mata
2) Ukuran panjang batas sayatan nervus optikus (cm)
3) Ukuran tumor (diameter terbesar) dalam mm/cm
4) Pola pertumbuhan tumor (eksofitik, difus)
c. Grossing retinoblastoma College of American Pathologist 2017
Menyatakan langkah grossing retinoblastoma dengan tahapan sebagai berikut:
1) Ujung nervus optikus diberi tinta cina, dan harus dipotong sebelum membuka bola
mata untuk menghindari kontaminasi sel tumor, dan ujung nervus optikus diposisikan
menghadap ke bawah dalam blok parafin
2) Selanjutnya dilakukan potongan dari pupil sampai ke arah belakang nervus optikus
sehingga didapatkan bagian tengah nervus optikus dengan struktur lainnya, yaitu
bagian tengah saraf, pre dan post lamina kribrosa.
3) Selanjutnya dibuat potongan dari bagian tepi yang berbentuk kubah (calottes), seperti
memotong roti/tegak lurus sumbu pupil - nervus optikus dan dicetak untuk melihat
invasi koroid.
4) Setidaknya ada 2-4 kaset/blok parafin, tergantung besar dan luasnya ekstensi tumor.
d. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik melaporkan informasi sebagai berikut:
1) Letak intraokular
2) Ekstensi ke ruang anterior
3) Ada atau tidaknya invasi ke:
a) Koroid (minor atau major (>3 mm atau multipel))
b) Lamina kribrosa (pre atau post laminar)
c) Sklera (intra atau trans)
d) Nervus optikus
4) Batas sayatan nervus optikus (bebas atau tidak)
5) Adanya penemuan struktur roset
a) Homer-Wright
b) Flexner-Wintersteiner
c) Fleurette
e. Kesimpulan
Kesimpulan atau diagnosis harus disebutkan derajat diferensiasi dan mencantumkan
klasifikasi TNM mengikuti sistem WHO (AJCC 2018).

Derajat diferensiasi dapat dibagi menjadi:


1) Baik
2) Sedang
3) Buruk
f. Pemeriksaan histopatologi berperan dalam menentukan risiko terjadinya kekambuhan.
1) Faktor risiko rendah: sel tumor menginvasi retina, koroid minor (hanya 1 fokus dan <
3 mm), atau prelaminar nervus optikus
2) Faktor risiko menengah: sel tumor telah menginvasi koroid mayor (invasi multipel
atau > 3 mm), segmen anterior dan postlaminar nervus optikus
3) Faktor risiko tinggi: sel tumor telah menginvasi intra dan ktrans-sklera dan ditemukan
sel tumor di batas sayatan nervus optikus Pemeriksaan histopatologi pasca
kemoreduksi pada retinoblastoma: dilaporkan ada atau tidak sel viabel, nekrosis dan
kalsifikasi.
3. Pemeriksaan LP dan BMP
Pemeriksaan LP dan BMP dilakukan untuk mengetahui perluasan tumor ke ekstraokular.
Pada stadium 3 dan 4, kedua prosedur ini harus dilakukan untuk mengetahui metastasis. Pada
stadium 2, dapat diindikasikan apabila saat evaluasi dicurigai telah ada metastasis. Pada
retinoblastoma intraokular, yang pada pemeriksaan patologi anatomik didapatkan hasil pT4
menurut WHO, maka disarankan untuk melakukan pungsi lumbal dan aspirasi sumsum tulang.
Pungsi lumbal dan aspirasi sumsum tulang sebaiknya dilakukan sebelum dimulai terapi agar
dapat menjadi acuan keberhasilan terapi. Tindakan pengambilan sampel pungsi lumbal dan
aspirasi sumsum tulang dilakukan oleh dokter hematologi-onkologi anak dalam sedasi.
Selanjutnya, pemeriksaan spesimen cairan otak dilakukan oleh dokter patologi anatomik,
sedangkan pemeriksaan spesimen sumsum tulang dilakukan oleh dokter hematologi-onkologi
anak atau patologi klinik.
4. Pemeriksaan dan Konseling Genetik
Meskipun belum diaplikasikan secara rutin dalam pelayanan, penelitian mengenai
pentingnya konseling genetik sudah banyak dilakukan. Konseling genetik dilakukan oleh dokter
penanggungjawab pasien berdasarkan hasil telaah silsilah keluarga minimal 3 generasi dan
dibuktikan dengan hasil pemeriksaan genetik molekuler. Pemeriksaan adanya mutasi di gen RB-
1 ini adalah cara yang paling akurat untuk memprediksi anggota keluarga yang
berpotensimengalami retinoblastoma, terutama pada pasien dengan retinoblastoma bilateral.
Apabila pemeriksaan gen RB-1 tidak dilakukan, maka tidak dapat diperkirakan secara pasti
seberapa besar risiko yang ada. Dalam konseling genetik harus disampaikan bahwa pasien
dengan kategori H1 mempunyai 50% risiko untuk mewariskan mutasi gendan 45% berisiko
berkembang menjadi retinoblastoma. Ketika dua anak yang terdiagnosis retinoblastoma, namun
orang tua tampak normal, dapat dipastikan bahwa salah satu orang tua merupakan carrier.
Pasien/anak dalam kategori H1 harus menjalani pemeriksaan mata setiap 4 minggu hingga usia 6
bulan, lalu rutin (dengan interval lebih jarang) hingga usia 3 tahun sebagai usaha identifikasi
tumor sedini mungkin. Jika memungkinkan, pemeriksaan radiasi termasuk rontgen dan CT scan
dihindari pada pasien kategori H1 untuk menurunkan risiko keganasan sekunder. Pasien/anak
dalam kategori H0* tetap harus menjalani pemeriksaan mata rutin, termasuk USG.

2.5 Penatalaksaan Medis


Terapi retinoblastoma berdasarkan prinsip umum bertujuan untuk menghilangkan tumor dan
menyelamatkan nyawa penderita, mempertahankan penglihatan bila memungkinkan,
menyelamatkan mata, menghindari tumor sekunder yang dapat juga disebabkan karena terapi
terutama pada anak yang mengalami retinoblastoma yang diturunkan. Faktor terpenting yang
menentukan pemilihan terapi meliputi apakah tumor pada satu mata atau kedua mata, bagaimana
penglihatannya, dan apakah tumor telah meluas keluar bola mata. Hasil terapi akan lebih baik
bila tumor masih terbatas dalam mata dan akanmemburuk bila tumor telah menyebar.
Berdasarkan stadium tumor, terapi yang dapat digunakan yaitu:
a. Kemoterapi
Kemoterapi atau kemoreduksi telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari manajemen
retinoblastoma. Apabila penyakitnya sudah menyebar ke bagian ekstraokuler, kemoterapi
merupakan terapi yang sangat dianjurkan. Obat kemoterapi yang digunakan yaitu carboplatin,
cisplatin, etoposid, teniposid, siklofosfamid, ifosfamid,vinkristin, adriamisin, dan akhir-akhir ini
dikombinasikan dengan idarubisin. Dosis Vincristine 1,5 mg/m22 (0,05 mg/kg pada anak <36
bulan dan dosis maksimum <2mg), Etoposide 150 mg/m (5 mg/kg untuk anak <36 bulan),
carboplatin 560 mg/m2 (18,6 mg/kg untuk anak <36 bulan) (Pandey, 2013).
b. Pembedahan
Enukleasi adalah terapi yang paling sederhana dan aman untuk retinoblastoma. Pemasangan
bola mata biasanya dilakukan beberapa minggu setelah prosedur enukleasi untuk meminimalkan
efek kosmetik. Enukleasi dianjurkan apabila terjadi glaukoma, invasi ke rongga naterior, atau
terjadi rubeosis iridis, dan apabila terapi lokal tidak dapat di evaluasi karena katarak atau gagal
untuk mengikuti pasien secara lengkap atau teratur. Enukleasi dapat ditunda atau ditangguhkan
pada saat diagnosis tumor sudah menyebar ke ekstraokular. Pembedahan intraokular seperti
vitrektomi, adalah kontraindikasi pada pasienretinoblastoma karena akan menaikkan
relapsorbita.(buku)
c. External Beam Radiation Therapy (EBRT)
External Beam Radiation Therapy (EBRT), yang dahulu menjadi terapi pilihan pada
retinoblastoma, kini diindikasikan apabila kemoterapi primer dan terapi lokal gagal atau terjadi
kontraindikasi (Pandey 2013). EBRT menggunakan eksalator linjar dengan dosis 40-45 Gy
dengan pemecahan konvensional yang meliputi seluruh retina. Pada bayi prosedur ini harus
dibawah anastesi dan Imobilisasi dan harus ada kerja sama antara dokter ahli mata, dan dokter
radioterapi untuk membuat perencanaan. Keberhasilan EBRT tidak hanya berdasarkan ukuran
tumor tetapi tergantung teknik dan lokasi. Efek samping jangka panjang dari radioterapi harus
diperhatikan seperti hambatan pertumbuhan tulang orbita yang akhirnya akan menyebabkan
gangguan kosmetik. buku
d. Plaque Radiotherapy (Brachytherapy)
Radioactive plaque terapi dapat digunakan pada terapi penyelamatan mata dimana terapi
penyelamatan bola mata gagal untuk menghancurkan semua tumor aktif dan sebagai terapi utama
terhadap beberapa anak dengan ukuran tumor relatif kecil sampai sedang.
e. Kryo dan fotokoagulasi
Teknik digunakan untuk mengobati tumor kecil (kurang dari 5 mm). Cara ini sudah banyak
digunakan dan dapat dilakukan beberapa kali sampai kontrol lokal tercapai. Kryoterapy biasanya
menggunakan probe yang sangat dingin untuk membekukan dan mematikan tumor.Sementara
fotokoagulasi menggunakan laser argon atau xenom untuk mematikan tumor (Permono et al.,
2006).
2.6 Pengkajian Teori
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
meliputi nama, no RM, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, status tanggal MRS,
dan tanggal pengkajian.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan pasien adanya penurunan fungsi penglihatan.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami retinoblastoma dan menjalani
operasi pengangkatan.
d. Riwayat penyakit keluarga
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya.
Retinoblastoma bersifat herediter yang diwariskan melalui kromosom, protein yang
selamat memiliki kemungkinan 50 % menurunkan anak dengan retinoblastoma.
e. Riwayat psikososial
Reaksi pasien dan keluarganya terhadap gangguan penglihatan yang dialami pasien:
cemas, takut, gelisah, sering menangis, sering bertanya.
f. Pemeriksaan fisik umum
Diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya keadaan umum
yangkemungkinan merupakan penyebab penyakit mata yang sedang diderita.
g. Pemeriksaan Khusus Mata
1) Pemeriksaan tajam penglihatan
Pada retinoblastoma, tumor dapat menyebar luas di dalam bola mata sehingga
dapat merusak semua organ di mata yang menyebabkan tajam penglihatan
sangat menurun.
2) Pemeriksaan gerakan bola mata
Pembesaran tumor dalam rongga mata akan menekan saraf dan bahkan dapat
merusak saraf tersebut dan apabila mengenai saraf III, IV, dan VI maka akan
menyebabkan mata juling.
3) Pemeriksaan susunan mata luar dan lakrimal
Pemeriksaan dimulai dari kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva, kornea,
bilik mata depan, iris, lensa dan pupil.Pada retinoblastoma didapatkan:
4) Pemeriksaan pupil
Leukokoria (refleks pupil yang berwarna putih) merupakan keluhan dan gejala
yang paling sering ditemukan pada penderita dengan retinoblastoma.
5) Pemeriksaan funduskopi
Menggunakan oftalmoskopi untuk pemeriksaan media, papil saraf optik, dan
retina. Refleksi tak ada (atau gelap) akibat perdarahan yang banyak dalam badan
kaca.
6) Pemeriksaan tekanan bola mata
Pertumbuhan tumor ke dalam bola mata menyebabkan tekanan bola mata
meningkat
2.7. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
1. Resiko cedera berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang (tumor tumbuh ke
dalam vitreous) D.0136
a) Definisi : berisiko mengalami bahaya atau kerusakn fisik yang menyebabkan
seseorang tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi baik.
b) Faktor risiko :
1. Faktor Eksternal
 Terpapar pathogen
 Terpapar zat kimia toksik
 Terpapar agen nosocomial
 Ketidakamanan trasportasi
2. Faktor Eksternal
1. Ketidaknormalan profil darah
2. Perubahan orientasi afektif
3. Perubahan sensasi
4. Disfungsi autoimun
5. Disfungsi biokimia
6. Hipoksia jaringan
7. Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
8. Malnutrisi
9. Perubahan fungsi psikomotor
10. Perubahan fungsi kognitif
c) Kondisi klinis terkait
 Kejang
 Sinkop
 Vertigo
 Gangguan penglihatan
 Gannguan pendengaran
 Penyakit Parkinson
 Hipotensi
 Kelainan nervus vestibularis
 Retardasi mental
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan setelah operasi
(malu). D.0083
a) Definisi : perubahan persepsi tentang penampilan, struktur dan fungsi fisik
individu
b) Gejala dan tanda mayor
1) Subjektif
 Mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian tubuh
2) Objektif
 Kehilangan bagian tubuh
 Fungsi/struktur tubuh berubah/hilang
c) Gejalan dan tanda minor
1) Subjektif
 Tidak mau mengungkapkan kecacatan/kehilangan bagian
tubuh
 Mengungkapkan perasaan negatif tentang perubahan tubuh
 Mengungkapkan kekhawatiran pada penolakan/reksi orang
lain
 Mengungkapkan perubahan gaya hidup
2) Objektif
 Menyembunyikan/menunjukan bagian tubuh secara berlebihan
 Menghindari melihat atau menyentuh bagian tubuh
 Fokus berlebihan pada tubuh
 Respon nonverbal pada perubahan dan persepsi tubuh
 Fokus pada penampilan dan kekuatan masa lalu
 Hubungan sosial berubah
4. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pelepasan mediator kimia yaitu
histamine, prostaglandin bradykinin di otak
a) Definisi : perasaan kurang senang, lega dan sempurna dalam dimensi fisik,
psikospiritual lingkungan dan sosial
b) Gejala dan tanda mayor
1) Subjektif
 Mengeluh tidak nyaman
2) Objektif
 gelisah
c) Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
 Mengeluh sulit tidur
 Tidak mampu rileks
 Mengeluh kedinginan
 Merasa gatal
 Mengeluh mual
 Merasa Lelah

2) Objektif
 Menunjukan gejalan distress
 Tampak merintih/menangis
 Pola eliminasi berubah
 Postur tubuh berubah
 iritabilitas
5. Gangguan persepsi sensori (penghihatan) berhbungan dengan ketajaman penglihatan
menurun
a) Definisi : perubahan persepsi terhadap stimulus baik internal maupun
eksternal yang disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan atau
terdistorsi
b) Gejalan dan tanda mayor
1) Subjektif
 Melihat suara bisiskan atau melihat bayangan
 Merasakan sesuatu melalui Indera perabaan, penciuman,
perabaan atau pengecapan
2) Objektif
 Sitorsi sensori
 Respon tidak sesuai
 Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba, atau
mencium sesuatu
c) Gejala dan tanda minor
1) Subjektif
 Menyatakan kesal
2) Objektif
 Menyendiri
 Melamun
 Konsetrasi buruk
 Disorientasi wakti, tempat orang atau situasi
 Curiga
 Melihat ke satu arah
 Mondar-mandir
 Bicara sendiri

Anda mungkin juga menyukai