Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Retinoblastoma merupakan keganasan neuroektodermal imatur retina sensoris
yang sedang berkembang yang paling sering terjadi pada anak-anak (Sheltar, 2013).
Penyakit ini dapat terjadi sporadik atau familial. Insiden retinoblastoma adalah 1 dari
20.000 kelahiran hidup, dengan retinoblastoma bilateral terjadi pada 1/3 kasus
tersebut (UICC, 2014).
Keganasan ini terjadi karena adanya mutasi pada gen RB1 yang terletak pada
lengan panjang kromosom 13 pada lokus 14 (13q14) (Sachdapul, 2013). Setiap
tahunnya 7000─8000 kasus retinoblastoma terjadi di seluruh dunia. Sekitar 250─350
kasus baru retinoblastoma terdiagnosis di Amerika (Harnas, 2017). Tiga setengah juta
kasus terjadi pada anak dibawah 15 tahun dan 11,8 juta kasus pada anak di bawah 5
tahun. Dua pertiga kasus di diagnosis sebelum usia 2 tahun, dan 95% sebelum usia 5
tahun. Di negara - negara maju seperti Eropa, Amerika, dan Australia, retinoblastoma
dijumpai sebanyak 2─4%, sementara di negara berkembang dijumpai sebanyak 3%.
Angka kejadian di Asia pada tahun 2013, kasus retinoblastoma tertinggi terjadi di
India. Hasil dari 1.000 anak usia 0─4 terdapat 15,9─19,6% anak terkena
retinoblastoma (Rahman, 2014).
Di negara maju, angka keberlangsungan hidup mencapai 90%, sedangkan di
negara berkembang angka keberlangsungan hidupnya hanya 50%. Hal ini dilihat dari
angka kematian yang cukup tinggi (KPAI, 2017). Di Indonesia, diprediksi setiap
tahun ada seratus penderita kanker baru dari 100.000 penduduk, sebanyak 2% di
antaranya atau 4.100 kasus merupakan kanker anak (Farouk, 2011).
Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyebutkan bahwa
retinoblastoma merupakan 10-12% dari seluruh kanker anak, yaitu sebanyak
sebanyak 15–22 kasus pertahun sebelum tahun 2002 dan meningkat setiap tahunnya

1
hingga 40 kasus pertahun pada tahun 2002-2003 (Dharmawidiarni, 2010). Sachdapul
dalam penelitiannya di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2013 terdapat 10 kasus
(41,6%) pada tahun 2011 dan 14 kasus (58,4%) (Sachdapul, 2013).
Retinoblastoma merupakan tumor yang dapat terjadi secara herediter (40%),
dan non-herediter (60%). Tumor ini dapat terjadi dalam bentuk unilateral (70─75%),
atau bilateral (25─30%). Pada bentuk herediter, tumor cenderung terjadi pada usia
muda. Anak dengan retinoblastoma bilateral terjadi 20─30% kasus. Pasien dengan
retinoblastoma bilateral biasanya muncul pada usia yang lebih muda yaitu 14─16
bulan dibandingkan dengan retinoblastoma unilateral yaitu 29─30 bulan dan
retinoblastoma herediter muncul lebih awal dibandingkan dengan retinoblastoma
non-heredier. Diperkirakan 20─30% anak dengan retinoblastoma bilateral
mempunyai riwayat penyakit yang sama pada keluarga (Henry, 2013). Lelaki dan
perempuan memiliki risiko yang sama untuk menjadi retinoblastoma, dapat terjadi
pada mata kanan maupun kiri serta tanpa dipengaruhi oleh ras (Dharmawadini, 2010).
Namun beberapa penelitian lain menyebutkan kasus ini lebih banyak terjadi
pada lelaki (Watts, 2006). Dalam perkembangan selanjutnya retinoblastoma memiliki
kemampuan untuk menyebar ke saraf optikus atau orbita, maupun menyebar ke
organ-organ yang lebih jauh sehingga tumor ganas pada anak-anak ini dapat berakibat
fatal apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat (Riordan, 2013). Prognosis pasien
retinoblastoma cukup baik jika diagnosis dini dapat ditegakkan dengan pemberian
terapi yang tepat. Angka ketahanan hidup 5 tahun pasien retinoblastoma dengan
leukokoria adalah sebesar 86% dan strabismus sebesar lebih dari 90%. Sedangkan
kesintasan lima tahun pada mata pasien retinoblastoma dengan leukokoria adalah
kurang dari 9% dan strabismus sebesar 17% (Huijing, 2015).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai
Skrining Retinoblastoma di Kawasan Kerja Puskesmas Singosari Kota Pematang
Siantar Tahun 2019. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai Skrining Retinoblastoma di Kawasan Kerja Puskesmas Singosari Kota
Pematang Siantar Tahun 2019.

2
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan
permasalahan penelitian ini adalah, “Bagaimanakah Skrining Retinoblastoma di
Kawasan Kerja Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar Periode Juli sampai
September Tahun 2019?”

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Skrining
Retinoblastoma di Kawasan Kerja Puskesmas Singosari Kota Pematangsiantar
Periode Juli sampai September Tahun 2019.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui distribusi karakteristik pasien retinoblastoma di Kawasan Kerja
Puskesmas Singosari Kota Pematang Siantar Tahun 2019 berdasarkan jenis
kelamin.
2. Mengetahui distribusi karakteristik pasien retinoblastoma di Kawasan Kerja
Puskesmas Singosari Kota Pematang Siantar Tahun 2019 berdasarkan
kelompok umur.
3. Mengetahui distribusi karakteristik pasien retinoblastoma di Kawasan Kerja
Puskesmas Singosari Kota Pematang Siantar tahun 2019 berdasarkan
kelompok riwayat kelahiran.
4. Mengetahui distribusi karakteristik pasien retinoblastoma di Kawasan Kerja
Puskesmas Singosari Kota Pematang Siantar tahun 2019 berdasarkan
kelompok riwayat berat badan lahir.
5. Mengetahui distribusi karakteristik pasien retinoblastoma di Kawasan Kerja
Puskesmas Singosari Kota Pematang Siantar tahun 2019 berdasarkan
kelompok riwayat pekerjaan ayah yang berhubungan dengan radiasi.

3
6. Mengetahui distribusi karakteristik pasien retinoblastoma di Kawasan Kerja
Puskesmas Singosari Kota Pematang Siantar tahun 2019 berdasarkan
kelompok riwayat hewan peliharaan.
7. Mengetahui distribusi karakteristik pasien retinoblastoma di Kawasan Kerja
Puskesmas Singosari Kota Pematang Siantar tahun 2019 berdasarkan
kelompok riwayat keluarga dengan retinoblastoma.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Retinoblastoma adalah tumor endoocular pada mata yang mengenai syaraf
embrionik retina,bisa terjadi unilateral atau bilateral. Retinoblastoma bisa terjadi
intraokular atau menyebar keluar mata dan ekstraokular. (Rosdiana, 2011)

2.2. Epidemiologi
Retinoblastoma merupakan tumor okuli primer yang paling sering dijumpai
pada anak dan di amerika serikat, 250 kasus baru didiagnosa setiap tahunnya.
Insidensi lebih tinggi di negara berkembang dan merupakan salah satu dari keganasan
tersering pada anak. (Kodrat, et all, 2013)
Secara genetik tumor ini berkembang karena mutasi lengan panjang kromosom
pada lokus 13q14 dan mutasi pada kedua alel gen Rb1. Tumor ini dapat diturunkan
secara herediter atau sporadik, dan dapat unilateral (70-75% kasus), maupun bilateral
(25-30% kasus). Tidak terdapat predileksi sex dan ras. Umur yang sering dikenai
rata-rata usia 18 bulan dan 90% pasien didiagnosis sebelum usia 5 tahun. (Rahman,
2014)
Epidemiologi retinoblastoma di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Hasil
penelitian di RSU Dr. Soetomo, Surabaya Januari 2010 s.d. Desember 2012
menunjukkan bahwa terdapat 44 kasus retinoblastoma yang terdiagnosa melalui
histopatologi (Soebagjo et all, 2013). Hasil penelitian di RSU Dr. M Jamil, Padang
tahun 2003-2012 menunjukkan bahwa terdapat 99 kasus retinoblastoma yang dirawat
di bangsal mata (Rahman, 2014). Hasil penelitian di RSUP H. Adam Malik tahun
2005 -2009 menunjukkan bahwa terdapat 67 kasus retinoblastoma (Rosdiana, 2012).
Hasil Penelitian di RSUP H. Adam Malik tahun 2014-2017 menunjukkan terdapat 48
kasus retinoblastoma (Pallysater, 2018).

5
2.3. Etiologi
Retinoblastoma dapat bersifat herediter atau sporadis. Kasus herediter
biasanya didiagnosis pada usia yang lebih muda dan bersifat multifokal dan bilateral,
sedangkan kasus sporadis biasanya didiagnosis pada anak yang lebih tua yang
cenderung memiliki keterlibatan unilateral dan unifokal.
Bentuk herediter dikaitkan dengan hilangnya fungsi gen retinoblastoma (RB1)
melalui mutasi atau penghapusan gen. Gen RB1 terletak pada kromosom 13q14 dan
mengkodekan protein retinoblastoma, protein penekan tumor yang mengontrol
transisi fase siklus sel dan memiliki peran dalam apoptosis dan diferensiasi sel.
Banyak mutasi kausatif yang berbeda telah diidentifikasi, termasuk translokasi,
penghapusan, penyisipan, mutasi titik, dan modifikasi epigenetik seperti metilasi gen.
Sifat mutasi predisposisi dapat mempengaruhi penetrasi dan ekspresifitas
perkembangan retinoblastoma.
Dalam bentuk retinoblastoma sporadis, 2 mutasi terjadi pada sel retina
somatik. Pembawa heterozigot dari mutasi RB1 onkogenik menunjukkan ekspresi
fenotipik variabel. (Nelson, 2015)

2.4. Klasifikasi
Retinoblastoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
A. LATERALISASI TUMOR
Berdasarkan pembagian retinoblastoma dari letak lateralisasinya.
Retinoblastoma dapat terbagi atas unilateral dan bilateral.
Tumor unilateral dapat didefinisikan sebagai tumor baik tunggal maupun
lebih yang muncul pada salah satu mata pasien. Median usia pada pasien
retinoblastoma tumor unilateral adalah 23 bulan. Pada pasien dengan tumor unifocal
unilateral, kemungkinan besar pasien tersebut mengidap retinoblastoma non
herediter. Pada pasien dengan tumor multifocal unilateral memungkinkan terkena
retinoblastoma herediter
Tumor bilateral dapat didefinisikan sebagai tumor baik tunggal maupun lebih

6
yang muncul pada kedua mata pasien. Tumor bilateral diperkirakan terjadi pada
pasien retinoblastoma herediter, bahkan jika riwayat keluarga positif retinoblastoma.
Tumor tersebut hampir selalu muncul pada anak usia 2 tahun dan biasanya terjadi
pada tahun pertama kelahiran (Lanzkowsky, 2016).
Retinoblastoma trilateral merupakan gabungan dari retinoblastoma unilateral
serta bilateral dan dikaitkan dengan primitive neuroectodermal tumor (PNET) garis
tengah intrakranial, dimana muncul di kelenjar pineal (Rodjan, 2012).

B. FOKALITAS
Jika tumor unifokal muncul, maka tumor tersebut disimpulkan sebagai
retinoblastoma nonherediter. Jika tumor multifocal muncul pada salah satu atau kedua
mata, maka pasien tersebut mengidap mutasi gen RB1 (Lanzkowsky, 2016).

2.5. Faktor Resiko


Faktor Risiko untuk Retinoblastoma Faktor risiko adalah segala sesuatu yang
meningkatkan peluang seseorang terkena penyakit seperti kanker. Kanker yang
berbeda memiliki faktor risiko yang berbeda pula. Faktor risiko yang berhubungan
dengan gaya hidup seperti berat badan, aktivitas fisik, diet, dan penggunaan tembakau
memainkan peran utama dalam banyak kanker dewasa. Tetapi faktor-faktor ini
biasanya memakan waktu bertahun-tahun untuk memengaruhi risiko kanker, dan
mereka tidak dianggap berperan banyak dalam kanker anak-anak, termasuk
retinoblastoma. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui untuk retinoblastoma.
A. Usia
Sebagian besar anak-anak yang didiagnosis dengan retinoblastoma berusia di
bawah 3 tahun. Kebanyakan retinoblastoma bawaan (yang diwariskan) ditemukan
selama tahun pertama kehidupan, sedangkan retinoblastoma yang tidak diwariskan
cenderung didiagnosis pada anak usia 1 dan 2 tahun. Retinoblastoma jarang terjadi
setelah usia 6 tahun.

7
B. Genetik
Risiko retinoblastoma jauh lebih tinggi pada anak-anak dengan orang tua
yang memiliki bentuk retinoblastoma bawaan (diwariskan). Bentuk ini sering
menyebabkan tumor pada kedua mata (bilateral retinoblastoma). Tetapi bagi
kebanyakan anak-anak dengan retinoblastoma, tidak ada riwayat keluarga dengan
penyakit ini. Ini benar apakah mereka memiliki bentuk retinoblastoma yang
diwariskan atau tidak diturunkan. Di sisi lain, anak-anak dengan bentuk
retinoblastoma yang diwariskan memiliki peluang 1 banding 2 untuk akhirnya
meneruskan perubahan gen RB1 yang menyebabkan tumor pada anak-anak mereka.
Anak-anak dengan bentuk yang tidak diwariskan tidak meneruskan risiko yang
meningkat.

C. Faktor risiko lainnya


Beberapa studi telah menyarankan beberapa faktor orangtua yang mungkin
terkait dengan peningkatan risiko retinoblastoma, seperti:
 Diet rendah buah dan sayuran di kalangan ibu selama kehamilan
 Paparan bahan kimia dalam knalpot bensin atau solar selama kehamilan
 Paparan ayah terhadap radiasi (www.cancer.org)
 Ibu yang memiliki hewan peliharaan sebelum atau selama masa kehamilan (Yang,
2016)
Kemungkinan hubungan antara faktor-faktor ini dan retinoblastoma masih
dipelajari. (www.cancer.org).

2.6. Patogenesis
Sel normal memiliki suatu mekanisme gen pengaturan yang melindunginya
dari sel onkogen, yaitu tumor-suppressor genes. Ketika gen ini diinaktivasi, sinyal
genetik yang normalnya menghambat proliferasi sel dirusak sehingga menyebabkan

8
pertumbuhan yang tidak normal dari sel. Gen p53 dan gen retinoblastoma (RB)
merupakan contoh dari tumor-suppressor genes (Porth C., 2010).

a) Teori mutasi gen RB1


RB1 mengkode protein Rb, dimana fungsinya adalah sebagai tumorsuppressor
oncogene, dengan cara mengontrol siklus sel melalui interaksi kompleks dengan
beberapa enzim kinase. Pada keadaan absennya stimulus mitogenik, tugas RB1
adalah menghambat siklus sel dalam proses transkripsi gen yang diperlukan untuk
masuk fase S (Porth C., 2010).
Fungsi RB1 dapat dirusak dengan ekspresi berlebih dari cyclin-D atau
hilangnya p16INK4A (Kandalam, M., dkk., 2010). Cyclin-D adalah protein regulator,
berikatan dengan enzim cyclin dependent kinases (CDKs), berfungsi untuk
mengontrol titik transisi siklus sel melalui proses fosforilasi dan defosforilasi.
Pada kasus RB, checkpoint dari fase G1 ke S, berfungsi untuk cek DNA
apakah sudah direplikasi dengan sempurna, mengalami hiperfosforilasi. Keadaan
hiperfosforilasi tersebut dapat dipicu oleh virus yang mengubah protein regulator,
seperti adenovirus EIA, siman virus 40 (SV40), dan HPV-7. Akibatnya, replikasi
DNA menjadi tidak terkontrol dan hasil replikasi tersebut tidak sempurna (Othman
I.S., 2012).

9
Gambar 2.1. Siklus sel normal: protein retinoblastoma (Rb) diaktivasi melalui proses
fosforilasi
Sumber: Othman I.S., 2012

Gambar 2.2. Siklus sel patologis: proses inaktivasi protein Rb melalui proses
hiperfosforilasi mengakibatkan replikasi sel tidak terkontrol
Sumber: Othman I.S., 2012

Penyakit RB dapat muncul dalam dua bentuk mutasi genetik, yaitu mutasi
sporadic (didapat) dan mutasi herediter (riwayat keluarga) (Yeole & Advani, 2001).
Postulasi Knudson (1971) menyatakan bahwa RB terjadi karena dua buah bentuk
mutasi, yaitu dari sel germinal dan non-germinal (sel somatik) (Aerts, dkk., 2006).
Baik mutasi sel germinal maupun sel non germinal (sel somatik) terjadi akibat mutasi
pada kedua buah alel gen RB1 yang terletak pada kromosom 13q14 (D’Elia, dkk.,
2013).
Individu normal mempunyai dua buah gen RB (RB,RB). Pada kasus herediter
(60% kasus), gen RB mengalami dua bentuk mutasi. Mutasi pertama adalah mutasi
hemizigot sel germinal (RB,rb), diikuti dengan mutasi kedua yaitu mutasi sel non
germinal (sel somatik) homozigot (rb,rb) yang menjadi dasar pembentukan RB

10
bilateral. Pada kasus sporadic (40% kasus), mutasi pertama dan kedua adalah mutasi
sel non germinal (sel somatik) yang mengakibatkan RB unilateral dan unifokal
(Othman, I.S., 2012). Pasien dengan unilateral atau bilateral RB terkadang
mempunyai kelainan tambahan berupa tumor neuroblastik intrakranial (biasanya pada
kelenjar pineal), biasa dikenal dengan trilateral retinoblastoma syndrome (TRB).
Kelainan kromosom yang menyebabkan berkembangnya TRB adalah delesi besar
dari kromosom 13q14 (D’Elia, dkk., 2013).

Gambar 2.3. Patogenesis mutasi pertama dan kedua gen RB1


Sumber: Porth, C., 2010

11
Gambar 2.4. Patogenesis mutasi gen RB1 sel germinal dan sel nongerminal (somatik)
Sumber: Yeole & Advani, 2001

b) Teori p53
Protein 53 (p53) merupakan tumor-suppressor gene yang berfungsi dalam
mengontrol siklus sel atau apoptosis. Dalam keadaan stress, sel akan mengalami
kerusakan DNA atau jatuh dalam keadaan onkogenik (Kandalam, M., dkk., 2010).
Pada kasus RB, gen p53 diinaktivasi oleh amplifikasi murine double minute-4
(MDMX) sehingga ini menjadi dasar pemikiran para ahli untuk membuat tata laksana
kemoterapeutik RB (Laurie, dkk., 2006 dalam Kandalam, M., dkk., 2010).

c) Teori radikal bebas


Reactive oxide species seperti radikal bebas superoksida (O2-) dan hidrogen
peroksida (H2O2) memberikan peran penting terhadap inisiasi dan progresi dari
karsinogenesis. Reactive oxide species yang bergabung bersama reactive nitrogen
species secara endogen atau eksogen dinamakan ”oxidative and nitrossative stress”,
kemudian hasilnya berupa agen vasoaktif nitrit oksida (NO). Agen vasoaktif NO

12
disintesis dari asam amino L-Arginin oleh enzim nitrit oksida sintase (NOS),
berfungsi sebagai vasodilator (Kandalam, M., dkk., 2010).
Telah ditemukan tiga bentuk isoform dari enzim NOS yang mengkode tiga gen
berbeda. Dua diantara isoform NOS adalah endotelial dependen kalsium dan tipe
neural (eNOS dan nNOS); bentuk isoform lainnya induksi (iNOS) dan aksinya tidak
dependen kalsium (Kandalam, M., dkk., 2010). Telah ditemukan ekspresi gen eNOS
dan iNOS pada jaringan tumor RB. Ekspresi gen eNOS ditemukan pada RB stadium
awal maupun stadium invasif, sedangkan ekspresi gen iNOS lebih banyak ditemukan
pada RB stadium invasif ( Krishnakumar, dkk., 2005).

2.7. Diagnosis
a) Gejala Klinis
Temuan klinis terbanyak di dunia saat didiagnosis adalah leukokoria (90%)
dan strabismus (35%) (Othman, I.S., 2012). Akan tetapi, temuan klinis tersebut
memiliki perbedaan berdasarkan faktor sosiodemografi suatu negara. Penelitian di
beberapa negara maju, yaitu Amerika, Inggris, Swiss, dan Finlandia menemukan
bahwa leukokoria terjadi pada 50-60%, strabismus baik esotropia maupun eksotropia
20-25%, dan tanda radang (mata merah atau pseudo orbital cellulities) 6-10%
(Dharmawidiarini, dkk., 2010).
Penelitian di RS Cipto Mangunkusumo, dari 64 pasien RB baru, leukokoria
ditemui sebanyak 19 pasien (30%), leukokoria disertai proptosis sebanyak 41 pasien (
64%), buftalmos 2 pasien (3%), dan mata merah 2 pasien (3%) (Asih, dkk., 2009).
Penelitian di Sumatera Utara, di RSUP H. Adam Malik Medan, dari total 61 pasien
(53 unilateral dan 8 bilateral), gejala klinis terbanyak adalah proptosis yang ditemui
sebanyak 40 kasus (54,1% pada unilateral RB dan 11,4% pada bilateral RB)
(Rosdiana N., 2011). Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, dapat disimpulkan
bahwa gejala klinis di Indonesia lebih banyak ditemukan proptosis dibandingkan
leukokoria.

13
Gejala klinis lainnya dapat berupa rubeosis iris, hipopion, hifema, buftalmia,
selulitis orbital, dan eksoftalmia. Gejala klinis lebih lanjut dapat berupa tumor solid
intraokuler atau ekstraokuler. Namun, gejala klinis demikian jarang dikeluhkan
pasien atau pengasuh maupun didiagnosis oleh dokter (Aerts, dkk., 2006).

Gambar 2.5. Gejala Klinis Leukokoria (mata kiri)


Sumber: Reddy & Honavar, 2008

Gambar 2.6. Gejala klinis proptosis pada eksofitik RB (mata kanan)


Sumber: Reddy & Honavar, 2008

14
b) Pemeriksaan Fisik

1) Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visus)


Tajam penglihatan pada kasus RB umumnya sangat menurun dan tergantung
tingkat keparahannya. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan tingkat
keparahan dan tata laksana yang tepat. Penulis belum menemukan jurnal mengenai
tajam penglihatan awal sebelum dilakukan intervensi dan tata laksana (Ilyas &
Yulianti, 2011).
a) Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi bertujuan untuk melihat gambaran normal atau tidak
normal pada bagian dalam mata atau fundus okuli. Gambaran funduskopi
pasien RB bermacam-macam tergantung pada tingkat keparahannya. Stadium
awal dengan keluhan leukokoria menghasilkan gambaran funduskopi berupa
daerah retina yang tampak memutih. Gambaran lainnya dapat berupa
neovaskularisasi, hifema, hipopion, atau depresi sklera (Lin & O’brien, 2009).

Gambar 2.7. Gambaran leukokoria pada pemeriksaan funduskopi


Sumber: Reddy & Honavar, 2008

15
b) Pemeriksaan Tekanan Bola Mata
Pemeriksaan tekanan bola mata bertujuan untuk menilai perubahan pada
tekanan bola mata dengan alat tonometer (Ilyas & Yulianti, 2011). Terkadang
pasien RB datang dalam stadium berat dengan komplikasi berupa glaukoma
sehingga pengukuran tekanan bola mata penting untuk diagnosis awal (Lin &
O’brien, 2009).
c) Pemeriksaan Penunjang
1) Ultrasound
Ultrasound menggunakan gelombang suara kemudian diubah menjadi
gambar jaringan pada tubuh, seperti jaringan di dalam maupun di sekitar
mata (American Cancer Society, 2013). Ultrasound juga digunakan untuk
mendeteksi temuan-temuan di bagian posterior mata berupa massa, lesi
kalsifikasi intraokular, dan sebagainya (Parulekar, 2010).

2) Computed Tomography (CT) scan


Pemeriksaan CT scan merupakan tes sinar X yang berfungsi menghasilkan
gambar jaringan tubuh dengan potongan melintang. Tes ini dapat memberi
keterangan mengenai ukuran massa RB dan bagaimana penyebarannya di
dalam dan sekitar mata (American Cancer Society, 2013). Akan tetapi, CT
scan mempunyai kelemahan radiasi tinggi sehingga sebisa mungkin
dihindari (Parulekar, 2010).

16
Gambar 2.8. CT scan orbital pada pasien RB dengan penyeberan intrakranial
Sumber: Pandey, A.N., 2013
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Tes ini dapat memberi keterangan mengenai ukuran massa RB dan bagaimana
penyebarannya di dalam dan sekitar mata (American Cancer Society, 2013).
Akan tetapi, CT scan mempunyai kelemahan radiasi tinggi sehingga sebisa
mungkin dihindari (Parulekar, 2010).

Gambar 2.9. CT scan orbital pada pasien RB dengan penyeberan intrakranial


Sumber: Pandey, A.N., 2013

17
4) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI menggunakan magnet untuk menghasilkan potongan
gambar jaringan yang lebih spesifik dibandingkan CT scan. Tes MRI sangat
berguna jika ada kecurigaan metastasis ekstraokular (sering pada metastasis
intrakranial) dimana anak datang dengan tekanan intrakranial yang
meningkat dan dicurigai adanya trilateral retinoblastoma (Parulekar, 2010).

5) Biopsi
Biopsi pada RB tidak dilakukan sebab dapat memicu rusaknya jaringan
tumor sehingga tumor dapat menyebar lebih cepat (American Cancer
Society, 2013).

2.8. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari penatalaksanaan RB adalah menyelamatkan hidup pasien,
sedangkan kembalinya fungsi visual mata merupakan tujuan sekunder (Reddy &
Honavar, 2008). Penatalaksanaan RB melibatkan tim dari berbagai multidisiplin,
yaitu disiplin ilmu onkologi mata, onkologi pediatrik, onkologi radiasi, onkologi
psikis, genetika, dan onkopatologi oftalomologi. Strategi manajemen tata laksana RB
tergantung dengan tingkat keparahannya, seperti intraokular RB, RB dengan
karakteristik risiko tinggi, orbital RB, dan metastasis RB (Pandey, 2013). Tata
laksana untuk intraokular RB meliputi enukleasi, external beam radiation therapy
(EBRT), cryotherapy, laser photocoagulation, thermotherapy, brachytherapy dengan
iodine 125 atau ruthenium 106 plaques, dan systemic chemotherapy. Sedangkan
untuk tata laksana ekstraokular RB diberi terapi lebih lanjut (Lin & O’brien, 2009).
a) Enukleasi
Enukleasi merupakan pilihan tata laksana untuk intraokular unilateral RB dengan
klasifikasi grup E yang melibatkan neovaskularisasi dari iris, glaukoma sekunder,
tumor invasif anterior chamber, tumor >75% volum vitreous, tumor nekrosis dengan
inflamasi sekunder orbital, tumor terkait hifema atau perdarahan vitreous, dimana

18
karakteristik tumor tidak bisa dilihat, dan melibatkan satu mata (unilateral) (Pandey,
2013). Metode enukleasi dilakukan dengan mengangkat penuh mata hingga ke nervus
optikus, kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologinya (Parulekar, 2010).
b) External beam radiation therapy (EBRT)
EBRT merupakan pilihan tata laksana untuk RB bilateral tingkat lanjut, dimana
ditemukannya bercak difus pada vitreous, pada pasien yang menolak dilakukannya
tindakan enukleasi setelah gagalnya bentuk terapi konservatif lainnya.
Akan tetapi, EBRT mempunyai kelemahan karena dapat memicu efek komplikasi
lokal dan dapat mengakibatkan kanker sekunder pada daerah sekitar radiasi setelah
RB sembuh (Othman, 2012).
c) Cryotherapy
Cryotherapy merupakan pilihan tata laksana untuk tumor kecil pada garis ekuator
atau retina perifer dengan ukuran diameter basal ≤ 4mm dan ketebalan 2mm.
Cryotherapy diaplikasikan pada RB dengan interval 4-6 minggu sampai tumor
mengalami regresi. Akan tetapi, cryotherapy mempunyai kelemahan, yaitu
meninggalkan jaringan parut lebih besar dari tumor. Komplikasi lebih lanjut meliputi
lepasnya retina sementara, robekan retina, maupun rhegmatogenous retinal
detachment (Pandey, A.N., 2013).
d) Laser photocoagulation
Laser photocoagulation merupakan pilihan tata laksana untuk tumor posterior
kecil dengan diameter basal 4mm dan ketebalan 2mm. Tujuan terapi ini untuk regresi
tumor dan mengkoagulasikan suplai aliran darah menuju tumor dengan menggunakan
laser. Komplikasi dapat berupa lepasnya retina sementara, oklusi vaskuler retina,
retina bolong, traksi retina, dan fibrosis preretinal (Pandey, A.N., 2013).
e) Thermotherapy
Thermotherapy merupakan pilihan tata laksana untuk tumor kecil dengan diameter
4mm dan ketebalan 2mm. Metodenya dengan melakukan radiasi sinar inframerah
level subfotokoagulasi pada jaringan untuk menginduksi nekrosisnya tumor dan
mencegah rusaknya pembuluh darah retina (Pandey, 2013). Regresi tumor secara

19
komplit dapat mencapai 85% setelah dilakukannya 3-4 kali thermotherapy (Shields,
2001 dalam Pandey, A.N., 2013).
f) Brachytherapy dengan plak I-125 atau Ro-106
Plaque brachytherapy menggunakan zat radioaktif (umumnya I-125 atau Ro106)
yang diimplantasikan pada sklera. Tujuannya adalah untuk radiasi tumor secara
transsklera. Kelebihannya adalah radiasi fokal tumor sehingga tidak menyebabkan
rusaknya jaringan normal di sekitar tumor (Pandey, A.N., 2013).
g) Systemic chemotherapy
Chemotherapy merupakan pilihan tata laksana pada pasien dengan tujuan
mengurangi volum tumor sampai ukuran dimana terapi laser bisa diberikan
(chemoreduction) (Parulekar, 2010). Terapi ini juga efektif untuk kelainan vitreous
dan subretinal, dan ekstraokular maupun metastasis RB (Parulekar, 2010).
Chemotherapy dilakukan sebanyak enam sesi selama 3-4 minggu. Dua regimen obat
untuk systemic chemotherapy adalah carboplatin dan etoposide (Othman, I.S., 2012).

20
.

Tabel 2.1. Strategi Penatalaksanaan RB berdasarkan International


Classification of Retinoblastoma
Sumber: Lin & O’brien, 2009

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


1. Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Singosari, Kecamatan
Siantar Barat, Kota Pematangsiantar.
2. Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2019.

3.2. Design Penelitian


Penelitian yang digunakan adalah suatu survey dengan pendekatan cross
sectional study dengan hasil penelitian deskriptif.

3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Inklusi
a. Individu dengan usia dibawah 5 tahun
b. Individu yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Singosari.
2. Eksklusi
a. Individu yang tidak berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Singosari.
b. Seluruh individu yang tidak memenuhi kriteria inklusi lainnya.

3.4. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan suspek
Retinoblastoma yang tercatat berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Singosari.

22
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan suspek
Retinoblastoma yang tercatat berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Singosari mulai
Juli sampai September 2019.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yakni seluruh
individu yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


1. Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara pada responden yang terpilih sebagai
sampel baik secara door to door atau pasien yang berobat sendiri ke Puskesmas
Singosari.
2. Pengolahan dan penyajian data
a. Pengolahan data
 Editing, untuk memeriksa adanya kesalahan atau ketidaklengkapan data pada
data primer.
 Coding adalah memberi kode nomor pada spesimen yang telah dikumpulkan
untuk mempermudah proses entry data dan tabulasi data.
b. Penyajian data
Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan dan
tabel untuk melihat hasil dari penelitian.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil screening atau deteksi dini retinoblastoma di kawasan kerja
Puskesmas Singosari periode Juli sampai dengan September 2019 tidak didapatkan
anak yang menderita retinoblastoma. Peneliti melakukan pemeriksaan dengan
menggunakan alat oftalmoskopi pada 119 subyek anak di bawah usia 5 tahun.
Kemudian dilakukan wawancara kepada orangtua subyek berupa umur, riwayat
kelahiran dan berat badan lahir, pekerjaan ayah (berhubungan dengan radiasi atau
tidak), ada tidaknya hewan peliharaan (kucing dan anjing), dan riwayat
retinoblastoma pada keluarga.

Variasi Jumlah
Karakteristik % Total
kelompok anak
Laki-laki 50 42%
Jenis kelamin 119
Perempuan 69 58%
0-12 bulan 21 18%
>1-2 tahun 16 13%
>2-3 tahun 20 17%
>3-4 tahun 34 29%
Umur (tahun) >4-5 tahun 28 23% 119
Normal 98 82%
Riwayat kelahiran 119
SC 21 18%
Rendah 3 3%
Berat badan lahir 119
Normal 116 97%
Pekerjaan ayah (+) 0 0% 119

24
berhubungan dengn
(-) 119 100%
radiasi
(+) 3 3%
Hewan peliharaan 119
(-) 116 97%
Riwayat keluarga dengan (+) 0 0%
119
retinoblastoma (-) 119 100%
Tabel 2.2. Karakteristik Subyek Penelitian Screening Retinoblastoma di Kawasan
Kerja Puskesmas Singosari Periode Juli – September 2019

Hasil Screening

Retinoblastoma
Normal

Gambar 1. Diagram Pie distribusi hasil penelitian “Screening Retinoblastoma di


Kawasan Kerja Puskesmas Singosari Periode Juli - September 2019”

4.2. Pembahasan
Dari total 119 subyek penelitian pada anak usia di bawah lima tahun, tidak
didapatkan anak yang menderita retinoblastoma. Pada penelitian ini, didapatkan anak
laki-laki sebanyak 50 orang (42%) dan anak perempuan sebanyak 69 orang (58%),
dengan rentang usia yang mendominasi berada pada usia >3-4 tahun (29%). Menurut
PPK Retinoblastoma tahun 2015, sebanyak 95% kasus retinoblastoma didiagnosis
pada anak usia di bawah 5 tahun (Kemenkes RI, 2015). Hal ini sejalan dengan

25
penelitian ini yang melakukan deteksi dini pada subyek anak di bawah usia 5 tahun.
Menurut International Cancer Control tahun 2014, insidensi retinoblastoma di
seluruh dunia adalah 1 dari 16000-18000 kelahiran hidup per tahun dengan 7000-
8000 kasus per tahunnya di seluruh dunia. Insidensi anual adalah 11.8 per 1 juta anak
di bawah usia 5 tahun (WHO, 2014). Data nasional di Indonesia dikumpulkan dari
beberapa penelitian, seperti di Surabaya didapati 35 kasus per tahunnya (Soebadjo,
2015) dan di Sumatera Utara sendiri yang didapat adalah data penelitian di RS Umum
Haji Adam Malik Medan yaitu 46 kasus retinoblastoma tahun 2011-2013 (Asina G,
2015). Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalensi
retinoblastoma termasuk sedikit atau jarang, sejalan dengan penelitian ini yang tidak
menemukan adanya anak yang retinoblastoma dari 119 subyek penelitian.
Dari 119 subyek penelitian, didapatkan tiga subyek dengan berat badan lahir
rendah (di bawah 2500 gram) dan diantaranya ada satu anak yang dilahirkan
prematur. Dari penelitian Logan dkk., disimpulkan bahwa berat badan lahir rendah
tidak berhubungan dengan terjadinya kanker pada anak. Akan tetapi, berat badan lahir
sangat rendah (di bawah 1500 gram) mungkin berhubungan dengan terjadinya glioma
dan retinolastoma pada anak (Logan dkk., 2009). Untuk hubungan antara cara
persalinan (per vaginam atau SC) sendiri dengan terjadinya retinoblastoma belum
ditemukan penelitian yang membahas hal tersebut.
Pada penelitian ini, tidak didapati ayah subyek yang pekerjaannya terpapar
dengan radiasi dengan hasil tidak ada anak yang menderita retinoblastoma. Hal ini
sesuai dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa salah satu faktor resiko
yang signifikan terhadap retinoblastoma adalah ayah yang terpapar dengan radiasi
(American Cancer Society, 2018). Hal yang sama dikemukakan dalam penelitian
yang dilakukan di Amerika Utara. Pada penelitian dengan 206 kasus retinoblastoma
tersebut, didapatkan 184 kasus retinoblastoma dengan riwayat ayah yang terpapar
radiasi (OR 3.6-3.9, CI 95%) yang artinya ayah yang terpapar radiasi resikonya 3.6-
3.9 kali lebih besar memiliki anak retinoblastoma dibandingkan yang tidak terpapar
(Greta dkk., 2011). Radiasi dikatakan dapat menyebabkan mutasi genetik pada sel

26
sperma sehingga ketika terjadi fertilisasi menghasilkan zigot yang dapat berkembang
menjadi anak retinoblastoma (Greta dkk., 2011)
Dari 119 subyek penelitian, hanya tiga saja yang mempunyai hewan peliharaan
di rumah dengan nol kasus retinoblastoma pada subyek yang diperiksa. Penelitian
yang dilakukan di area Chonqing menyatakan bahwa riwayat memelihara hewan di
rumah berhubungan dengan adanya retinoblastoma dimana dari 113 kasus didapatkan
93 kasus dengan riwayat ibu yang memelihara hewan sejak sebelum kehamilan.
Hipotesisnya adalah hewan peliharaan merupakan pembawa virus atau parasit
penginfeksi yang dapat menyebabkan hilangnya kromosom atau mutasi genetik pada
proses perkembangan fetus (Yu-Qiong Yang dkk., 2016). Penelitian ini hasilnya
masih sesuai karena hanya 3 dari 119 subyek dengan riwayat hewan peliharaan
sehingga tidak ditemukan kasus retinoblastoma.
Pada penelitian ini, tidak didapati riwayat retinoblastoma pada keluarga sehingga
hasilnya tidak ada anak yang menderita retinoblastoma. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Alison dkk., ditemukan bahwa faktor resiko retinoblastoma adalah
riwayat retinoblastoma pada orangtua, saudara kandung, atau kakek/nenek. Hal
tersebut diakibatkan mutasi gen RB1 pada retinoblastoma bersifat herediter atau
diturunkan (Alison dkk., 2018).

27
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan karakteristik subjektif penelitian skrining atau deteksi dini
retinoblastoma di Kawasan kerja Puskesmas Singosari Periode Juli sampai September
2019 dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Kelompok jenis kelamin, anak laki-laki sebanyak 50 orang (42%) dan anak
perempuan sebanyak 69 orang (58%).
b. Kelompok usia yang mendominasi berada pada usia >3-4 tahun (29%).
c. Kelompok riwayat kelahiran secara normal sebanyak 98 orang (82%), sedangkan
riwayat kelahiran SC sebanyak 21orang (18%).
d. Kelompok berat badan lahir rendah sebanyak 3 orang (3%), sedangkan normal
sebanyak 116 orang (97%).
e. Berdasarkan pekerjaan ayah yang berhubungan dengan radiasi sebanyak 0 (0%)
sedangkan yang tidak berhubungan dengan radiasi sebanyak 119 orang (100%).
f. Berdasarkan mempunyai hewan peliharaan 3 orang (3%), sedangkan yang tidak
mempunyai hewan peliharaan 116 orang (97%).
g. Berdasarkan riwayat keluarga dengan retinoblastoma sebanyak 0 orang (0%),
sedangkan yang tidak mempunyai riwayat keluarga dengan retinoblastoma
sebanyak 119 (100%).

5.2 Saran
1. Lokasi penelitian sebaiknya diperluas dengan melibatkan sentra terkait supaya
memberikan hasil yang lebih representative.
2. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lanjutan
berkaitan dengan profil pasien retinoblastoma untuk menilai kualitas pasien,
mencari hubungan antar variable, dan memperbaharui epidemiologi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Abramson, D.H., Beaverson, K., Sangani, P., 2006. Screening for


retinoblastoma: presenting signs as prognostic factors of patient and ocular survival.
Official Journal of the American Academy of Pediatrics;112:1248.
Advani, S.H., Yeole, B.B. Retinoblastoma: An Epidemiological Appraisal
with Reference to a Population in Mumbai, India. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention, 3: 17-21.
Aerts, I., Lumbroso-Le Ruic, L., Gauthier-Villars, M., Brisse, H., Doz, F.,
Desjardins, L., 2006. Orphanet Journal of Rare Disease: Retinoblastoma.
Available from: http://www.ojrd.com/content/1/1/31
Alison., dkk 2018. Consensus Report from the American Association of
Ophthalmic Oncologists and Pathologists. Ophthalmology 2018;125:453-458 a 2017
by the American Academy of Ophthalmology.
American Academy Of Opthalmology, 2013. Retinoblastoma-Asia Pacific.
mhttps://www.aao.org/topicdetail/retinoblastoma--asia-pacific/. [Diunduh tanggal 5
Mei 2017]
American Cancer Society, 2013. How is Retinoblastoma Diagnosed.
Available from:
http://www.cancer.org/cancer/retinoblastoma/detailedguide/retinoblastoma-
diagnosis
American Cancer Society., 2012. Retinoblastoma. http://www.
cancer.org/acs/groups/cid/documents/ webcontent/003135pdf.pdf. [Diunduh tanggal
10 Juni 2017]
American Cancer Society., 2018. Risk Factors for Retinoblastoma.
Asih, D., Gatot, D., Sitorus, R.S., 2009. Computed Tomography Findings of
Retinoblastoma Patient at Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Med J Indones,
18(4): 239-244.

29
Asina, G., 2015. Karakteristik Penderita Retinoblastoma di RSUP Haji Adam
Malik Medan Periode Januari 2011 - Desember 2013.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/44075.
Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Stanton, B.F., St. Geme, J.W., Schor, N.F.
th
2011. Nelson Textbook of Pediatrics, 18 edn, Elsevier Publishing, Philadelphia.
Biswas, J., Kandalam, M., Mitra, M., Subramanian, K., 2010. Molecular
Pathology of Retinoblastoma. Middle East Africa Journal Ophthalmology, 17(3):
217-223.
D’Elia, dkk., 2013. Two Novel Cases of Trilateral Retinoblastoma: Genetics
and Review of the Literature. PubMed for MEDLINE, 206(11): 398-401
Dharmawidiarini, D., Prijanto, Soebagjo, H.D., 2010. Ocular Survival Rate
Penderita Retinoblastoma yang Telah Dilakukan Enukleasi atau Eksenterasi di RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. Jurnal Oftalmologi Indonesia, 7(3): 94-102
Dondey, J.C., Staffieri, S., McKenzie, J., Davie, G., Elder, J., 2006.
Retinoblastoma in Victoria, 1976-2000: Changing management trends and outcomes.
Clin Experiment Ophthalmol;32:354-9.
Fard, A.M., Nabie, R., Taheri, N., Fouladi, RF., 2012. Characteristic and
clinical presentations of pediatric retinoblastoma in North-western Iran. Int J
Ophtalmol;5:510-2.
Farouk, H., Soebagjo, D.S., Hari, B.N., Sutiman, B.S., 2011. Histopathologic
profile grading of haematoxylene eosin on retinoblastoma stadium. Jurnal
Oftalmologi Indonesia; 7: 194 ─ 8.
Gondowiharjo, S, Kodrat, H., et all 2013. 'Radioterapi Pada Retinoblastoma',
Radioterapi & Onkologi Indonesia, Vol. 4 No.1, pp. 17-23
Greta., dkk, 2011. Medical radiation exposure and risk of retinoblastoma
resulting from new germline RB1 mutation. Int J Cancer. 2011 May 15; 128(10):
2393–2404. doi: 10.1002/ijc.25565.

30
Harian Nasional, 2017. Angka kejadian retinoblastoma melonjak.
http://www.harnas.co/2017/04/05/ang ka-kejadian-retinoblastoma-melonjak.
[Diunduh tanggal 10 Juni 2017]
Henry K., Soehartati, G., 2013. Radioterapi pada retinoblastoma. Radioterapi
& Onkologi Indonesia Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society; 4: 17 ─
23.
Honavar, S.G., Reddy, V.A.P., 2008. Retinoblastoma-Advances in
Management. Apollo Medicine, 5(3): 183-190.
Huijing, L.E., Xin, L.U.O., Yun-Gang, D., Yi, D., Huasheng, Y., 2015.
Clinical characteristic and prognosis of patients with retinoblastoma: 8-year follow-
up. Turk J Med Sci ; 45 : 1256 - 62.
Ilyas, S., Yulianti, S.R., 2011. Ilmu Penyakit Mata. Ed. 4. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Kemenkes RI., 2015. Panduan Nasional Penanganan Kanker
Retinoblastoma.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia., 2017. Waspadai kanker pada anak.
http://www.kpai.go.id/berita/waspadai -kanker-pada-anak/. [Diunduh tanggal 5 Mei
2017]
Komite Nasional Penanggulangan Kanker, 2015. Panduan Nasional
Penanganan Kanker Retinoblastoma. KPKN. Jakarta.
Krishnakumar, S., dkk., 2005. Role of Nitrid Oxide Synthases and
Nitrotyrosine in Retinoblastoma. Invest Ophthalmology & Visual Science, 46: 1105-
1110.
Lanzkowsky, P., 2011.Retinoblastoma. Dalam: Manual of pediatric
hematology and oncology. Edisi ke-5. New York: Elsevier. h. 759-75.
Lanzkowsky, P., Lipton, J.M., Fish, J.D,. 2016. Lanzkowsky’s Manual of
th
Pediatric Hematology And Oncology, 6 edn, Academic Press, London.

31
Laurie, dkk., 2010. Molecular Pathology of Retinoblastoma. Dalam:
Kandalam, M. Middle East Africa Journal Ophthalmology, 17(3): 217-223.
Lin, P., O’brien, J. M., 2009. Frontiers in the Management of Retinoblastoma.
American Journal of Ophthalmology, 148(2): 193-200.
Logan, G., dkk., 2009. Cancer Risk Among Children With Very Low Birth
Weights. American Academy of Pediatrics Vol. 124.
Othman, I.S., 2012. Retinoblastoma Major Review with Updates on Middle
East Management Protocols. Saudi Journal of Ophthalmology, 26: 163-175.
Pallysater, D., 2018. 'Profil Pasien Retinoblstoma di RSUP H. Adam Malik
tahun 2014-2017'
Pandey, A. N., 2013. Retinoblastoma: An Overview. Saudi Journal of
Ophthalmology, 11(1): 1-6.
Parulekar, M.V., 2010. Current Treatment and Future Direction. Early Human
Development (Elsevier), 86: 619-625.
Prastyani, R., Soebagjo, H.D., Sujuti, H., et all 2013. ‘Profile of
Retinoblastoma in East Java, Indonesia’, World Journal of Medicine and Medical
Science Research, vol. 1 No. 3, pp. 051-056.
Rahman, A., 2014. ‘Dilema dalam Manajemen Retinoblastoma’, Majalah
Kedokteran Andalas, vol. 37, no. 2.
Riordan-Eva, P., FRCS., FRCO., 2013. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Endah Hamidah Abbas : Karakteristik Pasien Retinoblastoma di Pusat Mata... MK |
Vol. 2 | No. 1 OKTOBER 2018 37 Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. hal. 1-14.
Rosdiana, N., 2011. ‘Gambaran Klinis dan Laboratorium Retinoblastoma’,
Sari Pediatri, vol. 12, no. 5.
Sachdapul, H., 2013. Karakteristik Pasien Retinoblastoma 2008-2011. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Shetlar, DJ., 2013. Tumor Retina. Dalam: Riordan-Eva, P., John P. Whitcher.
Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. hal. 208-9.

32
Soebadjo, H., 2015. Waspadai Gejala Tumor Mata Anak. dalam Wijaya S.
Manajemen Deteksi Dini Terpadu Retinoblastoma. JIMKI Vol. 3 No.1 Januari-Juni
2015.
Union for International Cancer Control, 2014. Retinoblastoma.
http://www.who.int//. [Diunduh tanggal 10 Juni 2017]
Watts, P., 2006. Retinoblastoma: Clinical features and current concepts in
management. J Indian Med Assoc. 101:464-8.

World Health Organization, 2014. RETINOBLASTOMA : Union for


International Cancer Control. Review of Cancer Medicines on the WHO List of
Essential Medicines.
www.cancer.org/cancer/retinoblastoma/causes-risks-prevention/risk-
factors.html#written_by. Access : 19 September 2019
Yang, YQ., dkk 2016. Epidemiology and Risk Factors of Retinoblastoma in
Chonqing Area. Int J Ophthalmol. 2016; 9(7): 984-988.

33

Anda mungkin juga menyukai