Anda di halaman 1dari 15

Journal Reading

NILAI DIAGNOSTIK DARI PENCITRAAN FORENSIK PADA KEJADIAN


PENEMBAKAN FATAL : SEBUAH LITERATUR REVIEW

Oleh :

Candra Nova Indriwati (1110313016)

Reno Putri Hafid (1740312256)

Citra Husna Pratiwi (1410311090)

Kenty Regina (1410312063)

Rahmi Ahmad (1410312066)

Preseptor

dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.F

NIP. 198309222009121005

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

RSUP DR. M DJAMIL PADANG

2018

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


Nilai Diagnostik Dari Pencitraan Forensik Pada Kejadian Penembakan Fatal : Sebuah
Literatur Review

Abstrak

Pendahuluan : Post-mortem computed tomography (PMCT) dan post-mortem magnetic


resonance imaging (PMMR) sering digunakan sebagai tambahan untuk otopsi. Namun, tidak
ada penelitian yang menentukan nilai diagnostik dari teknik pencitraan ini dalam kasus-kasus
forensik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai literatur yang tersedia yang berkaitan
dengan korelasi antara otopsi dan pencitraan dalam kasus forensik pada korban tembak yang
mendapatkan diagnostik dari PMCT dan PMMR.

Bahan & metode : Proses peninjauan ditetapkan sebagai tinjauan sistematis sesuai dengan
pedoman Cochrane. Sebuah pencarian sistematis dilakukan di MEDLINE dan EMBASE
untuk mengidentifikasi studi yang membandingkan teknik otopsi dan pencitraan setelah
insiden penembakan fatal. Teknik otopsi dan pencitraan dibandingkan untuk item forensik
yang dinilai kembali: luka pintu masuk, luka keluar, lintasan peluru menembus tubuh, deteksi
fragmen logam dan identifikasi cedera yang relevan. otopsi adalah standar acuan dalam
penelitian.

Hasil : Dalam setiap studi tersedia minimal satu item dan maksimal lima item yang dapat
dibandingkan antara teknik pencitraan dan otopsi. Secara keseluruhan tujuh studi memenuhi
kriteria inklusi. Kualitas secara keseluruhan dan tingkat kedetailan dari studi ini tidak
memungkinkan untuk meta-analisis formal. Untuk mendeteksi luka masuk lima buah
penelitian dapat dipakai karena data korelasi teknik pencitraan dan otopsi tersedia, 100%
terdapat korelasi dalam 4 penelitian dan 69,2% korelasi dalm satu penelitian lainya. Lima
buah studi mempunyai data untuk menilai item luka keluar, dan 4 dari 5 studi tersebut
menunjukan korelasi 100% dan satu studi lain menunjukan korelasi 52,2%. Enam studi
menyediakan data pada jalur peluru dengan korelasi antara teknik pencitraan dan otopsi,
terdapat korelasi 100% pada empat studi dan sisanya 72,1% dan 80% dalam dua penelitian
lainnya. Untuk deteksi fragmen logam tiga studi menyediakan data dan semua studi ini
menunjukkan korelasi 100% antara hubungan teknik pencitraan dan otopsi. Dua penelitian
menyediakan data untuk mendeteksi cedera dengan korelasi antara pencitraan dan otopsi dan
hasilnya terdapat korelasi 100% dan 87,2% pada masing-masing studi.

Kesimpulan : Meskipun adanya kekhawatiran pada kualitas penelitian yang ditinjau,


literatur menunjukkan bahwa PMMCT memiliki sensitivitas yang tinggi dalam
mengidentifikasi item forensik utama dalam korban tembak dibandingkan dengan standar
acuan; autopsi. Radiologi forensik dan otopsi dapat saling melengkapi dalam penyelidikan
medis forensik.

Kata Kunci : Teknik Pencitraan Post Mortem, Otopsi Forensik, Korban Penembakan, CT
Post Mortem, MR Post Mortem, Investigasi Cedera Fatal Akibat Senjata Api

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


1. Pendahuluan
Otopsi selalu teknik yang lebih disukai untuk menyelesaikan pertanyaan forensik
mengenai cara dan penyebab kematian dalam insiden penembakan fatal. Namun setelah
ditemukanya sinar-X pada tahun 1895, radiografi sudah digunakan untuk melengkapi otopsi
tradisional, terutama untuk mendeteksi benda asing [1] . Evolusi teknik pencitraan seperti
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak luput dari
perhatian di forensik. CT-scan pertama korban penembakan dilakukan pada tahun 1977 [2] .
Sejak itu, teknik pencitraan telah dikembangkan dan dapat memainkan peran penting selain
otopsi tradisional [3 - 7] . Pencitraan saat ini terutama digunakan untuk membantu otopsi,
bukan sebagai alat forensik independen. Bagaimanapun dalam beberapa tahun terakhir,
radiologi forensik telah semakin berkembang menjadi alat forensik independen [8] tanpa
adanya pendapat ilmiah yang membenarkan hal ini. Oleh karena itu penting untuk
menentukan nilai diagnostik teknik pencitraan dalam penilainan forensik.
Teknik pencitraan post-mortem seperti post-mortem Computed Tomography
(PMCT) dan post-mortem Magnetic Resonance (PMMR) dapat diterapkan dalam insiden
penembakan sebelum dilakukan otopsi, guna memvisualisasikan cedera dan lintasan serta
lokasi terdapatnya komponen logam. Sangat penting untuk mendapatkan informasi
tentang tubuh dalam beberapa jam pertama untuk penyelidikan polisi, untuk memahami
TKP dan menggunakan informasi ini untuk penyelidikan forensik dan strategi
penyelidikan lebih lanjut. PMCT dan PMMR dapat memberikan informasi ini dengan cara
cepat. Karena teknik pencitraan ini bersifat non-invasif dan anatomi tetap tidak terganggu,
sehingga teknik ini memiliki keuntungan bahwasanya otopsi yang normal masih dapat
dilakukan. Bahkan, gambar yang dihasilkan dapat disimpan dan berfungsi sebagai studi
dasar untuk penyelidikan lebih lanjut, dan pemeriksaan dapat ditinjau oleh rekan sejawat.
Selain itu, penggunaan PMCT dan PMMR dalam insiden penembakan fatal
memberikan informasi yang unik untuk penyelidikan polisi mengenai penyebab dan cara
kematian [9,10]. Bagian dari teknik pencitraan seperti PMCT dan PMMR memberikan
gambaran lengkap dari tubuh korban, sehingga ahli radiologi dapat melaporkan semua
temuan yang terdapat pada seluruh tubuh, sedangkan ahli patologi menggunakan metode
kerja yang standar yang tidak memberikan gambaran lengkap dari tubuh; tubuh hanya
diperiksa untuk cedera yang paling umum terlihat oleh patologi forensik. Ketika ahli
patologi menemukan petunjuk yang membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, barulah
pemeriksaan diperluas ke bagian lain dari tubuh [11] .
Untuk menentukan nilai diagnostik PMCT dan PMMR pada korban tembak, penting
untuk menentukan bagian yang relevan dari sudut pandang forensik. Arah masuk dan atau
keluar luka akan memberikan informasi tentang arah lintasan, dan dapat memberikan
informasi penting untuk rekonstruksi TKP. Ketika radiografi dapat diterima dalam teknik
otopsi untuk melokalisasi fragmen logam dalam tubuh, dan PMCT memberikan nilai lebih
akurat, karena menunjukan gambaran 3-dimensi pada lokalisasi fragmen logam [12] .
Penemuan fragmen logam penting untuk menganalisis komposisi logam dan untuk
membandingkan tanda-tanda peluru dengan senjata dan dari mana mungkin peluru telah
ditembakan. Jumlah pecahan logam dan arah masuk dan keluar luka dapat memberikan
informasi mengenai keberadaan kartrid atau peluru di TKP. Cedera struktur internal dan
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3
organ dapat memberikan informasi tentang urutan tembakan dan mobilitas korban. Hal ini
dapat mengarahkan kemungkinan posisi korban pada saat kejadian. Hal ini juga dapat
menentukan cedera yang fatal yang memungkinkan sebagai akibat dari luka tembakan.
Namun potensi keuntungan pengaplikasian dari PMCT dan PMMR dari segi ilmiah
masih sangat terbatas. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk mengevaluasi literatur yang
tersedia yang berkaitan dengan korelasi antara temuan otopsi konvensional dan teknik
pencitraan dalam penyelidikan forensik pada korban tembak, dalam rangka menetapan
nilai diagnostik pencitraan.

2. Bahan dan metode

Tinjauan ini ditetapkan sebagai tinjauan sistematis mengikuti pedoman Cochrane [13].

2.1. Strategi pencarian


Database MEDLINE dan EMBASE digeledah (1966 hingga 1 April 2016)
menggunakan istilah pencarian berikut: CT, computed tomography, resonansi, virtopsy atau
otopsi virtual dalam kombinasi dengan setidaknya salah satu item berikut: suara tembakan,
tembakan senapan , tembakan, peluru, balistik, proyektil.

2.2. Seleksi studi


Studi dipertimbangkan untuk ditinjau jika mereka memenuhi kriteria inklusi berikut:
otopsi dan post-mortem PMCT atau PMMR dilakukan, pemeriksaan dilakukan setelah
insiden penembakan fatal, dan hasil post-mortem dan pencitraan dibandingkan. Temuan
otopsi digunakan sebagai standar referensi.
Studi yang melibatkan praktek medis, operasi medis pada pasien yang masih hidup,
atau penggunaan peralatan medis, dan studi tentang pencarian dan studi kasus, dikeluarkan.
Studi tidak dikeluarkan berdasarkan tanggal publikasi dan tidak ada batasan bahasa yang
diterapkan. Jika sebuah studi yang mungkin relevan ditulis dalam bahasa lain selain bahasa
Inggris, Jerman atau Belanda, abstrak dari studi itu diterjemahkan. Daftar referensi dari
semua penelitian yang dimasukkan diperiksa untuk menemukan studi tambahan yang relevan.
Dua pengulas (ML dan RvK) secara independen memeriksa semua pencarian
berdasarkan judul mereka. Abstrak studi berpotensi memenuhi syarat diperoleh dan, jika
perlu, diterjemahkan. Peninjau yang sama secara independen mengevaluasi setiap abstrak
untuk dimasukkan. Selanjutnya, publikasi lengkap diambil untuk evaluasi lebih lanjut. Pada
akhirnya kedua peninjau secara independen menyaring versi teks lengkap yang memenuhi
syarat dari studi. Jika tidak ada konsensus dapat dicapai pada dimasukkannya studi, resensi
ketiga (IH) dikonsultasikan.

2.3. Penilaian
Kualitas penelitian dinilai dengan menggunakan kriteria Kajian Penilaian Akurasi
Diagnostik (QUADAS-2) [14]. Kriteria ini mengevaluasi risiko bias dan penerapan dalam
empat domain; pemilihan kasus, tes indeks, standar referensi dan waktu antara standar
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4
referensi dan studi indeks. Domain yang berbeda dinilai pada enam item yang dinilai sebagai
"ya", "tidak", atau "tidak jelas". Kedua pemeriksa melakukan penilaian kualitas secara
independen, dan jika tidak ada kesepakatan, mereka berusaha mencapai konsensus. Resensi
ketiga (PH) dikonsultasikan jika tidak ada konsensus yang bisa dicapai.

2.4. Ekstraksi data


Dua pengulas (IH dan RvK) secara independen mengekstraksi data dari studi yang
disertakan. Ketika ketidaksesuaian terjadi, mereka berusaha mencapai konsensus. Ketika
tidak ada konsensus yang bisa dicapai, pengulas ketiga (PH) dikonsultasikan.
Item yang relevan dengan penyelidikan forensik diambil dari penelitian: deteksi luka
masuk dan keluar, lintasan peluru menembus tubuh, adanya fragmen logam, dan deteksi
cedera terkait lainnya. Temuan dari kedua pemeriksaan radiologi (studi indeks) dan otopsi
(standar referensi) diekstraksi. Pemeriksaan ini dipilih karena pemeriksaan tersebut
berpotensi dinilai baik pada pencitraan dan otopsi.

2.5. Sintesis data


Hasil dikumpulkan untuk setiap lintasan peluru. Sensitivitas dan spesifisitas dihitung
untuk setiap item untuk studi yang dipilih secara terpisah. Jika suatu item dinilai sama pada
pencitraan dan pada standar referensi, dianggap sebagai temuan true positive (TP) atau true
negative (TN). Hasil positif palsu (FP) didefinisikan jika item yang terdeteksi pada
pencitraan, tetapi tidak dapat divalidasi pada otopsi. Jika pencitraan gagal mengidentifikasi
item saat otopsi, maka ini dianggap sebagai negatif palsu (FN).

3. Hasil

3.1 Metode Penelitian dan Pemilihan Sampel Penelitian

Pencarian istilah penelitian pada database didapatkan hasil 827 penelitian. Setelah
dilakukan pemilihan berdasarkan judul, 175 penelitian tertinggal. 146 dari penelitian ini
kecuali setelah abstrak sudah dibaca. Setelah dianalisis semua bacaan, 6 penelitian tertinggal,
dan 1 penelitian ditambahkan melalui petunjuk dari sitasi (penandaan). Total penelitian ada
7 termasuk tinjauan pustaka. Proses pemilihan digambarkan pada diagram gambar pertama. 2
penelitian menyediakan hasil untuk semua poin. 5 penelitian lainnya memberikan informasi
satu atau lebih dari poin yang relevan . Hasil dapat dilihat pada Tabel 1.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


Tabel 1. Gambaran poin yang tersedia per penelitian. Tanda (+) mengindikasikan adanya
poin dan (–) mengindikasikan tidak adanya poin tersebut dalam penelitian.

3.2 Penilaian Kualitas

Tes QUADAS-2 menggambarkan bahwa semua penelitian berpotensi kuat untuk bias
(dapat dilihat pada tabel 2). Contoh, beberapa penelitian hanya memasukan kasus dengan
luka tembak tunggal pada kepala. Penggunaannya juga hal yang harus diperhatikan. Hanya
3 dari 7 penelitian yang tidak memperhatikan penggunaannya. Tingkat rincian data
bervariasi luas, contoh ukuran N=3 sampai N=91. Beberapa penelitian tidak mendeskripsikan
lintasan peluru secara terpisah tetapi menggunakan kata kata “semua lintasan peluru”. Untuk
mendapatkan data yang hilang, kita menghubungi penulis penelitian ini melalui email.
Sayangnya, banyak data yang tidak tersedia, baik karena itu bersifat rahasia atau penulisnya
tidak membalas. Karena berpotensi terjadinya bias, maka terdapat keterbatasan dalam rincian
tingkat penelitian ini, dan sedikitnya penelitian tidak memungkinkan untuk dilakukan meta
analisis. Data yang tersedia dilaporkan perpoin dan per penelitian (gambar 1).

Tabel 2. Risiko bias dan penggunaan penelitian dengan tes QUADAS 2. Poin dinilai dengan
“iya”, “tidak”, atau “tidak jelas (?)”

3.3 Luka Tembak Masuk

5 dari 7 penelitian memberikan informasi luka tembak masuk. 4 penelitian menemukan


100% hubungan antara teknik pencitraan dan autopsi. Dimana penelitian yang dilakukan
oleh Makhlouf dan kawan kawan melaporkan teknik pencitraan menunjukan hasil yang sama
dengan autopsi adalah 63 dari 91 (69,2%) luka tembak masuk. Hasilnya dapat dilihat pada
tabel 3.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


Tabel 3. Hasil menurut lintasan luka masuk tiap lintasannya. Pada semua penelitian otopsi
digunakan sebagai standar referensi. NA adalah tidak tersedia, N untuk nomor, TP adalah
positif asli, TN adalah negatif palsu, FP adalah positif palsu, FN adalah negatif palsu, Sens
adalah sensitivitas, Spec adalah spesifisitas.

Gambar 1. Sebuah ilustrasi alur grafik mengenai proses seleksi yang dilakukan pada
penelitian

3.4 Luka Tembak Keluar

5 dari 7 penelitian menunjukan informasi luka tembak keluar. 4 penelitian menemukan


100% hubungan antara teknik pencitraan dan autopsi. Dimana penelitian yang dilakukan oleh

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Makhlouf dan kawan kawan menemukan luka tembak keluar yang sama antara teknik
pencitraan dan autopsi adalah 36 dari 69 kasus (52,2%) [dapat dilihat pada tabel 4]

Tabel 4. Hasil menurut lintasan luka keluar tiap lintasannya. Pada semua penelitian otopsi
digunakan sebagai standar referensi. NA adalah tidak tersedia, N untuk nomor, TP adalah
positif asli, TN adalah negatif palsu, FP adalah positif palsu, FN adalah negatif palsu, Sens
adalah sensitivitas, Spec adalah spesifisitas.

3.5 Jalur Peluru

6 dari 7 penelitian mendeskripsikan tentang jalur peluru. 4 penelitian menemukan


100% hubungan antara teknik pencitraan dan autopsi. Dimana penelitian yang dilakukan oleh
Makhlouf dan kawan kawan ditemukan jalur peluru yang sama pada teknik pencitran dan
autopsi adalah 62 dari 86 kasus (72,1%). Peschel dan kawan kawan menemukan bahwa 4 dari
5 (80%) jalur peluru pada teknik pencitraan menerangkan penemuaan pada autopsi. Hasil
dilihat di tabel 5.

Tabel 5. Hasil menurut lintasan dari peluru melalui tubuh tiap lintasannya. Pada semua
penelitian otopsi digunakan sebagai standar referensi. NA adalah tidak tersedia, N untuk
nomor, TP adalah positif asli, TN adalah negatif palsu, FP adalah positif palsu, FN adalah
negatif palsu, Sens adalah sensitivitas, Spec adalah spesifisitas.

3.6 Pecahan Logam

Hanya 3 dari 7 penelitian yang melaporkan terdapatnya pecahan logam pada tubuh.
Semua penelitian menunjukan 100% hubungan antara teknik pencitraan dan autopsi. Peschel
dan kawan kawan mengatakan bahwa teknik pencitraan bisa menunjukan pecahan logam
lebih baik dari pada autopsi, tetapi asumsi ini tidak didukung oleh data yang ditunjukan oleh
hasil penelitian. Hasil dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hasil menurut kehadiran potongan logam pada tubuh. Pada semua penelitian otopsi
digunakan sebagai standar referensi. NA adalah tidak tersedia, N untuk nomor, TP adalah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


positif asli, TN adalah negatif palsu, FP adalah positif palsu, FN adalah negatif palsu, Sens
adalah sensitivitas, Spec adalah spesifisitas.

3.7 Luka Luka

3 dari 7 penelitian membandingkan teknik pencitraan dan autopsi sebagai luka yang
berhubungan. 2 penelitian menemukan 100% hubungan antara teknik pencitraan dan autopsi,
dimana Levy dan kawan kawan menunjukan bahwa CT bisa mengidentifikasi penemuan luka
pada autopsi 68 dari 78 kasus (87,2%). Hasil dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7. Hasil menurut identifikasi cedera yang relevan. Pada semua penelitian otopsi
digunakan sebagai standar referensi. NA adalah tidak tersedia, N untuk nomor, TP adalah
positif asli, TN adalah negatif palsu, FP adalah positif palsu, FN adalah negatif palsu, Sens
adalah sensitivitas, Spec adalah spesifisitas.

4. Diskusi
Jurnal ini adalah peninjauan ulang sistematik yang pertama mengenai nilai diagnostik
dari PMCT (post mortem computed tomography)/ct scan post mortem dan PMMR (post
mortem magnetic resonance)/mri post mortem, pada kejadian penembakan yang
menyebabkan kematian. Namun data penelitian yang tersedia tidak memungkinkan untuk
dilakukan metaanalisis sehingga sebagian peninjauan ulang ini bersifat narasi. Disamping
masalah mengenai kualitas dari penelitian yang sudah ditinjau ulang, literatur menunjukan
bahwa PMCT mempunyai sensitivitas yang tinggi dalam mengidentifikasi item forensik
utama pada korban-korban penembakan dibandingkan referensi standar; yakni otopsi. Hal ini
berarti bahwa PMCT mungkin memainkan peran dalam pemeriksaan forensik dari korban
meninggal dari kejadian penembakan. Sebuah keterbatasan dari peninjauan ulang ini hanya
dapat menyediakan data PMMR pada 20 kasus. Sebuah penelitian telah menggunakan MRI
otak dengan klinis normal sebagai referensi anatomis. Namun tidak ada kesimpulan yang
dapat ditarik dari nilai diagnostik PMMR pada kejadian penembakan yang menyebabkan
kematian.
Otopsi forensik sudah digunakan pada pemeriksaan forensik medis selama bertahun-
tahun. Radiologi forensik adalah sebuah hal terbaru yang berpeluang menjadi alat independen
untuk investigasi forensik medis. Inovasi ini terus dikembangkan dan penelitian serta praktek
nya diharapkan lebih jauh berkembang dalam beberapa tahun kedepan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Tidak semua item forensik yang berhubungan dengan kejadian penembakan dapat dinilai
menggunakan pemeriksaan forensik medis. Penentuan jarak tembak dan kaliber senjata
adalah dua hal di luar ruang lingkup pemeriksaan forensik medis sehingga hal ini tidak
dijelaskan pada tinjau ulang ini.
Referensi standar termasuk yang digunakan pada penelitian adalah otopsi. Namun
tidak ada keraguan bahwa otopsi adalah pemeriksaan forensik medis satu-satunya yang
paling umum digunakan pada korban meninggal pasca kejadian penembakan, sehingga wajar
bila dipertanyakan apakah otopsi bisa memenuhi kualifikasi sebagai referensi standar. Sebuah
persyaratan dari bukti forensik adalah bahwa harus ada tinjau ulang yang dapat dibuat
kembali dan dapat diakses sejawat. Hal ini juga merupakan persyaratan untuk standar
referensi. Setelah sebuah otopsi, jenazah yang sudah dikeluarkan isi organ dalamnya tidak
diizinkan untuk opini sekunder yang bias, karena otopsi kedua pada tubuh yang sama tidak
dianggap layak. Sehingga hasil otopsi tersebut tidak dapat diverifikasi kemudian, dan setiap
hipotesis berdasarkan hsil penemuan otopsi sulit dijadikan bukti. Peraturan otopsi
medikolegal Eropa menyatakan bahwa sebuah otopsi harus dilaksanakan oleh dua orang
dokter kapanpun memungkinkan. Dokumentasi foto yang komprehensif dari sebuah otopsi
juga memungkinkan untuk menghadapi permasalahan ini, namun pada beberapa kasus yang
sudah terjadi untuk kembali meninjau kejadian tetap sulit. Sebaliknya suatu pemeriksaan
radiologi dapat dihasilkan kembali, prosedur imaging ini tidak invasif dan dapat diulang, tapi
hal yang paling penting adalah bahwa gambar bisa diinterpretasikan sesering yang
dibutuhkan. Contohnya, jika prosedur investigasi polisi mendapatkan informasi baru, konteks
medisnya dapat diuji kembali melalui gambar radiologis. Lebih jauh lagi, diseksi pada cedera
spinal adalah otopsi yang sangat memakan waktu lama, sementara gambar menyediakan
informasi yang sangat cepat. Cedera kepala juga sangat membutuhkan analisis yang sulit
dengan otopsi pada kasus penembakan multipel pada kepala, sama hal nya dengan kesulitan
pada otopsi dalam menyatukan kembali potongan tulang. Aplikasi lain dari PMCT adalah
deteksi dari peluru dan potongan peluru, yang mana pada berbagai institusi menggunakan
fluoroskopi dan radiografi konvensional untuk mendeteksi potongan logam tapi PMCT lebih
baik untuk deteksi dan lokalisasi pasti dari potongan-potongan ini. Dengan CT, rekonstruksi
berdasarkan Teknik Terjemah Volum dapat menghasilkan overview 3D yang jelas dari
cedera, menghasilkan tampilan yang lebih mudah dipahami untuk orang-orang yang tidak
memiliki pengetahuan medis. Lebih jauh lagi PMCT dan PMMR dapat menyediakan data
untuk rekonstruksi digital dari tempat kejadian. Rekonstruksi ini melibatkan scan digital dari
lokasi, dikombinasikan dengan jejak darah pasien, rekontruksi dari tubuh berdasarkan CT
scan, dan informasi lain dari bukti senjata api. Lingkungan digital ini dapat digunakan untuk
memverifikasi saksi atau pernyataan terduga dan juga berguna untuk menyediakan bukti di
pengadilan.
Penggunaan PMCT wajib dilakukan sebelum menggunakan scanner PMMR, sebuah
proyeksi feromagnetik bisa menciptakan perlintasan baru pada tubuh saat kehadiran medan
magnet eksrernal yang kuat dari sebuah scanner MRI. Bila tidak ada proyeksi atau potongan-
potongan, PMMR adalah sebuah alat tambahan untuk menilai perlintasan pada jaringan
lunak.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Penelitian oleh Makhlouf et al. melaporkan pada 46 perlintasan melalui badan, juga
melaporkan sensitivitas penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian lain. Hal ini tidak
hanya disebabkan proporsi cedera badan yang tinggi tetapi juga disebabkan kenyataan bahwa
radiologis tidak memiliki pengalaman terkait kasus forensik. Hal ini membebani kebutuhan
untuk pengalaman radiologis ketika membaca penelitian tersebut. penelitian lain juga sering
mengalami kegagalan dalam melaporkan pengalaman radiologis dan patologis. Tidak ada
konsensus tentang bagaimana melakukan pembacaan yang optimal dan pelaporan strategi
penelitian radiologi forensik terutama penggunaan multiplanar dan metode rekonstruksi 3D.
Sehingga dibutuhkan penelitian yang lebih jauh dalam optimisasi tidak hanya akuisisi dari
protokol namun juga protokol dalam membaca dan melaporkan.
5 dari penelitian yang sudah ditinjau ulang hanya melaporkan tembakan melalui kepala
atau mayoritas pada cedera tembak kranioserebral. Hal ini mungkin mempengaruhi nilai
diagnostik yang dilaporkan dari imaging karena penilaian item yang relevan dengan forensik
pada cedera akibat tembakan kranioserebral umumnya lebih mudah dinilai dibandingkan
lintasan di daerah perut. Misalnya pada beveling lesi tengkorak mungkin menyediakan
informasi pada jalan masuk dan luka tembus, lintasan melewati otak sering tampak lebih baik
daripada lintasan melewati abdomen. Faktor-faktor ini tidak dilampirkan dalam tinjau balik
ini karena data yang dibutuhkan tidak tersedia pada literatur yang ditinjau ulang. Hal sama
berlaku untuk efek dan pengaruh kaliber berbeda serta tipe proyeksi.
Hal lain yang juga menjadi perbincangan adalah tidak adanya konsensus diantara
radiologis tentang bagaimana mendapatkan gambaran pada pemeriksaan forensik radiologi
(yaitu ketebalan potongan, jarak potongan, mAs, kV, lapangan pandang, matrik rekonstruksi,
rekonstruksi kernel) dan bagaimana bagian tubuh yang berbeda harus digambarkan.
Penelitian yang termasuk dalam tinjau ulang ini tidak terdiri dari isi yang lengkap dan detil
pada hal ini. Informasi lebih jauh mengenai teknik melihat juga masih kurang, yang mana
hanya gambaran aksial yang dinilai atau apakah reformasi multiplayer dan terjemah volume
secara 3D juga digunakan. Pengenalan dari teknik terbaru, seperti angiografi post mortem
untuk mendeteksi cedera pembuluh darah dan dual energy CT untuk membedakan antara
bahan dan penggunaan scanner “state of arts”, dapat menyediakan informasi yang lebih baik
lagi.

5. Kesimpulan
Tinjau ulang ini menunjukan potensi teknik imaging dalam pemeriksaan forensik pada
korban tembakan yang meninggal dalam mengidentifikasi item forensik yang paling penting
pada korban tembak. Disamping kekhawatiran mengenai kualitas penelitian, tinjau ulang ini
menunjukan PMCT memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mengidentifikasi item forensik
utama pada korban tembak dibandingkan dengan referensi standar yakni otopsi. Namun, ada
beberapa masalah yang belum dapat diselesaikan yang harus dipelajari pada penelitian yang
sistematis dan prospektif berikutnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Daftar Pustaka
[1] B. Brogdon, Forensic Radiology, CRC Press, Boca Raton, 1998.
[2] R. Wüllenweber, V. Schneider, T. Grumme, A computer-tomographical examination of
cranial bullet wounds (author's transl), Z. fur Rechtsmed. J. Leg. Med. 80 (3) (1977) 227–
246.
[3] A.D. Levy, H.T. Harcke Jr., Essentials of Forensic Imaging: a Text-atlas, CRC
Press,2010.
[4] M. Thali, R. Dirnhofer, P. Vock, The Virtopsy Approach: 3D Optical and Radiological
Scanning and Reconstruction in Forensic Medicine, CRC Press, 2009.
[5] G.N. Rutty, B. Morgan, C. O'Donnell, P.M. Leth, M. Thali, Forensic institutes across the
world place CT or MRI scanners or both into their mortuaries, J. Trauma (2008) 493–494
(United States).
[6] P.M. Flach, M.J. Thali, T. Germerott, Times have changed! Forensic radiology–a new
challenge for radiology and forensic pathology, (AJR) Am. J. Roentgenol. 202 (4) (2014)
W325–W334.
[7] A.H. Thomsen, A.G. Jurik, L. Uhrenholt, A. Vesterby, An alternative approach to
computerized tomography (CT) in forensic pathology, Forensic Sci. Int. (2009) 87–90
(Ireland).
[8] C. O'Donnell, N. Woodford, Post-mortem radiology–a new sub-speciality? Clin. Radiol.
(2008) 1189–1194 (England).
[9] M.J. Thali, K. Yen, W. Schweitzer, P. Vock, C. Boesch, C. Ozdoba, G. Schroth, M. Ith,
M. Sonnenschein, T. Doernhoefer, E. Scheurer, T. Plattner, R. Dirnhofer, Virtopsy, a new
imaging horizon in forensic pathology: virtual autopsy by postmortem multislice computed
tomography (MSCT) and magnetic resonance imaging (MRI)–a feasibility study, J. Forensic
Sci. 48 (2) (2003) 386–403.
[10] J.G. Cha, D.H. Kim, S.H. Paik, J.S. Park, S.J. Park, H.K. Lee, H.S. Hong, D.L. Choi,
K.M. Yang, N.E. Chung, B.W. Lee, J.S. Seo, Utility of postmortem autopsy via wholebody
imaging: initial observations comparing MDCT and 3.0 T MRI findings with autopsy
findings, Korean J. Radiol. 11 (4) (2010) 395–406.
[11] S.P. Stawicki, A. Aggrawal, A.J. Dean, D.A. Bahner, S.M. Steinberg, C.D. Stehly, B.A.
Hoey, Postmortem use of advanced imaging techniques: Is autopsy going digital, OPUS 12
(2008) 17–26.
[12] H.T. Harcke, A.D. Levy, R.M. Abbott, C.T. Mallak, J.M. Getz, H.R. Champion, L.
Pearse, Autopsy radiography: digital radiographs (DR) vs multidetector computed
tomography (MDCT) in high-velocity gunshot-wound victims, Am. J. Forensic Med. Pathol.
(2007) 13–19 (United States).
[13] J.P.T. Higgins, S. Green, Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Interventions,
Version 5.1.0, (2011) (updated March 2011).
[14] P.F. Whiting, A.W. Rutjes, M.E. Westwood, S. Mallett, J.J. Deeks, J.B. Reitsma, M.M.
Leeflang, J.A. Sterne, P.M. Bossuyt, QUADAS-2: a revised tool for the quality assessment of
diagnostic accuracy studies, Ann. Intern. Med. 155 (8) (2011)
[15] M.J. Thali, K. Yen, P. Vock, C. Ozdoba, B.P. Kneubuehl, M. Sonnenschein, R.
Dirnhofer, Image-guided virtual autopsy findings of gunshot victims performed with multi-
slice computed tomography and magnetic resonance imaging and subsequent correlation
between radiology and autopsy findings, Forensic Sci. Int. (2003) 8–16 (Ireland).
[16] M. Oehmichen, H.B. Gehl, C. Meissner, D. Petersen, W. Hoche, I. Gerling, H.G. Konig,
Forensic pathological aspects of postmortem imaging of gunshot injury to the head:
documentation and biometric data, Acta Neuropathol. 105 (6) (2003) 570–580.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


[17] T. Tartaglione, L. Filograna, S. Roiati, G. Guglielmi, C. Colosimo, L.
Bonomo,Importance of 3D-CT imaging in single-bullet cranioencephalic gunshot wounds,
Radiol. Med. 117 (3) (2012) 461–470.
[18] O. Peschel, U. Szeimies, C. Vollmar, S. Kirchhoff, Postmortem 3-D reconstruction of
skull gunshot injuries, Forensic Sci. Int. 233 (1–3) (2013) 45–50.
[19] M.A. Andenmatten, M.J. Thali, B.P. Kneubuehl, L. Oesterhelweg, S. Ross, D.
Spendlove, S.A. Bolliger, Gunshot injuries detected by post-mortem multislice computed
tomography (MSCT): a feasibility study, Leg. Med. (Tokyo) (2008) 287–292 (Ireland).
[20] A.D. Levy, R.M. Abbott, C.T. Mallak, J.M. Getz, H.T. Harcke, H.R. Champion, L.A.
Pearse, Virtual autopsy: preliminary experience in high-velocity gunshot wound victims,
Radiology (2006) 522–528 (United States).
[21] F. Makhlouf, V. Scolan, G. Ferretti, C. Stahl, F. Paysant, Gunshot fatalities: correlation
between post-mortem multi-slice computed tomography and autopsy findings: a 30-months
retrospective study, Leg. Med. (Tokyo) 15 (3) (2013) 145–148.
[22] M. Scholing, T.P. Saltzherr, P.H. Fung Kon Jin, K.J. Ponsen, J.B. Reitsma, J.S. Lameris,
J.C. Goslings, The value of postmortem computed tomography as an alternative for autopsy
in trauma victims: a systematic review, Eur. Radiol. 19 (10) (2009) 2333–2341.
[23] S.M. Kirchhoff, E.F. Scaparra, J. Grimm, M. Scherr, M. Graw, M.F. Reiser, O. Peschel,
Postmortem computed tomography (PMCT) and autopsy in deadly gunshot wounds-a
comparative study, Int. J. Leg. Med. (2015).
[24] I. Le Blanc-Louvry, S. Thureau, C. Duval, F. Papin-Lefebvre, J. Thiebot, J.N. Dacher, C.
Gricourt, E. Toure, B. Proust, Post-mortem computed tomography compared to forensic
autopsy findings: a French experience, Eur. Radiol. 23 (7) (2013) 1829–1835.
[25] B. Black, F.J. Ayala, C. Saffran-Brinks, Science and the law in the wake of Daubert: a
new search for scientific knowledge, Tex. Law Rev. 72 (1993) 715.
[26] B. Brinkmann, Harmonization of medico-legal autopsy rules. Committee of Ministers.
Council of Europe, Int. J. Leg. Med. 113 (1) (1999) 1–14.
[27] K. Yen, K.O. Lovblad, E. Scheurer, C. Ozdoba, M.J. Thali, E. Aghayev, C. Jackowski, J.
Anon, N. Frickey, K. Zwygart, J. Weis, R. Dirnhofer, Post-mortem forensic neuroimaging:
correlation of MSCT and MRI findings with autopsy results, Forensic Sci. Int. (2007) 21–35
(Ireland).
[28] B.A. Hoey, J. Cipolla, M.D. Grossman, N. McQuay, P.R. Shukla, S.P. Stawicki, C.
Stehly, W.S. Hoff, Postmortem computed tomography, "CATopsy", predicts cause of death
in trauma patients, J. Trauma 63 (5) (2007) 979–985 (discussion985-986).
[29] M. Luijten, I.I. Haest, R.A. van Kan, W. van Lohuizen, J. Kroll, R.S. Schnerr, R.
Hermsen, P.A. Hofman, Can postmortem MRI be used to assess trajectories in gunshot
victims? Int. J. Leg. Med. 130 (2) (2016) 457–462.
[30] L. Filograna, T. Tartaglione, E. Filograna, F. Cittadini, A. Oliva, V.L. Pascali, Computed
tomography (CT) virtual autopsy and classical autopsy discrepancies: radiologist's error or a
demonstration of post-mortem multi-detector computed tomography (MDCT) limitation?
Forensic Sci. Int. 195 (1–3) (2010) e13–e17.[31] S.O. Baik, J.M. Uku, M. Sikirica, A case of
external beveling with an entrance gunshot wound to the skull made by a small caliber rifle
bullet, Am. J. Forensic Med. Pathol. 12 (4) (1991) 334–336.
[32] S. Grabherr, J. Grimm, A. Dominguez, J. Vanhaebost, P. Mangin, Advances in
postmortem CT-angiography, Br. J. Radiol. 87 (1036) (2014) 20130488. [33] T.D. Ruder, Y.
Thali, S.A. Bolliger, S. Somaini-Mathier, M.J. Thali, G.M. Hatch, S.T. Schindera, Material
differentiation in forensic radiology with single-source dual-energy computed tomography,
Forensic Sci. Med. Pathol. 9 (2) (2013) 163–169.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Crtitical Appraisal

(berdasarkan CASP- Critical Appraisal Skills Programme)

1. Deskripsi Umum

a. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat tinjauan ulang sistematik (systematic review) tanpa meta-
analisis

b. Populasi target, populasi terjangkau dan sampel

 Populasi target

teks lengkap artikel dari database ilmiah (Science Direct dan Pubmed) dan
Google Scholar menggunakan MEDLINE dan EMBASE yang diterbitkan
dalam 50 tahun terakhir (1966 sampai 1 April 2016) dengan menggunakan
frasa kunci : CT, computed tomography, magnetic resonance, virtopsi atau
otopsi virtual yang dikombinasikan dengan minimal salah satu dari poin
berikut : jarak atau suara tembakan, senjata-tembak, tembakan-tembakan
senjata, peluru, pelor, balistik, ilmu balistik, proyektil atau peluru.

 Populasi terjangkau

Secara keseluruhan, didapatkan total 827 penelitian. Kemudian, seleksi


berdasarkan judul, abstrak, teks lengkap, dan penelusuran kutipan
menyisakan 7 penelitian yang relevan. 2 penelitian memenuhi semua item
dan 5 penelitian memiliki satu atau lebih item relevan. Dimana item
relevan untuk investigasi forensik didapatkan dari penelitian adalah deteksi
dari luka tembak masuk dan keluar, lintasan peluru melewati tubuh,
kehadiran potongan logam, dan deteksi cedera lain yang relevan.

 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah artikel ilmiah atau jurnal yang relevan
dengan kata kunci : otopsi dan CT post mortem atau MR post mortem
yang dilakukan, pemeriksaan dilaksanakan setelah kejadian penembakan
fatal, dan hasil perbandingan antara kondisi post mortem dan pencitraan.
Penemuan otopsi sebagai standar referensi. Penelitian melibatkan praktik
medis, operasi medis pada pasien hidup atau penggunaan alat medis dan
tidak melibatkan penelitian mengenai studi kasus.

c. Cara Pemilihan Sampel

Pada penelitian ini, cara pemilihan sampel menggunakan total sampling.


Tidak ada ekslusi pada tanggal publikasi dan bahasa yang terdapat di

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


database. Jika penelitian menggunakan bahasa selain Bahasa Inggris,
Bahasa Jerman dan Bahasa Belanda, dilakukan penerjemahan abstrak.

d. Variabel

Variabel pada penelitian ini adalah nilai diagnostik post mortem CT dan
MR pada kejadian penembakan fatal

e. Hasil Utama Penelitian

Review ini menunjukan teknik pencitraan yang potensial dalam pemeriksaan


forensik pada korban penembakan fatal dalam mengidentifikasi item forensik
utama pada korban tembak, dimana post mortem CT mempunyai sensitivitas
tinggi bila dibandingkan dengan otopsi sebagai referensi standar.

2. Validitas Interna, Hubungan Non Kausal

a. Hasil Dipengaruhi Bias

Pada penelitian ini hasil dipengaruhi oleh bias sesuai dengan kriteria uji
QUADAS-2 (Penilaian Kualitas dan Ketepatan Diagnostik Pada Penelitian).
Risiko bias yang dinilai meliputi seleksi pasien, uji indeks, standar referensi dan
aliran serta waktu penelitian. Seperti pada kasus yang hanya melibatkan tembakan
tunggal pada kepala, atau pada data yang tingkat kerinciannya bervariasi dan
penelitian yang tidak mendeskripsikan lintasan peluru secara terpisah.

b. Hasil Dipengaruhi Faktor Peluang

Pada penelitian ini hasil tidak dipengaruhi oleh faktor peluang.

c. Hasil Dipengaruhi Faktor Perancu

Pada penelitian ini hasil tidak dipengaruhi oleh faktor perancu.

3. Validitas Eksterna

a. Hasil penelitian ini dapat diterapkan pada subjek terpilih

b. Hasil penelitian ini dapat diterapkan pada populasi terjangkau

c. Hasil penelitian ini dapat diterapkan pada populasi yang lebih luas

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15

Anda mungkin juga menyukai