EPIDEMIOLOGI KARDIOVASKULAR
OLEH :
KELOMPOK 4
Afandi 1611212031
DOSEN PENGAMPU :
Dr. dr. Fauziah Elytha, M.Sc.
Pemakalah
i
DAFTAR ISI
Contents
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
Kesimpulan ..................................................................................... 16
Saran ............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia dihadapkan pada beban ganda, di
satu pihak penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
karena masih banyak kasus belum terselesaikan, di lain pihak telah terjadi
peningkatan kasus penyakit tidak menular, yaitu penyakit akibat gaya hidup
serta penyakit-penyakit degeneratif.
Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 terjadi
55.694.000 kematian di dunia, 59% di antaranya akibat penyakit tidak menular
dan sisanya oleh penyakit menular. Di Asia Tenggara pada tahun 2001 terdapat
49,7% kematian akibat penyakit tidak menular.
Laporan WHO tahun 2001 menunjukkan bahwa Proportional Mortality
Ratio PMR) akibat penyakit kardiovaskuler sebesar 29,3% dari seluruh
kematian di dunia. Perincian PMR akibat penyakit kardiovaskuler tersebut
adalah penyakit jantung koroner (43,08%), stroke (32,92%), penyakit jantung
hipertensi (5,44%), penyakit radang jantung (2,41%), penyakit jantung rematik
(1,96%), dan penyakit jantung lainnya (14,19%).
Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat
adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan
terjadinya cacat katup jantung. Prevalensi DR di negara berkembang pada
tahun 1992 berkisar antara 7,9 sampai 12,6 per 1.000 anak sekolah (dengan
umur 5-15 tahun). Data insidens DR di Amerika Tengah tahun 1992 terdapat 1
per 100.000 penduduk dan di Cina terdapat 150 per 100.000 penduduk.
Demam reumatik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat
akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi
Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas.
Bakteri Streptokokus menular melalui udara (airborne). Bakteri ini biasanya
banyak terdapat pada tempat-tempat yang kumuh dan padat. Inilah sebabnya
mengapa penyakit demam reumatik lebih banyak dialami oleh anak-anak di
negara berkembang dari pada negara maju. Demam reumatik biasanya muncul
1
empat minggu setelah radang tenggorokan sembuh. Puncak insiden demam
reumatik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai
pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Demam
reumatik dipandang sebagai penyebab terpenting penyakit jantung didapat
pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia. Kerusakan jantung pada
penderita demam reumatik bukan diakibatkan oleh bakteri Streptokokus,
namun oleh antibodi yang dibentuk oleh tubuh untuk menangkal infeksi.
Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik telah jarang ditemui di
negara maju. Sebaliknya, hal ini tetap merupakan masalah besar di negara
berkembang, di duga ada sekitar 15-20 juta kasus baru demam reumatik di
dunia tiap tahun suatu angka yang mungkin lebih kecil dari kenyataannya.
Prevalensi demam reumatik di Indonesia belum diketahui secara pasti,
meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit jantung reumatik berkisar 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak
sekolah. Dengan demikian, secara kasar dapat diperkirakan bahwa prevalensi
demam reumatik di Indonesia pasti lebih tinggi dari angka tersebut, mengingat
penyakit jantung reumatik merupakan akibat dari demam reumatik.
Angka pasti prevalensi demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
sangat sukar ditentukan dikarenakan suatu serangan demam reumatik dan
sebagian lagi suatu serangan demam reumatik sering hanya menimbulkan
gejala ringan sehingga suatu episode penyakit aktif dapat terlewatkan. Insidensi
yang sebenarnya sangat sukar untuk ditentukan, karena penyakit ini bukan
merupakan penyakit yang harus dilaporkan, serta tidak adanya keseragaman
dalam kriteria diagnosis. Oleh karena itu penyakit ini masih menjadi suatu
permasalahan terutama di suatu negara berkembang.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan Rheumatic Fever/Rheumatic Heart Disease?
2
Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Definisi Rheumatic Fever/Rheumatic Heart Disease.
b. Untuk mengetahui Epidemiologi Rheumatic Fever/Rheumatic Heart
Disease.
c. Untuk mengetahui Faktor Risiko Rheumatic Fever/Rheumatic Heart
Disease.
d. Untuk mengetahui Pencegahan Rheumatic Fever/Rheumatic Heart
Disease.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
klasifikasi PJR, yakni stenosis mitral, ditemukan perempuan lebih sering terkena
daripada laki-laki dengan perbandingan 7:1 (Chandrasoma P, 2006).
DR Akut dan PJR diduga hasil dari respon autoimun, namun patogenesis
yang pasti masih belum jelas. Walaupun PJR adalah penyebab utama kematian 100
tahun yang lalu pada orang berusia 5-20 tahun di Amerika Serikat, insiden penyakit
ini telah menurun di negara maju, dan tingkat kematian telah menurun menjadi
hanya di atas 0% sejak tahun 1960-an.
Di seluruh dunia, PJR masih merupakan masalah kesehatan yang utama. PJR
Kronis diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak-anak dan orang dewasa muda;
90.000 orang meninggal karena penyakit ini setiap tahun. Angka kematian dari
penyakit ini masih 1%-10%. Sebuah sumber daya yang komprehensif mengenai
diagnosis dan pengobatan disediakan oleh WHO (Thomas K Chin, 2008).
Dilaporkan di beberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir
tahun 1980-an telah terjadi peningkatan insidens DR, demikian juga pada populasi
aborigin di Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini. Tidak
semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi Streptokokus beta
hemolitik grup A menderita DR. Sekitar 3% dari penderita infeksi saluran nafas atas
terhadap Streptokokus beta hemolitik grup A di barak militer pada masa epidemi
yang menderita DR dan hanya 0,4% didapati pada anak yang tidak diobati setelah
epidemi infeksi Streptokokus beta hemolitik grup A pada populasi masyarakat sipil
(Chakko S. et al, 2001).
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober – 1
November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per
100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara
berkembang dan di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000.
Diperkirakan sekitar 2000-332.000 yang meninggal diseluruh dunia karena
penyakit tersebut. Angka disabilitas per tahun (The disability-adjusted life years
(DALYs)1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju
hingga 173,4 per 100.000 di negara berkembang yang secara ekonomis sangat
merugikan. Data insidens DR yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada
beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada
anak sekolah. Insidens per tahunnya cenderung menurun dinegara maju, tetapi di
5
negara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000
di China.
Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar 7,6
per 100.000 penduduk. Di Utara India pada tahun 1992-1993, prevalens PJR
sebesar 1,9 - 4,8 per 1.000 anak sekolah (dengan umur 5 - 15 tahun). Sedangkan
Nepal (1997) dan Sri Lanka (1998) masing-masing sebesar 1,2 per 1.000 anak
sekolah dan 6 per 1.000 anak sekolah (WHO, 2001). Menurut laporan Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Dit PPTM) Depkes RI tahun 2004, dari
1.604 penderita PJR yang dirawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia, terdapat
120 orang yang meninggal akibat PJR dengan Case Fatality Rate (CFR) 7,48%
Faktor Risiko
Faktor risiko yang berpengaruh pada timbulnya PJR dibagi menjadi faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik.
6
atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida
yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih
dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia,
tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis
DR dan PJR. Hubungan kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A
sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme
penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis,
imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini
mempunyai hubungan dengan infeksi Streptococcus beta hemolitycus
grup A, terutama serotipe M1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 (Afif. A, 2008).
Sekurang-kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat
infeksi saluran nafas karena infeksi Streptokokkus sebelumnya dan pada
kultur apus tenggorokan terhadap Streptococcus beta hemolitycus grup
A sering negatif pada saat serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap
produk ekstraseluler Streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua
kasus DR dan serangan akut DR sangat berhubungan dengan besarnya
respon antibodi. Diperkirakan banyak anak yang mengalami episode
faringitis setiap tahunnya dan 15% - 20% disebabkan oleh Streptokokus
grup A dan 80% lainnya disebabkan infeksi virus. Insidens infeksi
Streptococcus beta hemolitycus grup A pada tenggorokan bervariasi di
antara berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens
tertinggi didapati pada anak usia 5 - 15 tahun.
b) Patogenesis
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokkus beta hemolitik grup
A dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik
merupakan respon autoimun terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolitycus grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan
derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic host,
keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme
patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran
antigen histokompatibilitas mayor, antigen jaringan spesifik potensial
dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi Streptokokkus telah
7
diteliti sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit
ini.
Beberapa penelitian berpendapat bahawa DR yang mengakibatkan
PJR terjadi akibat sesitisasi dari antigen Streptococcus beta hemolitycus
grup A di faring. Streptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk
bulat, berdiameter 0,5 - 1 mikron dan mempunyai karakteristik dapat
membentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Streptococcus
beta hemolitycus grup A ini terdiri dari dua jenis, yaitu hemolitik dan non
hemolitik. Yang menginfeksi manusia pada umumnya jenis hemolitik.
Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer
antistreptolisin O (ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B)
yang merupakan dua jenis tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman
Streptococcus beta hemolitycus grup A.
DR merupakan manifestasi yang timbul akibat kepekaan tubuh yang
berlebihan (hipersentivitas) terhadap beberapa produk yang dihasilkan
oleh Streptococcus beta hemolitycus grup A. Kaplan mengemukakan
hipotesis tentang adanya reaksi silang antibody terhadap Streptococcus
beta hemolitycus grup A.
c) Manifestasi Klinis
DR Akut terdiri dari sejumlah manifestasi klinis, di antaranya
artritis, korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Berbagai
manifestasi ini cenderung terjadi bersama-sama dan dapat dipandang
sebagai sindrom, yaitu manifestasi ini terjadi pada pasien yang sama,
pada saat yang sama atau dalam urutan yang berdekatan.
Manifestasi klinis ini dapat dibagi menjadi manifestasi mayor dan
manifestasi minor, yaitu :
1. Manifestasi Klinis Mayor
Manifestasi mayor terdiri dari artritis, karditis, korea, eritema
marginatum, dan nodul subkutan. Artritis adalah gejala mayor yang
sering ditemukan pada DR Akut. Munculnya tiba-tiba dengan nyeri
8
yang meningkat 12 - 24 jam yang diikuti dengan reaksi radang.
Biasanya mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi yang terkena
menunjukkan gejala-gejala radang seperti bengkak, merah, panas
sekitar sendi, nyeri dan terjadi gangguan fungsi sendi.
Kelainan pada tiap sendi akan menghilang sendiri tanpa
pengobatan dalam beberapa hari sampai 1 minggu dan seluruh gejala
sendi biasanya hilang dalam waktu 5 minggu, tanpa gejala sisa
apapun.
Karditis merupakan proses peradangan aktif yang mengenai
endokarditis, miokarditis, dan perikardium. Dapat salah satu saja,
seperti endokarditis, miokarditis, dan perikarditis. Endokarditis
dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada daun
katup yang menyebabkan terdengarnya bising yang berubah-ubah.
Ini menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup belum
menetap. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan
tanda-tanda gagal jantung. Sedangkan perikarditis adalah nyeri pada
perikardial. Bila mengenai ketiga lapisan sekaligus disebut
pankarditis. Karditis ditemukan sekitar 50% pasien DR Akut. Gejala
dini karditis adalah rasa lelah, pucat, tidak berghairah, dan anak
tampak sakit meskipun belum ada gejala-gejala spesifik. Karditis
merupakan kelainan yang paling serius pada DR Akut, dan dapat
menyebabkan kematian selama stadium akut penyakit. Diagnosis
klinis karditis yang pasti dapat dilakukan jika satu atau lebih tanda
berikut ini dapat ditemukan, seperti adanya perubahan sifat bunyi
jantung organik, ukuran jantung yang bertambah besar, terdapat
tanda perikarditis, dan adanya tanda gagal jantung kongestif.
Eritema marginatum merupakan manifestasi DR pada kulit,
berupa bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat
sedangkan tepinya berbatas tegas, berbentuk bulat atau
bergelombang, tidak nyeri, dan tidak gatal. Tempatnya dapat
berpindah-pindah, di kulit dada dan bagian dalam lengan atas atau
9
paha, tetapi tidak pernah terdapat di kulit muka. Eritema marginatum
ini ditemukan kira-kira 5% dari penderita DR dan merupakan
manifestasi klinis yang paling sukar didiagnosis.
Nodul subkutan merupakan manifestasi mayor DR yang terletak
dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, mudah digerakkan,
berukuran antara 3 - 10 mm. Kulit diatasnya dapat bergerak bebas.
Biasanya terdapat di bagian ekstensor persendian terutama sendi
siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki. Nodul ini timbul selama 6-
10 minggu setelah serangan DR Akut.
2. Manifestasi Klinis Minor
Manifestasi klinis minor merupakan manifestasi yang kurang
spesifik tetapi diperlukan untuk memperkuat diagnosis DR.
Manifestasi klinis minor ini meliputi demam, atralgia, nyeri perut,
dan epistaksis.
Demam hampir selalu ada pada poliartritis rematik. Suhunya
jarang melebihi 39°C dan biasanya kembali normal dalam waktu 2
atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan. Atralgia adalah nyeri sendi
tanpa tanda objektif pada sendi, seperti nyeri, merah, hangat, yang
terjadi selama beberapa hari atau minggu. Rasa sakit akan
bertambah bila penderita melakukan latihan fisik. Gejala lain adalah
nyeri perut dan epistaksis, nyeri perut membuat penderita kelihatan
pucat dan epistaksis berulang merupakan tanda subklinis dari DR.
Para ahli lain ada menyatakan manifestasi klinis yang serupa
yaitu umumnya dimulai dengan demam remiten yang tidak melebihi
39°C atau arthritis yang timbul setelah 2-3 minggu setelah infeksi.
Demam dapat berlangsung berkali-kali dengan tanda umum berupa
malaise, astenia, dan penurunan berat badan. Sakit persendian dapat
berupa atralgia, yaitu nyeri persendian dengan tanda-tanda panas,
merah, bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan gerak. Artritis
pada DR dapat mengenai beberapa sendi secara bergantian.
Manifestasi lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan
10
perikarditis), nodul subkutan, eritema marginatum, korea, dan nyeri
abdomen (Mansjoer A. dkk., 2000).
d) Prognosis
Prognosis demam reumatik tergantung pada stadium saat diagnosis
ditegakkan, umur, ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung,
pengobatan yang diberikan, serta jumlah serangan sebelumnya.
Prognosis pada umumnya buruk pada penderita dengan karditis pada
masa kanak-kanak. Serangan ulang dalam waktu 5 tahun pertama dapat
dialami oleh sekitar 20% penderita dan kekambuhan semakin jarang
terjadi setelah usia 21 tahun. Kira-kira 75% pasien dengan demam
reumatik akut sembuh kembali setelah 6 minggu, dan kurang dari 5%
tetap memiliki gejala korea atau karditis yang tidak diketahui lebih dari
6 bulan setelah pengobatan rutin.
11
3. Golongan Etnik dan Ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama
maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit
hitam dibandingkan dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus
dinilai secara hati-hati, sebab mungkin pelbagai faktor lingkungan yang
berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan
merupakan sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah
terjadinya stenosis mitral. Di negara-negara barat umumnya stenosis
mitral terjadi bertahun-tahun setelah serangan penyakit jantung
reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa stenosis mitral
organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif
singkat, hanya 6 bulan sampai 3 tahun setelah serangan pertama.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada
timbulnya demam reumatik atau penyakit jantung reumatik. Penyakit ini
paling sering mengenai anak berumur antara 5 - 15 tahun dengan puncak
sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak yang berumur
3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah
20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidensi infeksi
Streptokokus pada anak usia sekolah.
Tetapi Markowitz menemukan bahwa 40% penderita infeksi
Streptokokus adalah mereka yang berumur antara 2 - 6 tahun. Mereka
ini justru jarang menderita demam reumatik. Mungkin diperlukan
infeksi berulang-ulang sebelum dapat timbul komplikasi demam
reumatik.
5. Keadaan Gizi dan lain-lain
Keadaan gizi anak serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat
ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya
demam reumatik. Hanya sudah diketahui bahwa penderita anemia sel
sabit (sickle cell anemia) jarang yang menderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik.
6. Faktor-Faktor Lingkungan
12
a) Keadaan Sosial Ekonomi yang Buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidensi demam
reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum
era antibiotika. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk
ialah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan
penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk
segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang,
pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan
kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang
memudahkan timbulnya demam reumatik.
13
Pencegahan Penyakit Jantung Rematik
1. Pencegahan Primordial
Tahap pencegahan ini bertujuan memelihara kesehatan setiap orang
yang sehat supaya tetap sehat dan terhindar dari segala macam penyakit
termasuk penyakit jantung. Untuk mengembangkan tubuh maupun jiwa
serta memelihara kesehatan dan kekuatan, maka diperlukan bimbingan dan
latihan supaya dapat mempergunakan tubuh dan jiwa dengan baik untuk
melangsungkan hidupnya sehari-hari. Cara tersebut adalah dengan
menganut suatu cara hidup sehat yang mencakup, memakan makanan dan
minuman yang menyehatkan, gerak badan sesuai dengan pekerjaan sehari-
hari dan berolahraga, usaha menghindari dan mencegah terjadinya stres, dan
memelihara lingkungan hidup yang sehat.
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ini ditujukan pada penderita DR. Terjadinya DR
seringkali disertai pula dengan adanya PJR akut sekaligus. Maka usaha
pencegahan primer terhadap PJR akut sebaiknya dimulai terutama pada
pasien anak-anak yang menderita penyakit radang oleh streptococcus beta
hemolitycus grup A pada pemeriksaan THT (telinga, hidung, tenggorokan),
di antaranya dengan melakukan pemeriksaan radang pada anak-anak yang
menderita radang THT, yang biasanya menyebabkan batuk, pilek, dan
sering juga disertai panas badan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kuman
apa yang menyebabkan radang pada THT tersebut. Selain itu, dapat juga
diberikan obat anti infeksi, termasuk golongan sulfa untuk mencegah
berlanjutnya radang dan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya DR.
Pengobatan anti Streptokokus dan antirematik perlu dilanjutkan sebagai
usaha pencegahan primer terhadap terjadinya PJR akut.
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ini dilakukan untuk mencegah menetapnya
infeksi streptococcus beta hemolitycus grup A pada bekas pasien DR.
Pencegahan tersebut dilakukan dengan cara, di antaranya :
a) Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolitycus grup A
14
Pemusnahan kuman Streptococcus harus segera dilakukan setelah
diagnosis ditegakkan, yakni dengan pemberian penisilin dengan dosis
1,2 juta unit selama 10 hari. Pada penderita yang alergi terhadap
penisilin, dapat diganti dengan eritromisin dengan dosis maksimum 250
mg yang diberikan selama 10 hari. Hal ini harus tetap dilakukan
meskipun biakan usap tenggorok negatif, karena kuman masih ada
dalam jumlah sedikit di dalam jaringan faring dan tonsil.
b) Obat anti radang
Anti radang cukup efektif dalam menekan manifestasi radang akut
demam reumatik, seperti salisilat dan steroid. Kedua obat tersebut
efektif untuk mengurangi gejala demam, kelainan sendi serta fase reaksi
akut. Lebih khusus lagi, salisilat digunakan untuk demam rematik tanpa
karditis dan steroid digunakan untuk memperbaiki keadaan umum anak,
nafsu makan cepat bertambah dan laju endapan darah cepat menurun.
Dosis dan lamanya pengobatan disesuaikan dengan beratnya penyakit.
c) Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita.
Pada sebagian besar kasus diberikan makanan dengan kalori dan protein
yang cukup. Selain itu diberikan juga makanan mudah cerna dan tidak
menimbulkan gas, dan serat untuk menghindari konstipasi. Bila
kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan
tambahan berupa vitamin atau suplemen gizi.
d) Tirah baring
Semua pasien demam rematik akut harus tirah baring di rumah sakit.
Pasien harus diperiksa tiap hari untuk pengobatan bila terdapat gagal
jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2 - 3 minggu sejak dari
awal serangan, sehingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama
masa tersebut.
4. Pencegahan Tertier
Pencegahan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi, di
mana penderita akan mengalami klasifikasi dari PJR, seperti stenosis mitral,
insufisiensi mitral, stenosis aorta, dan insufisiensi aorta.
15
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Demam reumatik ialah penyakit peradangan yang diakibatkan oleh reaksi
“autoimun” terhadap infekai Streptococcus beta hemolyticus group A yang
mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Penyakit ini menyerang jantung,
persendian, susunan saraf pusat, lapisan serosa dan jaringan subkutan.
Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah penyakit jantung sebagai akibat
adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam Rematik (DR), yang ditandai dengan
terjadinya cacat katup jantung.
Dari sebuah jurnal mengatakan bahawa DR dan atau PJR eksaserbasi akut
adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi streptococcus beta
hemolyticus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang
dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis,
korea, nodul subkutan dan eritema marginatum.
Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka kematian akibat PJR sebesar 7,6
per 100.000 penduduk. Di Utara India pada tahun 1992-1993, prevalens PJR
sebesar 1,9 - 4,8 per 1.000 anak sekolah (dengan umur 5 - 15 tahun). Sedangkan
Nepal (1997) dan Sri Lanka (1998) masing-masing sebesar 1,2 per 1.000 anak
sekolah dan 6 per 1.000 anak sekolah (WHO, 2001). Menurut laporan
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (Dit PPTM) Depkes RI tahun
2004, dari 1.604 penderita PJR yang dirawat inap di seluruh rumah sakit di
Indonesia, terdapat 120 orang yang meninggal akibat PJR dengan Case Fatality
Rate (CFR) 7,48%. Faktor resiko PJR dikelompokkan menjadi 2 kelompok :
1. Faktor Intrinsik, yaitu akibat penyakit demam rematik
2. Faktor Ekstrinsik :
a) Genetik
b) Jenis Kelamin
c) Ras dan Etnik
d) Umur
e) Gizi
16
f) Lingkungan
Saran
Sebagai tenaga kesehatan masyarakat kita harus mengetahui dan
memahami Penyakit Rheumatic Fever/Rheumatic Heart Disease, sehingga kita
sebagai tenaga kesehatan masyarakat bisa melakukan pencegahan dan
pengenadalian terhadap factor risiko penyakit Rheumatic Fever/Rheumatic
Heart Disease, agar kasus penyakit ini tidak meningkat.
17
DAFTAR PUSTAKA
18