Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN INFEKSI

JANTUNG

Disusun Oleh :

Molliyana, S.kep, Ners


Sri Hastuti Nuraini, S.Kep, Ners
Zani Apipah, Amd. Kep

IKATAN NERS KARDIOVASKULER INDONESIA ( INKAVIN


) JAKARTA
2022
i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta
karunianya-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas presentasi kasus pelatihan keperawatan
kardiologi tingkat dasar, dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien Penyakit Infeksi
Jantung”
Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas bantuan,
dukungan dan do’anya. Kami berharap makalah ini bermanfaat dalam membantu proses
pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan bagi para peserta pelatihan.
Makalah ini mungkin kurang sempurna, untuk itu kami mengharap kritik dan saran untuk
penyempurnaan makalah ini.

Jakarta , 4 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul....................................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
BAB II TINJAUAN TEORI
Konsep 3
Pengertian 3
Etiologi 3
Patofisiologi 4
Pemeriksaaan Diagnostik 10
Penatalaksaan Medik 11
Asuhan Keperawatan................................................................................................................................14
Pengkajian 14
Diagnosa Keperawatan 16
Perencanaan 17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22

i
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Rheumatic Heart Disease (RHD) atau Penyakit Jantung Rematik masih tetap menjadi
masalah penyakit jantung terutama di negara industri dan negara berkembang hingga permulaan abad
ke-21 dengan efek yang buruk mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia produktif
(Hasnul,Najirman&Yanwirasti, 2015). Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung
akibat demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai katup mitral (75%), aorta
(25%), jarang mengenai katup trikuspid dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Setiap
tahunnya rata-rata ditemukan 55 kasus dengan demam reumatik akut (DRA) dan PJR (Julius, 2016).

Penyakit jantung rematik merupakan penyebab kecacatan pada jantung yang terbanyak.
Kecacatan pada katup jantung tidak dapat terlihat secara kasat mata seperti cacat fisik lainnya, tetapi
menyebabkan gangguan kardiovaskular mulai dari bentuk ringan sampai berat sehingga mengurangi
produktivitas dan kualitas hidup. DRA merupakan penyebab utama penyakit jantung rematik, didapat
pada anak usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan sosio- ekonomi
rendah dan lingkungan buruk. Keterlibatan jantung menjadi komplikasi terberat dari DRA dan
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Dengan 60% dari 470.000 kasus DRA
pertahun akan menambah jumlah kejadian PJR. Penderita PJR akan berisiko untuk terjadi kerusakan
jantung akibat infeksi berulang dari DRA sehingga memerlukan tindakan pencegahan (Julius, 2016).

Prevalensi panyakit jantung semua umur di Indonesia 1,5%, berdasakan tingkatan umur
kejadian terbanyak terjadi pada usia >75 tahun yaitu sebanyak 4,7%, dan paling sedikit terjadi pada
usia <1 tahun sekitar 0,1%. Berdasarkan jenis kelamin lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu
sebanyak 1,6% dan pada laki- laki sebanyak 1,3%. Penyakit jantung reumatik merupakan bentuk
penyakit yang jarang ditemukan tetapi jika sudah terdiagnosa sangat susah untuk ditangani
(Riskesdas, 2018).

Rumusan
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien penyakit Rheumatic Heart Disease
(RHD)?

1
Tujuan
Tujuan umum
Mengimplementasikan penerapan asuhan keperawatan pasien dengan penyakit
Rheumatic Heart Disease (RHD) dengan pendekatan standar diagnosa, luaran dan
intervensi keperawatan Indonesia
Tujuan khusus
1. Mampu menjelaskan penyakit Rheumatic Heart Disease (RHD)
2. Mampu memahami patofisiologi Rheumatic Heart Disease (RHD)
3. Mampu menerapkan asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Rheumatic Heart
Disease (RHD) dengan pendekatan standar diagnosa, luaran dan intervensi
keperawatan Indonesia

Manfaat
Dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Rheumatic Heart Disease
(RHD) dengan pendekatan standar asuhan keperawatan SDKI, SLKI dan SIKI secara lebih
komprehensif sehingga pasien mendapatkan pelayanan keperawatan secara optimal.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

Konsep
Pengertian
Demam rematik adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh respons imunologis lambat yang
terjadi setelah infeksi kuman Streptococus β hemolyticus grup A. Penyakit jantung rematik (PJR)
adalah penyakit jantung sebagai akibat gejala sisa dari demam rematik, yang ditandai dengan
terjadinya cacat katup jantung. Penyakit ini merupakan penyebab kelainan katup yang terbanyak
terutama pada anak sehingga mengurangi produktivitas dan kualitas hidup (NK et al., 2016)

Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung didapat
yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang
menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta
(25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit
jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya (Pande, Made, I, 2018)

Etiologi
Demam rematik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu,
penyebab penyakit dan faktor lingkungan . Infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan pertama maupun
serangan ulangan. Untuk menyebabkan serangan demam reumatik, Streptokokus grup A harus
menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda dengan
glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di saluran napas,
demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit(Fitriany &
Annisa, 2019).

Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui dari data
sebagai berikut:

a. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap
Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta- Streptococcus hemolyticus grup A, atau keduanya.

b. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh beta-Streptococcus
3
hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya sekitar 3% dari individu yang belum
pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis
Streptococcus yang tidak diobati.

c. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat pencegahan yang
teratur dengan antibiotika.

Patofisiologi
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif misalnya
demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari
ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis. Pasien masih tetap
terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir
infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media
trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat
mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan yang
melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic fever akan
berkembang menjadi rheumatic heart disease. Adapun kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic
heart disease yakni kerusakan katup jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang
sering dan berulang penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar
(jaringan parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis (Pande, Made, I, 2018)
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam patogenesisnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan dalam patogenesis penyakit
rheumatic fever antara lain faktor organisme, faktor host dan faktor sistem imun.
Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokus β hemolitik grup A dengan terjadinya DR telah
lama diketahui. Demam rematik merupakan respons auto immune terhadap infeksi Streptokokus β
hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul
ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif.
Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen
histokompatibility mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibody yang berkembang segera
setelah infeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor resiko yang potensial dalam patogenesis
4
penyakit ini.
Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M
dari Streptokkokus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya
mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M-protein. M-protein adalah
salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul
alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein
ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur
katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24
berhubungan dengan terjadinya DR.
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus yang
dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan nonpolymorphic V b-
chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan
superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam
patogenesis DR. Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune terhadap antigen streptokokkus
memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 – 3 persen
individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data terakhir
menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen streptokokkus berhubungan
dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi streptokokkus dimulai dengan ikatan
permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan,
kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang
penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-binding
proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang berdesakan
dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit
ini. Variasi cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi streptokokkus untuk
terjadi DR. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat skema patogenesis DR dan PJR (Fitriany &
Annisa, 2019).

5
Pathway RHD

Manifestasi Klinis

6
Menurut Fitriany & Annisa, (2019) perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit
jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium:

a. Stadium 1

Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta- Streptococcus
hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang
disertai muntah danbahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering
didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya.Kelenjar getah bening
submandibular seringkali membesar.Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan. Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas
pada penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari
sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik

b. Stadium II

Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanyaperiode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang
dapat timbul 6minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian

c. Stadium III

Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam
reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala
peradanganumum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit
jantung reumatik.

d. Stadium IV

Disebut juga stadium inaktif.Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan
jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala
apa- apa. Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,
gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam
reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi
penyakitnya

7
Manifestasi Klinis Mayor (Jones)
a. Karditis
Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada anak anak.Karditis
adalah satu satunya komplikasi.Demam reumatik yang bisa menimbulkan efek jangka
panjang.Kelainannya berupa pankarditis, yaitu mengenai perikardium, epikardium, miokardium
dan endokardium.Pada Demam reumatik sering terjadipankarditis yang ditandai dengan
perikarditis, myokarditis dan endokarditis. Perikarditis ditandai dengan pericardial friction rub.
Pada efusi perikard bisa didengar adanya muffled sound, dan pulsus paradoks (penurunan
tekanan sistolik yang besar di saat inspirasi). Karakterisitik miokarditis adalah infiltrasi sel
mononuklear, vaskulitis dan perubahan degeneratif pada interstisial conective tissue.Bentuk
endokarditis tersering adalah insufisiensi katub mitral.Katub yang sering terkena adalah katub
mitral (65- 70%) dan katub aorta (25%).Katub trikuspid hanya terganggu pada 10% dan hampir
selalu berhubungan lesi pada katub mitral dan aorta.Sedangkan katub pulmonal sangat jarang
terlibat.Insufisiensi katub yang berat pada fase akut dapat menyebabkan gagal jantung dan
kematian (pada 1% penderita). Perlengketan pada jaringan penunjang katub akan menghasilkan
stenosis atau kombinasi antara stenosis dan insufisiensi yang muncul dalam 2-10 tahun setelah
episode demam reumatik akut. Perlengketan bisa terjadi pada tingkatan ujung bilah katub, bilah
katub dan chorda atau kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut.
Bising jantung yang sering pada demam rematik:

1. Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi ke axilla. Tidak
dipengaruhi oleh posisi dan respirasi.
2. Carey coombs bising : bising diastolik di apeks pada karditis yang aktif dan menyertai
mitral insufisiensi berat. Mekanismenya berupa relatif mitral stenosis yang diakibatkan dari
volume yang besar yang melalui katub mitral saat pengisian ventrikel.
3. Bising aorta regurgitasi : bising awal diastolik yang terdapat dibasal, dan terbaikdidengar
pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk miring kedepan

b. Atritis
Artritis ARF paling sering menyerang sendi-sendi besar, terutama lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Banyak sendi yang sering terlibat, dengan timbulnya artritis
pada sendi yang berbeda baik dipisahkan dalam waktu atau tumpang tindih, sehingga
memunculkan deskripsi "polyratritis" migrasi "atau" aditif " . Setiap sendi terpengaruh selama
8
beberapa hari hingga satuminggu, dengan seluruh episode sembuh tanpa pengobatan dalam
waktu satu bulan. Nyeri sendi bisa sangat parah, terutama pada anak-anak yang lebih tua dan
remaja, dan sering tidak sesuai dengan tanda-tanda klinis peradangan Atralgia yang merupakan
suatu kriteria minor, juga sering menyebabkan seorang dokter mendiagnosa sebagai Demam
reumatik terutama jika terdapat kriteria minor yang lain, seperti febris dan bukti adanya infeksi
streptokukkus seperti ASTO
c. Chorea Sydenham

Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi streptokokus,
progresif secara perlahan dan memberat dalam 1-2 bulan.Kelainan neurologis berupa gerakan
involunter yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan dan kaki. Disertai
dengan gangguan kontraksi tetanik dimana penderita tidak bisa menggenggam tangan
pemeriksa secara kuat terus menerus (milk sign). Chorea dapat muncul dengan sendirinya, tanpa
ciri-ciri ARF lainnya dan tanpa bukti infeksi streptokokus, karena chorea dapat terjadi
berbulan-bulan setelah infeksi streptokokus. Jika chorea memiliki presentasi yang terisolasi,
penting untuk mengecualikan penyebab lain dari chorea, seperti systemic lupus erythematosus,
penyakit Wilson, dan reaksi. Dalam semua kasus yang dicurigai chorea reumatik, pemeriksaan
jantung dan ekokardiogram harus dilakukan, karena chorea sangat terkait dengan carditis
d. Eritema Marginatum
Muncul dalam 10% serangan pertama Demam reumatik biasanya pada anak anak, jarang
pada dewasa.Lesi berwarna merah, tidak nyeri dan tidak gatal dan biasanya pada batang tubuh,
lesi berupa cincin yang meluas secara sentrifugal sementara bagian tengahcincin akan kembali
normal
e. Nodulus Subkutan
Nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah onset demam rematik, dan
biasanya tidak disadari penderita karena tidak nyeri.Biasanya berkaitan dengan karditis berat,
lokasinya dipermukaan tulang dan tendon, serta menghilang setelah 1-2 minggu.

Manifestasi Minor
a. Demam
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik, ia sering ada pada karditis yang
tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal
yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3 minggu,
9
walau tanpa pengobatan.Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi.Artralgia
biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak
mampu lagi menggerakkan tungkainya.Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium.
Reaktan fase akut seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik
untuk masa waktu yang lama (berbulan- bulan).Pemanjangan interval PR pada
elektrokardiogram juga termasuk kriteria minor.
b. Nyeri

Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh
karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal jantung dan
ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa berat
sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat disalahtafsirkan sebagai apendistis
sehingga dilakukan operasi.
c. Anoreksia, nausea, dan muntah

Seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau keracunan salisilat.
Epitaksis berat mungkin dapat terjadi
d. Kelelahan

Merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung.Nyeri
abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak dianggap
sebagai kriteria diagnosis. (Fitriany & Annisa, 2019).

Pemeriksaaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium : Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan anti steptolisin
(ASTO) positif, kenaikan laju endap darah (LED), terjadi leukositosis.
b. Radiologi : Pada pemeriksaan foto toraks menunjukkan adanya corakan bronkovaskuler pada
paru bertambah dan terjadinya pembesaran pada jantung/ kardiomegali.
c. Pemeriksaan elektrokardiogram : Menunjukkan interval PR memanjang (Shiba & Rukmi, 2017).
d. Pemeriksaan ekokardiogram : Menunjukan pembesaran padajantung dan terdapat lesi,
mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi
ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral akan
menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat
memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi terpenting adalah
1
dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan semburan regurgitasi mitral ke postero- lateral.
e. Apus tenggorokan ditemukan streptokokus beta hemolitikus grup A (Kana, 2019)
Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar bertujuan untuk
mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari respon
autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut,
terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau
komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan
terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.
a. Terapi Antibiotik
1. Profilaksis Primer

Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat penting untuk
mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A.
Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti
dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.

Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi dan


efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang ditentukan (frekuensi,
durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan juga efek samping. Penisilin G
Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk terapi
Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap
penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan
bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding
dengan penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi
dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat menyelesaikan terapi
oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada
mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor risiko terkena rheumatic fever (lingkungan
padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah)

2. Profilaksis Sekunder

1
Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic
heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring
yang berulang adalah metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang
parah
b. Terapi Anti Inflamasi
Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat terhadap
terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien
dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah
kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan
aspirin dan terus mengalami perburukan. Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya
menunggu sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-
125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan
menjadi 15 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa
digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari. 6,15 Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama
adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1
kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang
mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari
anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi
c. Terapi Gagal Jantung

Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah baring,
restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat,
terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan
diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan
ACE Inhibitor dan atau digoxin
d. Diet dan Aktivitas

Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien
gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium
diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.16, 17 Tirah baring sebagai terapi
rheumatic fever pertama kali diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut
sejak saat itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda
fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap

1
e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami perburukan
meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan rheumatic heart disease,
operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan
nyawa pasien. Pasien yang simptomatik dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan
katup yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi.
1. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan ballon mitral
valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.
2. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin akibat ruptur
khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu
segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.
3. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi dengan balon
biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.
4. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan lesi lain,
biasanya ditangani dengan penggantian katup.

Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1
a. Indetitas Pasien
Meliputi nama, tanggal lahir, nomor RM, usia, agama, alamat tempat tinggal.

b. Riwayat Kesehatan
Keluhan sakit tenggorokan baru-baru ini di sertai demam, sulit menelan, malaise, riwayat
sebelumnya penyakit tenggorokan akibat streptokokus atau demam reumatik, Riwayat
murmur jantung atau masalah jantung lain, medikasi saat ini.

c. Riwayat Kesehatan Lingkungan


1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
2. Iklim dan Geografi
3. Cuaca
d. Imunisasi
e. Riwayat Nutrisi
Adanya penurunan nafsu makan selama sakit sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi
berubah

f. Pemeriksaan Head to Toe


1. Kepala
Ada gerakan yang tidak disadari pada wajah, sclera anemis, terdapat napas cuping
hidung, membran mukosa mulut pucat.

2. Kulit
Turgor kulit kembali setelah 3 detik, peningkatan suhu tubuhsampai 39ᴼC, arthritis,
nodulus subkutan, chorea.

3. Dada
Inspeksi: terdapat edema, petekie

Palpasi: vocal fremitus tidak sama

Perkusi redup
Auskultasi terdapat pericardial friction rub, ronchi, crackles, bising mitral regurgitasi,
bising aorta regurgitasi.

4. Jantung
Inspeksi, iktus kordis tampak Palpasi dapat terjadi kardiomegali

1
Perkusi redup.
Auskultasi terdapat murmur, gallop. Murmur di sebabkan oleh pembukaan katup yang
tidak sempurna atau stenosis yang memaksa darah melewati bukaan sempit atau oleh
regurgitasi yang disebabkan oleh penutupan katup yang tidak sempurna dan
mengakibatkan aliran balik darah.

5. Abdomen
Inspeksi perut simetris

Palpasi kadang-kadang dapat terjadi hepatomigali

Perkusi tympani
Auskultasi bising usus normal

6. Genetalia
Tidak ada kelainan
7. Ekstremitas
Pada inspeksi terdapat arthritis, sendi terlihat bengkak dan merah, ada gerakan yang
tidak disadari, pergerakan ireguler pada ekstremitas, dan cepat, kelemahan otot, pada
palpasi teraba hangat dan terjadi kelemahan otot.

g. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Labolatorium
2. Foto Thorax
3. Echo
4. EKG
h. Pengkajian Data Khusus
1. Karditis : takikardi terutama saat tidur, kardiomegali, suarasistolik, perubahansuarah
jantung, perubahan EKG (interval PR memanjang), nyeri prekornial, leokositosis,
peningkatan LED, peningkatan ASTO.

2. Poliatritis : nyeri dan nyeri tekan disekitar sendi, menyebar pada sendi lutut, siku, bahu,
dan lengan (gangguan fungsi sendi).

3. Nodul Subkutan : timbul benjolan di bawah kulit, teraba lunak dan bergerakbebas.
Biasanya muncul sesaat dan umumnya langsung diserap. Terdapat
padapermukaanekstensor persendian.
1
4. Khorea : pergerakan ireguler pada ekstremitas, infolunter dan cepat, emosilabil,
kelemahan otot.

5. Eritema marginatum : bercak kemerahan umum pada batang tubuh dan telapaktangan,
bercak merah dapat berpindah lokasi, tidak parmanen, eritema bersifat non-pruritus

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut (D.0077)
2. Hipertermia (D.0130)
3. Defisit Pengetahuan (D.0111)

1
Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan (SDKI) Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi Keperawatan (SIKI)


Nyeri Akut (D.0077) a. L08066 Tingkat Nyeri a. Manajemen Nyeri (I.08238)
Ekspetasi : Menurun, dengan kriteria hasil : Observasi :
- Keluhan nyeri menurun (5) - Identifikasi lokasi, karakterisrik, durasi,
- Meringis menurun (5) frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Sikap protektif menurun (5) - Identifikasi skala nyeri
- Gelisah menurun (5) - Identifikasi respon Nyeri non verbal
- Frekuensi nadi membaik (5) - Identifikasi faktor yang memperberat dan
- Tekanan darah membaik (5) memperingan nyeri.
b. L08063 Kontrol Nyeri - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
Ekspetasi : Meningkat, dengan kriteria hasil : tentang nyeri.
- Melaporkan nyeri terkontrol meningkat (5) - Identifikasi pengaruh budaya terhadap
- Kemampuan mengenali onset nyeri meningkat respon nyeri.
(5) - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
- Kemampuan mengenali penyebab nyeri hidup.
meningkat (5) - Monitor keberhasilan terapi komplementer
- Kemampuan menggunakan Teknik non- yang sudah diberikan.
farmakologis meningkat (5) - Monitor efek samping penggunaan analgetik.
Terapeutik :
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (misalnya hypnosis,
akupresur, terapi musik, aroma erapi, teknik
imajinasi terbimbing).
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri (misalnya suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan).
- Fasilitasi istirahat dan tidur.
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri.
Edukasi :
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri.
- Jelaskan strategi meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
- Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat.
1
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
c. I.12391 Edukasi Manajemen Nyeri
Observasi :
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi.
Terapeutik
- Sediakan materi dan media pendidikan
kesehatan.
- Jadwalkan pendidikan Kesehatan sesuai
kesepakatan
- Berikan kesempatan untuk bertanya.
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan strategi
meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
- Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat.
- Aiarkan teknik non fakmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
d. I.12444 Edukasi Proses Penyakit
Observasi :
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi
Terapeutik
- Sediakan materi dan media pendidikan
kesehatan.
- Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
kesepakatan.
- Berikan kesempatan untuk bertanya.
Edukasi
- Jelaskan penyebab dan faktor risiko
penyakit.
- Jelaskan proses patofisiologi munculnya
penyakit.
- Jelaskan tanda gejala yang ditimbulkan oleh

1
penyakit.
- Jelaskan kemungkinan terjadinya
komplikasi.
- Ajarkan cara meredakan atau mengatasi
gejala yang dirasakan.
- Ajarkan cara meminimalkan efek samping
dan intervensi atau pengobatan.
- Informasikan kondisi pasien saat ini.
- Anjurkan melapor jika merasakan tanda dan
gejala memberat atau tidak biasa.

Hipertermia (D.0130) L. 14134 Termotegulasi a. I. 15506 Manajemen hipertermia


Ekspekstasi : membaik, dengan kriteria hasil : Observasi :
- Suhu tubuh membaik (5) - Identifikasi penyebab hipertermia (misalnya
- Suhu kulit membaik (5) dehidrasi terpapar lingkungan panas
- Ventilasi membaik (5) penggunaan
Inkubator)
- Monitor suhu tubuh.
- Monitor kadar elektrolit.
- Monitor haluaran urin.
Terapeutik
- Sediakan lingkungan yang dingin.
- Longgarkan atau lepaskan pakaian. Basahi
dan kipasi permukaan tubuh.
- Berikan cairan oral.
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
mengalami hiperhidrosis (keringat berlebih).
- Lakukan pendinginan eksternal (misalnya
selimut hipotermia atau kompres dingin pada
dahi, leher, dada, abdomen, aksila).
- Hindari pemberian antipiretik atau aspirin. .
- Batasi oksigen, jika perlu.
Edukasi
- Anjurkan tirah baring.
Kolaborasi
-Kolaborasi cairan dan elektrolit intravena,
jika perlu.
b. 1.14578 Regulasi Temperatur
Observasi :
1
- Monitor suhu bayi sampai stabil (36.5°C -
37.5°C).
- Monitor suhu tubuh anak tiap 2 jam, jika
perlu Monitor tekanan darah, frekuensi
pernapasan dan nadi.
- Monitor warna dan suhu kulit.
- Monitor dan catat tanda dan gejala
hipotermia dan hipertermia.
Terapeutik
- Pasang alat pemantauan suhu kontinu, jika
perlu
- Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang
adekuat
- Sesuaikan suhu lingkungan dengan
kebutuhan pasien
- Edukasi jelaskan cara pencegahan heat
exhause, heat stroke.
- Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena
terpapar udara dingin
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antipiretik jika perlu

Defisit Pengetahuan (D.0111) L.12111 Tingkat Pengetahuan I.12383 Edukasi kesehatan


Ekspektasi : Meningkat, dengan kriteria hasil: Observasi :
- Perilaku sesuai anjuran meningkat (5) - Identifikasi kesiapan dan kemampuan
- Verbalisasi minat dalam belajar meningkat (5) menerima informasi.
- Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang - Identifikasi faktor- faktor yang dapat
suatu topik meningkat meningkatkan dan menurunkan motivasi
- Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat perilaku hidup bersih dan sehat.
(5) Terapeutik
- Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi - Sediakan materi dan media pendidikan
menurun ( 5) kesehatan.
- Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat - Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
menurun (5) kesepakatan.
L.09080 Motivasi - Berikan kesempatan untuk bertanya.
Ekspektasi : meningkat dengan kriteria hasil: Edukasi
- Upaya menyusun rencana tindakan meningkat - Jelaskan faktor risiko yang dapat
(5) mempengaruhi kesehatan
- Upaya mencari sumber sesuai kebutuhan - Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
2
meningkat (5) - Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
- Upaya mencari dukungan sesuai kebutuhan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
meningkat (5)
- Bertanggung jawab meningkat (5)

2
DAFTAR PUSTAKA
Fitriany, J., & Annisa, I. (2019). Demam Reumatik Akut. AVERROUS: Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan Malikussaleh, 5(2), 11. https://doi.org/10.29103/averrous.v5i2.2078.

Hasnul M, Najirman & Yanwirasti. (2015). Karakteristik pasien penyakit jantung rematik yang dirawat
inap di RSUP Dr.M.Djamil.Jurnal Kesehatan Andalas Vol 4 No 3, 894-900.

Julius W. (2016). Penyakit jantung reumatik. Jurnal Medula Unila Vol 3 No 4,138-144
dari:https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/1601.

Kana, Ina Erni Putri Bungsu. (2019). Asuhan Keperawatan Pada Nn. N Dengan Penyakit
jantung reumatik di Ruangan Cempaka RSUD PROF. DR.W.Z Johannes Kupang.
Kupang: Poltekkes Kemenkes Kupang.

Kardiovaskular Dalam Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Sahrudi dan Akhyarul Anam.
2021. Jakarta. Trans Info Media.

Modul Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular Tingkat Dasar. Ikatan Ners Kardiovaskular


Indonesia. 2018. Jakarta.

NK, R., Iskandar, B., Albar, H., & Daud, D. (2016). Faktor Risiko Serangan Berulang
Demam Rematik/Penyakit Jantung Rematik. Sari
Pediatri, 14(3), 179.
https://doi.org/10.14238/sp14.3.2012.179-84.

Pande, Made, I, P. (2018). Tinjauan Pustaka PENYAKIT JANTUNG REMATIK. 1102005135, 1–


18.

Riset Kesehatan Dasar.(2018).Jakarta:Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian


Kesehatan RI 2018.

Shiba & Rukmi.(2017). Penyakit Jantung Rematik Pada Anak Laki-laki Usia 8 Tahun. Jurnal Medula
Unila Vol 7 No 2. 13-21.

2
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Edisi
1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI). Edisi 1.
Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1.
Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai