Anda di halaman 1dari 33

Clinical Science Session

PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Oleh:

Desravima Muflianti Basrand 1840312703


Hatika Dara Mareti 1840312708
Melati Purnama Sari 1840312709
Wulan Dwi Yulistia 1840312710

Preseptor:

dr. Eka Fithra Elfi, Sp.JP(K)

BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M.DJAMIL

PADANG
2019

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................................ 3
1.3 Batasan Masalah ................................................................................................. 3
1.4 Metode Penulisan ............................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 4
2.1 Definisi ................................................................................................................ 4
2.2 Epidemiologi ....................................................................................................... 4
2.3 Etiologi ................................................................................................................ 5
2.4 Faktor Predisposisi .............................................................................................. 6
2.5 Patofisiologi ......................................................................................................... 7
2.6 Diagnosis ......................................................................................................... 10
2.7 Tatalaksana ........................................................................................................ 19
2.8 Prognosis ........................................................................................................... 26
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 28

1
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 terjadi
55.694.000 kematian di dunia, 59% diantaranya akibat penyakit tidak menular dan
sisanya oleh penyakit menular. Di Asia Tenggara pada tahun 2001 terdapat 49,7%
kematian akibat penyakit tidak menular.1 Laporan World Health Organization
(WHO) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa Proportional Mortality Ratio (PMR)
akibat penyakit kardiovaskuler sebesar 29,3% dari seluruh kematian di dunia. Data
Proportional Mortality Ratio (PMR) akibat penyakit kardiovaskuler adalah penyakit
jantung koroner (43,08%), stroke (32,92%), penyakit jantung hipertensi (5,44%),
penyakit radang jantung (2,41%), penyakit jantung rematik (1,96%) dan penyakit
jantung lainnya (14,19%).2
Penyakit jantung rematik merupakan masalah di negara industri dan negara
berkembang hingga permulaan abad ke-21 dengan efek yang buruk mengenai anak-
anak dan dewasa muda pada usia produktif.3 Penyakit jantung rematik (PJR)
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam rematik akut
sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang
mengenai katup tricuspid dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.4 Penyakit
jantung rematik merupakan lanjutan dari demam rematik akut. Demam rematik akut
adalah konsekuensi autoimun dari infeksi streptokokus grup A. Demam rematik akut
menyebabkan respon inflamasi umum dan penyakit yang mengenai jantung, sendi,
otak dan kulit secara selektif. Kerusakan katup jantung, khususnya katup mitral dan
aorta setelah demam rematik akut dapat menjadi persisten setelah episode akut telah
mereda. Keterlibatan katup jantung tersebut dikenal dengan penyakit jantung
rematik.5
Demam rematik (DR) dan penyakit jantung rematik (PJR) masih menjadi
penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan di dunia.6 Demam rematik

1
terutama terjadi pada anak usia 5-14 tahun dan dapat terjadi kekambuhan pada usia
dekade empat. Puncak kejadian penyakit jantung rematik adalah pada dekade ketiga
dan keempat.7 Demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah salah satu
penyebab utama masalah kesehatan di negara berkembang. Prevalensi penyakit
jantung rematik di Indonesia masih cukup tinggi, dikalangan anak usia 5-14 tahun
adalah 0,8 kasus per 1000 anak usia sekolah.8 Di perkirakan prevalensi penyakit
jantung rematik di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah dengan usia 5-15 tahun.9
Demam rematik akut merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada
anak usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan
sosioekonomi rendah dan lingkungan buruk.10,11
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva pada tahun 2001, angka
kematian untuk PJR sebesar 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju dan 8,2 per
100.000 penduduk di negara berkembang. Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka
kematian akibat PJR sebesar 7,6 per 100.000 penduduk.12 Pada tahun 2000,
dilaporkan angka kematian akibat PJR bervariasi setiap negara, mulai dari 1,8 per
100.000 penduduk di Amerika hingga 7,6 per 100.000 penduduk di Asia Tenggara.3
Penelitian yang dilakukan oleh Marhamah H (2015) didapatkan bahwa pasien
PJR yang dalam penelitiannya terdiri dari 54 sampel dengan kelompok usia yang
tertinggi terdapat pada usia 11- 20 tahun, yaitu sebanyak 27 sampel (50%) dan yang
terendah pada kelompok umur usia lanjut (≥60 tahun) sebanyak 1 sampel (1,85%).13
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien PJR berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 31 orang (57,41%).13 Keluhan utama yang paling banyak dikeluhkan pasien
PJR adalah sesak napas yaitu sebesar 34 pasien (62,96%). Secara umum pasien PJR
mengalami gangguan fungsi jantung, dimana hal ini diakibatkan oleh kelainan pada
katup jantung dan akibat kompensasi jantung sehingga terjadi sesak napas.13,14

Penyakit jantung rematik merupakan penyebab kecacatan pada jantung yang


terbanyak. Kecacatan pada jantung pada katup jantung tidak dapat terlihat secara
kasat mata seperti cacat fisik lainnya , tetapi menyebabkan gangguan kardiovaskuler
mulai dari bentuk ringan sampai berat sehingga mengurangi produktivitas dan

2
kualitas hidup.15 Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai penyakit
jantung rematik (PJR).

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan Referat ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai definisi, epidemiologi, faktor resiko, klasifikasi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, edukasi dan prognosis dari Penyakit
Jantung Rematik (PJR).

1.3 Batasan Masalah


Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, faktor resiko,
klasifikasi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, edukasi dan prognosis
dari Penyakit Jantung Rematik (PJR).

1.4 Metode Penulisan


Metode yang dipakai dalam penulisan Referat ini merujuk pada berbagai
literatur.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan penyakit jantung didapat yang
sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit jantung rematik merupakan kelainan
katup jantung yang menetap akibat demam rematik akut sebelumnya, terutama
mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup tricuspid dan tidak
pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan
stenosis atau insufisiensi atau keduanya.16 Penyakit jantung rematik merupakan
lanjutan dari demam rematik akut. Demam rematik akut adalah konsekuensi
autoimun dari infeksi streptokokus grup A. Demam rematik akut menyebabkan
respon inflamasi umum dan penyakit yang mengenai jantung, sendi, otak dan kulit
secara selektif. Kerusakan katup jantung, khususnya katup mitral dan aorta setelah
demam rematik akut dapat menjadi persisten setelah episode akut telah mereda.
Keterlibatan katup jantung tersebut dikenal dengan penyakit jantung rematik.5

Menurut definisi lain bahwa penyakit jantung rematik (PJR) adalah penyakit
jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari demam rematik yang ditandai
dengan terjadinya cacat katup jantung. 12 Definisi lain mengatakan bahwa penyakit
jantung rematik adalah hasil dari demam rematik yang merupakan suatu kondisi yang
dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolitycus grup A pada
saluran nafas bagian atas.17

2.2 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian
bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung
pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.18 Demam rematik (DR) masih
sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan sering mengenai anak
usia antara 5-15 tahun.19 Pada tahun 1994 diperkirakan diseluruh dunia terdapat 12
juta penderita DR dan PJR.20,21

4
Berdasarkan laporan WHO Expert Consultation Geneva pada tahun 2004
angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per
100.000 penduduk di negara berkembang sedangkan di daerah Asia Tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000
penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.6

Prevalensi demam rematik di Indonesia belum diketahui secara pasti,


meskipun beberapa penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi
penyakit jantung rematik berkisar antara 0,3 sampai 0,8 per 1.000 anak sekolah.6

Penelitian yang dilakukan oleh Marhamah H (2015) didapatkan bahwa pasien


PJR yang dalam penelitiannya terdiri dari 54 sampel dengan kelompok usia yang
tertinggi terdapat pada usia 11- 20 tahun, yaitu sebanyak 27 sampel (50%) dan yang
terendah pada kelompok umur usia lanjut (≥60 tahun) sebanyak 1 sampel (1,85%).13
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien PJR berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 31 orang (57,41%) dan pasien laki-laki sebanyak 23 orang (42,59%).13

2.3 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis
merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral
(76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi
ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.22

5
Gambar 1. Struktur permukaan sel Streptococcus pyogenes dan sekresi produk
yang berperan dalam virulensi.23

2.4 Faktor Predisposisi


Terdapat beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan seseorang menderita
penyakit jantung rematik, diantaranya sebagai berikut 24:

1. Faktor genetik.
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap
demam rematik menunjukan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik
dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.
2. Umur.
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam
reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai
anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak
biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum
anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan
sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah.
3. Golongan etnik dan ras.

6
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun
ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam
dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati,
sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua
golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang
sebenarnya.
4. Jenis kelamin.
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan
dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada
perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering
ditemukan pada satu jenis kelamin.
5. Reaksi autoimun.
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian
dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam
katup mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada
reumatik fever.

2.5 Patofisiologi
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif
misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit
non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4
hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon
inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok,
malaise, pusing dan leukositosis.25 Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-
minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi
orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi
media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A
saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.25,26
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan
yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit
rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.26 Adapun

7
kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup
jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang
penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan
parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis. 26
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun.26

Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi


memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering
berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki
supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2
(MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi
akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus
beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut
adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu,
bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk
ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang
mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.27 Antibodi yang paling sering
adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri
tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan
kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip
dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi
reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada
kerusakan jaringan tubuh.28
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam
amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3)
Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA
dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat

8
menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.28
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya
dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat
pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.

Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat,


Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan
katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular. 26,29
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan
peranan dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki
potensi terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan
bahwa gen human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam
perkembangan penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas
II yang terletak pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA
kelas II berperan dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan
memicu respon sistem imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-
DR7 yang paling berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi
valvular.28
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae
yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses
inflamasi mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika
serangan terus berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan
bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.30
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65- 70%
kasus).25 Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda
tendinea menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan
volume yang masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya

9
atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri
ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila
kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat
terjadi.30
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta
akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri
diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain, dapat terjadi
stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin
katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup
mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri,
menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan
kelainan jantung kanan.30

2.6 Diagnosis
Etiologi terpenting dari penyakit jantung rematik adalah rheumatic fever .
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan
keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada
sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau
merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
a. Anamnesis

Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5
minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan
pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti
demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis,
kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri
dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.31
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.31

10
b. Manifestasi Klinis

Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali dan
terakhir kali dimodifikasi pada tahun 2015. Kriteria ini membagi gambaran klinis
menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.
Gambar 2. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic
Fever32

KriteriaMayor
Karditis

Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis.
Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak
nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada
pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia
yang tidak sesuai dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan
dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada tabel 1.33

11
Tabel 1. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul33

Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
• Regurgitasi Mitral
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung
- Murmur mid-diastolik (carrey coombs

murmur) di apeks
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat

- Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar


• Regurgitasi aorta ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi,
sedangkan diastolik sangat rendah bahkan
hingga 0 mmHg)
- Aktivitas ventrikel kiri negatif
• Stenosis mitral
- Bising diastolik di daerah apeks, dengan S1
mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi
vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.33
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,
suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium
dan tamponade perikardium yang mengancam.33

Poliartritis Migrans

Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi

12
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat
yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi
yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-
pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa
jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar
pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua
atau tiga minggu.33

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance

Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa
bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini
mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal,
dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga
minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya
emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak
disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat
terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini
semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat.33
Eritema Marginatum

Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
kurang dari 10% kasus.33 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-
kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan
ekstremitas.31

13
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus
terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan
persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas
kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri,
tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi
beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu
sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat. 34

Kriteria Minor

Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-
3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya
meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
perkembangan penyakit.33

c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium

- Reaktan Fase Akut

Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada


pemeriksaan darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama
pada fase akut/aktif, namun sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi
akut berupa C- reactive protein (CRP) dan laju endap darah (LED).
Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non spesifik untuk

14
penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED,
namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat
pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal
digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.35
- Rapid Test Antigen Streptococcus

Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup


A secara tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.31
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala


klinis rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang
biasa digunakan adalah antistreptolisin O/ASTO dan
antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan ASTO
dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan
dilakukan pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai
meningkat pada minggu 1, dan mencapai puncak minggu ke 3-6
setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit pada anak-anak, dan > 250
unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai meningkat minggu
1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer anti-
DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia
sekolah.31
- Kultur tenggorok

Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya


streptococcus beta hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Kultur ini umumnya negatif
bila gejala rheumatic fever atau rheumatic heart disease mulai
muncul.31

b. Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi

15
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali
dan kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada
karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya
pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas
atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18
detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.31
c. Pemeriksaan Ekokardiografi

Ekokardiografi merupakan diagnostik utama untuk konpirmasi,


diagnosis dan monitoring dari lesi valvular pada demam rematik,
terutama dengan karditis subklinikal. Karditis subklinikal pada
meperiksaan pisik tidak akan mengindikasikan adanya lesi pada waktu
auskultasi. Hanya Ekokardiografi (doppler) untuk mengetahui patologi
katup mitral atau aorta.32

Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk


mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi
perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan
karditis ringan, regurgitasi mitral akan menghilang beberapa bulan.
Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis sedang dan berat
memiliki regurgitasi mitral/aorta yang menetap. Gambaran
ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral,
dan semburan regurgitasi mitral ke postero- lateral.31

Tabel 2. Krteria Ekokardiografi yang dikembangkan oleh American


Heart Assosiation pada 2012 adalah sebagai berikut:32

Echocardiographic (Doppler) Echocardiographic (morphological)


criteria: criteria:

• Pathological mitral • In acute mitral valve

16
regurgitation – 4 criteria (all involvement:
must be met):
1. Dilatation of mitral
1. Visible at least in 2 annulus.
projections.
2. Elongation of chordae
2. Regurgitation jet tendineae.
length ≥ 2 cm at least
3. Rupture of chorda
in 1 projection.
tendinea with acute
3. Regurgitation peak mitral regurgitation.
velocity > 3 m/s.
4. Prolapse of anterior
4. Regurgitation (less often posterior)
pansystolic. leaflet.

• Pathological aortic 5. Nodular lesions on


regurgitation – 4 criteria (all leaflets.
must be met):
• In chronic mitral valve
1. Visible at least in 2 involvement (invisible in
projections. acute involvement):

2. Regurgitation jet 1. Thickening of


length ≥ 1 cm at least leaflets.
in 1 projection.
2. Thickening of
3. Regurgitation peak chordae tendinea,
velocity > 3 m/s. with their fusion.

4. Regurgitation 3. Limited mobility of


pandiastolic. leaflets.

4. Calcifications.

• Lesions in acute and chronic

17
aortic valve involvement:

1. Symmetrical or focal
thickening of leaflets.

2. Disturbed leaflet
coaptation (leaflet
closing during
systole).

3. Limited mobility of
leaflets.

4. Prolapse of leaflets.

d. Dasar Diagnosis

Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis Rheumatic Fever dan


RHD36

Kategori diagnosis Kriteria


- Dua mayor
• Rheumatic Fever serangan
pertama - Atau satu mayor dan dua minor

- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya


- Dua mayor
• Rheumatic Fever serangan
ulang tanpa RHD - Atau satu mayor dan dua minor

- Ditambah bukti infeksi SBHGA sebelumnya


- Dua minor
• Rheumatic Fever serangan
- ditambah dengan bukti infeksi SBHGA
ulang dengan RHD
sebelumnya

18
• Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
• Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
• RHD
mendiagnosis sebagai RHD

2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.

a. Terapi antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang
sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A
faring yang berulang.36

Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek bakteriologi


dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi regimen yang
ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien meminum obat), harga, dan
juga efek samping.37

19
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada
pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24
jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan
penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi
dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat
menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau
gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor
risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi
rendah).37
Tabel 4. Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever37

Agen Dosis Evidence

rating
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral 1B

satu kali sehari selama 10 hari


Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B

600,000 unit IM sekali


Pasien dengan BB > 27 kg:

1,200,000 unit IM sekali


Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg 1B
diberikan 250 mg oral 2-3x sehari
selama 10 hari
Pasien dengan BB > 27 kg: 500
mg oral 2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin

20
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi 1B
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500 2aB

mg) oral 1x sehari selama 5 hari


Clarithromycin (Biaxin) 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2aB
2 dosis (maksimal, 250 mg 2x
sehari), selama 10 hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal, 2aB
1.8 g/hari), dibagi menjadi 3 dosis,
untuk 10 hari

Profilaksis Sekunder

Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya


rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paing efektif
untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah.37

Tabel 5. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever37

Agen Dosis Evidence

rating
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb) 1A
600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali

21
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B

0.5 g oral 1x sehari


Pasien berat > 27 kg (60 lb)

kg: 1 g oral 1x sehari


Macrolide atau antibiotik azalide Bervariasi 1C
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)

Tabel 6. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever

Tipe Durasi setelah serangan Evidence

rating
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C
dan penyakit jantung residu (pilih yang terlama) ; profilaksis
(penyakit katup persisten) seumur hidup mungkin diperlukan
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 21 tahun 1C
tapi tanpa penyakit jantung residu (pilih yang terlama)
(tanpa penyakit katup persisten)
Rheumatic Fever tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C

(pilih yang terlama)

b. Terapi Anti Inflamasi

Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon cepat


terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah
aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan
kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi
pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami

22
perburukan.37
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai
diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125
mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi
terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.38
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari.
Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi
yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30
mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap
terapi.38

c. Terapi Gagal Jantung

Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien
dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa
digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan
diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau
digoxin.38
Tabel 7. Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever

Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis

Pemeliharaan
Diuretik:
0,5 – 2 mg/kg/hari,
− Furosemide
0,2 – 0,4 mg/kg/hari
− Metolazone

23
Vasodilator:
Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3
− Captopril
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung sulit
− Sodium
dikontrol. Monitor kadar sianida.
nitroprusside
Inotropik:
2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
− Dobutamine
2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
− Dopamine
− Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

d. Diet dan Aktivitas

Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid
atau diuretik.39
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek
klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut
terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap. 39 Sesuai dengan
anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai
berikut:
Tabel 8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever

Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu,


mobilisasi

bertahap selama 2 minggu


Karditis, tanpa kardiomegali Tirah baring selama 4 minggu,
mobilisasi

24
bertahap selama 4 minggu

Karditis dengan kardiomegali Tirah baring selama 6 minggu,


mobilisasi

bertahap selama 6 minggu


Karditis dengan kardiomegali dan gagal Tirah baring selama gagal
jantung, mobilisasi bertahap
Jantung
selama 3 bulan

e. Terapi Operatif

Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. 39 Pasien yang simptomatik
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi.31
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.31
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic
heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk
reparasi atau penggantian katup.31
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih
banyak dikerjakan.31
Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi
dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.31

25
2.8 Prognosis
1. Pengobatan yang adekuat dengan antiniotik dapat mencegah DRA menjadi
PJR sebesar 9 – 39 %
2. PJR dengan kelainan katup jantung yang dilakukan pembedahan memiliki
hasil jangka panjang pasca operasi yang tidak selalu bagus untuk
perbaikan katup jantung oleh karena timbulnya jaringan parut pada katup
setelah operasi dapat semakin progresif
3. Secara umum insiden PJR setelah 10 tahun adalah 34% pada pasien tanpa
serangan DRA berulang, tetapi menjadi 60 % pada pasien dengan serangan
DRA ulangan. Sehingga pencegehan sekunder DRA menjadi sangat penting.31

26
BAB III

KESIMPULAN
1. Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi dari demam rematik yang
ditandai dengan adanya cacat pada katup jantung.
2. Demam rematik akut adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya
suatu reaksi imunologi terhadap infeksi oleh bakteri Streptokokus β-
hemolitikus Group A.
3. Demam Rematik Akut adalah penyakit sistemik ditandai dengan adanya
kelainan pada jantung, sistem saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit.
Pengecualian untuk jantung, sebagian besar organ-organ ini hanya sedikit
yang mengalami kerusakan akibat Demam Rematik tersebut.
4. Pendekatan diagnosis untuk Demam Rematik sampai saat ini masih
menggunakan krieria Jones. Demam Rematik/Penyakit Jantung Rematik
ditegakkan berdasarkan adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya,
adanya 2 manifestasi mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2
manifestasi minor.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit


Hipertensi. Jakarka: Dit PPTM dan Ditjen PP dan PL.
2. WHO. 2002. The World Health Report 2001: Reducing Risks, Promoting
Healthy Life.
3. WHO. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of a WHO Expert
Consultation, Geneva, 29 Oct-1 Nov 2001: Geneva; WHO Technical report
series No.923; 2004; p1-65
4. Kliegman RM, Stanton B, Joseph SG, Schor N, Behrman RE. Rheumatic heart
disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton B, Joseph SG, Schor N, Behrman RE.
Nelson text book of pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2011. hlm. 196
5. Almazini P. Antibiotik untuk pencegahan demam reumatik akut dan penyakit
jantung reumatik. CDK. 2014; 41(7):497501.
6. WHO. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: report of a WHO Expert
Consultation, Geneva, 29 Oct-1 Nov 2001: Geneva; WHO Technical report
series No.923; 2004; p1-65.
7. Carapertis J, Brown A, Maguire G, Walsh W. Diagnosis and management of
acute rheumatic fever and rheumatic heart disease in Australia; National Heart
Foundation of Australia; 2006; 50-59.
8. Carapetis JR. Rheumatic heart disease in Asia. Circulation [internet]. 2008
[diakses tanggal 27 Februari 2017]; 118: 27482753. Tersedia dari:
http://circ.ahajournals.org/content/circul ationaha/118/25/2748.full.pdf.
9. Madyono B. Epidemiologi penyakit jantungreumatik di
Indonesia. J Kardiol Indones. 2005; 200:25-33
10. Carapetis JR, Steer AC, Mulholland EK, Weber M. The global burden of
group A streptococcal diseases. Lancet Infect Dis. 2005; 5(11):685–94.
11. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011; 3:67–84.

28
12. Afif, A. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan
Indonesia. Medan: FK USU
13. Marhamah H, Najirman & Yanwirasti. Karakteristik Pasien Penyakit Jantung
Rematik yang Dirawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015;4(3):894-900.
14. Melani TA. Karakteristik penderita penyakit jantung rematik (PJR) yang dirawat
inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2004-2008 (skripsi). Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2009.
15. Siregar AA. Demam rematik dan penyakit jantung rematik permasalahan
Indonesia. Dalam: Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap pada fakultas
kedokteran diucapkan dihadapan rapat terbuka Universitas Sumatera Utara. 2008
(diunduh 1 Juni 2013). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://repository.usu.ac.id
16. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001; p. 1657 – 65.
17. Underwood, J.CE.2000. Patologi Umum dan Sistemik. Vol. 2. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
18. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379: 953–
956.
19. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol. II; 10 th ed. Mc Graw-Hill: New York,
2001;p.1657-1665.
20. Madiyono B. Demam rematik dan penyakit jantung rematik pada anak di akhir
Milenium Kedua. In Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M et al. Penyakit
Kardiovaskuler dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Balai Penerbit Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita Jakarta 2001. P. 3-16.
21. Achutti A, Achutti VR. Epidemiologi of rheumatic fever in the developing world
Cardol Young 1992;2:206-215.
22. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,

29
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001; p. 1657 – 65.
23. Gerber MA. Chapter 182. Rheumatic Fever. In :Kleigman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th ed. UK :
Elsevier;2007.p1135-45.
24. Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier. 2008
25. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
26. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler
secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung sebagai
Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran
USU. 2005; 7 -16.
27. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 7 Agustus 2019].
28. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune Pathogenesis of
Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31 –39.
29. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
30. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
31. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
32. Szczygielska I, Hernik E, Kolodziejczyk B, Gazda A, Malinska M, Gietka P.
Rheumatic fever – New diagnostic criteria. Reumatologia. 2018;56(1):37-41.
33. Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever.
Philadelphia: Crawford. 2010;3:1215-1223
34. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular

30
Medicine. United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
35. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
36. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
37. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam
Physician. 2010 1;81(3):346-359.
38. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The
last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
39. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ. 2006;333(7579):
1153-1156

31

Anda mungkin juga menyukai