Oleh:
Preseptor:
PADANG
2019
1
DAFTAR ISI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 terjadi
55.694.000 kematian di dunia, 59% diantaranya akibat penyakit tidak menular dan
sisanya oleh penyakit menular. Di Asia Tenggara pada tahun 2001 terdapat 49,7%
kematian akibat penyakit tidak menular.1 Laporan World Health Organization
(WHO) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa Proportional Mortality Ratio (PMR)
akibat penyakit kardiovaskuler sebesar 29,3% dari seluruh kematian di dunia. Data
Proportional Mortality Ratio (PMR) akibat penyakit kardiovaskuler adalah penyakit
jantung koroner (43,08%), stroke (32,92%), penyakit jantung hipertensi (5,44%),
penyakit radang jantung (2,41%), penyakit jantung rematik (1,96%) dan penyakit
jantung lainnya (14,19%).2
Penyakit jantung rematik merupakan masalah di negara industri dan negara
berkembang hingga permulaan abad ke-21 dengan efek yang buruk mengenai anak-
anak dan dewasa muda pada usia produktif.3 Penyakit jantung rematik (PJR)
merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam rematik akut
sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang
mengenai katup tricuspid dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.4 Penyakit
jantung rematik merupakan lanjutan dari demam rematik akut. Demam rematik akut
adalah konsekuensi autoimun dari infeksi streptokokus grup A. Demam rematik akut
menyebabkan respon inflamasi umum dan penyakit yang mengenai jantung, sendi,
otak dan kulit secara selektif. Kerusakan katup jantung, khususnya katup mitral dan
aorta setelah demam rematik akut dapat menjadi persisten setelah episode akut telah
mereda. Keterlibatan katup jantung tersebut dikenal dengan penyakit jantung
rematik.5
Demam rematik (DR) dan penyakit jantung rematik (PJR) masih menjadi
penyebab penyakit kardiovaskular yang signifikan di dunia.6 Demam rematik
1
terutama terjadi pada anak usia 5-14 tahun dan dapat terjadi kekambuhan pada usia
dekade empat. Puncak kejadian penyakit jantung rematik adalah pada dekade ketiga
dan keempat.7 Demam rematik akut dan penyakit jantung rematik adalah salah satu
penyebab utama masalah kesehatan di negara berkembang. Prevalensi penyakit
jantung rematik di Indonesia masih cukup tinggi, dikalangan anak usia 5-14 tahun
adalah 0,8 kasus per 1000 anak usia sekolah.8 Di perkirakan prevalensi penyakit
jantung rematik di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah dengan usia 5-15 tahun.9
Demam rematik akut merupakan penyebab utama penyakit jantung didapat pada
anak usia 5 tahun sampai dewasa muda di negara berkembang dengan keadaan
sosioekonomi rendah dan lingkungan buruk.10,11
Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva pada tahun 2001, angka
kematian untuk PJR sebesar 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju dan 8,2 per
100.000 penduduk di negara berkembang. Pada tahun 2001 di Asia Tenggara, angka
kematian akibat PJR sebesar 7,6 per 100.000 penduduk.12 Pada tahun 2000,
dilaporkan angka kematian akibat PJR bervariasi setiap negara, mulai dari 1,8 per
100.000 penduduk di Amerika hingga 7,6 per 100.000 penduduk di Asia Tenggara.3
Penelitian yang dilakukan oleh Marhamah H (2015) didapatkan bahwa pasien
PJR yang dalam penelitiannya terdiri dari 54 sampel dengan kelompok usia yang
tertinggi terdapat pada usia 11- 20 tahun, yaitu sebanyak 27 sampel (50%) dan yang
terendah pada kelompok umur usia lanjut (≥60 tahun) sebanyak 1 sampel (1,85%).13
Pada penelitian ini, sebagian besar pasien PJR berjenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 31 orang (57,41%).13 Keluhan utama yang paling banyak dikeluhkan pasien
PJR adalah sesak napas yaitu sebesar 34 pasien (62,96%). Secara umum pasien PJR
mengalami gangguan fungsi jantung, dimana hal ini diakibatkan oleh kelainan pada
katup jantung dan akibat kompensasi jantung sehingga terjadi sesak napas.13,14
2
kualitas hidup.15 Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai penyakit
jantung rematik (PJR).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan penyakit jantung didapat yang
sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit jantung rematik merupakan kelainan
katup jantung yang menetap akibat demam rematik akut sebelumnya, terutama
mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup tricuspid dan tidak
pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan
stenosis atau insufisiensi atau keduanya.16 Penyakit jantung rematik merupakan
lanjutan dari demam rematik akut. Demam rematik akut adalah konsekuensi
autoimun dari infeksi streptokokus grup A. Demam rematik akut menyebabkan
respon inflamasi umum dan penyakit yang mengenai jantung, sendi, otak dan kulit
secara selektif. Kerusakan katup jantung, khususnya katup mitral dan aorta setelah
demam rematik akut dapat menjadi persisten setelah episode akut telah mereda.
Keterlibatan katup jantung tersebut dikenal dengan penyakit jantung rematik.5
Menurut definisi lain bahwa penyakit jantung rematik (PJR) adalah penyakit
jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari demam rematik yang ditandai
dengan terjadinya cacat katup jantung. 12 Definisi lain mengatakan bahwa penyakit
jantung rematik adalah hasil dari demam rematik yang merupakan suatu kondisi yang
dapat terjadi 2-3 minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolitycus grup A pada
saluran nafas bagian atas.17
2.2 Epidemiologi
Penyakit jantung rematik menyebabkan setidaknya 200.000-250.000 kematian
bayi premature setiap tahun dan penyebab umum kematian akibat penyakit jantung
pada anak-anak dan remaja di negara berkembang.18 Demam rematik (DR) masih
sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan sering mengenai anak
usia antara 5-15 tahun.19 Pada tahun 1994 diperkirakan diseluruh dunia terdapat 12
juta penderita DR dan PJR.20,21
4
Berdasarkan laporan WHO Expert Consultation Geneva pada tahun 2004
angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per
100.000 penduduk di negara berkembang sedangkan di daerah Asia Tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000
penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut.6
2.3 Etiologi
Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor
predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi
endokardium dan miokardium melalui suatu proses ’autoimunne’ yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis
merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral
(76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi
ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun.22
5
Gambar 1. Struktur permukaan sel Streptococcus pyogenes dan sekresi produk
yang berperan dalam virulensi.23
1. Faktor genetik.
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap
demam rematik menunjukan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik
dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.
2. Umur.
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam
reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai
anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak
biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum
anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan
sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah.
3. Golongan etnik dan ras.
6
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun
ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam
dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati,
sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua
golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang
sebenarnya.
4. Jenis kelamin.
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan
dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada
perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering
ditemukan pada satu jenis kelamin.
5. Reaksi autoimun.
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian
dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam
katup mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada
reumatik fever.
2.5 Patofisiologi
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif
misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit
non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4
hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon
inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok,
malaise, pusing dan leukositosis.25 Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-
minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi
orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi
media trasnmisi penyakit. Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A
saja yang dapat mengakibatkan atau mengaktifkan kembali demam rematik.25,26
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan
yang melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit
rheumatic fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.26 Adapun
7
kerusakan yang ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup
jantung akan menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang
penyakit ini akan menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan
parut), kalsifikasi dan dapat berkembang menjadi valvular stenosis. 26
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang
berperan dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme,
faktor host dan faktor sistem imun.26
8
menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.28
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari
streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama
dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-
asetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari
reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya
dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat
pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M.
9
atrium kiri akan berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri
ini akan menyebabkan kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila
kelainan pada mitral berat dan berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat
terjadi.30
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta
akibat dari sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri
diikuti dengan dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri. Di sisi lain, dapat terjadi
stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang terjadi pada cincin
katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari. Stenosis dari katup
mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari atrium kiri,
menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan
kelainan jantung kanan.30
2.6 Diagnosis
Etiologi terpenting dari penyakit jantung rematik adalah rheumatic fever .
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan
keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada
sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau
merupakan gabungan beberapa sistem organ yang terlibat.
a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5
minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan
pernah mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti
demam, tidak enak badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis,
kelelahan, malaise, diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri
dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.31
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah
kulit, peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti
gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi
motorik, dan riwayat rheumatic fever sebelumnya.31
10
b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali dan
terakhir kali dimodifikasi pada tahun 2015. Kriteria ini membagi gambaran klinis
menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.
Gambar 2. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic
Fever32
KriteriaMayor
Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi
setelah poli artritis. Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis.
Pada stadium lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak
nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada
pemeriksaan fisik, karditis paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia
yang tidak sesuai dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang dapat ditemukan
dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada tabel 1.33
11
Tabel 1. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul33
Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
• Regurgitasi Mitral
- Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung
- Murmur mid-diastolik (carrey coombs
murmur) di apeks
- Aktivitas ventrikel kiri meningkat
Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang
parah atau miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi
vena jugularis, ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.33
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,
suara jantung melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium
dan tamponade perikardium yang mengancam.33
Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada
sekitar 70% pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi
12
Streptococcus yakni saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat
yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif merupakan tanda khas. Sendi
yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut, pergelangan
kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan berpindah-
pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan beberapa
jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar
pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua
atau tiga minggu.33
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kali
lebih sering pada perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa
bulan setelah infeksi Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini
mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan saraf pusat, ganglia basal,
dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga
minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala awal biasanya
emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak
disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian otot dapat
terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala ini
semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat.33
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi
kurang dari 10% kasus.33 Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang
kemudian ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-
kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan
ekstremitas.31
13
Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus
terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan
persendian kaki. Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas
kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri,
tidak gatal, mobile, dengan diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi
beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan menghilang dalam waktu
sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis rematik yang berat. 34
Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-
3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai
tanda-tanda objektif (misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi-sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada
pemeriksaan darah umumnya tidak spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya
meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
perkembangan penyakit.33
c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
14
penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED,
namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat
pada anemia. CRP merupakan indikator dalam menetukan adanya
jaringan radang dan tingkat aktivitas penyakit. CRP yang abnormal
digunakan dalam diagnosis rheumatic fever aktif.35
- Rapid Test Antigen Streptococcus
15
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali
dan kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada
karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya
pemanjangan interval PR yang bersifat tidak spesifik. Nilai normal batas
atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18
detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.31
c. Pemeriksaan Ekokardiografi
16
regurgitation – 4 criteria (all involvement:
must be met):
1. Dilatation of mitral
1. Visible at least in 2 annulus.
projections.
2. Elongation of chordae
2. Regurgitation jet tendineae.
length ≥ 2 cm at least
3. Rupture of chorda
in 1 projection.
tendinea with acute
3. Regurgitation peak mitral regurgitation.
velocity > 3 m/s.
4. Prolapse of anterior
4. Regurgitation (less often posterior)
pansystolic. leaflet.
4. Calcifications.
17
aortic valve involvement:
1. Symmetrical or focal
thickening of leaflets.
2. Disturbed leaflet
coaptation (leaflet
closing during
systole).
3. Limited mobility of
leaflets.
4. Prolapse of leaflets.
d. Dasar Diagnosis
18
• Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
• Karditis reumatik bukti infeksi SBHGA
insidious
- Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
• RHD
mendiagnosis sebagai RHD
2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah
rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta
gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi
medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada
juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah.
a. Terapi antibiotik
Profilaksis Primer
Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus
beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A pada faring seharusnya diikuti dengan profilaksis sekunder jangka panjang
sebagai perlindungan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A
faring yang berulang.36
19
Penisilin G Benzathine IM, penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral
adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada
pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24
jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan
penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung. Namun terapi
dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang tidak dapat
menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat rheumatic fever atau
gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal di lingkungan dengan faktor
risiko terkena rheumatic fever (lingkungan padat penduduk, status sosio-ekonomi
rendah).37
Tabel 4. Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever37
rating
Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral 1B
20
Narrow-spectrum cephalosporin Bervariasi 1B
(cephalexin [Keflex], cefadroxil
[formerly Duricef])
Azithromycin (Zithromax) 12 mg/kgBB/hari (maksimal, 500 2aB
Profilaksis Sekunder
rating
Penicillin G benzathine Pasien berat < 27 kg (60 lb) 1A
600,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
Pasien berat > 27 kg:
1,200,000 unit IM setiap 4
minggu sekali
21
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B
Sulfadiazine Pasien berat < 27 kg (60 lb): 1B
rating
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C
dan penyakit jantung residu (pilih yang terlama) ; profilaksis
(penyakit katup persisten) seumur hidup mungkin diperlukan
Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 21 tahun 1C
tapi tanpa penyakit jantung residu (pilih yang terlama)
(tanpa penyakit katup persisten)
Rheumatic Fever tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 40 tahun 1C
22
perburukan.37
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai
diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125
mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat
diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi
terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari.38
Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan
dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari.
Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi
yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30
mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap
terapi.38
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap tirah
baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien
dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa
digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan
diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau
digoxin.38
Tabel 7. Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever
Obat Dosis
Digoxin 30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5 mcg/kg/hari dosis
Pemeliharaan
Diuretik:
0,5 – 2 mg/kg/hari,
− Furosemide
0,2 – 0,4 mg/kg/hari
− Metolazone
23
Vasodilator:
Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan, dinaikkan 1,5 – 3
− Captopril
mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis.
0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan bila gagal jantung sulit
− Sodium
dikontrol. Monitor kadar sianida.
nitroprusside
Inotropik:
2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
− Dobutamine
2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
− Dopamine
− Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus
Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi
kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus
dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid
atau diuretik.39
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat itu. Pada praktek
klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai tanda-tanda fase akut
terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara bertahap. 39 Sesuai dengan
anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang dianjurkan adalah sebagai
berikut:
Tabel 8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever
24
bertahap selama 4 minggu
e. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus mengalami
perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisa
menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. 39 Pasien yang simptomatik
dengan disfungsi ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga
memerlukan tindakan intervensi.31
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat
dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak
memungkinkan, perlu dilakukan operasi.31
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut
(mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic
heart disease yang tak teratasi dengan obat, perlu segera dioperasi untuk
reparasi atau penggantian katup.31
c. Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka.
Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih
banyak dikerjakan.31
Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi
dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.31
25
2.8 Prognosis
1. Pengobatan yang adekuat dengan antiniotik dapat mencegah DRA menjadi
PJR sebesar 9 – 39 %
2. PJR dengan kelainan katup jantung yang dilakukan pembedahan memiliki
hasil jangka panjang pasca operasi yang tidak selalu bagus untuk
perbaikan katup jantung oleh karena timbulnya jaringan parut pada katup
setelah operasi dapat semakin progresif
3. Secara umum insiden PJR setelah 10 tahun adalah 34% pada pasien tanpa
serangan DRA berulang, tetapi menjadi 60 % pada pasien dengan serangan
DRA ulangan. Sehingga pencegehan sekunder DRA menjadi sangat penting.31
26
BAB III
KESIMPULAN
1. Penyakit jantung rematik merupakan komplikasi dari demam rematik yang
ditandai dengan adanya cacat pada katup jantung.
2. Demam rematik akut adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya
suatu reaksi imunologi terhadap infeksi oleh bakteri Streptokokus β-
hemolitikus Group A.
3. Demam Rematik Akut adalah penyakit sistemik ditandai dengan adanya
kelainan pada jantung, sistem saraf pusat, jaringan subkutan dan kulit.
Pengecualian untuk jantung, sebagian besar organ-organ ini hanya sedikit
yang mengalami kerusakan akibat Demam Rematik tersebut.
4. Pendekatan diagnosis untuk Demam Rematik sampai saat ini masih
menggunakan krieria Jones. Demam Rematik/Penyakit Jantung Rematik
ditegakkan berdasarkan adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya,
adanya 2 manifestasi mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2
manifestasi minor.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
12. Afif, A. 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan
Indonesia. Medan: FK USU
13. Marhamah H, Najirman & Yanwirasti. Karakteristik Pasien Penyakit Jantung
Rematik yang Dirawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015;4(3):894-900.
14. Melani TA. Karakteristik penderita penyakit jantung rematik (PJR) yang dirawat
inap di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2004-2008 (skripsi). Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2009.
15. Siregar AA. Demam rematik dan penyakit jantung rematik permasalahan
Indonesia. Dalam: Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap pada fakultas
kedokteran diucapkan dihadapan rapat terbuka Universitas Sumatera Utara. 2008
(diunduh 1 Juni 2013). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://repository.usu.ac.id
16. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001; p. 1657 – 65.
17. Underwood, J.CE.2000. Patologi Umum dan Sistemik. Vol. 2. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
18. Marijon E, Mirabel M, ,et al. Rheumatic fever. Paris: Lancet 2012; 379: 953–
956.
19. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol. II; 10 th ed. Mc Graw-Hill: New York,
2001;p.1657-1665.
20. Madiyono B. Demam rematik dan penyakit jantung rematik pada anak di akhir
Milenium Kedua. In Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M et al. Penyakit
Kardiovaskuler dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Balai Penerbit Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita Jakarta 2001. P. 3-16.
21. Achutti A, Achutti VR. Epidemiologi of rheumatic fever in the developing world
Cardol Young 1992;2:206-215.
22. Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW,
29
O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill : New York,
2001; p. 1657 – 65.
23. Gerber MA. Chapter 182. Rheumatic Fever. In :Kleigman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.18th ed. UK :
Elsevier;2007.p1135-45.
24. Park M. Pediatric Cardiology for Practicioners. 5th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier. 2008
25. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
26. Majid Abdul. Anatomi Jantung dan pembuluh darah, Sistem Kardiovaskuler
secara Umum, Denyut Jantung dan Aktifitas Listrik Jantung, dan Jantung sebagai
Pompa. Fisiologi Kardiovaskular. Medan: Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran
USU. 2005; 7 -16.
27. WHO. Rhematic fever and Rheumatic Heart Disease. Report of a WHO expert
Consultation. 2004. [Online]. Melalui:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/en/cvd_trs923.pdf
[diunduh 7 Agustus 2019].
28. Luiza Guilherm, dkk. Molecular Mimicry in The Autoimmune Pathogenesis of
Rheumatic Heart Disease. Autoimmunity 2006; 39(1): 31 –39.
29. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
30. Kliegman, Robert M, dkk. Rheumatic Heart Disease. Nelson Textbook of
Pediatrics, Edisi 18. Elsevier. 2007: 438.
31. Rilantono, LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013;331-335.
32. Szczygielska I, Hernik E, Kolodziejczyk B, Gazda A, Malinska M, Gietka P.
Rheumatic fever – New diagnostic criteria. Reumatologia. 2018;56(1):37-41.
33. Essop, M.R & Omar, T. Valvular Heart Disease: Rheumatic Fever.
Philadelphia: Crawford. 2010;3:1215-1223
34. Carapetis, J., dkk. Acute Rheumatic Fever. Harrison’s Cardiovascular
30
Medicine. United States: The McGraw-Hill. 2010;17: 290-296.
35. Kumar, Vinay dkk. Valvular Heart. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelpia: Elsevier Inc. 2010.
36. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis, Ed. 2.
Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011:41-42.
37. Armstrong, C. AHA Guidelines on Prevention of Rheumatic Fever and
Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis. Am Fam
Physician. 2010 1;81(3):346-359.
38. Kumar, R.K., Tandon R. Rheumatic Fever & Rheumatic Heart Disease: The
last 50 years. Indian J Med Res. 2013:137; 643-658.
39. Ciliers, A.M. Rheumatic Fever and Its Management. BMJ. 2006;333(7579):
1153-1156
31