Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI RUMAH SAKIT

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ANDI MAKKASAU


KOTA PAREPARE
PERIODE 15 APRIL– 10 MEI 2021

ASUHAN KEFARMASIAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS


GAGAL JANTUNG DAN JANTUNG KORONER DI RUANG
PERAWATAN CARDIAC

O L E H:
MAUDY AFRILIN
N014201098

Disusun untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk


Menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

i
ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat-Nya penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau,
Kota Parepare, guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Subehan, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Usmar, S.Si., M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Ibu Prof. Dr. Elly Wahyuddin, DEA., Apt. selaku Koordinator PKPA Farmasi
Rumah Sakit Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.
4. Bapak Muh. Akbar Bahar, S.Si., M.Pharm,Sc, Apt selaku Pembimbing PKPA
Farmasi Rumah Sakit yang telah membimbing dan memberi banyak ilmu dan
pengetahuan selama kegiatan PKPA.
5. Ibu Dra. Hj. Nurdjihadi Arsyad, Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit UmumAndi Makkasau, Kota Parepare, yang telah membimbing selama
melakukan kegiatan PKPA.
6. Ibu Dianayu Lestari, S.Si., M.Si., Apt.selaku Pembimbing Teknis PKPA
Farmasi Rumah Sakit di RSUD Andi Makkasau, Kota Parepare, yang telah
membimbing dan memberi banyak ilmu dan pengetahuan selama melakukan
kegiatan PKPA
7. dr. Wisudawan, Sp.JP, M.Kes. FIHA. selaku Pembimbing Kasus PKPA
Farmasi Rumah Sakit di RSUD Andi Makkasau, Kota Parepare, yang telah
membimbing dalam diskusidan memberi banyak ilmu dan pengetahuan selama
melakukan kegiatan PKPA.

iii
8. Seluruh pegawai RSUD Andi Makkasau Kota Parepare yang telah banyak
membantu dan memberi banyak pengalaman selama pelaksanaan PKPA.
9. Orang tua dan saudara penulis yang telah membantu dalam materil dan non
materil.
10. Teman-teman kampus dan teman-teman SMA juga kepada teman seperjuangan
PKPA. Terkhusus kepada Rezaldy Mahaputra, S.Si., Dian Lintang, S.Si.,
Aisyah Nur Sapriati., S.Farm., Cendy Elvando, S.Farm yang banyak memberi
masukan dalam menyelesaikan laporan ini
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan,
namun penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat.

Makassar, 10 Mei 2021

Maudy Afrilin

iv
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan…………………………………………………………….....ii
Kata Pengantar……………………………………………………………………iii
Daftar Isi…………………………………………………………………………...v
Daftar Tabel………………………………………………………………………vi
Bab I Pendahuluan………………………………………………………………...1
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Gagal Jantung…………………………………………………………….3
II.2 Penyakit Jantung Koroner………………………………………………..8
II.3 Pengobatan Gagal Jantung dan Jantung Koroner……………………….12
Bab III Studi Kasus
III.1 Profil Pasien……………………………………………………………14
III.2 Profil Penyakit………………………………………………………….15
III.3 Data Klinik Pasien……………………………………………………..16
III.4 Data Laboratorium……………………………………………………..17
III.5 Profil Pengobatan………………………………………………………18
III.6 Analisis Rasionalitas…………………………………………………...19
III.7 Data Assesment dan Plan………………………………………………20
III.8 Data Konseling Pasien…………………………………………………22
III.9 Uraian Obat…………………………………………………………….23
Bab IV Pembahasan……………………………………………………………...59
Bab V Penutup…………………………………………………………………...63
Daftar Pustaka……………………………………………………………………64

v
BAB I
PENDAHULUAN

Coronary Artery Disease (CAD) merupakan kondisi dimana terjadi


penumpukan plak pada arteri koroner yang menyebabkan arteri koroner
menyempit. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh terkumpulnya kolestrol sehingga
membentuk plak pada dinding arteri dalam jangka waktu yang cukup lama yang
disebut aterosklerosis. CAD dapat menyebabkan otot jantung melemah, dan
menimbulkan komplikasi seperti gagal jantung dan gangguan irama jantung
(Pratiwi & Saragi, 2018). Gagal jantung adalah keadaan di mana jantung tidak dapat
memompa darah sesuai dengan kebutuhan dan permintaan jaringan tubuh
(Goodman & Gilman's, 2018).
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Prevalensi dari gagal jantung sendiri semakin meningkat karena pasien yang
mengalami kerusakan jantung yang bersifat akut dapat berlanjut menjadi gagal
jantung kronik. World Health Organization (WHO) menggambarkan bahwa
meningkatnya jumlah penyakit gagal jantung di dunia, termasuk Asia diakibatkan
oleh meningkatnya angka perokok, tingkat obesitas, dislipidemia, dan diabetes.
Angka kejadian gagal jantung meningkat juga seiring dengan bertambahnya usia
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020). Berdasarkan data
Riskesdas Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2018, prevalensi penyakit
gagal jantung di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter diperkirakan sebesar 1,5%
atau diperkirakan sekitar 29.550 orang dengan jumlah penderita terbanyak terdapat
di provinsi Kalimantan Utara sebesar 29.340 orang atau sekitar 2,2% sedangkan
yang paling sedikit penderitanya adalah pada provinsi Maluku Utara yaitu sebanyak
144 orang atau sekitar 0,3% (Kemenkes RI, 2019). Sedangkan penyakit arteri
koroner (CAD) merupakan penyebab utama kematian dan disabilitas di negara
maju. Meskipun jumlah kematian akibat CAD di seluruh dunia telah menurun

1
2

selama 4 tahun terakhir, CAD tetap bertanggung jawab atas sekitar sepertiga atau
lebih dari semuanya kematian pada individu di atas usia 35 dan telah diperkirakan
bahwa hampir setengah dari semua pria lanjut usia dan sepertiga wanita lanjut usia
di Amerika Serikat akan mengalami CAD (de Lemos & Omland, 2018).
Dari uraian diatas maka dilakukan studi kasus mengenai asuhan
kefarmasian terkait pengobatan pasien jantung koroner dan gagal jantung. Studi
kasus tersebut dilakukan dengan menganalisis rasionalitas pengobatan yang
diberikan pada pasien tersebut di ruang perawatan Cardiac RSUD Andi Makkasau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Gagal Jantung
II.1.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung (HF) adalah sindrom klinis progresif yang terjadi karena
kelainan pada struktur atau fungsi jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel
jantung untuk mengisi atau mengeluarkan darah. HF mungkin disebabkan oleh
kelainan pada fungsi sistolik, fungsi diastolik, atau keduanya. HF adalah jalur
umum terakhir untuk berbagai gangguan jantung termasuk gangguan yang
mempengaruhi perikardium, katup jantung, dan miokardium. Penyakit yang
merugikan mempengaruhi ventrikel diastol (pengisian), ventrikel sistol
(kontraksi), atau keduanya dapat menyebabkan gagal jantung (Dipiro, Joseph T et
al., 2020) . Gagal jantung dibagi lagi menjadi HF dengan pengurangan fraksi ejeksi
ventrikel kiri (HFrEF) dan HF dengan tekanan fraksi ejeksi ventrikel kiri (HFpEF),
yang disebut sebagai HF diastolik (Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho,
2018).
II.1.2 Etiologi
Gagal jantung (HF) dapat terjadi akibat gangguan apa pun yang
memengaruhi kemampuan jantung berkontraksi (fungsi sistolik) dan / atau rileks
(disfungsi diastolik). HF dengan fungsi sistolik yang berkurang (yaitu, LVEF
berkurang) adalah bentuk kelainan klasik yang lebih dikenal dan sekarang disebut
sebagai gagal jantung dengan pengurangan fraksi ejeksi (HFrEF). Sekitar 50%
pasien dengan HF telah mempertahankan fungsi ventrikel kiri sistoolik dengan
dugaan disfungsi diastolik, sekarang disebut gagal jantung dengan fraksi ejeksi
yang dipertahankan (HFpEF). Pasien dengan HFpEF biasanya adalah lansia,
wanita, dan obesitas, dan menderita hipertensi, fibrilasi atrium, atau diabetes.
Kematian lebih rendah pada pasien dengan HFpEF dibandingkan dengan pasien
HFrEF, meskipun pasien HfpEF lebih tua. Pasien dengan HFpEF lebih mungkin
mengalami hipertensi tetapi cenderung lebih sedikit mengalami penyakit koroner
(masing-masing 41% vs 55%) (Dipiro, Joseph T et al., 2020).

3
4

Gagal jantung bukanlah satu kesatuan penyakit tetapi merupakan sindrom


klinis yang merupakan jalur terakhir dari berbagai penyakit jantung. Penyebab
gagal jantung sistolik yang paling umum saat ini adalah penyakit jantung iskemik
yang menyebabkan gagal jantung akut (infark miokard) atau kehilangan viabilitas
kronis massa otot jantung. Alasan lain termasuk hipertensi arteri kronis dan
penyakit katup, cacat otot jantung primer yang ditentukan secara genetik (cardio
myopathies), infeksi virus (cytomegalovirus dan mungkin parvovirus), dan racun.
Yang terakhir mencakup alkohol berlebihan, kokain, amfetamin, dan obat kanker
seperti doksorubisin atau trastuzumab, monoklonal antibodi diarahkan melawan
reseptor faktor pertumbuhan Her-2 / Erb-B2 (Goodman & Gilman's, 2018).
II.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung dapat dijabarkan melalui dua kategori yakni kelainan
struktural jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas
fungsional dari New York Heart Association (NYHA) (Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020).
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Gagal Jantung (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2020).

Berdasarkan Kelainan Struktural Berdasarkan Kapasita Fungsional


Jantung (NYHA)
Stadium A Kelas 1
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak ada batasan aktivitas fisik.
berkembang menjadi gagal jantung. Aktivitas fisik sehari-sehari tidak
Tidak terdapat gangguan structural atau menimbulkan kelelahan, berdebar
fungsional jantung, dan juga tidak atau sesak nafas.
tampak tanda atau gejala
Stadium B Kelas 2
Telah terbentuk kelainan pada struktur Terdapat batasan aktivitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
perkembangan gagal jantung tapi tidak namun aktivitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala menimbulkan kelelahan, berdebar
atau sesak nafas.
5

Stadium C Kelas 3
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktivitas yang
berhubungan dengan penyakit structural bermakna. Tidak terdapat keluhan
jantung yang mendasari saat istirahat, namun aktivitas fisik
ringan menyebabkan kelelahan,
berdebar atau sesak nafas.
Stadium D Kelas 4
Penyakit jantung structural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
bermakna muncul saat istirahat istirahat. Keluhan meningkat saat
walaupun sudah mendapatkan terapi melakukan aktivitas.
farmakologi maksimal (refrakter)
II.1.4 Patofisiologi
Ketika jantung mulai gagal, tubuh mengaktifkan beberapa mekanisme
kompensasi kompleks dalam upaya untuk mempertahankan CO dan oksigenasi.
Yang termasuk gagal jantung, yaitu peningkatan tonus simpatis, aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), natrium dan retensi air, dan adaptasi
neurohormonal lainnya yang menyebabkan “remodeling” jantung (dilatasi
ventrikel, hipertrofi jantung, dan perubahan bentuk LV) (Caroline S. Zeind &
Michael G. Carvalho, 2018). Gagal jantung dengan pengurangan fraksi ejeksi
(HFrEF). HFrEF adalah gangguan progresif yang dimulai oleh peristiwa apa pun
yang mengganggu kemampuan jantung berkontraksi dan terkadang mengendur
sehingga terjadi peristiwa penurunan indeks CO yang mungkin memiliki onset akut,
seperti MI, atau onset mungkin lambat, seperti dengan HTN lama. Terlepas dari
peristiwa indeks, penurunan hasil CO dalam aktivasi respon kompensasi untuk
mempertahankan sirkulasi. Tanggapan kompensasi HFrEF tanggapan kompensasi
meliputi (Dipiro, Joseph T et al., 2020) :
a) Takikardia dan peningkatan kontraktilitas melalui aktivasi sistem saraf simpatis
(SNS),
b) Mekanisme Frank-Starling, di mana peningkatan preload menghasilkan
peningkatan SV,
6

c) Vasokonstriksi, dan
d) Hipertrofi ventrikel dan renovasi.
Sedangkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang dipertahankan HfpEF
adalah gangguan yang dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana relaksasi
miokard dan pengisian rusak dan tidak lengkap. Ventrikel tidak dapat menerima
volume darah yang cukup dari sistem vena, tidak terisi pada tekanan rendah, dan /
atau tidak dapat mempertahankan SV normal. Dalam bentuk yang paling parah,
hasil HfpEF pada gejala HF terlihat jelas. Pada HFpEF sederhana, gejala dispnea
dan kelelahan hanya terjadi selama stres atau aktivitas, ketika denyut jantung dan
volume diastolik akhir meningkat (Dipiro, Joseph T et al., 2020).
Konsekuensi dari mekanisme adaptif ini dapat menimbulkan lebih banyak
kerugian daripada keuntungan. Keseimbangan relatif dari masing-masing proses
adaptif ini bervariasi tergantung pada jenis gagal jantung (disfungsi sistolik versus
diastolik) dan dari pasien untuk pasien dengan gangguan yang sama. Pemahaman
tentang manfaat potensial dan konsekuensi merugikan dari mekanisme kompensasi
ini penting untuk memahami tanda, gejala, dan pengobatan gagal jantung (Caroline
S. Zeind & Michael G. Carvalho, 2018).
II.1.5 Tanda dan Gejala
Gagal Jantung merupakan kumpulan gejala klinis pasien dengan tampilan,
yaitu (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020) :
1) Gejala khas gagal jantung: Sesak nafas saat istirahat atau aktivitas, kelelahan,
edema tungkai.
2) Tanda khas gagal jantung: takikardia, takipnu, ronki paru, efusi pleura,
peningkatan tekanan vena jugularis, edema perifer, hepatomegali.
3) Tanda objektif gangguan struktur atau fungsional jantung saat istirahat,
kardiomegali, suara jantung tiga, murmur jantung, abnormalitas dalam
gambaran ekokardiografi, kenaikan konsentrasi peptide natriuretik.
Dispnea yang memburuk adalah gejala utama dari gagal jantung dan biasanya
terkait dengan peningkatan pengisian tekana jantung, tetapi juga mungkin
menunjukkan curah jantung yang terbatas. Dispnea saat istirahat sering disebutkan
oleh pasien dirawat di rumah sakit dengan gagal jantung dan memiliki sensitivitas
7

diagnostik yang tinggi dan konsekuensi prognostik yang signifikan pada gagal
jantung. Pasien mungkin tidur dengan kepala diangkat untuk meredakan dispnea
saat berbaring (ortopnea); Selain itu, dispnea sementara berbaring di sisi kiri
(trepopnea) dapat terjadi. Dispnea nokturnal paroksismal, sesak napas berkembang
sambil berbaring, adalah salah satu indikator HF yang paling dapat diandalkan
(Goodman & Gilman's, 2018).
II.1.6 Faktor Resiko
Faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah yang dapat dimodifikasi
meliputi kebiasaan merokok, kolesterol, tekanan darah tinggi, kelebihan berat
badan, dan diabetes. Sedangkan faktor risko penyakit jantung dan pembuluh darah
yang tidak dapat dimodifikasi meliputi riwayat penyakit jantung di keluarga,
diabetes, umur, jenis kelamin, dan etnis. Secara umum, faktor risiko yang
berkontribusi terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah meliputi
status sosioekonomi, kesehatan mental, diet, berat badan lebih dan obesitas, kurang
aktivitas, konsumsi tembakau, alkohol, diabetes, globalisasi dan urbanisasi (Umara
et al., 2020).
II.1.7 Manifestasi Klinis Gagal Jantung
Tabel 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2020).

Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
 Sesak nafas  Peningkatan JVP
 Ortopneu  Refluks hepatojugular
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe  Suara jantung S3 (gallop)
 Toleransi aktivitas yang berkurang  Apex jantung bergeser ke lateral
 Cepat Lelah  Murmur jantung
 Bengkak pada pergelangan kaki

Kurang Tipikal Kurang Spesifik
 Batuk di malam hari/dini hari  Edema perifer
8

 Mengi  Krepitasi pulmonal


 Berat badan bertambah >2  Suara pekak di basal paru pada saat
kg/minggu perkusi
 Berat badan turun (gagal jantung  Takikardia
stadium lanjut)  Nadi irregular
 Kembung/begah  Nafas Cepat
 Nafsu makan menurun  Hepatomegali
 Perasaan bingung (Terutama pasien  Asites
usia lanjut)  Kaheksia
 Depresi
 Berdebar
 Pingsan
II.2 CAD (Coronary Artery Disease)
II.2.1 Defenisi CAD (Coronary Artery Disease)
CAD adalah penyakit yang berkembang sebagai respons inflamasi dinding
arteri terhadap cedera multifaktorial kronis. Penyebab utama CAD adalah
aterosklerosis koroner (arterio sclerosis) yang berkembang sebagai peradangan
respons dinding pembuluh darah terhadap cedera multifaktorial kronis dan
mengarah pada pembentukan plak aterosklerotik (Plak fibrous, Ateroma) di arteri
koroner. Aterosklerosis koroner adalah substrat anatomi utama untuk berbagai
sindrom klinis penyakit jantung koroner (Willerson, James T. & David R. Holmes,
2015).
II.2.2 Etiologi
Disfungsi endotel, peradangan dan pembentukan garis lemak berkontribusi
pada pembentukan plak aterosklerotik arteri koroner yang menjadi penyebab dasar
terjadinya CAD. Lebih dari 90% pasien CAD yang mengalami ruptur akut, fisura,
atau erosi dari plak aterosklerotik yang tidak stabil diikuti oleh pembentukan
trombus berikutnya yang merusak aliran darah distal yang mengakibatkan iskemia
miokard akut. Jika iskemia miokard berlanjut cukup lama, MI bisa terjadi.
Presentasi MI ini diklasifikasikan sebagai tipe 1 MI. Biasanya CAD menyebabkan
terjadinya ketidaksesuaian akut antara penyaluran dan permintaan oksigen
9

(misalnya, vasospasme koroner, emboli koroner, koroner diseksi arteri, kondisi


bersamaan yang secara akut meningkatkan kebutuhan oksigen). Ketika yang
terakhir menyebabkan cedera miokard, itu diklasifikasikan sebagai tipe 2 MI.
Klasifikasi MI yang lain termasuk pasien yang menderita henti jantung dengan
gejala sugestif iskemia miokard yang deteksi biomarkernya tidak memungkinkan
(tipe 3), MI terkait dengan cedera miokard terkait PCI (tipe 4), dan MI terkait
dengan operasi CABG (tipe 5) (Dipiro, Joseph T et al., 2020).
II.2.3 Klasifikasi
Menurut AHA (2018), penyakit jantung koroner diklasifikasikan menjadi 3,
yaitu (Stout et al., 2019) :
1) Silent Ischaemia (Asimtotik) Banyak dari penderita silent ischaemia yang
mengalami PJK tetapi tidak merasakan ada sesuatu yang tidak enak atau tanda-
tanda suatu penyakit.
2) Angina Pectoris Angina pectoris terdiri dari dua tipe, yaitu Angina Pectoris
Stabil yang ditandai dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu rasa tertekan
atau berat di dada yang menjalar ke lengan kiri dan Angina Pectoris tidak Stabil
yaitu serangan rasa sakit dapat timbul, 8 baik pada saat istirahat, waktu tidur,
maupun aktivitas ringan. Lama sakit dada jauh lebih lama dari sakit biasa.
Frekuensi serangan juga lebih sering.
3) Infark Miocard Akut (Serangan Jantung) Infark miocard akut yaitu jaringan otot
jantung yang mati karena kekurangan oksigen dalam darah dalam beberapa
waktu. Keluhan yang dirasakan nyeri dada, seperti tertekan, tampak pucat
berkeringat dan dingin, mual, muntah, sesak, pusing, serta pingsan
II.2.4 Patofisiologi
CAD adalah gangguan kardiovaskular yang terjadi karena atherosclerosis
atau oklusi aterosklerotik pada arteri koroner. Ketika fungsi endotel dinding arteri
terganggu, aterosklerosis terbentuk karena akumulasi tetesan lipoprotein di intima
pembuluh koroner. Dalam aliran darah, lipid yang tidak larut dalam air bersirkulasi
dengan menempelkan diri pada lipoprotein yang larut dalam air yang disebut
apolipoprotein. Low-density lipoprotein (LDL) dalam konsentrasi tinggi memiliki
kemampuan untuk menembus endotel yang terganggu dan mengalami oksidasi.
10

LDL yang teroksidasi atau termodifikasi kemudian menarik leukosit ke dalam


intima pembuluh koroner, yang dapat diambil oleh makrofag, mengarah ke
pembentukan sel berbusa. Sel bertekstur berbusa ini mereplikasi dan membentuk
lesi, yang disebut sebagai guratan lemak. Guratan lemak adalah bentuk lesi paling
awal yang divisualisasikan pada aterosklerosis. Pembentukan lesi tersebut memicu
sinyal yang menarik halus sel otot (SMC) ke lokasi garis lemak. SMC kemudian
memulai proliferasi dan produksi matriks ekstraseluler, terutama kolagen dan
proteoglikan. Plak aterosklerotik mulai mengembangkan dan mengakumulasi yang
mengarah ke perkembangan lesi menjadi plak berserat. Lesi terakhir terbentuk
adalah lesi lanjut dan rumit yang terdiri dari tutup fibrosa dengan inti kaya lipid di
atas nya yang mengandung bahan nekrotik yang mungkin sangat trombogenik.
Akibat pembentukan plak aterosklerotik diarteri koroner, terjadi obstruksi aliran
darah yang mengarah ketidaksesuaian antara kebutuhan dan suplai oksigen
miokard. Obstruksi ini memanifestasikan gejala CAD seperti ketidaknyamanan
substernal, rasa berat, perasaan seperti tekanan, yang mungkin menjalar ke rahang,
bahu, punggung, atau lengan. Gejala ini biasanya berlangsung selama beberapa
menit dan biasanya disebabkan oleh makanan berat, stres emosional, pengerahan
tenaga, atau dingin. Dalam beberapa menit, gejala ini bisa diredakan dengan
istirahat atau nitrogliserin (Malakar et al., 2019).

Gambar 2. Inisiasi dan Perkembangan Aterosklerosis Melibatkan Seperangkat


Sitokin Inflamasi Kompleks yang berasal dari Komponen Seluler seperti
11

Makrofag, Sel Otot Polos, Trombosit, Sel Endotel, Sel Dendritik, Limfosit T, dan
Sel Mast (Willerson, James T. & David R. Holmes, 2015)
II.2.5 Tanda dan Gejala
Presentasi "klasik" dari ACS secara tiba-tiba muncul nyeri dada substernal
yang sering digambarkan sebagai sensasi tertekan, berat, atau sesak di dada
terkadang menyebar, biasanya ke salah satu atau kedua lengan atau bahu (lebih
sering terjadi radiasi ke sisi kiri), leher, atau rahang. Penderita ACS juga dapat
mengalami diaforesis, mual, muntah dan dispnea. Sepertiga dari pasien dengan
ACS yang datang dengan gejala khas yang tidak termasuk nyeri dada. Gejala tipikal
yang meliputi nyeri epigastrik, gangguan pencernaan, menusuk, atau nyeri dada
pleuritik, dan meningkat exertional dyspnea dan yang paling umum terjadinya
angina. Orang dewasa yang lebih tua (75 tahun atau lebih), wanita, dan pasien
dengan diabetes mellitus (DM), gangguan fungsi ginjal, dan demensia
kemungkinan besar mengalami gejalan tipikal tersebut (Dipiro, Joseph T et al.,
2020).
II.2.6 Faktor Resiko
Faktor risiko CAD dibagi menjadi 2 faktor yang beberapa, yaitu (de Lemos &
Omland, 2018) :
a. Faktor Umum yang biasanya tersedia sebagai bagian dari evaluasi klinis
sederhana atau skrining pemeriksaan pasien CAD. Faktor ini termasuk usia, jenis
kelamin, ras/etnis, merokok, detak jantung, tekanan darah (TD), dan total
kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL-C), kolesterol lipoprotein densitas
tinggi (HDL-C), diabetes melitus, adipositas, merokok, dan pegaruh sosial. EKG
sering dimasukkan dalam daftar faktor tradisional ini karena EKG informasinya
harus tersedia. Perpanjangan dari ini faktor umum adalah kondisi medis dan
eksposur seperti pencemaran lingkungan dan kebisingan yang mungkin
membuat individu berisiko lebih besar terkena aterosklerosis.
b. Faktor Kedua adalah biomarker yang biasanya diukur dalam darah atau
berpotensi dalam spesimen lain seperti air seni. Contoh dari faktor-faktor ini
adalah penanda peradangan seperti protein C-reaktif, asam urat, aldosteron,
faktor pembekuan darah, dan homosistein.
12

c. Faktor Ketiga meliputi informasi yang berkaitan dengan penyakit aterosklerotik


subklinis, fungsi kardiovaskular, temuan pencitraan jantung, kalsifikasi
vaskular, ketebalan intima media arteri utama, dan kekakuan vaskular.
II.2.1 Terapi Farmakologi Dan Non-Farmakologi
A. Gagal Jantung

Gambar 3. Tahap perkembangan gagal jantung dan terapi yang direkomendasikan


berdasarkan tahapnya. ACEI, ARB; B-blocker; ARNI, Penghambat reseptor
angiotensin II, CAD, CrCl, DM, EF( fraksi ejeksi), hiperlipidemia, hipertensi,
defibrilator implant kardioverter, LVH (Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho,
2018).
1) Terapi Farmakologi
1. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)
Penghambat ACE adalah komponen kunci dari farmakoterapi pasien dengan
HFrEF. Dengan memblokir konversi angiotensin I menjadi angiotensin II oleh
ACE (Angiotensin Converting Enzyme), produksi angiotensin II dan aldosteron
menurun. Penurunan angiotensin II dan aldosteron ini melemahkan banyak efek,
13

merusak neurohormon yang mendorong HF berinisiasi dan berkembang..


Penghambat ACE juga menghambat kerusakan bradikinin yang meningkatkan
vasodilatasi dan juga menyebabkan batuk. Pedoman saat ini merekomendasikan
bahwa semua pasien dengan HFrEF, terlepas dari ada atau tidak ada gejala harus
menerima penghambat ACE untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas,
kecuali ada kontraindikasi (Dipiro, Joseph T et al., 2020).
2. ARB( Angiotensin II Receptor Blockers)
ARB bekerja sebagai antagonis reseptor kompetitif selektif di reseptor AT1
yang menengahi efek utama Angiotensin II. ARB adalah alternatif terapeutik
untuk ACEI dan pilihan kedua di semua tahap gagal jantung pada pasien yang
tidak mentolerir ACEI. Mengingat peran sentral reseptor AT1 tidak
mengherankan jika ARB menunjukkan profil farmakologis yang sama dengan
ACEI dengan pengecualian tidak menyebabkan batuk. Selain itu, penambahan
ARB pada terapi dengan ACEI dapat dilakukan tidak mempengaruhi prognosis
pasien dengan gagal jantung tetapi meningkat hipotensi, hiperkalemia, dan
disfungsi ginjal. Interaksi negatif antara ACEI dan ARB tampaknya meluas ke
pasien dengan risiko ginjal yang lebih tinggi. Oleh karena itu, tidak ada indikasi
rutin untuk kombinasi ini (Goodman & Gilman's, 2018).
3. Diuretik
Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan kongesti (paru dan
/ atau edema perifer). Karena aktivasi RAAS dan sistem saraf simpatis
berkontribusi pada perkembangan gagal jantung, diuretik harus dikombinasikan
dengan ACEI dan penyekat β kecuali ada kontraindikasi. Awalnya, tujuan terapi
diuretik adalah meredakan gejala gagal jantung dengan mengurangi volume
berlebih tanpa menyebabkan penurunan volume intravaskular. Terapi ditujukan
untuk menjaga keseimbangan natrium dan mencegahnya akumulasi cairan baru,
sambil menghindari dehidrasi. Jika diuresis terlalu kuat, volume intravascular
deplesi, hipotensi, dan penurunan paradoks CO dapat terjadi. Dosis diuretic
dititrasi sehingga keluaran urin meningkat dan berat badan menurun, umumnya
0,5 sampai 1,0 kg setiap hari. Tiazid diyakini akan kehilangan keefektifannya
saat klirens kreatinin menurun hingga kurang dari 30 mL / menit. Loop diuretik
14

(Furosemid, Bumetanide, dan Torsemide) lebih manjur daripada Tiazid, dan


mempertahankannya efektivitas pada pasien insufisiensi ginjal. Jadi, pada
kebanyakan pasien gagal jantung, Loop Diuretik lebih disukai. Furosemid
memiliki sifat vasodilatasi yang menurunkan pembuluh darah ginjal (Caroline
S. Zeind & Michael G. Carvalho, 2018).
4. Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron Eplerenon dan Spironolakton menghasilkan efek
diuretik ringan dengan berikatan secara kompetitif ke situs reseptor aldosteron
di tubulus distal ginjal. Para peneliti Randomized Aldactone Evaluation Study
(RALES) menemukan bahwa Spironolakton mengurangi morbiditas dan
mortalitas pada pasien di NYHA kelas III dan IV. Para penulis berspekulasi
bahwa efek menguntungkan dari Spironolakton dikaitkan dengan penurunan
kerusakan vaskular yang diinduksi aldosteron dan miokard atau fibrosis vaskular
daripada efek diuretiknya. Demikian pula, penurunan mortalitas diamati pada
pasien dengan disfungsi LV setelah MI baru-baru ini diobati Eplerenone
(Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho, 2018).
5. B-Bloker (Beta-Blockers)
Simpatis neurotransmiter NE (dilepaskan pada varises saraf adrenergik) dan
EPI (disekresikan oleh medula adrenal) adalah rangsangan yang kuat dari fungsi
jantung. Mereka meningkatkan detak jantung (efek kronotropik positif) dan
kekuatan kontraksi (efek inotropik positif) dan dengan demikian meningkatkan
curah jantung. Mereka mempercepat laju perkembangan (meningkat + dP / dt,
positif klinotropi) dan mempercepat relaksasi otot jantung (lebih besar -dP / dt,
efek lusitropik positif yang membantu pengisian ventrikel selama diastol.
Semua efek akut dimediasi oleh β1 reseptor dan pada tingkat yang lebih kecil,
reseptor β2. Efek ekstrakardiak termasuk bronkodilatasi (β2), vasodilatasi (β2)
demikian juga sebagai vasokonstriksi (α1 reseptor yang mendominasi pada
konsentrasi katekolamin yang lebih tinggi), stimulasi metabolisme glikogen hati
dan glukoneogenesis (β2) dan yang terpenting stimulasi pelepasan renin dari
makula densa (β1). Jadi, aktivasi SNS mengaktifkan RAAS dan seperti diuraikan
sebelumnya, aktivasi RAAS mengaktifkan SNS dengan stimulasi pelepasan NE.
15

Penghambat β secara kompetitif mengurangi aksi yang dimediasi oleh reseptor


β katekolamin dan dengan demikian pada tingkat aktivasi SNS, menurunkan
kekuatan detak jantung, relaksasi lambat, konduksi AV lambat, tekan aritmia,
tingkat renin yang lebih rendah dan tergantung pada selektivitasnya untuk
reseptor β1, mengizinkan lebih banyak atau lebih sedikit bronkokonstriksi,
vasokonstriksi, dan menurunkan produksi glukosa hati (Goodman & Gilman's,
2018).
6. CCD (Calcium-Channel Blockers)
Amlodipine, Felodipine, Isradipine, Nifedipine, dan Nicardipine adalah
contoh dari penghambat saluran kalsium dihidropiridin dengan efek vasodilatasi
arteri. Dibandingkan dengan penghambat saluran kalsium non-dihidropiridin
(Verapamil dan Diltiazem), mereka memiliki sifat inotropik negatif minimal.
Hanya Amlodipine dan Felodipine telah didokumentasikan aman pada pasien
HF, tetapi hanya sebagian kecil pasien dengan kardiomiopati dilatasi non-
iskemik sebenarnya memiliki efek menguntungkan, meningkatkan
kelangsungan hidup dengan Amlodipine. Verapamil dan Diltiazem aman
digunakan dalam HFpEF dan dapat memperbaiki gejala dengan mengurangi HR
dan memberikan lebih banyak waktu untuk mengisi ventrikel, tetapi harus
dihindari pada pasien dengan HFrEF karena efek inotropik negatifnya (Caroline
S. Zeind & Michael G. Carvalho, 2018).
7. Nitrat
Vasodilator seperti Nitrogliserin dan Nitroprusida mengurangi preload dan
afterload. Pergerakan penurunan preload (= tekanan pengisian diastolik) pasien
ke kiri pada hubungan stroke volume-preload, serupa dengan efek pengurangan
volume yang diinduksi diuretik. Pengurangan tambahan pada afterload
memungkinkan jantung untuk mengeluarkan darah melawan resistansi
pengeluaran yang lebih rendah. Mekanisme ini menjelaskan mengapa
vasodilator (yang tidak memiliki kemanjuran inotropik dan menurunkan tekanan
darah) meningkatkan volume stroke. Namun, bukti kuat untuk manfaat gejala
atau hasil klinis yang lebih baik masih kurang. Vasodilator cocok untuk pasien
dengan hipertensi dan harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
16

kurang dari 110 mmHg. Risiko utama adalah hipotensi yang berhubungan
negatif dengan hasil yang menguntungkan pada pasien dengan jantung
dekompensasi kegagalan akut (Goodman & Gilman's, 2018).
8. Digoxin
Digoxin memiliki beberapa tindakan farmakologis di jantung. Digoxin
mengikat dan menghambat natrium-kalium (Na +/ K +) adenosin trifosfatase
(ATPase) dalam sel jantung, menurunkan transportasi keluar natrium dan
meningkatkan konsentrasi intraseluler kalsium di dalam sel. Kalsium yang
mengikat retikulum sarkoplasma menyebabkan peningkatan kondisi kontraktil
jantung. Digoxin menurunkan kecepatan konduksi dan memperpanjang periode
refraktori simpul atrioventrikular (AV). Efek pemblokiran node AV ini
memperpanjang PR interval dan merupakan dasar penggunaan digoksin dalam
memperlambat laju respons ventrikel pada pasien dengan AF dan aritmia
supraventrikular lainnya (Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho, 2018).
2) Terapi Non-Farmakologi
Adapun terapi non farmakologi pasien gagal jantung dan jantung coroner,
yaitu (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020) :
1. Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefenisikan sebagai tindakan-
tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal
jantung. Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran penting dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna
untuk perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup,
morbiditas, dan prognosis.
2. Ketaatan Pasien Berobat
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi morbiditas, mortalitas
dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat
pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
17

3. Pemantauan Berat Badan Mandiri


Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C).
4. Asupan Cairan
Restriksi cairan 900 ml–1,2 liter/hari (sesuai berat badan) dipertimbangkan
terutama pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi
cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak
memberikan keuntungan klinis (kelas rekomendasi IIb, tingkatan bukti C).
5. Pengurangan Berat Badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C).
6. Latihan Fisik
Latihan fisik di sarankan untuk dilakukan oleh semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit)
7. Hentikan Kebiasaan Merokok
Merokok adalah salah satu faktor resiko utama untuk perkembangan kondisi
aterosklerotik termasuk MI dan memperburuk hasil setelah intervensi. Pasien
merokok beresiko lebih tinggi terhadap mortalitas dan morbiditas mengikuti
PCL. Beberapa menkanisme dimana merokok meningkatkan kasus CAD,
kerusakan oksidatif pada endothelium yang menyebabkan kerusakan endotel dan
mempercepat aterosklerosis, aktivitas antiplatelet dan thrombosis, berkurangnya
ketersediaan oxygen dan aktivitas sistem saraf simpatis, yang mengakibatkan
vasokonstriksi coroner.
18

B. Coronary Artery Disease


1) Terapi Farmakologi

Gambar 4. Algoritma Pengobatan Awal STEMI (Caroline S. Zeind & Michael G.


Carvalho, 2018).
19

Gambar 5. Algoritma pengobatan awal untuk NSTE-ACS (Caroline S. Zeind &


Michael G. Carvalho, 2018).

1. Obat Fibrinolitik
Obat fibrinolitik yang saat ini digunakan untuk pasien STEMI adalah
Alteplase (t-PA), Reteplase (r-PA), dan Tenecteplase (TNK). Alteplase adalah
20

enzim alami yang diproduksi oleh teknologi DNA rekombinan. DNA


rekombinan membelah ikatan peptida plasminogen yang sama dengan yang
dibelah oleh urokinase. Namun, t-PA memiliki situs yang mengikat fibrin, yang
memungkinkannya untuk mengikat dan lebih memilih mengikat trombin sebagai
gantinya dari plasminogen yang bersirkulasi. Reteplase adalah plasminogen
yang dimodifikasi secara genetik. Aktivator yang mirip dengan t-PA. Reteplase
memiliki waktu paruh yang lebih lama, memungkinkannya diberikan sebagai
dua suntikan bolus dengan jarak 30 menit, bukan sebagai bolus plus infusi. TNK
adalah bentuk t-PA yang dimodifikasi secara genetik. Dibandingkan dengan t-
PA, TNK punya waktu paruh plasma yang lebih lama, spesifisitas fibrin yang
lebih baik, dan resistensi yang lebih tinggi terhadap penghambatan oleh inhibitor
aktivator-plasminogen. Terapi fibrinolitik diindikasikan pada pasien dengan
STEMI yang datang ke rumah sakit dalam waktu 12 jam setelah timbulnya gejala
dan tidak dapat menjalani PCI primer dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama. Manfaat dari terapi fibrinolitik berhubungan langsung dengan waktu
dari permulaan nyeri dada hingga saat administrasi (Caroline S. Zeind &
Michael G. Carvalho, 2018).
2. Antikoagulan
Terapi antikoagulan pada pasien CAD, yaitu (Goodman & Gilman's, 2018) :
a. Heparin, LMWHs dan Fondaparinux.
Heparin, LMWHs, dan Fondaparinux tidak punya aktivitas
antikoagulan intrinsik. Sebaliknya, agen ini mengikat antitrombin dan
mempercepat laju di mana ia menghambat berbagai protease koagulasi.
Disintesis di hati, antitrombin bersirkulasi dalam plasma dengan kira-kira
konsentrasi 2,5 μM. Antitrombin menghambat faktor koagulasi yang
diaktifkan, terutama trombin dan faktor Xa dengan berfungsi sebagai
"Substrat Bunuh Diri ". Jadi, penghambatan terjadi ketika protease
menyerang Ikatan spesifik peptida Arg – Ser di pusat loop reaktif
antitrombin dan terperangkap sebagai kompleks 1: 1 yang stabil. Heparin
berikatan dengan antitrombin melalui urutan pentasakarida tertentu yang
mengandung 3-O-tersulfasi residu glukosamin.
21

b. Desirudin and Lepirudin


Desirudin diindikasikan untuk tromboprofilaksis pada pasien yang
menjalani operasi penggantian pinggul elektif. Baik Desirudin maupun
Lepirudin juga digunakan untuk mengobati trombosis dalam pengaturan
trombositopenia yang diinduksi heparin.
c. Bivalirudin
Bivalirudin diberikan secara intravena dan digunakan sebagai alternatif
untuk heparin pada pasien yang menjalani angioplasti koroner atau operasi
bypass kardiopulmonal. Pasien dengan trombositopenia yang diinduksi
heparin atau riwayat gangguan ini juga bisa diberikan bivalirudin sebagai
pengganti heparin selama angioplasti coroner. t1/2 dari Bivalirudin adalah
25 menit; pengurangan dosis dianjurkan untuk pasien dengan gangguan
ginjal (Goodman & Gilman's, 2018).
d. Argatroban
Argatroban, senyawa sintetik berdasarkan struktur l-arginine, mengikat
secara reversibel ke situs aktif trombin. Argatroban diberikan secara
intravena dan memiliki t1/2 dari 40–50 menit. Argatroba dimetabolisme di
hati dan diekskresikan di empedu. Oleh karena itu, Argatroban dapat
digunakan pada pasien penderita gangguan ginjal, tetapi pengurangan dosis
diperlukan untuk pasien dengan hati. Argatroban dilisensikan untuk
profilaksis atau pengobatan pasien dengan, atau berisiko berkembang,
trombositopenia yang diinduksi Heparin. Pengujian faktor X dapat
digunakan sebagai pengganti PT untuk memantau warfarin pada pasien ini.
e. Antagonis Vitamin K
Warfarin atau antagonis vitamin K lainnya biasanya digunakan secara
oral. Pada dosis terapeutik, Warfarin menurunkan jumlah fungsional
masing-masing faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K yang
dibuat oleh hati sebesar 30% -70%. Warfarin tidak berpengaruh pada
aktivitas penuh faktor γ-karboksilasi dalam sirkulasi, dan harus dibersihkan
sebelum dapat menghasilkan efek antikoagulan.
22

3. Antiplatelet
Agen antiplatelet atau obat antiplatelet telah dilaporkan digunakan dalam
pengobatan CAD. Obat ini dapat mengubah fungsi trombosit dengan
menghambat aktivitas enzim yang diperlukan untuk produksi prostaglandin,
yang dikenal sebagai cycloxygenase (Malakar et al., 2019).
a. Aspirin
Dalam trombosit, produk utama COX-1 adalah TxA2 penginduksi
trombosit yang labil agregasi dan vasokonstriktor kuat. Aspirin memblokir
produksi TxA2 dengan asetilasi residu serin di dekat situs aktif platelet COX-
1. Karena trombosit tidak mensintesis protein baru, aksi Aspirin pada platelet
COX-1 bersifat permanen, berlangsung seumur hidup platelet (7–10 hari).
Dengan demikian, dosis aspirin berulang menghasilkan efek kumulatif pada
fungsi trombosit. Inaktivasi lengkap platelet COX-1 dicapai dengan dosis
harian Aspirin 75 mg. Sejumlah percobaan menunjukkan bahwa Aspirin, bila
digunakan sebagai obat antiplatelet efektif secara maksimal pada dosis 50–
325 mg / hari. Lebih tinggi dosis tidak meningkatkan kemanjuran dan
berpotensi kurang berkhasiat karena penghambatan produksi prostasiklin,
yang sebagian besar dapat dihindarkan menggunakan dosis rendah Aspirin.
Dosis yang lebih tinggi juga meningkatkan toksisitas, khususnya berdarah
(Goodman & Gilman's, 2018).
Aspirin jarang digunakan sebagai satu-satunya agen antiplatelet rawat
inap dengan dan biasanya dikombinasikan dengan antagonis reseptor P2Y12
oral. Kombinasi ini disebut terapi antiplatelet ganda (DAPT) (Dipiro, Joseph
T et al., 2020).
b. Antagonis Reseptor P2Y12
Saat ini ada tiga obat oral antagonis reseptor P2Y12, yaitu Clopidogrel,
Prasugrel, dan Ticagrelor dan satu agen intravena (IV) (cangrelor).
Clopidogrel dan Prasugrel keduanya termasuk dalam kelas kimia
thienopyridines yang merupakan obat yang membutuhkan aktivasi hati.
Kedua agen itu punya cincin tiol yang harus dibuka untuk mengekspos atom
belerang. Belerang ini kemudian berinteraksi dengan belerang dalam P2Y12
23

menciptakan reseptor ireversibel ikatan disulfida. Pengikatan agen


thienopyridine ke reseptor mencegah kemampuan reseptor untuk diaktifkan
oleh adenosin difosfat dan selanjutnya aktivasi dan agregasi trombosit
(Dipiro, Joseph T et al., 2020).
c. Dipyridamole
Dipiridamol mengganggu fungsi trombosit dengan meningkatkan
konsentrasi AMP siklik intra seluler. Efek ini dimediasi oleh penghambatan
fosfodiesterase atau dengan blokade penyerapan adenosin dengan demikian
meningkatkan waktu tinggal adenosin pada permukaan sel adenosin A2
reseptor yang terkait dengan stimulasi platelet adenylylsiklase (Dipiro,
Joseph T et al., 2020).
4. B-Bloker (Beta Blokers)
β-Blocker harus diberikan pada pasien dengan CAD kecuali ada
kontraindikasi. Pada pasien dengan CAD yang menerima terapi fibrinolitik atau
PCI, penyekat β secara signifikan menurunkan angka kematian kardiovaskular,
MI nonfatal rekuren, dan semua penyebab kematian. Terapi penyekat β oral
dimulai dalam waktu 24 jam setelah timbulnya gejala untuk semua pasien tanpa
tanda gagal jantung, bukti keadaan output rendah, peningkatan risiko syok
kardiogenik atau kontraindikasi lain. Baik agen β-selektif dan nonselektif harus
dievaluasi; namun, penyekat β dengan aktivitas simpatomimetik intrinsik harus
dihindari karena tidak memiliki data kemanjuran. Untuk pasien dengan
takikardia atau hipertensi tanpa tanda gagal jantung, IV β-blocker diikuti dengan
pemberian oral bisa dipertimbangkan (Caroline S. Zeind & Michael G.
Carvalho, 2018).
5. Statin
Penghambat reduktase β-Hydroxy-β-methylglutaryl-CoA (HMG-CoA)
morbiditas dan mortalitas jangka panjang pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular. Kemampuan menurunkan lipid, Statin diyakini menunjukkan
efek pleiotropik yang meliputi stabilisasi plak, anti-inflamasi,
antitrombogenisitas, peningkatan kepatuhan arteri, dan modulasi data fungsi
endotel. Pemberian intensif obat golongan statin pada pasien dengan STEMI
24

atau NSTE-ACS dengan diberi Atorvastatin, Simvastatin, Pravastatin,


Rosuvastatin, dan Fluvastatin dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Setelah
AMI, pasien harus menerima statin intensitas tinggi seperti Atorvastatin 40
sampai 80 mg atau Rosuvastatin ≥ 20 mg sehari. Bisa jadi dosis yang lebih
rendah dipertimbangkan pada pasien berusia> 75 tahun atau mereka yang tidak
dapat mentolerir dosis yang lebih tinggi (Caroline S. Zeind & Michael G.
Carvalho, 2018).
6. Vasodilator
Vasodilator mengurangi kebutuhan oksigen dan tekanan dinding miokard
dengan mengurangi afterload atau preload dan dapat melemahkan proses
renovasi. Beberapa vasodilator dapat meningkatkan suplai darah ke miokardium
dengan meningkatkan koroner vasodilatasi (Caroline S. Zeind & Michael G.
Carvalho, 2018). :
a) ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)/ARB (Angiotensin II
Reseptor Blokers)
Penghambat ACE telah dinilai dalam sejumlah besar uji klinis, dan
semuanya percobaan dengan menggunakan agen oral telah menunjukkan
penurunan mortalitas. Intravena ACE inhibitor harus dihindari karena
menyebabkan hipotensi berlebihan dan tidak meningkatkan kelangsungan
hidup. Manfaat penghambat ACE terbesar pada pasien dengan infark anterior,
tanda gagal jantung, atau riwayat sebelumnya infark. Idealnya, penghambat
ACE oral harus dimulai dalam waktu 24 jam diagnosis, setelah tekanan darah
dan fungsi ginjal stabil. Dosis awal harus rendah dan kemudian dititrasi
secepat mungkin.
b) Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron seperti Spironolakton dan Eplerenon telah
ditemukan terkait dengan perbaikan pemodelan struktur LV dan kinerja
dengan meningkatkan LVEF dan penurunan volume akhir diastolik dan
sistolik ventrikel kiri. Eplerenone dan Spironolactone ditemukan menurunkan
mortalitas jangka panjang sebagai tambahan untuk penghambat ACE dan
penyekat β. Blokade aldosteron direkomendasikan pada pasien pasca MI
25

dengan LVEF <40%, diabetes atau gejala gagal jantung, dengan asumsi
mereka tidak memiliki kontraindikasi.
c) Nitrat
Nitrat dalam bentuk Nitrogliserin sublingual atau Nitrogliserin semprotan
telah digunakan untuk menghilangkan angina dengan meredakan gejala
sendiri dengan meningkatkan suplai oksigen miokard dan menurunkan
kebutuhan oksigen miokard. Agen terapeutik ini direkomendasikan sebagai
aditif jika β-blocker saja tidak efisien (Malakar et al., 2019).
2) Terapi Non-Farmakologi
Revaskularisasi myokard dengan pencangkokan bypass arteri koroner
(CABG) dan angioplasti koroner transluminal perkutan (PTCA) sangat
penting dalam pengobatan penyakit parah angina. Ini adalah satu-satunya
metode yang mampu secara konsisten meningkatkan aliran darah koroner
pada angina aterosklerotik dan meningkat produk ganda (Katzung &
Trevor’s., 2015).
II.3 Pemeriksaan Penunjang
Peranan pemeriksaan penunjang dalam diagnosis dan tatalaksana gagal
jantung sangatlah besar. Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan antara lain,
yaitu (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2020)
1. Oksimetri Nadi
Pemeriksaan oksimetri nadi bermanfaat mengidentifikasi sianosis pada
bayi. Penurunan saturasi oksigen perkutaneus tidak dihubungkan dengan
penyakit jantung asianotik kecuali terdapat perfusi jaringan yang buruk atau
pirau kanan ke kiri intrapulmonal.
2. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG bermanfaat dalam menilai penyebab gagal jantung tetapi
tidak menentukan diagnosis dari gagal jantung. Pada penyakit inflamasi miokard
ditemukan adanya karakteristik gambaran QRS voltase rendah dengan kelainan
gelombang ST-T yang dapat dilihat pada kasus perikarditis juga. EKG
merupakan penunjang terbaik dalam menilai gagal jantung yang disebabkan oleh
gangguan irama jantung.
26

3. Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah modalitas pencitraan utama dalam gagal jantung
anak, karena dapat memperlihatkan secara jelas struktur dan fungsi jantung.
Berbagai kelainan jantung dapat ditegakkan melalui ekokardiografi 2-dimensi
dan M-mode. Pemeriksaan doppler dengan warna dapat menambah informasi
secara bermakna. Apabila ekokardiografi 2-dimensi lebih banyak rnembantu
dalam penentuan kelainan struktural, maka ekokardiografi M-mode bermanfaat
menentukan dimensi ruang jantung, tebal dinding belakang ventrikel, septum
ventrikel, serta pembuluh darah besar. Pelebaran atrium kiri, ventrikel kiri,
atrium 19 kanan, ventrikel kanan, serta kontraktilitas ventrikel juga dapat dinilai
dengan akurat.
4. Foto Toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang yang hampir selalu
dilakukan pada pasien gagal jantung. Pada foto toraks memperlihatkan
kardiomegali dan gambaran edema paru.
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan kadar B-type natriuretic peptide (BNP) dapat membedakan
keluhan sesak nafas berasal dari kelainan jantung atau paru. Pemeriksaan
neurohormonal seperti BNP dan N-terminal pro BNP belum rutin dilakukan
pada anak karena belum adanya kepustakaan yang mengeluarkan nilai batas
tertinggi maupun terendah. Kadar neurohormonal ini sangat dipengaruhi oleh
umur, jenis kelamin, tipe dari kerusakan ventrikel dan morfologi jantung). Kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu diperiksa pada gagal jantung. Anemia dapat
menyebabkan gagal jantung, atau memperburuk status gagal jantung. Analisis
gas darah, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida) dan gula darah serum
serta analisis urin harus diperiksa pada pasien gagal jantung, yang keadaannya
tidak stabil.
BAB III
STUDI KASUS
III.1 Profil Pasien
Nama Pasien : Ny. IS
Umur : 52 Tahun
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 19XXXX
R. Inap : Cardiac
Tanggal Masuk RS : 22 Apr. 2021
Tanggal Keluar RS : 26 Apr. 2021

III.2 Profil Penyakit


Keluhan Utama : Nyeri dada disebelah kiri saja, sesekali sesak,
jantung berdebar-debar.
Riwayat Penyakit : Gagal ginjal kronik dan Nefrolithiasis
Riwayat social : Tidak merokok
Diagnosa Awal :-
Diagnosis Banding :-
Diagnosa Akhir : Arteri coroner dan gagal jantung
Riwayat Pengobatan :1. Furosemide 40 mg 1 x 1
2. NTG 2,5 mg 2 x 1
3. Bisoprolol 5 mg 1 x 1
4. Episan Sirup 3 x 1
5. Alprazolam 0,5 mg 1 x 1
6. Omeprazole 20 mg 3 x 1
7. Ketorolac 3 x 2
8. Ranitidin 150 mg 3 x 1

27
28

III.3 Data Klinik Pasien


Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien oleh dokter maka diperoleh data klinik pasien dari tanggal 22 April - 26April 2021. Data tersebut dapat
dilihat seperti pada table di bawah ini:
Tabel 3.3. Data Klinik Pasien Selama Perawatan
Nilai Tanggal Pemeriksaan
Data Klinik
Normal 22/4 23/4 24/4 25/4 26/4
≤140/80
TekananDarah (mmHg) 128/91 mm/Hg 128/91 mm/Hg 119/66 mm/Hg 102/62 mm/Hg 120/69 mm/Hg
mmHg
80-100
Nadi (kali/menit) 86 70 67 70 74
kali/menit
Suhu Badan (0C) 36 – 37,50C 36,9 36 36,5 36 36,5
16-24
Respirasi (kali/menit) 26 26 30 16 29
kali/menit
SpO2 85-99% 82,7% 97% - 100% 98%
Nyeri Dada + + + + +/-
Sesak + +/- - - -
Nyeri lambung - - - - -
Mual dan muntah - - - - -
Lemas - - + + -
Gatal seluruh badan - - + + +/-
Nafsu makan menurun + + + + -
Susah Tidur + + + + +
Ket.
+ : Ada gejala
- : Tidak ada gejala
+/- : Gejala berkurang
29

III.4 Data Laboratorium


Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap pasien, maka diperoleh data
klinik seperti pada tabel 3.4.
Tabel 3.4. Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan
Pemeriksaan Satuan Nilai Normal
22/4
WBC 10^3/uL 3,50 – 9,50 9,06
RBC 10^6/uL 3,80 – 5,10 3,65
HGB g/dL 11,5-15,0 8,7
Neu% % 40,0 – 75,0 69,5
Lym% % 20,0 – 50,0 17,9
Mon% % 3,0 – 10,0 8,2
Eos% % 0,4 – 8,0 3,0
Bas% % 0,0 – 1,0 1,4
Neu# 10^3/uL 1,80 – 6,30 6,30
Lym# 10^3/uL 1,10 – 3,20 1,62
Mon# 10^3/uL 0,10 – 0,60 0,74
Eos# 10^3/uL 0,02 – 0,52 0,27
Bas# 10^3/uL 0,00 – 0,06 0,13
HCT % 35,0 – 45,0 27,6
MCV fL 82,0 – 100,0 75,7
MCH pg 27,0 – 34,0 23,7
MCHC g/dL 31,6 – 35,4 31,3
PLT fL 125 – 350 317
RDW-CV % 11,0 – 16,0 17,3
RDW-SD fL 35,60 – 56,0 54,2
MPV fL 6,50 – 12,0 7,4
PDW fL 9,0 – 17,0 9,1
PCT % 0,108 – 0,282 0,234
P-LCR % 11,0 – 45,0 19,4
P-LCC 10^3/uL 30 – 90 62

Ket :
Merah : Tinggi
Biru : Rendah
30

Tabel 3.5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

PEMERIKSAAN HASIL Nilai RUJUKAN Satuan

KIMIA
Laki-laki <= 37
SGOT ( Aspartat Transaminase/ AST) 24 U/L
Perempuan <=31
Laki-laki <= 40
SGPT (Alanin Transaminase/ ALT) 11 U/L
Perempuan <=31
ELEKTROLIT
Natrium 140 136-45 mmol/l
Kalium 4,9 3,5-5,1 mmol/l
Clorida 108 98-107 mmol/l
DIABETES
Glukosa Sewaktu 104 <140 mg/dl
LIPID
Kolesterol LDL Direk 80 <130 mg/dl
FUNGSI GINJAL
Laki-laki 0,6-1,1
Creatinine 3,1 mg/dl
Perempuan 0,5-0,9
Urea 100 10-50 mg/dl
31
III.5 Profil Pengobatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan gejala penyakit dari kondisi pasien selama dirawat di
rumah sakit diberikan terapi pengobatan seperti pada tabel 3.5.
Tabel 3.5. Profil Pengobatan Pasien Selama Perawatan

Sediaan/ Aturan Pakai/ Tanggal Pemberian


No. Nama Obat Kemasan/ Regimen Dosis/ 22/4 23/4 24/4 25/4 26/4
Kekuatan Rute
Botol @
1 NaCl 0,9% 20 tpm/infus (iv)    - -
500 ml
Ampul 240 mg
    -
@ 240 mg /24 jam/SP
2 Furosemide
Tablet
40 mg/24j/oral - - - - 
@ 40 mg
Ampul 35 mcg/
    -
@ 35 mcg menit/SP
3 NTG
Tablet 5 mg/12
- - - - 
@ 5 mg jam/oral
Ampul
2 ml/12 jam/IV     -
@ 2 ml
4 Ranitidin
Tablet 150 mg/
- - - - 
@ 150 mg 12 jam/oral
Tablet 8 mg/
5 Candesartan    - -
@ 8 mg 24 jam/oral
Tablet 50 mg/
6 Spironolactone    - -
@ 50 mg 24 jam/oral
Tablet 0,5 mg /
7 Alprazolam - -   
@ 0,5 mg 24 jam/ oral
Tablet 10 mg/
8 Amlodipine     
@ 10 mg 24 jam/oral
Tablet 75 mg/
9 Clopidogrel   - - -
@ 75 mg 24 jam/ oral
Tablet 80 mg/
10 Miniaspi     
@ 80 mg 24 jam/oral
Keterangan: ( √ ) = diberikan; ( - ) = tidak diberikan
32

III.6 Analisis Rasionalitas


Berdasarkan data pemberian obat kepada pasien tersebut maka diperoleh analisis
rasionalitas terhadap pemakaian obat-obat pasien. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 3.6.
Tabel 3.6. Data Analisis Rasionalitas Pengobatan Pasien Selama Dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Andi
Makkasau Kota Parepare
Rasionalitas
No Nama Obat Aturan Cara Lama
Indikasi Obat Dosis Pasien
Pakai Pemberian Pemberian
1 NaCl 0,9% R R R R R R R
2 Furosemide R R R R R R R
3 NTG R R R R R R R
4 Ranitidin R R R R R R R
5 Candesartan R R R R R R R
6 Alprazolam R R R R R R R
7 Amlodipine R R R R R R R
8 Clopidogrel R R R R R R R
9 Spironolactone R R R R R R R
10 Miniaspi R R R R R R R
Keterangan :
R = Rasional
33
III.7 Assesment and Plan
Berdasarkan data analisis rasionaltas terhadap pengobatan pasien, maka dibuat Assesment and Plan seperti pada tabel 3.7
Tabel 3.7 Data Assesment and Plan
34
35

III.8 Data Konseling Pasien


Berdasarkan hasil pemberian obat maka dapat dibuat konseling kepada pasien
yang dapat dilihat pada tabel 3.8.
Tabel 3.8. Data Assesment and Plan
Tanggal
No Masalah/keluhan Konseling yang diberikan
konseling
Memperkenalkan diri pada pasien dan
Kondisi pasien terlihat keluarga pasien dengan menanyakan
Kamis
1. lemah, sesak dan merasa kondisi pasien serta memberikan informasi
22/04/2021
nyeri dada bagian kiri terkait penggunaan obat yang digunakan
oleh pasien
Memberikan penjelasan terkait terapi obat
Kondisi pasien terlihat
yang diterima oleh pasien seperti indikasi,
Jumat lemah, nyeri dada, susah
2. aturan pakai, dan cara penggunaan, serta
23/04/2021 tidur, gatal diseluruh
mengevaluasi penggunaan obat yang
tubuh dan batuk
digunakan oleh pasien.

Pasien mengatakan nyeri


Sabtu dada berkurang, susah Menanyakan keadaan pasien dan memberi
3.
24/04/2021 tidur, batuk dan gatal informasi tentang efek samping obat.
diseluruh tubuh

Pasien mengatakan sudah


Memberikan informasi terkait efek
Minggu tidak nyeri dada tapi
4. samping obat dan menanyakan keluhan
25/04/2021 merasa gatal diseluruh
selama penggunaan obat
tubuh

Kondisi pasien mulai


Menanyakan keluhan selama penggunaan
Senin membaik namun pasien
5. obat, memberikan informasi mengenai
26/04/2021 masih merasa gatal
cara pengggunaan obat.
diseluruh tubuh

35
36

III.9 Uraian Obat


1. NaCl 0,9% (MIMS, 2020).
a. Kemasan / Komposisi
Larutan steril mengandung NaCl 0,9% untuk injeksi intravena tersedia dalam
kemasan botol infus NaCI 0.9%. Setiap 500 mL mengandung : 4,5 Natrium Klorida
(NaCl) Air untuk injeksi ad 500 mL.
b. Indikasi
NaCl 0.9% digunakan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang karena
beberapa faktor. Oleh karena itu, NaCl 0.9% berfungsi sebagai pengatur
keseimbangan cairan tubuh.
c. Kontraindikasi
 Pasien dengan riwayat asidosis metabolisme dikarenakan klorida pada natrium
klorida dapat meningkat dalam tubuh.
 Pasien dengan masalah retensi cairan akan menyebabkan kondisi berbahaya
lain pada tubuh seperti hipernatremia, hipokalemia, dan gagal jantung.
d. Efek Samping
NaCL dapat menyebabkan detak jantung cepat, demam, gatal-gatal atau ruam
suara serak, iritasi, nyeri sendi, kaku, atau bengkak, dada sesak, pembengkakan
pada wajah, bibir, tenggorokan, atau lidah.
e. Dosis dan aturan pakai
 Penggantian cairan dan elektrolit: Dosis tergantung pada usia, berat badan,
kondisi klinis, dan penentuan hasil laboratorium pasien.
 Hipernatremia: Dosis tergantung pada usia, berat badan, kondisi klinis, dan
penentuan hasil laboratorium pasien.
f. Perhatian dan Peringatan
Pasien dengan gagal jantung, hiperkalemia, gagal ginjal, edema paru atau
perifer dan hipertensi, pre-eklamsia dan kondisi lainnya yang berkaitan dengan
retensi natrium.
37

g. Interaksi Obat
Beberapa obat-obatan yang mungkin menimbulkan interaksi jika dikonsumsi
bersamaan dengan NaCl adalah lithium dan tolvaptan.
2. NITROGYCERIN IV (Medscape, 2020) (MIMS, 2020)
a. Kemasan / Komposis
Ampul ukuran 25 mL mengandung Nitroglycerin atau Glyceryl Trinitrate.
b. Indikasi
Nitrogliserin adalah obat vasodilatasi yang digunakan terutama untuk
meredakan nyeri dada pada Angina pektoris, hipertensi perioperatif, gagal jantung
kongestif dalam pengaturan MI, induksi hipotensi intraoperatif.
c. Dosis dan Cara Pemakaian
1) Pemberian dosis: 5-10 mcg/menit IV melalui infus setelah dilusi.
2) Ditambah 5 mcg/menit IV setiap 3-5 menit sampai beberapa respon terlihat.
3) Jika tidak ada respon dengan 20 mcg/menit: Boleh tingkatkan dosis sebesar 10
mcg/menit dan sesudahnya jika diperlukan, tambahan sebesar 20 mcg/menit
bisa diberikan.
4) Dosis umum: 10-200 mcg/menit
d. Mekanisme Kerja
Mirip dengan nitrat lain yang digunakan untuk mengobati nyeri dada anginal,
Nitrogliserin diubah menjadi oksida nitrat (NO) di dalam tubuh. NO kemudian
mengaktifkan enzim guanylyl cyclase, yang mengubah guanosine triphosphate
(GTP) menjadi guanosine 3 ', 5'-monophosphate (cGMP) di otot polos pembuluh
darah dan jaringan lain. cGMP kemudian mengaktifkan banyak fosforilasi yang
bergantung pada protein kinase, yang pada akhirnya menghasilkan defosforilasi
rantai ringan miosin dalam serat otot polos. Aktivitas ini menyebabkan relaksasi
otot polos di dalam pembuluh darah, menghasilkan efek vasodilatasi yang
diinginkan.
38

e. Interaksi
Penggunaan secara bersamaan dengan Acetylcystein dapat meningkatkan efek
vasodilator dari Nitrogliserin melalui efek farmakodinamik sinergi.
f. Kontraindikasi
1) Reaksi alergi terhadap Nitrogliserin sangat jarang terjadi, tetapi laporan
memang ada. Nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang telah
melaporkan gejala alergi terhadap obat tersebut.
2) Penggunaan Nitrogliserin bersamaan dengan penghambat PDE-5 (misalnya,
sildenafil sitrat, vardenafil hidroksida, tadalafil) merupakan kontraindikasi
mutlak. Penghambat PDE-5 telah terbukti menonjolkan efek hipotensi nitrat
dan memicu episode sinkop.
g. Efek Samping
Pusing, sakit kepala, detak jantung tidak beraturan, palpitasi, vertigo, mual
dan muntah, Diaforesis dan Syncope.
h. Peringatan dan Perhatian
1) Jauhi dari pasien dengan hipotensi akut, hipovolemia, anemia, gagal jantung
dalam kaitan dengan adanya gangguan atau meningkatnya tekanan yang
berhubungan dengan trauma atau perdarahan.
2) Gunakan dengan hati-hati ketika ada penurunan SBP (Systolic Blood
Pressure) kurang dari 110 mmHg pada pasien penderita normotensive, dan
penurunan yang berarti pada tekanan arterial lebih dari 25 % pada pasien
penderita hipertensi.
3) Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati atau ginjal akut,
hipotiroidisme, malnutrisi atau hipotermia.
4) Pengawasan HR & BP yang ketat diperlukan selama infus IV.
5) Jangan berikan pada pasien yang mengkonsumsi inhibitor phospodiesterase
dalam waktu 24 jam terakhir.
39

3. RANITIDINE IV (MIMS, 2020) (Medscape, 2020)


a. Kemasan / Komposisi
Tersedia dalam sediaan ampul 2 ml yang mengandung Ranitidin HCl 27,9 mg
per ml (setara dengan 25 mg Ranitidin).
b. Indikasi
Pengobatan jangka pendek tukak usus duabelas jari aktif, tukak lambung
aktif, dan mengurangi gejala refluks esophagitis. Terapi pemeliharaan setelah
penyembuhan tukak usus duabelas jari dan tukak lambung. Sediaan injeksi
digunakan untuk pasien rawat inap di rumah sakit dengan keadaan hipersekresi
patologis. Kadar aktif bertahan selama 6-8 jam.
c. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap Ranitidin.
d. Efek samping
Paling umum sakit kepala.
e. Farmakologi
Merupakan antagonis reseptor H2 secara kompetitif, sehingga mengurangi
sekresi asam lambung.
f. Dosis
Injeksi IM: 50mg (tanpa pengenceran) tiap 6-8 jam.
Injeksi IV: Intermiten. Intermiten bolus: 50mg tiap 6-8jam. Diencerkan dalam
larutan NaCl 0,9% atau lainnya (minimal 20ml). kecepatan injeksi tidak lebih dari
4ml/menit. Intermiten infusion: 50mg tiap 6-8 jam. Diencerkan dalam larutan
dekstrosa 5% atau lainnya (minimal 100ml). kecepatan infus tidak lebih dari 5-
7ml/menit.
Infus IV kontiniyu: 150mg diencerkan dalam 250ml dekstrosa atau lainnya,
dengan kecepatan 6,25mg per jam selama 24 jam.
g. Interaksi
Mengubah protrombin time dan peningkatan konsentrasi serum dengan
antikoagulan kumarin, seperti warfarin. Dapat mengurangi ekskresi dan
40

meningkatkan konsentrasi plasma procainamide dan N-acetylprocainamide


(ranitidine dosis tinggi). Dapat mengubah penyerapan obat yang tergantung pH
yang dapat mengakibatkan peningkatan penyerapan (mis. Triazolam, Glipizide,
Midazolam) atau penurunan penyerapan (mis. Atazanavir, Gefitnib, Ketokonazol,
Delaviridin). Mengurangi penyerapan dengan pemberian sucralfat dosis tinggi.
h. Peringatan dan Perhatian
Rantidin hanya mengobati gejala yang timbul, tidak mengobati keganasan
yang terjadi di lambung. Hati-hati pemberian pada penderita gangguan ginjal dan
hati, peningkatan kadar ALT dilaporkan pada dosis lebih dari 100 mg atau
penggunaan jangka panjang (lebih dari 5 hari). Pemberian pada wanita hamil dan
wanita menyusui hanya pada saat benar-benar dibutuhkan. Hindari pemberian
pada penderita dengan riwayat porfiria akut.
4. FUROSEMIDE IV (MIMS, 2020)
a. Komposisi
Tersedia dalam sediaan ampul 2 ml yang tiap ml mengandung Furosemid 10 mg.
b. Indikasi
Udema yang disebabkan oleh penyakit jantung, sirosis hati, penyakit ginjal
termasuk sindrom nefrotik. Hipertensi ringan sampai sedang dalam bentuk tunggal
atau kombinasi.
c. Mekanisme kerja
Furosemid menghambat reabsorbsi air dan elektrolit sebagai hasil utama
kerjanya padalengkung Henle. Furosemid memperlihatkan efek diuresis (natrium)
tergantung dari besarnya dosis yang diberikan.
d. Dosis dan Aturan pakai
Dewasa : dosis awal : 20-50 mg sebagai dosis tunggal, peningkatan dapat
dilakukan 20 mg tidak kurang dari 2 jam, sampai tercapai diuresis yang
diharapkan. Dosis lebih besar 50 mg melalui infus intravena. Maksimal 1,5
gram/hari.
41

Anak- anak : dosis awal : 0,5-1,5 mg/Kg BB sehari, maksimal pemberian 20 mg


setiap hari.
Dosis sindrom nefrotik anak : 1-4 mg/kg per har
e. Efek samping
Gangguan pada saluran pencernaan seperti : mual, diare, pankreatitis,
jaundice, anoreksia, iritasi oral dan gaster, muntah, kejang dan konstipasi. Reaksi
hipersensitivitas seperti sistemik vaskulitis, interstisial nefritis alergi. Reaksi
saluran saraf pusat seperti tinitus dan gangguan pendengaran, parestesia, vertigo,
pusing, dan sakit kepala. Reaksi hematologi seperti trombositopenia, anemia
hemolitik, leuko-penia dan anemia.
f. Kontraindikasi
Anuria, hipersensitif terhadap Furosemid atau Sulfonamid
g. Peringatan dan Perhatian
Diuretik loop adalah diuretik kuat, monitor dengan ketat dan evaluasi dosis
untuk mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, berikan perhatian pada
penggunaan bersama obat nefrotoksik atau ototoksik, pasien yang tidak diketahui
hipersensitifitasnya terhadap sulfonamida atau diuretik lain (kemungkinan adanya
sensitifitas silang; hindari penggunaan pada pasien dengan riwayat reaksi berat).
h. Interaksi obat
1) AINS (Antiinflamasi Nonsteroid), Lithium, Antibiotik Aminoglikosida,
Salisilat, Cephalosporin : penggunaan obat-obat ini bersamaan dengan
Furosemide dapat meningkatkan potensi toksisitasnya.
2) ACE inhibitor : penggunaan bersamaan antara Furosemide dan ACE inhibitor
menyebabkan hipotensi berat dan penurunan fungsi ginjal.
3) Sukralfat : obat ini dapat menurunkan efek natriuretik dan antihipertensi dari
Furosemide. Jika tetap digunakan beri jarak setidaknya 2 jam.
5. CLOPIDOGREL BISULFATE (Medscape, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Sediaan tablet mengandung Clopidogrel 75 mg
42

b. Indikasi
Terapi antiplatelet pada gangguan tromboemboli, infark miokard, penyakit
arteri perifer, dan stroke. Clopidogrel juga digunakan dengan Aspirin pada sinrom
koroner akut, termasuk infark miokard akut danangina tidak stabil, dan
pemasangan stent koroner.
c. Mekanisme Kerja
Clopidogrel secara selektif menghambat ikatan Adenosine Di-Phosphate
(ADP) pada reseptor ADP di platelet, dengan demikian menghambat aktivasi
kompleks glikoprotein GPIIb/IIIa yang dimediasi ADP, yang menimbulkan
penghambatan terhadap agregasi platelet.
d. Dosis dan Aturan Pakai
1. Angina dan non-ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)Dosis awal
adalah 300 mg satu kali sehari, diikuti dosis perawatan 75 mg satu kali sehari.
Lama pengobatan ditentukan oleh dokter.
2. ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
3. Dosis awal adalah 300 mg satu kali sehari (dapat berubah tergantung kondisi
pasien), diikuti dosis perawatan 75 mg satu kali sehari. Lama pengobatan
ditentukan oleh dokter.
4. Pemberian Clopidogrel untuk kondisi ini dapat dikombinasikan dengan 75–
325 mg aspirin satu kali sehari.
5. Stroke iskemik, serangan jantung, penyakit arteri perifer75 mg satu kali
sehari.
e. Efek Samping
Infeksi saluran pernapasan atas, nyeri dada, sakit kepala, flulike syndrome,
arthralgia, sakit, pusing, diare, ruam, rinitis, depresi, pruritis dan infeksi saluran
kemih.
f. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap Clopidogrel dan perdarahan patologis aktif,
misalnya pada ulkus peptikum atau perdarahan intrakranial. Selain
43

itu, Clopidogrel juga sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang memiliki
gangguan metabolisme CYP2C19, karena sistem CYP ini diperlukan untuk bisa
mencapai efek terapi Clopidogrel.
g. Interaksi Obat
1) Clopidogrel harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang menerima
obat lain yang meningkatkan risiko perdarahan,termasuk antikoagulan,
antiplatelet lain, dan NSAID, seperti Aspirin yang meningkatkan resiko
bleeding.
2) Clopidogrel dapat menghambat sitokromP450 isoenzim CYP2C9 dan
interaksi dengan obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzim ini secara
teoritis mungkin, seperti bupiron.
h. Perhatian dan Peringatan
Hati-hati digunakan pada pasien dengan risiko terjadinya pendarahan seperti
pada keadaan trauma, pembedahan atau keadaan patologi lainnya; Penggunaan
bersamaan dengan obat yang meningkatkan risiko pendarahan. Pada pasien yang
akan menjalani pembedahan dan tidak diperlukan efek anti platelet, Clopidogrel
harus dihentikan 7 hari sebelumnya. Hati-hati digunakan pada pasien dengan
kegagalan fungsi hati karena pengalaman penggunan masih terbatas; gangguan
fungsi ginjal dan kehamilan.
6. MINIASPI 80 (MIMS, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Sediaan tablet mengandung Aspirin 80 mg.
b. Indikasi
Aspirin secara umum digunakan untuk mengobati rasa sakit dan nyeri seperti
sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot, nyeri sendi pada arthritis, dan juga digunakan
untuk menurunkan demam.
c. Mekanisme Kerja
Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) didalam trombosit
pada prostasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat secara
44

irreversible enzim sikloksidgenase (akan tetapi siklooksigenase dapat dibentuk


kembali oleh sel endotel). Penghambat enzim siklooksigenase terjadi karena
Aspirin mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan
pembentukan TXA2, sebagai akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Oral : Sindrom coroner akut
Dosis awal :
Dewasa < 75 tahun : 300mg per oral
Dewasa >75 tahun : 75 mg/hati per oral
Dosis Rumatan : 75 mg/hari
a. Efek Samping
Menyebabkan nyeri abdominal, mual, dyspepsia, gastritis dan konstipasi,
nyeri dada, edema, pruritis, pusing, kelelahan, hiperkolesterolemia, infeksi saluran
kemih, pendarahan dan palpitasi.
b. Kontraindikasi
Aspirin dikontraindikasikan pada pasien dengan usia di bawah 16 tahun
dengan infeksi virus (seperti influenza dan varicella), karena berkaitan dengan
sindrom reye, ibu menyusui, tukak peptik aktif, hemofilia, gangguan perdarahan,
hipersensitivitas dan polip nasal yang berkaitan dengan asma
c. Interaksi Obat
1) Furosemide : Penggunaan Aspirin bersama Furosemide dapat meningkatkan
efek dari aspirin tetapi terjadi penurukan akdar kalium melalui interaksi
farmakodinamik sinergi.
2) Clopidogrel : Penggunaan secara bersamaan dengan Clopidogrel akan
meningkatkan resiko pendarahan
d. Perhatian dan Peringatan
1) Anemia, malabsorpsi GI, riwayat tukak lambung, asam urat, penyakit hati,
hipoklorhidria, hipoprotrombinemia, gangguan ginjal, tirotoksikosis, defisiensi
vitamin K, batu ginjal, penggunaan etanol (dapat meningkatkan perdarahan)
45

2) Hentikan terapi jika tinnitus berkembang


3) Harus dikonsumsi dengan makanan atau 8-12 ons air untuk menghindari efek
GI
4) Tidak diindikasikan untuk anak-anak dengan penyakit virus; penggunaan
salisilat pada pasien anak-anak dengan penyakit varicella atau influenzalike
dikaitkan dengan peningkatan insiden sindrom Reye
7. CANDESARTAN (Medscape, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Sediaan tablet mengandung Candesartan 8 mg.
b. Indikasi
Untuk kasus hipertensi, obat ini dapat digunakan oleh pasien dewasa maupun
anak-anak yang berusia ≥1 tahun. Sedangkan untuk gagal jantung, obat ini dapat
digunakan oleh pasien dewasa yang termasuk dalam kategori New York Heart
Association (NYHA) kelas II sampai IV, dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri
c. Mekanisme Kerja
Candesartan termasuk ke dalam obat golongan angiotensin receptor
blockers (ARB) yang bekerja dengan cara menghambat reseptor angiotensin
II. Saat angiotensin II dihambat, pembuluh darah akan lemas dan melebar sehingga
aliran darah menjadi lebih lancar dan tekanan darah turun
d. Dosis dan Aturan Pakai
1) Hipertensi 16 mg PO setiap hari, titrasi menjadi 8-32 mg PO setiap hari ATAU
dibagi setiap 12 jam
2) Gagal jantung, dosis awal 4 mg PO setiap hari; dosis ganda dapat ditingkatkan
perminggu hingga 32 mg PO setiap hari.
e. Efek Samping
Edema perifer, pusing, peningkatan triglyserida, hiperirucemia, kelelahan,
nyeri perut, diare, mual dna muntah, nyeri dada, pruritis, ruam, albuminuria,
takikardi, dan bronchitis.
46

f. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap candesartan, gangguan hati yang parah dan Jangan
berikan bersamaan dengan aliskiren pada pasien diabetes.
g. Interaksi Obat
Penggunaan bersama dengan aspirin dapat menyebabkan peningkatan kadar
kalium didarah ( Hiperkalemia).
h. Perhatian dan Peringatan
1) Hentikan sesegera mungkin saat kehamilan terdeteksi; mempengaruhi sistem
renin-angiotensin sehingga menyebabkan oligohidramnion, yang dapat
memicu terjadinya cedera janin dan / atau kematian.
2) Risiko hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik / hiponatremia, bersama
diuretik, dialisis, atau selama operasi besar
3) Perhatian pada pasien dengan gagal jantung kongestif; mungkin perlu
menyesuaikan dosis.
4) Hiperkalemia dapat terjadi dengan gagal ginjal atau obat yang meningkatkan
kadar kalium; pantau kadar kalium serum secara berkala
8. AMLODIPINE (MIMS, 2020) (Medscape, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Sediaan tablet mengandung Amlodipine 10 mg
b. Indikasi
Menurunkan tekanan darah mengurangi risiko kejadian kardiovaskular yang
fatal dan nonfatal, terutama stroke dan infark miokard. Pengobatan angina stabil
kronis, angina vasospastik (Prinzmetal atau angina varian), dan CAD yang
didokumentasikan secara angiografis pada pasien tanpa gagal jantung atau EF
<40%
c. Mekanisme Kerja
Amlodipine bekerja dengan cara menghambat ion kalsium masuk ke dalam
vaskularisasi otot polos dan otot jantungsehingga mampu menurunkan tekanan
darah.
47

d. Dosis dan Aturan Pakai


Hipertensi : dosis awal 5 mg / hari PO, dapat ditingkatkan 2,5 mg / hari setiap 7-
14 hari; tidak melebihi 10 mg / hari pemeliharaan: 5-10 mg / hari
Angina dan Jantung coroner : Dosis awal 5-10 mg / hari PO; pemeliharaan: 10 mg
/ hari PO.
e. Efek Samping
Sakit kepala, kelelahan, jantung berdebar,edema, pusing dan palpitasi
f. Kontraindikasi
Syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan, menyusui
g. Interaksi Obat
1. Metformin : Amlodipin dapat menurunkan efek dari Metformin melalui
interaksi farmakodinamik.
2. Nitrat : Interaksi yang terjadi antara Amlodipin dan Gliseriltrinitrat serta
Amlodipin dan Isosorbit dinitrat yaitu interaksi farmakodinamik sinergis.
Peningkatan efek hipotensi dapat terjadi ketika calcium – channel blocker
diberikan bersamaan dengan nitrat. Peningkatan efek hipotensi dan pingsan
akibat efek yang bersifat aditif dari calcium – channel blocker dan nitrat.
h. Perhatian dan Peringatan
1) Jangan memberikan Amlodipine kepada anak berusia di bawah 6 tahun.
2) Sebelum mengonsumsi Amlodipine, beri tahu dokter jika Anda memiliki
riwayat penyakit liver, penyakit jantung, dan tekanan darah rendah.
3) Jangan mengkonsumsi Amlodipine bersama dengan vitamin, obat herbal, atau
obat untuk demam, flu, batuk, dan asma, kecuali yang diresepkan oleh dokter.
4) Amlodipine bisa menimbulkan pusing. Setelah mengonsumsi obat ini, hindari
mengemudi, mengoperasikan peralatan berat, atau melakukan aktivitas yang
butuh kewaspadaan dan konsentrasi, khususnya pada orang tua.
9. ALPRAZOLAM (Medscape, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Alprazolam 0,5 mg
48

b. Indikasi
Untuk mengatasi gangguan kecemasan dan gangguan panik. Obat ini dapat
mengurangi ketegangan psikologis yang dirasakan, sehingga membuat orang yang
mengonsumsinya dapat merasa lebih tenang.
c. Mekanisme Kerja
Alprazolam bekerja pada kompleks reseptor GABAA-Benzodiazepine.
Sistem kimiawi dan reseptor GABA menghasilkan inhibisi atau efek menenangkan
Alprazolam pada sistem saraf pusat. Benzodiazepine, khususnya Alprazolam
menyebabkan supresi yang nyata pada aksis hipothalamikpituitari-adrenal.
Kemampuan terapetik alprazolam menyerupai benzodiazepine lainnya, meliputi
ansiolitik, antikonvulsan, muscle relaxant, hipnotik, dan amnesik.
d. Dosis dan Aturan Pakai
Kecemasan
 Dewasa (18-64 tahun)
0,25-0,5 mg sebanyak 3 kali sehari. Dosis ditingkatkan setiap 3-4 hari sekali.
Dosis maksimum 4 mg per hari bila dibutuhkan.
 Lansia
0,25 mg sebanyak 2-3 kali per hari. Dosis dapat ditingkatkan jika dibutuhkan.
Gangguan Panik
 Dewasa (18-64 tahun)
0,5-1 mg sebanyak 1-3 kali per hari. Dosis ditingkatkan tiap 3-4 hari. Dosis
maksimum 4-6 mg per hari.
 Lansia
0,25 mg satu kali per hari. Dosis dapat ditingkatkan jika dibutuhkan.
e. Efek Samping
Mengantuk, depresi, sakit kepala, konstipasi, diare, dan gangguan nafsu makan.
f. Kontraindikasi
Alprazolam kontraindikasi pada pasien yang diketahui memiliki
hipersensitivitas terhadap obat ini atau obat golongan benzodiazepine lain.
49

Alprazolam disarankan untuk tidak digunakan pada pasien dengan penyakit


pulmonal. Penggunaan bersamaan dengan depresan saraf pusat, terutama opioid,
akan meningkatkan risiko depresi napas, penurunan tekanan darah, dan kematian.
g. Interaksi Obat
Efek depresan SSP yang ditingkatdengan anxiolitik atau obat penenang
lainnya, antipsikotik (neuroleptic), hipnotik, antidepresan, analgetik narkotika,
obat antiepilepsi, anestesi, antihistamin sedative. Peningkatan konsentrasi plasme
dengan inhibitor CYP3A4 (misa, Nefazodone, Fluvoxamine, Cimetidine,
Fluoxetine, Propoxyphene, Kontrasepsi oral, Sertraline, Diltiazem, Isoniazid,
antibiotik makrolida. Dapat meningkatkan konsentrasi Digoxin dalam plasma.
Bersifat fatal bila dikombinasi dengan Ketoconazole, dan antijamur tipe azole
lainnya dikarenakan peningkatan efek depresan melalui penghambatan CYP3A4.
h. Perhatian dan Peringatan
 Beri tahu dokter jika Anda memiliki riwayat penyakit paru obstruktif kronis
(PPOK), emfisema, bronkitis, gangguan ginjal, gangguan hati, sleep apnea,
glaukoma, obesitas, dan depresi.
 Harap waspada jika pernah menyalahgunakan NAPZA dan sedang
mengonsumsi obat jamur Ketoconazole.
 Hindari mengemudi atau mengoperasikan alat berat saat menjalani pengobatan
dengan Alprazolam. Obat ini berpotensi menyebabkan pusing dan kantuk.
 Orang lanjut usia lebih sensitif pada Alprazolam, sehingga mudah mengantuk
dan bisa mengalami gangguan keseimbangan.
10. SPIRONOLACTONE (MIMS, 2020) (Medscape, 2020)
a. Komposis/Sediaan
Sediaan tablet mengandung Spironolactone 25 mg dan 50 mg
b. Indikasi
Hiperaldosteronisme Primer, Kondisi-kondisi edematosa untuk
pasien dengan gagal jantung kongestif, sirosis hati disertai dengan edema
dan atau asites dan sindrom nefrotik, dan Hipertensi esensial.
50

c. Mekanisme Kerja
Spironolactone bekerja sebagai antagonis aldosteron, berperan
terutama melalui pengikatan kompetitif reseptor-reseptor pada tempat
pertukaran natrium-kalium yang tergantung pada aldosteron pada distal
Convoluted renal tubule.
d. Dosis dan Aturan Pakai
3. Hiperaldosteronisme Primer :
Bila waktu test lama diberikan dosis 400 mg/hari selama 3-4 minggu.
Bila waktu test singkat diberikan dosis 400 mg/hari selama 4 hari.
4. Edema Jantung : 50-100 mg/hari
Edema Sirosis Hati : 300 mg-600 mg/hari
Edema akibat sindrom nefrotik : 100-200 mg/hari
5. Hipertensi Esensial : Dosis awal 25 mg/hari, kemudian dinaikkan
menjadi 100 mg/hari dalam dosis tunggal atau dosis terbagi.
e. Efek Samping
Pendarahan lambung, ulkus, gastritis, hiperkalemia, hiponatremia,
nyeri dada, ruam kulit(eritema, gatal), pusing, sakit kepala, mual, muntah,
diare, disfungsi ereksi, pembengkakan di payudara.
f. Kontraindikasi
Spironolactone dikontraindikasikan pada kondisi anuria, gangguan
ginjal dan hiperkalemia. Pada pasien dengan gagal jantung dan gangguan
ginjal, Spironolactone dikontraindikasikan pada kadar kalium > 5 mEq/L
atau kreatinin darah > 4 mg/dL karena risiko tinggi menyebabkan
hiperkalemia yang fatal.
g. Interaksi Obat
1. ACEI/ARB : Penggunaan bersamaan dengan Candesartan dapat
meningkatkan kada kalium (Hiperkalemia)
2. NSAIDs : Pemberian bersamaan obat golongan NSAIDs seperti
aspirin dapat menyebabkan penurunan efek diuretik, natriuretik dan
51

antihipertensi dari Spinorolactone, serta dapat meningkatkan kadar


kalium (Hiperkalemia).
h. Perhatian dan Peringatan
Spironolactone dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada
pasien dengan gangguan ginjal, gagal jantung, dan/atau mendapatkan obat-
obatan yang berinteraksi menyebabkan hiperkalemia. Penggunaan
suplemen kalium perlu dihindari pada pasien yang mengonsumsi
Spironolactone. Evaluasi fungsi ginjal dan kalium darah perlu dilakukan.
52

BAB IV
PEMBAHASAN

Studi kasus pasien dengan diagnosis gagal jantung dan jantung koroner
diambil dari Rekam Medik (RM) pasien selama pasien dirawat di ruang perawatan
Cardiac di Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau Kota Parepare. Data yang
diperoleh diambil dari status Rekam Medik selama pasien berada di Rumah Sakit yaitu
sejak tanggal 22 April 2021 sampai 26 April 2021. Selanjutnya dilakukan analisis
rasionalitas terhadap terapi yang diberikan pada pasien dan diberikan rekomendasi atau
solusi dari permasalahan yang diperoleh.
Pasien perempuan atas nama Ny. IS, berusia 52 tahun datang ke instalasi gawat
darurat Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau Kota Parepare dengan keluhan
utama nyeri dada disebelah kiri saja, sesekali sesak, lemas, dan jantung berdebar-debar.
Diagnosis dokter didasarkan pada hasil pemeriksaan foto Thorax AP
menunjukkan adanya dilatasi pada vascular atas, jantung membesar dan atrium kiri
menonjol. Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya ST elevasi. Selain itu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah dan pemeriksaan kimia. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan pasien mengalami anemia dan hasil pemeriksaan
kimia menunjukkan penurunan fungsi ginjal dengan nilai kreatinine 3,1 dan nilai
ureum 100 mg/dl.
Pada saat masuk rumah sakit pasien IS mengalami nyeri dada, jantung
berdebar-debar, sesak nafas, lemas dan sulit tidur. Pasien IS mengalami nyeri dada
selama 5 hari dan dihari ke-6 nyeri dada berkurang. Untuk pengobatan nyeri dada pada
pasien diberikan Nitrogliserin atau Glyceryl trinitrate (NTG) IV melalui syringe pump.
NTG adalah nitrovasodilator yang digunakan dalam manajemen angina pektoris, gagal
jantung dan infark miokard. NTG dipercaya dapat memberikan efek vasodilatornya
melalui pelepasan nitrat oksida yang menyebabkan rangsangan guanylatecyclase di
pembuluh darah sel otot polos. NTG menghasilkan peningkatan siklik
guanosinusmonofosfat. Nukleotida ini menginduksi relaksasi, dengan menurunkan
53

konsentrasi kalsium di sitosol. Dalam aksinya pada otot vaskular, dilatasi vena lebih
mendominasi daripada dilatasi arteriol. Dilatasi vena menurunkan aliran balik vena
akibat pooling vena, dan menurunkan volume ventrikel kiri dan tekanan diastolik
(disebut penurunan preload). Dilatasi arteriol yang lebih kecil atau kurang penting
mengurangi resistensi vaskular perifer dan tekanan ventrikel kiri pada sistol (disebut
reduksi di afterload). Efek konsekuensinya adalah penurunan kebutuhan oksigen
miokard. NTG juga memiliki efek vasodilator koroner, yang meningkatkan aliran
darah koroner regional menjadi iskemik, daerah yang menghasilkan peningkatan suplai
oksigen ke miokardium. Dalam pengobatam gagal jantung akut NTG diberikan secara
intravena dalam dosis awal 5 sampai 25 mikrogram / menit (Dipiro, Joseph T et al.,
2020). Sedangkan dosis yang diberikan ke pasien 35 mcg/menit/SP. Seharusnya
dosisnya diturunkan agar pasien tidak mengalami efek samping yang serius dari obat
tersebut.
Anti platelet menjadi salah satu obat penting untuk pencegahan sekunder pada
pasien-pasien yang menderita penyempitan pembuluh darah koroner atau penyakit
jantung koroner (PJK) (Goodman & Gilman's, 2018). Pasien diberikan kombinasi obat
Clopidogrel dan Aspirin sebagai DAPT (Dual Antiplatelet Therapy). Kombinasi
penghambat reseptor P2Y12 dan Aspirin tetap menjadi terapi andalan pengobatan
farmakologis untuk pasien yang menjalani PCI dengan BMS atau stand eluting drug
(DES). Diantara pasien menjalani PCI, DAPT dengan Aspirin dan antagonis reseptor
P2Y12 selama 4-6 minggu secara signifikan mengurangi tingkat MACE dibandingkan
dengan kombinasi Aspirin dan terapi antikoagulasi oral (OAC ) atau terapi antiplatelet
Aspirin tunggal (Degrauwe et al., 2017). Akan tetapi penggunaan DAPT harus
dipertimbangkan rasio penggunaannya, dikarekan Clopidogrel dan Aspirin dapat
berinteraksi menyebabkan peningkatan resiko pendarahan (bleeding). Oleh karena itu,
dosis Aspirin bila dikombinasikan dengan Clopidogrel direkomendasikan dosisnya
diturunkan hanya menggunakan dosis 80 mg (Katzung & Trevor’s., 2015). Akan tetapi,
penggunaan Clopidogrel dihentikan pada hari ke-3 dikarenakan efek samping berupa
nyeri dada dan pruritis yang dialami oleh pasien.
54

Pemberian antagonis aldosteron, yaitu Spironolakton bekerja dengan cara


berkompetisi dengan aldosteron pada bagian reseptor di tubulus distal, sehingga dapat
menghambat efek aldosteron pada otot halus arteriola dengan baik, meningkatkan
ekskresi garam dan air, mencegah kehilangan kalium dan ion hydrogen.
Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau
mengurangi efek hipokalemia dari diuretik lain, khususnya penggunaan loop diuretik
(Furosemide) (Goodman & Giman's, 2018). Furosemide adalah diuretik kuat dengan
aksi cepat. Furosemide digunakan untuk pengobatan edema yang berhubungan dengan
gagal jantung, termasuk edema paru dan gangguan ginjal. Furosemide juga digunakan
dalam pengobatan hipertensi. Furosemide menghambat reabsorpsi elektrolit terutama
pada lekungan henle dan juga di tubulus distal sehingga terjadi peningkatan ekskresi
ion natrium, kalium, kalsium, dan klorida, serta ekskresi air meningkat (Dipiro, Joseph
T et al., 2020). Spironolactone dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada
pasien dengan gagal ginjal, atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, β-
blocker, AINS atau dengan suplemen kalium. Penggunaan harus dihindarkan bila
kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2020). Sehingga penggunaan Spironolactone pada ny. IS tidak
direkomendasikan dikarenakan pasien tersebut memiliki nilai creatine 3,1>2,5 mg/dl.
Pasien diberikan obat antihipertensi, yaitu ARB (Angiotensin II Reseptor Blokers)
dan Amlodipine. Terapi obat golongan ARB (Candesartan) menjadi terapi lini kedua
pengganti ACEI pada pasien dengan HFrEF Stadium C yang mentolerir ACEI.
Candesartan adalah antagonis reseptor angiotensin II yang digunakan dalam terapi
hipertensi, gagal jantung pada pasien dengan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri.
Sedangkan Amlodipine adalah obat golongan dihidropiridin CCB (Calsium Channel
Blokers) bekerja dengan memperlebar arteriola periferal dan dengan demikian,
menurunkan hambatan periferal total (afterload) terhadap kerja jantung. Karena
kecepatan jantung tetap stabil, beban jantung menjadi berkurang sehingga menurunkan
konsumsi energi myocardial dan oksigen (Goodman & Gilman's, 2018).
55

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lee, Seung-Ah et al (2018),


menunjukkan bahwa penggunaan Amlodipin sebagai terapi gagal jantung efeknya
lebih rendah bila dibandingkan dengan ACEI/ARB dan menunjukkan efek terapi
sebanding dibandingkan dengan rejimen konvensional berbasis non-CCB seperti
diuretik atau ß-blocker. Penghambat ACE lebih efektif mencegah penyakit arteri
koroner dibandingkan CCB (Lee et al., 2018). Kombinasi kedua obat antihipertensi
menyebabkan penurunan tekanan darah dibawah batas normal sehingga pasien
mengalami lemas dan susah tidur. Terapi candesartan dihentikan dikarenakan efek
samping dari candesartan berupa nyeri dada dan pruritis dialami oleh pasien.
Ranitidin adalah obat antagonis reseptor H2 yang bekerja dengan menghambat
produksi asam lambung dengan bersaing secara reversibel dengan histamin untuk
mengikat reseptor H2 di membrane basolateral sel parietal (Goodman & Gilman's,
2018). H2 blocker juga efektif dalam mempercepat penyembuhan lambung dan
mencegah kambuhnya tukak lambung. Penghambat H2 intravena berguna untuk
mencegah erosi lambung dan perdarahan yang terjadi pada pasien stres di unit
perawatan intensif (Katzung & Trevor’s., 2015).
Pemberian Ranitidine pada pasien ny. IS bertujuan untuk mencegah gastritis
dan ulkus lambung akibat efek samping penggunaan NSAID dan Spironolactone
(Medscape, 2020).
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemantauan terapi obat yang dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa secara umum Pasien ny. IS yang didiagnosis Gagal jantung dan
jantung koroner telah mendapatkan beberapa terapi yang sesuai, namun penggunaan
beberapa obat perlu diperhatikan seperti penggunaan kombinasi antiplatelet yang
berisiko pendarahan, kombinasi antihipertensi yang menyebabkan penurunan tekanan
darah dibawah batas normal dan pemberian Spironolacton dan Candesartan yang dapat
menyebabkan hiperkalemia dan kontraindikasi pada pasien gagal ginjal. Untuk dosis
NTG sebaiknya diturunkan menjadi 25 mcg/menit/SP.

V.2 Saran
Pada kasus disarankan melakukan monitoring dan pemantauan terapi
penggunaan obat diuretik dan antihipertensi khususnya golongan ARB(Angiotensin II
Reseptor Blokers) yang dapat memicu hiperkalemia dan peningkatan nilai creatinine
pasien.

56
DAFTAR PUSTAKA

Caroline S. Zeind & Michael G. Carvalho. (2018). Applied therapeutics: The clinical use of drugs,
12th edition. by McGraw Hill.

de Lemos, J. A., & Omland, T. (2018). Chronic Coronary Artery Disease: A Companion to
Braunwald’s Heart Disease. In Chronic Coronary Artery Disease: A Companion to
Braunwald’s Heart Disease.

Degrauwe, S., Pilgrim, T., Aminian, A., Noble, S., Meier, P., & Iglesias, J. F. (2017). Dual
antiplatelet therapy for secondary prevention of coronary artery disease. Open Heart, 4(2),
1–16. https://doi.org/10.1136/openhrt-2017-000651

Dipiro, Joseph T., Gary C. Yeye., L. Michael Posey., Stuart T. Haines. (2020). Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach. 11rd Edition. by McGraw Hill.

Goodman & Gilman's. (2018). The Pharmacological Basis Of Therapeutics Thirteenth Edition. by
McGraw-Hill Education

Katzung & Trevor’s. (2015). Pharmacology Examination & Board ReviewMalakar, A. K.,
Choudhury, D., Halder, B., Paul, P., Uddin, A., & Chakraborty, S. (2019). A review on
coronary artery disease, its risk factors, and therapeutics. Journal of Cellular Physiology,
234(10), 16812–16823. https://doi.org/10.1002/jcp.28350

Kemenkes RI. (2019). Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian Kesehatan RI, 53(9),
1689–1699.

Lee, S. A., Choi, H. M., Park, H. J., Ko, S. K., & Lee, H. Y. (2018). Amlodipine and cardiovascular
outcomes in hypertensive patients: Meta-analysis comparing amlodipine-based versus other
antihypertensive therapy. Korean Journal of Internal Medicine, 29(3), 315–324.
https://doi.org/10.3904/kjim.2018.29.3.315

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. (2020). Pedoman Tatalaksana Gagal


Jantung. 1.

Pratiwi, F. W., & Saragi, J. S. (2018). Pemantauan Kateterisasi Jantung pada Tindakan PTCA

57
58

terhadap Pasien CAD. Jurnal Arsip Kardiovaskular Indonesia, 3(1), 182–186.

Stout, K. K., Daniels, C. J., Aboulhosn, J. A., Bozkurt, B., Broberg, C. S., Colman, J. M., Crumb,
S. R., Dearani, J. A., Fuller, S., Gurvitz, M., Khairy, P., Landzberg, M. J., Saidi, A., Valente,
A. M., Van Hare, G. F., Levine, G. N., O’Gara, P. T., Halperin, J. L., Albert, N. M., …
Hundley, J. (2019). 2018 AHA/ACC guideline for the management of adults with congenital
heart disease: Executive summary: A report of the American College of Cardiology/American
Heart Association Task Force on clinical practice guidelines. In Circulation (Vol. 139, Issue
14). https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000602

Umara, A. F., Nur, S., Ahmad, A., Habibi, A., Al, A., Nainar, A., Hastuti, H., & Purnamasari, E.
(2020). Deteksi Dini Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Pegawai Media Karya
Kesehatan : Volume 3 No 2 November 2020 Pendahuluan Menurut World Health
Organization ( WHO , 2020 ) Cardiovascular Diseases ( CVDs ) merupakan sekelompok
gangguan pada jantung dan pembu. Media Karya Kesehatan, 3(2), 122–133.

Willerson, James T. & David R. Holmes. (2015). Coronary artery disease. Cardiovascular
Medicine. Springer-Verlag London.

https://reference.medscape.com/drug-interactionchecker

https://www.mims.com/

Anda mungkin juga menyukai