Anda di halaman 1dari 53

Laporan Kasus

CONGESTIVE HEART FAILURE EC CAD +


CARDIOMYOPATHY + HEPATOPATHY CONGESTIVE

Oleh:
Muhammad Galang Samudra, S.Ked. 04084821921012
Muhammad Ikbar Fauzan, S.Ked. 04084821921020
Radyat Fachreza, S.Ked. 04084821921062

Pembimbing:
dr. M. Ayus Astoni, Sp.PD, KGEH, FINASIM, MARS.

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD PALEMBANG BARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul

CONGESTIVE HEART FAILURE EC CAD +


CARDIOMYOPATHY + HEPATOPATHY CONGESTIVE

Oleh:

Muhammad Galang Samudra, S.Ked. 04084821921012


Muhammad Ikbar Fauzan, S.Ked. 04084821921020
Radyat Fachreza, S.Ked. 04084821921062

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUD
PALEMBANG BARI, Periode 2 September – 11November 2019.

Palembang, Oktober 2019


Pembimbing

dr. M. Ayus Astoni, Sp.PD, KGEH, FINASIM, MARS

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “CONGESTIVE HEART FAILURE EC CAD +
CARDIOMYOPATHY + HEPATOPATHY CONGESTIVE”. Laporan kasus ini
merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Senior
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD
Palembang BARI.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. M. Ayus Astoni,
Sp.PD, KGEH, FINASIM, MARS selaku pembimbing dalam penulisan laporan
kasus ini, serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat
diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................4
GAGAL JANTUNG KONGESTIF..................................................4
PENYAKIT JANTUNG KORONER...............................................13
KARDIOMIOPATI..........................................................................19
CONGESTIVE HEPATOPATHY...................................................23
BAB III STATUS PASIEN..............................................................................32
BAB IV ANALISIS KASUS............................................................................44
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................48

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa


kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika
disertai dengan peninggian volume diastolik secara abnormal.Gagal jantung
kongestif biasanya disertai dengan kergagalan pada jantung kiri dan jantung kanan
(Hauser et al, 2005).
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Di
Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang
lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di Amerika
Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per tahunnya. Di
Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit gagal jantung.
Meskipun terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka
kematian dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal
jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang ringan1.
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran
darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur
mitral leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri saat diastol2.
Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya gagal jantung
kongestif di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi dari
stenosis mitral telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam rematik.
Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis turut
berperan pada penurunan insidensi ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular menduduki urutan ke-2
setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung.
Penyebab lain dari CHF(Congestiva Heart Failure ) ini adalah Sindrom
koroner akut (SKA) terdiri dari angina pectoris tak stabil, infark miokard akut
1
tanpa elevasi segmen ST dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) perbedaan antara angina pectoris tak stabil dengan infark
miokard tanpa elevasi segmen ST adalah adanya penada jantung pada
pemeriksaan. Diagnosis angina pectoris tak stabil bila pasien memiliki keluhan
iskemia tanpa disertai kenaikan penanda jantung seperti troponin dan CK-MB,
dengan atau tanpa disertai perubahan EKG untuk iskemia seperti depresi segmen
ST atau elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T negative.
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi
ventrikel kiri3. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-
8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif.4 Pada negara maju,
sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal jantung
kongestif.Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel
kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner5.
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital.
Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated
cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal
jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi
sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis6.
Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sering dijumpai
pada penderita gagal jantung. Kelainan ini ditandai dengan adanya gejala klinis
gagal jantung (terutama gagal jantung kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan
tidak ditemukan penyebab lain dari disfungsi hati (Allen, 2008; Lau, 2002).
Congestive hepatopathy juga dikenal dengan istilah cardiac hepatopathy, nutmeg
liver, atau chronic passive hepatic congestion. Bila kondisi ini berlangsung lama
akan mengakibatkan timbulnya jaringan fibrosis pada hati, yang sering disebut
dengan cardiac cirrhosis atau cardiac fibrosis7. Patogenesis congestive
hepatopathy umumnya dianggap sebagai reaksi stroma hati terhadap hipoksia,

2
tekanan atau nekrosis hepatoselular. Tetapi hal ini tidak menjelaskan hubungan
antara gejala dan tingkat keparahan fibrosis, dimana pada pasien jantung
dekompensasi pada derajat yang sama, fibrosis tidak selalu terjadi. Patogenesis
congestive hepatopathy penting, karena definisi congestive hepatopathy masih
menjadiperdebatan7.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gagal Jantung Kongestif.


2.1.1. Definisi.
Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks yang merupakan
hasil dari gangguan fungsional atau struktural jantung di mana terjadi gangguan
pengisian ventrikel atau pemompaan darah. Gangguan jantung ini dapat
merupakan hasil langsung akibat disfungsi sistotik ventrikel kiri dan/atau
disfungsi diastolik ataupun dari bawaan yang menghasilkan sekumpulan gejala
dan tanda klinis. 9

2.1.2. Etiologi. 10,11


Tabel 1. Penyebab gagal jantung kiri
Gangguan kontraktilitas
Infark miokardium
Transient myocardial ischemia
Beban volume: regurgitasi katup (mitral atau aorta)
Kardiomiopati dilatasi
Peningkatan afterload (beban tekanan)
Hipertensi sistemik
Obstruksi aliran: stenosis aorta
Obstruksi pengisian ventrikel kiri
Stenosis mitral
Konstriksi pericardial atau tamponade
Gangguan relaksasi ventrikel
Hipertrofi ventrikel kiri
Kardiomiopati hipertrofi
Kardiomiopati restriktif
Sumber: Shah, R.V., Fifer, M.A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed.
Pathophysiology of Heart Disease. 4thed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 234

4
Tabel 2. Penyebab gagal jantung kanan
Penyebab jantung
Gagal jantung kiri
Stenosis katup pulmonal
Infark ventrikel kanan
Penyakit parenkim paru
Penyakit paru obstruksi kronis
Penyakit paru interstisial
Adult respiratory distress syndrome
Infeksi paru kronis atau bronkiektasis
Penyakit vaskular paru
Emboli paru
Hipertensi pulmonal primer
Sumber: Shah, R.V., Fifer, M.A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed.
Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 235

2.1.3. Klasifikasi. 11
Dibedakan atas onset, lokasi dan fungsi terjadinya gagal jantung, yaitu:
1. Gagal jantung akut-kronik
a) Gagal jantung akut yang terjadi secara tiba-tiba, ditandai dengan
penurunan kardiak output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan.
Ini dapat mengakibatkan edama paru dan kolaps pembuluh darah.
b) Gagal jantung kronik terjadi secara perlahan ditandai dengan
penyakit jantung iskemik, penyakir paru kronis. Pada gagal jantung
kronik terjadi retensi air dan sodium pada ventrikel sehingga
menyebabkan hipervolemis, akibat ventrikel dilatasi dan hipertrofi.

5
2. Gagal jantung kanan-kiri
a) Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa
darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal,
hipertensi dan kelainan pada katub aorta/mitral.
b) Gagal jantung kanan disebabkan peningkatan tekanan pulmonal
akibat gagal jantung kiri yang berlangsung cukup lama sehingga
cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik di kaki,
asites, hepatomegali, efusi pleura,dan lain-lain.

3. Gagal jantung sistolik-diastolik


a) Gagal jantung sistolik terjadi karena gangguan kontraktilitas
ventrikel kiri sehingga ventrikel kiri tidak mampu memompa darah
akibatnya kardiak output menurun dan ventrikel hipertrofi.
b) Gagal jantung diastolik terjadi karena ketidak mampuan ventrikel
dalam pengisian darah akibatnya stroke volume kardiak output
turun.

2.1.4. Patofisiologi. 12,13


Gagal jantung kongestif tidak hanya mengindikasikan ketidakmampuan
jantung untuk mempertahankan aliran oksigen yang adekuat, tetapi juga
merupakan suatu respon sistemik untuk mengkompensasi ketidakmampuan itu.
Determinan dari curah jantung adalah kecepatan denyut jantung dan
volume sekuncup. Volume sekuncup ditentukan oleh preload (volume yang
masuk ke ventrikel kiri), kontraktilitas, dan afterload (impedansi aliran dari
ventrikel kiri). Variabel ini penting dalam memahami patofisiologi dari gagal
jantung.
Preload biasanya dinyatakan sebagai volume akhir diastolik dari ventrikel
kiri dan secara klinis dapat dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan.
Kontraktilitas menggambarkan pemompaan oleh otot jantung dan biasanya
dinyatakan sebagai fraksi ejeksi.

6
Afterload adalah tahanan yang harus dilawan oleh jantung untuk
memompa darah keluar, biasanya dinilai dengan mengukur tekanan arteri rata –
rata. Gangguan jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dari
variabel – variabel di atas. Jika curah jantung menurun, kecepatan denyut jantung
atau volume sekuncup harus berubah untuk mempertahankan perfusi normal. Jika
volume sekuncup tidak bisa dipertahankan, maka kecepatan denyut jantung harus
meningkat untuk mempertahankan curah jantung (Figueroa, 2006).

Gambar 1. Determinan dari curah jantung


Sumber: Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis,
Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory Care, University of
Texas Health Science Center.
Akan tetapi, patofisiologi dari gagal jantung kongestif tidak hanya
mencakup abnormalitas struktural jantung, tetapi juga mencakup respon
kardiovaskular terhadap perfusi yang menurun dengan cara pengaktivasian dari
sistem neurohumoral (Jessup, 2003). Sistem renin-angiotensin akan teraktivasi
untuk meningkatkan preload dengan cara menstimulasi retensi garam dan air,
meningkatkan vasokonstriksi, dan memperbesar kontraksi jantung.
Pada awalnya, respon ini mencukupi kebutuhan, namun aktivasi
berkepanjangan akan mengakibatkan kehilangan miosit dan perubahan pada
miosit dan matriks ekstraselular yang masih ada. Miokardium yang tertekan akan
mengalami perubahan bentuk dan dilatasi sebagai respon dari hal tersebut. Proses
ini juga merusak fungsi paru, ginjal, otot, pembuluh darah, dan beberapa organ
lainnya.

7
Perubahan bentuk jantung sebagai dekompensasi juga menyebabkan
beberapa komplikasi, seperti regurgitasi mitral akibat peregangan dari anulus
katup dan aritmia jantung akibat perubahan bentuk atrium. Pasien dengan
peningkatan tekanan diastolik akhir akan mengalami edema paru dan dispnea
(Figueroa, 2006).

2.1.5. Gejala Klinis. 12


Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatnya tekanan vena
pulmonalis dan paru menyebabkan pasien menjadi sesak nafas dan ortopnea.
Gagal jantung kanan terjadi jika kelainannya menyebabkan kelemahan ventrikel
kanan, seperti pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboembli paru
kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan peningkatan
edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis (Panggabean, 2006).
Pada gagal jantung tahap akhir dapat ditemukan pola pernafasan hiperpnea
dan apnea yang disebut sebagai pernafasan Cheyne-Stokes. Beberapa faktor yang
menyebabkan pernafasan ini adalah hiperventilasi akibat kongesti paru dan
hipoksia. Hiperventilasi menyebabkan kadar CO2 arteri menjadi rendah dan
memicu apnea sentral (Gopal, 2009).
Tabel 3. Gejala klinis gagal jantung
Gagal Jantung Kiri Gagal Jantung Kanan
Gejala Temuan Klinis Gejala Temuan Klinis
Dyspnoea Diaphoresis Edem Perifer Tekanan Vena
Orthopnoea Takikardi
Jugular
Paroxysmal Takipnoe Tidak nyaman pada
meningkat
Nocturnal Dyspnoea perut kuadran
Ronki paru Hepatomegali
Fatigue P2 mengeras kanan atas Edem perifer
S3 gallop

2.1.6. Diagnosis. 13
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiografi, foto toraks, ekokardiografi-Doppler, dan kateterisasi. Kriteria
Framingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal kongestif (Panggabean,
2006).

8
Tabel 4. Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung kongestif
Kriteria Mayor
Paroksismal nokturnal dispnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peningkatan tekanan vena jugularis ( > 16 cmH2 O)
Refleks hepatojugular

Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea d’ effort
Hepatomegali
Efusi Pleura
Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Takikardia ( > 120 kali/menit)
Mayor atau Minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
Sumber: Braunwald, E., 2005. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L
et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGraw-
Hill, 1371

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila minimal ada 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor (Braunwald, 2005).

9
The New York Heart Association (NYHA) Klasifikasi Fungsional
menyediakan cara yang mudah untuk mengklasifikasi tingkat gagal jantung. Ini
menempatkan pasien dalam satu dari empat kategori berdasarkan berapa banyak
mereka dibatasi selama aktivitas fisik, keterbatasan / gejala dalam hal pernapasan
normal dan berbagai tingkatan dalam sesak napas dan atau nyeri angina.

Tabel 5. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association


Kelas Simptom
I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
II Pembatasan ringan pada aktivitas fisik, dispnea dan kelelahan pada
aktivitas fisik sedang, seperti menaiki tangga dengan cepat.
III Pembatasan pada aktivitas fisik, dispnea muncul pada aktivitas
fisik minimal.
IV Pembatasan berat pada aktivitas fisik, simptom muncul bahkan
pada saat istirahat.
Sumber: Shah, R.V., Fifer,M. A., 2007. Heart Failure. In: Lilly, L.S., ed.
Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 242

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang. 12,13


1. Foto rontgen dada:
Berguna untuk mandeteksi kardiomegali, kongesti paru, dan akumulasi
cairan pleura, dan dapat menunjukkan adanya penyakit paru atau infeksi yang
menyebabkan atau memberikan kontribusi terhadap dispnea. Temuan ini bersifat
prediktif.
2. Elektrokardiografi:
Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, iskemia,
hipertrofi) dapat ditemukan low voltage, T inverse, QS, depresi st dll.
3. Tes Laboratorium:

10
Evaluasi diagnostik rutin pasien dengan gagal jantung diduga termasuk
hitung darah lengkap, serum elektrolit, kreatinin serum, diperkirakan GFR,
glukosa, tes fungsi hati dan urine.
4. Echocardiography:
Echocardiography tersedia secara luas, cepat, nonvasif dan aman, dan
menyediakan informasi secara ekstensif tentang anatomi jantung, dinding gerak,
dan fungsi katup.

2.1.8. Penatalaksanaan. 9,11,13


a) Terapi Farmakologi
1. Glikosida Jantung
Digitalis , meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan
memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan : peningkatan curah
jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diuresis dan
mengurangi edema. Preparat digitalis seperti digoxin 0,5 mg secara IV atau IM
terutama bila sudah ada takikardia supraventrikular.
2. Terapi Diuretik
Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal.
Penggunaan harus hati – hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia.
Pemberian diuretik seperti furosemid (40- 80 mg) secara IV.
3. Penghambat ACE
Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan
pada gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
4. Penyekat Reseptor Beta
Penyekat respetor beta bermanfaat sama seperti penghambat ACE.
Penyekat reseptor beta yang digunakan biasanya adalah carvedilol, bisoprolol atau
metoprolil dan digunakan bersama penghambat ACE dan diuretik.
5. Terapi Vasodilator.
Obat-obat vasoaktif digunakan untuk mengurangi impedansi tekanan
terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan

11
ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel
kiri dapat diturunkan.
6. Antikoagulan dan Antiplatelet.
Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pada penderita
dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu
diberikan pada fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis
dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel.

b) Terapi Non Farmakologi


Anjuran umum:
1. Edukasi: terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
2. Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan dapat dilakukan seperti biasa.
3. Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan
4. Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

Tindakan umum:
1. Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 gram pada gagal jantung ringan dan 1
gram pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat
dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
2. Hentikan rokok
3. Aktivitas fisik ( latihan jasmani: jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut
jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang)
4. Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

2.1.9. Prognosis. 12
Menentukan prognosis pada gagal jantung sangat kompleks, banyak
variable yang harus diperhitungkan seperti etiologi, usia, ko-morbiditas, variasi
progresi gagal jantung tiap individu yang berbeda. Dampak spesifik gagal jantung
terhadap setiap individu sulit untuk diperkirakan.

12
Penyakit Jantung Koroner
2.2.1 Definisi 14
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung akibat
otot jantung kekurangan darah karena adanya penyempitan pembuluh darah
koroner. Pada waktu jantung harus bekerja lebih keras terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan asupan oksigen, hal inilah yang
menyebabkan nyeri dada. Kalau pembuluh darah tersumbat sama sekali,
pemasokan darah ke jantung akan terhenti dan kejadian inilah yang disebut
dengan serangan jantung. Adanya ketidakseimbangan antara ketersedian
oksigen dan kebutuhan jantung memicu timbulnya PJK. Secara klinis PJK
ditandai dengan nyeri dada atau terasa tidak nyaman di dada atau dada terasa
tertekan berat ketika sedang mendaki, kerja berat ataupun berjalan terburu-
buru pada saat berjalan di jalan datar atau berjalan jauh. Pemeriksaan
Angiografi dan Elektrokardiogram (EKG) digunakan untuk memastikan
terjadinya PJK. Hasil pemeriksaan EKG yang menunjukkan terjadinya
iskemik merupakan salah satu tanda terjadinya PJK secara klinis.

2.2.2 Etiologi 14,15


Etiologi penyakit jantung koroner adalah adanya penyempitan,
penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menghentikan aliran darah ke
otot jantung yang sering ditandai dengan nyeri. Dalam kondisi yang parah,
kemampuan jantung memompa darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak
sistem pengontrol irama jantung dan berakhir dan berakhir dengan kematian.
Faktor risiko dapat berupa semua faktor penyebab (etiologi) ditambah
dengan faktor epidemiologis yang berhubungan secara independen dengan
penyakit. Faktor – faktor utama penyebab serangan jantung yaitu perokok
berat, hipertensi dan kolesterol. Faktor pendukung lainnya meliputi
obesitas, diabetes, kurang olahraga, genetik, stres, pil kontrasepsi oral dan
gout.
Faktor risiko seperti umur, keturunan, jenis kelamin, anatomi pembuluh

13
koroner dan faktor metabolisme adalah faktor-faktor alamiah yang sudah
tidak dapat diubah. Namun ada berbagai faktor risiko yang justru dapat
diubah atau diperbaiki. Sangat jarang orang menyadari bahwa faktor risiko
PJK bisa lahir dari kebiasaaan hidup sehari-hari yang buruk misalnya pola
komsumsi lemak yang berlebih, perilaku merokok, kurang olaraga atau
pengelolaan stress yang buruk.
Dari faktor risiko tersebut ada yang dikenal dengan faktor risiko mayor
dan minor. Faktor risiko mayor meliputi hipertensi, hiperlipidemia, merokok,
dan obesitas sedangkan faktor risiko minor meliputi DM, stress, kurang
olaraga, riwayat keluarga, usia dan seks. Perempuan lebih rentan terserang
penyakit kardiovaskular dibanding laki- laki. Beban faktor resiko penyakit
kardiovaskular perempuan lebih besar dari laki-laki adalah tingginya LDL,
tingginya TG, dan kurangnya aktivitas fisik. Tiga faktor resiko dominan
penyakit kardiovaskular pada perempuan adalah umur, hiperetnsi dan
kolesterol tinggi.

2.2.3 Patofisiologi 16
Perkembangan PJK dimulai dari penyumbatan pembuluh jantung oleh
plak pada pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah pada awalnya
disebabkan peningkatan kadar kolesterol LDL (low-density lipoprotein) darah
berlebihan dan menumpuk pada dinding arteri sehingga aliran darah
terganggu dan juga dapat merusak pembuluh darah.

Penyumbatan pada pembuluh darah juga dapat disebabkan oleh


penumpukan lemak disertai klot trombosit yang diakibatkan kerusakan dalam
pembuluh darah. Kerusakan pada awalnya berupa plak fibrosa pembuluh
darah, namun selanjutnya dapat menyebabkan ulserasi dan pendaeahan di
bagian dalam pembuluh darah yang menyebabkan klot darah. Pada akhirnya,
dampak akut sekaligus fatal dari PJK berupa serangan jantung.
Pada umumnya PJK juga merupakan ketidakseimbangan antara
penyedian dan kebutuhan oksigen miokardium. Penyedian oksigen
miokardium bisa menurun atau kebutuhan oksigen miokardium bisa

14
meningkat melebihi batas cadangan perfusi koroner peningkatan kebutuhan
oksigen miokardium harus dipenuhi dengan peningkatan aliran darah.
gangguan suplai darah arteri koroner dianggap berbahaya bila terjadi
penyumbatan sebesar 70% atau lebih pada pangkal atau cabang utama arteri
koroner. Penyempitan <50% kemungkinan belum menampakkan gangguan
yang berarti. Keadaan ini tergantung kepada beratnya arteriosklerosis dan
luasnya gangguan jantung.
Gambaran klinik penyakit jantung koroner dapat berupa :
1. Angina pectoris
Angina Pectoris merupakan gejala yang disertai kelainan morfologik
yang permanen pada miokardium. Gejala yang khas pada angina pectoris
adalah nyeri dada seperti tertekan benda berat atau terasa panas ataupun
seperti diremas. Rasa nyeri sering menjalar kelengan kiri atas atau bawah
bagian medial, keleher, daerah maksila hingga kedagu atau ke punggung,
tetapi jarang menjalar ketangan kanan. Nyeri biasanya berlangsung 1-5 menit
dan rasa nyeri hilang bila penderita istirahat. Angina pectoris juga dapat
muncul akibat stres dan udara dingin. Angina pectoris terjadi berulang-
ulang. Setiap kali keseimbangan antara ketersedia oksigen dengan
kebutuhan oksigen terganggu.
2. Infark Miokardium Akut
Merupakan PJK yang sudah masuk dalam kondisi gawat. Pada kasus ini
disertai dengan nekrosis miokardium (kematian otot jantung) akibat
gangguan suplai darah yang kurang. Penderita infark miokardium akut
sering didahului oleh keluhan dada terasa tidak enak (chest discomfort) selain
itu penderita sering mengeluh rasa lemah dan kelelahan.
3. Payah jantung
Payah jantung disebakan oleh adanya beban volume atau tekanan darah
yang berlebihan atau adanya abnormalitas dari sebagian struktur jantung.
Payah jantung kebanyakan didahului oleh kondisi penyakit lain dan akibat
yang ditimbulkan termasuk PJK. Pada kondisi payah jantung fungsi ventrikel
kiri mundur secara drastis sehingga mengakibatkan gagalnya sistem sirkulasi

15
darah.
4. Kematian Mendadak penderita

Kematian mendadak terjadi pada 50% PJK yang sebelumnya tanpa


diawali dengan keluhan. Tetapi 20% diantaranya adalah berdasarkan iskemia
miokardium akut yang biasanya didahului dengan keluhan beberapa minggu
atau beberapa hari sebelumnya.

2.2.4 Manfestasi Klinis 14,15


Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pektoris ialah suatu
sindroma klinis dimana didapatkan nyeri dada yang timbul pada waktu
melakukan aktifitas karena adanya iskemik miorkard. Hal ini menunjukkan
bahwa telah terjadi >70% penyempitan pembuluh darah koronaria. Keadaan
ini bisa bertambah menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma koroner
akut (SKA) atau yang dikenal sebagai serangan jantung mendadak.
Sindrom koroner akut ini biasanya berupa nyeri seperti tertekan benda
berat, rasa tercekik, ditinju, ditikam, diremas, atau rasa seperti terbakar pada
dada. Umumnya rasa nyeri dirasakan dibelakang tulang dada (sternum)
disebelah kiri yang menyebar ke seluruh dada. Rasa nyeri dapat menjalar ke
tengkuk, rahang, bahu, punggung dan lengan kiri. Keluhan lain dapat berupa
rasa nyeri atau tidak nyaman di ulu hati yang penyebabnya tidak dapat
dijelaskan. Sebagian kasus disertai mual dan muntah, disertai sesak nafas,
banyak berkeringat, bahkan kesadaran menurun.

2.2.5 Pemeriksaan dan Penentuan Diagnosis PJK 14,15


Mendiagnosis PJK dapat dilakukan dengan memperhatikan hasil
pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) dengan melihat adanya perubahan
pada segmen ST dan Angiografi untuk mengetahui adanya penyumbatan
pada pembuluh darah koroner

16
2.2.6 Penatalaksanaan PJK 17,18,19
Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil
pada prinsipnya sebagai berikut :
a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA
1) Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual
2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan
3) Jika mungkin periksa petanda biokimia
b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke fasilitas
kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan
c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA
1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan
2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat
Penanganan di Instalasi Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu
dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan
lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun
membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang
dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:
1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan,
2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,
3) Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%,
4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,
5) Pemberian obat:
- Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi
bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm)
- Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol,
tiklopidin atau klopidogrel, dan

17
- Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5
menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau
tramadol 25-50 mg intravena.
Prinsip Management:
 STEMI : MONACO + Reperfusi
 NSTEMI : MONACO + Heparin
b. Hasil penilaian EKG, bila:
1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas
berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial
berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA
maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :
 Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam,
usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.
o Streptokinase: BP > 90 mmHg
o tPA: BP < 70mmHg
o Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal bleeding,
diseksi aorta.
o Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan
NSTEMI/UAP.
 Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga
memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau
bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik
2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi
terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan
3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD.
Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12
jam pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi
selama 12 jam, bila:
 EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk
evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan

18
 EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di
rawat di ICCU.

2.2.7 Pencegahan 17,18,19


Pencegahan PJK dapat meliputi 4 upaya :
1. Pencegahan primordial, yaitu upaya pencegahan munculnya faktor
predisposisi terhadap PJK dalam suatu wilayah dimana belum
tampak adanya faktor yang menjadi risiko PJK.
2. Pencegahan primer, yaitu upaya awal pencegahan PJK sebelum
seseorang menderita. Dilakukan dengan pendekatan komunitas
dengan pendekatan komuniti berupa penyuluhan faktor-faktor risiko
PJK terutama pada kelompok usia tinggi. Pencegahn primer
ditujukan kepada pencegahan terhadap berkembangnya proses
artherosklerosis secara dini, dengan demikian sasaranya adalah
kelompok usia muda.

3. Pencegah sekunder, yaitu upaya pencegahan PJK yang sudah


pernah terjadi untuk berulang atau menjadi lebih berat. Pada
tahapini diperlukan perubahan pola hidup dan kepatuhan berobat
bagi mereka yang pernah menderita PJK. Upaya peningkatan ini
bertujuan untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik
dan menurunkan mortalitas.
4. Pencegan tersier, yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang
lebih berat atau kematian.

Kardiomiopati
2.3.1 Definisi 20.21
Kelainan fungsi otot jantung dengan penyebab yang tidak diketahui dan
bukan diakibatkan oleh penyakit arteri koroner, kelainan jantung bawaan
(congenital), hipertensi atau penyakit katup. Kardiomiopati yang secara harfiah
berarti penyakit miokardium, atau otot jantung, ditandai dengan hilangnya

19
kemampuan jantung untuk memompa darah dan berdenyut secara normal. Kondisi
semacam ini cenderung mulai dengan gejala ringan, selanjutnya memburuk dengan
cepat. Pada keadaan ini terjadi kerusakan atau gangguan miokardium, sehingga
jantung tidak mampu berkontraksi secara normal. Sebagai kompensasi, otot
jantung menebal atau hipertrofi dan rongga jantung membesar. Bersama dengan
proses pembesaran ini, jaringan ikat berproliferasi dan menginfiltrasi otot jantung.
Miosit jantung (kardiomiosit) mengalami kerusakan dan kematian, akibatnya dapat
terjadi gagal jantung, aritmia dan kematian mendadak. Oleh karena itu
kardiomiopati dianggap sebagai penyebab utama morbiditas dan mortilitas
kardiovaskular.

2.3.2 Tanda Klinis 22


Gejala gagal jantung kronis sisi kiri dan kanan biasanya berkembang secara
bertahap. Beberapa pasien memiliki dilatasi ventrikel kiri selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun sebelum menjadi gejala. Meskipun nyeri dada yang samar- samar
mungkin ada, angina pektoris yang khas itu tidak biasa dan menunjukkan adanya
iskemik pada jantung. Pingsan karena aritmia dan emboli sistemik (sering berasal dari
trombus ventrikel) mungkin terjadi.

2.3.3 Pemeriksaan Fisik 22


Pada pasien dengan penyakit lanjutan, tekanan nadi menyempit dan tekanan
vena jugularis meningkat. Suara jantung ketiga dan keempat umumnya ada, dan
regurgitasi mitral atau trikuspid mungkin terjadi.
Pada beberapa pasien, gejala gagal jantung berkembang secara bertahap.
Pemeriksaan fisik menunjukkan ronkhi basah, peninggian jugular venous pressure,
kardiomegali, irama gallop pada S3, edema perifer, atau asites. Pada gagal jantung
kronik yang parah, pernafasan Cheyne-Stokes, pulsus alternans, pucat, dan sianosis
dapat timbul.

2.3.4 Pemeriksaan Penunjang 22.23


Hasil pemeriksaan X-foto thorax menunjukkan pembesaran siluet jantung
karena dilatasi ventrikel kiri, meskipun kardiomegali yang umum sering terlihat. Bagian
paru mungkin menunjukkan redistribusi vaskuler dan interstitial paru atau, dalam kasus
yang lebih lanjut, edema paru. Elektrokardiogram (EKG) sering menunjukkan sinus

20
takikardi atau fibrilasi atrium, aritmia ventrikel, atrium kiri yang tidak normal, tegangan
rendah, dan kadang-kadang kerusakan konduksi intraventrikel dan/atau AV. EKG,
gambaran computed tomography (CT), dan magnetic resonance imaging (MRI) jantung
menunjukkan dilatasi ventrikel kiri, dengan dinding yang normal, sedikit menebal, atau
tipis, dan disfungsi sistolik. Kadar dari brain natriuretic peptide (BNP) biasanya
meningkat.

Gambar 2. ekokardiografi dari jantung normal (kiri) dan jantung dengan


kardiomiopati dilatasi (kanan).

Skrining awal pemeriksaan laboratorium untuk pasien kardiomiopati dilatasi


harus mencakup penilaian rutin elektrolit serum, tes fungsi hati, jumlah sel darah putih,
dan hemoglobin dan hematokrit. Di luar tes rutin ini, nilai prediktif positif atau
kegunaan dari penelitian laboratorium tambahan masih rendah kecuali didukung oleh
unsur-unsur tertentu dari sejarah dan pemeriksaan fisik. Satu kemungkinan pengecualian
untuk pernyataan ini adalah penggunaan BNP sebagai penanda biokimia untuk
diagnosis dan prognosis pada pasien gagal jantung.
BNP tipe B adalah sebuah neurohormon yang disekresikan terutama di ventrikel
jantung sebagai respon dari penambahan volume dan kelebihan tekanan. Ini bisa
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri tanpa
gejala atau untuk pasien dengan gagal jantung simtomatik, sebagai penanda untuk
prognosis dan stratifikasi risiko pada pasien dengan gagal jantung, dan sebagai alat
untuk menyatukan terapi pasien rawat inap dan pasien rawat jalan pada gagal jantung.
Pada fase awal kardiomiopati dilatasi, pembesaran jantung mungkin bisa

21
minimal dan mungkin tidak terdeteksi dengan foto thorax. Tetapi, secara umum, X- foto
thorax biasanya menunjukkan pembesaran ventrikel kiri atau kardiomegali yang umum
yang melibatkan seluruh ruang jantung. Tergantung dari status volume pasien, mungkin
dapat atau tidak ditemukan kongesti paru. Cephalisasi dari aliran darah atau redistribusi
vaskuler paru adalah tanda awal kelebihan cairan, diikuti oleh perkembangan dari
edema interstitial dengan munculnya garis Kerley B dan cairan di fissura interlobar,
diikuti oleh edema alveolar yang nyata pada kelebihan cairan yang sudah lanjut. Efusi
pleura mungkin muncul serta vena azygos dan vena cava superior mungkin mengalami
pembesaran, khususnya dengan gagal ventrikel kanan.
Apabila pasien dengan kardiomiopati dilatasi datang dengan tanda atau gejala
yang mengarah pada gagal jantung, EKG biasanya menunjukkan sinus takikardi. Tetapi,
sangat penting untuk mengingat bahwa sinus bradikardi mungkin dapat timbul di
beberapa pasien dengan kardiomiopati dilatasi stadium akhir. Morfologi yang terlihat
dari EKG jarang terlihat normal, dan sering menunjukkan repolarisasi non spesifik atau
segmen ST yang abnormal. Kelainan konduksi, terutama LBBB, left anterior
hemiblock, dan penundaan konduksi intraventrikel yang tidak spesifik, dan kadang kala
blok atrioventrikuler derajat satu umum ditemukan pada pasien dengan gejala yang
sudah berlangsung lama, dan mungkin sebagai penanda peningkatan fibrosis interstitial
atau hipertrofi miosit. Right bundle branch block (RBBB) jarang ditemukan.
Pembesaran atrium kiri atau biatrial mungkin tampak. Berbagai macam takiaritmia dan
gangguan konduksi atrioventrikuler juga dapat dilihat. Fibrilasi atrium terbentuk di
sekitar 20% pasien. Premature ventricular contractions (PVCs) bukan merupakan
sesuatu yang jarang muncul di EKG rutin pada pasien kardiomiopati dilatasi.

2.3.5 Terapi 22.23


Berbagai agen farmakologis dapat merusak miokardium secara akut,
menghasilkan suatu pola peradangan (miokarditis), atau dapat pula menyebabkan
kerusakan kronis yang jenisnya terlihat dengan kardiomiopati dilatasi. Obat-obatan
tertentu hanya menghasilkan kelainan EKG, sementara yang lain dapat memicu gagal
jantung kronis yang parah atau kematian.
Prioritas pertama dalam melaksanakan strategi pengobatan pada pasien
kardiomiopati dilatasi adalah menentukan apakah kondisi tersebut terdapat etiologi yang
ada pengobatan spesifiknya. Prioritas kedua dalam melaksanakan strategi pengobatan
pada kardiomiopati dilatasi adalah untuk memulai terapi suportif pada gagal jantung,

22
tujuannya adalah untuk (1) meningkatkan kualitas hidup, (2) menghindari rawat inap di
masa yang akan datang, (3) memperpanjang masa hidup, dan (4) mencegah
perkembangan gagal jantung.
Antagonis aldosteron dengan spironolakton telah dilaporkan untuk mengurangi
angka kematian pada pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut, baik pada
kardiomiopati dilatasi atau iskemik. Menurut hasil dari percobaan Randomized
Aldactone Evaluation Study (RALES), spironolakton (25- 50 mg/ hari) dianjurkan untuk
pasien dengan gejala gagal jantung saat istirahat meskipun menggunakan ACE inhibitor,
diuretik, digoksin, dan beta-blocker, tanpa melihatetiologi gagal jantung tersebut, pada
pasien dengan gagal jantung dengan

NYHA kelas III sampai IV dan LVEF <35%, dengan penyesuaian suplemen kalium dan
follow-up tes laboratorium yang ketat.

Congestive Hepatopathy
2.4.1 Pendahuluan
Kerusakan hati diakibatkan oleh penyakit jantung merupakan hal yang
biasa terjadi, tetapi jarang terdiagnosa. Sejak tahun 1951 telah dilaporkan
sindroma yang sekarang dikenal sebagai cardiac hepatopathy atau congestive
hepatopathy dengan berbagai riwayat penyakit, hasil tes diagnostik, dan hasil
histologi. Tetapi sedikit penelitian yang dilaporkan 1. Congestive hepatopathy
mungkin terlewatkan pada penderita dengan gagal jantung dan mild hepatic
congestion dengan gejala yang samar-samar. Oleh karena itu, dokter harus
mempertimbangkan congestive hepatopathy pada gagal jantung kanan dengan
hepatomegali dengan atau tanpa ikterus 25.
Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sering dijumpai
pada penderita gagal jantung. Kelainan ini ditandai dengan adanya gejala klinis
gagal jantung (terutama gagal jantung kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan
tidak ditemukan penyebab lain dari disfungsi hati3. Congestive hepatopathy juga
dikenal dengan istilah cardiac hepatopathy, nutmeg liver, atau chronic passive
hepatic congestion. Bila kondisi ini berlangsung lama akan mengakibatkan
timbulnya jaringan fibrosis pada hati, yang sering disebut dengan cardiac cirrhosis
atau cardiac fibrosis.

23
Meskipun cardiac cirrhosis menggunakan istilah sirosis, jarang memenuhi
kriteria patologis sirosis. Congestive hepatopathy ini sangat sulit dibedakan dari
sirosis hati primer karena klinisnya relatif tidak spesifik. Tetapi tidak sama seperti
sirosis yang disebabkan oleh hepatitis virus atau penggunaan alkohol, pengobatan
ditujukan pada pengelolaan gagal jantung sebagai penyakit dasar1.
Patogenesis congestive hepatopathy umumnya dianggap sebagai reaksi
stroma hati terhadap hipoksia, tekanan atau nekrosis hepatoselular. Tetapi hal ini
tidak menjelaskan hubungan antara gejala dan tingkat keparahan fibrosis, dimana
pada pasien jantung dekompensasi pada derajat yang sama, fibrosis tidak selalu
terjadi. Patogenesis congestive hepatopathy penting, karena definisi congestive
hepatopathy masih menjadi perdebatan 28.

2.4.2 Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada usia lanjut
berdasarkan data dari RS.Dr.Kariadi pada tahun 2006 adalah penyakit jantung
iskemik 65,63%, penyakit jantung hipertensi 15,63%, kardiomiopati 9,38%,
penyakit katup jantung, rheumatic heart disease, penyakit jantung pulmonal
masing-masing 3,13%. Penyebab paling umum dari gagal jantung kongestif pada
usia lebih muda adalah penyakit jantung iskemik 55%, penyakit katub jantung
15%, kardiomiopati 12,5%, rheumatic heart disease 7,5%, penyakit jantung
bawaan 5%, penyakit jantung hipertensi dan penyakit jantung pulmonal keduanya
2,5%. Tidak ada perbedaan etiologi gagal jantung kongestif antara pasien muda
dan tua, dimana penyebab terbanyak adalah penyakit jantung iskemik28

2.4.3 Epidemiologi
Prevalensi congestive hepatopathy tidak jelas. Tidak ada data
perbandingan laki-laki dan wanita untuk congestive hepatopathy, namun karena
gagal jantung kongestif lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita,
kemungkinan yang sama untuk congestive hepatopathy29.

2.4.4 Patofisiologi

24
Congestive hepatopathy disebabkan oleh dekompensasi ventrikel kanan
jantung atau gagal jantung biventrikular. Dimana terjadi peningkatan tekanan
atrium kanan ke hati melalui vena kava inferior dan vena hepatik. Ini merupakan
komplikasi umum dari gagal jantung kongestif, dimana akibat anatomi yang
berdekatan terjadi peningkatan tekanan vena sentral secara langsung dari atrium
kanan ke vena hepatik5.
Pada tingkat selular, kongesti vena menghambat efisiensi aliran darah
sinusoid ke venula terminal hati. Stasis darah dalam parenkim hepar terjadi karena
usaha hepar mengatasi perubahan saluran darah vena. Sebagai usaha
mengakomodasi aliran balik darah (backflow), sinusoid hati membesar,
mengakibatkan hepar menjadi besar. Stasis sinusoid menyebabkan akumulasi
deoksigenasi darah, atrofi parenkim hati, nekrosis, deposisi kolagen dan fibrosis.
Hepatosit mempunyai sifat sangat sensitif terhadap trauma iskemik, meski
dalam jangka waktu yang pendek. Hepatosit dapat rusak oleh berbagai kondisi,
seperti arterial hypoxia, acute left sided heart failure, central venous
hypertension4. Stasis kemudian menyebabkan timbulnya trombosis. Trombosis
sinusoid memperburuk stasis, dimana trombosis menambah aktivasi fibroblast dan
deposisi kolagen. Dalam kondisi yang parah menyebabkan nekrosis berlanjut
menyebabkan hilangnya parenkim hati, dan dapat menyebabkan trombosis pada
vena hepatik. Proses ini sering diperparah oleh trombosis lokal vena porta.
Pembengkakan sinusoidal dan perdarahan akibat nekrosis nampak jelas di
area perivenular dari liver acinus. Fibrosis berkembang di daerah perivenular,
akhirnya menyebabkan timbulnya jembatan fibrosis antara vena sentral yang
berdekatan. Hal ini menyebabkan proses cardiac fibrosis, oleh karena itu tidak
tepat disebut sebagai cardiac cirrhosis karena berbeda dengan sirosis hati dimana
jembatan fibrosis cenderung untuk berdekatan dengan daerah portal. Regenerasi
hepatosit periportal pada kondisi ini dapat mengakibatkan regenerasi hiperplasia
nodular. Nodul cenderung kurang bulat dan sering menunjukkan koneksi antar
nodul4.
Cardiac cirrhosis telah didefinisikan dalam berbagai cara dan telah
ditetapkan sebagai klinis dari hipertensi portal atau akibat penyakit jantung

25
kongestif. Pada kongestif kronis, hipoksia berkelanjutan menghambat regenerasi
hepatoselular dan membentuk jaringan fibrosis, yang akan mengarah ke cardiac
cirrhosis. Definisi morfologi fibrosis telah seragam, tetapi beberapa penulis tidak
menganggap cardiac cirrhosis sebagai sirosis sebenarnya karena sebagian besar
cardiac cirrhosis bersifat fokal dan gangguan arsitektur serta fibrosis secara
menyeluruh tidak separah sirosis tipe yang lain.

Gambar 3. Patofisiologi kardiak sirosis


Istilah congestive hepatopathy dan chronic passive hepatic congestion lebih
akurat, tetapi istilah cardiac cirrhosis telah menjadi konvensi. Oleh karena itu
istilah cardiac cirrhosis banyak digunakan untuk congestive hepatopathy dengan
atau tanpa fibrosis hati 27,28,29.
Distorsi struktur hati nampak pada saat parenkim hati rusak dan parenkim
yang berbatasan memperluas menuju daerah parenkim yang rusak. Sirosis dapat
didefinisikan sebagai distorsi struktur hati disertai fibrosis pada daerah parenkim
hati yang musnah. Pada saat perubahan menunjukkan kehadiran nodul pada
sebagian besar organ, secara umum dianggap sirosis. Hanya saja deskripsi
kualitatif tidak dapat mendeskripsikan semua tahapan pada pada penyakit, oleh
karena itu diperlukan nomenklatur menyangkut aspek kuantitatif fibrosis hati dan

26
sirosis, seperti pada Tabel 6. Tabel ini merupakan klasifikasi sirosis apapun
penyebabnya .

Tabel 6. Definisi Sirosis (Wanless, 1995)

2.4.4 Diagnosis
A. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala
Gangguan fungsi hati pada congestive hepatopathy biasanya ringan dan
tanpa gejala. Sering terdeteksi secara kebetulan pada pengujian biokimia rutin.
Tanda dan gejala dapat muncul berupa ikterus ringan. Pada gagal jantung berat,
ikterus dapat muncul lebih berat dan menunjukkan kolestasis. Timbul
ketidaknyamanan pada kuadran kanan atas abdomen akibat peregangan kapsul
hati. Kadang-kadang gambaran klinis dapat menyerupai hepatitis virus akut,
dimana timbul ikterus disertai peningkatan aminotransferase.
Beberapa kasus gagal hati fulminan yang mengakibatkan kematian telah
dilaporkan akibat gagal jantung kongestif. Namun sebagian besar disebabkan
pasien memiliki hepatic congestion dan iskemia. Gejala seperti dispnea exertional,

27
ortopnea dan angina serta temuan fisik seperti peningkatan vena jugularis,
murmur jantung dapat membantu membedakan congestive hepatopathy dengan
penyakit hati primer.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali lunak, kadang masif,
batas tepi hati tegas, dan halus. Splenomegali jarang terjadi. Asites dan edema
dapat tampak, tetapi tidak disebabkan oleh kerusakan hati, melainkan akibat gagal
jantung kanan1.

B.Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada congestive hepatopathy menunjukkan
peningkatan Liver Function Test (LFT) yang berkarakter cholestatic profile yakni
Alkaline Phosphatase (ALP), Gamma Glutamyl Transpeptidase (GGT) dan
bilirubin, serta hipoalbumin, bukan hepatitic profile, Alanine transaminase (ALT)
dan Aspartate transaminase (AST). ALP dan GGT meningkat akibat
meningkatnya sistesis protein enzim, yang biasanya disertai peningkatan bilirubin
(kecuali terjadi obstruksi bilier atau intrahepatal). Karena ALP diproduksi oleh
hepatosit dan GGT oleh sel epitel bilier. Bilirubin yang meningkat adalah
bilirubin total, sebagian besar yang tidak terkonjugasi. Hiperbilirubinemia terjadi
sekitar 70% pasien dengan congestive hepatopathy. Hiperbilirubinemia yang berat
mungkin dapat terjadi pada pasien dengan gagal jantung kanan yang berat dan
akut3.
Meskipun terjadi deep jaundice, serum alkaline phospatase level pada
umumnya hanya meningkat sedikit sehingga dapat membedakan congestive
hepatopathy dengan ikterus obstruksi. Serum aminotransferase level menunjukkan
peningkatan ringan, kecuali terjadi hepatitis iskemia, dimana dapat terjadi
peningkatan serum aminotransferase (AST dan ALT) yang tajam. Prothrombin
time dapat sedikit terganggu, albumin dapat turun dan serum ammonia level dapat
meningkat. Serologi hepatitis virus perlu dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya virus tersebut
Diagnosa paracentesis cairan asites pada congestive hepatopathy
menunjukkan tingginya protein dan gradien serum albumin >1,1g/dL. Hal ini

28
menunjukkan konstribusi dari hepatic lymph dan hipertensi portal. Perbaikan LFT
setelah pengobatan penyakit jantung mendukung diagnosa congestive
hepatopathy2

C. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang menunjang pemeriksaan congestive hepatopathy:
- Abdominal Doppler ultrasonography : dipertimbangkan bila klinis terdapat
asites, nyeri perut kuadran kanan atas, ikterus dan/atau serum LFT abnormal
yang refrakter terhadap pengobatan gagal jantung yang mendasari.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari diagnosa alternatif seperti sindroma
Budd-Chiari.
- CT scan dan MRI : Pemeriksaan ini dapat menunjukkan cardiac cirrhosis,
termasuk hepatomegali, hepatic congestion, pembesaran vena cava inferior dan
splenomegali
Pemeriksaan radiologi untuk menunjang pemeriksaan penyakit dasar congestive
hepatopathy:
- X foto dada : dapat menunjukkan kardiomegali, hipertensi vena pulmonal,
perubahan pada ruang jantung dan miokard tergantung pada penyebab gagal
jantung. Paru-paru menunjukkan chronic passive congestion, tampak edema
interstitial atau paru-paru, atau efusi pleura.
- Transthoracic Echocardiogram dengan Doppler : mendiagnosa penyakit dasar
penyebab cardiac cirrhosis. Tampak adanya peningkatan arteri pulmonalis,
dilatasi sisi kanan jantung, Tricuspid Regurgitasi (TR), diastolic ventricular
filling yang abnormal.
- Radionuclide imaging dengan thallium atau technetium merupakan
pemeriksaan noninvasif yang berarti. Tujuannya untuk mengidentifikasi
reversible cardiac ischemia pada pasien cardiac cirrhosis pada gagal jantung
kompensasi atau dekompensasi. Technetium-labeled agents dan positron-
emission tomography (PET) mengidentifikasi dilated cardiomyopathy dan
menentukan fungsi miokard

29
- CT scan dan MRI mengidentifikasikan pembesaran ruang jantung, hipertrofi
ventrikel, diffuse cardiomyopathy, valvular disease dan kelainan struktural
yang lain. Keduanya dapat mengukur ejection fraction dan effectively rule out
cardiac cirrhosis

D. Pemeriksaan Histopatology
Biopsi hati dapat membantu menegakkan diagnosa. Patologi pada kelainan
ini dikenal dengan istilah nutmeg liver. Istilah ini dikarenakan penampilan hati
pada congestive hepatopathy merupakan perpaduan 2 area, yakni area kontras
berwarna merah yang diakibatkan sinusoidal congestion dan perdarahan pada area
nekrosis di sekeliling vena hepatika yang membesar, serta area berwarna
kekuningan yang merupakan area hati normal atau fatty liver tissue 3
- Congestive hepatopathy : terjadi penyatuan darah merah di dekat vena sentral
dari beberapa vena sentral dari beberapa lobulus. Dalam proses ini fibrosis
terjadi dari dalam ke luar lobulus.
- Sirosis alkoholik : Alkohol yang berasal dari usus, awal bersentuhan dengan
hepatosit di portal triad, oleh karena itu yang pertama terpengaruh toksisitas
alkohol adalah hepatosit. Fibrosis akan terbentuk dari bagian luar ke dalam
lobus, lobulus sendiri terhindar dari kerusakan.
- Sirosis hati karena virus : virus hepatitis, utamanya hepatitis B menyebabkan
nekrosis luas hati, kerusakan meliputi lobulus dan interstitium sehingga
jaringan sulit dikenali.

2.4.5 Diagnosa Banding2


- Veno-occlusive disease : obstruksi pada sinusoid hati dan venul terminal.
Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan endotel sinusoid karena Hematopoietic
Stem Cell Transplantation, kemoterapi, radioterapi abdominal dan
pyrrolizidine alkaloid.
- Sindroma Budd-Chiari : obstruksi dari vena hepatik ke ujung superior vena
cava inferior. Kelainan ini disebabkan trombosis vena hepatik, pembuntuan
vena cava inferior, kompresi vena cava inferior oleh tumor, kista, abses.

30
2.4.6 Tatalaksana
Pengobatan penyakit dasar sangat penting untuk manajemen congestive
hepatopathy. Ikterus dan asites biasanya respon dengan baik terhadap diuresis.
Jika gagal jantung diobati dengan sukses, awal perubahan histologi congestive
hepatopathy dapat diatasi dan bahkan cardiac fibrosis mungkin secara histologis
dan klinis mengalami regresi

2.4.7 Prognosis
Penderita dengan congestive hepatopathy meninggal terbanyak
diakibatkan oleh penyakit jantung itu sendiri. Kelainan hati jarang memberi
konstribusi pada morbiditas dan mortalitas pasien congestive hepatopathy. Tidak
seperti pasien sirosis hati, pasien dengan cardiac cirrhosis jarang menyebabkan
komplikasi serius seperti perdarahan varises esofagus.
Congestive hepatopathy yang mengakibatkan hepatocellular carcinoma
jarang dilaporkan. Namun, insiden hepatocellular carcinoma dan gagal hati karena
congestive hepatopathy kemungkinan meningkat diakibatkan peningkatan
survival pasien ini dengan kemajuan dalam pengobatan gagal jantung2.

2.4.8 Ringkasan
Congestive hepatopathy merupakan kelainan hati yang sulit dibedakan dari
sirosis hati primer karena klinisnya relatif tidak spesifik. Definisinya masih
diperdebatkan. Ditandai dengan trias adanya gejala klinis gagal jantung (terutama
gagal jantung kanan), tes fungsi hati yang abnormal dan tidak ditemukan
penyebab lain dari disfungsi hati. Fibrosis pada congestive hepatopathy tidak tepat
disebut cardiac cirrhosis, tetapi istilah cardiac cirrhosis banyak digunakan untuk
congestive hepatopathy dengan atau tanpa fibrosis hati Diagnosis ditegakkan dari
manifestasi klinis didukung dengan laboratorium penunjang dan pemeriksaan
tambahan. Terapi terpenting adalah mengobati penyakit dasarnya. Prognosa
congestive hepatopathy jarang meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

31
BAB III
STATUS PASIEN

3.1 Identifikasi
Nama : Bp. MSB
Usia : 38 Tahun 6 Bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bukit Baru/Ilir Barat I Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Juru Masak
MRS : 8 Oktober 2019
No. Rekmed : 57.78.27

3.2 Anamnesis
Autoanamnesis (tanggal 9-10 Oktober 2019)

Keluhan Utama :
Sesak bertambah hebat sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


+1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak yang muncul tiba-tiba saat
pasien beraktivitas. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Sesak terutama
timbul ketika pasien berjalan sejauh + 50 meter. Sesak berkurang saat
pasien beristirahat dalam posisi duduk. Pasien sering terbangun pada
malam hari karena sesak nafas. Pasien mengaku lebih nyaman bila duduk
dan apabila tidur harus diganjal dengan 2 bantal. Selain itu pasien juga
mengeluh bengkak di kedua tungkai bawah dan kaki (+). Nyeri dada (-),
batuk (-), demam (-), nafas berbunyi mengi (-), perut membesar (-), nyeri
perut (-) mual (-), muntah (-), nafsu makan berkurang (-), penurunan BB
(-), berkeringat di malam hari (-), mata sembab (-). BAK dan BAB tidak

32
ada keluhan. Pasien berobat ke RS Muhammadiyah dikatakan sakit
jantung dan paru-paru terendam air. Pasien dirawat selama 3 hari, diberi
obat-obatan, dan disuruh kontrol kembali namun pasien tidak datang.
± 2 minggu SMRS, pasien kembali mengeluhkan sesak yang
muncul tiba-tiba saat beraktivitas. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca.
Sesak terutama timbul ketika pasien berjalan sejauh + 50 meter. Sesak
berkurang saat pasien beristirahat dalam posisi duduk. Pasien sering
terbangun pada malam hari karena sesak nafas. Pasien mengaku lebih
nyaman bila duduk dan apabila tidur harus diganjal dengan 2 bantal.
Selain itu pasien juga mengeluh perut agak membesar. Bengkak di kedua
tungkai bawah dan kaki (+). Nyeri dada (-), batuk (-), demam (-), nafas
berbunyi mengi (-), perut membesar (-), nyeri perut (-) mual (-), muntah
(-), nafsu makan berkurang (-), penurunan BB (-), berkeringat di malam
hari (-), mata sembab (-). BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien
kembali berobat ke RS Muhammadiyah dan disarankan melakukan
pemeriksaan USG.
±1 hari SMRS pasien mengeluh sesak bertambah hebat. Sesak
dipicu aktivitas ringan seperti berjalan ke kamar mandi + 10 meter. Sesak
berkurang saat pasien duduk dengan posisi badan lebih dicondongkan ke
depan. Pasien juga mengeluhkan perut yang semakin membesar (+) nyeri
(+) bergerak mengikuti posisi tubuh, berkurang dengan posisi tegak, mata
dan badan kuning (+) BAK teh tua (+) BAB dempul (+) hitam (-), mual
(+), muntah hitam (-) sembab pada kedua tungkai (+) lalu pasien dibawa
ke IGD RS Bari Palembang .

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat nyeri dada 4 bulan yang lalu dibawa berobat ke RS
Muhammadiyah, dikatakan pasien menderita penyakit jantung. Pasien
tidak rutin kontrol.
- Riwayat darah tinggi (+) baru diketahui 4 bulan yang lalu.
- Riwayat kencing manis disangkal.

33
- Riwayat asma disangkal.
- Riwayat alergi obat disangkal.

- Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


- Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama pada keluarga disangkal.
- Riwayat keluarga dengan penyakit jantung disangkal.
- Riwayat keluarga menderita darah tinggi disangkal
- Riwayat keluarga menderita kencing manis disangkal.

Riwayat Pengobatan
- NRF 2x 5mg selama 4 bulan
- ISDN 3x 5mg selama 4 bulan
- Spironolaktone 1x 25 mg

Riwayat Sosial Ekonomi, Pekerjaan dan Kebiasaan


- Riwayat merokok (+) 1 hari 2-3 bungkus sejak usia 17 tahun
- Riwayat konsumsi alkohol (+) sejak usia 17 tahun berhenti setelah
menikah (usia 25 tahun)
- Riwayat menyukai makan berlemak karena pekerjaan.
- Riwayat olahraga jarang.

Riwayat Gizi
Makan teratur 3 kali sehari, porsi sedang.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 9-10 Oktober 2019)


KEADAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 95x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 26x/menit, tipe pernapasan abdomino-torakal

34
Suhu : 36,3o C
Berat Badan : 78 kg
Tinggi Badan : 165 cm
IMT : 28,67 kg/m2 (overweight)

KEADAAN SPESIFIK
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)

Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (+/+)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+)
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Napas Cuping hidung : (-)

35
Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : baik
Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (-), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
Mukosa
Mulut : basah,stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)

Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kel. tiroid/struma (-)
Tekanan vena jugularis : (5+2) cmH2O
Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular,
submandibula, cervical anterior dan posterior, supraclavicula,
infraclaviculla, axilla, dan inguinal.

Dada
Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding
dada (-), spider nevi (-).
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri

36
Perkusi : Redup dari ics 5 sampai ke basal paru dextra et sinistra.
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi basah halus (+/+) dari ics
5 sampai ke basal paru dextra et sinistra, wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V linea axilaris anterior
sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea axilaris anterior
sinistra
Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kanan ICS V linea midclavicularis dextra
Batas kiri ICS V linea axilaris anterior sinistra.
Auskultasi : HR 95 x/menit. M1>M2, T1>T2, A1<A2, P1<P2
reguler, murmur sistolik 3/6 punctum maksimum
di katup mitral dan katup trikuspid, gallop S3 (+)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, venektasi (+), scar (-).
Palpasi : Nyeri tekan seluruh region (+), hepar membesar 2
jari di bawah arcus costae tepi tumpul, lien tidak
teraba, ballotement ginjal (-)
Refleks Hepatojugular (+)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (+) nyeri ketok CVA(-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Inspeksi :
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), kulit kering (-/-),edema
(-/-), koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (+),
flapping tremor (-), onikomikosis (-), palmar eritem
(-/-)

37
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+),
edema dorsum pedis (+/+), koilonikia (-), sianosis (-),
jari tabuh (-), onikomikosis (-)
Palpasi :
Superior :Akral hangat (-/-), Edema (-/-), krepitasi (-/-), CRT <2
Inferior :Akral hangat (-/-), Edema pretibial (+/+), edema dorsum
pedis (+/+), krepitasi (-/-), CRT <2 detik

ROM :
Superior : Kekuatan 5, ROM aktif-pasif luas.
Inferior : Kekuatan 5, ROM aktif-pasif luas.

Alat Kelamin : Oedema skrotum, transluminasi (+)

Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Baik
Pertumbuhan rambut: Dalam batas normal
Lapisan lemak : Tipis
Ikterus : (+)
Lembab/kering : Kering

3.4 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium Darah :
Hemotologi
- Hemoglobin (Hb) : 10 g/dl (14-16)
- Eritrosit (RBC) : 3,66 x 106/mm3 (4,5-5,5)

38
- Leukosit (WBC) : 5,9 x 103/mm3
- Trombsit : 195 x 103/mm3
- Hematokrit (HT) : 30 %
- Hitung jenis (DC) : 0 / 0 / 2 / 65 / 26 / 7
Kimia Darah
- CPK : 853 U/L (<190)
- CK-MB : 81 ng/mL(<25)
- Trigliserid : 103.0 mg/dl
- Kolestrol total : 175 mg/dl
- Kolestrol HDL : 54 mg/dl
- Kolestrol LDL : 100 mg/dl
- Protein Total : 6,8 g/dl
- Albumin : 2,5 g/dl (3,8-5,1)
- Globulin : 4,3 g/dl (1,5-3)
- Glukosa Darah Sewaktu : 85 mg/dl

Ginjal
- Ureum : 102 mg/dL (20-40)
- Creatinin : 6,19 mg/dL (0,9-1,3)
- Uric Acid : 7,49 mg/dL (3,4 - 7)
Elektrolit
- Natrium (Na) : 138 mEq/L
- Kalium : 4,76 mEq/L
-
Seroimunologi
- HBsAG : Negatif

39
Rontgen Thoraks:

Tampak Cardiomegali (CTR >50%) All chamber dengan kongestif pulmonum


(peningkatan corakan bronkovaskular) + Efusi Pleura Dextra et Sinistra (sudut
costophrenicus menumpul)

40
USG Abdomen:

Congestive Liver dan Asites yang banyak

EKG:

Irama : Sinus

41
Axis : Left Axis Deviation
HR : 95x /menit
P Wave: normal
QRS : narrow
PR Interval : normal
ST-T Segement: T inverted pada lead I,AvL, V5 dan V6
QT Interval : normal
LVH : R di AVL + S V3 <28 atau S di V1 + R di V5/6 <35
RVH : R/S di V1 < 1
Kesan: NSTEMI High Lateral + Low Voltage

 Tabel Kriteria Framingham


Tabel 1. Kriteria Framingham
KRITERIA MAJOR KRITERIA MINOR
Paroksismal Nokturnal Dispnea (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi Vena Leher (+) Batuk malam hari (+)
Ronkhi Paru (+) Dispnea d’effort (+)
Edema Paru Akut (+) Hepatomegali (+)
Gallop S3 (+) Efusi Pleura (+)
Peninggian Tekanan Vena Jugularis (+) Penurunan kapasitas vital 1/3 normal
Refluks Hepatojugular (+) Takikardia (>120x/menit)

3.5 Diagnosis
- CHF e.c CAD + Cardiomiopaty
- Congestif Hepatopaty

3.6 Diagnosis Banding


- CHF e.c HHD
- Sirrosis Hepatis ec Alkoholik

3.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:

42
o O2 5 L/menit via nasal canule
o Edukasi mengenai kongestif jantung, penyebab dan bagaimana
mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
o Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan hindari makanan
yang dapat meningkatkan kolestrol total dan gula tinggi.

Farmakologis:
- Inj. Furosemid 3x 1 ampul 20mg (iv)
- Sprinolakton 3x25 mg
- Kalium Slow Release 1x600mg
- ISDN 3x5 mg
- NRF 2x5mg
- Inj. Lansoprazole 1x30 mg (iv)
- Curcuma 3x800mg tab

3.8 Rencana Pemeriksaan


- Echocardiografi
- Cath Lab

3.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

43
BAB IV
ANALISIS KASUS
Dari data dasar didapatkan, pasien adalah seorang laki- laki, usia 38 tahun,
datang dengan keluhan sesak napas yang memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan
sesak telah dialami selama 2 minggu yang timbul karena aktivitas, sesak pada
pasien tidak dipengaruhi oleh cuaca dan emosi, sesak terutama timbul bila pasien
berjalan +50 meter. Pada kasus pasien datang dengan keluhan utama sesak napas,
etiologi sesak napas pada dasarnya dapat disebabkan gangguan yang berasal dari
saluran pernapasan, jantung, metabolik, hematologi dan psikogenik. Pasien
mengaku sesak napas timbul karena aktivitas. Sesak napas yang timbul karena
aktivitas merupakan salah satu ciri khas kelainan kardiovaskular. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dapat menyingkirkan dugaan adanyapenyempitan saluran
pernapasan akibat inflamasi kronik dan hiperresponsivitas pada saluran
pernapasan yang merupakan ciri dari asthma. Sementara sesak tidak dipengaruhi
adanya emosi dapat menyingkirkan dugaan penyebab psikogenik pada pasien.
Sesak dirasakan semakin hari semakin memberat, dimana pasien saat ini
mengeluh sesak jika berjalan ke toilet (+10 meter), sehingga dapat dikatakan
terdapat progresivitas pada keluhan sesak. Keluhan sesak napas yang semakin
lama semakin memberat dari waktu beberapa jam hingga beberapa hari dapat
disebabkan oleh Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), Efusi Pleura,
Pneumonia, Congestive Heart Failure, Emboli pulmonal hingga keganasan,
Coronary Artery Disease. Pada pasien ini sesak berkurang saat pasien beristirahat
dan duduk dalam posisi setengah duduk. Pasien seringkali terbangun pada malam
hari karena sesak nafas. Pasien mengaku lebih nyaman bila tidur diganjal dengan
2 bantal.
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami orthopneu
yaitu sesak napas pada posisi supinasi, dan membaik bila pasien memposisikan
tubuh setengah duduk, serta terdapat gejala Paroxysmal Nocturnal Dyspnea(PND)
atau terbangun di malam hari karena sesak napas. Orthopneu terjadi karena
redistribusi dari darah intravascular yang berasal dari bagian bawah tubuh yaitu
abdomen dan ektremitas bawah pada saat berbaring sehingga terjadi peningkatan

44
tekanan pembuluh darah pulmonal. Sedangkan PND terjadi karena adanya
peningkatan tekanan pada arteri bronkial sehingga terjadi kompresi saluran napas,
disertai dengan edema interstitial paru yang dapat menyebabkan resistensi saluran
pernapasan pada pasien.
Selain itu pasien mengeluh bengkak di bagian kaki. Peripheral edema
terutama di pergelangan kaki, dorsum pedis dan pretibial biasanya terjadi karena
meningkatnya tekanan hidrostatik vena. Gejala-gejala ini merupakan gejala khas
dari gagal jantung sehingga menjadi petimbangan utama bahwa penyebab dari
sesak napas pada pasien adalah gangguan pada kardiovaskular (gagal jantung),
diikuti gangguan paru yang dapat menimbulkan sesak napas apabila terjadi edema
paru, gangguan pada ginjal juga dapat menimbulkan retensi cairan dan berakibat
pada edem paru. Pada pasien tidak didapatkan demam sehingga dapat
disingkirkan dugaan penyebab sesak napas karena infeksi parenkim paru
(pneumonia), tidak ada batuk lama, keringat di malam hari dan penurunan BB
sehingga dari anamnesis dapat disingkirkan dugaan TB paru dan keganasan.
Pemeriksaan fisik tidak didapatkan barrel chest, tidak ada suara ekspirasi
memanjang, tidak ada wheezing, serta tidak ada gerakan dinding dada yang
tertinggal, sehingga dapat disimpulkan bahwa sesak pada pasien tidak disebabkan
oleh PPOK. Pada pemeriksaan fisik spesifik di daerah leher didapatkan adanya
peningkatan vena jugular (5+2) cmH2O, hal ini terjadi karena adanya peningkatan
tekanan di ventrikel kanan jantung. Peningkatan tekanan vena jugular merupakan
salah satu kriteria mayor dari gagal jantung. Pemeriksaan spesifik pada bagian
thorax didapatkan ronkhi basah halus di kedua lapangan paru bagian bawah,
ronkhi basah biasanya didapatkan pada pasien dengan edema paru, hal ini terjadi
karena adanya usaha membuka saluran napas terminal yang kecil selama inspirasi
yang tertutup oleh cairan edema, paling sering ditemukan pada bagian basal
didaerah yang tekanan hidrostatiknya paling tinggi.
Pada pemeriksaan jantung didapatkan, ictus cordis pada pasien terlihat dan
tidak teraba, serta didapatkan adanya bukti pembesaran jantung dimana ditemukan
adanya hipertrofi atrium kanan dan ventrikel kanan akibat adanya long standing
stenosis mitral. Mitral stenosis terjadi pada 50% pasien PJR kronik, mitral

45
stenosis menyebabkan berkurangnya Ejection Fraction, dan peningkatan tekanan
pada Atrium kiri selanjtnya akan menyebabkan pembesaran atrium kiri, tekanan
ini akan diteruskan kearah belakang (backflow), sehingga akan menyebabkan
volume overload di ventrikel kanan, pembesaran ventrikel kanan akan
menyebabkan regurgitasi tricuspid, dan pembesaran pada atrium kanan. Hal ini
menandai terjadinya Gagal jantung kanan yang dapat menjadi komplikasi ke arah
kardiak sirosis Pada auskultasi didapatkan adanya murmur yang merupakan tanda
gagal jantung.
Pemeriksaan fisik khusus yang menunjang diagnosis yaitu JVP (5+2)
cmH2O, hepatojugular reflux (+), distensi vena leher (+),ronkhi basah halus di
basal kedua lapang paru (+). Hasil pemeriksaan tersebut merupakan gejala yang
timbul pada gagal jantung kongestif, serta termasuk dalam kriteria Framingham
yang digunakan dalam mendiagnosis gagal jantung.
KRITERIA MAJOR KRITERIA MINOR
Paroksismal Nokturnal Dispnea (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi Vena Leher (+) Batuk malam hari (+)
Ronkhi Paru (+) Dispnea d’effort (+)
Edema Paru Akut (+) Hepatomegali (-)
Gallop S3 (-) Efusi Pleura (-)
Peninggian Tekanan Vena Jugularis (+) Penurunan kapasitas vital 1/3 normal
Refluks Hepatojugular (+) Takikardia (>120x/menit)

Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan apabila terdapat 1


gejala mayor serta 2 gejala minor. Kriteria Framingham pasien ini yaitu terdapat
5gejala mayor dan3 kriteria minor, sehingga diagnosis gagal jantung kongestif
dapat ditegakkan.
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh penyakit jantung bawaan,
penyakit jantung rematik, penyakit jantung hipertensi, penyakit jantung koroner,
serta penyakit jantung tiroid. Gagal jantung disebabkan penyakit jantung bawaan
dapat disingkirkan oleh karena umur pasien, dan tidak ada riwayat keluhan dari
usia muda. Pemeriksaan fisik dijumpai murmur serta tidak ada pembesaran tiroid
dan tremor jari, sehingga kemungkinan disebabkan penyakit jantung tiroid juga
dapat disingkirkan. Pada pasien ditemukan riwayat demam disertai nyeri sendi

46
berpindah-pindah saat anak-anak, yang dicurigai sebagai demam rematik sehingga
harus dilakukan pemeriksaan echocardiografi.
Pasien tidak ditemukan riwayatDiabetes Melitus, namun dijumpai adanya
riwayat Hipertensi selama 2 bulan terakhir. Namun dari riwayat penyakit dahulu
didapatkan pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya dan riwayat
nyeri dada kiri menjalar ke punggung yang hilang timbul durasi 15-20 menit.
Pemeriksaan penunjang yang disarankan pada pasien adalah pemeriksaan
ASTO. Tatalaksana awal yang dapat diberikan pada pasien adalah diuretik berupa
furosemid untuk mengurangi beban preload jantung, spironolakton yang memiliki
efek hemat kalium. Pemberian obat-obatan golongan CCB (calcium channel
blocker) harus dihindari karena memiliki efek inotropik negatif yang dapat
memperburuk keadaan gagal jantung.
Klasifikasi NYHA pasien termasuk dalam NYHA kelas IV, dimana gejala-
gejala timbul bahkan saat pasien istirahat(dyspnea, palpitasi, atau nyeri angina).
Prognosis pada kasus yaitu quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad functionam
dubia ad malam, serta quo ad sanationam dubia ad malam, sesuai dengan data
epidemiologi prognosis gagal jantung yaitu angka kematian dalam 1 tahun setelah
terdiagnosis mencapai 30-40% sedangkan angka kematian dalam 5 tahun
mencapai 60-70%.1

47
DAFTAR PUSTAKA
1. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal
medicine.2005; ed XVIhttp://emedicine.medscape.com/article/163062-
overview [accessed 16 oktober 2019].
2. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.
3. Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S.,
Gersh, B.J., Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L., 2003.
Incidence of heart failure after myocardial infarction: is it changing over
time?.Am. J. Epidemiology 157 (12): 1101–1107. Available from :
http://m.aje.oxfordjournals.org/content/157/12/1101.long?
view=long&pmid=12796046.
4. Mann, D.L., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci, A.S., et al.,
Ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Volume 2. 17th ed. USA:
McGraw-Hill, 1443.
5. Doughty, R.M., White, H.D., 2007. Epidemiology of Heart Failure,
University of Auckland New Zealand. Available from:
http://spinger.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/978184800
1015-c3.pdf. Lip, G.Y.H., Gibbs, C.R., Beevers, D.G. 2001. Aetiology. In:
ABC of Heart Failure.
6. Liver function abnormalities and outcome in patients with chronic heart
failure: data from the Candesartan in Heart Failure: Assessment of Reduction
in Mortality and Morbidity (CHARM) program.
7. Allen LA, Felker GM, Pocock S, McMurray JJ, Pfeffer MA, Swedberg K,
Wang D, Yusuf S, Michelson EL, Granger CB; CHARM Investigators.
8. Eur J Heart Fail. 2009 Feb;11(2):170-7. doi: 10.1093/eurjhf/hfn031.

9. Davis, R.C., Hobbs, F.D.R. & Lip, G.Y.H., 2003, ABC of heart failure:
History
and epidemiology, British Medical Journal, 320, 39-42
10. Bui, L.B., Horwich, T.B & Fonarow, G.C., 2011, Epidemiology and risk
profile
of heart failure, Nature Reviews Cardiology, vol 8, 30-41
11. Dosh, S.A., 2004, Diagnosis of Heart Failure in Adults, American Family
Physician, 70 (10), 2145-2152
12. Fakultas Kedokteran UI, 2000, Kardiologi; Gagal Jantung, In: Mansjoer, A.,
Triyanti, K., Savitri, R., Wardhan, W.I. & Setyowulan, W., edisi ketiga,
Kapita Kedokteran, Yogyakarta
13. Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G. & Posey,
L.M.,
2008, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, Seventh Edition,
New york: Appleton and Lange

48
14. Soeharto, I. (2006). Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
15. Tedjasukmana, P., Karo-karo, S., Kaunang, D.R., Lukito, A.A., Tobing, D.P.,
Erwinanto, Yamin, A., 2010. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut:
Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, 4-5..
16. Kusuma, D., Hanif, M., 2004, Patofisiologis Penyakit Jantung Koroner, Buku
Ajar Kardiologi, Editor Rilantono, L. S., Baraas, F., Karo, S. K., Balai
Penerbit
FKUI, Jakarta.
17. Majid, A., 2007, Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, dan
Pengobatan Terkini (online).
(http:// respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/705/1/08E00124.pdf
diakses25 Mei 2013).
18. Soeharto, 2001, Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit Jantung Koroner,
Edisi Kedua, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
19. Yahya, A.F., 2010, Menaklukkan Pembunuh no.1 : Mencegah dan Mengatasi
Penyakit Jantung Koroner Secara Tepat, PT Mizan Pustaka, Bandung
20. Wynne J, Braunwald E. Cardiomyopathy and myocarditis. Dalam : Kasper
DL et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. 2005.
21. Sofro ASM. 2006. Aspek Genetik Kardiomiopati dalam simposium Apoptosis
Charming to Death. Hotel borobudur, Jakarta.
22. Siregar AA. 2005. Kardiomiopati Primer pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. (online),
(http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-abdullah.pdf, diakses 8 agustus
2008).
23. Gunawan CA. 2004. Kardiomiopati Hipertrofik. Cermin Dunia Kedokteran.
No. 143 hal 19.
24. Myers RP, Cerini R, Sayegh R, Moreou R, Degoti C, Lebrec D, et al. Cardiac
hepatopathy: Clinical, hemodynamic, and histologic characteristics and
correlations. Hepatology. 2003;37:393-400.
25. Bayraktar, Ulas & Bayraktar, Soley & Bayraktar, Yusuf. (2007). Hepatic
venous outflow obstruction: Three similar syndromes. World journal of
gastroenterology : WJG. 13. 1912-27.
26. Felker GM, Allen LA, Pocock SJ, Shaw LK, McMurray JJ, Pfeffer MA,
Swedberg K, Wang D, Yusuf S, Michelson EL, Granger CB. Red cell
distribution width as a novel prognostic marker in heart failure: data from the
CHARM Program and the Duke Databank. J Am Coll Cardiol. 2007;50:40–
47. [PubMed] [Google Scholar]
27. Wanless IR, Belgiorno J, Huet PM. Hepatology. Hepatic sinusoidal fibrosis
induced by cholesterol and stilbestrol in the rabbit: 1. Morphology and
inhibition of fibrogenesis by dipyridamole. 1996 Oct;24(4):855-64.
28. Ardini. The Differences of Congestive Heart Failure Etiology between Older
and Younger Patient in Kariadi Hospital Period January to December 2006.
29. Gore RM, Mathieu DG, White EM, et al. Passive hepatic congestion: cross
sectional imaging features. Am J Roentgenol.1994; 162: 71-75.

49

Anda mungkin juga menyukai