DISUSUN OLEH :
Meidelin Hoei
XC062192005
SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr.dr. Pendrik Tandean, Sp.PD,Sp.JP
Adalah benar telah menyelesaikan referat berjudul “ST Elevasi Miokard Infark” dan telah
dibacakan di hadapan supervisor dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi
dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Mengetahui,
Supervisor Pembimbing
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................5
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina Pectoris
(UAP), ST-segment Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-segment Elevation
Myocardial Infarct (NSTEMI) (Sudoyo AW et al., 2010). STEMI merupakan bagian dari
spektrum sindrom koroner akut dimana terjadinya oklusi total pembuluh darah arteri coroner,
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Infark terjadi jika
plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada
lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak
koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core).
Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri atas fibrin rich red trombus, (Santoso M et al.,
2005). Menurut Santoso M et al, faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes
mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan
aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel
endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul
vasoaktif seperti nitric oxide, yang bekerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-
proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor,
endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel. Leukosit yang
bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel
dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajang dengan kolesterol LDL teroksidasi
disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos
dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak
lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari
lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan
terbentuknya trombosis.Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang
terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Manning et al., 2004). Ketika aliran darah
menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe
elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan
STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan
kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Sudoyo et al., 2010).
Faktor risiko pada IMA terbagi menjadi dua kelompok berdasarkan dapat atau tidaknya
dimodifikasi:
Manifestasi klinis yang terjadi pada pasien dengan STEMI adalah nyeri dada
atipikal atau tipikal pada substernal yang menjalar ke punggung, bahu dan lengan kiri,
epigastrum dan rahang selama lebih dari 20 menit, didampingi dengan sesak nafas, rasa
mual, muntah, dan berkeringat dingin (Robbins SL et al., 2007).
Menurut Sudoyo AW et al., Pada gambaran EKG didapatkan adanya elevasi ST >2
mm, minimal pada 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm pada 2
sandapan ekstremitas. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua
pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit
sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi.
EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi
kemungkinan infark ventrikel kanan.
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana
pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi. Pemeriksaan
petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac
specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada
keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB (Sudoyo AW et al., 2010). CKMB
meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam
dan kembali normal dalam 2-4 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu
mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik
terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam
beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai
12.000-15.000/ul (Sudoyo AW et al., 2010). Gula darah pun dapat meningkat sebagai
refleksi dari respon stress-catecholamine dan dapat kembali normal tanpa terapi.
Pemeriksaan foto polos dada dan echocardiography dilakukan untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi, penyakit penyerta dan untuk menentukan tingkat
keparahan penyakit yang dinilai dati ejection fraction dan lokasi penyakit. Pemeriksaan
invasive yang data dilakukan adalah angiografi coroner yang dilakukan untuk
menentukan tatalaksana selanjutnya untuk pasien seperti percutaneous coronary
intervention (PCI), fibrinolysis dan operasi bypass.
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat, menghilangkan
nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang mungkin
dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat penunjang. Terapi
perlu disesusaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan
kemampuan ahli yang ada. Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan
nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI. Berdasarkan ACLS, penting untuk memeriksa
vital sign dan pemeriksaan fisik serta ECG pada 10 menit pertama. Pemberian
suplementasi oksigen dapat diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen kurang dari
90%. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162
mg. Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 5 mg sublingual
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Bila pasien tidak merespon
terhadap nitrogliserin, morfin dapat diberikan untuk mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan
dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Statin dapat diberikan untuk menurunkan kadar LDL kurang dari 70mg/dL.
Keberhasilan terapi ACS bergantung pada pengenalan dini gejala dan transfer
pasien segera ke unit/instalasi gawat darurat. Reperfusi, dengan trombolisis atau PCI
primer, diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk
semua pasien MI yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut: ST elevasi >0,1mV
pada >2 ujung sensor, ECG di dada yang berturutan (ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung
sensor di tungkai berturutan) dan adanya Left bundle branch block (LBBB) baru. PCI
primer merupakan terapi gold standard jika pasien dapat segera dibawa ke pusat
kesehatan yang menyediakan prosedur PCI. Trombolisis dipilih jika pasien segera
dirawat dalam 3 jam pertama setelah onset (idealnya dalam 1 jam). Trombolisis dalam 1
jam pertama sejak gejala muncul menghasilkan penrunan mortalitas 50%, jika lebih
lambat (dalam 12 jam setelah onset gejala) maka angka penurunan resiko mortalitas turun
(<50%). Streptokinase merupakan terapi pertama untuk mengembalikan aliran darah ke
arteri koroner yang mengalami trombosis. Trombolitik lainnya adalah tissue Plaminogen
Activator (tPA, misalnya alteplase dan yang lebih baru tenecteplase). Kontraindikasi
pemberian trombolisis antara lain, terdapat perdarahan aktif (misalnya ulkus peptik,
perdarahan gastrointestinal, varises esofagus), resiko tinggi perdarahan (misalnya pasien
usia >75 tahun), gangguan koagulasi, hipertensi berat, riwayat stroke, Riwayat bedah atau
trauma dalam 3 bulan terakhir, kehamilan, dan Riwayat mendapat trombolisis
sebelumnya.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain, aritmia, cardiogenic shock, gagal
jantung, pericardiis dan pulmonary embolism serta Dressler’s syndrome.
BAB III
KESIMPULAN
STEMI paling sering disebabkan oleh adanya total oklusi pada arteri coroner yang
disebabkan oleh adanya thrombus dan atherosclerosis. Pada umumny apasien memiliki gejala
seperti nyeri dada yang merambat ke punggung, lengan dan bahu kiri, epigastrium, serta keringat
dingin dan mual/muntah. Pemeriksaan ECG dapat ditemukan adanya elevasi segment ST pada
leads yang bergantung pada lokasi infark. Untuk terapinya sendiri, penting untuk segera
melakukan penanganan dan pemeriksaan dalam kurun waktu 10 menit setelah pasien datang
berkonsultasi dengan pemberian oksigen, nitrat,aspirin, morfin dan terapi reperfusi.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Heart Association. 2015. Coronary Artery Disease- Coronary Heart Disease.
Available from: http://www.heart.org/HEARTORG .
2. Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease. 6th Ed. China: Wolters Kluwer Health.
2016. p:161-89
3. Huon H. Gray, Keith D. Dawkins, John M. Morgan, Iain A. Simpson, Lecture notes
cardiology, Edisi 4, Erlangga Medical Series, Jakarta, 2002.
4. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
5. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York. 2004. p.227.
6. Robbins S.L, Cotran R.S, Kumar V., 2007. Buku ajar patologi. Jakarta: EGC. . Buku ajar
patologi. Jakarta: EGC.
7. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. 2005;
147: 6-9
8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing. 2010.