Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN GADAR

KRITIS GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER PADA


PASIEN STEMI DIRUANG ICU
R.S UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Disusun Oleh:
SISILIA NOVIANTI DEWI
221133115

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK


KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK JURUSAN KEPERAWATAN
PONTIANAK PROFESI NERS 2022/2023

1
VISI DAN MISI
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

VISI
"Menjadi Institusi Pendidikan Sarjana Terapan Keperawatan yang Bermutu dan Unggul
dalam Bidang Keperawatan Gawat Darurat di Tingkat Regional Tahun 2025"

MISI
1. Meningkatkan Program Pendidikan Sarjana Terapan Keperawatan yang Unggul dalam
Bidang Keperawatan Gawat Darurat yang Berbasis Kompetensi.
2. Meningkatkan Program Pendidikan Sarjana Terapan Keperawatan yang Unggul dalam
Bidang Keperawatan Gawat Darurat yang Berbasis Penelitian.
3. Mengembangkan Upaya Pengabdian Masyarakat yang Unggul dalam Keperawatan
Gawat Darurat yang Berbasis IPTEK dan Teknologi Tepat Guna.
4. Mengembangkan Program Pendidikan Sarjana Terapan Keperawatan yang Unggul dalam
Bidang Keperawatan Gawat Darurat yang Mandiri, Transparan dan Akuntabel.
5. Mengembangkan kerjasama baik lokal maupun regional

2
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN GADAR
KRITIS GANGGUAN SISTEM KARDIOVASKULER PADA
PASIEN STEMI DIRUANG ICU
R.S UNIVERSITAS TAJUNGPURA

Telah mendapat persetujuan dari Pembimbing Akademik (Clinical Teacher) dan


Pembimbing Klinik (Clinical Instructure). Telah disetujui pada :
Hari :
Tanggal :

Mahasiswa

Sisilia Novianti Dewi


221133115

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

NIP.

3
BAB I
KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi Infark Miocard Akut


Infark miocard akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah
terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran
kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang
sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit
sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan
mengalami infark (Black & Hawks, 2021).
Infark miokard merupakan daerah nekrosis otot jantung sebagai akibat
berkurangnya pasokan darah koroner yang tiba – tiba, baik absolut ataupun
relatif. Penyebab paling sering ialah trombosis yang diperberat pada, atau
pendarahan dalam, plak ateromatosa dalam asteri koronaria epikardial
(Suddarth, 2021). Infark miokard adalah kematian sel miokard yang
disebabkan oleh kondisi iskemia bermakna yang berkepanjangan (Thygesen
dkk., 2020). Infark miokard akut dapat merupakan akibat dari obstruksi aliran
darah koroner karena pecahnya plak pembuluh darah arteri koroner, atau
akibat hal lain yang lebih jarang misalnya akibat spasme pembuluh darah.
Plak merupakan konsekuensi dari proses atherosklerosis. Plak yang tidak
stabil ditandai dengan adanya inflamasi aktif pada dinding vaskular berupa
erosi, fisura ataupun ruptur plak (Jansson, 2018, Mendis dkk., 2019).
STEMI adalah kejadian oklusi mendadak di arteri koroner epikardial
dengan gambaran EKG elevasi segmen ST (A, S, Irmalita, D, I, & B, 2018).
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung
secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses
degenerative maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai
keluhan nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada
pemeriksaan EKG. Infark miokard dengan ST Elevation Myocardial Infract

1
(STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindroma koroner akut yang terdiri
dari Unstable Angina (UA), ST-segmen Elevation Myocardial Infract
(STEMI) dan Non ST-segment Elevation Myocardial Infract (N - STEMI)
(Black & Hawks, 2021). STEMI adalah fase akut dari nyeri dada yang
ditampilkan terjadi peningkatan baik frekuensi, lama nyeri dada dan tidak
dapat di atasi dengan pemberian nitrat, yang dapat terjadi saat istirahat
maupun sewaktu waktu yang disertai infark miokard akut dengan ST elevasi
(STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil (Pusponegoro, 2015).

B. Etiologi
Infark Miokard Akut pada mulanya disebabkan oleh penumpukan lemak
pada dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan ini
lama kelamaan diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jaringan ikat,
perkapuran, pembekuan darah yang semuanya akan mempersempit atau
menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal tersebut mengakibatkan otot
jantung didaerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat
menimbulkan berbagai akibat yang cukup serius, dari angina pektoris sampai
infark jantung, yang dapat mengakibatkan kematian mendadak (Ere, 2019).
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi penurunan secara
mendadak pada aliran darah koroner akibat oklusi trombotik total dari arteria
koronaria yang sebelumnya menyempit oleh aterosklerosis, sedangkan infark
miokard akut tanpa elevasi ST (N - STEMI) oklusi hanya sebagian pada arteri
koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium. Progresi lesi
aterosklerotik sampai pada titik dengan pembentukan trombus yang terjadi
merupakan proses yang kompleks yang berhubungan dengan cedera vaskuler.
Cedera ini dihasilkan atau dipercepat oleh beberapa faktor yaitu faktor risiko
yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko modifiable dapat dikontrol
dengan mengubah gaya hidup dan kebiasaan pribadi, sedangkan faktor risiko

2
yang nonmodifiable merupakan konsekuensi genetic yang tidak dapat
dikontrol. Ada lima faktor risiko yang dapat diubah (modifiable) yaitu (Ere,
2019)
1. Merokok
Merokok dapat memperparah dari penyakit koroner diantaranya
karbondioksida yang terdapat pada asap rokok akan lebih mudah
mengikat hemoglobin dari pada oksigen, sehingga oksigen yang disuplai
ke jantung menjadi berkurang. Asam nikotinat pada tembakau memicu
pelepasan katekolamin yang menyebabkan konstriksi arteri dan membuat
aliran darah dan oksigen jaringan menjadi terganggu. Merokok dapat
meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat mengakibatkan
kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
2. Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi merupakan juga faktor risiko yang dapat
menyebabkan penyakit arteri koroner. Tekanan darah yang tinggi akan
dapat meningkatkan gradien tekanan yang harus dilawan ileoh ventrikel
kiri saat memompa darah. Tekanan tinggi yang terus menerus
menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat.
3. Kolesterol darah tinggi
Tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit arteri koroner memiliki
hubungan yang erat. Lemak yang tidak larut dalam air terikat dengan
lipoprotein yang larut dengan air yang memungkinkannya dapat diangkut
dalam system peredaran darah. Tiga komponen metabolisme lemak,
kolesterol total, lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein) dan
lipoprotein densitas tinggi (high density lipoprotein). Peningkatan
kolestreol low density lipoprotein (LDL) dihubungkan dengan
meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat proses arterosklerosis.
Sedangkan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit arteri koronaria
dengan cara mengangkut LDL ke hati, mengalami biodegradasi dan
kemudian diekskresi

3
4
4. Hiperglikemia
Pada penderita diabetes mellitus cenderung memiliki prevalensi
aterosklerosis yang lebih tinggi, hiperglikemia menyebabkan peningkatan
agregasi trombosit yang dapat menyebabkan pembentukan thrombus.
5. Pola perilaku
Pola hidup yang kurang aktivitas serta stressor psikososial juga ikut
berperan dalam menimbulkan masalah pada jantung. Rosenman dan
Friedman telah mempopulerkan hubungan antara apa yang dikenal
sebagai pola tingkah laku tipe A dengan cepatnya proses aterogenesis.
Hal yang termasuk dalam kepribadian tipe A adalah mereka yang
memperlihatkan persaingan yang kuat, ambisius, agresif, dan merasa
diburu waktu Strea menyebabkan pelepasan katekolamin, tetapi masih
dipertanyakan apakah stres memang bersifat aterogenik atau hanya
mempercepat serangan.

C. Patofisiologi
Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang
bersentuhan langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel
yang semula licin menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel
dan masuk kelapisan dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin
banyak akan membuat lapisan pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal
dan jumlah sel otot bertambah. Setelah beberapa lama jaringan penghubung
yang menutupi daerah itu berubah menjadi jaringan sikatrik, yang
mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama semakin banyak plaque yang
terbentuk dan membuat lumen arteri mengecil. STEMI umumnya terjadi jika
aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI
karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis mengalami fisura, rupture

5
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis
sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi
alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Pada
lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan serotonin)
memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas trombosit juga
akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X
sehingga menkonversi protombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi
fibrin. Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi akan menyebabkan
oklusi oleh trombus sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara
mendadak dan mengakibatkan STEMI (Darliana, 2010) (Black & Hawk,
2005 & Alwi, 2006).

D. Klasifikasi
Secara morfologis Infark Miokard Akut (IMA) dibedakan atas dua jenis
yaitu: Infark Miokard Akut (IMA) transmural, yang mengenai seluruh
dinding miokard dan terjadi pada daerah distribusi suatu arteri koroner (Black
& Hawks, 2021) :
1. Infark Miokard Akut (IMA) sub-endokardial dimana nekrosis hanya
terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berupa
bercak-bercak dan tidak konfluens.
2. Infark Miokard Akut (IMA) sub-endokardial dapat regional (terjadi pada
distribusi satu arteri koroner) atau difus (terjadi pada distribusi lebih dari
satu arteri koroner).
Selain dapat dipilah berdasarkan morfologis Infark Miokard Akut (IMA)
juga dapat dibedakan atas dua jenis yaitu Berdasarkan kelainan gelombang
ST (Black & Hawks, 2021) :

6
1. STEMI
ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah pasien dengan nyeri
dada atau gejala iskemik lain yang disertai dengan elevasi segmen ST
pada dua sadapan yang berhubungan pada rekaman EKG. Infark Miokard
Akut (IMA) dengan elevasi segmen ST (ST elevasion
myocardialinfarcion = STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom
koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, Infark
Miokard Akut (IMA) tanpa elevasi ST, dan Infark Miokard Akut (IMA)
dengan elevasi ST.
2. N-STEMI
N-STEMI adalah pasien dengan gejala iskemik dan peningkatan
biomarker penanda infark miokard namun tanpa adanya elevasi segmen
ST pada EKG. Angina pectoris tak stabil (unstable angina = UA) dan
miokardakut tanpa Elevasi ST (Non ST elevation myocardial infarction =
N-STEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnose N - STEMI ditegakan
jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya
nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.

E. Tanda dan Gejala


Terbentuknya trombus akibat proses patofisiologi SKA menyebabkan
darah sulit mengalir ke otot jantung dan daerah yang diperdarahi menjadi
terancam mati. Gejala yang khas dari SKA adalah rasa nyeri, rasa terjepit,
kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri biasanya
berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20
menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu atau lengan
serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat, nyeri ini dapat
pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini
atau penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola

7
serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering. Selain gejala gejala yang
khas tersebut, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya yang terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu
hati. Keluhan diatas dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.
SKA dapat bermanifestasi sebagai angina tidak stabil atau serangan jantung
dan dapat berakibat kematian (Ere, 2019).
Pada pasien dengan Infark Miokard biasanya ditemukan tanda yaitu Nadi
cepat dan lemah, dan pasien sering mengalami diaphoresis. Sering timbul
sesak dan hal ini disebabkan oleh gangguan kontraktilitas miokardium yang
iskemik, yang menyebabkan kongesti dan edema paru. Pada miokard infark
massif yang lebih dari 40% ventrikel kiri, timbul syok kardiogenik. Pada
sebagian kecil pasien (20%-30%), miokard infark tidak menimbulkan nyeri
dada. Miokard infark “silent” ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes
mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Robbins, 2021).
Kelainan elektrokardiografik (EKG) merupakan manifestasi penting dari
infark miokard. Kelainan ini mencakup perubahan, seperti gelombang Q,
kelainan segmen ST, dan inverse gelombang T. Aritmia akibat kelainan listrik
di miokardium yang iskemik dan akibat gangguan hantaran sering terjadi
(Robbins, 2021). Evaluasi laboratorium merupakan bagian integral dalam
penatalaksanaan klinis pasien yang dicurigai mengidap miokard infark.
Sejumlah enzim dan protein lain dibebaskan ke dalam sirkulasi oleh sel
miokardium yang sekarat (Robbins, 2021).

F. Komplikasi
Terdapat beberapa Komplikasi yang muncul akibat dari STEMI yang
dijelaskan menurut Smeltzer & Bare (2018) :
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena

8
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan
dengan ukuran dan lokasi infark
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di
paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen
dijumpai kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Pada IMA, heart failure maupun gagal jantung kongestif dapat timbul
sebagai akibat kerusakan ventrikel kiri, ventrikel kanan atau keduanya
dengan atau tanpa aritmia. Penurunan cardiac output pada pump failure
akibat IMA tersebut menyebabkan perfusi perifer berkurang.
Peningkatan resistensi perifer sebagai kompensasi menyebabkan beban
kerja jantung bertambah. Bentuk yang paling ekstrim pada gagal jantung
ini ialah syok kardiogenik. Gagal jantung Kongestif dapat terjadi karena
kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Disfungsi ventrikel kiri
atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis,
sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
masif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran
setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel

9
dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi
koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic,
dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran
melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea
yang sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru
menerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu
diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan
cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak
dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke
dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran
retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu
pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri
dan vena pulmonalis.
8. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding
septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.
9. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan
parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan
massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat
berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan
jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung
ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.

10
11
10. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks
jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada
setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi
kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan
thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi
sistemik.
12. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan
pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis STEMI yang perlu dilakukan anamnesis
(tanya jawab) seputar keluhan yang dialami pasien secara detail mulai dari
gejala yang dialami, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit personal
dan keluarga, riwayat pengobatan, riwayat penyakit dahulu, dan kebiasaan
pasien. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (Majid, 2018).
1. Elektrokardiogram
EKG memberi informasi mengenai elektrofisiologi jantung. Lokasi dan
ukuran relative infark juga dapat ditentukan dengan EKG (Smeltzer &
Bare, 2019). Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi
segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q yang akhirnya
didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap
menjadi infark miokard non-Q. Dengan pemeriskaan ini maka dapat
ditegakkann diagnosis STEMI. Gambaran STEMI yang terlihat pada
EKG antara lain:

12
a. Lead II, III, aVF : Infark inferior
b. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
c. Lead V2-V4 : Infark anterior
d. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
e. Lead I, aVL : Infark high lateral
f. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
g. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
h. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu.
2. Angiografi coroner
Angiografi coroner adalah pemeriksaan diagnostic invasif yang dilakukan
untuk mengamati pembuluh darah jantung dengan menggunakan teknologi
pencitraan sinar-X. angiografi coroner memberikan informasi mengenai
keberadaan dan tingkat keparahan PJK
3. Echocardiogram
Digunakan untuk mengevaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung
khususnya fungsi vertrikel dengan menggunakan gelombang ultrasound.
4. Foto thorax
Foto thorax tampak normal, apabila terjadi gagal jantung akan terlihat
pada bendungan paru berupa pelebaran corakan vaskuler paru dan
hipertropi ventrikel
5. Percutaneus Coronary Angiografi (PCA)
Pemasangan kateter jantung dengan menggunakan zat kontras dan
memonitor x- ray untuk mengetahui sumbatan pada arteri koroner
6. Tes Treadmill
Uji latih jantung untuk mengetahui respon jantung terhadap aktivitas
7. Laboratorium :
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB.
Meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normaldalam 2-4 hari. cTn (cardiac specific
troponin). Ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah
2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan

13
cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-
10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
a. Mioglobin. Dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4-8 jam.
b. Creatinin kinase (CK). Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali
normaldalam 3-4 hari.
c. Lactic dehydrogenase (LDH). Meningkat setelah 24-48 jam bila ada
infark miokard, mencapai puuncak 3-6 hari dan kembali normal dalam
8-14 hari

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet,
memberi obat penunjang. Penatalaksanaan Pasien IMA dengan ST elevasi
dibagi menjadi beberapa kategori dibawah ini yaitu (Sofyan, 2016) :
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar
diakibatkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24
jam pertama onset gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam
pertama, sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain: 1) Pengenalan gejala oleh pasien dan
segera mencari pertolongan Medis 2) Pemanggilan tim medis emergensi
yang dapat melakukan tindakan resusitasi 3) Transportasi pasien ke
rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter
dan perawat yang terlatih. 4) Melakukan terapi reperfusi.
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh
lamanya waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk
meminta pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada

14
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan
EKG dan managemen STEMI serta ada kendali komando medis online
yang bertanggung jawab pada pemberian terapi.
2. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri
dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di
rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
3. Tatalaksana di Rumah Sakit (ICU/ICCU)
a. Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
b. Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut
dalam 4-12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah
infark miokard.
c. Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam
5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4
kali/hari
d. Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan
pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat
(200 mg/hari)
4. Tatalaksana Umum
a. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan
saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

15
b. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan
interval 5 menit.
c. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
d. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral
dengan dosis 75-162 mg.
e. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan
darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak
lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap
6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.

16
BAB II
WEB OF CAUTION (WOC)

Terjadi penurunan Aterosklerosis Tidak ada Proses


kontraktilitas jantung Oksigenasi di miokardium

Penyempitan Lumen
Gangguan fungsi Sistolik Pembuluh Darah Koroner Terjadi Metabolisme
Ventrikel secara progresif Anaerob

Penurunan Cardiac Output Tidak Ada Perfusi Darah, Peningkatan As. Laktat
Oksigen dan Nutrisi ke
Miokardium
MK. Penurunan Curah Merangsang pelepasan
Jantung adenosin dan bradikinin
Infark Miokard

Distribusi O2 ke sistemik Merangsang aktivasi


tidak adekuat Terjadi Nekrosis nociceptor
Miokardium

Penurunan kadar O2 ke Timbulnya Reseptor Nyeri


sistemik Disfungsi Otot Jantung
akibat nekrosis
Angina Pektoris
Kompensasi dengan
peningkatan nafas Kompensasi peningkatan
kinerja miokardium MK. Nyeri Akut

Sesak Nafas Sel otot jantung rusak dan


Terjadi penebalan dan
mengeluarkan enzim dalam
kekakuan otot jantung
darah
MK. Pola Nafas Tidak (hipertrofi miokardium)
Efektif
Peningkatan troponin cTn-
Impuls Listrik tidak dapat T dan cTn-I, CK, MB
dihantarkan dengan baik

Penurunan Kemampuan
Gangguan pembentukan tubuh menyediakan Energi
dan penghantaran impuls
listrik jantung
Kelemahan

Terbentuknya ST Elevasi
EKG MK. Intoleransi Aktivitas

Sumber : (Darliana, Devi. 2018. Manajemen Pasien ST Elevasi Miokard Infark


(STEMI))

17
BAB III
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah tahap dasar dari seluruh proses
keperawatan dengan tujuan mengumpulkan informasi dan data-data pasien.
Supaya dapat mengidentifikasi masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Pengkajian
yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
1. Identitas Pasien
Pada klien penderita Infark Miokard Akut (IMA) diantaranya terjadi pada
usia 35-55 tahun. Infark Miokard Akut (IMA) dapat terjadi baik pada laki
– laki maupun perempuan, tetapi Infark Miokard umumnya terjadi pada
laki-laki (Kurniawati, 2018).
2. Keluhan utama Infark Miokard Akut (IMA)
Keluhan utama yang timbul pada pasien dengan Infark Miokard Akut
(IMA) yaitu nyeri dada yang khas (seperti tertekan, berat, atau penuh)
(Kurniawati, 2018).
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Hal-hal yang perlu diketahui pada riwayat penyakit saat ini yaitu : 1)
Kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, 2) Faktor perangsang nyeri
yang spontan, 3) Kualitas nyeri: rasa nyeri digambarkan dengan rasa
sesak yang berat atau mencekik, 4) Lokasi nyeri: dibawah atau
sekitar leher, dengan dagu belakang, bahu atau lengan, 5) Beratnya
nyeri: dapat dikurangi dengan istirahat atau pemberian nitrat, 6)
Waktu nyeri: berlangsung beberapa jam atau hari, selama serangan
pasien memegang dada atau menggosok lengan kiri, 7) Diaforeasi,
muntah, mual, kadang-kadang demam, dispnea, dan 8) Syndrom
syock dalam berbagai tingkatan (Kurniawati, 2018).

18
b. Riwayat kesehatan dahulu
Hal-hal yang perlu diketahui pada riwayat dahulu yaitu : 1) Riwayat
pembuluh darah arteri, 2) Riwayat merokok, 3) Kebiasaan olahraga
yang tidak teratur, 4) Riwayat Diabetes Melitus, hipertensi, gagal
jantung kongestif, dan 5) Riwayat penyakit pernafasan kronis
(Kurniawati, 2018).
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga penyakit jantung atau Infark Miokard Akut (IMA),
Diabetes Melitus, stroke, hipertensi, penyakit vaskuler periver.
4. Keadaan Umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien Infark Miokard Akut
(IMA) biasanya baik atau kompos mentis (CM) dan akan berubah sesuai
tingkat gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat (Kurniawati,
2018).
5. Primary Survey
a. Circulation
Pada pasien infark miokard biasanya akan mengalami Nadi
lemah/tidak teratur, Takikardi, TD meningkat/menurun, Edema,
Gelisah, Akral dingin, Kulit pucat atau sianosis dan Output urine
menurun (Kurniawati, 2018).
b. Airway
Pada bagian jalan nafas biasanya akan dijumpai Sumbatan atau
penumpukan secret, dan akan terdengan suara nafas tambahan
Gurgling, snoring, crowing (jika dalam kondisi yang lebih parah)
(Kurniawati, 2018).
c. Breathing
Pasien dengan Infark Miokard akan merasakan Sesak dengan
aktivitas ringan atau istirahat, RR lebih dari 24 kali/menit, irama
ireguler dangkal, suara paru akan terdengan Ronki,krekels, Ekspansi
dada tidak maksimal/penuh dan akan menggunakan obat bantu nafas
(Kurniawati, 2018).

19
d. Disability
Pada kondisi yang lebih buruk, pasien dengan Infark Miokard akan
mengalami Penurunan kesadaran disertai dengan Penurunan refleks
(Kurniawati, 2018).
e. Eksposure
Pasien Infark Miokard sering kali mengeluhkan Nyeri dada spontan
dan menjalar dari area dada menjalar ke tangan kiri sampai ke leher
dan menembus ke area belakang tubuh (Kurniawati, 2018).
6. Secondary Survey
a. B1 (Breathing)
Klien terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal dan mengeluh
sesak napas seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya ditemukan.
Sesak napas terjadi akibat pengerahan tenaga dan disebabkan oleh
kenaikan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang meningkatkan
tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi karena terdapat kegagalan
peningkatan curah darah oleh ventrikel kiri pada saat melakukan
kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada Infark Miokardium yang kronis
dapat timbul pada saat istirahat (Kurniawati, 2018).
b. B2 (Blood)
1) Inspeksi
Inspeksi adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan lokasi
nyeri biasanya didaerah substernal atau nyeri diatas
perikardium. Penyebaran nyeri dapat meluas didada. Dapat
terjadi nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan bahu dan
tangan (Kurniawati, 2018).
2) Palpasi
Denyut nadi perifer melemah. Thrill pada Infark Miokard Akut
(IMA) tanpa komplikasibiasanya ditemukan (Kurniawati, 2018).

20
3) Auskultasi
Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume
sekuncup yang disebabkan Infark Miokard Akut (IMA). Bunyi
jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya tidak
ditemukan pada Infark Miokard Akut (IMA) tanpa komplikasi
(Kurniawati, 2018).
4) Perkusi
Batas jantung tidak mengalami pergeseran (Kurniawati, 2018).
c. B3 (Brain)
Kesadaran umum klien biasanya CM. Tidak ditemukan sianosi
perifer. Pengkajian obyektif klien, yaitu wajah meringis, perubahan
postur tubuh, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat yang
merupakan respon dari adanya nyeri dada akibat infark pada
miokardium (Kurniawati, 2018).
d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan
klien. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguri pada
klien dengan Infark Miokard Akut (IMA)karena merupakan tanda
awal syok kardiogenik (Kurniawati, 2018).
e. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi abdomen
ditemukan nyeri tekan pada ke empat kuadran, penurunan peristaltik
usus yang merupakan tanda utama Infark Miokard Akut (IMA)
(Kurniawati, 2018).
f. B6 (Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering merasa
kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan
jadwal olahraga tidak teratur. Tanda klinis lain yang ditemukan
adalah takikardi, dispnea pada saat istirahat maupun saat
beraktivitas. Kaji personale hegiene klien dengan menanyakan

21
apakah klien mengalami kesulitan melakukan tugas perawatan diri
(Kurniawati, 2018).

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah bagian dari proses keperawatan dan
merupakan penilaian klinis tentang pengalaman/tanggapan individu, keluarga,
atau masyarakat terhadap masalah kesehatan aktual / potensial / proses
kehidupan. Diagnosa keperawatan mendorong praktik independen perawat
(misalnya, kenyamanan atau kelegaan pasien) dibandingkan dengan
intervensi dependen yang didorong oleh perintah dokter (misalnya, pemberian
obat) (Nursing Student, 2015).
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon
pasien terhadap masalah kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2020).
Diagnosa berdasarkan SDKI adalah :
1. Nyeri Akut (D.0077)
a. Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak
atau lambat berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan.
b. Penyebab
Agen pencedera fisiologis (mis: Inflamasi, iskemia, neoplasma),
Agen pencidera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan), Agen
pencidera fisik (mis abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
c. Batasan Karakteristik
Kriteria mayor :
1) Sujektif : Mengeluh nyeri
2) Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,
frekuensi nadi meningkat, sulit tidur
Kriteria minor :

22
1) Subjektif : -
2) Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu
makan berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri,
berfokus pada diri sendiri, diaforesis.
d. Kondisi klinis terkait
Cedera Traumatis, kondisi pembedahan, infeksi, sindroma koroner
akut, Glaukoma.
2. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005)
a. Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang
adekuat
b. Penyebab
Depresi pusat pernapasan, Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat
bernapas, kelemahan otot pernapasan), deformitas dinding dada,
deformitas tulang dada, gangguan neuromuskular, gangguan
neurologis (mis elektroensefalogram (EEG) positif, cedera kepala,
gangguan Kejang), Imaturitas neurologis, penurunan energi,
obesitas, posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru, sindrom
hipoventilasi, kerusakan inevasi diafragma (kerusakan saraf C5 ke
atas), cedera pada medula spinalis, efek agen farmakologis,
kecemasan
c. Batasan Karakteristik
Kriteria mayor :
1) Sujektif : Dispnea
2) Objektif : Penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi
memanjang, pola napas abnormal (mis. Takipnea, bradipnea,
hiperventilasi kussmaul, cheyne-stokes)
Kriteria minor :
1) Subjektif : Ortopnea
2) Objektif : Pernapasan pursed-lip, pernapasan cuping hidung,
diameter thoraks anterior-posterior meningkat, ventilasi semenit

23
menurun, kapasitas vital menurun, tekanan ekspirasi menurun,
tekanan inspirasi menurun, eksursi dada berubah.
d. Kondisi klinis terkait
Depresi sistem saraf pusat, cedera kepala, trauma thoraks, Gullian
barre syndrome, Multiple Sclerosis, myasthenia gravis, Stroke,
Kuadriplegia, intoksikasi alkohol.
3. Penurunan Curah Jantung (D.0008)
a. Definisi
ketidakadekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh
b. Penyebab
Perubahan irama jantung, perubahan frekuensi jantung, perubahan
preload, perubahan afterload dan/atau perubahan kontraktilitas
c. Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : Lelah
2) Objektif : Edema, distensi vena jugularis, central venous
pressure (CVP) meningkat/,menurun
Kriteria minor :
1) Subjektif : -
2) Objektif : Murmur jantung, berat badan bertambah, pulmonary
artery wedge pressure (PAWP) menurun
d. Kondisi klinis terkait
Gagal jantung kongestif, sindrome koroner akut, stenosis mitral,
regurgitasi mitral, stenosis aorta, regurgitasi aorta, stenosis
trikuspidal, regurgitasi trikuspidal, stenosis pulmonal, regurgitasi
pulmonal, aritmia, penyakit jantung bawaan.
4. Intoleransi aktivitas (D.0056)
a. Definisi
Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari
b. Penyebab

24
Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, tirah
baring, kelemahan, imobilitas, gaya hidup monoton.
c. Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : Mengeluh lelah
2) Objektif : Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi
istirahat
Kriteria minor :
1) Subjektif : Dispnea saat/setelah beraktifitas, merasa tidak
nyaman setelah beraktifitas, merasa lemah
2) Objektif : Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat,
gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah aktifitas,
gambaran EKG menunjukkan iskemia,sianosis
d. Kondisi klinis terkait
Anemia, gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner, penyakit
katup jantung, aritmia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
gangguan metabolik, gangguan muskuloskeletal.

C. Perencanaan/ Intervensi
Intervensi keperawatan dibuat berdasarkan pengkajian, diagnosis
keperawatan, pernyataan keluarga, dan perencanaan , dengan merumuskan
tujuan, mengidentifikasi strategi intervensi alternative dan sumber, serta
menentukan prioritas, intervensi tidak bersifat rutin, acak, atau standar, tetapi
dirancang bagi pasien tertentu dengan siapa perawat sedang bekerja
(Friedman, 2010). Intervensi keperawatan adalah segala bentuk treatment
yang dikerjakan oleh perawat didasarkan pada pengetahuan dan penilaian
klinis untuk mencapai tujuan luaran yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP
PPNI, 2018). Diagnosa berdasarkan SIKI adalah :

25
26
No SDKI SLKI SIKI
1. Nyeri akut berhubungan (L.08066) Manajemen Nyeri (I.01014)
dengan Agen pencedera Setelah dilakukan tindakan Observasi
fisiologis keperawatan diharapkan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
(D.0077) Tingkat Nyeri Menurun intensitas nyeri
dengan Kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respon nyeri non-verbal
(skor 5) 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
2. Meringis menurun (skor 5. Identifikaffsi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri,
5) identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
3. Sikap protektif menurun 6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
(skor 5) 7. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
4. Gelisah menurun (skor 5) diberikan
5. Kesulitan tidur menurun 8. Monitor efek samping penggunaan analgetik
(skor 5) Terapeutik
1. Berikan teknik non-farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri (misal. TENS, hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkat jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri

27
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik non-farmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Pola nafas tidak efektif (L.01004) Manajemen jalan nafas (I.01011)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi
hambatan upaya nafas (mis: keperawatan diharapkan pola 1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
nyeri saat bernafas) nafas membaik dengan 2. Monitor bunyi nafas tambahan (mis: gagling, mengi,
(D.0005) Kriteria hasil : Wheezing, ronkhi)
1. Frekuensi nafas dalam 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
rentang normal Teraputik
2. Tidak ada pengguanaan Posisikan semi fowler atau fowler
otot bantu pernafasan Edukasi
3. Pasien tidak Ajarkan teknik batuk efektif
menunjukkan tanda Kolaborasi
dipsnea Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspetoran, mukolitik, jika
perlu

28
3. Penurunan curah jantung (L.02008) Perawatan jantung (I.02075)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi
perubahan preload / keperawatan diharapkan 1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung
perubahan afterload / curah jantung meningkat 2. Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung
perubahan kontraktilitas dengan Kriteria hasil : 3. Monitor intake dan output cairan
(D.0008) 1. Tanda vital dalam 4. Monitor keluhan nyeri dada
rentang normal Teraputik
2. Kekuatan nadi perifer Berikan terapi terapi relaksasi untuk mengurangi strees, jika perlu
meningkat Edukasi
3. Tidak ada edema 1. Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
2. Anjurkan berakitifitas fisik secara bertahap
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
4. Intoleransi aktivitas (L.05047) Manajemen energy (I.05178)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi
kelemahan keperawatan, diharapkan 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
(D.0056) toleransi aktivitas meningkat kelelahan
dapat teratasi dengan kriteria 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
hasil: 3. Monitor pola dan jam tidur
1. frekuensi nadi meningkat 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan
2. keluhan lelah menurun aktivitas
3. dyspnea saat beraktivitas Terapeutik
menurun 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (misalnya
4. dyspnea setelah cahaya, suara, kunjungan)\
beraktivitas menurun

29
2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/ atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
4. Fasilitasi duduk disisi tempat tidur jika tidak bisa berpindah
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan

30
D. Implementasi
Implementasi Keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan
oleh perawat dan pasien. Perawat bertanggung jawab terhadap asuhan
keperawatan yang berfokus pada pasien dan berorientasi pada tujuan dan
hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dimana tindakan dilakukan
dan diselesaikan, sebagaimana di gambarkan dalam rencana yang sudah
dibuat di atas. Implementasi adalah suatu proses pelaksanaan terapi
keperawatan yang berbentuk intervensi mandiri atau kolaborasi melalui
pemanfaatan sumber-sumber yang dimiliki pasien. Implementasi di
prioritaskan sesuai dengan kemampuan pasien dan sumber yang dimiliki
pasien (Kucoro Fadli, 2018).
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan
yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria
hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat
kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan
keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi
(Dinarti & Muryanti, 2020)

E. Rasional
Rasional (rational) merupakan suatu pola pikir dimana seseorang
cenderung bersikap dan bertindak berdasarkan logika dan nalar manusia.
Rasional juga diartikan adalah hal yang bisa dilakukan dengan hal yang ada.
Gagasan atau ide berpikir rasional memiliki keterkaitan dengan cabang ilmu
filsafat. Pemikiran rasional terjadi dengan mempelajari cara berpikir
menggunakan logika secara lurus, tepat, dan teratur. Rasionalitas diartikan
sebagai suatu konsep normatif yang mengarah pada keyakinan seseorang
dengan alasan seseorang dapat percaya dan bertindak. Namun, istilah
"rasionalitas" cenderung digunakan secara berbeda dalam berbagai disiplin
ilmu, termasuk diskusi khusus ekonomi, sosiologi, psikologi, biologi

31
evolusioner dan ilmu politik. Argumen yang dibangun dengan memenuhi
kaidah logika yang ada, dan dapat diterima akal, maka hal ini dapat sebut
sebagai bagian ekspresi rasionalitas.

F. Evaluasi
Setiadi (2020) menjabarkan dalam buku Konsep & penulisan Asuhan
Keperawatan, tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien,
keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria
hasil pada tahap perencanaan (Setiadi, 2020). Menurut (Asmadi, 2008)
Terdapat 2 jenis evaluasi :
1. Evaluasi formatif (Proses)
Evaluasi formatif berfokus pada aktifitas proses keperawatan dan
hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah
perawat mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi ini
meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOPA, yakni subjektif
(data keluhan pasien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data
(perbandingan data dengan teori), dan perencanaan.
2. Evaluasi sumatif (hasil)
Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua
aktifitas proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah
diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah
melakukan wawancara pada akhir pelayanan, menanyakan respon pasien
dan keluarga terkai pelayanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada
akhir layanan.
Ada tiga kemungkinan hasil evaluasi dalam pencapaian tujuan
keperawatan, yaitu :

32
1. Tujuan tercapai/masalah teratasi
2. Tujuan tercapai sebagian/masalah teratasi sebagian
3. Tujuan tidak tercapai/masalah belum teratasi.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ere, Y. W. (2019). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Tn. M.N.M dengan
ST Elevasi Miokard Infark Di Ruang ICCU RSUD Prof. Dr. W. Z.
Johannes Kupang. Kupang: Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.
Kurniawati, T. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Klien Infark Miokard Akut
(IMA) Dengan Masalah Nyeri Akut. Jombang: STIKes Insan Cendikia
Medika.
Sofyan, I. A. (2018). Perbandingan Clinical Outcome Pasien Infark Miokard Akut
ST-Elevasi (STEMI) Pascaterapi Intervensi Koroner Perkutan Primer Dan
Terapi Fibrinolitik Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Wati, P. Y., & Muhammad, A. K. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Pasien ST
Elevasi (STEMI) Dalam Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman. Jurnal
Kesehatan Universitas Kusuma Husada Surakarta.
Nurarif,a.h. (2015).Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis
Dan Nanda Nic Noc.yogyakarta : medication publishing yogyakarta.
Black joyce. M & Jane Hokanse Hawks (2021). Medical Surgical Nursing. vol 2.
Jakarta : Salemba Medika
Brunner, & Suddarth. (2021). Keperawatan Medikal-Bedah (12th ed.; Eka Anisa
Mardela, Ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD, et al
(2020). Third universal definition of myocardial infarction. American
Heart Journal. 126(16):2022
Mendis S, Thygesen K, Kuulasma K,Giampaoli S, Mahonen M et al. 2019. World
Health Organization definition of myocardial infarction: (2019) revision.
International Journal of Epidemiology, vol. 40, hlm. 140.
Juzar D, Irmalita. Sindrom Koroner Akut. In: Rahajoe AU, Santoso KK, editors.
Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2018. p. 138-
160.
Pusponegoro, D Aryono. 2015. Buku Panduan Basic Trauma and Cardiac
LifeSupport, Jakarta : Diklat Ambulance AGD 118
Robbins S.L, Cotran R.S, Kumar V., 2021. Buku ajar patologi. Jakarta: EGC
pp.410-415.

34
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.
Abdul Majid. 2018. Strategi Pembelajaran, Bandung. PT Remaja Rosda Karya
Darliana, Devi. 2015. “Manajemen Pasien St Elevasi Miokardial Infark
(STEMI)”. Banda Aceh: Idea Nursing Journal, Vol 1 No 1.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1 Cetakan 1. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1 Cetakan 2. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1 Cetakan 2. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

35

Anda mungkin juga menyukai