Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

STEMI

DI RUANG ICU RSUD dr.SOEDIRAN MANGUN SUMARSO

Disusun Oleh:

LOULITA APRILIA AYUNINGSYAS

S19239 / S19E

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2022/2023
KONSEP PENYAKIT

1. Definisi
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan oklusi total dari arteri
koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG (Black
& Hawks, 2018).
STEMI merupakan bagian dari Sindrom Koroner Akut (SKA) yang pada
umumnya diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis yang mengakibatkan
oklusi total pada arteri koroner dan disertai dengan tanda dan gejala klinis iskemia
miokard seperti munculnya nyeri dada, adanya J point yang persistent, adanya
elevasi segmen ST serta meningkatnya biomarker kematian sel miokardium yaitu
troponin (Wahyunadi, Sargowo, & Suharsono, 2017).
STEMI adalah sindrom klinis yang didefinisikan sebagai gejala iskemia
miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang
persisten dan diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard (Setiati, et al. 2015).
Infark miokard (Miocardial Infarction) adalah keadaan yang mengancam
kehidupan dengan tanda khas terbentuknya jaringan nekrosis otot yang permanen
karena otot jantung kehilangan suplai oksigen. Infark miokard juga diketahui
sebagai serangan jantung atau serangan koroner (Udjianti, 2018).
Miokardial infark adalah kematian jaringan otot miokard. Miokardial
infark merupakan sumbatan total pada arteri koronaria (Ruhyanudin, 2017).
STEMI adalah fase akut dari nyeri dada yang ditampilkan terjadi peningkatan baik
frekuensi, lama nyeri dada dan tidak dapat di atasi dengan pemberian nitrat, yang
dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktuwaktu yang disertai infark miokard
akut dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari
ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Pusponegoro, 2017).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa STEMI adalah
keadaan yang mengancam kehidupan dengan tanda nyeri dada yang khas
dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST dan terjadi pembentukan
jaringan nekrosis otot yang permanen karena otot jantung kehilangan suplai
oksigen yang disebabkan oleh adanya trombosis akibat dari ruptur plak
aterosklerosis yang tak stabil.

2. Etiologi
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain
aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional dan penyakit dalam lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar,
yaitu faktor resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang dapat diubah
menurut (Smeltzer, Bare, Hankle, & Cheever, 2018) yakni:
a. Faktor yang tidak dapat diuba
1. Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada
usia menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40
dan 60 tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat.
2. Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita pre- menopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia dan hipertensi berat. Setelah menopause,
insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat
bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria. Hal ini diperkirakan
merupakan pengaruh dari hormone estrogen.
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
b. Faktor risiko yang dapat diubah:
1. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan tingginya kolesterol dengan kejadian penyakit
arteri koroner memiliki hubungan yang erat. Lemak yang tidak larut dalam
air terikat dengan lipoprotein yang larut dengan air yang
memungkinkannya dapat diangkut dalam sistem peredaran darah. Tiga
komponen metabolisme lemak, kolesterol total, lipoprotein densitas renah
(low density lipoprotein) dan lipoprotein densitas tinggi (high
densitlipoprotein). Peningkatan kolesterol Low Density Lipoprotein (LDL)
dihubungkan dengan meningkatnya risiko koronaria dan mempercepat
proses arterosklerosis. Sedangkan kadar kolesterol High Density
Lipoprotein (HDL) yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap
penyakit arteri koronaria dengan cara mengangkut LDL ke hati,
mengalami biodegradasi dan kemudian diekskresi.
2. Hipertensi
Hipertensi juga merupakan faktor risiko yang menyebabkan penyakit arteri
koroner. Tekanan darah yang tinggi akan dapat meningkatkan gradien
tekanan yang harus dilawan oleh ventrikel kiri saat memompa darah.
Tekanan darah yang tinggi terus menerus dapat mengakibatkan suplai
kebutuhan oksigen di jantung meningkat.
3. Merokok
Merokok dapat membuat penyakit koroner semakin memburuk di
akibatkan karena karbondioksida yang terkandung dalam asap rokok akan
lebih mudah mengikat hemoglobin daripada oksigen, sehingga oksigen
yang dikirim ke jantung menjadi berkurang. Nikotin pada tembakau dapat
memicu pelepasan katekolamin yang mengakibatkan konstriksi pada arteri
dan membuat aliran darah serta oksigen ke jaringan menjadi terganggu.
Merokok dapat meningkatkan adhesi trombosit yang akan dapat
mengakibatkan kemungkinan peningkatan pembentukan thrombus.
4. Diabetes mellitus
Penyakit DM dapat menginduksi hiperkolesterolemia serta meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Penderita diabetes lebih berisiko menderita
infark miokard dari pada yang tidak menderita diabetes. Penderita diabetes
mellitus mempunyai prevalensi yang lebih tinggi mengalami
aterosklerosis, karena hiperglikemia dapat mengakibatkan peningkatan
agregasi trombosit yang dapat membentuk thrombus.
5. Stres psikologik
Stres dapat mengakibatkan peningkatan katekolamin yang bersifat
aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
4. Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang ada sebelumnya
(Ashar, 2017). Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya pembuluh darah kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injuri vascular dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid (Ginanjar & Sjaaf, 2019). Pada sebagian
besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau
ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis dan akumulasi
lipid. Sehingga terjadi trombus mular pada lokasi ruptur yang mengakibatkan
oklusi koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung
mengalami ruptur jika mempunyai fibrosis cup yang tipis dan kaya inti. Pada
STEMI gambaran patologi klasik terdiri dari fibrin rich red trombus yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terapi trombolitik
(Ulinnuha, 2017).
Kemudian pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang paten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan formasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai fungsi tinggi
terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti
faktor von willebrand dan fibrinogen dimana keduanya adalah molekul
multivalent yang dapat mengikat platelet yang berbeda secara simultan.
Menghasilkan ikatan silang platelet yang agregasi (Ashar, 2017).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konkersi protrombin
menjadi thrombin yang kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
dari agregat trombosit dan fibrin. Iskemia yang berlangsung lebih dari 30 – 45
menit akan menyebabkan kerusakan sel irreversible serta nekrosis atau kematian
otot. Bagian miokardium yang mengalami infark atau nekrosis akan berhenti
berkontraksi secara permanen (Ginanjar & Sjaaf, 2019).
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri
koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Ulinnuha, 2017).
5. Manifestasi Klinis Stemi
Tanda dan gejala yang dirasakan pada pasien STEMI menurut (Black &
Hawks, 2018):

1. Nyeri dada sentral yang berat terjadi secara mendadak dan terus menerus
tidak mereda, biasanya dirasakan diatas region sternal bawah dan abdomen
bagian atas, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa
diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung lebih dari 20 menit, tidak
berkurang dengan pemberian nitrat. Nyeri dapat menjalar ke arah rahang
dan leher. Gejala yang menyertai yaitu berkeringat, pucat, mual, sulit
bernapas, cemas dan lemas
2. Ekstremitas yang teraba dingin, perspirasi, rasa cemas dan gelisah akibat
pelepasan katekolamin
3. Tekanan darah dan denyut nadi pada mulanya meninggi sebagai akibat
aktivasi sistem saraf simpatik. Jika curah jantung berkurang, tekanan darah
mungkin turun. Bradikardi dapat disertai gangguan hantaran, khususnya
pada kerusakan yang mengenai dinding inferior ventrikel kiri
4. Keletihan dan rasa lemah akibat penurunan perfusi darah ke otot rangka
5. Nausea dan vomitus akibat stimulasi yang bersifat refleks pada pusat
muntah oleh serabut saraf nyeri atau akibat refleks vasovagal
6. Sesak napas dan bunyi krekels yang mencerminkan gagal jantung
7. Suhu tubuh yang rendah selama beberapa hari setelah serangan infark
miokard akut akibat respon inflamasi
8. Distensi vena jugularis yang mencerminkan disfungsi ventrikel kanan dan
kongesti paru
9. Bunyi jantung S3 dan S4 yang mencerminkan disfungsi ventrikel
6. Komplikasi Stemi
a. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik pada pasien denga STEMI dapat disebabkan oeh left
ventricle infark luas atau dengan komplikasi mekanik, termasuk pecah
papiler otot, septum ventrikel pecah, bebas dinding pecah denga
tamponade dan righ ventricle infark. Timbulnya syok kardiogenik akibat
komplikasi mekanik setelah STEMI. Kebanyakan kasus terjadi dalam
waktu 24 jam. Bagi mereka dengan kegagalan pompa, 15% kasus terjadi
saat STEMI sedang berlangsung dan 85% berkembang selama di rumah
sakit (Wahyudi & Gani, 2019).
b. Gagal jantung berat
Perkembangan gagal jantung atau heart failure setelah STEMI merupakan
indikasi untuk melakukan angiografi denga maksud untuk melanjutkan
dengan revaskularisasi jika tidak dilakukan sebelumnya. Left ventricle
miokardium mungkin iskemik, tertegun, hibernasi atau injuri yang tidak
dapat diperbaiki serta penilaian kelayakan mungkin diperlukan tergantung
pada waktu revaskularisasi (Gayatri, Firmansyah, S, & Rudiktyo, 2017).
c. Infark ventrikel kanan
Infark right ventricle paling sering disebabkan oleh oklusi proksimal arteri
koroner kanan dan berkaitan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.
Triase klinis hipotensi, bidang paru- paru yang jelas dan tekanan vena
jugularis yang meningkat (Fitriadi & Putra, 2018).

7. Penatalaksanaan Stemi
a. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Nitrogliserin
Nitrogliserin (NTG) seblingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg dan
dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG selain untuk
mengurangi nyeri dada juga untuk menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. NTG harus dihindari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik < 90 mmHg atau pasien yang dicurigai mengalami infark
ventrikel kanan (Bosson et al., 2019).
2. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tata laksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2 - 4 mg dapat tingkatkan 2 - 8 mg IV serta dapat di ulang
dengan interval 5 - 15 menit. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriol melalui penurunan
simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri (Tussolihah, 2018).
3. Aspirin
Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI.
Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan dengan reduksi
kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
162 mg - 325 mg di ruang emergensi dengan daily dosis 75-162 mg
(Tussolihah, 2018).
4. Beta blocker
Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Jika
tidak ada kontraindikasi, pasien diberi beta‐ blocker kardioselektif
misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus
terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi terapi
beta‐blocker adalah: hipotensi dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg
bradikardi <50 denyut/menit, adanya heart block, riwayat penyakit saluran
nafas yang reversible, beta‐blocker harus dititrasi sampai dosis maksimum
yang dapat ditoleransi (Tussolihah, 2018).
5. Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi
lancar. Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI)
yang berupa tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat
melalui jalur infuse (agen fibrinolitik) (Bosson et al., 2019).
b. Penatalaksanaan Non Farmakologis
1. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal
infark dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan
STEMI harus tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama.
Kemudian, jika tidak terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk
untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantung kaki mereka ke sisi
tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. Latihan ini
bermanfaat secara psikologis dan biasanya menurunkan tekanan kapiler
paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi lain, pasien dapat
berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang ditingkatkan
secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien harus
sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari (Smeltzer et al.,
2017).
2. Istirahat fisik
Bedrest dengan posisi semifowler atau menggunakan cardiac chair dapat
mengurangi nyeri dada dan dispnea. Posisi kepala yang lebih tinggi sangat
bermanfaat bagi pasien karena: Volume tidal dapat diperbaiki karena
tekanan isi abdomen terhadap diafragma berkurang sehinngga pertukaran
gas dapat lebih baik, (2) Drainase lobus atas paru lebih baik serta (3)
Aliran balik vena ke jantung (preload) berkurang sehingga mengurangi
kerja jantung (Gusti, 2019).
3. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien
hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam
pertama. Asupan nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ±
300 mg/hari. Kompleks karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori
total. Diet yang diberikan harus tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi
rendah natrium (Itsiopoulos et al., 2018).

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien, seperti:
Pasien mengatakan nafasnya sesak dan engap, dan nyeri di bagian dada.
b. Riwayat kesehatan keluarga:
Pasien mengatakan hanya dia yang memiliki riwayat penyakit.
c. Riwayat kesehatan masa lalu:
Pasien mengatakan ada riwayat penyakit diabetes 2 tahun yang lalu

2. Pemeriksaan Fokus
B1= Pasien bernapas spontan dengan nasal kanul 3 LPM. RR pasien 20
X.menit. Sp O2 100%. Paru kanan kiri vesikuler, whezing -/-, dada
simetris, retraksi dada (-), batuk (-), sekret (-), epistaksis(-), vocal
fremittus normal, perkusi sonor.
B2= Terpasang IV line, TD 113/80 mmHg, nadi 95x/menit, suhu 36,5 0C.
ECG: Irama Sinus, Rate 97x/menit, axis normal.
B3= Kesadaran komposmentis, pupil isokor 3mm/3mm, reaksi cahaya+,
konjungtiva tidak ikterik, pergerakan bola mata normal, penciuman,
pendengaran dan pengecapan dalam batas normal, refleks patella +, refleks
patologis (-).
B4 = BAK lancar warna jenih, urin 80 cc/ jam, Tidak terdapat distensi
kandung kemih, terpasang DC.
B5 = perut lunak, suara dulness, bising usus (+) , tympani (+), bibir tidak
pucat, tidak ada nyeri perut atau asites. TB: 165 cm, BB: 60 Kg.
B6 = Tidak ada kelainan kongenital, pasien mobilisasi di tempat tidur,
kebutuhan dibantu. Kelembaban cukup. Kulit, rambut dan kuku bersih.
Kulit tidak ada tanda-tanda kemerahan (decubitus), warna kulit kuning
langsat, tidak ada jaringan parut, keadaaan vascularisasi superfisial cukup,
kulit teraba hangat, turgor cukup, kulit kepala bersih. Rambut bersih warna
hitam, tidak mudah rontok.

3. Pemeriksaan fisik

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

NO. DATA ETIOLOGI MASALAH


1. DS :
Pasien mengatakan nyeri dada Aterosklerosis

DO : Nyeri Akut
Suplai darah tidak
TD= 113/80 mmHg, HR 95x/menit,
adekuat
suhu 36,50C, RR 20x/menit, O2 3 lpm,
SpO2 100%.
ECG : STEMI anterior, normal axis.
Rusaknya jaringan
jantung

Nyeri akut
Aterosklerosis
2. DS :
Pasien mengatakan nyeri saat makan
Suplai oksgen tidak
atau aktivitas.
seimbang Intoleransi aktivitas
DO :
Pasien hanya istirahat di tempat tidur
Intoleransi aktivitas
dengan posisi semifowler, mobilisasi
diatas tempat tidur, kebutuhan dibantu
oleh keluarga dan perawat.

1. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (D.0077)


2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen (D.0056)

C. PERENCANAAN KEPERAWATAN

Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan

1. Nyeri Setelah dilakukan Manajemen Nyeri


berhubun tindakan
gan keperawatan I.08238
dengan selama 3 x 24 jam, O:
agen masalah
penceder keperawatan 1. Identifikasi
a tingkat nyeri dapat skala nyeri
fisiologis teratasi dengan 2. Identifikasi
kriteria hasil : respons nyeri
(D.0077) L.08066 non verbal
3. Monitor efek
- Keluhan samping
nyeri penggunaan
menurun 5
Intoleransi
aktivitas b/d - Gelisah analgetik
ketidakseimbang menurun 5
an antara suplai - Ketegangan T:
dan kebut otot 1. Berikan teknik
menurun 5 nonfarmakolog
uhan oksigen - Frekuensi
d/d Pasien is untuk
nadi mengurangi
mengatakan membaik 5
cepat lelah jika rasa nyeri
- Tekanan (relaksasi nafas
berjalan jauh, darah
Pasien dalam dan
membaik 5 terapi music)
mengatakan - Nafsu
nafasnya sesak 2. Fasilitasi
makan istirahat dan
dan engap membaik 5 tidur
- Pola tidur
membaik 5
D.0056 E:
Setelah dilakukan
tindakan 1. Jelaskan
keperawatan 3 x strategi
24jam masalah meredakan
keperawatan nyeri
inoleransi aktivitas 2. Ajarkan teknik
dapat teratasi nonfarmakolog
dengan kriteria is untuk
hasil: L.05047 mengurangi
rasa nyeri
Toleransi
terhadap aktivitas

a. Saturasi oksigen I.05186


meningkat (5)
Terapi aktivitas
b. Kemudahan
dalam a. O :
melakukan 1. Identifikasi
aktivitas sehari- defisit tingkat
hari meningkat aktivitas
(5) 2. identifikasi
c. Keluhan lelah makna aktivitas
menurun (5) rutin bekerja dan
d. Dispnea saat waktu luang
aktivitas
menurun (5)
e. Dispnea setelah T:
aktivitas 1. Fasilitasi
menurun (5) memilih
f. Aritmia saat aktivitas dan
aktivitas tetapkan tujuan
menurun (5) aktivitas yang
g. Aritmia setelah konsisten
aktivitas sesuai
menurun (5) kemampuan
h. Tekanan darah fisik ,
membaik (5) spikologis, dan
i. Frekuensi nafas sosial
membaik (5) 2. Koordinasikan
j. EKG iskemia pemilihan
membaik (5) aktivitas sesuai
usia
3. Fasilitasi
aktivitas fisik
rutin (mis.
Ambulasi,
perawatan diri
dan mobilisasi)
sesuai
kebutuhan
4. Fasilitasi
aktivitas
motorik untuk
merelaksasi
otot
5. Libatkan
keluarga dalam
aktivitas, jika
perlu
6. Jadwalkan
aktivitas dalam
rutinitas sehari-
hari

E:

1. Jelaskan
metode
aktivitas fisik
sehari-hari, jika
perlu
2. Ajarkan cara
melakukan
aktivitas yang
dipilih
3. Ajurkan
keluarga untuk
memberi
penguatan
positif atas
partisipasi
dalam aktifitas
kolaborasi

D. EVALUASI
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam maka :
NO EVALUASI
DIAGNOSA
S : Pasien mengatakan sudah tidak nyeri dada
O:
- Tampak nyaman
- T= TD= 120/75 mmHg, HR= 93x/menit, suhu 36,70C, RR
1 20x/menit, PU= 100 cc/jam
- disritmia (-), takikardia(-), takipnea(-), hipotensi(-)
- ECG: Stemi anterior, Normal axis

A: Masalah teratasi

P : Intervensi selesai

S: Pasien mengatakan bisa aktivitas tanpa nyeri dada


O:
- Pasien istirahat di tempat tidur dengan posisi semifowler
- Mobilisasi px diatas tempat tidur
2 - Kebutuhan px dibantu sebagian oleh keluarga dan perawat.
A: Masalah teratasi sebagian

P : Intervensi selesai

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, R., Pangemanan, J. & Palar, S., 2018. Hubungan Antara Perilaku
Merokok Dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner. Jurnal e-Clinic (eCI),
Volume 3,. 98-102.

Aggarwal, H., 2017. Stres Hyperglycemia as a Prognostic Indicator in


NonDiabetic Myocardial Infarction Patiens. Webmed Central,. 1-7.

Alwi, I., 2019. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST . In: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Internapublishing,. 1741-1756.

Herman, S I; Syukri, M; Efrida, 2018. Hubungan Faktor Risiko yang dapat


Dimodifikasi dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner di RS Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, Vol 4(2),. 369-375
Majid, A., 2017. Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, Dan
Pengobatan Terkini. Medan, USU e-Repository,. 1-54.

Thiele, H; Rach, J; Klein, N; Pfreirich, D; Hartmann, A; Hambrecht, R; Sick, P;


Eitel, I., 2018. Optimal Timing Of Invasive Angiography In Stabel Non-ST-
Elevation Myocardial Infarction: The Leipzig Immediate Versus Early And
Late Percutaneous Coronary Intervention Trial In NSTEMI (LIPSIA-
NSTEMI Trial). European Heart Journal,. 1-9.

Anda mungkin juga menyukai