Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

LANSIA DENGAN CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)

OLEH

NAMA : FERENSINA SELAN


NIM : PO. 530320119117
TINGKAT : III REGULER A

Pembimbing Klinik/CI Pembimbing Institusi

Yohana E. Dhana, S.Kep, Ns Oklan Liunokas, S.KM., M.Kes

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI D-III KEPERAWATAN

2021/2022
BAB 1
KONSEP PENYAKIT
1.1 Konsep Penyakit
1.1.1 Definisi
Coronary Artery Disease (CAD) atau lebih dikenal Penyakit Jantung Koroner
(PJK) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena adanya
penyempitan dan tersumbatnya pembuluh darah jantung. Kondisi ini dapat
mengakibatkan perubahan pada berbagai aspek, baik fisik, psikologis, maupun sosial
yang berakibat pada penurunan kapasitas fungsional jantung dan kenyamanan
(Mutarobin dkk, 2019).
Penyakit infark miokard akut atau jantung koroner (PJK)/Acute coronary
syndrome (ACS) adalah gejala yang disebabkan adanya penyempitan atau
tersumbatnya pembuluh darah arteri koroner baik sebagian/total yang mengakibatkan
suplai oksigen pada otot jantung tidak terpenuhi (Kemenkes RI, 2016).
CAD merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai dengan
penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding
pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri dan
penurunan aliran darah ke jantung (Setyaji dkk, 2018).
1.1.2 Klasifikasi
Menurut Muhammad Supri D (2019) klasifikasi penyakit jantung koroner ada 4
yaitu sebagai berikut :
1) Angina Pectoris atau Stable Angina
Angina pectoris atau Stable Angina merupakan jenis penyakit jantung
yang paling ringan yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan suplai
darah dengan kebutuhan otot jantung yang sifatnya hanya sementara.
Penyebab dari gangguan suplai darh tersebut karena terjadinya penyempitan
pembuluh darah koroner yang dikarenakan terjadinya proses arthersklerosis
pada pembuluh koroner, sehingga terjadi hambatan pada aliran darah tetapi
tidak total.
2) Angina Tidak Stabil atau Unstable Angina
Definisi dari angina tidak stabil kurang lebih sama dengan angina
pectoris hanya saja yang membedakan yaitu derajat sakitnya lebih berat,
waktu kemunculan angina tidak stabil bisa kapan saja dan intensitas keluhan
yang lebih lama.
3) Prinzmetal Angina
Prinzmetal Angina merupakan gangguan yang terjadi karena adanya
sumbatan secara komplit disebabkan karena adanya spasme pada pembuluh
darah koroner. Jika dalam waktu 20 menit tidak segera ditangani maka dapat
menyebabkan injury pada sel – sel otot jantung.
4) Infark Miokard Akut
Infark miokard akut di bagi menjadi 2 yaitu:
a) ST Segmen Elevasi Myocardial Infraction (STEMI).
ST Segmen Elevasi Myocardial Infraction (STEMI) disebabkan
karena adanya sumbatan total pada pembuluh darah koroner yang
dapat menyebabkan injury pada sel sel otot jantung bahkan sampai
mengenai lapisan oto jantung bagian luar. Tanda dari STEMI yaiu
adanya kenaikan enzim pada jantung (CKMB atau Troponin).
b) Non ST Segmen Elevasi Myocardial Infraction (NSTEMI).
Pada Non ST Segmen Elevasi Myocardial Infraction
(NSTEMI) sudah terjadi injury ada sel sel otot jantung. NSTEMI
terjadi pada saat angina pectoris atau angina tidak stabi tidak dideteksi
secara dini maupun tidak ditangani dengan tepat. Keluhan yang
dialami kurang lebih sama dengan angina tidak stabil.
1.1.3 Etiologi
Penyebab utama dari CAD adalah terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis
adalah pengerasan pada dinding arteri. Aterosklerosis ditandai dengan adanya
penimbunan lemak, kolesterol, di lapisan intima arteri. Timbunan ini dinamakan
ateroma atau plak. Walaupun pengetahuan tentang kejadian etiologi tidak lengkap,
namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggung jawab untuk
perkembangan aterosklerosis. Ada beberapa faktor resiko yang mengakibatkan
terjadinya CAD yaitu:
1) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi
a) Usia
Kerentanan terhadap aterosklerosis meningkat dengan bertambahnya usia.
Pada laki- laki biasanya risiko meningkat setelah umur 45 tahun sedangkan
pada wanita umur 55 tahun.
b) Jenis Kelamin
Aterosklerosis 3 kali lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Wanita
agaknya relatif lebih kebal terhadap penyakit ini karena dilindungi oleh
hormon estrogen, namun setelah menopause sama rentannya dengan pria.
c) Ras
Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis dibanding orang
kulit putih.
d) Riwayat Keluarga CAD
Riwayat keluarga yang ada menderita CAD, meningkatkan kemungkinan
timbulnya aterosklerosis prematur.
2) Faktor yang dapat dimodifikasi
a) Hiperlipidemia adalah peningkatan lipid serum, yang meliputi: Kolesterol >
200 mg/dl, Trigliserida > 200 mg/dl, LDL > 160 mg/dl, HDL < 35 mg/dl.
b) Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan atau diastolik.
Hipertensi terjadi jika tekanan darah melebihi 140/90 mmHg. Peningkatan
tekanan darah mengakibatkan bertambahnya beban kerja jantung. Akibatnya
timbul hipertrofi ventrikel sebagai kompensasi untuk meningkatkan kontraksi.
Ventrikel semakin lama tidak mampu lagi mengkompensasi tekanan darah
yang terlalu tinggi hingga akhirnya terjadi dilatasi dan payah jantung. Dan
jantung semakin terancam oleh aterosklerosis koroner.
c) Merokok
Merokok akan melepaskan nikotin dan karbonmonoksida ke dalam darah.
Karbonmonoksida lebih besar daya ikatnya dengan hemoglobin daripada
dengan oksigen. Akibatnya suplai darah untuk jantung berkurang karena telah
didominasi oleh karbondioksida. Sedangkan nikotin yang ada dalam darah
akan merangsang pelepasan katekolamin. Katekolamin ini menyebabkan
konstriksi pembuluh darah sehingga suplai darah ke jantung berkurang.
Merokok juga dapat meningkatkan adhesi trombosit yang mengakibatkan
terbentuknya thrombus.
d) Diabetes Mellitus
Hiperglikemi menyebabkan peningkatan agregasi trombosit. Hal ini akan
memicu terbentuknya trombus. Pasien Diabetes Mellitus juga berarti
mengalami kelainan dalam metabolisme termasuk lemak karena terjadinya
toleransi terhadap glukosa.
e) Obesitas
Obesitas adalah jika berat badan lebih dari 30% berat badan standar. Obesitas
akan meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen.
f) Inaktifitas Fisik
Inaktifitas fisik akan meningkatkan risiko aterosklerosis. Dengan latihan fisik
akan meningkatkan HDL dan aktivitas fibrinolysis.
g) Stres dan Pola tingkah Laku
Stres akan merangsang Hiperaktivitas HPA yang dapat mempercepat
terjadinya CAD. Peningkatan kadar kortisol menyebabkan ateroklerosis,
hipertensi, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah dan merangsang
kemotaksis.
(Muhammad Supri D, 2019)
1.1.4 Patofisiologi
Menurut LeMone, Priscilla, dkk tahun (2019) penyakit jantung koroner
biasanya disebabkan oleh faktor resiko yang tidak bisa dirubah (umur, jenis kelamin,
dan riwayat keluarga) dan faktor resiko yang bisa dirubah (hipertensi, hiperlipidemia,
diabetes melitus, merokok, obesitas, stress, dan kurang aktifitas fisik). Paling utama
penyebab penyakit jantung koroner adalah aterosklerosis. Aterosklerosis disebabkan
oleh factor pemicu yang tidak diketahui yang dapat menyebabkan jaringan fibrosa dan
lipoprotein menumpuk di dinding arteri. Pada aliran darahlemak diangkut dengan
menempel pada protein yang disebut apoprotein. Keadaan hiperlipedemia dapat
merusak endotelium arteri. Mekanisme potensial lain cedera pembuluh darah
mencakup kelebihan tekanan darah dalam sistem arteri. Kerusakan endotel itu sendiri
dapatmeningkatkan pelekatan dan agregasi trombosit serta menarik leukosit ke area
tersebut. Hal ini mengakibatkan Low Density Lipoprotein (LDL) atau biasanya
disebut dengan lemak jahat yang ada dalam darah. Semakin banyak LDL yang
menumpk maka akan mengalami proses oksidasi.
Plak dapat mengurangi ukuran lumen yang terdapat pada arteri yang
terangsang dan menggangu aliran darah. Plak juga dapat menyebabkan ulkus
penyebab terbentuknya trombus, trombus akan terbentuk pada permukaan plak, dan
penimbunan lipid terus menerus yang dapat menyumbat pembuluh darah. Lesi yang
kaya lipid biasanya tidak stabil dan cenderung robek serta terbuka. Apabila fibrosa
pembungkus plak pecah (ruptur plak), maka akan menyebabkan debris lipid terhanyut
dalam aliran darah dan dapat menyumbat arteri serta kapiler di sebelah distal plak
yang pecah. Akibatnya otot jantung pada daerah tersebut mengalami gangguan aliran
darah dan bisa menimbulkan aliran oksigen ke otot jantung berkurang. Peristiwa
tersebut mengakibatkan sel miokardium menjadi iskemik sehingga hipoksia.
Mengakibatkan proses pada miokardium berpindah ke metabolisme anaerobik yang
menghasilkan asam laktat sehingga merangsang ujung saraf otot yang menyebabkan
nyeri.
Jaringan menjadi iskemik dan akhirnya mati (infark) disebabkan karena suplai
darah kearea miokardium terganggu. Ketika sel miokardium mati, sel hancur dan
melepaskan beberapa iso enzim jantung ke dalam sirkulasi. Kenaikan kadar kreatinin
kinase (creatinine kinase), serum dan troponin spesifik jantung adalah indikator infark
mioardium.
1.1.5 Tanda & gejala
Tanda dan gejala khas PJK adalah keluhan rasa tidak nyaman di dada atau
nyeri dada (angina) yang berlangsung selama lebih dari 20 menit saat istirahat atau
saat aktivitas yang disertai gejala keringat dingin atau gejala lainnya seperti lemah,
rasa mual, dan pusing (Kemenkes RI, 2020)
1) Nyeri dada
2) Tertekan di daerah dada
3) Rasa berat di dada
4) Rasa mual atau nyeri ulu hati
5) Keringat Dingin
6) Rasa terbakar
1.1.6 Komplikasi
1) Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti pada sistem sirkulasi
miokardium. Gagal jantung kongestif merupakan suatu keadaan dimana jantung
tidak dapat memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan.
2) Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ini ditandai oleh adanya gangguan fungsi pada ventrikel kiri
yang di sebabkan oleh infark miokardiummengakibatkan gangguan berat pada
perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan yang khas.
3) Edema Paru
Edema paru merupakan suatu cairan abnormal yang tertimbun pada paru baik
dalam alveoli atau dirongga intersitial. Paru menjadi kaku dan tidak dapat
mengembang karena tertimbun cairan, sehingga udara tidak bisa masuk maka
terjadi hipoksia berat.
4) Pericarditis Akut
Pericarditis akut adalah penyakit yang biasa di sebut dengan peradangan pada
pericardium yang bersifat jinak dan terbatas sendiri dan dapat terjadi manifestasi
dari penyakit sistemik. Efek yang ditimbulkan dari pericarditis adalah efusi
prikardinal yang memicu tamponade jantung.
(Wicaksono, 2019).
1.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sari (2019) pemeriksaan penunjang pada PJK, yaitu :
1) Laboratorium

Pemeriksaan Hasil

LDL (≥ 130 mg/dL)

HDL (pria ≤ 40 mg/dL,


wanita ≤ 50 mg/dL)

kolesterol total (≥ 200 mg/dL

trigliserida (≥ 150 mg/dL)

CK (pria ≥ 5-35 Ug/ml,


wanita ≥5-25 Ug/ml

CKMB (≥ 10 U/L)

troponin (≥ 0,16 Ug/L)

SGPT (pria ≥ 42 U/L, wanita


32 U/L),

SGOT (pria ≥ 37 U/L, Wanita


≥ 31 U/L)
2) Elektrokardiogram (EKG)
Pada hasil pemeriksaan EKG untuk penyakit jantung koroner yaitu terjadinya
perubahan segmen ST yang diakibatkan oleh plak aterosklerosis maka memicu
terjadinya repolarisasi dini pada daerah yang terkena infark atau iskemik. Hal
tersebut mengakibatkan oklusi arteri koroner yang mengambarkan ST elevasi
pada jantung sehinggadisebut STEMI. Penurunan oksigen di jaringan jantung juga
menghasilkan perubahan EKG termasuk depresi segmen ST. dimana gelombang T
menggalami peningkatan, dan amplitudo gelombang ST atau T yang menyamai
atau melebihi amplitude gelombang QRS.
3) Foto rontgen dada
Foto rontgen dada dapat melihatada tidaknya pembesaran (kardiomegali ),
menilai ukuran jantung dan dapat meliat gambaran paru. Yang tidak dapat dilihat
adalah kelainan pada koroner. Dari ukuran jantung yang terlihat pada foto rontgen
dapat digunakan untuk penilaian seorang apakah sudah mengalami PJK lanjut.
4) Echocardiography
Untuk mengambil gambar dari jantung memerlukan pemeriksaan scanner
menggunakan pancaran suara. Untuk melihat jantung berkontraksi serta melihat
bagian area mana saja yang berkontraksi lemah akibat suplai darahnya berhenti
(sumbatan arteri koroner).
5) Treadmill
Dengan menggunakan treadmill dapat diduga apakah seseorang menderita
PJK. Memang tingkat akurasinya hanya 84% pada laki-laki dan 72% pada
perempuan. Dapat diartikan dari 100 orang laki-laki yang terbukti cuma 84 orang.
6) Katerisasi Jantung
Pemeriksaan katerisasi jantung dilakukan dengam memasukan semacam
selang seukuran lidi yang disebut kateter. Selang ini langsung dimasukkan ke
pembuluh nadi (arteri). Kemudian cairan kontras disuntikan sehingga akan
mengisi pembuluh koroner. Kemudian dapat dilihat adanya penyempitan atau
bahkan penyumbatan. Hasil katerisasi ini akan dapat ditentukan untuk penanganan
lebih lanjut, yaitu cukup menggunakan obat saja atau intervensi yang dikenal
dengan balon.
7) Angiography
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rutin dan aman. Cara langsung
memeriksa keadaan jantung yaitu dengan sinar-X terhadap arteri koroner yang
dimasukan zat pewarna (dye) yang bisa direkam dengan sinar-X. Karena jantung
terus bergerak (berdenyut) maka dilakukan pengambilan gambar dengan video.
Untuk pengambilan gambar ini melakukan tindakan katerisasi jantung.
KONSEP LANSIA

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam
Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi
sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat,
sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah.
Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan
kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai
keagamaan dan budaya bangsa. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang
terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).
2.1.2 Batasan Lansia
Di Indonesia lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1
Pasal 1 Ayat 2 (Nugroho,2008). Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia
adalah sebagai berikut :
a. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikatakan lanjut usia tersebut
dibagi kedalam tiga kategori yaitu :
1) Usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun
2) Usia tua (old) : 75-89 tahun
3) Usia sangat lanjut (very old) : > 90 tahun
b. Menurut Dep. Kes. RI
Departemen Kesehatan Republik Indonesia membaginya lanjut usia menjadi
sebagai berikut :
1) Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun), keadaan ini dikatakan sebagai
masa virilitas.
2) Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai masa presenium.
3) Kelompok-kelompok usia lanjut (> 65 tahun) yang dikatakan sebagai masa
senium.
c. Maryam (2008) mengklasifikasikan lansia antara lain :
1). Pralansia (praselinis)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2). Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih 10
3). Lansia Risiko Tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih / seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes RI, 2013)
4). Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang atau jasa (Depkes RI, 2013)
5). Lansia Tidak Potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain (Depkes RI, 2013).
2.1.3 Karakteristik Lansia
Karakteristik lansia menurut Ratnawati (2017); Darmojo & Martono (2006) yaitu :
1) Usia
Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Ratnawati, 2017).
2) Jenis kelamin
Data Kemenkes RI (2015), lansia didominasi oleh jenis kelamin perempuan.
Artinya, ini menunjukkan bahwa harapan hidup yang paling tinggi adalah
perempuan (Ratnawati, 2017).
3) Status pernikahan
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI SUPAS 2015, penduduk lansia ditilik dari
status perkawinannya sebagian besar berstatus kawin (60 %) dan cerai mati (37
%). Adapun perinciannya yaitu lansia perempuan yang berstatus cerai mati
sekitar 56,04 % dari keseluruhan yang cerai mati, dan lansia laki-laki yang
berstatus kawin ada 82,84 %. Hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan
lebih tinggi dibandingkan dengan usia harapan hidup laki-laki, sehingga
presentase lansia perempuan yang berstatus cerai mati lebih banyak dan lansia
laki-laki yang bercerai umumnya kawin lagi (Ratnawati, 2017).
4) Pekerjaan
Mengacu pada konsep active ageing WHO, lanjut usia sehat berkualitas adalah
proses penuaan yang tetap sehat secara fisik, sosial dan mental sehingga dapat
tetap sejahtera sepanjang hidup dan tetap berpartisipasi dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan data Pusat
Data dan Informasi Kemenkes RI 2016 sumber dana lansia sebagian besar
pekerjaan/usaha (46,7%), pensiun (8,5%) dan (3,8%) adalah tabungan, saudara
atau jaminan sosial (Ratnawati, 2017).
5) Pendidikan terakhir
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Darmojo menunjukkan bahwa pekerjaan
lansia terbanyak sebagai tenaga terlatih dan sangat sedikit yang bekerja sebagai
tenaga professional. Dengan kemajuan pendidikan diharapkan akan menjadi lebih
baik (Darmojo & Martono, 2006).
6) Kondisi kesehatan
Angka kesakitan, menurut Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2016)
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat
kesehatan penduduk. Semakin rendah angka kesakitan menunjukkan derajat
kesehatan penduduk yang semakin baik Angka kesehatan penduduk lansia tahun
2014 sebesar 25,05%, artinya bahwa dari setiap 100 orang lansia terdapat 25
orang di antaranya mengalami sakit. Penyakit terbanyak adalah penyakit tidak
menular (PTM) antar lain hipertensi, artritis, strok, diabetes mellitus (Ratnawati,
2017).
2.1.4 Perubahan yang terjadi pada lansia
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial, dan
psikologis.
1. Perubahan Fisik
a. Perubahan sel dan ekstrasel pada lansia mengakibatkan penurunan
tampilan dan fungsi fisik lansia menjadi lebih pendek akibat adanya
pengurangan lebar bahu dan pelebaran lingkar dada dan perut, dan
diameter pelvis. Kulit menjadi tipis dan keriput, masa tubuh berkurang
dan masa lemak bertambah.
b. Perubahan kardiovaskular yaitu pada katup jantung terjadi adanya
penebalan dan kaku, terjadi penurunan kemampuan memompa darah
(kontraksi dan volume) elastisistas pembuluh darah menurun serta
meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah
meningkat.
c. Perubahan sistem pernapasan yang berhubungan dengan usia yang
mempengaruhi kapasitas fungsi paru yaitu penurunan elastisitas paru,
otototot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, kapasitas residu
meningkat sehingga menarik nafas lebih berat, alveoli melebar dan
jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun dan terjadinya
penyempitan pada bronkus.
d. Perubahan integumen terjadi dengan bertambahnya usia mempengaruhi
fungsi dan penampilan kulit, dimana epidermis dan dermis menjadi lebih
tipis, jumlah serat elastis berkurang dan keriput serta kulit kepala dan
rambut menipis, rambut dalam hidung dan telinga menebal, vaskularisasi
menurun, rambut memutih (uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras
dan rapuh serta kuku kaki tumbuh seperti tanduk.
e. Perubahan sistem persyarafan terjadi perubahan struktur dan fungsi sistem
saraf. Saraf pancaindra mengecil sehingga fungsi menurun serta lambat
dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan
stress, berkurangnya atau hilangnya lapisan mielin akson sehingga
menyebabkan berkurangnya respon motorik dan refleks.
f. Perubahan musculoskeletal sering terjadi pada wanita pasca monopause
yang dapat mengalami kehilangan densitas tulang yang masif dapat
mengakibatkan osteoporosis, terjadi bungkuk (kifosis), persendian
membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut
dan mengalami sklerosis.
g. Perubahan gastroinstestinal terjadi pelebaran esofagus, terjadi penurunan
asam lambung, peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut
menurun, ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesoris menurun
sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormon dan enzim
pencernaan.
h. Perubahan genitourinaria terjadi pengecilan ginjal, pada aliran darah ke
ginjal menurun, penyaringan di glomerulus menurun dan fungsi tubulus
menurun sehingga kemampuan mengonsentrasikan urine ikut menurun.
i. Perubahan pada vesika urinaria terjadi pada wanita yang dapat
menyebabkan otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan terjadi
retensi urine.
j. Perubahan pada pendengaran yaitu terjadi membran timpani atrofi yang
dapat menyebabkan ganguan pendengaran dan tulang-tulang pendengaran
mengalami kekakuan.
k. Perubahan pada penglihatan terjadi pada respon mata yang menurun
terhadap sinar, adaptasi terhadap menurun, akomodasi menurun, lapang
pandang menurun, dan katarak (Siti dkk, 2008).
2. Perubahan Psikologis
Pada lansia dapat dilihat dari kemampuanya beradaptasi terhadap
kehilangan fisik, sosial, emosional serta mencapai kebahagiaan, kedamaian
dan kepuasan hidup.ketakutan menjadi tua dan tidak mampu produktif lagi
memunculkan gambaran yang negatif tentang proses menua. Banyak kultur
dan budaya yang ikut menumbuhkan angapan negatif tersebut, dimana lansia
dipandang sebagai individu yang tidak mempunyai sumbangan apapun
terhadap masyarakat dan memboroskan sumber daya ekonomi (Fatimah,
2010).
3. Perubahan Kognitif
Pada lansia dapat terjadi karena mulai melambatnya proses berfikir, mudah
lupa, bingung dan pikun. Pada lansia kehilangan jangak pendek dan baru
merrupakan hal yang sering terjadi (Fatimah 2010).
4. Perubahan Sosial
Post power syndrome, single woman,single parent, kesendirian,
kehampaan, ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan kapan
meninggal (Siti dkk, 2008).
2.1.5 Masalah pada lansia
Lanjut usia mengalami masalah kesehatan. Masalah ini berawal dari kemunduran
sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh menurun serta faktor resiko
terhadap penyakit pun meningkat. Masalah kesehatan yang sering dialami lanjut usia
adalah malnutrisi, gangguan keseimbangan, kebingungan mendadak, dan lain-lain.
Selain itu,beberapa penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia antara lain hipertensi
gangguan pendengaran dan penglihatan, demensia, osteoporosis, dsb.

Data Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka kesakitan pada lansia tahun
2012 di perkotaan adalah 24,77% artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah
perkotaan 24 orang mengalami sakit. Dipedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100
orang lansia dipedesaan, orang mengalami sakit.

Berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, upaya


pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup
sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis. Selain itu, Pemerintah wajib
menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lansia untuk
dapat tetap hidup mandiri dan produktif, hal ini merupakan upaya peningkatan
kesejahteraan lansia khususnya dalam bidang kesehatan. Upaya promotif dan preventif
merupakan faktorpenting yang harus dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan pada
lansia.Untuk mencapai tujuan tresebut, harus ada koordinasi yang efektif antara lintas
program terkait dilingkungan Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi. Kebijakan
Kementerian Kesehatan dalam pelayanan kesehatan melalui penyediaan sarana
pelayanan kesehatan yang ramah bag lansia bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan lansia supaya lebih berkualitas dan berdaya guna bagi keluarga dan
masyarakat.Upaya yang dikembangkan untuk mendukung kebijakan tersebut antara lain
pada pelayanan kesehatan dasar dengan pendekatan Pelayanan Santun Lansia,
meningkatkan upaya rujukan kesehatan melalui pengembangan Poliklinik Geriatri
Terpadu di Rumah Sakit, dan menyediakan sarana dan prasarana yang ramah bagi
lansia.Kesadaran setiap lansia untuk menjaga kesehatan dan menyiapkan hari tua
dengan sebaik dan sedini mungkin merupakan hal yang sangat penting. Semua
pelayanan kesehatan harus didasarkan pada konsep pendekatan siklus hidup dengan
tujuan jangka panjang, yaitu sehat sampai memasuki lanjut usia.
Pendapat lain menjelaskan bahwa lansia mengalami perubahan dalam
kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah. Permasalahan tersebut
diantaranya yaitu :
a. Masalah fisik
Masalah yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah, sering terjadi
radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup berat, indra
pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang mulai berkurang serta
daya tahan tubuh yang menurun, sehingga sering sakit.
b. Masalah kognitif ( intelektual )
Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif, adalah
melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit untuk
bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.
c. Masalah emosional
Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional, adalah rasa ingin
berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat perhatian lansia kepada
keluarga menjadi sangat besar.Selain itu, lansia sering marah apabila ada sesuatu
yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stres akibat masalah
ekonomi yang kurang terpenuhi.
d. Masalah spiritual
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual, adalah kesulitan
untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai menurun, merasa
kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya belum mengerjakan
ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui permasalahan hidup yang cukup
serius.
2.1.6 Teori proses menua pada lansia
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori biologi,
teori psikososial, (Aspiani, 2014).
a. Teori Biologi
Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa proses
menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi tubuh
selama masa hidup. Teori ini lebih menekankan pada perubahan kondisi
tingkat structural sel/organ tubuh, termasuk didalamnya adalah pengaruh agen
patologis. Fokus dari teori ini adalah mencari determinan-determinan yang
menghambat proses penurunan fungsi organisme. Yang dalam konteks
sistemik, dapat mempengaruhi/ memberi dampak terhadap organ/ sistem tubuh
lainnya dan berkembang sesuai dengan peningkatan usia kronologis.
1. Teori “Genetik Clock”
Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program
jam genetik didalam nuclei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu
tertentu dan jika jam ini sudah habis putarannya maka akan menyebabkan
berhentinya proses mitosis. Radiasi dan zat kimia dapat memperpendek
umur menurut teori ini terjadi mutasi progresif pada DNA sel somatik akan
menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.
2. Teori error
Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh menumpuknya berbagai
macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia akibat kesalahan tersebut
akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat mengakibatkan
kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan. Sejalan dengan perkembangan
umur sel tubuh, maka terjadi beberapa perubahan alami pada sel pada DNA
dan RNA, yang merupakan substansi pembangun atau pembentuk sel baru.
Peningkatan usia mempengaruhi perubahan sel dimana sel-sel Nukleus
menjadi lebih besar tetapi tidak diikuti dengan peningkatan jumlah
substansi DNA.
3. Teori Autoimun
Pada teori ini penuaan dianggap disebabkan oleh adanya penurunan fungsi
sistem imun. Perubahan itu lebih tampak secara nyata pada Limposit –T,
disamping perubahan juga terjadi pada Limposit –B. perubahan yang terjadi
meliputi penurunan sistem immune humoral, yang dapat menjadi faktor
predisposisi pada orang tua untuk :
1) Menurunkan resistansi melawan pertumbuhan tumor dan
perkembanga kanker.
2) Menurunkan kemampuan untuk mengadakan inisiasi proses dan
secara agresif memobilisasi pertahanan tubuh terhadap pathogen.
3) Meningkatkan produksi autoantingen, yang berdampak pada semakin
meningkatnya risiko terjadinya penyakit yang berhubungan dengan
autoimmun.
4. Teori Free Radical
Teori radikal bebas mengasumsikan bahwa proses menua terjadi akibat
kurang efektifnya fungsi kerja tubuh dan hal itu dipengaruhi oleh adanya
berbagai radikal bebas dalam tubuh. Radikal bebas merupakan zat yang
terbentuk dalam tubuh manusia sehingga salah satu hasil kerja metabolisme
tubuh. Walaupun secara normal ia terbentuk dari proses metabolisme tubuh,
tetapi ia dapat tebentuk akibat :
a) Proses oksigenasi lingkungan seperti pengaruh polutan, ozon, dan
petisida.
b) Reaksi akibat paparan dengan radiasi.
c) Sebagai reaksi berantai dengan molekul bebas lainnya. Penuaan
dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam
tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : superoksida (O2),
radikal hidroksil,dan H2O2. Radikal bebas sangat merusak karena
sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, dan
asam lemak tak jenuh. Makin tua umur makin banyak terbentuk
radikal bebas sehingga proses pengerusakan harus terjadi, kerusakan
organel sel makin banyak akhirnya sel mati.
5. Teori Kolagen
Kelebihan usaha dan stress menyebabkan sel tubuh rusak
6. Wear Teori Biologi
Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan
kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan.
b. Teori Psikososial
1) Activity Theory (Teori Aktivitas)
Teori ini menyatakan bahwa seseorang individu harus mampu eksis dan
aktif dalam kehidupan sosial untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan
di hari tua. Aktivitas dalam teori ini dipandang sebagai sesuatu yang vital
untuk mempertahankan rasa kepuasan pribadi dan kosie diri yang positif.
Teori ini berdasar pada asumsi bahwa : (1) aktif lebih baik daripada pasif.
(2) gembira lebih baik daripada tidak gembira. (3) orang tua merupakan
orang yang baik untuk mencapai sukses dan akan memilih alternatif
pilihan aktif dan bergembira. Penuaan mengakibatkan penurunan jumlah
kegiatan secara langsung.
2) Continuitas Theory (Teori Kontinuitas)
Teori ini memandang bahwa kondisi tua merupakan kondisi yang selalu
terjadi dan secara berkesinambungan yang harus dihadapi oleh orang
lanjut usia. Adanya suatu kepribadian berlanjut yang menyebabkan adanya
suatu pola perilaku yang meningkatkan stress.
3) Disanggement Theory
Putusnya hubungan dengan dunia luar seperti dengan masyarakat , hubungan
dengan individu lain.
4) Teori Stratisfikasi Usia
Karena orang yang digolongkan dalam usia tua akan mempercepat proses
penuaan.
5) Teori Kebutuhan Manusia
Orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut penelitian 5% dan tidak semua
orang mencapai kebutuhan yang sempurna.
6) Jung Theory
Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam perkembangan
kehidupan.
7) Course of Human Life Theory
Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada tingkat maksimumnya.
8) Development Task Theory
Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas perkembangan sesuai dengan
usianya.
BAB 2
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Lansia
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah sebuah proses untuk mengenal dan mengidentifikasi faktor-
faktor (baik positif dan negative) pada usia lanjut, baik secara individu maupun
kelompok, yang bermanfaat untuk mengetahui masalah dan kebutuhan usia lanjut,
serta untuk mengembangkan strategi promosi kesehatan (Azizah, 2012).
Pengkajian keperawatan pada lansia merupakan proses kompleks dan menantang
yang harus mempertimbangkan kebutuhan lansia melalui pengkajian-pengkajian
untuk menjamin pendekatan lansia spesifik, antara lain:
1) Pengkajian
a) Identitas pasien
Format pengkajian identitas pada lansia yang meliputi: nama, umur,
jenis kelamin, status perkawinan, alamat, suku, agama,
pekerjaan/penghasilan, dan pendidikan terakhir.
b) Riwayat Kesehatan
Riwayat kesehatan merupakan data riwayat atau masalah kesehatan
yang di derita lansia pada saat ini dan masa lalu.
2) Pengkajian fisik
a) Pengkajian kebutuhan dasar.
b) Kemandirian dalam melakukan aktifitas
Tabel indeks katz kemandirian pada aktivitas sehari-hari
Skor Kemandirian Nilai

A Kemandirian dalam hal makan, kontinen (BAB/BAK),


berpindah ke kamar kecil, mandi dan berpakaian.
B Kemandirian dalam semua hal kecuali satu dari fungsi
tersebut

C Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi dan satu


fungsi tambahan
D Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian, dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi,
berpakaian, kekamar kecil, dan satu fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua hal, kecuali mandi, berpakain,
ke kamar kecil, berpindah, dan satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada keenam fungsi tersebut

Lain- Tergantungan pada sedikitnya dua fungsi, tetapi tidak


lain dapat diklasifikasikan sebagai C,D,E atau F

Keterangan:
Kemandirian berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan
pribadi aktif. Pengkajian ini didasarkan pada kondisi actual klien dan bukan
pada kemampuan, artinya jika klien menolak untuk melakukan suatu fungsi,
dianggap sebagai tidak melakukan fungsi meskipun sebenarnya ia mampu.
Cara penilaian:
Memberikan tanda pada kolom nilai sesuai dengan skor kemandirian
lansia.
Tabel indeks barthel
No Kriteria Skor Nilai

Dengan Mandiri
Bantuan

1 Makan 5 10

2 Minum 5 10

3 Berpindah dari kursi roda ke tempat 5-10 15


tidur dan sebaliknya

4 Personal toilet (cuci muka, menyisir 0 5


rambut, gosok gigi)

5 Keluar masuk toilet 5 10

6 Mandi (menyiram, menyeka tubuh) 5 15

7 Jalan di permukaan datar 0 15

8 Naik turun tangga 5 10


9 Mengenakan pakaian 5 10

10 Kontrol bowel (BAB) 5 10

11 Control bladder (BAK) 5 10

12 Olahraga/Latihan 5 10

13 Pemanfaatan waktu luang/rekreasi 5 10

Jumlah

Penilaian:
Mandiri : 126-130
Ketergantungan sebagian : 65-125
Ketergantungan total : <60
a. Pengkajian keseimbangan
Tabel Posisi dan Keseimbangan Lansia (Sullivan Indeks Kats)
No Tes Koordinasi Keterangan Nilai
1 Berdiri dengan postur normal
2 Berdiri dengan postur normal menutup mata
3 Berdiri dengan kaki rapat
4 Berdiri dengan satu kaki
5 Berdiri fleksi trunk dan berdiri ke posisi netral
6 Berdiri lateral dan fleksi trunk
Berjalan tempatkan tumit salah satu kaki di
7
depan jari kaki yang lain
8 Berjalan sepanjang garis lurus
9 Berjalan mengikuti tanda gambar pada lantai
10 Berjalan menyamping
11 Berjalan mundur
12 Berjalan mengikuti lingkaran
13 Berjalan pada tumit
14 Berjalan dengan ujung kaki
Jumla
h
Keterangan:
4 : Mampu melakukan aktivitas dengan lengkap
3 : Mampu melakukan kativitas dengan bantuan
2 : Mampu aktivitas dengan bantuan maksimal
1 : Tidak mampu melakukan aktivitas
Nilai:
42-54 : Mampu melakukan aktivitas
28-41 : Mampu melakukan sedikit bantuan
14-27 : Mampu melakukan bantuan maksimal
14 : Tidak mampu
b. Pengkajian Head To Toe atau pengkajian per-sistem.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, baik secara inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to toe
(kepala ke kaki) dan review of system (sistem tubuh).
1. Keadaan Umum
1) Tingkat kesadaran
2) GCS
3) TTV
4) BB & TB
Bagaimana postur tulang belakang:
1) Tegap
2) Membungkuk
3) Kifosis
4) Skoliosis
5) Lordosisi
2. Penilaian Tingkat Kesadaran (Kualitatif)
1) Composmetis (kesadaran penuh).
2) Apatis (acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya).
3) Somnolen (kesadaran lebih rendah, yang ditandai klien tampak
mengantuk, selalu ingin tidur, tidak responsive terhadap rangsangan
ringan tetapi masih responsive terhadap rangsangan kuat).
4) Sopor (tidak memberikan respon ringan maupun sedang, tetapi
masih sedikit respons terhadap rangsangan yang kuat, refleks pupil
terhadap cahaya masih positif).
5) Koma (tidak ada reaksi terhadap stimulus apa pun, reflex pupil
terhadap cahaya tidak ada).
6) Delirium (tingkat kesadaran paling rendah, disorientasi, kacau, dan
salah persepsi terhadap rangsangan).
3. Penilaian Kuantitatif
Diukur melalui GCS (Glasgow Coma Scale)
1) Membuka mata/Eye Movement (E)
2) Respons Verbal (V)
3) Respons Motorik (M)
4. Indeks Massa Tubuh
1) Berat Badan (kg)
2) BMI :
TB (m) x TB (m)
Normal :
Laki-laki (20,1-25,0)
Wanita (18,7-23,8)
Klasifikasi Nilai :
1) Kurang : <18,5
2) Normal : 18,5-24,9
3) Berlebih : 25-29,9
4) Obesitas : >30
5. Head To Toe
a) Kepala
Inspeksi : kulit kepala, warna, bekas lesi, bekas trauma, area
terpajan sinar matahari, hipopigmentasi, hygiene, sianosis, eritema.
Rambut; warna, bentuk rambut, kulit kepala, botak simetris pada
pria, rambut kering atau lembab, rapuh, mudah rontok.
Palpasi : kulit kepala; suhu dan tekstur kulit, ukuran lesi,
benjolan atau tidak, nyeri tekan atau tidak.
b) Mata
Inspeksi : kesimetrisan, warna retina, kepekaan terhadap cahaya
atau respon cahaya, anemis atau tidak pada konjungtiva, sklera
icterus atau tidak. Ditemukan strabismus, riwayat katarak atau tidak,
penggunaan alat bantu penglihatan atau tidak.
c) Hidung
Inspeksi : Kesimetrisan, kebersihan, polip, terdapat perdarahan
atau tidak, olfaktorius.
Palpasi : Sinus frontal dan maksilaris terhadap nyeri tekan.
d) Mulut
Inspeksi : Kesimetrisan bibir, warna, tekstur lesi dan kelembaban
serta karakteristik permukaan pada mukosa mulut dan lidah. Jumlah
gigi, gigi yang karies dan penggunaan gigi palsu. Peradangan
stomatitis atau tidak, kesulitan mengunyah dan menelan.
Palpasi : lidah dan dasar mulut terhadap nyeri tekan dan adanya
massa. Tes uji fungsi saraf facial dan glosofaringeal dengan
memberikan perasa manis, asam, asin, manis.
e) Telinga
Inspeksi : permukaan bagian luar daerah tragus dalam keadaan
normal atau tidak. Kaji struktur telinga dengan otoskop untuk
mengetahui adanya serumen, otorhea, obyek asing dan lesi.
Tes uji pendengaran atau fungsi auditori dengan melakukan skrining
pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan garpu
tala dan kuantitatif dengan menggunakan audiometer. Tes suara
detik jam, tes Weber, tes Rine dengan media garpu tala.
f) Leher
Inspeksi : pembesaran kelenjar thyroid, gerakan-gerakan halus
pada respon percakapan, secara bilateral kontraksi otot seimbang,
garis tengah trachea pada area suprasternal, pembesaran kelenjar
tiroid terhadap masa simetris tak tampak pada saat menelan.
Palpasi : arteri temporalis iramanya teratur, amplitude agak
berkurang, lunak, lentur dan tidak nyeri tekan. Area trachea adanya
massa pada tiroid. Raba JVP (Jugularis Vena Pleasure) untuk
menentukan tekanan pada otot jugularis.
Tes uji kaku kuduk
g) Dada thorax
1) Paru
Inspeksi : bentuk dada normal chest/barrel chest/pigeon
chest, tampak adanya retraksi, irama dan frekuensi
pernafasan pada usia lanjut normal 12- 20 permenit.
Ekspansi bilateral dada secara simetris, durasi inspirasi lebih
panjang daripada ekspirasi. Todak ditemukan takipnea,
dyspnea.
Palpasi : adanya tonjolan-tonjolan abnormal, taktil
fremitus (keseimbangan lapang paru), ada nyeri tekan atau
tidak, krepitasi karena defisiensi kalsium.
Perkusi : Sonora tau tidak.
Auskultasi: Vesikuler atau ada suara tambahan wheezing
dan rinchi.
2) Jantung : IC tidak tampak, IC teraba di ICS V midklavikula
sinistra, pekak, suara jantung tunggal.
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V midklavikula
sinistra
Perkusi : Terdengar pekak
Auskultasi: area katup aorta, katup pulmonal, area pulmonal
kedua, area trikuspidalis, untuk mengetahui keadaan
abnormal pada jantung dan organ sekitar jantung. Kaji bunyi
S1, S2, S3 dan S4 murmur dan gallop.
h) Abdomen
Inspeksi : bentuk distensi, flat, simetris.
Auskultasi : bising usus dengan frekuensi normal 20 kali permenit
pada kuadran 8 periksa karakternya, desiran pada daerah epigatrik.
Palpasi : adanya benjolan, permukaan abdomen, pembesaran
hepar dan limfa dan kaji adanya nyeri tekan.
Perkusi : adanya udara dalam abdomen, kembung.
i) Genetalia
Inspeksi : pada pria; kesimetrisan ukuran skrotum, kebersihan,
kaji adanya hemaroid pada anus. Pada wanita; kebersihan, karakter
mons pubis dan labia mayora serta kesimetrisan labia mayora,
klitoris ukuran bervariasi.
Palpasi : pada pria; batang lunak, ada nyeri tekan, tanpa nodulus
atau dengan nodulus, skrotum dan testis mengenai ukuran, letak dan
warna. Pada wanita; bagian dalam labia mayora dan minora, kaji
warna, kontur kering dan kelembapannya.
j) Ekstermitas
Inspeksi : warna kuku, ibu jari dan jari-jari tangan, penurunan
transparasi, beberapa distorsi dari datar normal atau permukaan
agak melengkung pada inspeksi bentuk kuku, permukaan tebal dan
rapuh. Penggunaan alat bantu, deformitas, tremor, edema kaki. Kaji
kekuatan otot.
Palpasi : turgor kulit hangat, dingin. Kaji reflek pada daerah
brakhioradialis, trisep, patella, plantar dan kaji reflek patologis.
k) Integumen
Inspeksi : kebersihan, warna kulit, kesimetrisan, kontur tekstur
dan lesi.
Palpasi : CRT < 2 detik
c. Pemeriksaan fisik (penurunan fungsi tubuh)
l) Perubahan fisik
a. Sistem keseluruhan
Berkurangnya tinggi dan berat badan, bertambahnya fat to lean
body, mass ratio, dan berkurangnya cairan tubuh.
b. Sistem integument
Kulit wajah, leher, lengan, dan tangan menjadi lebih kering dan
keriput karena menurunnya cairan, hilangnya jaringan adiposa, kulit
pucat, dan terdapat bitnik-bintik hitam akibat menurunnya aliran
darah ke kulit menurunnya sel-sel yang memproduksi pigmen, kuku
jari tangan dan kaki menjadi tebal serta rapuh. Pada wanita usia
lebih dari 60 tahun, rambut wajah meningkat, rambut menipis,
warna rambut kelabu, serta kelenjar keringat berkurang jumlah dan
fungsinya. Fungsi kulit sebagai proteksi sudah menurun.
c. Sistem muscular
Kecepatan dan kekuatan kontraksi otot skeletal berkurang,
pengecilan otot akibat menurunnya serabut otot, namun pada otot
polos tidak begitu terpengaruh.
d. Sistem kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi
dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan
pada jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi SA
note dan jaringan konduksi berubah menjadi16 jaringan ikat.
Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal berkurang, sehingga
kapasitas paru menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan
maksimum, mengurangi tekanan darah, dan berat badan.
e. Sistem perkemihan
Ginjal mengecil, nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal
menurun sampai 50%, filtrasi glomelurus menurun sampai 50%,
fungsi tubulus berkurang akibatnya kurang mampu memekatkan
urine, BJ urine menurun, proteinuria, BUN meningkat, ambang
ginjal terhadap glukosa meningkat, kapasitas kandung kemih
menurun 200 ml karena otot-otot yang melemah, frekuensi
berkemih meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan pada pria
akibat retensi urine meningkat. Pembesaran prostat (75% usia di
atas 65 tahun), bertambahnya aliran darah renal, berkurangnya
osmolalitas urine clearance, berat ginjal menurun 30-50%, jumlah
neufron menurun, dan kemampuan memekatkan atau mengencerkan
urine oleh ginjal menurun.
f. Sistem pernafasan
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktivitas silia, berkurangnya elastisitas paru, alveoli
ukurannya melebar dari biasanya, jumlah alveoli berkurang, oksigen
arteri menurun menjadi 75 mmHg,17 pada arteri tidak berganti,
berkurangnya maximal oxygen uptake, dan berkurangnya reflex
batuk.
g. Sistem gastrointestinal
Indera pengecap menurun; adanya iritasi yang kronis, dari
selaput lender, atropi indera pengecap (80%), hilangnya sensitifitas
dari saraf pengecap di lidah terutama rasa tentang rasa asin, asam
dan pahit. Pada lambung, rasa lapar menurun (sensitifitas lapar
menurun), asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.
Peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. Fungsi absobsi
(daya absobsi terganggu). Liver (hati) makin mengecil dan
menurunnya tempat penyimpanan dan berkurangnya aliran darah.
h. Sistem penglihatan
Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitannya
dengan presbiopi. Lensa kehilangan elasitas dan kaku. Otot
penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan daya akomodasi
dari jarak jauh atau dekat berkurang, menurunya lapang pandang
(berkurang luas pandang, berkurangnya sensitivitas terhadap warna:
menurunnya kemampuan membedakan warna hijau atau biru pada
skala dan depth perception).
i. Sistem pendengaran
Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena
hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telingan18 dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di
atas umur 65 tahun.
j. Sistem persyarafan
Berkurangnya berat otak sekitar 10-20%, berkurangnya sel
kortikal, reaksi menjadi lambat, kurang sensitive terhadap sentuhan,
berkurangnya aktifitas sel T, bertambahnya waktu jawaban motorik,
hantaran neuron motorik melemah, dan kemunduran fungsi saraf
otonom.
k. Sistem endokrin
Produksi hamper semua hormone menurun, fungsi parathyroid
dan sekresinya tidak berubah, berkurangnya ACTH, TSH, FSH, dan
LH. Menurunnya aktifitas tiroid akibatnya basaa metabolism
menurun, menurunnya produksi aldosterone, menurunnya sekresi
hormone gonand (progesterone, esterogen dan aldosteron)
bertambahnya insulin, norefinefrin, parathormone, vasopressin,
berkurangnya tridotironin, dan psikomotor menjadi lambat.
l. Sistem reproduksi
Selaput lender vagina menurun atau kering, menciutnya
ovarium dan uterus, atrofi payudara, testis masih dapat
memproduksi sperma meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur dan dorongan seks menetap sampai diatas19 umur
70 tahun asalkan kondisi kesehatan baik, penghentian produksi
ovum pada saat menopause
d. Pengkajian status kognitif/afektif
Pengkajian status kognitif/afektif merupakan status mental sehingga dapat
memberikan gambaran perilaku dan kemampuan mental dan fungsi intelektual.
Pengkajian status mental bisa digunakan untuk klien yang berisiko delirium.
e. Pengkajian aspek spiritual
Spiritualitas merupakan sesuatu yang multidimensi, yaitu demensi
eksistensi dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan
arti kehidupan, sedangkan agama lebih berfokus pada hubungan seseorang
dengan Tuhan Yang Maha Penguasa (Hawari, 2002; Sunaryo, dkk, 2016).
Pengkajian spiritual meliputi:
a) Pengkajian data subjektif, yang mencakup konsep ketuhanan,
sumber kekuatan dan harapan, praktik agama dan ritual, dan
hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan.
b) Pengkajian data objektif, pengkajian ini mecakup afek dan sikap,
perilaku, verbalisasi, hubungsn interpersonal, dan lingkungan.
f. Pengkajian fungsi lansia
Pengkajian aspek fungsi sosial dapat dilakukan dengan menggunakan
alat skrining singkat untuk mengkaji fungsi sosial lanjut usia, yaitu
APGAR Keluarga (Adaptation, Partnership, Growth, Affection,
Resolve). Instrumen APGAR adalah:
Tabel APGAR LANSIA Penilaian Fungsi Sosial Lansia
NO FUNGSI URAIAN SKOR
Saya puas bahwa saya dapat kembali pada
1 Adaption
keluarga/teman saat saya kesusahan
Saya puas dengan cara keluarga/teman
2 Partnership membicarakan sesuatu dan mengungkapkan
masalahnya kepada saya
3 Growth Saya puas bahwa keluarga/teman saya
menerima dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan aktivitas yang baru
Saya puas dengan cara keluarga/teman saya
4 Affection mengekspresikan dan berespon terhadap emosi
saya seperti marah, sedih atau mencintai
Saya puas dengan keluarga/teman yang mau
5 Resolve
menyediakan waktu untuk bersama-sama
Keterangan nilai
1) Selalu :2
2) Kadang-kadang :1
3) Tidak pernah :0
4) Diskusi keluarga tinggi :<3
5) Diskusi keluarga sedang : 4-6
6) Tidak ada diskusi keluarga :7-10
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kesehatan atau proses kehidupan yang
dialami baik yang dialami baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosa
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien individu. Keluarga dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitfan dengan kesehatan.
Perawat diharapkan memiliki rentang perhatian yang luas, baik pada klien
sakit maupun sehat. Respons-respons tersebut merupakan reaksi terhadap masalah
kesehatan dan proses kehidupan mengacuh kepada respons klien terhadap kondisi
sehat-sakit, sedamgkan proses kehidupan mengacu pada respons klien terhadap
kondisi yang terjadi selama rentang kehidupan nya dimulai dari fase pembuahan
hingga menjelang ajal dan meninggal yang membutuhkan diagnosis keperawatan dan
dapat diatasi atau diubah dengan intervesi keperawatan (Christensen &Kenney,2009;
McFarlane & McFarlane, 1997; seaback,2006).
Diagnosa yang dapat muncul pada klien lanjut usia yang telah disesuaikan
dengan SDKI (2017) adalah:
1) Nyeri akut berhubungan denganketidakseimbangan suplai darah dan oksigen
ke miokardium.
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas
miokardium.
3) Resiko jatuh
2.2.3 Intervensi

Diagnosa keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)


(SLKI)
Nyeri Akut Luaran : tingkat nyeri Menejemen nyeri
Definisi : a) Kemampuan Observasi :
Kerusakan jaringan aktual menuntaskan aktivitas a) Identifikasi lokasi,
atau fungsional dengan meningkat karakteristik, durasi,
onset yang mendadak atau b) Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas,,
lambat dan berintensitas c) Meringis menurun intensitas atau berat
ringan hingga berat d) Sikap protektif mrnurun nyeri, dan faktor
merupakan pengalaman e) Gelisah menurun pencetus
sensori dan emosional yang f) Kesulitan tidur menurun b) Identifikasi skala nyeri
berlangsung kurang dari 3 g) Menarik diri menurun c) Identikasi respons nyeri
bulan. h) Berfokus pada diri non verbal
Penyebab : sendiri menurun d) Identifikasi faktor yang
a) Agen pencedera fisik i) Diaphoresis menurun dapat memperberat dan
(trauma ,abses, j) Perasaan depresi memperingan nyeri
prosedur operasi, menurun e) Identifikasi pengetahuan
amputasi) k) Perasaan takut dan keyakinan tentang
b) Agen pencedera mengalami cedera nyeri
biologis (neoplamasma, berulang menurun f) Identifikasi pengaruh
inflamasi) l) Anoreksia menurun budaya terhadap respons
c) Agen pencedera m) Ketegangan otot nyeri
kimiawi (terbakar, menurun g) Monitor keberhasilan
bahan kimia iritan) n) Mual menurun terapi komplementer
Gejala & tanda mayor o) Muntah menurun yang sudah diberikan
a. Mengeluh nyeri : p) Frekuensi nadi h) Monitor efek samping
membaik peggunaan analgetik
b. Tampak meringis
q) Pola nafas membaik Terapeutik :
c. Bersikap waspada, r) Tekanan darah a) Berikan Teknik non
possi menghindari nyeri membaik farmakologi untuk
d. Gelisah s) Pola tidur membaik mengurangi rasa nyeri
e. Frekuensi nadi (mis TENS, hiposis,
meningkat akupresur, terapi musik,
Gejala & tanda minor biofeedback, terapi pijat,
a. Tekanan darah aromaterapi, teknik
meningkat Pola nafas imajinasi terbimbing,
berubah kompres hangat/dingin,
b. Nafsu makan menurun terapi bermain).
c. Menarik diri b) Kontrol lingkungan
Kondisi kinis yang terkait yang memperberat rasa
: nyeri (mis kebisingan,
a. Sindrom koroner akut pencahayaan, suhu
b. Cidera traumatis ruangan)
c. Kondisi pembedahan c) Pertimbangkan jenis dan
d. Infeksi sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
d) Fasilitasi istirahat dan
tidur

Edukasi :
a) Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
b) Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
c) Ajarkan Teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi rasa nyeri
d) Jelaskan stretegi
meredakan nyeri
e) Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat

Kolaborasi :
a) Kolaborasi pemberian
analgetik
Pemberian analgetik
Observasi :
a) Identifikasi karakteristik
nyeri (mis lokasi,
pencetus,intensitas,
Pereda, frekuensi,
kualitas, durasi)
b) Identifikasi Riwayat
alergi obat
c) Identifikasi kesesuan
jenis analgesic
(narkotika, non-narkotik,
atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
d) Monitor efektifitas
analgesik
e) Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgesik
Terapeutik :
a) Tetapkan target
efektifitas analgesic
untuk mengoptimalkan
respon pasien
b) Diskusikan jenis
analgesic yang disukai
untuk mencapai
analgesia optimal, jika
perlu
c) Pertimbangkan
pengunakan infus
kontinu
d) Dokumentasikan respon
terhadap efek anlgesik
dan efek yang tidak
diinginkan
Edukasi :
a) Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
Kolaborasi :
a) Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis analgesic

2.2.4 Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018). Implementasi keperawatan
membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas perawat. Sebelum melakukan tindakan,
perawat harus mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan. Implementasi
keperawatan berlangsung dalam tiga tahap. Fase pertama merupakan fase persiapan
yang mencakup pengetahuan tentang validasi rencana, implementasi rencana,
persiapan pasien dan keluarga. Fase kedua merupakan puncak implementasi
keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Fase ketiga merupakan transmisi perawat
dan pasien setelah implementasi keperawatan selesai dilakukan (Novita 2016).
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima atau terakhir dari proses keperawatan. Pada
tahap ini perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria
hasil yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah teratasi
seluruhnya, hanya sebagian atau bahkan belum teratasi semuanya (Novita, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Mutarobin, M. (2019). Analisis Asuhan Keperawatan Pasien Coronary Artery Disease Pre
Coronary Artery Bypass Grafting. Quality : Jurnal Kesehatan, 13(1), 921.
https://doi.org/10.36082/qjk.v13i1.58

Setyaji DY, Yayi SP, I Made AG, 2018. Aktivitas Fisik dengan Penyakit Jantung Koroner di
Indonesia.Vol 14 no.3. Jurnal Gizi Klinik Indonesia.

Kemenkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN

Maryam, R. Siti dkk. (2011). Mengenal Usia Lanjut dan perawatannya. Jakarta : Salemba
Medika.

LeMone, Priscilla, dkk. 2019. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Kardiovaskular Edisi 5. Jakarta: EGC

Darmanto, Muhammad Supri. 2019. Asuhan Keperawatan pada Klien Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dengan Intoleransi Aktivitas di Ruang Aster RSUD Dr. Harjono
Ponorogo. Ponorogo: Kementrian Kesehatan RI Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang Jurusan Keperawatan Prodi D III Keperawatan.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2020

Wicaksono, Saputro Mukti. 2019. Asuhan Keperawatan Pasien Penyakit Jantung Kroner
Dengan Ketidakefekifan Manajemen Kesehatan di Wilayak Kerja Puskesmas
Sukoharjo Ponorogo. Ponorogo: Kementrian Kesehatan RI Politeknik Kesehatan
Kemenkes Malang Jurusan Keperawatan Prodi D III Keperawatan.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2016

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, PersatuanPerawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai