Anda di halaman 1dari 22

Penyakit Jantung Koroner

kategori Kesehatan & Kedokteran / tanggal diterbitkan 19 November 2022 /


dikunjungi: 802 kali

Pengertian Penyakit Jantung Koroner


(PJK)
Penyakit jantung Koroner adalah obstruksi arteri koroner yang disebabkan
oleh atherosclerosis yaitu bentuk proses inflamatori yang komplek dari
arteri koroner oleh akumulasi lemak, macrophag dan jaringan fibrosa yang
menyebabkan plag intima pada arteri koroner yang berukuran besar dan
sedang menyebabkan penyempitan sehingga terjadi ketidakseimbangan
antara suplai dan demand oksigen otot jantung (Kumar & Clarks, 2012).
Menurut American Heart Association (AHA), penyakit jantung koroner
dalam bahasa Inggris disebut sebagai Coronary Artery Disease (CAD)
merupakan istilah umum untuk penumpukkan plak pada arteri koroner
yang dapat menyebabkan serangan jantung.

Pembentukan plak dapat dikenal dengan istilah ateroklerosis. Yang mana


ateroklerosis merupakan kondisi pembuluh darah koroner jantung memiliki
perubahan intima arteri yang merupakan akumulasi lemak, karbohidrat
kompleks, darah, jaringan fibrous serta kalsium yang selanjutnya diikuti
oleh perubahan koroner (AHA, 2013). Penyakit jantung koroner merupakan
gangguan fungsi jantung akibat kurangnya suplai oksigen ke otot-otot
jantung. Kondisi ini disebabkan oleh penyempitan atau sumbatan/plak di
pembuluh darah koroner, atau dikenal sebagai aterosklerosis arteri
koronaria.

Epidemiologi Penyakit Jantung Koroner


Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan penyebab kematian utama di
dunia dengan prevalensi morbiditas tinggi. Di Amerika pada tahun 2010,
lebih dari 11 juta penduduk menderita PJK, sedangkan di UK lebih dari 1,4
juta orang menderita nyeri dada dan sebanyak 3% adalah PJK yang sedang
dirawat di England Hospital, yang mana telah tercatat 1 dari 5 laki-laki dan
1 dari 8 perempuan meninggal dunia akibat penyakit jantung koroner
(Kumar & Clark, 2012). Menurut AHA (American Heart Association) pada
Mei 2012 sebagian besar kematian PJK adalah penderita dengan riwayat
Diabetes Melitus (DM) sebanyak 65%. Di asia, khususnya Singapura angka
kejadian penyakit jantung koroner meningkat dari yang awalnya tidak
bermakna menjadi penyebab kematian (Singapore Heart Foundation, 2013).
Sedangkan di Indonesia PJK merupakan pembunuh nomor satu dan setiap
tahunnya memiliki kecenderungan kenaikan. Presentase prevalensi PJK
adalah 1,6% pada tahun 2013 yang mana didalamnya terdapat pasien PJK
dengan DM, bahkan hanya dalam satu tahun terdapat 500 orang pasien
PJK yang melakukan bedah jantung. Prediksi peningkatan yang terus
signifikan ini akan terjadi setiap tahunnya pada kasus yang sama
(Kemenkes RI, 2013).

Etiologi Penyakit Jantung Koroner


Penyakit jantung koroner merupakan penyempitan, penyumbatan, maupun
kelainan pembuluh arteri koroner pada jantung. Yang mana penyempitan
atau penyumbatan pembuluh darah ini dapat menghentikan aliran darah
menuju otot jantung yang ditandai dengan rasa nyeri pada dada. Pada
kondisi yang sudah parah, kemampuan jantung untuk memompa darah
dapat hilang. Sehingga hal ini dapat merusak sistem irama jantung dan
berakhir dengan kematian (Hermawati dkk, 2014).

Penyempitan atau pengerasan pembuluh darah pada arteri koroner biasa


disebut dengan atherosclerosis merupakan penyebab yang paling sering
ditemukan pada penyakit arteri koroneria. Aterosklerosis ini sendiri terbagi
atas beberapa jenis, yaitu; Arteriosklerosis (pengerasan dinding pembuluh
darah arteri), Arterioloklerosis (pengerasan dinding pembuluh darah arteri
oleh pembuluh arteri kecil), dan Atheroma Atherosklerosis (pengerasan
ujung pembuluh darah kecil). Yang mana penyebab paling umum dari
terbentuknya aterosklerosis adalah faktor prilaku yang tidak sehat seperti
kurang aktivitas fisik secara rutin serta pola makan yang salah (Irianto,
2014).

Penyumbatan pembuluh darah juga dapat disebabkan oleh Trombus. Yang


mana trumbus merupakan bekuan darah yang terdiri atas trombosit, fibrin,
serta sel darah merah dan sel darah putih yang biasa terbentuk di dalam
sistem vaskuler seperti arteri, vena, ruang jantung, serta katup jantung.
Pembentukan trombus tidak dapat lepas dari Trias Virchow, yaitu; cedera
endotel, aliran darah yang lambat, serta peningkatan koagulabilitas. Jika
dinding pembuluh darah mengalami cidera, lapisan endotel akan menarik
trombosit serta mediator inflamasi lain yang dapat menstimulasi
pembentukan pembekuan darah. Aliran darah yang lambat juga akan
memudahkan terbentuknya trombus akibat berkumpulnya trombosit dan
faktor lainnya dan melekat pada dinding pembuluh darah. Konsekuensi dari
terbentuknya trombus adalah trombus yang terlepas dapat bermigrasi
sepanjang sistem sirkulasi hingga tersangkut pada pembuluh darah yang
lebih kecil (Kowalak-Welsh-Mayer, 2017).

Semakin meningkatnya usia seseorang maka akan semakin berpotensi


untuk menderita penyakit jantung koroner karena dalam jangka waktu
tersebut terjadi penumpukkan flak dan terjadi proses kerapuhan dinding
pembuluh darah yang semakin panjang. Jenis kelamin laki - laki lebih
beresiko mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan perempuan.
Tekanan Darah Tinggi Pada pasien hipertensi ditemukan defect dalam
regulasi pengendalian tekanan darah,Jantung bisa berkontribusi dalam
terjadinya hipertensi melalui mekanisme peningkatan cardiac output dan
curah jantung akibat aktivitas berlebih dari saraf simpatis,pembuluh darah
berkontribusi dalam hipertensi melalui resisten pembuluh darah perifer
akibat terjadinya konstruksi karena peningkatan aktivitas simpatis, regulasi
abnormal dari tonus vaskuler oleh nitrit oksida, endotelin, serta faktor-
faktor natriuretik, defek kanal ion di otot polos pembuluh darah.
Hiperlipidemia yaitu tingginya kadar lemak dalam darah (kolesterol,
trigliserida maupun keduanya), lemak atau lipid yakni zat yang kaya energi,
berfungsi sebagai sumber energi untuk proses metabolisme tubuh. Klien
mempunyai kadar kolestrol >300 ml/dl mempunyai risiko 4 kali menderita
PJK memiliki kadar 200 ml/dl.

Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner


Perkembangan PJK dimulai dari adanya penyumbatan pada pembuluh
jantung oleh plak. Penyumbatan pembuluh darah ini awalnya disebabkan
oleh peningkatan kadar kolestrol LDL (low-density lipoprotein) dalam darah
yang berlebihan dan akhirnya menumpuk pada dinding arteri sehingga
aliran darah terganggu (Al fajar, 2015). Plak yang terdiri atas lemak serta
jaringan fibrosa secara perlahan membuat lumen arteri koronaria semakin
sempit sehingga pasokan darah yang mengalir melalui arteri tersebut
berkurang sehingga terjadi iskemia miokard (Kowalak-Welsh-Mayer, 2017).

Iskemia sepintas menyebabkan perubahan yang masih reversibel atau


dapat kembali seperti semula pada sel maupun jaringan. Akan tetapi,
apabila tidak segera diatasi keadaan tersebut dapat menyebabkan cedera
atau nekrosis jaringan. Dalam waktu beberapa menit, kekurangan oksigen
dapat membuat miokardium untuk beralih dari metabolisme aerob menuju
metabolisme anaerob yang menyebabkan penumpukan asam laktat serta
penurunan pH sel. Kombinasi hipoksia, penurunan ketersediaan energi,
serta asidosis dengan cepat dapat merusak fungsi ventrikel kiri. Kekuatan
kontraksi pada otot jantung akan menurun ditambah pada dinding
ventrikel terjadi gerakan yang abnormal sehingga darah yang dialirkan
setiap kontraksi berkurang (Kowalak-Welsh-Mayer, 2017).

Patofisiologi penyakit jantung koroner meliputi berbagai kondisi patologi


yang dapat menghambat aliran darah dalam arteri yang mensuplai jantung.
Pada awalnya penyakit jantung koroner terjadi karena adanya
penyumbatan pembuluh darah yang disebabkan oleh plak yang terjadi
karena kadar kolesterol LDL yang relatif tinggi lalu menumpuk pada bagian
dinding arteri dan mengganggu aliran darah serta dapat merusak
pembuluh darah. Penebalan dan pengerasan arteri besar dan menengah di
sebut Aterosklerosis.

Menurut Majid patologi penyakit jantung koroner dapat dilihat sebagai


berikut:

1. Iskemia Keadaan ini ditandai dengan kekurangan kesediaan oksigen


yang bersifat sementara dan reversibel.
2. Angina Pektoris Adalah gejala disertai kelainan morfologis secara
permanen pada miokardium. Gejala yang menjadi ciri khas yaitu nyeri
bagian dada dengan tekanan berat, panas dan seperti diremas.
Terjadinya angina dikarenakan meningkatnya kebutuhan oksigen
akan miokardium, latihan fisik, stress dan udara dingin.
3. Infark Miokardium. Infark miokardium biasanya menyerang ventrikel
kiri. Infark miokardium mempunyai fungsi bisa mengalami perubahan
bagian iskemia yakni terjadinya data kontraksu menurun, terjadi
gerakan abnormal menurun, terjadinya perubahan dinding ventrikel
kembang, fraksi ejeksi berkurang, curah sekuncup berkurang dan
volume akhir diastolik dan sistolik berkurang bagian ventrikel dan
tekanan akhir ventrikel kiri diatolik meningkat.
4. Payah Jantung Keadaan ini diakibatkan terdapat beban volume darah
secara berlebihan dari bagian struktur jantung. Keadaan ini sering kali
didahului penyakit lain dan bisa menimbulkan penyakit jantung
koroner, kondisi ini bisa membuat sirkulasi darah menjadi gagal.
Penderita Mati Secara Mendadak.

Penyakit jantung koroner juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor


seperti : merokok, hipertensi, sindrom metabolik, dislipidemia, dan aktivitas
fisik yang kurang.

Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner


Klasifikasi penyakit jantung koroner menurut (Dokter Jantung indonesia)
ada 3 yaitu:

1. Angina Pektoris Stabil


Terjadi akibat adanya plak atau fissure yang mendasari pembentukan
trombus. Episode iskemik disebabkan oleh sumbatan trombus total
secara intermitten atau emboli pada bagian distal yang tersusun
platelet serta kolesterol yang terlepas dari plak (Irianto, 2014).
2. Angina Pektoris Tidak Stabil
Angina pektoris tidak stabil terjadi dapat ditandai dengan rasa sakit
yang lebih lama dibandingkan dengan angina biasa, bahkan hingga
beberapa jam. Rasa sakit dapat timbul ketika istirahat, tidur, maupun
melakukan aktifitas yang ringan lainnya. Frekuensi terjadinya
serangan juga lebih sering dibandingkan angina pektoris stabil
(Kusrahayu, 2004).
3. Infark Miocardium (Acute Myocard Infark)
Ifark miokard akut terjadi akibat oklusi pada koroner sehingga terjadi
nekrosis miokard akibat gangguan suplai darah yang sangat kurang.
Tanda yang paling umum berupa; nyeri dada, sakit dibagian belakang
tulang dada kiri, mual serta muntah (Irianto, 2014).
Gambar Mekanisme perkembangan plak trombosis dan klasifikasi. (a)
Angina pektoris stabil (b) Angina pektoris tidak stabil (c) Infark miokard
Sumber: Clinical Medicine Seventh Edition (2009)

Gejala Klinis Penyakit Jantung Koroner


Menurut Kowalak Welsh Mayer (2017) terdapat 5 tanda serta gejala
penyakit jantung koroner yaitu:

1. Angina
Merupakan tanda klasik dari penyakit jantung koroner. Hal ini terjadi
karena adanya penurunan pasukan oksigen kedalam miokardium.
Tanda daripada angina sendiri dapat diungkapkan oleh pasien
sebagai rasa nyeri tertekan, seperti terbakar atau terasa berat pada
bagian dada dan dapat menjalar ke leher, rahang, dan lengan kiri.
2. Mual dan muntah
Mual dan muntah dapat terjadi akibat dari stimulasi refleks oleh rasa
nyeri pada pusat muntah.
3. Ekstremitas dingin dan kulit pucat
Ekstremitas dingin atau anggota gerak seperti kaki dan tangan terasa
dingin serta kulit yang pucat disebabkan oleh adanya stimulasi dari
saraf simpatik.
4. Diaforesis
Diaforesis atau yang biasa disebut dengan keringat dingin timbul
akibat dari stimulasi yang berasal dari saraf simpatik.
5. Xantelasma
Xantelesma merupakan munculnya plak kuning seperti gumpalan
yang berada di atas maupun dibawah kelopak mata yang disebabkan
oleh adanya endapan lemak pada kelopak mata yang dapat terjadi
akibat gejala sekunder akibat hiperlipidemia dan aterosklerosis.

Diagnosis Penyakit Jantung Koroner


Menurut Kowalak Welsh Mayer (2017) pemeriksaan yang dapat membantu
penegakan diagnosis dari penyakit jantung koroner yaitu:

1. Hasil elektrokardiografi (EKG) di antara episode angina. Selama


episode angina, EKG dapat menunjukkan adanya perubahan iskemik,
seperti inversi gelombang T, depresi segmen ST, dan dapat
dimungkinkan aritmia. Evalasi segmen ST dapat menunjukkan ada
atau tidaknya infark miokard ataupun angina Prinzmetal.
2. CT scan yang memiliki kecepatan ultra dapat digunakan untuk
mengidentifikasi endapan kalsium pada arteri kononaria.
3. Uji stress dapat dilakukan untuk mendeteksi perubahan pada segmen
ST saat mengalami stres akibat melakuakn latihan ataupun sters
farmakologi yang akan menunjukkan keadaan iskemia. Uji ini dapat
menentukan program latihan yang aman bagi penderita penyakit
jantung koroner.
4. Angiografi koroner dapat mendeteksi lokasi dan derajat stenosis
ataupun obstruksi arteri koronaria, serta keadaan arteri disebelah
distal penyempitan.
5. Pemeriksaan ultrasonografi intravaskuler dapat dilakuakn untuk
mengetahui lebih lanjut anatomi koroner serta penyempitan lumen.
6. Pemeriksaan gambaran perfusi miokardium dengan thallium-201
dapat dilakukan saat pasien menjalani uji treadmill untuk mendeteksi
bagian miokardium yang iskemik.
7. Stress echocardiography dapat memperlihatkan gerakan dinding
jantung yang abnormal pada daerah iskemia.
8. Rest perfusion imaging dengan setimbi dapat dilakukan untuk
menyingkirkan iskemia miokard pada pasien dengan sindrom nyeri
dada yang asalnya belum pasti dari jantung.

Langkah pertama dalam pengelolaan penyakit jantung koroner ini adalah


penetapan diagnosis pasti. Diagnosis yang tepat sangatlah penting, karena
jika diagnosis penyakit jantung koroner telah dibuat, maka di dalamnya
terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan
akan dapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis
yang salah selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup
penderita. Pada penderita dalam usia yang masih muda akan disarankan
melakukan pembatasan kegiatan jasmani. Selain itu kesempatan mereka
untuk mendapat pekerjaan mungkin akan berkurang. Jika hal ini terjadi
pada lanjut usia, maka mereka mungkin harus mengalami pensiun yang
terlalu dini, harus berulang kali dirawat di rumah sakit secara berlebihan
atau harus makan obat-obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu
lama. jika penyakit jantung koroner tidak diketahui dan ada penyakit
jantung lain yang menyebabkan angina pektoris yang tidak terdeteksi bisa
menyebabkan akibat yang fatal.

Penanganan Penyakit Jantung Koroner


Menurut Kowalak Welsh Mayer (2017) penanganan dan pencegahan
penyakit jantung koroner yang dapat dilakukan yaitu:

1. Pemberian preparat nitrat, seperti nitroglisein (yang dapat diberikan


secara sublingual, oral, transdermal maupun topikal dalam bentuk
salep), isosorbid dinitrat (yang diberikan secara sublingual ataupun
oral) atau isosorbid mononitrat (yang diberikan secara oral) untuk
mengurangin konsumsi oksigen oleh miokardium.
2. Pemberian beta-bloker (penyekat beta-adrenergik) untuk
mengurangi beban kerja jantung serta kebutuhan oksigen dengan
menurunkan frekuensi jantung dan resistensi perifer terhadap aliran
darah.
3. Pemberian penyekat salura kalsium (calcium channel blockers) untuk
mencegah spasme arteri koronaria.
4. Pemberian obat anti trombosis untuk mengurangi agregasi trombosit
dan risiko oklusi koroner.
5. Pemberian obat-obat antilipemik untuk menurunkan kadar kolesterol
dan trigliserida serum.
6. Pemberian obat-obat antihipertensi untuk mengendalikan hipertensi.
7. Terapi sulih hormon estrogen untuk mengurangi risiko penyakit
jantung koroner pada wanita pascamenopause.
8. Pencakokan bypass arteri koronaria (CABG; coronary artery bypass
graft) melalui pembedahan untuk memulihkan aliran darah melalui
pintasan (bypassing) arteri yang tersumbat dengan pembuluh darah
lain.
9. Pembedahan “key hole” (endoskopik) atau pembedahan noninvasif
sebagai alternatif CABG yang tradisional;pembedahan dilakukan
menggunakan kamera serat-optik yang disisipkan melalui sayatan
kecil pada dinding dada dan bertujuan mengoreksi sumbatan dalam
satu atau dua pembuluh arteri.
10.Angiplasti atau yang bisa disebut percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA) merupakan prosedur membuka pembuluh darah
untuk menghilangkan penyumbatan pada pasien oklusi arteri
koronaria tanpa klasifikasi dan pasien oklusi parsial.
11.Angioplasti sinar laser untuk mengoreksi penyumbatan dengan
membakar timbunan lemak.
12.Ateroktomi rotasi untuk mengangkat plak arteri dengan alat bor
berkecepatan tinggi.
13.Pemasangan stent (semacam alat yang diletakkan di dalam pembuluh
darah) dalam arteri yang sudah terbuka kembali untuk
mempertahankan patensi arteri tersebut.
14.Modifikasi gaya hidup untu mengurangi progresivitas penyakit
jantung koroner. Modifikasi ini dapat meliputi penghentian kebiasaan
merokok, latihan secara teratur, manajemen stress, menjaga berat
badan ideal, serta diet rendah lemak dan rendah garam.

Komplikasi Jantung Koroner


Gagal Jantung Kongestif merupakan kongesti pada sistem sirkulasi
miokardium dan merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan, syok Kardiogenik Syok kardiogenik ini ditandai oleh adanya
gangguan fungsi pada ventrikel kiri yang di sebabkan oleh infark
miokardium mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan
penghantaran oksigen ke jaringan yang khas, edema Paru Edema paru
merupakan suatu cairan abnormal yang tertimbun pada paru baik dalam
alveoli atau dirongga intersitial. Paru menjadi kaku dan tidak dapat
mengembang karena tertimbun cairan, sehingga udara tidak bisa masuk
maka terjadi hipoksia berat, pericarditis Akut Pericarditis akut adalah
penyakit yang biasa di sebut dengan peradangan pada pericardium yang
bersifat jinak dan terbatas sendiri dan dapat terjadi manifestasi dari
penyakit sistemik. Efek yang ditimbulkan dari pericarditis adalah efusi
prikardinal yang memicu tamponade jantung.

Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner


(PJK)
Terdapat dua faktor risiko penyakit jantung koroner, yaitu; faktor risiko
yang tidak dapat dirubah dan faktor risiko yang dapat dirubah (Kumar &
Clarks, 2012).

Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dirubah


1. Riwayat Keluarga
Faktor genetika dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting
terhadap patogenesis penyakit jantung koroner, riwayat penyakit
jantung koroner dalam keluarga memiliki kemungkinan timbulnya
aterosklorosis prematur. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa
adanya riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga dapat
mencerminkan predisposisi genetik terhadap disfungsi endotel dan
arteri koronaria. Menurut The Reykjavik Cohort Study menemukan
bahwa wanita dengan riwayat keluarga penderita penyakit jantung
koroner memiliki risiko sebesar 1,83 kali untuk menderita penyakit
jantung koroner, sedangkan pria dengan riwayat keluarga penderita
penyakit jantung koroner memiliki risiko sebesar 1,75 kali untuk
menderita penyakit jantung koroner dibandingkan dengan yang tidak
memiliki riwayat penyakit jantung koroner (Kumar & Clark, 2012).

Hubungan antara penyakit jantung koroner dengan riwayat keluarga


pada penelitian epidemiologi mengungkapkan bahwa riwayat
maternal memiliki peran yang sangat penting dalam peningkatan
risiko penyakit jantung koroner. Beberapa mekanisme disebabkan
oleh efek hormonal pada metabolisme lipid, resistensi insulin, serta
faktor thrombogenesis. Pada penelitian terdahulu, menunjukkan
bahwa profil lipid yang buruk memiliki potensi yang lebih besar
untuk terkena penyakit jantung koroner dan kematian yang utama
pada wanita (Choongki Kim et al, 2013).
2. Usia
Kerentanan terhadap aterosklorosis koroner semakin meningkat
seiring bertambahnya usia. Hal ini telah terbukti dan memiliki
hubungan yang kuat antara umur dengan kejadian penyakit jantung
koroner hal ini dihubungkan dengan kadar kolestrol di dalam tubuh
dimana pada umur 20-30 tahun baik perempuan maupun laki-laki
terjadi kenaikan. Pada umur dibawah 40 tahun tanda serta gejala
serius penyakit jantung koroner belum terlihat, akan tetapi pada usia
40 hingga 60 tahun insiden Myocard Infark dan Angina meningkat
sebanyak 5 kali lipat (Kumar & Clark, 2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ruiz dkk (2012) bahwa terjadinya
aterosklerosis semakin cepat dengan bertambahnya usia, yang mana
penelitian tersebut membagi atas dua kelompok usia <65 tahun dan
>65 tahun. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa penuaan,
peningkatan plak, peningkatan kadar kalsium serta necrotic core
secara signifikan menunjukkan efek yang berhubungan dengan
terjadinya aterosklerosis. Pengaruh usia yang semakin lanjut menjadi
dua kali lebih besar untuk terjadinya jantung koroner. Hal ini
disebabkan adanya perubahan fungsi endotel vaskular dan
thrombogenesis. Pada usia lanjut biasanya ditandai dengan
peningkatan sirkulasi fibrinogen dan faktor VII. Kerusakan fungsi
ginjal pada usia lanjut dapat berkontribusi untuk meningkatkan kadar
thrombogenesis melalui efek rusaknya fungsi endotel dengan
konskuensi terganggunya aktivitas fibrinolitik serta respon vasodilator
koroner (Simon et al, 1998).
3. Jenis Kelamin
Berdasarkan data (Heart Disease and Stroke Statistic 2005),
menunjukkan bahwa angka mortalitas kardiovaskular pada jenis
kelamin laki-laki selama dua puluh tahun terakhir telah mengalami
penurunan, sedangkan pada wanita angka mortalitas kardiovaskular
cenderung menetap bahkan meningkat (Ford et al, 2010). Laki-laki
memiliki risiko dua hingga tiga kali lebih besar terkena penyakit
jantung koroner dan lebih awal 10 tahun daripada wanita, akan tetapi
setelah menopause kerentanan penyakit jantung koroner hampir
sama dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh adanya estrogen
endogen yang bersifat imunitas pada wanita. Setelah menopause,
kadar hormon estrogen pada wanita menurun dan menyebabkan
peningkatan kadar lemak dalam darah sehingga aterome mudah
terbentuk.

Wanita usia muda, yang sebagian besar masih terlindungi dalam efek
proteksi estrogen pada umumnya terlindungi dari penyakit
kardiovaskular. Apabila terdapat faktor risiko lain yang mendominasi
sehingga terbentuk plak aterosklerosis pada usia muda, adanya
hormon estrogen justru meningkatkan kemungkinan ruptur plak.
Hormon estrogen menimbulkan up-regulation kelompok enzim
Matrix Metalloproteinase (MMP), yaitu MMP-9. MMP sendiri
berfungsi mendegradasi matriks ekstraselular didalam dinding arteri.
Pada arteri yang sehat, proses up-regulation tidak menimbulkan efek
yang buruk, namun apabila pembuluh darah memiliki lesi
aterosklerotik, menyebabkan meningkatkan ekspresi MMP-9
didaerah plak berisiko ruptur dan menimbulkan (SKA) Sindrom
Koroner Akut (Siska dkk, 2009).

Wanita yang memiliki penyakit arteri koroner memiliki prevalensi


faktor risiko yang lebih tinggi serta memiliki status fungsional yang
lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Terdapat bukti bahwa
hormon seks berperan penting terhadap patofisiologi penyakit
vaskular. Dimana wanita selama masa hidupnya, vaskularisasinya
mengalami fluktuasi yang bermakna dalam pengaruh hormonal.
Sumber dominan estrogen wanita monopause adalah estradiol.
Setelah wanita monopause, tingkat estrogen menjadi lebih rendah
terutama dihasilkan dari konversi androgen menjadi estrone doi
jaringan adiposa (Anderson dkk, 2007).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sheifer SE dkk mengatakan


bahwa akibat dari variasi pada penyakit arteri koroner adalah
perbedaan jenis kelamin dalam struktur pembuluh darah. Yang mana
wanita memiliki tipe pembuluh darah serta diameter yang lebih kecil
dibandingkan dengan laki-laki (Anderson dkk, 2007).

Faktor Risiko yang Dapat Dirubah


1. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
kolesterol dan trigliserida di dalam darah (Anies, 2015). Diagnosis
parameter atau diagnosis hiperlipidemia sudah dapat ditegakkan
dengan melihat peningkatan nilai kolesterol dan trigliserida, yaitu
level kolesterol total lebih dari 200 mg/dL dan kadar trigliserida
diatas 150 mg/dL (Anies, 2015). Menurut Sitepoe (1992) klasifikasi
Hiperlipidemia terbagi atas dua yaitu:
a. Hiperlipidemia Primer
Suatu keadaan dimana kadar kolesterol meningkat dikarenakan
faktor alami diantaranya adalah: adanya satu gen abnormal,
hiperlipidemia keturunan.
b. Hiperlipidemia Sekunder
Suatu keadaan dimana kadar kolesterol meningkat dikarenakan
oleh suatu penyakit seperti DM, banyak mengkonsumsi alkohol,
gangguan pada hati dan ginjal, maupun hipotiroidisme.

Hiperlipidemia pada penderita penyakit DM merupakan faktor risiko


yang secara langsung mempengaruhi kejadian penyakit jantung
koroner. Berdasarkan data epidemiologis menunjukkan bahwa kadar
kolesterol pada penderita DM dua hingga tiga kali lebih tinggi
daripada populasi normal, yang mana usia yang paling berisiko
adalah pertengahan >45 tahun. Hiperlipidemia dan DM merupakan
dua kondisi yang sering ditemukan bersama-sama, serta berperan
penting pada kejadian prematur penyakit jantung koroner.

Kejadian penyakit jantung koroner berhubungan kuat dengan


ateroma yang terbentuk sehingga menyebabkan aterosklorosis.
Peran berbagai jenis lipid pada aterosklorosis adalah:

c. Kolesterol Total
Hubungan antara kolesterol total dalam darah dengan risiko
penyakit jantung koroner sangat kuat dan memiliki peran
penting dalam patogenesis penyakit jantung koroner. Yang
mana kadar kolesterol total normal adalah <200 mg/dL.
Pemeriksaan kadar kolesterol ini tidak memerlukan puasa
(Noer, 1996).
d. Trigliserida
Merupakan bentuk lain daripada lemak darah, dimana
peningkatannya dapat menyebabkan risiko penyakit jantung
koroner. Keterkaitan trigliserida dengan penyakit jantung
koroner adalah peningkatan LDL dan penurunan HDL pada
keadaan hipertrigliserida. Hipertrigliserida berperan dalam
trombosis dan pembentukan aterosklorosis sehingga
mendorong terjadinya penyakit jantung koroner. Kadar
trigliserida harus diperiksa dimana pada keadaan kolesterol
>200 mg/dL, terdapat riwayat penyakit jantung koroner,
riwayat keluarga penyakit jantung koroner, usia <55 tahun,
riwayat keluarga dalam DM dan kadar trigliserida tinggi.
Pengukuran kadar trigliserida diperlukan untuk menghitung
kadar LDL karena pemeriksaan laboratorium biasanya langsung
dapat mengukur kolesterol total, HDL dan trigliserida
sedangkan untuk menghitung LDL digunakan rumus. Kadar
trigliserida normal adalah <150 mg/dL, dengan melakukan
puasa selama 12 jam sebelum pemeriksaan darah. Dan
sebaiknya tes ini dilakukan pada pagi hari (Anies, 2015).
e. HDL (High Density Lipoprotein)
Merupakan jenis kolesterol yang menguntungkan. Memiliki
sifat protektif terhadap pembuluh darah, bekerja
membersihkan atau mengangkat tumpukan lemak dari
pembuluh darah dan membawa serta membuangnya ke organ
hati sehingga mencegah penebalan dinding pembuluh darah
dan mencegah proses aterosklerosis. Terdapat hubungan
negatif antara HDL dengan kejadian penyakit jantung koroner,
dimana semakin rendah HDL maka akan semakin besar risiko
seseorang terkena penyakit jantung koroner. Kadar HDL normal
berkisar antara 40-60 mg/dL (Anies, 2015).
f. LDL (Low Density Lipoprotein)
Merupakan kolesterol yang bersifat merugikan dikarenakan
kadar LDL yang tinggi dapat menyebabkan penebalan dinding
pembuluh darah. Jenis kolesterol ini menumpuk didalam
pembuluh darah dan mengeras (atherosclerosis). LDL
merupakan penyebab langsung terjadinya ateroklerosis,
memblock pada arteri koroner. Kadar LDL normal adalah <100
mg/dL, peningkatan kadar LDL >130 mg/dL akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner
(Noer,1996).

Kolesterol sangat dibutuhkan oleh tubuh terutama sebagai


pembentukan dinding sel dalam tubuh, koleterol juga berguna
sebagai bahan dasar pembentukan hormon steroid. Namun apabila
kadar kolesterol didalam tubuh berlebih, maka akan tertimbun di
dalam pembuluh darah dan menimbulkan penyakit jantung koroner.
Hubungan hiperlipidemia terhadap kejadian penyakit jantung
koroner pada penderita DM adalah penyakit jantung koroner
merupakan komplikasi makrovaskuler dan merupakan penyebab
kematian prematur pada sejumlah penderita diabetik, sekitar 65%
penderita DM meninggal diakibatkan oleh serangan jantung. Yang
mana penderita DM memiliki tiga sampai lima kali lebih berisiko
terjadi kerusakan vaskuler atau aterosklerosis daripada orang yang
tidak memiliki riwayat DM. Penderita DM dengan riwayat serangan
jantung akan lebih berisiko besar untuk terjadi serangan jantung
yang kedua kalinya dan pada konsisi ini kemungkinan terjadi
kematian adalah besar. Hal mendasar terjadinya penyakit jantung
koroner pada penderita DM adalah terbentuknya plak aterosklerosis
pada pembuluh darah akibat daripada sindrom kronik hiperglikemia
yang disebabkan defisiensi insulin, resistensi ataupun keduanya.
Kadar gula darah yang tidak terkontrol ditambah lagi dengan faktor
risiko abnormalnya kadar lemak darah atau hiperlipidemia
memperberat serta mempercepat terjadinya ateroklerosis.

Ateroklerosis dimulai ketika kolesterol tertimbun di intima yang akan


mengganggu absobsi nutrien oleh sel-sel endotel yang menyusun
lapisan dinding dalam pembuluh darah, akibatnya endotel yang
terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut yang
selanjutnya menjadi kaku dan semakin sempit. Adanya stenotis arteri
menyebabkan restriksi aliran darah ke organ-organ penting didalam
tubuh termasuk pembuluh darah jantung menjadi terganggu.
Transportasi darah yang terhambat mengakibatkan suplai oksigen
dan nutrisi ke otot jantung terganggu dan terjadi kondisi yang
disebut dengan iskemia yang dimanifestasikan sebagai angina,
apabila transportasi darah terganggu secara terus menerus, maka
otot jantung akan mengalami kematian atau nekrotik. Proses
terjadinya penyakit jantung koroner pada penderita DM sangat
kompleks dan saling berkaitan. Kadar gula darah yang tinggi pada
penderita DM menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah arteri
yang sifatnya mengiritasi atau menciderai intima sehingga
mengakibatkan hilangnya nitrat oksidasi (NO) yang berfungsi
menghambat zat reaktif. Keadaan vaskular yang mulanya elastis dan
licin berubah menjadi kaku dan menyempit sehingga menybabkan
terjadinya hipertensi. Kompensasi hipertensi yang terjadi pada
penderita DM dikarenakan jantung berusaha keras memompa darah
dalam mencukupi kebutuhan darah pada organ-organ target.
Keadaan pembuluh darah juga berubah menjadi sangat subur untuk
perkembangan plak aterosklerosis dalam intima, dan plak yang
terbentuk akan mudah ruptur yang mengakibatkan trombus dan
mengalami oklusi. Serangan jantung secara tiba-tiba atau kematian
secara mendadak sering dihubungkan dengan trombosis akut pada
plak ateroklerosis yang menutupi pembuluh darah secara komplit
(Kowalak-Welsh-Mayer, 2012, AHA, 2014).

2. Hipertensi
Merupakan peningkatan sistolik maupun diastolik yang berhubungan
erat dengan peningkatan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Berbagai penelitian telah melaporkan bahwa terdapat hubungan
yang erat antara resistensi insulin dan hipertensi, ketika pasien
memiliki keduanya faktor risiko penyakit jantung koroner menjadi
dua kali lipat. Risiko penyakit jantung meningkat sejalan dengan
peningkatan tekanan darah, dimana peningkatan tekan darah sistolik
130-139 mmHg dan tekanan diastolik 85-89 mmHg akan
meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 2
kali dibandingkan dengan tekanan darah kurang dari pada 120/80
mmHg (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2011).

Patogenesis kejadian penyakit jantung koroner dimulai ketika


terjadinya mikrovaskular dan makrovaskular disease. Terjadinya
hipertropi tunika intima yang diikuti hialinisasi pada daerah tersebut
sehingga menyebabkan tekan darah sistemik meningkat, karena ada
tahanan yang harus dilalui dalam memasok darah. Hal ini memicu
ventrikel kiri meningkatkan kontraksinya dalam mengeluarkan darah
dan peningkatan beban kerja jantung. Usaha keras jantung dalam
memompa darah secara terus menerus mengakibatkan kompensasi
jantung berupa hepertropi ventrikel. Demand oksigen oleh
mikokardium akan meningkat akibat hipertropi ventrikel yang terjadi,
yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium
(Kumar & Clarks, 2012).
3. Kebiasaan Merokok
Kejadian penyakit jantung koroner pada perokok dapat dinyatakan
tinggi, dimana perokok dua hingga tiga kali lebih mungkin terkena
penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang yang tidak
merokok. Merokok dengan nikotin rendah dan memiliki filter serta
durasi lamanya merokok tidak mengurangi risiko terserang penyakit
jantung koroner. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama
perokok menjadi perokok pasif memiliki peningkatan risiko sebesar
20% sampai dengan 30% dibandingan dengan orang yang tinggal
dengan bukan perokok. Patogenesis kejadian penyakit jantung
koroner dimana komplikasi telah terjadi semakin membawa dampak
buruk dengan adanya faktor merokok. Kandungan zat racun yang
terdapat pada rokok seperti kabonmonoksida serta nikotin membawa
dampak buruk terhadap pengangkutan oksigen ke jantung.
Karbonmonoksida yang merupakan produk akhir pembakaran rokok
sangat mudah berikatan dengan hemoglobin daripada oksigen
sehingga menyebabkan kadar oksigen jantung menurun.
Karbonmonoksida juga telah terbukti menurunkan kadar HDL yang
artinya meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner
sedangkan nikotin dalam darah menyebabkan kontruksi pembuluh
darah berubah sehingga terjadi kerusakan endotel yang memicu
ateroklerosis atau plak yang menybabkan penyakit jantung koroner
(Kumar & Clarks, 2012).

Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok


pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30% dibandingkan
dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko untuk
terjadinya penyakit jantung koroner akibat merokok berhubungan
dengan dosis dimana seseorang merokok 20 batang rokok ataupun
lebih dalam satu hari, dan memiliki risiko sebesar dua hingga tiga kali
lebih besar terkena penyakit jantung koroner daripada populasi
umum yang tidak merokok. Peranan rokok dalam patogenesis
jantung koroner merupakan hal yang sangat kompleks, diantaranya;
menimbulkan aterosklerosis, meningkatnya trombogenesis dan
vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner), meningkatkan
tekanan darah serta denyut jantung, provokasi aritmia jantung,
penurunan kapasitas pengangkutan oksigen (Mamat Supriyono,
2008).
4. Hiperglikemia
Hiperglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes dan non-
diabetes dengan etiologi dosis insulin yang tidak tepat, asupan
makanan berlebihan, kurangnya aktivitas fisik, stress atau emosional
dan infeksi. Pada penderita DM dimana terjadi penurunan produksi
insulin yang mempengaruhi semua metabolisme tubuh. Ateroklerosis
disebut sebagai hasil dari kadar gula darah yang tidak terkontrol.
Gula darah normal atau target gula darah berkisar dari 90-126 mg/dL
untuk gula darah puasa dan 180 mg/dL adalah nilai gula darah 1-2
jam setelah makan. Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan
vaskular karena terjadi pengaktifan C kinase serta stress oksidatif
darah, asterosklerosis yang terbentuk akan mengganggu aliran darah
ke jantung (Anies, 2015). Patogenesis kejadian penyakit jantung
koroner dengan kenaikan kadar gula darah yang berlangsung lama
menyebabkan konsistensi darah menjadi lebih pekat. Hal ini
menyebabkan terjadinya penimbunan lemak di pembuuh darah yang
menyebabkan aterosklerosis. Peningkatan kadar gula darah pada
pasien DM juga menyebabkan peningkatan lipoprotein yang bersifat
atherogenik terhadap pembuluh darah, sehingga terjadi disfungsi
endotel yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary
artery diseases (Kumar & Clarks, 2012).

Diabetes melitus tipe 2 yang tidak dikelola dengan baik akan


menyebabkan terjadinya penyakit dan beberapa komplikasi kronis,
baik itu mikroangiopati seperti retinatopati dan nefropati, maupun
makroangiopati seperti penyakit jantung koroner, stroke, serta
penyakit pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2009). Menurut
American Heart Association pada Mei 2012, lebih kurang 65%
penderita diabetes melitus meninggal akibat penyakit jantung atau
stroke. Selain itu juga, orang dewasa yang menderita diabetes melitus
berisiko dua hingga empat kali lebih besar terkena penyakit jantung
koroner daripada mereka yang tidak menderita diabetes melitus
(National Diabetes Education Program, 2012)
5. Obesitas
Terjadinya obesitas merupakan dampak yang terjadi akibat kelebihan
asupan energi dibandingkan dengan energi yang diperlukan oleh
tubuh sehingga energi yang berlebih tersebut disimpan didalam
tubuh dalam bentuk lemak. Obesitas sendiri didefenisikan sebagai
suatu keadaan dimana terjadi peningkatan lemak didalam tubuh, baik
diseluruh tubuh maupun dibagian tubuh tertentu. Obesitas dapat
ditentukan dengan menggunakan pengukuran antopometri seperti
Indeks Masa Tubuh (IMT), distribusi lemak tubuh atau persen lemak
dalam tubuh menggunakan pengukuran Tebal Lemak Bawah Kulit
(TLBK), serta pengukuran lingkar perut (Widyastuti & Subagio, 2006).

Obesitas adalah salah satu kelainan kompleks pengaturan makanan


serta metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor
biologi spesifik. Obesitas sendiri dapat ditentukan berdasarkan Indeks
Masa Tubuh (IMT) dimana pada orang dewasa perbandingannya
anatara berat badan dlam kg dibagi dengan tinggi badan kuadrat
dalam meter, dan nilai >30kg/m2 merupakan kriteria obesitas
(Maxitalia dkk, 2009).

Pada Manitoba Studi menemukan bahwa peningkatan IMT berisiko


secara bermakna untuk terjadi penyakit jantung koroner. Obesitas
sangat terkait dengan insulin resistensi yang mana menyebabkan
hiperglikemia serta peningkatan lemak dalam darah yang keduanya
memicu lebih awal untuk timbulnya ateroklerosis. Data dari penelitian
Framingham menunjukkan bahwa apabila seseorang memiliki berat
badan yang optimal, maka akan terjadi penurunan insiden kejadian
penyakit jantung koroner sebesar 25% dan stroke atau cerebro
vaskular accident (VCA) sebesar 35% (Nestle, 1980).
6. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik diketahui memiliki pengaruh dalam mekanisme
metabolisme tubuh serta meningkatkan kadar HDL (high-density
lipoprotein) dan menurunkan kadar LDL (low-density lipoprotein)
didalam tubuh, meningkatkan metabolisme glukosa dengan cara
meningkatkan sensitivitas insulin serta menurunkan kadar lemak yang
berlebih serta tekanan darah tinggi (Redigan dkk, 2011). Meskipun
begitu, manfaat dari aktivitas fisik sendiri dipengaruhi juga oleh
frekuensi serta durasi dari aktivitas fisik itu sendiri (Carnethon, 2009).

Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan


kebutuhan energi, sehinga apabila aktivitas rendah maka
kemungkinan terjadinya obesitas akan meningkat, sedangkan apabila
aktivitas yang sedang hingga tinggi dapat menurunkan kemungkinan
terjadinya obesitas (Soegih & Wiramihardja, 2009).
7. Kebiasaan Makan
Penyakit jantung koroner memiliki kaitan yang sangat erat dengan
pola makan seseorang baik itu dari segi jenis bahan makanan,
frekuensi serta jumlah dalam mengonsumsi makanan. Pola makan
dengan konsumsi makanan tinggi lemak akan mengakibatkan
seseorang untuk terkena hiperlipidemia serta obesitas. Yang mana
hiperlipidemia dan obesitas dapat meningkatkan risiko penyakit
jantung koroner jika ditambah dengan aktivitas fisik yang kurang.
Kebiasaan makan yang tinggi lemak jenuh, lemak trans serta tinggi
garam, kurangnya asupan buah dan sayur, dan asupan ikan yang
rendah merupakan faktor yang berhubungan dngan kejadian
penyakit kardiovaskuler (WHO, 2011).

Pencegahan Penyakit Jantung Koroner


Pencegahan penyakit jantung koroner menurut Brunner dkk yaitu
Pencegahan primordial, merupakan upaya pencegahan munculnya faktor
predisposisi terhadap penyakit jantung koroner pada suatu wilayah dimana
belum tampak adanya faktor yang menjadi resiko penyakit jantung koroner,
Pencegahan primer merupakan upaya awal pencegahan penyakit jantung
koroner. Dilakukan dengan pendekatan komunitas berupa penyuluhan
faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner terutama pada kelompok usia
tinggi. Pencegahan primer ditujukan kepada pencegahan terhadap
berkembangnya proses artherosklerosis secara dini, dengan demikian
sasaranya adalah kelompok usia muda,Pencegahan sekunder merupakan
upaya pencegahan penyakit jantung koroner yang pernah terjadi untuk
berulang atau menjadi lebih berat. Pada tahap ini diperlukan perubahan
pola hidup dan kepatuhan berobat bagi mereka yang pernah menderita
penyakit jantung koroner. Upaya peningkatan ini bertujuan untuk
mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan
mortalita,pencegahan tersier merupakan upaya mencegah komplikasi yang
lebih berat atau kematian.
Penatalaksanaan Penyakit Jantung
Koroner
Penatalaksanaan pada penyakit jantung koroner menurut Lemone, Priscilla,
dkk yaitu pengobatan farmakologi: Nitrat termasuk nitrogliserin digunakan
untuk mengatasi serangan angina dan mencegah angina, aspirin dosis
rendah seringkali diprogramkan untuk mengurangi risiko agregasi
trombosit dan pembentukan thrombus. Penyekat beta (bloker) Obat ini
menghambat efek perangsang jantung norepinefrin dan epinefrin,
mencegah serangan angina dengan menurunkan frekuensi jantung,
kontraktilitas miokardium, dan tekanan darah sehingga menurunkan
kebutuhan oksigen miokardium. Antagonis kalsium Obat ini mengurangi
kebutuhan oksigen miokardium dan meningkatkan suplai darah dan
oksigen miokardium dan merupakan vasodilator koroner kuat, secara
efektif meningkatkan suplai oksigen, anti kolesterol Statin dapat
menurunkan resiko komplikasi aterosklerosis sebesar 30% yang terjadi
pada pasien angina. Statin juga dapat berperan sebagai anti trombotik ,
anti inflamasi,dll.

Revaskularisasi miokardium aliran darah yang menuju miokardium setelah


suatu lesi arterosklerotis pada arteri koroner bisa diperbaiki dengan operasi
untuk mengalihkan aliran dan bagian yang tersumbat dengan suatu
cangkok pintas. Cangkok pintas ini disebut dengan Coronary Artery Bypass
Grafting (CABG). Pembedahan untuk penyakit jantung koroner melibatkan
pembukaan vena atau arteri untuk menciptakan sambungan antara aorta
dan arteri koroner melewati obstruksi. Kemudian memungkinkan darah
untuk mengaliri bagian iskemik jantung. Balon arteri koroner merupakan
suatu teknik untuk membuka daerah sempit di dalam lumen arteri coroner
menggunakan sebuah balon halus yang dirancang khusus. Percutaneous
Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) merupakan istilah dari balon
arteri koroner yang digunakan para kedokteran.

Non Farmakologi : Memodifikasi pola hidup yang sehat dengan cara


olahraga ringan, mengontrol faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
penyakit jantung koroner, seperti pola makan,dll, melakukan teknik distraksi
dengan cara mendengarkan musik dan relaksasi dengan cara nafas
dalam,membatasi aktivitas yang memperberat aktivitas jantung.

Anda mungkin juga menyukai