Anda di halaman 1dari 29

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindrom Koroner Akut

2.1.1 Definisi

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan spektrum proses

aterosklerosis yang berhubungan dengan peningkatan risiko kematian

jantung karena berkurangnya aliran darah koroner secara mendadak

(Amsterdam et al., 2014). Sindrom Koroner Akut merupakan suatu istilah

yang menggambarkan kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri

dada dan gejala lain yang disebabkan oleh penurunan aliran darah ke

jantung, biasanya disebabkan oleh plak aterosklerosis (Gallego et al., 2014).

Sindrom Koroner Akut merupakan manifestasi akut dan berat yang

merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat

ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah

(O’Connor et al., 2015).

2.1.2 Etiologi SKA

Sindrom Koroner Akut terjadi secara mendadak, meskipun proses

terjadinya penyakit tersebut memerlukan waktu yang lama. Lebih dari 90%

terjadinya adalah faktor dari plak aterosklerotik berlanjut ke agregasi

trombosit dan pembentukan plak dari trombus intra koroner (Lily, 2011).

Penurunan perfusi miokard akibat penyempitan arteri koroner sebagai akibat

dari trombus yang ada pada plak aterosklerosis yang ruptur dan biasanya

tidak sampai menyumbat. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta

komponennya dari plak yang ruptur, mengakibatkan infark kecil di bagian

distal dan menjadi penyebab kerusakan miokard (Ismantri, 2009).

7
Obstruksi dinamik diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus

pada segmen arteri koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini

disebabkan oleh hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah atau akibat

adanya disfungsi endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan

oleh konstriksi abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil (Sebastine et

al., 2012). Obstruksi mekanik yang progresif. Penyempitan yang hebat

namun bukan karena spasme atau trombus. Terjadi pada pasien dengan

aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah Intervensi

Koroner Perkutan (IKP) (Ismantri, 2009).

Inflamasi atau infeksi jika endotel rusak, sel-sel inflamatorik, terutama

monosit, bermigrasi menuju ke lapisan subendotel dengan cara berikatan

dengan molekul adhesif endotel. Pada lapisan subendotel, sel-sel ini

mengalami diferensiasi menjadi makrofag. Makrofag mencerna Low Density

Lipoprotein (LDL) teroksidasi yang juga berpenetrasi ke dinding arteri,

berubah menjadi sel foam dan selanjutnya membentuk fatty streaks.

Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat kemoatraktan dan sitokin

yang makin mengaktifkan proses ini dengan mengambil lebih banyak

makrofag, sel T dan sel otot polos pembuluh darah (yang mensintesis

komponen matriks ekstraseluler) pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos

pembuluh darah bermigrasi dari tunika media menuju tunika intima, lalu

mensintesis kolagen, membentuk kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak

dengan cara membungkus inti lipid dari aliran pembuluh darah. Makrofag

juga menghasilkan Matriks Metalloproteinase (MMPs), enzim yang

mencerna matriks ekstraseluler dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak

(Kumar, 2009). Keadaan pencetus akibat sekunder dari kondisi pencetus

diluar arteri koroner. Penyebab dapat menginduksi penyempitan arteri

8
koroner yang mengakibatkan penurunan perfusi miokard dan pasien

biasanya menderita angina stabil yang kronik seperti anemia (Ismantri, 2009).

2.1.3 Faktor risiko SKA

Faktor risiko SKA dibagi dua yaitu faktor risiko yang dapat

dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Bender et al.,

2011; Strom, 2011). Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain:

1) Hipertensi

Salah satu pencetus dari aterotrombosis dengan beberapa

mekanisme, diantaranya dengan menyebabkan hipertrofi jantung,

disfungsi endotel atau gangguan pada sistem reninangiotensin.

Tekanan darah yang tinggi dan menetap dapat menimbulkan trauma

langsung pada arteri koroner sehingga memudahkan terjadinya

aterosklerosis (Erne et al., 2015). Peningkatan tekanan darah 20-30

mmHg dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan kematian

sebesar dua kali lipat (WHO, 2013).

2) Diabetes Melitus

Meskipun pasien diabetes melitus cenderung mengalami komplikasi

makrovaskuler, belum ada penjelasan mengapa pasien diabetes

melitus lebih cenderung untuk mengalami perubahan aterosklerosis

dibandingkan dengan pasien non diabetes melitus. Ciri utama pada

diabetes melitus adalah kenaikan kadar glukosa darah. Terdapat

faktor risiko tertentu yang berkaitan dengan percepatan aterosklerosis.

Faktor tersebut antara lain kenaikan kadar lemak darah, hipertensi,

kebiasaan merokok, obesitas, kurangnya latihan fisik dan riwayat

keluarga (genetik). Faktor risiko ini berperan penting dalam proses

timbulnya komplikasi makrovaskuler pada populasi diabetes maupun

non diabetes, namun angka penyakit makrovaskuler tetap lebih tinggi

9
pada pasien-pasien diabetes dibandingkan pada pasien-pasien non

diabetes yang memiliki faktor risiko yang sama. Sehingga diabetes

melitus sendiri dianggap sebagai faktor risiko terhadap terjadinya

aterosklerosis (Black & Hawks, 2014). Kadar glukosa darah yang

tinggi pada pasien SKA berhubungan dengan tingginya kadar asam

lemak bebas, resistensi insulin dan gangguan pemakaian glukosa oleh

otot jantung sehingga meningkatkan konsumsi oksigen yang

berpotensi dalam memperburuk kejadian iskemia dan infark jantung

sehingga memicu terjadinya gagal organ (Deedwania et al., 2008)

3) Hiperkolesterolemia

Komplikasi makrovaskuler bukan hanya disebabkan oleh diabetes

melitus saja, namun terdapat faktor-faktor risiko lain yang berperan

dalam komplikasi ini ditandai dengan meningkatnya kadar Low

Density Lipoprotein (LDL) dibanding High Density Lipoprotein (HDL)

serta peningkatan kadar trigliserida. Apabila faktor-faktor risiko diatas

berlangsung lama maka akan mengakibatkan perubahan patologis

dinding pembuluh darah koroner, kemudian berlanjut pada terjadinya

aterosklerosis pembuluh darah. Pembuluh darah yang telah

mengalami aterosklerosis akan berlanjut pada penyempitan pembuluh

darah koroner. Perubahan patologis dinding pembuluh darah juga

akan mengaktivasi zat-zat vasoaktif, sehingga pembuluh darah

koroner mengalami spasme sehingga semakin rentan untuk

mengalami komplikasi kardiovaskular (Black & Hawks, 2014).

Hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya

SKA, dengan tingginya kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida

serta rendahnya kadar HDL dapat meningkatkan risiko PJK dan stroke

iskemik (Wadhera et al., 2016)

10
4) Merokok

Merokok dapat mendorong perkembangan aterosklerosis dengan

memulai cedera pada endotel. Produksi radikal bebas atau melalui

toksik langsung dari komponen asap rokok. Bahkan paparan singkat

asap rokok telah diketahui dapat mengaktifkan leukosit, merangsang

pelepasan prokoagulan dan menyebabkan kerusakan endotel. Efek ini

memulai mekanisme inflamasi yang menyebabkan aterosklerosis.

Mekanisme disfungsi endotel dan penurunan kemampuan dilatasi

disebabkan karena efek nikotin. Selain itu, nikotin juga memiliki efek

pembentukan radikal bebas (Chow et al., 2010)

5) Kurang latihan

Olahraga merupakan suatu aktivitas aerobik yang bermanfaat untuk

meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan daya tahan

jantung, paru, peredaran darah, otot-otot dan sendi-sendi. Olahraga

yang dilakukan secara teratur akan memberikan pengaruh yang besar

terhadap tubuh kita. Dianjurkan untuk melakukan olahraga selama 30

menit setiap hari selama 3-4 hari (Lewis et al., 2007). Orang yang

tidak aktif berolahraga memiliki risiko 1,9 kali lebih besar menderita

penyakit jantung koroner dibandingkan mereka yang aktif berolahraga

(Peter, 2008).

6) Diit dengan kadar lemak tinggi dan obesitas

Obesitas meningkatkan risiko terkena penyakit jantung koroner.

Sekitar 25 - 49% penyakit jantung koroner di negara berkembang

berhubungan dengan peningkatan Indeks Masa Tubuh (IMT) (Kotchen,

2010). Apabila individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi

penurunan insiden SKA sebesar 25%. Penurunan berat badan

diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki

11
sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia

(Jellinger et al., 2012). Obesitas identik dengan peningkatan kolesterol

dalam tubuh. Kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan

media pembuluh arteri koroner. Jika proses terus berlangsung maka

akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner akan

mengalami aterosklerosis (Foussas, 2016)

7) Stres

Stres berakibat pada gangguan metabolisme dan sistem kekebalan

tubuh sehingga mempercepat perkembangan penyakit. Stres

mengaktivasi sistem saraf simpatis yang mengatur denyut jantung,

pelepasan katekolamin serta mengaktivasi hipothalamus pituitary

adrenal aksis yang mengatur pelepasan kortikosteroid dari kelenjar

adrenal. Stres juga dapat meningkatkan faktor van willebrand dan

fibrinogen sehingga menjadi faktor predisposisi timbulnya

aterosklerotik penyebab penyakit jantung koroner (Lagraauw et al.,

2015).

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain:

1) Riwayat PJK dalam keluarga

Penyakit Jantung Koroner cenderung tertinggi pada subjek yang

orang tuanya juga mengalami PJK. Bila orang tua menderita PJK

pada usia muda maka anaknya mempunyai risiko lebih tinggi

terjadinya PJK dari pada subjek yang tidak mempunyai riwayat

keluarga PJK. Adanya riwayat dalam keluarga mencerminkan suatu

predisposisi genetik terhadap disfungsi endotel dalam arteria

koronaria (Brown, 2006).

12
2) Usia

Usia merupakan faktor penentu penting pada pasien SKA dan

menjadi prediktor risiko terjadinya SKA (Alexander &Karen, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Ruiz et al (2012) dengan membagi 2

kelompok usia kurang dari sama dengan 65 tahun dan lebih dari 65

tahun. Penelitian dilakukan secara invivo untuk menilai karakteristik

dan komposisi plak, hasil penelitian menunjukkan aterosklerosis

dipercepat dengan bertambahnya usia. Selain itu dalam penelitian ini

dijelaskan bahwa dengan penuaan, peningkatan plak, necrotic core

dan peningkatan kadar kalsium secara signifikan menunjukkan efek

yang berhubungan dengan terjadinya aterosklerosis. Pengaruh usia

lanjut menjadi lebih berat dua kali lipat menyebabkan terjadinya

perubahan fungsi endotel vaskular dan thrombogenesis (Ruiz et al.,

2012)

3) Jenis kelamin

Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai

masa menopause dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria.

Diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen. Hormon

estrogen merupakan protektan terhadap kejadian aterosklerosis

(Ismantri, 2009). Sebelum menopause, wanita mempunyai kadar HDL

lebih tinggi dan LDL lebih rendah, setelah menopause LDL meningkat

(Lewis et al., 2007). Di Amerika Serikat gejala SKA sebelum umur 60

tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan dari 17 perempuan. Ini

berarti bahwa laki-laki mempunyai risiko SKA 2–3 kali lebih besar dari

pada perempuan (Karson, 2012)

4) Etnis

Ras kulit putih lebih sering terjadi SKA, dari pada ras Afrika Amerika

13
(Lewis et al., 2007). Penelitian multi etnik yang dilakukan pada 33

remaja obesitas ras Amerika asli, 33 remaja obesitas ras Afrika-

Amerika dan 33 remaja obesitas ras Hispanik. Ternyata tiap ras

memiliki rentang nilai kadar HDL yang berbeda-beda dimana ras

Afrika-Amerika cenderung memiliki kadar kolesterol HDL lebih tinggi

(Ebe et al., 2010).

2.1.4 Klasifikasi

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

elektrokardiografi (EKG) dan pemeriksaan marka jantung. SKA dibagi

menjadi Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST Elevation

Myocardial Infarction), infark miokard dengan non elevasi segmen ST

(NSTEMI: Non ST Elevation Myocardial Infarction) dan angina Pektoris

tidak stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris) (O’Connor et al., 2015).

Ketiganya merupakan suatu spektrum klinis yang disebut Sindrom

Koroner Akut (Antman, 2008). Ketiganya mempunyai dasar patofisiologi

yang sama. Sindrom Koroner Akut dengan STEMI merupakan indikator

kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini

memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah

dan reperfusi miokard secepatnya secara medikamentosa menggunakan

agen fibrinolitik atau intervensi koroner perkutan primer (Myrta, 2012).

Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris

akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang

bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan

menunggu hasil peningkatan marka jantung. Diagnosis NSTEMI dan

angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris

akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang

14
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi

segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T

pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan (PERKI, 2015).

Angina pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan

kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.

Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila

hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna,

maka diagnosis menjadi IMA NSTEMI. Pada angina pektoris tidak stabil

marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindrom koroner

akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah

beberapa unit melebihi nilai normal atas (Kontos et al., 2010).

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

(PERKI) tahun 2015, jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan

kelainan atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina

masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika

ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara

keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24

jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

2.1.5 Patofisiologi

Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma

pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan

perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak

tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan

aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white

thrombus). Trombus ini akan menyumbat pembuluh darah koroner, baik

secara total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang menyumbat

15
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat

vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat

gangguan aliran darah koroner (PERKI, 2015).

Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia

miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20 menit

menyebabkan miokardium mengalami nekrosis. Infark miokard tidak selalu

disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal

yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya

iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung. Akibat dari iskemia, selain

nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses

hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling

ventrikel (Rosen, 2009).

Sindrom Koroner Akut yang terjadi karena obstruksi dinamis akibat

spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (angina prinzmetal).

Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat

diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner

Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,

tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA

pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. Faktor-faktor yang

berperan dalam progresi SKA meliputi: ruptur plak atherosklerotik, aktivasi,

agresi, adesi trombosit, aktivasi sekunder sistem koagulasi plasma

vasokonstriksi koroner dan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan

oksigen miokardium (Kumar, 2009).

2.1.6 Diagnosis SKA

Diagnosis SKA dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan EKG, marka jantung, pemeriksaan laboratorium, foto

16
polos dada dan pemeriksaan penunjang lainnya. Keluhan pasien dengan

iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau

atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan

atau berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area

interskapular, bahu atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung

intermiten atau beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina

tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah,

nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang

sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa

gangguan pencernaan, sesak napas yang tidak dapat diterangkan atau

rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan angina tipikal ini lebih

sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut lebih

dari 75 tahun, wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun atau

dimensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,

keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen, jika berhubungan

dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung

koroner. Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak

prediktif terhadap diagnosis SKA. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika

keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai

berikut: pria, mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner, mempunyai

PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard,bedah pintas koroner

atau IKP. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,

dislipidemia,diabetes melitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang

diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah (PERKI, 2015).

17
Gambar 2.1 Algoritma penegakkan diagnosis SKA (Hamm et al., 2011)

Keluhan nyeri dada pasien yang bersifat tipikal dan atipikal yang

datang di IGD, akan ditegakan dengan diagnosis SKA. Melalui

pemeriksaan EKG akan diperoleh irama jantung ST elevasi persisten, ST

abnormal dan irama jantung normal atau yang tidak dapat ditentukan.

Selain pemeriksaan EKG juga dilakukan pemeriksaan marka jantung.

Apabila hasil pemeriksaan marka jantung menunjukkan troponin meningkat

maka pasien mengalami NSTEMI, bila troponin normal, pasien mengalami

unstable angina. Pada pemeriksaan EKG yang menunjukkan ST elevasi

persisten, maka pasien mengalami STEMI. STEMI anterior merupakan

infark miokardium pada dinding anterior dari jantung akibat adanya oklusi

dari Left Anterior Descending Artery (LAD).

18
Gambar 2.2 Gambaran EKG STEMI Anterior (1)

Keterangan :

 Tampak ST Elevasi pada lead V1 - V5 dan aVL

 Tampak ST Depresi pada lead II, III, aVF

Gambar 2.3 Gambaran EKG STEMI Anterior (2)

Keterangan :

 Tampak ST Elevasi pada lead V1 - V6 dan I, aVL

 Tampak ST Depresi Resiprokal pada lead II, III, aVF

19
Gambar 2.4 Gambaran EKG STEMI Inferior (1)

Keterangan :

 Tampak ST Elevasi pada lead II, III, aVF

 Tampak juga Q Patologis pada lead III, aVF

 Terlihat ST Depresi Resiprokal pada lead aVL

Gambar 2.5 Gambaran EKG STEMI Inferior (2)

Keterangan :

 Tampak ST Elevasi pada lead II, III, aVF

 Terlihat ST Depresi Resiprokal pada lead I, aVL

 Terlihat ST Depresi pada lead V1 - V4 sebagai penanda

keterlibatan dinding posterior

(Sumber gambar : PERKI, 2015)

20
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus

iskemia, komplikasi, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis

banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung, angina tipikal berupa

rasa tertekan atau berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher,

area interskapuler, bahu atau epigastrium berlangsung intermiten atau

persisten (>20 menit). Sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri

abdominal, sesak napas, dan sinkop. Suara jantung (S3), ronkhi basah

halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi

komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,

hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan

kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis,

kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi

aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak

seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding

SKA (Amsterdam et al., 2014)

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang

mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan

sesegera mungkin sesampainya di IGD (Cardiac Care Network, 2013).

Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R serta V7-V9 sebaiknya direkam

pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada

iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam

pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.

Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan

pasien di IGD (Sebastine et al., 2012).

Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul

kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan

21
angina cukup bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik, Left Bundle Branch

Block (LBBB) baru atau persangkaan baru, elevasi segmen ST yang

persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten atau depresi segmen ST

dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian ST elevasi dilakukan

pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan (PERKI,

2015).

Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria

dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada

sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada

usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3

pada pria usia lebih dari 40 tahun adalah (≥0,2 mV), pada pria usia kurang

dari 40 tahun adalah (≥0,25 mV). Sedangkan pada perempuan nilai

ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah

(≥0.15 mV). Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di

sadapan V3R dan V4R adalah (≥0.05 mV), kecuali pria usia kurang dari 30

tahun nilai ambang (≥0,1 mV) dianggap lebih tepat. Nilai ambang di

sadapan V7-V9 adalah (≥0.5 mV) (Thygesen et al., 2012).

Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan

dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien

STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid anterior (elevasi di V3-V6). Pasien

SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB

komplit baru atau persangkaan baru mengingat pasien tersebut perlu

mendapatkan terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang

diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum

hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. Persangkaan adanya infark

miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru atau

persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST (≥1 mm) pada

22
sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST (≥1 mm) di

V1-V3 (Nikus et al., 2014). Perubahan segmen ST seperti ini disebut

sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan

sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST

yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut

dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten,

diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST

(NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen

ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar (≥ 0.05mV) di sadapan

V1-V3 dan (≥ 0.1 mV) di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi

segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidakpersisten

(<20menit), dan dapat terdeteksi di lebih dari 2 sadapan berdekatan.

Inversi gelombang T yang simetris (≥ 0.2 mV) mempunyai spesifitas tinggi

untuk untuk iskemia akut (PERKI, 2015).

Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark


V1-V4 Anterior
V5-V6, I, Avl Lateral
II, III, Avf Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
Sumber: PERKI (2015)

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka

nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.

23
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan

spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB (Keller, 2011). Peningkatan marka

jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak

dapatdipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut

(penyebab koroner atau nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat

oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak,

gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis atau perikarditis. Keadaan

nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis,

luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi

pulmoner, kemoterapi dan insufisiensi ginjal (Reichlin et al., 2011).

Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang

seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan

disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang

lebih tinggi dari troponin T. Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan

CK-MB atau troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam

setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah

awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka

pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama

(Santolo et al., 2013). Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada

seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih

rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu

paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi

infark (infark berulang) maupun infark periprosedural (Kontos et al., 2010).

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus

dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah

sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal dan lipid

(PERKI, 2015). Pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat

24
darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di

ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah

untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit

penyerta (Goldstein et al., 2011)

Beberapa modalitas yang bisa dipergunakan dalam menunjang

penegakkan diagnosis sindroma koroner akut baik yang bersifat non invasif

maupun invasif antara lain:

1) Ekokardiografi. Merupakan modalitas pemeriksaan yang sangat

penting terutama pada fase akut oleh karena non invasif serta

cepat. Fungsi sistolik ventrikel kiri dapat kita ketahui, di mana ini

merupakan variable prognostik yang penting pada penyakit arteri

koroner. Di samping itu kita bias menyingkirkan diagnosis

banding yang lain seperti stenosis aorta, kardiomiopati

hipertropik, efusi pericardial ataupun yang lainnya,

2) MSCT (Multislice Computered Tomography). Pemeriksaan ini juga

bersifat non invasif akan tetapi tidak semua rumah sakit memiliki

fasilitas ini serta hanya digunakan untuk menyingkirkan sindroma

koroner akut atau penyebab nyeri dada yang lain. Alat ini tidak

digunakan untuk mendeteksi iskemia,

3) MRA (Magnetic Resonance Angiography) Alat ini dapat

mendeteksi mendeteksi jaringan scar dan perfusi jantung tetapi

tidak semua rumah sakit memilikinya (Hoffmann et al., 2009),

4) Coronary Angiography. Merupakan standar baku untuk

mendiagnosis penyakit arteri koroner. Prosedur ini bisa

dikerjakan pada pasien dengn risiko tinggi sindroma koroner akut

dan diagnosis banding yang tidak jelas (Hamm et al., 2011)

25
2.1.7 Tindakan Umum

Tindakan umum adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan

diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di

ruang gawat darurat. Sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan atau marka

jantung, terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin

(MONA). Oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2

arteri kurang dari 90% atau yang mengalami distres pernapasan

(Amsterdam et al., 2014). Oksigen diberikan 2-4 L/menit dengan nasal

kanul (Overbaugh, 2009). Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang

setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga

dosis Nitrogliserin (NTG) sublingual. Jika nyeri dada tidak hilang dengan

satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga

kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif

dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia

NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti. Aspirin

160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui

intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih

mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (PERKI,

2015).

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering pada SKA ialah aritmia dan gagal

jantung. Komplikasi yang lain adalah syok kardiogenik, ruptur dinding

ventrikel, kongesti paru, perikarditis dan tromboemboli (Coven et al., 2016).

26
2.1.9 Penatalaksanaan Pasien SKA.

Penatalaksanaan pasien SKA yaitu melalui pemberian obat-obatan

dan terapi reperfusi. Obat yang digunakan antara lain: obat anti-iskemia

(Penyekat Beta / Beta blocker, Nitrat dan Calcium Channel Blockers).

Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap

reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen

miokardium. Penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam

pertama (PERKI, 2015). Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi

vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik

ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Calcium

Channel Blockers (CCBs) seperti nifedipin dan amplodipin mempunyai efek

vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada Sinus Atrial (SA)

Node atau Atrial Ventrikular (AV) Node (PERKI, 2015).

1) Antiplatelet. Aspirin bekerja dengan mencegah sintesis platelet

tromboksan A2, dimana tromboksan A2 merupakan mediator aktivasi

platelet dan aspirin merupakan salah satu intervensi yang paling

penting untuk mengurangi mortalitas pada seluruh pasien dengan SKA.

Aspirin harus diberikan segera kepada pasien dengan gejala SKA

tanpa kontraindikasi (Lilly, 2011). Clopidogrel merupakan derivat

tienopiridin yang dapat memblok aktivasi P2Y, reseptor adenosine

diphosphate (ADP) pada platelet. Direkomendasikan untuk

menggantikan agen antiplatelet pada pasien dengan alergi terhadap

aspirin. Penggunaan kombinasi antara aspirin dengan clopidogrel lebih

baik dibandingkan dengan pemberian aspirin saja dalam mengurangi

kematian akibat penyakit kardiovaskular (Lilly, 2011). Clopidogrel

direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan

27
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg

setiap hari (PERKI, 2015)

2) Terapi antikoagulan. Pemilihan antikoagulan dipertimbangkan

berdasarkan risiko perdarahan, iskemia dan berdasarkan profil efikasi

keamanan agen tersebut (PERKI, 2015). Inhibitor Angiotensin

Converting Enzyme (ACE) berguna dalam mengurangiremodeling dan

menurunkan angka kematian penderita pasca infark miokard yang

disertai gangguan fungsi sistolik jantung dengan atau tanpa gagal

jantung. (PERKI, 2015). Inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A

reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP atau

NSTEMI, termasuk pasien yang telah menjalani terapi revaskularisasi,

jika tidak terdapat kontra indikasi. Terapi statin dosis tinggi hendaknya

dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi

untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL (PERKI, 2015).

3) Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,

diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12

jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle

Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi

diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya

iskemia yang sedang berlangsung,bahkan bila gejala telah ada lebih

dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak

tersendat (PERKI, 2015). Beberapa faktor yang mempengaruhi terapi

reperfusi pasien SKA antara lain:

a) Tenaga Kesehatan di IGD (dokter dan perawat). Dokter dan

perawat merupakan titik pertama dalam kontak terhadap penderita

yang dicurigai mengalami infark miokard, harus bisa bertindak

28
dengan cepat atau membuat persiapan untuk melakukan terapi

reperfusi secara efektif,

b) Fasilitas. Tersedianya fasilitas di rumah sakit untuk manajemen

lebih lanjut dan penanganan komplikasi infark miokard, atau bila

tidak ada maka harus bekerjasamadengan pusat kesehatan yang

lain,

c) Manajemen. Kebijakan yang mengatur penatalaksanaan SKA yang

sesuai dengan standar kesiapan rumah sakit dan perbaikan dari

sistem pelayanan seperti pada pasien jaminan karena hal tersebut

tanpa disadari menjadi hambatan pada penanganan pasien SKA,

d) Pasien. Pasien dengan kecurigaan adanya serangan jantung harus

mendapatkan diagnosis yang cepat, penyembuhan nyerinya,

resusitasi dan terapi. Pasien harus paham, bereaksi cepat dan

segera mencari bantuan medis bila ada serangan jantung lagi

(Husein & Dewi, 2014). Akan tetapi masalah yang sering terjadi

pada pasien adalah pasien datang terlambat di IGD (Rohman,

2013).

2.2 Stratifikasi Risiko

Ada beberapa sistem penilaian stratifikasi risiko yang dapat

memprediksi kematian pada pasien dengan SKA yaitu TIMI, GRACE,

PURSUIT dan FRISC (Wallentin et al., 2000) yang paling sering digunakan

adalah GRACE dan TIMI (Antman et al., 2000). Pada penilaian secara

prospektif, skor risiko GRACE memberikan stratifikasi paling akurat untuk

risiko pada saat awal rawat dan pulang, karena kekuatan diskriminatifnya

yang baik dan juga merupakan prediksi yang paling akurat terhadap hasil

akhir klinis dan digunakan sebagai data yang sah untuk penelitian-penelitian

29
selanjutnya (PERKI, 2015). Penerapan secara umum dan ketepatan hasil

akhir dari skor GRACE dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko pada SKA.

Risiko skor TIMI untuk SKA non STE/APTS dibuat sebagai alat bantu

prognostik para klinisi (Fransisco et al., 2005) yang dapat digunakan secara

mudah dengan hanya menggunakan variabel-variabel dasar (Morrow et al.,

2000) untuk mengevaluasi hasil akhir klinis jangka pendek (14 hari) dan

jangka panjang (6 bulan) (Marc et al., 2003). Nilai skor tersebut dapat

dihubungkan dengan luasnya penyempitan pada pembuluh darah koroner

(Lakhani et al., 2010) Penentuan risiko berdasarkan skor risiko TIMI untuk

SKA STEMI sebagai berikut (Morrow et al., 2000) :

Tabel 2.2 skor risiko TIMI untuk SKA STEMI


Historical
Age 65-74 2 points
Age ≥75 3 points
DM/HTN or angina 1 point
Exam
SBP < 100 3 points
HR > 100 2 points
Killip II-IV 2 points
Weight < 67 kg 1 point
Presentation
Anterior STE or LBBB 1 point
Time to treatment > 4 hrs 1 point
Total 0-14

Tabel 2.3 Angka kematian dalam 30 hari terhadap skor stratifikasi risiko
Risk score Odds of death by 30D
0 0.1 (0.1-0.2)
1 0.3 (0.2-0.3)
2 0.4 (0.3-0.5)
3 0.7 (0.6-0.9)
4 1.2 (1.0-1.5)
5 2.2 (1.9-2.6)
6 3.0 (2.5-3.6)
7 4.8 (3.8-6.1)
8 5.8 (4.2-7.8)
>8 8.8 (6.3-12)
*referenced to average mortality (95% confidence intervals)

30
Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas

Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di

ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan

frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi

mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar

dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor

risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian 140

berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%).

Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit,

pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah

(risiko kematian 118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-8%)

dan tinggi (>8%).

31
Tabel 2.4 Skor GRACE

Prediktor Skor
Usia dalam tahun
<40 0
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali permenit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
110-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (µmol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
≥ 354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi Killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
Peningkatan marka jantung 15
Deviasi segmen ST 30

Stratifikasi risiko berdasarkan Killip merupakan klasifikasi risiko

berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard

akut dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.

Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi

GRACE.

32
Tabel 2.5 Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip

Kelas Killip Temuan klinis Mortalitas


I Tidak terdapat gagal 6%
jantung (tidak terdapat
ronkhi maupun S3)
II Terdapat gagal jantung 17%
ditandai dengan S3 dan
ronkhi basah pada
setengah lapangan paru
III Terdapat edema paru 38%
ditandai oleh ronkhi
basah diseluruh lapangan
paru
IV Terdapat syok 81%
kardiogenik ditandai oleh
tekanan darah sistolik
<90 mmHg dan tanda
hipoperfusi jaringan

2.3 Lama Hari Rawat

LOS (Length of Stay =Lama Hari Rawat) adalah menunjukkan berapa

hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu periode perawatan.

Satuan untuk lama rawat adalah hari, sedangkan cara menghitung lama

rawat adalah dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari

rumah sakit, baik hidup ataupun meninggal) dengan tanggal masuk rumah

sakit. Umumnya data tersebut tercantum dalam formulir ringkasan masuk

dan keluar di Rekam Medik.

Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan

pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang

dirawat di rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan

derajat kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis maupun

oleh penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang

ingin berlama-lama di rumah sakit. Lama hari rawat secara signifikan

berkurang sejak adanya pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan

33
diagnosa yang tepat. Untuk menentukan apakah penurunan lama hari rawat

itu meningkatkan efisiensi atau perawatan yang tidak tepat, dibutuhkan

pemeriksaan lebih lanjut berhubungan dengan keparahan atas penyakit dan

hasil dari perawatan (Indradi, 2007).

Dalam penghitungan statistik pelayanan rawat inap di rumah sakit

dikenal istilah yang lama dirawat (LD) yang memiliki karakteristik cara

pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang berbeda. LD menunjukkan

berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode

perawatan. Satuan untuk LD adalah hari. Cara menghitung LD yaitu dengan

menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari rumah sakit, hidup

maupun mati) dengan tanggal masuk rumah sakit. Dalam hal ini, untuk

pasien yang masuk dan keluar pada hari yang sama – lama dirawatnya

dihitung sebagai 1 hari dan pasien yang belum pulang atau keluar belum

bisa dihitung lama dirawatnya (Indradi, 2007; Fema S., 2009).

Beberapa faktor baik yang berhubungan dengan keadaan klinis

pasien, tindakan medis, pengelolaan pasien di ruangan maupun masalah

adminstrasi rumah sakit bisa mempengaruhi terjadinya penundaan pulang

pasien. Ini akan mempengaruhi LOS. Kasus yang akut dan kronis akan

memerlukan lama hari rawat yang berbeda, dimana kasus yang kronis akan

memerlukan lama hari rawat lebih lama dari pada kasus-kasus yang bersifat

akut. Demikian juga penyakit yang tunggal pada satu penderita akan

mempunyai lama hari rawat lebih pendek dari pada penyakit ganda pada

satu penderita (Barbara J., 2008 ; Krzysztof, 2011). Lama hari rawat

merupakan salah satu indikator mutu pelayanan medis yang diberikan oleh

rumah sakit kepada pasien (quality of patient care). Sedangkan cara

perhitungan rata-rata lama hari rawat adalah sebagai berikut :

34
Rata-rata lama hari rawat (Average Length of Stay) = X : Y

Keterangan :

X : Jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan mati) di

rumah sakit pada suatu periode tertentu

Y : jumlah pasien rawat inap yang keluar ( hidup dan mati ) di rumah

sakit pada periode waktu yang sama

Cara menghitung jumlah pasien rawat inap yang keluar rumah sakit

(hidup atau mati) dalam periode tertentu diperlukan catatan setiap hari

pasien yang keluar rumah sakit (hidup atau mati) dari tiap-tiap ruang rawat

inap dan jumlah lama perawatan dari pasien–pasien tersebut. Sehingga

diperoleh catatan perhitungan jumlah pasien rawat inap yang keluar dari

rumah sakit (hidup atau mati) dan jumlah total hari rawatnya (Depkes RI,

2005). Lama hari rawat ini dipengaruhi oleh adanya pemecahan protein yang

mengakibatkan respon terhadap terapi menjadi menurun, daya tahan tubuh

juga menurun, sistem imunoglobulin dan seluler berespon lambat terhadap

antigen yang masuk menyebabkan pasien beresiko terkena penyakit lain,

sehingga mengakibatkan masa penyembuhannya akan lebih lama,

memperpanjang masa rawat inap dan secara umum dapat meninggikan

angka morbiditas dan mortalitas pasien (Dinarto, Murjinah, 2002).

Kasus yang akut dan kronis akan memerlukan lama hari rawat yang

berbeda, dimana kasus yang kronis akan memerlukan lama hari rawat lebih

lama dari pada kasus-kasus yang bersifat akut. Demikian juga penyakit yang

tunggal pada satu penderita akan mempunyai lama hari rawat lebih pendek

dari pada penyakit ganda pada satu penderita (Barbara J., 2008 ; Krzysztof,

2011).

35

Anda mungkin juga menyukai