Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Koroner Akut

2.1.1 Definisi SKA

Definisi SKA adalah kumpulan gejala dan tanda klinis yang timbul akibat

adanya iskemia miokard secara mendadak karena penurunan aliran darah menuju

jantung. Sindroma Koroner Akut meliputi angina pectoris tidak stabil (unstable

angina/UA) dan infark miokard akut (IMA). Infark Miokard Akut sendiri dibagi

menjadi dua jenis berdasarkan adanya elevasi segmen ST pada gambaran

elektrokardiogram (EKG) yaitu infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST

(non-ST-segmen elevation myocardial infarction/NSTEMI) dan infark miokard

akut dengan elevasi segmen ST (ST-segmen elevation myocardial

infarction/STEMI) (Overbaugh, 2009).

2.1.2 Epidemiologi SKA

Insiden SKA di Eropa diperkirakan satu per 80 sampai satu per 170

populasi per-tahun. Pasien SKA yang terdiagnosis menjadi STEMI sebanyak 30%,

NSTEMI 25% dan UA 38% (Hamm,2006). Kunjungan penderita dengan keluhan

nyeri dada di Unit Gawat Darurat (UGD) di Amerika Serikat adalah sebanyak 5,8

juta dan 85% diantaranya disebabkan penyakit kardiovaskuler (LaSalvia, 2009).

American Heart Association (AHA) memperkirakan sekitar 1,1 juta penduduk

Amerika menderita IMA dan 40% diantaranya meninggal dunia. Data insiden

1
terjadinya IMA di Amerika tahun 2004 adalah satu per 250 sampai satu per 500

populasi per tahun. Angka kejadian SKA di Inggris mencapai 150.000 kejadian

pertahun dan menyebabkan kematian 33.000 orang pertahun (Yusuf, 2004). Data

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 menyatakan bahwa

kematian karena penyakit kardiovaskuler mencapai 25% dari seluruh total

kematian. Data yang dikumpulkan dari UGD Pusat Jantung dan Pembuluh Darah

Nasional Harapan Kita Jakarta pada tahun 2009 terdapat 3862 pasien dan pada

tahun 2010 sejumlah 2529 pasien dengan diagnosis SKA (Irmalita, 2009). Angka

kejadian SKA di Surabaya belum didapatkan data pasti.

2.1.3 Patofisiologi SKA

Sindroma koroner akut sebagai manifestasi klinis penyakit jantung koroner

muncul karena adanya penyempitan pembuluh darah koroner yang berawal dari

terbentuknya plak atherosklerosis (Libby, 2005). Lima proses yang berperan pada

terjadinya SKA adalah (1) ruptur plak atherosklerosis, (2) aktivasi, agregasi, dan

adhesi platelet, (3) aktivasi sekunder sistem koagulasi, (4) vasokonstriksi

pembuluh darah koroner, dan (5) ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan

oksigen pada otot jantung (Rosen,2009).

2.1.3.1 Pembentukan Plak Atherosklerosis

Atherosklerosis merupakan hasil interaksi beberapa factor penyebab yaitu

elemen darah, gangguan aliran darah, dan abnormalitas dinding pembuluh darah

melalui proses patologis seperti inflamasi, peningkatan permeabilitas endotel yang

memudahkan migrasi Low Density Lipoprotein (LDL) dan monosit ke tunika

2
intima pembuluh darah arteri koroner, aktivasi endotel, pengerahan monosit,

proliferasi Smooth Muscle Cell (SMC), akumulasi lipid, nekrosis yang

berhubungan dengan efek sitotoksik dari oksidase lipid dan thrombosis yang

melibatkan platelet dan pembentukan fibrin (Falk,1995). Proses pembentukan

atherosklerosis terjadi melalui 4 tahap (Gambar 2.1) yaitu kerusakan endotel,

migrasi kolesterol, respons inflamasi, dan pembentukan kapsul fibrosis.

Kerusakan sel endotel pembuluh darah terjadi karena beberapa faktor

seperti merokok, diabetes, hipertensi, dislipidemia dan faktor resiko lainnya

seperti infeksi dan stress oksidatif (Ahmad, 2012). Kerusakan sel endotel yang

diikuti dengan migrasi kolesterol LDL ke dalam tunika intima akan menyebabkan

aktivasi molekul adesi dan sekresi sitokin pro inflamasi seperti Interleukin-6 (IL-

6) dan Tumor Necrotizing Factor-α (TNF-α) (Myrtha,2012). Sitokin pro inflamasi

seperti IL-6 akan merangsang perekrutan, replikasi dan pematangan monosit

menjadi makrofag, aktivasi limfosit T, serta merangsang liver untuk memproduksi

protein fase akut seperti C-Reactive Protein (CRP). Interleukin-6 juga memiliki

efek inotropik negatif melalui sintesis Nitrit Oxide (NO) di otot jantung. TNF-α

memiliki efek inhibisi terhadap kontraksi otot jantung secara langsung dan tidak

langsung melalui induksi sintesis NO (Ahmad, 2012). Monosit akan bermigrasi

menuju ke lapisan subendotel dengan cara mengikat molekul adhesif endotel,

selanjutnya berdifferensiasi menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL

teroksidasi dan berubah menjadi sel busa (foam cell), selanjutnya membentuk

fatty streaks. Beberapa sel busa mengalami apoptosis dan disintegrasi menjadi

debris dan dieliminasi melalui fagositosis. Kumpulan lipoprotein, makrofag, sel

3
busa, debris apoptosis, dan bahan lain seperti kolagen dan faktor von Willebrand

akan membentuk inti dari plak (Kleinschmidt, 2006). Kapsul fibrosis yang

terbentuk dari sel otot polos tunika media yang bermigrasi ke tunika intima, dan

mensintesis kolagen. Kapsul fibrosis akan menstabilisasi plak dengan cara

membungkus inti lipid untuk melindunginya dari paparan aliran darah (Grech,

2004).

2.1.3.2 Ruptur Plak Atherosklerosis

Proses rupture plak atherosklerosis dipengaruhi oleh stabilitas plak dan

proses inflamasi. Stabilitas plak atherosklerosis tergantung pada perbandingan

antara komposisi kapsul fibrosis sel otot polos dan inti lipid. Proses inflamasi

akan merangsang perekrutan makrofag yang lebih banyak. Makrofag

menghasilkan enzim matriks metaloproteinase (MMPs) yang dapat mendegradasi

kolagen dan menyebabkan terjadinya disrupsi plak. Sel otot pembuluh darah pada

tunika intima yang membentuk kapsul fibrosis merupakan subjek apoptosis.

Penipisan kapsul fibrosis akibat proses apoptosis akan memicu rupturnya plak

(Libby, 2005; Kleinschmidt, 2006).

2.1.3.3 Aktivasi, Agregasi dan Adhesi Platelet

Atherosklerosis yang ruptur merangsang agregasi platelet dan

pembentukan trombus (Grech, 2004). Ruptur plak akan menyebabkan terlepasnya

berbagai macam agonis seperti kolagen, adenosine diphosphate (ADP), epinefrin,

dan serotonin ke sirkulasi, dan aktivasi platelet. Aktivasi platelet memicu

perubahan reseptor IIb/IIIa yang berperan dalam pembentukan trombus (Antman,

2005; Kleinschmidt, 2006).

4
Gambar 2.1. Mekanisme terbentuknya plak atherosklerosis. (A) Fase awal disfungsi endotel;
(B) Pembentukan fatty streaks; (C) Pembentukan lesi atherosklerotik yang semakin kompleks;
(D) Ruptur plak (Ross, 1999).

2.1.3.4 Aktivasi Sekunder Sistem Koagulasi

Proses rupturnya plak dan inflamasi akan mengaktivasi pula kaskade

koagulasi. Kaskade koagulasi teraktivasi akibat paparan tissue factor pada tempat

terjadinya ruptur plak. Faktor VII dan X akan teraktivasi, menyebabkan

perubahan protrombin menjadi trombin, dan kemudian fibrinogen menjadi fibrin

(Antman, 2005). Pembentukan trombus terus berlanjut ditambah dengan

hambatan pada aktivitas fibrinolisis alami. Kadar plasminogen-activating-

inhibitor-1 meningkat pada pasien dengan faktor risiko penyakit jantung koroner,

seperti diabetes dan hipertensi. Inhibitor fibrinolisis tersebut akan meningkatkan

5
potensi terbentuknya trombus dalam bentuk yang lebih besar, sehingga

menyebabkan oklusi yang lebih besar pula (Kleinschmidt, 2006). Oklusi di

pembuluh darah koroner akibat trombus akan menyebabkan gangguan perfusi ke

otot jantung (Overbaugh, 2009).

2.1.3.5 Vasokontriksi Koroner

Vasokontriksi koroner terjadi sebagai respon disfungsi endotel didekat

plak ateroma, dan rupturnya plak atheroskleosis. Vasokonstriksi yang terjadi

bersifat platelet dependent dan thrombin dependent. Vasokonstriksi platelet

dependent diperantarai oleh serotonin dan Tromboxan A2 (TXA2), sedang

vasokonstriksi thrombin dependent terjadi jika dinding pembuluh darah rusak dan

proses de-endotelisasi yang diperkirakan akibat interaksi langsung antara

serotonin dan TXA2 dengan sel otot polos pembuluh darah (Thereoux, 1998).

2.1.3.6 Ketidakseimbangan Suplai dan Kebutuhan Oksigen Otot Jantung

Suplai oksigen dan adenosine 5β-triphosphate (ATP) yang berkurang

akibat gangguan perfusi di otot jantung. Sel otot jantung yang kekurangan oksigen

dan glukosa akan menjalani metabolisme anaerob untuk pemenuhan energinya.

Metabolisme anaerob menghasilkan ATP lebih sedikit yang mengakibatkan

kegagalan pompa natrium-kalium, akumulasi ion hidrogen dan akumulasi laktat.

Gangguan fungsi pompa Na-K dapat menganggu kontraksi otot jantung.

Akumulasi laktat secara lokal akan mengaktifkan reseptor nyeri perifer sehingga

timbul nyeri dada atau angina (Overbaugh, 2009).

6
2.1.4 Faktor Resiko terjadinya Atherosklerosis

Faktor risiko terjadinya atherosklerosis sebagai penyebab IMA yang

bermanifestasi SKA terdiri dari faktor risiko yang tidak dapat diubah, dan faktor

risiko yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain usia,

jenis kelamin, riwayat PJK pada keluarga. Faktor risiko yang dapat diubah antara

lain kadar LDL yang tinggi, HDL yang rendah, hipertensi, merokok sigaret, DM,

obesitas dan kurang aktifitas fisik (Maron, 2004).

2.1.4.1 Usia dan Jenis Kelamin

Usia merupakan faktor risiko atherosklerosis koroner yang tidak dapat

diubah. Pertambahan usia diketahui akan memperbesar risiko terjadinya

atherosklerosis. Faktor lain yang berpengaruh adalah jenis kelamin. Pria dikatakan

memiliki risiko atherosklerosis lebih besar dibandingkan wanita. Risiko

atherosklerosis pada wanita pra menopause setara dengan pria berusia 10 tahun

lebih muda. Wanita paska menopause berisiko lebih besar daripada wanita pra

menopause, namun tetap lebih rendah dibandingkan dengan pria yang usianya

sama. Estrogen memiliki peran penting dalam mekanisme penurunan kadar LDL

dan peningkatan kadar HDL untuk mempertahankan integritas endotel pembuluh

darah, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dan mempertahankan profil

lemak yang ideal (Harmani, 2004; Maron, 2004).

2.1.4.2 Riwayat Keluarga dengan PJK

Riwayat keluarga dengan PJK merupakan faktor risiko independen yang

signifikan terhadap terjadinya PJK pada seseorang. Faktor genetik berperan dalam

7
menyumbang terjadinya SKA melalui fenotipe tertentu, termasuk penurunan yang

berhubungan dengan faktor risiko seperti dislipidemia dan hipertensi. Studi pada

populasi anak kembar menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian yang lebih tinggi

pada kembar identik dibandingkan dengan kembar non identik (Hamm,2006).

2.1.4.3 Diabetes dan Sindroma Metabolik

Diabetes meningkatkan risiko terjadinya atherosklerosis, dimana orang

dengan DM berisiko terjadi gangguan kardiovaskuler 2-3 kali lebih besar daripada

orang tanpa DM. Mekanisme terjadinya atherosklerosis pada pasien DM

berhubungan dengan glikasi non-enzimatik lipoprotein yang berkaitan dengan

besarnya ambilan kolesterol oleh makrofag, kecenderungan protrombotik, dan

mekanisme antifibrinolitik. Penderita DM tipe 2 mempunyai risiko kematian

akibat kardiovaskular dua sampai enam kali lebih besar dibandingkan dengan

orang tanpa DM. Studi oleh Third Health Nutrition Examination Survey

(TNHNES) pada lebih dari 10.000 subjek menunjukkan bahwa adanya sindroma

metabolik akan meningkatkan risiko terjadinya IMA dua kali lipat lebih besar

dibanding orang sehat (Hamm,2006; Maron,2004)

2.1.4.4 Hipertensi

Hipertensi merupakan salah satu risiko atherosklerosis, penyakit jantung

koroner dan stroke. Mekanisme terjadinya atherosklerosis pada hipertensi

meliputi mekanisme gangguan fungsi endotel, peningkatan permeabilitas endotel

terhadap lipoprotein, peningkatan migrasi lekosit, peningkatan stress oksidatif

dan stress hemodinamik yang mencetuskan ruptur plak serta meningkatkan stress

pada otot jantung dan meningkatkan kebutuhan oksigen (Gaziano, 2008).

8
2.1.4.5 Dislipidemia

Dislipidemia terutama kadar kolesterol LDL dan kolesterol VLDL yang

tinggi, telah diketahui berhubungan dengan atherogenesis. Data studi

Framingham menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung iskemia meningkat

seiring dengan peningkatan kadar kolesterol total. Kolesterol HDL dianggap

sebagai suatu faktor protektif, sehingga tingginya kadar kolesterol HDL akan

menurunkan risiko atherogenesis sedangkan rendahnya kadar kolesterol HDL

akan meningkatkan risiko atherogenesis (Hamm, 2006; Harmani, 2004).

2.1.4.6 Merokok

Karbon monoksida dan nikotin yang terkandung pada rokok memiliki efek

langsung terhadap kerusakan endotel karena peningkatan LDL teroksidasi.

Kerusakan endotel pembuluh darah yang diikuti kondisi hiperkoagulasi karena

peningkatan kadar fibrinogen plasma serta agregasi platelet pada dinding endotel

yang rusakakan memicu pembentukan atherosklerosis (Rosengren,2005).

2.1.5 Pembagian Sindroma Koroner Akut

2.1.5.1 Unstable Angina (UA)

Unstable Angina terjadi karena berkurangnya perfusi jaringan otot jantung

yang disebabkan oleh aterotrombosis pembuluh darah koroner yang tidak

permanen. Inflamasi arterial yang mengaktivasi makrofag dan limfosit pada

pembungkus plak data meningkatkan ekspresi metaloprotease dan membuat plak

menjadi mudah robek dan ruptur. Spasme fokal yang hebat seperti pada

Prinzmetal’s angina, obstruksi mekanik berat tanpa disertai spasme atau trombus,

9
dapat juga menyebabkan UA. Kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen

pada otot jantung seperti demam, takikardi, hipotensi, hipoksemia atau anemia

pada pasien dengan PJK kronis dan stabil dapat memicu terjadinya UA

(Lewandrowski, 2002; Theroux, 1998).

Angina pektoris tidak stabil/ UA memiliki tiga macam manifestasi, yaitu:

1) nyeri dada pada saat istirahat (rest angina), 2) nyeri dada yang berat (new-onset

severe angina) dalam 1 bulan terakhir, dan 3) nyeri dada yang semakin memberat

dan timbul semakin sering, semakin lama dan semakin berat (crescendo angina)

(Theroux, 1998; Lewandrowski, 2002). Penderita SKA dikategorikan sebagai UA

apabila didapatkan nyeri dada yang spesifik dengan gambaran EKG tidak spesifik

dan tidak didapatkan peningkatan enzim jantung (Grench, 2004; Wright, 2011).

2.1.5.2 Infark Miokard tanpa Elevasi Segmen ST (NSTEMI)

Patofisiologi keduanya mirip hanya berbeda pada derajat keparahannya,

dimana pada NSTEMI sumbatan yang terjadi lebih lama sehingga menyebabkan

iskemia yang berujung pada kerusakan sel otot jantung. Kondisi klinis penderita

dengan NSTEMI sangat menyerupai angina tidak stabil. Diagnosis NSTEMI

ditegakkan bila didapatkan bukti adanya kerusakan otot jantung yang ditandai

dengan peningkatan enzim jantung, sedangkan pada gambaran EKG tidak

didapatkan gambaran yang spesifik. Gambaran EKG yang dapat muncul antara

lain depresi segmen-ST, elevasi ST-segmen transient, inverse gelombang T dan

kombinasi lainnya (Thygesen, 2007; Thygesen, 2012).

2.1.5.3 Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI)

10
STEMI terjadi karena oklusi arteri koroner total yang menyebabkan

aliran darah koroner berhenti di daerah yang arterinya tersumbat sehingga terjadi

kerusakan miokard akibat perfusi ke jaringan miokard terganggu. Kerusakan

miokard tersebut dapat menimbulkan gambaran elevasi segmen ST pada

gambaran EKG dan peningkatan penanda jantung (Werf, 2008; Wright, 2011).

2.1.6 Gejala Klinis

Gejala klinis SKA yang klasik adalah nyeri dada atau angina. Karakteristik

nyeri dada pada SKA adalah nyeri dengan atau tanpa penjalaran ke leher, lengan

kiri, mandibula, punggung, interskapula atau area epigastrium. Nyeri membaik

atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat. Sifat nyeri berupa rasa sakit seperti

ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas. Nyeri

dapat dicetuskan oleh latihan fisik, stress emosional, udara dingin dan sesudah

makan (Braunwald, 2002).

Gejala lain yang menyertai dapat berupa perasaan berat di dada, sesak,

keringat dingin, mual dan nyeri kepala. Perubahan tanda vital dapat terjadi seperti

takikardi, takipnea, hipertensi, hipotensi, penurunan saturasi oksigen atau

abnormalitas irama jantung (Overbaugh, 2009).

2.1.7 Diagnosis

Stratifikasi penderita SKA utamanya adalah untuk mendiagnosis adanya

IMA, karena IMA merupakan PJK yang sangat mematikan bila tidak segera

diketahui dan ditangani. World Health Organisation (WHO) merekomendasikan

beberapa kriteria untuk pendekatan diagnosis SKA menjadi IMA yaitu jika

11
terdapat 2 dari 3 kriteria berikut ini: (1) gejala iskemia akut tipikal seperti nyeri

dada; (2) Pola EKG tipikal termasuk perubahan gelombang Q pada EKG; (3) Pola

peningkatan dan penurunan penanda kerusakan miokard, seperti mioglobin,

CKMB, Troponin I dan T maka diagnosis IMA dapat ditegakkan (Kim, 2004).

Diagnosis STEMI ditegakkan bila minimal terdapat gejala iskemia dan gambaran

elevasi segmen ST atau Q-wave pada EKG. Penderita dengan gejala iskemia tanpa

elevasi segmen ST atau Q-wave pada EKG, tetapi kadar penanda jantungnya

meningkat akan didiagnosis menjadi NSTEMI (Kim, 2004; Wright, 2011).

European Society of Cardiology (ESC) and American College of

Cardiology Committee (ACC) pada tahun 2000 mengusulkan kriteria diagnosis

IMA yang terbaru yaitu adanya gejala iskemia, peningkatan dan penurunan kadar

troponin secara konsisten atau ditambah peningkatan dan penurunan yang lebih

cepat kadar CK-MB, perubahan secara patologi gelombang Q pada EKG,

perubahan segmen ST yang mengindikasikan adanya iskemia atau keterlibatan

arteri koroner (Kim, 2004). ESC dan ACC pada tahun 2007, memperbaharui

konsensus yang dikenal sebagai kriteria universal IMA (universal definition of

myocardial infarction). Kriteria Universal IMA (AHA/ESC 2007) menjabarkan

bila didapatkan peningkatan dan penurunan kadar penanda jantung terutama

cardiac troponin, yang salah satu nilainya di atas 99 persentil dari nilai ambang

batas normal, disertai bukti iskemia miokard minimal satu dari bukti dibawah

ini:

a. Gejala iskemia (nyeri dada yang tipikal)

12
b. Perubahan EKG berupa perubahan pada segmen gelombang ST-T atau Left

Bundle Branch Block (LBBB) yang baru.

c. Munculnya gelombang Q patologis yang baru.

d. Bukti pencitraan berupa proses yang baru dari hilangnya viabilitas

miokardium atau abnormalitas gerakan otot dinding jantung.

2.2 Cardiac Troponin (cTn I)

Cardiac Troponin I merupakan bagian dari kompleks troponin

heterotrimerik. Kompleks troponin memiliki peranan dalam regulasi proses

eksitasi dan kontraksi jaringan otot termasuk otot jantung. Kompleks troponin

terdiri dari 3 subunit, (Gambar 2.2) yaitu troponin T (39kDa), troponin I (26 kDa),

dan troponin C (18kDa). Troponin C berfungsi mengikat kalsium, troponin I

menghambat aktivitas ATPase pada kompleks actomiosin, dan troponin T

memediasi perlekatan komples troponin C, I dan T pada tropomiosin (Bock, 2006;

Samsu, 2007; Ogedegbe, 2002; McPherson, 2007).

Gambar 2.2 Struktur kompleks troponin dan kontraksi otot bergaris (HyTest,
2016)
2.2.1 Struktur cTnI

13
cTnI adalah troponin I yang dibentuk di jaringan otot jantung merupakan

isoform troponin I (TnI) yang mengandung 209 asam amino dengan berat molekul

sekitar 23-24 kDa. Isoform TnI diketahui ada tiga macam, satu isoform diproduksi

oleh otot jantung disebut cTnI, dan masing-masing satu isoform diproduksi oleh

otot skeletal slow-twitch dan fast-twitch yang disebut slow sTnI dan fast sTnI

(Gaze, 2008). Ketiga bentuk isoform TnI tersebut dikode oleh 3 gen yang

berbeda. Sekuens gen isoform cTnI mirip dengan slow sTnI sebesar 40% sedang

kemiripan cTnI dengan fast sTnI lebih kecil daripada persentase tersebut.

Manusia mempunyai 31 gugus asam amino yang membentuk T. Gugus terminal N

terdapat pada cTnI tapi tidak ditemui pada isoform sTnI. Pengetahuan ini dapat

dipakai sebagai dasar uji antibodi yang dipilih pada tes TnI untuk memastikan

tidak adanya reaksi silang antara cTnI dengan sTnI (Apple, 2012).

cTnI mengandung dua molekul serine yang bisa berfosforilasi secara in

vivo dengan bantuan protein kinase A. Fosforilasi cTnI mengubah formasi protein

dan memodifikasi ikatannya dengan antibodi anti-cTnI dan troponin lain dalam

suatu kompleks troponin. cTnI tampaknya sebagian besar dilepaskan pada

sirkulasi penderita dalam bentuk terfosforilasi, sebagian dalam bentuk teroksidasi.

Beberapa peneliti meyakini bahwa kadar troponin I juga dapat berkurang karena

sebagian didegradasi oleh protease. Sebagian besar cTnI terdapat di aparatus

kontraktil yaitu sekitar 4-6 mg/g jaringan, dan dilepaskan ke sirkulasi karena

proses proteolitik. cTnI dilaporkan sebesar 2-8 % berbentuk komponen sitosolik

bebas (Apple, 2012).

2.2.2 Kinetika Pelepasan Troponin Setelah Jejas Miokard.

14
Ketika terjadi iskemia miokard, maka membran sel menjadi lebih

permeabel sehingga komponen intraseluler seperti troponin jantung merembes ke

dalam interstitium dan ruang intravaskuler. Protein ini mempunyai ukuran

molekul yang relatif kecil dan terdapat dalam 2 bentuk. Sebagian besar dalam

bentuk kompleks troponin yang secara struktural berikatan pada miofibril dan

bentuk tipe sitosolik bebas yaitu sekitar 6-8% berupa TnT dan 2,8-4,1% berupa

TnI (Samsu, 2007).

Ukuran molekul sitosolik bebas yang relatif lebih kecil menyebabkan

pelepasan troponin lebih dini yaitu segera setelah jejas iskemia, diikuti oleh

pelepasan troponin yang berikatan dengan miofibril yang lebih lama. Pola

pelepasan TnT biasanya bifasik sedangkan TnI monofasik karena jumlah bentuk

sitosolik TnI lebih sedikit. Kadar TnI mulai meningkat 3-5 jam setelah terjadi

jejas. Kadar TnI mencapai puncak pada 14-18 jam setelah jejas dan tetap

meningkat selama 5-7 hari. Kadar TnI kembali normal setelah 7 hari. Troponin I

jantung dapat diukur sebagai unit bebas cTnI yang dilepas selama stadium dini

IMA atau sebagai bagian dari kompleks troponin seperti cTnT-I-C, cTnI-C dan

cTnT-I (Samsu, 2007).Sensitivitas cTnI mencapai 100% pada pemeriksaan 6 jam

setelah IMA. (Lewandowski, 2002).

Lamanya cTnI ada di sirkulasi memberi keuntungan dalam mendeteksi

IMA jika pasien masuk rumah sakit beberapa hari setelah onset nyeri dada.

Kekurangannya adalah sulit untuk mendeteksi terjadinya reinfark. Selain itu ada

beberapa keadaan selain IMA bisa menjadi sebab peningkatan cTnI (Tabel 2.1).

Nilai cut off cTnI untuk mendiagnosis IMA sangat bervarisasi tergantung pada

15
kemampuan tes untuk memisahkan antara pasien IMA dan orang sehat. Nilai cut

off bisa ditentukan dengan menggunakan sensitivitas dan spesifisitas suatu alat

diagnotik atau dengan menentukan kadar persentil 99 pada populasi orang sehat.

(Lum, 2006; Lewandowski, 2006).

Tabel 2.1 Penyebab peningkatan kadar cardiac troponin (Jarolim,2014)


Koroner Akut Kronis
akut
Penyakit IMA Penyakit arteri
kardiak koroner
Tindakan PCI, CABG, ablasi
Gagal jantung kronis
Infeksi ( miokarditis, endokarditis,
pericarditis) Hipertrofi
kardiomiopati
Gagal jantung dekompensasi akut
Penyakit katup aorta
Aritmia ( takiaritmia, bradiaritmia, heart
block)
Krisis hipertensif, hipertensi pulmoner berat
Diseksi aorta
Penyakit Obat (kokain, amphetamine) Penyakit ginjal
non- kronis
kardiak Kemoterapi kardiotoksik
Anemia
Trauma
Hipertensi
Kardioversi
Penyakit infiltratif
Emboli pulmoner seperti amiloidosis
Sepsis Leiomiosarcoma dan
rhabdomiosarcoma
Gagal ginjal akut
Kemoterapi dengan
Stroke, perdarahan subarachnoid
efek kardiotoksik
Rabdomiolisis dengan nekrosis miosit jangka panjang

Graft rejection setelah transplantasi jantung


Latihan berat

2.2.3 Jenis Teknologi pemeriksaan cTnI

16
Pemeriksaan cTnI sebagian besar menggunakan metode immunoassay.

Banyak cara untuk mengklasifikasikan pemeriksaan cTnI salah satunya

berdasarkan teknologi yang digunakan. Wu dan Christenson mengklasifikasikan

pemeriksaan cTnI berdasarkan persentasi sampel yang positif pada populasi orang

sehat dengan kadar cTnI melebihi batas deteksi (limit of Detection = LOD).

Berdasarkan teknologi pemeriksaan cTnI maka pemeriksaan cTnI dapat

diklasifikasikan menjadi 1) cTnI low sensitive , 2) cTnI medium sensitive atau

contemporary sensitive, dan 3) cTnI high sensitive (Wu, 2013).

2.2.3.1 Cardiac Troponin I low sensitive (cTnI ls)

Cardiac troponin I low sensitive adalah teknologi pemeriksaan cTnI yang

pertama kali dikembangkan. Metode ini dicetuskan oleh Cummins et al. pada

tahun 1987 dan perkenalkan secara komersil pertama kali pada tahun 1996 oleh

Dade Behring dengan alat Stratus I analyzer. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi

kadar cTnI yang meningkat sangat tinggi. Konsekuensinya, apabila peningkatan

cTnI tidak mencapai batas minimal kadar yang dapat dideteksi maka banyak

pasien yang ternyata IMA tidak dapat terdeteksi (Jarolim, 2014).

2.2.3.2 Cardiac troponin I medium / contemporary sensitive (cTnI ms)

Cardiac troponin I medium sensitive dapat mendeteksi kadar cTnI yang

lebih tinggi sedikit daripada kadar cTnI populasi orang sehat pada persentil 99

tetapi jumlah persentasinya kecil. Target coefficient variation (CV) yang harus

dicapai oleh suatu pemeriksaan cTnI pada 99 persentil populasi orang sehat

adalah 10%. Namun cTnI ms biasanya hanya bisa mencapai CV ≥ 10%.

Pemeriksaan dengan teknologi contemporary sensitive masih dapat digunakan

17
untuk membantu diagnosis karena dari penelitian diketahui CV ≤ 20% pada

persentil 99 populasi sehat ternyata tidak menyebabkan misklasifikasi diagnosis

pasien SKA menjadi IMA (Kupchak, 2006).

2.2.3.3 Troponin I high sensitive (cTnI hs)

Suatu pemeriksaan troponin I dikatakan high sensitive harus memenuhi 2

kriteria yaitu 1) impresisi total (CV) pada nilai presentil 99 populasi sehat harus ≤

10%, 2) Konsentrasi analit yang terdeteksi dibawah persentil 99 harus dapat

terdeteksi oleh tes diatas Limit Of Detection (LOD) minimal 50% (idealnya

>95%). Joint Task Force merekomendasikan pemeriksaan yang disarankan untuk

memenuhi kriteria definisi IMA Universal tahun 2007 adalah pemeriksaan yang

memiliki total CV ≤ 10% pada persentil 99 populasi sehat. Asumsinya bahwa

dengan presisi yang semakin baik akan meningkatkan kemampuan mendeteksi

secara signifikan perubahan kadar secara serial (Apple, 2012).

2.2.4 Metode pemeriksaan cTnI

2.2.4.1 Cardiac troponin I next generation Alere Triage Troponin I

Pemeriksaan cTnI Alere Triage diklaim oleh pabrik pembuat merupakan

suatu cTnI next generation. Definisi next generation disini belum jelas.

Pemeriksaan ini menggunakan reagen tes tunggal troponin I yang reaksinya

diukur dengan alat Alere Triage Meter. Alere Triage Troponin I adalah

pemeriksaan two-site immunoassay yang dapat mendeteksi konsentrasi cTnI pada

sampel darah EDTA atau plasma EDTA. Beberapa tetes darah EDTA atau plasma

EDTA (sekitar 1 mikroliter) harus ditambahkan ke dalam sumuran sampel pada

18
test device (Gambar 2.3A). Setelah penambahan sampel, sel dalam whole blood

akan dipisahkan dengan filter pada test device. cTnI dalam sampel plasma akan

berikatan dengan antibodi monoklonal yang telah dilabel floresens dan

selanjutnya mengalir ke seluruh bagian test device dengan gaya kapiler. Kompleks

cTnI-antibodi berlabel floresens akan ditangkap pada zona deteksi oleh antibodi

poliklonal anti-antibodi cTnI. Test device dimasukkan ke Triage Meter (Gambar

2.3A) untuk diukur jumlah floresens yang ada pada zona deteksi dan dihitung

konsentrasi cTnI pada sampel (Alere, 2014).

A. B
Gambar 2.3. A. Test device Alere Triage Troponin I; B. Alere Triage MeterPro
(Alere, 2016)

Interferens yang dapat terjadi adalah adanya human antimouse antibodies

(HAMA), antibodi heterofilik, adanya hemoglobin > 100 mg/dl, kolesterol 280

mg/dL dan trigliserida ≥ 500 mg/dL, bilirubin terkonjugasi 2 mg/dL. Sampel

yang hemolisis harus dihindari. Sensitivitas analitik pada persentil 99 untuk cTnI

menurut kit insert Alere Triage adalah <0,02 ng/mL dengan CV < 20%. Rentang

deteksi cTnI adalah 0,01 – 10 ng/mL (Alere, 2014).

19
Karakteristik analitik Alere Triage Troponin I menurut penelitian Apple et

al. tahun 2012 adalah LOD cTnI 0,05 ng/mL, kadar cTnI pada persentil 99

populasi sehat adalah 0,05 ng/L dengan CV yang tidak diketahui. Epitop yang

dipakai untuk mengikat monoklonal antibodi pendeteksi adalah asam-amino 27-

40 (Apple, 2012).

2.2.4.2 Cardiac Troponin I high sensitive Mitsubishi PATHFAST

Pemeriksaan cTnI hs dengan Mitsubishi PATHFAST menggunakan

metode Chemiluminescent Enzyme Immunoassay (CLEIA) dan MAGTRATION

untuk mendeteksi kadar cTnI pada sampel whole blood atau plasma Li-heparin,

Na-heparin, atau EDTA-K2. Pemeriksaan dimulai dengan meletakan catrigde

reagent (Gambar 2.4) pada alat PATHFAST (Gambar 2.5). Kemudian sampel

sebanyak 100 µL dimasukkan ke sumuran 1. Lima belas sumuran lain pada

katrigde reagen bisa kosong sebagai tempat reaksi atau berisi reagen yang akan

direaksikan. Sampel akan dicampur dengan antibodi monoklonal anti-cTnI

berlabel alkaline fosfatase dan partikel magnetik yang dilapisi antibodi

monoklonal anti-cTnI. Kedua antibodi tersebut akan berikatan pada molekul cTnI

pada dua epitop yang berbeda dan membentuk kompleks imun sandwich. Magnet

digunakan untuk memisahkan kompleks imun yang terbentuk dengan antibodi

yang tidak terikat. Substrat chemiluminesence ditambahkan dan enzim alkali

fosfatase yang terikat pada kompleks antibodi akan mendegradasi substrat

menghasilkan luminescence. Konsentrasi cTnI dalam sampel dihitung berdasarkan

banyaknya luminescence yang dihasilkan dibandingkan dengan kurva kalibrasi

(PATHFAST, 2011).

20
Gambar 2.4. Katridge reagen pemeriksaan cTnI high sensitive dengan PATHFAST
(Pathfast, 2016).

Gambar 2.5. Alat pemeriksaan cTnI high sensitive Mitsubishi PATHFAST


(Axonlab, 2016).

Interferens sebesar <10% dapat terjadi pada sampel yang mengandung

bilirubin terkonjugasi > 60 mg/dL, trigliserida > 1000 mg/dL, hemoglobin >1000

mg/dL dan faktor reumatoid > 500 mg/dL. Sensitivitas analitik pada persentil 99

untuk cTnI hs menurut kit insert PATHFAST adalah <0,0031 ng/mL dengan CV

21
≤ 10% . Sensitivitas analitik sebesar 0,001 ng/mL. Rentang kadar pemeriksaan

cTnI antara 0.001 – 50 ng/mL (PATHFAST, 2011).

Karakteristik analitik cTnI Mitsubishi PATHFAST menurut penelitian

Apple et al. tahun 2012 adalah LOD 0,008 ng/mL, kadar cTnI pada persentil 99

adalah 0,029 ng/mL dengan CV 5%. Konsetrasi cTnI pada CV 10% adalah 0,014

ng/mL. Epitop yang dipakai untuk mengikat antibodi penangkap cTnI adalah

asam amino ke 41-49, sedangkan epitop untuk mengikat antibodi monoklonal

pendeteksi adalah asam-amino 71-116, 163-209 (Apple, 2012).

22

Anda mungkin juga menyukai