Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

PENYAKIT ACUTE CORONARY SYNDROME

KELOMPOK 1

DISUSUN OLEH :
DESSY ELIZABETH SIAHAYA (EKA HOSPITAL BSD)
PEBRIMA ZOLA (RS AWAL BROS PEKANBARU)

IKATAN NERS KARDIOVASKULER INDONESIA (INKAVIN)


TANGERANG
2022
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.3. TUJUAN PENULISAN
1.4. MANFAAT PENULISAN

BAB II : TINJAUAN TEORITIS


2.1. KONSEP TEORI
2.1.1. PENGERTIAN
2.1.2. ETIOLOGI
2.1.3. MANIFESTASI KLINIK
2.1.4. PATOFISIOLOGI
2.1.5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
2.1.6. PENATALAKSANAAN MEDIS
2.2. ASUHAN KEPERAWATAN
2.2.1. PENGKAJIAN
2.2.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
2.2.3. PERENCANAAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang
terjadi akibat perubahan pada arteri koroner yang dapat menyebabkan terjadinya iskemik
dan infark miokardium seperti Non-ST Elevation Myocardial Infarct (NSTEMI) dan ST
Elevation Myocardial Infarct (STEMI) (Tumade, Jim, & Joseph, 2016).
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2012 penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama dari seluruh penyakit tidak menular
dan bertanggung jawab atas 17,5 juta kematian atau 46% dari seluruh kematian penyakit
tidak menular. Dari data tersebut diperkirakan 7,4 juta kematian adalah serangan jantung
akibat penyakit jantung koroner (PJK) / acute coronary syndrome (ACS) / sindrom koronari
akut (SKA) dan 6,7 juta adalah stroke. (Tumade, Biancha dkk, 2014).
Penelitian yang dilakukan di CPE Institute of Cardiology, Pakistan, dan Nishtar
Medical University and Hospital pada tahun 2020, memperlihatkan sebanyak 100 kasus
ACS datang dengan gambaran yang berbeda, yakni 45 kasus (49%) datang dengan keluhan
angina tidak stabil, 20 (22%) dengan infark miokard non-ST-elevasi (NSTEMI), dan 26 (29
%) dengan infark miokard dengan elevasi ST (STEMI). Prevalensi faktor risiko pada 100
kasus ini dipengaruhi oleh hipertensi (101,63%), kurang olahraga (91,57%), merokok
(70,44%), diabetes melitus (61,38%) dan dislipidemia (50,31%) ). Dari hasil penelitian
tersebut dapat disimpulankan Sindroma koroner akut masih sangat sering dijumpai.
Di Indonesia angka kejadian serangan penyakit jantung menurut hasil Survey
Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT ) Depertamen Kesehatan 2006 tingkat kematian akibat
penyakit kardiovasuler mencapai 25 %. Pada tahun 2012 dari total jumlah pasien yang
masuk ke UGD RS Pusat Jantung Nasional Harapa Kita (PJNHK) didapatkan jumlah pasien
yang di diagnosa ACS adalah 21% dari jumlah pasien yang masuk ke ugd. Dari total pasien
dengan diagnosa ACS tersebut didapatkan jumlah pasien yang diagnosa UAP : 39% ,
NSTEMI : 25,2%, dan yang di diagnosa STEMI : 36,8%
Menilik dari presentasi yang ada, penatalaksanaan PJK terkhususnya untuk Sindrom
Korener Akut memerlukan suatu pendekatan yang holistik, tepat dan cepat. Salah satu cara
untuk mendeteksi terjadinya SKA adalah pengenalan dini dari serangan jantung koroner
yaitu mengenali keluhan khas iskemik/infark seperti nyeri di dada, disubstrenal hingga
menjalar ke perut, seperti diremas/terbakar yang datang dengan intensitas tinggi. Selain
keluhan khas untuk menenutkan diagnosa SKA perlu juga didukung dengan hasil penilaian
dari EKG dan pemeriksaan laboratorium. Untuk mengurangi angka terjadinya nekrosis
koroner hingga pada kematian, pasien dengan SKA perlu penanganan segera, berupa
pemberian terapi Fibrinolitik dan Intervensi Percutaneus Coronary Intervention (PCI) yang
merupakan tindakan yang bertujuan untuk melakukan revaskularisasi pada pasien dengan
SKA yang sangat dipengaruhi waktu atau onset serangan SKA guna meningkatkan harapan
hidup penderita SKA.
Jadi pengenalan terhadap waktu untuk mencari pertolongan pada pada pasien SKA
akan mempengaruhi lamanya onset pada saat tiba di emergensi ( AHA, 2017 ). Begitu juga
yang dikemukakan oleh King & Mc Guire, (2007) bahwa pengenalan terhadap gejala dan
waktu untuk meminta pertolongan pada pasien ACS sangat penting untuk mengurangi angka
mortalitas dan morbilitas pada kasus tersebut.
Berdasarkan masalah tersebut, maka kelompok mengambil Sindrom Koroner Akut
sebagai asuhan keperawatan yang akan di kelola dalam pelatihan Kardiovaskuler Dasar ini.

1.2. Rumusan masalah


Berdasarkan latarbelakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah pada penulisan
makalah ini adalah “ Bagaimana Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan
diagnosa medis Sindrom Koroner Akut berdasarkan Etiologi, Pemeriksaan Penunjang, Serta
Pengobatan yang diberikan?”.

1.3. Tujuan Studi Kasus


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep dasar, teori serta pengaplikasiannya kedalam asuhan keperawatan
pasien dengan diagosa Sindrom Koroner Akut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Dapat melakukan pengkajian pada pasien dengan Acute STEMI
2. Dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Acute STEMI
3. Dapat melakukan perencanaan keperawatan pada pasien dengan Acute STEMI
4. Dapat melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan Acute STEMI
5. Dapat melakukan evaluasi pada pasien dengan Acute STEMI

1.4. Manfaat Studi Kasus


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi kelompok
Kelompok dapat menambah keilmuannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien dengan Sindrom Koroner Akut
2. Bagi STC
Makalah ini kiranya dapat menambah kontribusi dalam pengembangan keilmuan untuk
asuhan keperawatan pada pasien dengan Sindrom Koroner Akut
3. Bagi Pasien
Lewat tinjauan teori dari makalah ini, pasien bisa mendapatkan pelayanan asuhan
keperawatan Sindrom Koroner Akut secara komperhensif dan tepat.
BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP SINDROM KORONARI AKUT


2.1.1 Pengertian
Sindrom koroner akut (Acute Coronary Sindrome) adalah sebuah kondisi yang
melibatkan ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh kurangnya
oksigen ke otot jantung (miokardium), yang merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala
akibat gangguan pada arteri koronaria (Torry dkk, 2013)
Sindrom koroner akut ini adalah sekumpulan manifestasi atau gejala akibat penyakit
arteri koroner, adapun patofisiologi gejala-gejala tersebut adalah sama (berurut peristiwa
patologisnya) ditandai oleh erosi, fisuri, atau pecahnya plak yang memang sudah ada,
selanjutnya mengarah ke trombosis (penggumpalan) dalam arteri koroner dan
menyebabkan kondisi bagi ancaman kehidupan pasien dengan penyakit arteri yang
menganggu suplai darah ke otot jantung (Ramadhani, 2010)
Sindrom koroner akut (ACS), yang menggambarkan setiap kondisi yang ditandai dengan
tanda dan gejala iskemia miokard mendadak—pengurangan aliran darah ke jantung secara
tiba-tiba dikarenakan plak aterosklerotik yang menumpuk di dalam arteri koroner (Kristen
J, 2009).

2.1.2 Etiologi
Beberapa etiologi munculnya sindrom koronari akut :
1. Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah deposit plak (ateroma) kekuningan mengandung kolesterol, bahan
lipoid dan lipofag terbentuk di dalam intima dan media arteri besar dan sedang.
 Faktor risiko :
 Hipertensi
 Hiperkolesterolemia
 Diabetes Melitus
 Riwayat atherosklerosis dalam keluarga
 Obesitas
2. Vasospasme
Vasospasme adalah penyempitan pembuluh darah secara mendadak tapi sebentar yang
menyebabkan vasokonstriksi.
Faktor risiko :
 Kurangnya aktivitas fisik
 Olahraga

3. Embolus
Biasanya terjadi akibat vegetasi pada pasien Endocarditis. Embolus adalah suatu massa,
dapat berupa bekuan darah atau materi lain (lemak, udara, bakteri, gas) yang terbawa
aliran darah melalui pembuluh, tersangkut dalam suatu pembuluh darah atau percabangan
yang terlalu kecil untuk dilewatinya sehingga menyumbat sirkulasi darah.
Faktor risiko :
 Pembedahan
 Obesitas

4. Kongenital
Penyakit ini (Miocardiac Infarct) memang sudah ada pada saat sebelum orang yang
menderita penyakit ini dilahirkan.
Faktor Risiko :
 Keturunan

5. Faktor Predisposisi
 Faktor beresiko biologis yang tidak dapat diubah :
a. Usia > 40 tahun
Angka morbisitas dan mortalitas penyakit ACS meningkat seiring pertambahan usia.
Sekitar 55% korban serangan jantung berusia 65 tahun atau lebih dan yang meninggal
empat dari lima orang berusia diatas 65 tahun.
b. Jenis kelamin
Pria memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang ACS, sedangkan pada wanita
resiko meningkat setelah menopouse. Peningkatan pada wanita setelah menopause terjadi
akibat penurunan kadar estrogen dan peningkatan lipid dalam darah.
c. Riwayat keluarga
Tingkat faktor genetika dan lingkungan membantu terbentuknya atherosclerosis belum
diketahui secara pasti. Tendensi atherosclerosis pada orangtua atau anak dibawah usia 50
tahun ada hubungan terjadinya sama dengan anggota keluarga lain.

 Faktor beresiko biologis yang dapat diubah :


a. Mayor
i. Hiperlipidemia
Kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah terlibat dalam transportasi, digesti, dan
absorbs lemak. Diet yang mengandung lemak jenuh merupakan faktor utama yang
menimbulkan hiperlipidemia.
ii. Hipertensi
Peningkatan resisten vaskuler perifer meningkatkan afterload dan kebutuhan ventrikel,
hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen miokard untuk menghadapi suplai yang
kurang.
iii. Merokok
Perokok memiliki resiko 2 sampai 3 kali untuk meninggal karena ACS daripada yang
bukan perokok.Resiko juga bergantung dari banyaknya konsumsi rokok, semakin banyak
rokok dikonsumsi lebih tinggi pula resikonya.Hal ini dikaitkan dengan pengaruh nikotin
dan kandungan tinggi dari karbon monoksida yang terkandung dalam rokok.Nikotin
meningkatkan beban kerja miokardium dan dampaknya terjadi peningkatan kebutuhan
oksigen.Karbon monoksida mengganggu pengangkutan oksigen, karena hemoglobin
lebih mudah berikatan dengan karbon monoksida daripada oksigen.
iv. Diabetes
Atherosklerosis diketahui beresiko 2 sampai 3 kali lipat pada diabetes tanpa memandang
kadar lipid dalam darah. Predisposisi degenerasi vaskuler terjadi pada diabetes dan
metabolism lipid yang tidak normal memegang peranan dalam pertumbuhan atheroma.
v. Obesitas
Berat badan yang berlebihan berhubungan dengan beban kerja yang meningkat dan juga
kebutuhan oksigen untuk jantung.Obesitas berhubungan dengan peningkatan intake
kalori.
b. Minor
i. Inaktifitas fisik / Gaya hidup
Kegiatan gerak dapat memperbaiki efisiensi jantung dengan cara menurunkan kadar
kecepatan jantung dan tekanan darah. Dampak terhadap fisiologis dari kegiatan mampu
menurunkan kadar kepekatan rendah dari lipid protein, menurunkan kadar glukosa darah,
dan memperbaiki cardiac output.
ii. Pola kepribadian tipe A (emosional, agresif, ambisius, kompetitif)
iii. Stress psikologis
Stress merangsang sistem kardiovaskuler melepaskan katekolamin yang meningkatkan
kecepatan jantung dan menimbulkan vasokontriksi.

2.1.3 Klasifikasi Sindrom Koronaria Akut

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI, 2015),


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:

1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial


infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian
infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim
digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka
jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina
Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma
koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CKMB yang abnormal adalah beberapa unit
melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).

Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau


menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan
gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien
dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

ACS KLINIS EKG LAB.

UAP  Nyeri dada kurang dari Bisa ditemukan : Enzim jantung (Bio-
20 menit, dan ada marker) normal
peningkatan frekuensi  ST depresi <0,5mm
sakitnya atau jika ada  T inversi <2mm
gejala perburukan
 Biasanya nyeri dada
dapat hilang dengan
obat-obatan
STEMI Ditemukan tanda-tanda : Deviasi ST segmen elevasi Biomarker miokard
> 1mm di ekstrimitas dan ditandai dengan
 Nyeri dada typical angina > 2mm di precordial, lead peninggkatan CKMB
> 20 menit, bisa hilang yang bersebelahan. lebih dari 25µ/l , Troponin
atau tidak hilang dengan T positif > 0,03
obat-obatan
 Lokasi: substernal,
retrosternal, precordial
 Sifatnya: rasa sakit
seperti ditekan dan
terbakar
NSTEMI  Nyeri dada > 20 menit. Ditemukan dengan deviasi Biomarker miokard
 Lokasi sampai ST segmen depresi > ditandai dengan
substernal, kadang 0,5mm, dapat disertai peningkatan
sampai epigastrium dengan gelombang T
inverse CKMB > 25 µ/l Troponin
dengan ciri seperti T positif > 0,03
diperas, diikat, rasa
terbakar.
(Tabel 2.1 Perbedaan acute coronary syndrome berdasarkan klinis,)

2.1.4 Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang robek atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit
(white thrombus). Trombus ini akan menyumbat pembuluh darah koroner, baik secara total
maupun parsial, atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih
distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami robek, plak seperti diterangkan di atas.
Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi,
takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak
aterosklerosis.(PERKI, 2015).

2.1.5 Manifestasi Klinis


Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada terbagi 2 yakni:
 Tipikal (angina tipikal)
Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke
lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan sinkop.
 Atipikal (angina ekuivalen).
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih
sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal
dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika
berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif
terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan
karakteristik sebagai berikut :
 Pria
 Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer/
karotis).
 Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas
koroner, atau IKP
 Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus,
riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang,
risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)

Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak) :
 Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
 Nyeri abdomen tengah atau baswah
 Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri
atau pertemuan kostokondral.
 Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
 Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
 Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA,
maka terminologi angina, lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk
tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi kontra
terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat
yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau
riwayat penyakit serebrovaskular.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi
katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya
selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda
regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


 Enzim dan isoenzim serum
a.Keratinin Kinase dan isoenzimnya.
Keratin kinase (CK, dengan isoenzimnya CK-MB) dipandang sebagai indikator yang paling
sensitive dan dapat dipercaya diantara semua enzim jantung. Terdapat tiga macam isoenzim
CK, yaitu : CK-MM (otot skeletal), CK-MB (otot jantung), CK-BB (jaringan otak). CK-MB
adalah isoenzim yang khusus untuk jantung, artinya CK-MB ditemukan hanya pada sel
jantung dan tentu saja akan meningkat apabila terjadi kerusakan pada sel-sel tersebut. CK-MB
adalah indeks yang paling khas untuk mendiagnosa infark pada miokard. Kadarnya selalu
meningkat pada pasien yang mengalami infark pada miokard akut. Level serum CK-MB akan
meningkat pada 3-6 jam setelah muncul rasa nyeri, memuncak pada 12-18 jam dan akan
kembali ke level normal setelah 3-4 hari.
b.Laktat Dehidrogenase dan Insoenzimnya.
Laktat dehidrogenase (LDH) kurang bisa dipercaya sebagai indikator sebagai indikator
kerusakan jantung akut. Tetapi, karena reaksinya lebih lambat dan meningkat lebih lama dari
enzim jantung lainnya. LDH sangat berguna untuk mendiagnosa infark di miokard pada pasien
yang mungkin mengalami infark miokard akut tetapi terlambat dibawa ke rumah sakit. Level
serum LDH berkisar antara 14-24 jam setelah terjadi serangan awal infark pada miokard dan
akan menurun dengan perlahan-lahan kearah normal setelah 7-14 hari. Ada lima macam
isoenzim LDH, tetapi hanya dua yang penting untuk mendiagnosa akut yaitu LDH1 dan
LDH2. LDH1 maupun LDH2 kadarnya tinggi dijantung, ginjal dan otak. Namun, normalnya
kadar LDH2 lebih tinggi dibanding LDH1. Apabila presentasi LDH1 melebihi LDH2, maka
keadaan ini disebut “terbalik”, yang menunjukan adanya keadaan akut.

Enzim Onset Puncak Kembali ke normal


CK 3-6 jam 12-24 jam 3-5 hari
CK-MB 2-4 jam 12-20 jam 48-72 jam
LDH 24 jam 48-72 jam 7-10 hari
LDH1 4 jam 48 jam 10 hari
LDH2 4 jam 48 jam 10 hari
(Tabel 2.2 perjalanan waktu enzim jantung pada infark miokard akut)

Nilai
Pemeriksaan Onset Puncak Durasi
Normal

Troponin I <0,1 ng/ml 3-12 jam 18-24 jam 10 hari

Troponin T <0,1 ng/ml 3-12 jam 18-24 jam 10 hari

(Tabel 2.3 perjalanan waktu enzim jantung pada infark miokard akut)

c. Elektrolit
Pemeriksaan ini untuk memeriksa apabila terjadi ketidak seimbangannya elektrolit tubuh,
misalnya terjadi hipokalemi atau hiperkalemi.
d. Pemeriksaan sel darah putih
Pemeriksaan ini untuk memeriksa kadar leukosit biasanya 10.000 sampai 20.000 biasanya
tampak pada hari kedua setelah serangan terjadi berhubungan dengan proses inflamasi
e. Tes kolesterol atau trigliserida serum
Tes ini untuk melihat peningkatan arterisklerosis sebagai penyebab serangan.
f. Elektrokardiogram
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI, 2015), semua
pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus
menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat.
Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien
di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul
kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi
segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan
atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang
untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen
ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah
≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV
dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang
resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat
dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena
itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark

V1-V4 Anterior

V5-V6, I, aVL Lateral

II, III, aVF Inferior

V7-V9 Posterior

V3R, V4R Ventrikel kanan

(Tabel 2.3 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG)

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan
LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan
dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen
ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan
sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada
sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST
yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI)
atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk
iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya.
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak
persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T
yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua
perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai
perubahan EKG yang nondiagnostik.
g. Ekokardiografi
Ekokardiografi adalah tes ultrasound non invasif yang digunakan untuk memeriksa
ukuran, bentuk, dan pergerakan struktur jantung. Ekokardiografi digunakan untuk
mengevaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung, khususnya gungsi ventrikel.
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mendiagnosa dan membedakan berbagai murmur
jantung. Suatu ekokardiogram dapat menunjukan apakah jantung mengalami dilatasi
dinding atau septum mengalami penebalan, atau adanya efusi perikardial. Teknik ini
juga digunakan untuk mempelajari gerakan katup jantung prostetik.
h. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI digunakan untuk mengidentifikasi tempat dan luasnya miokardiak infark, mengkaji
efek dari terapi reperfusi dan mendiferensiasi luka jaringan yang reversibel dan
irreversibel. MRI digunakan sebagai peralatan diagnostic untuk melihat perkembangan
penyakit pada arteri koronaria, meskipun MRI tidak dapat digunakan pada klien yang
mengunakan peralatan implantasi dari metal, seperti : pacemaker atau defibrillator.
i. Foto thorax atau Rontgen Dada
Mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung (CTR > 50%)
j. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner. Biasanya dilakukan
sehubungan dengan pengukuran tekanan atrium dan mengkaji fungsi ventrikel kiri
(fraksi ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase akut, misalnya mendekati
bedah jantung angioplasty.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, perlunya segera menetapkan diagnosis
kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi
awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau
SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG
dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
Tirah baring
Suplemen oksigen
harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres
respirasi. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama,
tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
 Aspirin 160-320 mg
diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas
I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang
lebih cepat
Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x
90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik atau dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)

Nitrogliserin (NTG)
Spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang
gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima
menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid
dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang
setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.
Keberhasilan terapi ACS bergantung pada pengenalan dini gejala dan transfer pasien
segera ke unit/instalasi gawat darurat. Terdapat 3 hal yang harus dilakukan pada penderita
dengan infark miokard, yaitu :
Memantapkan terbukanya arteri koroner dapat dengan cara fibrinolitik, angioplasti, atau
CABG.
Menjaga agar arteri koroner tetap terbuka dengan antikoagulan atau dengan anti platelet.
Mencegah meluasnya kerusakan miokard lebih lanjut dengan mengurangi oksigen demand
atau mencukupi kebutuhan oksigen.

Tatalaksana awal ACS dengan elevasi segmen ST menurut PERKI (2015) adalah sebagai berikut
:
Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan intervensi koroner perkutan (IKP) atau farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi
reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun
EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam
yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit
sekitar yang memiliki fasilitas Intervensi koroner perkutan (IKP). Bila tidak ada, langsung pilih
terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau
klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu
lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
Intervensi koroner perkutan primer
IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis
apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis
pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok
kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien
datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti
balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang
telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala
iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki
indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan
kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan
daripada bare metal stents (BMS)
Farmakoterapi periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda
(DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi,
disertai dengan antikoagulan intravena.
a.Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg).
Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain:
b.Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari)
clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti 150 mg per
hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau dikontraindikasikan
c.Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer.
Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempat-tempat
yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien
tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam
sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90
menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
1. Keadaan dimana fibrinolisis lebih baik:
 Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk strategi
invasif
 Strategi invasif tidak dapat dilakuk
 Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
 Kesulitan mendapatkan akses vaskular
 Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP
dalam waktu <120 menit
 Halangan untuk strategi invasif
 Transportasi bermasalah
 Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
 Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih dari 90 menit
2. Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
 Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan :
 Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang dari 90 menit
 Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
 Risiko tinggi STEMI : Syok kardiogenik dan Kelas Killip ≥ 3
 Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan perdarahan
intrakranial
 Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
 Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Indikasi Kontra Absolut Indikasi Kontra Relatif

Stroke hemoragik atau stroke yang


Transient Ischaemic Attack
penyebabnya belum diketahui, dengan
(TIA) dalam 6 bulan terakhir
awitan kapanpun

Stroke iskemik 6 bulan terakhir Pemakaian antikoagulan oral

Kerusakan sistem saraf sentral dan Kehamilan atau dalam 1


Neoplasma minggu post- partum

Trauma operasi/trauma kepala yang berat Tempat tusukan yang tidak


dalam 3 minggu terakhir dapat dikompresi

Perdarahan saluran cerna dalam 1 bulan


Resusitasi traumatik
terakhir
Hipertensi refrakter (tekanan
Penyakit perdarahan
darah sistolik>180 mmHg)
Diseksi aorta Penyakit hati lanjut infeksi
endokarditis dan ulkus
peptikum yang aktif

(Tabel 2.4 Indikasi kontra terapi fibrinolitik)


Dosis awal Koterapi Indikasi kontra
Antitrombin Spesifik
1,5 juta U dalam 100 mL
Heparin i.v.
Dextrose 5% atau larutan Sebelum Sk atau
Streptokinase (Sk) selama 24-48
salin 0,9% dalam waktu anistreplase
Jam
30-60 menit
Bolus 15 mg
intravena0,75 mg/kg
selama30 menit, Heparin i.v.
r- TPA kemudian 0,5 mg/kg selama 24-48
selama60 menit Dosis Jam
total tidak lebih dari100
mg
(Tabel 2.5 Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut)
(Gambar 2.4. Langkah-langkah reperfusi)

2.2 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Sindrome Koroner Akut (SKA)


2.2.1 Pengkajian

1. Identitas Pasien
Terkait nama, tempat tanggal lahir, umur, berat badan dan tinggi badan, jenis
kelamin, anak ke berapa, jumlah saudara dan identitas orang tua.
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada pasien dengan Sindrom Koroner Akut
(SKA) keluhan utama tipikal yaitu angina tipikal berupa rasa tertekan/berat
daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular,
bahu, atau epigastrium yang berlangsung selama > 20 menit.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Nyeri terasa seperti tertekan/berat/terbakar di daerah retrosternal menjalar ke
lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium yang
berlangsung selama > 20 menit, disertai dengan diaphoresis, mual/muntah
dan sesak napas.
b. Riwayat kesehatan dahulu
- Riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan
darah, diabetes mellitus. Obesitas, merokok
c. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang mengalami penyakit jantung
d. Pengetahuan Pasien dan keluarga
- Pemahaman tentang diagnosis SKA
- Pengetahuan dan penerimaan terhadap prognosis SKA
- Regimen pengobatan SKA
- Rencana perawatan ke depan
- Kesiapan dan kemauan untuk belajar
e. Pemeriksaan fisik
1) Tanda- tanda vital : Nadi cendrung takikardia pernafasan sesak secara
presisten, akral teraba dingin, lemas, pusing, diforesis
2) Kepala : tidak ada masalah.
3) Wajah : Wajah tampak diaforesis, kelelahan dan pucat.
4) Mata : Mata tidak ada masalah
5) Hidung : Pemeriksaan hidung secara umum tidak tampak kelainan,
namun sesak napas dirasakan secara presisten dan terkadang hilang
dengan istirahat, bunyi napas ronki halus (bila sudah terjadi
komplikasi ke arah edema paru).
6) Mulut : Pemeriksaan mulut didapat bibir pucat
7) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, ada distensi vena
jugular
8) Jantung : Pada ACS dapat di jumpai disritmia, palpitasi.
Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal
jantung atau penurunan kontraktilits atau complaince ventrikel akibat
komplikasi SKA. Pembesaran jantung kemungkinan dapat terjadi
akibat SKA yang sudah mengalami evolusi EKG infark, dimana
adanya sel jantung yang nekrotik sehingga membuat kebutuhan
koroner akan O2 tinggi dan meningkatkan complaince jantung.
9) Paru : Pada pasien SKA ;
 Inspeksi ; Pasien tampak sesak saat melakukan aktivitas dan
sedikit berkurang dengan istirahat atau sesak terasa tanpa
melakukan aktivitas.
 Palpasi ;Tidak ada fraktur, pergerakan kedua dada sama
 Perkusi ; Terdengar suara perkusi sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi ; Akan terdengar ronkhi halus atau krekels sebagai
tanda adanya edema paru pada komplikasi SKA.
10) Kulit : Kulit teraba berkeringat, akral dingin
11) Ekstremitas : Ditemukan pada ekstremitas edema pada komplikasi
SKA mengarah ke gagal jantung kanan CRT <3 detik, telapak tangan
pucat.
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional

1. Nyeri Akut berhubungan Setelah diberikan asuhan  Management Nyeri (I08238) a. Mengetahui lokasi,
dengan Agen Cedera keperawatan selama 1x24 jam Observasi : karakteristik, skala dan
Fisiologis (iskemia diharapkan, a. Identifikasi lokasi, karakteristik, frekuensi nyeri yang dialami
jaringan miokard) Nyeri dapat terkontrol dengan durasi, frekuensi, kualitas, skala b. Agar dapat mendukung hasil
dibuktikan dengan tampak Kriteria hasil : nyeri. objektif yang disampaikan
meringis, diaforesis serta  Kontrol Nyeri (L08063) b. Identifikasi respon non verbal c. Agar dapat meminimalisir
frekuensi nadi meningkat a. Keluhan nyeri menurun. nyeri. peningkatan skala nyeri
(D.0077). b. Nyeri yang dilaporkan terkontrol. c. Identifikasi faktor yang d. Mengetahui apakah obat
memperberat analgetik yang diberikan
 Tingkat Nyeri Terkontrol
nyeri dan meringankan nyeri. mampu membantu mengurangi
(L08066)
d. Monitor efek samping pengunaan nyeri
a. Ekspresi meringis menurun.
analgetik.
b. Diaforesis menurun.
a. Membatu mengurangi nyeri
c. Frekuensi nadi membaik.
selain menggunakan obat
Teraupetik:
d. Gelisah menurun.
b. Membantu mengurangi
a. Berikan teknik nonfarmakologi
konsumsi O2 karena miokard
 Perfusi Miokard Meningkat terapi musik untuk mengurangi rasa
sedang mengalami
(L02011) nyeri.
iskemik/injury yang
a. Gambaran EKG iskemia/Injury b. Fasilitasi pasien untuk istirahat
menimbulkan nyeri
menurun.
a. Agar pasien mengetahui
b. Nyeri dada menurun.
Edukasi :
penyebab nyeri dan kapan nyeri
c. Gambaran EKG aritmia
menurun. a. Jelaskan penyebab, periode dan timbul
d. Mual menurun. pemicu nyeri b. Agar pasien dapat membantu
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri dan memahami pengurangan
nyeri secara mandiri, selain
menggunakan analgetik.

a. Mengurangi nyeri
Kolaborasi :
Nitrat, mengurangi nyeri
a. Kolaborasi pemeberian anlgetik
dengan membantu menurunkan
(Nitrat/ Morphine)
beban awal, dilatasi arteri
koroner, memberbaiki aliran
kolateral dan memperbaiki
pengiriman O2 ke miokard
Morphine, mengurnagi nyeri
dengan membantu
meningkatkan kapasitas vena,
menurunkan tahanan
pemb.darah sistemik.

2. Aktual/Resiko Penurunan Setelah diberikan asuhan  Perawatan Jantung Akut (I02076)


Curah Jantung dibuktikan keperawatan selama 3x24 jam Observasi: a. Melihat adanya perubahan
dengan perubahan diharapkan, Curah Jantung a. Monitor aritmia. EKG yang signifikan.
afterload (D0011). b. Monitor perubahan EKG 12 b. Melihat perubahan bentuk
meningkat dengan kriteria Hasil: sadapan untuk ST & T. EKG berdasarkan kegawatan.
 Curah Jantung Meningkat c. Monitor elektrolit yang dapat c. Untuk memilah penyebab
(L02008) meningkatkan resiko aritmia. terjadinya resiko penurunan
a. Palpitasi menurun. d. Monitor enzim jantung ( CK,CK curah jantung
b. Ortopnea menurun. MB, Trop T, Trop I). d. Untuk mengetahui onset
c. Tekanan darah membaik. e. Monitor saturasi oksigen. infark dan intervensi yang akan
d. Gambaran EKG aritmia diberikan.
menurun. e. Melihat kecukupan perfusi
perifer akan O2.
 Status Sirkulasi Membaik
Teraupetik:
(L02016) a. Mengurangi nyeri dan
a. Pertahankan tirah baring.
a. Kekuatan nadi meningkat kebutuhan O2.
b. Pasang akses vena.
b. Akral dingin menurun b. Mempermudah pemberian
c. Siapkan menjalani intervensi
c. Pucat menurun obat dan cairan.
koroner
d. Edema perifer menurun c. Meningkatkan perfusi
perkutan, jika perlu.
e. Tekanana darah sistolik membaik miokard
f. Tekanan darah diastolik membaik (revaskularisasi).

Edukasi:
a. Mengetahui apakah intensitas
a. Anjurkan pasien segera melapor
nyeri bertambah atau berkurang.
bila
b. Menghindari refleks vagal
nyeri dada.
menyababkan bradikardia.
b. Anjurkan menghindari manuver
valsava ( mengedan saat BAB).
a. Mengurangi terjadinya
Kolaborasi: agregasi
a. Kolaborasi pemberian antiplatelet platelet serta mencegah
b. Kolaborasi pemberian antiangina pembentukan trombus pada
(nitrogliserin, beta blocker, calcium sirkulasi arteri.
channel bloker). b. Mengurangi nyeri, yang
c. Kolaborasi pemberian inotropik, bersifat juga sebagai
jika vasodilator.
perlu. c. Sebagai vassopressor untuk
d. Kolaborasi pemberian pelunak meningkaykan CO.
tinja. d. Unruk mengurangi kebutuhan
e. Kolaborasi antikoagulan. O2, mengurangi oeningkatan
f. Kolaborasi revaskularisasi denyut jantung dan tekanan
g. Kolaborasi pemeriksaan X-Ray darah.
dada, jika perlu. e. Mengurangi terjadinya
peningkatan pembentukan
trombus.
f. Membebaskan koreoner dari
tahanan untuk mencegah
terjajadinya infark dan
meningkatkan perfusi O2
kejantung dan tubuh.
g. Mengetahui perubahan
bentuk miokard.
 Management Syok Kardiogenik
(I02050) a. Mengetahui tercukupinya
Observasi: kebutuhan tubuh dan jantung
a. Monitor status oksigenasi akan O2.
(oksimetri b. Mengetahui intervensi yang
nadi,AGD). harus diberikan.
b. Identifikasi penyebab utama
(volume, pompa,irama).
a. Kebutuhan O2 jantung dan
Terapueutik:
tubuh dapat terpenuhi.
a. Pertahankan jalan napas paten.
b. Berikan oksigen

3. Intoleransi Aktivitas Setelah diberikan asuhan  Terapi Aktivitas (I05186)


berhibungan dengan keperawatan selama 3x24 jam Observasi: a. Mengetahui pencetus
Ketidakseimbangan antara diharapkan, a. Identifikasi defisit tingkat terjadinya intoleransi aktivitas.
suolai dan kebutuhan Toleransi Aktivitas meningkat aktivitas. b. Mengetahui aktivitas yang
oksigen dibuktikan dengan dengan kriteria hasil: b. Identifikasi kemampuan dapat ditoleransi.
Dispnea,Orthopnea,meras  Toleransi Aktivitas Meningkat berpartisipasi dalam aktivitas
a tidak nyaman setelah (L05047) tertentu.
beraktivitas ( D0056). a. Keluhan lelah menurun.
Terapeutik:
b. Dispnea saat aktivitas menurun. a. Agar pasien dapat
a. Fasilitasi memilih aktivitas sesuai
c. Dispnea setelah aktivitas menyesuaikan dengan
kemampuan.
menurun. kemampuannya.
b. Fasilitasi aktivitas fisik rutin
d. Kemudahan melakukan aktivitas b. Untuk meningkatkan
sesuai kebutuhan dan kemampuan.
sehari-hari meningkat. toleransi aktivitas .
c. Libatkan keluarga dalam aktivitas,
c. Meningkatkan partisipasi
jika perlu.
pasien dalam memulai latihan
aktivitas

Edukasi:
a. Agar pasien memiliki
a. Edukasi keluarga untuk
keinginan meningkatkan latihan
memberikan pengauatan positif atas
aktivitas.
partisipasi dalam aktivitas.

Kolaborasi:
a. Kolaborasi degan terapis okupasi a. Agar latihan aktivitas pasien
dalam merencanakan dan memonitor terkontrol dan meningkat.
program aktivitas.
 Dukungan Ambulasi (I06171).
Observasi:
a. Identifikasi adanya nyeri atau a. Mengurangi beban jantung
keluhan fisik lainnya. saar aktivitas.
b. Monitor frekuensi jantung dan TD b. Melihat kemampuan
sebelum memulai dan setelah kompensasi jantung terhadap
ambulasi. latihan aktivitas yang dilakukan.

Edukasi:
a. Agar tidak menigkatkan
a. Anjurkan ambulasi sederhana
beban jantung dalam memenuhi
yang harus dilakukan sesuai
kebutuhan O2.
toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA). (2017). Cardiovascular Disease and Diabetes
http://www.org/HEARTORG/Conditions/Diabetes/whyDiabetesMatters/Car diovascular-Disease-Diabetes UCM 313865 Article.jsp.
Diakses tanggal 13 Desember 2022
Brunner & Suddarth’s. 2007. Textbook Of Medical-Surgical Nursing. USA : Lippincott Williams and Wilkins
Blood Vessels. 2000. Ditelusuri dari https://antranik.org/blood-vessels/. Diakses tanggal 13 Desember 2022
PPNI.2017.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Indikator Diagnostik,Edisi 1 cetakan III.Jakarta:DPP PPNI.
PPNI.2018.Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Kriteria Hasil Keperawatan,Edisi 1 cetakan III.Jakarta:DPP PPNI.
PPNI.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Tindakan Keperawatan,Edisi 1 cetakan II.Jakarta:DPP PPNI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrome Koroner Akut Edisi Ketiga.
Ditelusuri dari http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_tatalaksana_Sindrom_Koroner_Akut_2015.pdf. Diunduh tanggal 13
Desember 2018
Tumade, Biancha dkk. 2014. Prevalensi sindrom koroner akut di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 1 Januari 2014 – 31
Desember 2014. Ditelusuri dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=431779&val=1001&title=PREVALENSI
%20SINDROM%20KORONER%20AKUT%20DI%20RSUP%20PROF.%20DR.%20R.%20D.%20KANDOU%20MANADO
%20PERIODE%201%20JANUARI%202014%20-%2031%20DESEMBER%202014. Diakses tanggal 13 Desember 2022
W.H.O. (2012). World Health Statistics. WHO World Health Organization (Vol. 27). http://doi.org/10.2307/3348165.Diakses tanggal
13 Desember 2022

Anda mungkin juga menyukai