OLEH :
ARI MIRZA FARADIANSYAH
G3A021253
A. LATAR BELAKANG
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi akibat kurannya aliran darah ke miokardium berupa
nyeri dada, perubahan segemn ST pada Electrocardiogram (EKG), dan
perubahan biomarker jantung. Sindrome koroner akut cukup berbahaya
tetapi dapat dicegah. Walaupun penyakit ini sering terjadi, banyak
ditemukan dan memberikan kematian mendadak, namun sebenarnya
penyakit ini dapat dicegah. Diperlukan upaya-upaya tersendiri maupun
secara bersama-sama untuk mencegah penyakit ini (Pangestika, 2020).
Berdasarkan data riskesdas tahun 2018, di Indonesia jumlah
penderita penyakit jantung berdasarkan diagnosa dokter pada penduduk
semua umur adalah sebanyak 1,5 per 1000 penduduk. Data tertinggi
sebanyak 4,7 % terjadi pada usia di atas 75 tahun. Prevalensi penyakit
jantung di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. (Kemenkes RI,
2019). Di Jawa Tengah prevalensi risiko penyakit jantung koroner masih
cukup tinggi. Menurut diagnosis tenaga kesehatan sebesar 0,8 %
prevalensi tertinggi ada di Kabupaten Pemalang 17,3%, Cilacap 17,1%,
Banjarnegara 15,2%. Menurut teorinya terutama pada temuan bahwa lebih
dari 83 % dari mereka yang meninggal akibat penyakit jantung koroner
berusia 65 tahun atau lebih dari 65 tahun. Berdasarkan laporan dari salah
satu rumah sakit di jawa tengah, kasus tertinggi penyakit jantung koroner
adalah di Kota Semarang (26%), Sedangkan kasus tertinggi kedua adalah
Kabupaten Banyumas (10,89%). Kasus ini paling sedikit dijumpai di
Kabupaten Tegal yaitu sebesar (0,01%). Rata-rata kasus jantung koroner
di Jawa Tengah adalah 525,62 kasus (Kemenkes, 2019).
Gejala dari penyakit jantung koroner adalah nyeri atau rasa tidak
nyaman didada kiri atau epigastrium menjalar ke leher, bahu kiri, tangan
kiri, punggung, nyeri terasa seperti tertekan diremas, terbakar atau
tertusuk, yang timbul secara tiba tiba dengan intensitas yang bervariasi
mulai ringan hingga berat dan kadang disertai keringat dingin, mual,
muntah, lemas, pusing melayang terkadang sampai pingsan (Laksono &
Harsas, 2022). Apabila terjadi sumbatan pada pembuluh darah maka aliran
darah akan menurun dan mengakibatkan otot jantung akan kekurangan
oksigen sehingga berakibat munculnya keluhan nyeri dada. Keluhan nyeri
dada menunjukkan bahwa jantung masih mengalami proses ischemia yang
apabila proses ini berlangsung terus menerus tanpa dilakukan intervensi
yang baik, maka otot jantung akan mengalami nekrosis yang sifatnya
irreversible (Aryani, 2022).
Manajemen nyeri ada dua macam strategi penanganan yang bisa
dilaksanakan yaitu intervensi non farmakologi yang bersifat mandiri atau
independen dan intervensi farmakologis yaitu pemberian obat obatan yang
sifatnya kolaboratif. Berdasarkan pedoman dari Perhimpunan Dokter
Kardiovaskuler Indonesia, penatalaksanaan nyeri pada pasien nyeri dada
adalah dengan memberikan morphin, oksigen, nitrat serta aspirin (PERKI,
2020). Salah satu peran kita sebagai perawat adalah sebagai pemberi
asuhan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan
melakukan tindakan secara mandiri tidak bergantung pada orang lain
dalam hal ini melakukan fungsi independen dalam rangka memenuhi
kebutuhan fisiologis manusia. Salah satu terapi non farmakologi atau
terapi komplementer yang dapat menguragi nyeri dada pasien ACS adalah
terapi dhikir (Pangestika, 2020).
Efek terapi dhikir pasien merasakan relaksasi, membaca dhikir
yang lembut daan merdu bisa merangsang pendengaran yang mampu
meningkatkan hormon endorphin dalam sistem kontrol desenden sehingga
dapat mempengaruhi fisiologis tubuh pada basis aktivitas korteks sensori
dengan aktifitas sekunder lebih dalam pada neokorteks, kemudian
beruntun ke dalam sistem limbic, hipotalamus,saraf otonom sehingga
mampu memberikan efek relaksasi yang mampu memperbaiki keadaan
fisik, mental dan emosi (Wati, 2022).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pangestika (2020)
bahwasanya kombinasi terapi farmakologi dengan membaca dhikir lebih
efektif menurunkan skala nyeri pasien ACS dibandingkan dengan
pemakain obat farmakologi saja. Peneliti lain yang sejalan dilakukan oleh
(Sari, 2022) memberikan terapi dengan dhikir yang diperdengarkan pada
pasien selain bisa meningkatan keimanan dan menentramkan, juga
menyembuhkan penyakit jasmani dan rohani. Dalam dhikir mengandung
doa untuk kesembuhan, dimana peran do’a dalam manajemen nyeri
memiliki efek keagamaan dalam toleransi nyeri (Kurniawati, 2018).
Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi merupakan salah satu rumah
sakit rujukan di Jawa Tengah khusnya dalam penatalaksanana kasus
jantung (Cardiak Center). Data laporan kasus ACS di IGD RSUP dr.
Kariadi tiap harinya rata-rata ada 5 pasien dan sebagain besar akan
dilakukan Tindakan pemasangan kateterisasi jantung. Pasien yang datang
dengan ACS selalu mengeluh nyeri di bagian dada dengan rata-rata skor
nyeri 5. Teknik untuk mengatasi nyeri selalu di berikan obat-obat
farmakologi (Aspirin, ISDN dan Morphen), meskipun sudah ada SOP
teknik relaksasi pelaksanaanya belum berjalan secara optimal.
Berdasarkan latar belakang tersebut makan penulis tertarik untuk
melakukan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Acute Coronary Syndrom
(ACS) Dengan Aplikasi Teknik Relaksasi dhikir di IGD RSUP dr Kariadi
Semarang.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti merumuskan
bagaimana Efektifitas Pemberian Terapi Dzikir Pada Nyeri Dada Pasien
Acute Coronary Syndrome.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengertahui efektivitas
pemberian terapi dzikir pada nyeri dada pasien acute coronary
syndrome di RSUP dr Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan skala nyeri dada sebelum dan sesudah diberikan
terapi dzikir pada pasien acute coronary syndrome di RSUP dr
Kariadi Semarang.
b. Menganalisis pengaruh pemberian terapi dzikir pada nyeri dada
pasien acute coronary syndrome di RSUP dr Kariadi Semarang.
D. MANFAAT
1. Bagi Responden
Sebagai tambahan pilihan alternatif manajemen nyeri non
farmakologis dalam meredakan nyeri dada pada pasien acute coronary
syndrome.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai referensi untuk intervensi tambahan dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien yang menjalani hemodialisa dengan
berdasarkan evidence-based nursing.
3. Bagi Profesi
Sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berkaitan
dengan penerapan terapi dzikir pada nyeri dada pasien acute coronary
syndrome.
4. Bagi Penulis
Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengalaman yang
berharga bagi peneliti khususnya meningkatkan kemampuan dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan menerapkan evidence-based
nursing.
BAB II
TINJAUAN PUSKATA
4. Klasifikasi
Klasifikasi Acut Coronary Syndrome (ACS) menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2018), dibagi menjadi 3
yaitu :
a. Acute ST elevasi myocardial infarction (Acute STEMI)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung.
b. Acute Non ST elevasi myocardial infarction (Acute NSTEMI)
NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Ditambah lagi dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung
yang lazim digunakan adalah Troponin I/ T atau CKMB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen
ST Non Elevasi (NonST Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI).
c. Unstable Angina Pectoris (UAP)/Angina pektoris tidak stabil
Disebabkam primer oleh kontraksi otot poles pembuluh koroner
sehingga mengakibatkan iskeia miokard. patogenesis spasme
tersebut hingga kini belum diketahui, kemungkinan tonus
alphaadrenergik yang berlebihan (Histamin, Katekolamin
Prostagglandin). Selain dari spame pembuluh koroner juga disebut
peranan dari agregasi trobosit. penderita ini mengalami nyeri dada
terutama waktu istirahat, sehingga terbangun pada waktu
menjelang
subuh. Manifestasi paling sering dari spasme pembuluh koroner
ialah variant (prinzmental). Pada angina pektoris tidak stabil marka
jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner
akut, nilai ambang untuk peningkatan CKMB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of
normal).
5. Patofisiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur
plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet,
pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak
berkurang. Oklusi mendadak dari arteri koroner bila ada ruptur plaque,
akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi antara ateroma dengan
bekuan akan mengisi lumen arteri, sehingga menutup lumen pembuluh
darah koroner yang sudah mengalami aterosklerosis. Hipoksemia pada
daerah distal dari sumbatan menyeba bkan iskemia dan selanjutnya
nekrosis miokardia. Kematian sel miokardium akibat iskemia disebut
infark miokard, dimana terjadi kerusakan, kematian otot jantung, dan
terbentuk jaringan parut tanpa adanya pertumbuhan kembali otot
jantung. Pada infark miokard, fungsi ventrikel kiri mengalami
gangguan kontraktilitas. Sumbatan tersebut mengakibatkan kontraksi
jantung meningkat. Kontraksi jantung yang meningkat menyebabkan
beban jantung juga meningkat dan tidak adekuatnya aliran darah di
jantung sehingga menyebabkan penurunan curah jantung (Gusti,
2019).
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Elektrokardiogram (EKG)
1) STEMI: Perubahan pada pasien dengan Infark Miokard Akut,
meliputi: hiperakut T, elevasi segmen ST yang diikuti dengan
terbentuknya Q pathologis, terbentuknya bundle branch block /
yang dianggap baru. Perubahan EKG berupa elevasi segment
ST ≥ 1 mm pada 2 sadapan yang berdekatan pada limb lead dan
atau segment elevasi ≥ 2 mm pada 2 sadapan chest lead.
2) NSTEMI: Perubahan EKG berupa depresi segment ST ≥ 1 mm
pada 2 sadapan yang berdekatan pada limb lead dan atau
segmen depresi ≥ 2 mm pada 2 sadapan chest lead.
b. Ekokardiogram
Pemeriksaan ekhokardiografi memegang peranan penting dalam
ACS. Ekhokardiografi dapat mengidentifikasi abnormalitas
pergerakan dinding miokard dan membantu dalam menegakkan
diagnosis. Ekhokardiografi membantu dalam menentukan luasnya
infark dan keseluruhan fungsi ventrikel kiri dan kanan, serta
membantu dalam mengidentifikasi komplikasi seperti regurgitasi
mitral akut, rupture LV, dan efusi perikard.
c. Enzim Jantung
1) CKMB: Kreatinin kinase dan isoenzimnya dipandang sebagai
indicator paling sensitif dalam menegakkan diagnosa infark
miokardium. CKMB adalah isoenzim yang ditemukan hanya
pada sel jantung. Apabila terjadi kerusakan pada sel -sel
jantung, nilai CK-MB akan meningkat
2) Troponin T: spesifik untuk kerusakan otot jantung, dapat
dideteksi 4 -8 jam pasca infark
3) LDH: Laktat dehidrogenase dapat mendeteksi pasien yang
menderita infark miokard akut. Untuk mendiagnosa MI,
menggunakan LDH1 dan LDH2. Normalnya LDH2 lebih tinggi
dibandingkan LDH1. Apabila kadar LDH1 melebihi LDH2
maka keadaan tersebut menunjukkan adanya infark miokard.
d. Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan
kontraktilitas, misalnya hipokalemi, hiperkalemi.
e. Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah
IMA berhubungan dengan proses inflamasi.
f. AGD dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut
maupun kronis.
g. Kolesterol atau trigliserida serum meningkat, menunjukkan
arterosklerosisi sebagai penyebab IMA
7. Penatalaksanaan
ACS merupakan kasus kegawat daruratan sehingga harus
mendapatkan penanganan yang segera. Dalam 10 menit pertama sejak
pasien datang ke instalasi gawat darurat, harus sudah dilakukan
penilaian meliputi anamnesa riwayat nyeri, pemeriksaan fisik, EKG
12 lead dan saturasi oksigen, pemeriksaan enzim jantung, elektrolit
dan bekuan darah serta menyiapkan intravena line dengan D5%
a. Pasien dianjurkan istirahat total
b. Pasang iv line dan infuse untuk pemberian obat-obatan intra vena
c. Atasi nyeri, dengan: - Morfin 2.5-5 mg iv atau pethidine 25-50 mg
- Lainlain: Nitrat, Calsium antagonis, dan Beta bloker
d. Pasang oksigen tambahan 2-4 liter/menit
e. Berikan sedatif sedang seperti Diazepam per oral.
f. Antitrombotik - Antikoagulan (Unfractional Heparin / golongan
Heparin atau Low Molecul Weight Heparin / golongan Fraxiparin)
- Antiplatelet (golongan Clopidogrel, Aspirin)
g. Streptokinase / Trombolitik (pada pasien dengan akut STEMI
onset <3 jam)
h. Primary PCI (pada pasien dengan akut STEMI onset > 3 jam)
B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat
individual yang tidak dapat dibagi kepada orang lain, stimulus nyeri
dapat berupa stimulus yang bersifat fisik atau mental, sedangkan
kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego
individu (Astutiningrum & Fitriyah, 2019). Menurut Solehati dan
Kosasih (2015) nyeri adalah suatu ketidaknyamanan, bersifat subjektif,
sensori, dan pengalaman emosional yang dihubungkan dengan aktual
dan potensial untuk merusak jaringan atau digambarkan sebagai
sesuatu yang merugikan (Aryani, 2022).
2. Penyebab Nyeri
Menurut Aspiani (2017) penyebab nyeri diklasifikasikan ke
dalam dua penyebab yaitu (Aryani, 2022):
a. Penyebab fisik
1) Trauma (mekanik, termis, kimiawi, elektrik) Trauma mekanik
menimbulkan nyeri karena ujung saraf mengalami kerusakan
akibat benturan, gesekan atau luka. Trauma termis
menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas, dingin. Trauma kimiawi terjadi
karena tersentuh zat asam atau basa. Trauma elektrik
menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat
mengenai reseptor rasa nyeri.
2) Neoplasma Menyebabkan nyeri karena terjadi tekanan atau
kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri.
3) Peradangan Menimbulkan nyeri karena kerusakan ujung-ujung
saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh
pembengkakan.
b. Penyebab Psikologis
Nyeri disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri akibat trauma
psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik disebut psychogenic
pain.
3. Faktor-Faktor Mempengaruhi Nyeri
Menurut Prihardjo (2000) dalam (Aryani, 2022) faktor yang
mempengaruhi nyeri diantaranya:
a. Usia
Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri.
Individu yang berumur lebih tua mempunyai metabolisme yang
lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap masa otot lebih besar
dibanding individu berusia lebih muda, sehingga analgesik dosis
kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang dapat
mempengaruhi respon nyeri. Pada dasarnya pria lebih jarang
melaporkan nyeri dibandingkan wanita.
c. Pengalaman masa lalu
Pengalaman sebelumnya mengenai nyeri mempengaruhi
persepsi akan nyeri yang dialami saat ini. Individu yang memiliki
pengalaman negatif dengan nyeri pada masa kanak-kanak dapat
memiliki kesulitan untuk mengelola nyeri.
d. Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan
tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang
dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan
nyeri yang hebat. Dalam kaitannya denngan kualitas nyeri, masing-
masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri
sebagai tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain-lain,
sebagai contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan
nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar.
e. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsi nyeri yang dirasakan, sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri. Konsep
inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,
seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing, dan massage dengan
memfokuskan perhatian dan kosentrasi pasien terhadap stimulus
lain, kesadaran mereka akan adanya nyeri menjadi menurun.
f. Kelemahan (fatigue)
Kelemahan akan meningkatkan persepsi seseorang terhadap
nyeri dan dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi suatu
masalah. Apabila kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat,
persepsi terhadap nyeri akan lebih besar.
g. Ansietas (Kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks,
ansietas yang dirasakan seseorang sering kali meningkatkan
persepsi nyerinya.
h. Teknik koping
Teknik koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
mengatasi nyeri. Seseorang yang memiliki koping yang baik
mereka dapat mengontrol rasa nyeri yang dirasakan, tetapi
sebaliknya, jika seseorang yang memiliki koping yang buruk
mereka akan merasa bahwa orang lainlah yang akan bertanggung
jawab terhadap nyeri yang dialaminya.
i. Keluarga dan dukungan sosial
Seseorang yang merasakan nyeri terkadang bergantung
kepada anggota keluarga yang lain atau teman dekat untuk
memberikan dukungan, bantuan, atau perlindungan, walaupun rasa
nyeri masih terasa, tetapi kehadiran keluarga ataupun teman
terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang menyebabkan
stress sedikit berkurang. Kehadiran orang tua sangat penting bagi
anak-anak yang mengalami nyeri.
4. Klasifikasi Nyeri
Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2017) lama keluhan atau
waktu kejadian nyeri dibagi menjadi dua yaitu:
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat berlangsung kurang dari 3 Bulan.
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konsisten, yang berlangsung lebih dari 3 bulan
5. Penilaisan Skala Nyeri
Menurut Yosefni dan Yulia (2020) penilaian respons seseorang
(pasien) terhadap nyeri sangat dibutuhkan sebelum dilakukannya
tindakan yang lebih lanjut sebagai bagian dari rencana asuhan. Tenaga
kesehatan harus mampu membantu pasien untuk mendeskripsikan rasa
nyeri yang dialaminya, seperti tempat atau lokasi dirasakannya nyeri
dan seberat apa rasa nyeri yang dialaminya. Berikut macam-macam
skala nyeri (Aryani, 2022):
a. Verbal rating scale (VRS)
Teknik penilaian metode ini menggunakan bahasa verbal
dengan batasan dari tidak terasa nyeri sampai dengan nyeri yang
parah yaitu dari skala 1-10. Penilaian ini dapat diulang-ulang untuk
mengetahui pengurangan ataupun peningkatan rasa nyen yang
dialami pasien. Metode ini dilakukan dengan meminta pasien
memilih skala yang ada untuk meng gambarkan rasa sakitnya.
2) Kompres dingin
Untuk mengurangi ketegangan nyeri sendi otot,
mengurangi pembengkakan dan menyejukkan kulit. Kompres
dingin juga dapat memperlambat transmisi nyeri melalui netron
sensorik.
3) Distraksi
Distraksi merupakan teknik memfokuskan perhatian pasien
pasa sesuatu hal selain nyeri. Distraksi dapat menurunkan
persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak.
4) Teknik Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik
relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan
frekuensi lambat, berirama.
5) Teknik Dzikir
Terapi dzikir merupakan salah satu intervensi yang
dipercaya untuk menurunkan tingkat stress pasien dan
meningkatkan kenyamanan, sehingga nyeri dada pasien dapat
berkurang.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Identitas Pasien Pasien 1 Pasien 2
Nama Tn. D Tn. S
Umur 35 Tahun 43 Tahun
Agama Islam Islam
Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki
Pekerjaan Guru Polisi
Alamat Semarang, Jateng Demak, Jateng
Diagnosa medis Stemi, Chest Pain Stemi, Hpertensi
Pengkajian 9 Desember 2022 10 Desember 2022
(01.00 WIB) (04.00 WIB)
2. Pengkajian Primer
Primer Pasien 1 Pasien 2
Airway bicara jelas (+), snooring (-), bicara jelas (+), snooring (-),
gurgling (-), jejas leher (-), gurgling (-), jejas leher (-),
sianosis (-) sianosis (-)
Breathing RR 24 ×/mnt, reguler (+), RR 26 ×/mnt, reguler (+), jejas
jejas di dada (-), SpO2 98% di dada (-), SpO2 97%
Circulstion TD 135/98 mmHg TD 148/89 mmHg
HR 86 x/mnt HR 98 x/mnt
S 36.8°C S 36.9°C
Terpasang infus perifer Terpasang infus perifer tangan
tangan kiri NaCl 0.9% kiri NaCl 0.9%
Disability GCS E4M6V5 (15), GCS E4M6V5 (15),
composmentis, pupil isokor composmentis, pupil isokor
3. Pengkajian Sekunder
Amannesa Pasien 1 Pasien 2
Alergic Pasien tidak ada alergi makana dan Pasien tidak ada alergi makana dan
obat-obatan obat-obatan
Medication Inj. Heparin 4000 iU, aspirin Inj. Heparin 4000 iU, aspirin
160mg, ticagrelor 180mg, 160mg, ticagrelor 180mg,
atosvastatin 40mg atosvastatin 40mg
Past History Pasien punya riwayat penyakit DM Pasien punya riwayat penyakit
Hipertensi tidak terkontrol
Last Meal Makan terkahir jam 22.00 Makan terkahir 21.30
Event 1.5 jam SMRS Pasien mengeluh 2 jam SMRS Pasien mengeluh
nyeri dada bagian tengah dan kiri, nyeri dada tengah dan ulu hati saat
tembus belakang, menjalar lengan sedang beraktivitas sebagai polisi,
kiri, nyeri hebat seperti ditekan durasi lebih dari dari 20 menit,
sampai terasa sesak, muncul saat dirasakan menjalar ke rahang
sedang mengetik komputer. bawah dan tembus ke belakang.
Keluhan disertai mual, muntah 2x, Mual (+), keringat dingin
keringat dingin, sesak nafas hanya gemryobos (+). Sesak (-), berdebar
saat nyeri dada. Riwayat nyeri dada (-), pingsan (-). Keluhan dirasakan
sebelumnya (+), tidak dibawa ke semakin memberat kemudia pasien
RS, disarankan treadmill namun di bawa ke rumah sakit. Pasien
belum dilakukan. riwayat penyakit hipertensi tidak
terkontrol.
Nyeri Pengkajian nyeri Pengkajian nyeri
P : Penyakit P : Penyakit
Q : Seperti tertekan Q : Seperti tertekan
R : Dada menjalar ke kiri R : Dada menjalar ke kiri
S : Skala 5 (NRS) S : Skala 6 (NRS)
T : Terus menerus T : Terus menerus
4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Pasien 1 Pasien 2
Kepala Tidak ada luka di kepala Tidak ada luka di kepala
Wajah Simetris, tidak ada jejas Simetris, tidak ada jejas
Toraks Inspeksi: bentuk simetris, Inspeksi: bentuk simetris,
tidak ada lesi dan jejas tidak ada lesi dan jejas
Palpasi: tidak teraba massa Palpasi: tidak teraba massa
Perkusi: tidak ada dullnes, Perkusi: tidak ada dullnes,
sonor sonor
Auskultasi: tidak ada Auskultasi: tidak ada
wheezing atau ronkhi wheezing atau ronkhi
Abdomen Inspeksi: tidak tampak Inspeksi: tidak tampak
adanya jejas, simetris adanya jejas, simetris
Auskultasi: bising usus ada. Auskultasi: bising usus ada.
normal normal
Palpasi: tidak ada nyeri Palpasi: tidak ada nyeri
tekan tekan
Perkusi: tympani Perkusi: tympani
Ekstremitas Tidak terdapat luka pada Tidak terdapat luka pada
ekstremitas atas dan bawah ekstremitas atas dan bawah
5. Pemeriksaan Penunjang
Penunjang Pasien 1 Pasien 2
EKG Irama sinus, HR 75x/mnt, LAD, SR, 75 bpm, normoaxis, ST elevasi
Slight ST elevation V4-V6, I 6 mm V1-V4
aVL
Laboratorium Troponin kurang dari 0.01 Troponin lebih dari dari 25.00
6. Therapy
Therapy Pasien 1 Pasien 2
Infus Infus NaCl 0.9% 10 tpm Infus NaCl 0.9% 20 tpm
Syirine pump NTG 30 mcg/menit NTG 50 mcg/menit
Injeksi Inj Lansoprazol 30 Inj Lansoprazol 30 mg/24jam
mg/24jam
Inj. Heparin 4000 IU IV
bolus
PO Aspilet 80 mg/24 jam Aspilet 80 mg/24jam
Ticagrelor 90 mg/12 jam Klopidogrel 75 mg/24jam
Atorvastatin 40 mg/24 jam Ramipril 1.25 mg/24jam
Nitrokaf 2.5 mg/12jam Bisoprolol 2.5 mg/24jam
Diazepam 5 mg/24jam ISDN 5 mg/8jam
Diazepam 5 mg/24jam
B. Analisa Data
Kasus 1 Kasus 2
DS: DS:
1. Pasien mengatakan nyeri 1. Pasien mengatakan nyeri
2. Pengkajian nyeri 2. Pengkajian nyeri
P : Penyakit P : Penyakit
Q : Seperti tertekan Q : Seperti tertekan
R : Dada menjalar ke kiri R : Dada menjalar ke kiri
S : Skala 5 (NRS) S : Skala 6 (NRS)
T : Terus menerus T : Terus menerus
DO: DO:
1. KU composmentis 1. KU composmentis
2. Pasien tampak meringis kesakitan 2. Pasien tampak meringis kesakitan
dan memegang dadanya dan memegang dadanya
C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Agen pencedere fisiologis (iskemia)
D. Intervensi
No Diagnosa SLKI SIKI
E. Implementasi
Kasus 1
Kasus 2
Tgl/Jam Diagnosa Evaluasi
keperawatan
Sabtu, 10 Nyeri akut b.d S : Pasien mengatakan nyeri pada dadanya
Desember Agen pencedera O : Pasien masih terlihat meringis menahan nyeri,
2022 isiologis terlihat memegangi dadanya, Skala nyeri 5
06 WIB (iskemia) A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN