Anda di halaman 1dari 34

STUDI KASUS : PEMBERIAN TERAPI DZIKIR UNTUK

MENURUNKAN NYERI DADA PADA PASIEN


ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS)
DI IGD RSUP DR KARIADI SEMARANG

KARYA TULIS AKHIR NERS (KIAN)

OLEH :
ARI MIRZA FARADIANSYAH
G3A021253

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi akibat kurannya aliran darah ke miokardium berupa
nyeri dada, perubahan segemn ST pada Electrocardiogram (EKG), dan
perubahan biomarker jantung. Sindrome koroner akut cukup berbahaya
tetapi dapat dicegah. Walaupun penyakit ini sering terjadi, banyak
ditemukan dan memberikan kematian mendadak, namun sebenarnya
penyakit ini dapat dicegah. Diperlukan upaya-upaya tersendiri maupun
secara bersama-sama untuk mencegah penyakit ini (Pangestika, 2020).
Berdasarkan data riskesdas tahun 2018, di Indonesia jumlah
penderita penyakit jantung berdasarkan diagnosa dokter pada penduduk
semua umur adalah sebanyak 1,5 per 1000 penduduk. Data tertinggi
sebanyak 4,7 % terjadi pada usia di atas 75 tahun. Prevalensi penyakit
jantung di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. (Kemenkes RI,
2019). Di Jawa Tengah prevalensi risiko penyakit jantung koroner masih
cukup tinggi. Menurut diagnosis tenaga kesehatan sebesar 0,8 %
prevalensi tertinggi ada di Kabupaten Pemalang 17,3%, Cilacap 17,1%,
Banjarnegara 15,2%. Menurut teorinya terutama pada temuan bahwa lebih
dari 83 % dari mereka yang meninggal akibat penyakit jantung koroner
berusia 65 tahun atau lebih dari 65 tahun. Berdasarkan laporan dari salah
satu rumah sakit di jawa tengah, kasus tertinggi penyakit jantung koroner
adalah di Kota Semarang (26%), Sedangkan kasus tertinggi kedua adalah
Kabupaten Banyumas (10,89%). Kasus ini paling sedikit dijumpai di
Kabupaten Tegal yaitu sebesar (0,01%). Rata-rata kasus jantung koroner
di Jawa Tengah adalah 525,62 kasus (Kemenkes, 2019).
Gejala dari penyakit jantung koroner adalah nyeri atau rasa tidak
nyaman didada kiri atau epigastrium menjalar ke leher, bahu kiri, tangan
kiri, punggung, nyeri terasa seperti tertekan diremas, terbakar atau
tertusuk, yang timbul secara tiba tiba dengan intensitas yang bervariasi
mulai ringan hingga berat dan kadang disertai keringat dingin, mual,
muntah, lemas, pusing melayang terkadang sampai pingsan (Laksono &
Harsas, 2022). Apabila terjadi sumbatan pada pembuluh darah maka aliran
darah akan menurun dan mengakibatkan otot jantung akan kekurangan
oksigen sehingga berakibat munculnya keluhan nyeri dada. Keluhan nyeri
dada menunjukkan bahwa jantung masih mengalami proses ischemia yang
apabila proses ini berlangsung terus menerus tanpa dilakukan intervensi
yang baik, maka otot jantung akan mengalami nekrosis yang sifatnya
irreversible (Aryani, 2022).
Manajemen nyeri ada dua macam strategi penanganan yang bisa
dilaksanakan yaitu intervensi non farmakologi yang bersifat mandiri atau
independen dan intervensi farmakologis yaitu pemberian obat obatan yang
sifatnya kolaboratif. Berdasarkan pedoman dari Perhimpunan Dokter
Kardiovaskuler Indonesia, penatalaksanaan nyeri pada pasien nyeri dada
adalah dengan memberikan morphin, oksigen, nitrat serta aspirin (PERKI,
2020). Salah satu peran kita sebagai perawat adalah sebagai pemberi
asuhan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan
melakukan tindakan secara mandiri tidak bergantung pada orang lain
dalam hal ini melakukan fungsi independen dalam rangka memenuhi
kebutuhan fisiologis manusia. Salah satu terapi non farmakologi atau
terapi komplementer yang dapat menguragi nyeri dada pasien ACS adalah
terapi dhikir (Pangestika, 2020).
Efek terapi dhikir pasien merasakan relaksasi, membaca dhikir
yang lembut daan merdu bisa merangsang pendengaran yang mampu
meningkatkan hormon endorphin dalam sistem kontrol desenden sehingga
dapat mempengaruhi fisiologis tubuh pada basis aktivitas korteks sensori
dengan aktifitas sekunder lebih dalam pada neokorteks, kemudian
beruntun ke dalam sistem limbic, hipotalamus,saraf otonom sehingga
mampu memberikan efek relaksasi yang mampu memperbaiki keadaan
fisik, mental dan emosi (Wati, 2022).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pangestika (2020)
bahwasanya kombinasi terapi farmakologi dengan membaca dhikir lebih
efektif menurunkan skala nyeri pasien ACS dibandingkan dengan
pemakain obat farmakologi saja. Peneliti lain yang sejalan dilakukan oleh
(Sari, 2022) memberikan terapi dengan dhikir yang diperdengarkan pada
pasien selain bisa meningkatan keimanan dan menentramkan, juga
menyembuhkan penyakit jasmani dan rohani. Dalam dhikir mengandung
doa untuk kesembuhan, dimana peran do’a dalam manajemen nyeri
memiliki efek keagamaan dalam toleransi nyeri (Kurniawati, 2018).
Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi merupakan salah satu rumah
sakit rujukan di Jawa Tengah khusnya dalam penatalaksanana kasus
jantung (Cardiak Center). Data laporan kasus ACS di IGD RSUP dr.
Kariadi tiap harinya rata-rata ada 5 pasien dan sebagain besar akan
dilakukan Tindakan pemasangan kateterisasi jantung. Pasien yang datang
dengan ACS selalu mengeluh nyeri di bagian dada dengan rata-rata skor
nyeri 5. Teknik untuk mengatasi nyeri selalu di berikan obat-obat
farmakologi (Aspirin, ISDN dan Morphen), meskipun sudah ada SOP
teknik relaksasi pelaksanaanya belum berjalan secara optimal.
Berdasarkan latar belakang tersebut makan penulis tertarik untuk
melakukan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Acute Coronary Syndrom
(ACS) Dengan Aplikasi Teknik Relaksasi dhikir di IGD RSUP dr Kariadi
Semarang.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti merumuskan
bagaimana Efektifitas Pemberian Terapi Dzikir Pada Nyeri Dada Pasien
Acute Coronary Syndrome.
C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengertahui efektivitas
pemberian terapi dzikir pada nyeri dada pasien acute coronary
syndrome di RSUP dr Kariadi Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan skala nyeri dada sebelum dan sesudah diberikan
terapi dzikir pada pasien acute coronary syndrome di RSUP dr
Kariadi Semarang.
b. Menganalisis pengaruh pemberian terapi dzikir pada nyeri dada
pasien acute coronary syndrome di RSUP dr Kariadi Semarang.
D. MANFAAT
1. Bagi Responden
Sebagai tambahan pilihan alternatif manajemen nyeri non
farmakologis dalam meredakan nyeri dada pada pasien acute coronary
syndrome.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai referensi untuk intervensi tambahan dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien yang menjalani hemodialisa dengan
berdasarkan evidence-based nursing.
3. Bagi Profesi
Sebagai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berkaitan
dengan penerapan terapi dzikir pada nyeri dada pasien acute coronary
syndrome.
4. Bagi Penulis
Sebagai sarana untuk menambah wawasan dan pengalaman yang
berharga bagi peneliti khususnya meningkatkan kemampuan dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan menerapkan evidence-based
nursing.
BAB II
TINJAUAN PUSKATA

A. Konsep Sindrom Koronari Akut


1. Pengertian
Acute Coronary Syndrome (ACS) atau Sindrom Koroner Akut
(SKA) adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang
terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium dengan gejala
berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada electrokardiogram
(EKG) dan perubahan biomarker jantung (Sanjani, 2018). Penyakit
pembuluh darah arteri coroner adalah gangguan fungsi sistem
kardiovaskuler yang disebabkan karena otot jantung kekurangan darah
akibat adanya oklusi pembuluh arah arteri coroner dan tersumbatnya
pembuluh darah jantung (AHA, 2022).
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan penumpukan plak
baik total maupun sebagian yang disebabkan oleh terbentuknya bekuan
darah yang menutupi dinding pembuluh darah yang sudah pecah, plak
ini mengurangi ruang gerak dari aliran darah. ACS merupakan
sekumpulan sindrom koroner pada jantung yang awalnya bermula
dengan adanya suatu akibat dari proses atherotrombosis yang terdiri
dari aterosklerosis dan thrombosis, dimana aterosklerosis merupakan
proses pembentukan plak akibat berkumpulnya beberapa bahan seperti
lipid-filled macrophages (foam cells), massive ectracellular lipid dan
plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen (Marcelina,
2022).
2. Etiologi
SKA umumnya disebabkan adanya pecahnya plak, trombosis
atau iskemia. Dasar mekanisme terjadinya SKA umumnya adalah
aterosklerosis. Aterosklerosis adalah penyakit inflamasi imun sistemik
yang disebabkan oleh lipid. Inflamasi, merupakan salah satu faktor
penyebab SKA, yang bersifat lokal dan sistemik. Inflamasi berperan
dalam inisiasi dan perkembangan plak aterosklerotik, yang kemudian
menyebabkan ketidakstabilan plak dengan pembentukan trombus.
Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat
menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan
nyeri. Dalam kondisi yang parah, kemampuan jantung memompa
darah dapat hilang. Hal ini dapat merusak system pengontrol irama
jantung dan berakhir dan berakhir dengan kematian (Suhardi &
Shujuan, 2021).
Faktor risiko SKA dapat dibagi dua. Pertama adalah faktor
risiko yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable),
yaitu: hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus,
hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan gaya hidup (life style).
Faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga
adalah faktor-faktor yang tidak dapat diperbaiki. Efek rokok adalah
menambah beban miokard karena rangsangan oleh katekolamin dan
menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi karbonmonoksida atau
dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi
pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan
merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb sehingga meningkatkan
risiko terkena sindrom koroner akut (Marcelina, 2022).
3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari SKA adalah adanya nyeri dada yang
khas, perubahan EKG, dan peningkatan enzim jantung. Nyeri dada
khas SKA dicirikan sebagai nyeri dada di bagian substernal, etrosternal
dan prekordial. Karakteristik seperti ditekan, diremas, dibakar, terasa
penuh yang terjadi dalam beberapa menit. Nyeri dapat menjalar ke
dagu, leher, bahu, punggung, atau kedua lengan. Nyeri disertai rasa
mual, sempoyongan, berkeringat, berdebar, dan sesak napas. Selain itu
ditemukan pula tanda klinis seperti hipotensi yang menunjukkan
adanya disfungsi ventrikular, hipertensi dan berkeringat yang
menunjukkan adanya respon katekolamin, edema dan peningkatan
tekanan vena jugular yang menunjukkan adanya gagal jantung
(Ningsih, 2022).

4. Klasifikasi
Klasifikasi Acut Coronary Syndrome (ACS) menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2018), dibagi menjadi 3
yaitu :
a. Acute ST elevasi myocardial infarction (Acute STEMI)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI)
merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya;
secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan
menunggu hasil peningkatan marka jantung.
b. Acute Non ST elevasi myocardial infarction (Acute NSTEMI)
NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar,
gelombang T pseudo normalization, atau bahkan tanpa perubahan.
Ditambah lagi dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung
yang lazim digunakan adalah Troponin I/ T atau CKMB. Bila hasil
pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen
ST Non Elevasi (NonST Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI).
c. Unstable Angina Pectoris (UAP)/Angina pektoris tidak stabil
Disebabkam primer oleh kontraksi otot poles pembuluh koroner
sehingga mengakibatkan iskeia miokard. patogenesis spasme
tersebut hingga kini belum diketahui, kemungkinan tonus
alphaadrenergik yang berlebihan (Histamin, Katekolamin
Prostagglandin). Selain dari spame pembuluh koroner juga disebut
peranan dari agregasi trobosit. penderita ini mengalami nyeri dada
terutama waktu istirahat, sehingga terbangun pada waktu
menjelang
subuh. Manifestasi paling sering dari spasme pembuluh koroner
ialah variant (prinzmental). Pada angina pektoris tidak stabil marka
jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner
akut, nilai ambang untuk peningkatan CKMB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of
normal).
5. Patofisiologi
Sindrom Koroner Akut (SKA) dimulai dengan adanya ruptur
plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet,
pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak
berkurang. Oklusi mendadak dari arteri koroner bila ada ruptur plaque,
akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi antara ateroma dengan
bekuan akan mengisi lumen arteri, sehingga menutup lumen pembuluh
darah koroner yang sudah mengalami aterosklerosis. Hipoksemia pada
daerah distal dari sumbatan menyeba bkan iskemia dan selanjutnya
nekrosis miokardia. Kematian sel miokardium akibat iskemia disebut
infark miokard, dimana terjadi kerusakan, kematian otot jantung, dan
terbentuk jaringan parut tanpa adanya pertumbuhan kembali otot
jantung. Pada infark miokard, fungsi ventrikel kiri mengalami
gangguan kontraktilitas. Sumbatan tersebut mengakibatkan kontraksi
jantung meningkat. Kontraksi jantung yang meningkat menyebabkan
beban jantung juga meningkat dan tidak adekuatnya aliran darah di
jantung sehingga menyebabkan penurunan curah jantung (Gusti,
2019).
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Elektrokardiogram (EKG)
1) STEMI: Perubahan pada pasien dengan Infark Miokard Akut,
meliputi: hiperakut T, elevasi segmen ST yang diikuti dengan
terbentuknya Q pathologis, terbentuknya bundle branch block /
yang dianggap baru. Perubahan EKG berupa elevasi segment
ST ≥ 1 mm pada 2 sadapan yang berdekatan pada limb lead dan
atau segment elevasi ≥ 2 mm pada 2 sadapan chest lead.
2) NSTEMI: Perubahan EKG berupa depresi segment ST ≥ 1 mm
pada 2 sadapan yang berdekatan pada limb lead dan atau
segmen depresi ≥ 2 mm pada 2 sadapan chest lead.
b. Ekokardiogram
Pemeriksaan ekhokardiografi memegang peranan penting dalam
ACS. Ekhokardiografi dapat mengidentifikasi abnormalitas
pergerakan dinding miokard dan membantu dalam menegakkan
diagnosis. Ekhokardiografi membantu dalam menentukan luasnya
infark dan keseluruhan fungsi ventrikel kiri dan kanan, serta
membantu dalam mengidentifikasi komplikasi seperti regurgitasi
mitral akut, rupture LV, dan efusi perikard.
c. Enzim Jantung
1) CKMB: Kreatinin kinase dan isoenzimnya dipandang sebagai
indicator paling sensitif dalam menegakkan diagnosa infark
miokardium. CKMB adalah isoenzim yang ditemukan hanya
pada sel jantung. Apabila terjadi kerusakan pada sel -sel
jantung, nilai CK-MB akan meningkat
2) Troponin T: spesifik untuk kerusakan otot jantung, dapat
dideteksi 4 -8 jam pasca infark
3) LDH: Laktat dehidrogenase dapat mendeteksi pasien yang
menderita infark miokard akut. Untuk mendiagnosa MI,
menggunakan LDH1 dan LDH2. Normalnya LDH2 lebih tinggi
dibandingkan LDH1. Apabila kadar LDH1 melebihi LDH2
maka keadaan tersebut menunjukkan adanya infark miokard.
d. Elektrolit
Ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan
kontraktilitas, misalnya hipokalemi, hiperkalemi.
e. Sel darah putih
Leukosit (10.000 – 20.000) biasanya tampak pada hari ke-2 setelah
IMA berhubungan dengan proses inflamasi.
f. AGD dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit paru akut
maupun kronis.
g. Kolesterol atau trigliserida serum meningkat, menunjukkan
arterosklerosisi sebagai penyebab IMA
7. Penatalaksanaan
ACS merupakan kasus kegawat daruratan sehingga harus
mendapatkan penanganan yang segera. Dalam 10 menit pertama sejak
pasien datang ke instalasi gawat darurat, harus sudah dilakukan
penilaian meliputi anamnesa riwayat nyeri, pemeriksaan fisik, EKG
12 lead dan saturasi oksigen, pemeriksaan enzim jantung, elektrolit
dan bekuan darah serta menyiapkan intravena line dengan D5%
a. Pasien dianjurkan istirahat total
b. Pasang iv line dan infuse untuk pemberian obat-obatan intra vena
c. Atasi nyeri, dengan: - Morfin 2.5-5 mg iv atau pethidine 25-50 mg
- Lainlain: Nitrat, Calsium antagonis, dan Beta bloker
d. Pasang oksigen tambahan 2-4 liter/menit
e. Berikan sedatif sedang seperti Diazepam per oral.
f. Antitrombotik - Antikoagulan (Unfractional Heparin / golongan
Heparin atau Low Molecul Weight Heparin / golongan Fraxiparin)
- Antiplatelet (golongan Clopidogrel, Aspirin)
g. Streptokinase / Trombolitik (pada pasien dengan akut STEMI
onset <3 jam)
h. Primary PCI (pada pasien dengan akut STEMI onset > 3 jam)
B. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah sensasi yang tidak menyenangkan dan sangat
individual yang tidak dapat dibagi kepada orang lain, stimulus nyeri
dapat berupa stimulus yang bersifat fisik atau mental, sedangkan
kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego
individu (Astutiningrum & Fitriyah, 2019). Menurut Solehati dan
Kosasih (2015) nyeri adalah suatu ketidaknyamanan, bersifat subjektif,
sensori, dan pengalaman emosional yang dihubungkan dengan aktual
dan potensial untuk merusak jaringan atau digambarkan sebagai
sesuatu yang merugikan (Aryani, 2022).
2. Penyebab Nyeri
Menurut Aspiani (2017) penyebab nyeri diklasifikasikan ke
dalam dua penyebab yaitu (Aryani, 2022):
a. Penyebab fisik
1) Trauma (mekanik, termis, kimiawi, elektrik) Trauma mekanik
menimbulkan nyeri karena ujung saraf mengalami kerusakan
akibat benturan, gesekan atau luka. Trauma termis
menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas, dingin. Trauma kimiawi terjadi
karena tersentuh zat asam atau basa. Trauma elektrik
menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat
mengenai reseptor rasa nyeri.
2) Neoplasma Menyebabkan nyeri karena terjadi tekanan atau
kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri.
3) Peradangan Menimbulkan nyeri karena kerusakan ujung-ujung
saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh
pembengkakan.
b. Penyebab Psikologis
Nyeri disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri akibat trauma
psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik disebut psychogenic
pain.
3. Faktor-Faktor Mempengaruhi Nyeri
Menurut Prihardjo (2000) dalam (Aryani, 2022) faktor yang
mempengaruhi nyeri diantaranya:
a. Usia
Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri.
Individu yang berumur lebih tua mempunyai metabolisme yang
lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap masa otot lebih besar
dibanding individu berusia lebih muda, sehingga analgesik dosis
kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang dapat
mempengaruhi respon nyeri. Pada dasarnya pria lebih jarang
melaporkan nyeri dibandingkan wanita.
c. Pengalaman masa lalu
Pengalaman sebelumnya mengenai nyeri mempengaruhi
persepsi akan nyeri yang dialami saat ini. Individu yang memiliki
pengalaman negatif dengan nyeri pada masa kanak-kanak dapat
memiliki kesulitan untuk mengelola nyeri.
d. Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan
tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang
dirasakan mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan
nyeri yang hebat. Dalam kaitannya denngan kualitas nyeri, masing-
masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri
sebagai tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain-lain,
sebagai contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan
nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar.
e. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsi nyeri yang dirasakan, sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri. Konsep
inilah yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,
seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing, dan massage dengan
memfokuskan perhatian dan kosentrasi pasien terhadap stimulus
lain, kesadaran mereka akan adanya nyeri menjadi menurun.
f. Kelemahan (fatigue)
Kelemahan akan meningkatkan persepsi seseorang terhadap
nyeri dan dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi suatu
masalah. Apabila kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat,
persepsi terhadap nyeri akan lebih besar.
g. Ansietas (Kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks,
ansietas yang dirasakan seseorang sering kali meningkatkan
persepsi nyerinya.
h. Teknik koping
Teknik koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
mengatasi nyeri. Seseorang yang memiliki koping yang baik
mereka dapat mengontrol rasa nyeri yang dirasakan, tetapi
sebaliknya, jika seseorang yang memiliki koping yang buruk
mereka akan merasa bahwa orang lainlah yang akan bertanggung
jawab terhadap nyeri yang dialaminya.
i. Keluarga dan dukungan sosial
Seseorang yang merasakan nyeri terkadang bergantung
kepada anggota keluarga yang lain atau teman dekat untuk
memberikan dukungan, bantuan, atau perlindungan, walaupun rasa
nyeri masih terasa, tetapi kehadiran keluarga ataupun teman
terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang menyebabkan
stress sedikit berkurang. Kehadiran orang tua sangat penting bagi
anak-anak yang mengalami nyeri.
4. Klasifikasi Nyeri

Menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2017) lama keluhan atau
waktu kejadian nyeri dibagi menjadi dua yaitu:
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat berlangsung kurang dari 3 Bulan.
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional,
dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat dan konsisten, yang berlangsung lebih dari 3 bulan
5. Penilaisan Skala Nyeri
Menurut Yosefni dan Yulia (2020) penilaian respons seseorang
(pasien) terhadap nyeri sangat dibutuhkan sebelum dilakukannya
tindakan yang lebih lanjut sebagai bagian dari rencana asuhan. Tenaga
kesehatan harus mampu membantu pasien untuk mendeskripsikan rasa
nyeri yang dialaminya, seperti tempat atau lokasi dirasakannya nyeri
dan seberat apa rasa nyeri yang dialaminya. Berikut macam-macam
skala nyeri (Aryani, 2022):
a. Verbal rating scale (VRS)
Teknik penilaian metode ini menggunakan bahasa verbal
dengan batasan dari tidak terasa nyeri sampai dengan nyeri yang
parah yaitu dari skala 1-10. Penilaian ini dapat diulang-ulang untuk
mengetahui pengurangan ataupun peningkatan rasa nyen yang
dialami pasien. Metode ini dilakukan dengan meminta pasien
memilih skala yang ada untuk meng gambarkan rasa sakitnya.

Sumber: Yudiyanta, Khoirunnisa dan Novitasari 2015


dalam (Aryani, 2022)
b. Visual analogie scale (VAS)
Metode ini merupakan skala linier dengan dua titik dari
ujung ke ujung yang mewakili respons nyeri mulai dari tidak ada
nyeri sampai dengan nyeri yang parah. Pasien dapat menentukan
rasa nyeri yang dirasakan dengan menggambarkannya pada garis
tersebut. Semakin ke kanan menunjukkan rasa sakit yang parah,
sedangkan semakin ke kiri menunjukkan rasa sakit yang semakin
berkurang.

Sumber: Yudiyanta, Khoirunnisa dan Novitasari 2015


dalam (Aryani, 2022)

c. Numerical rating scale (NRS)


Metode ini dianggap sederhana sehingga mudah diaplikasikan
kepada pasien. Pasien diminta untuk menilai sendiri rasa nyeri
yang dirasakannya dengan memberikan angka yang sesuai,
semakin besar angka maka semakin parah nyeri yang dirasakannya.
Sumber: Yudiyanta, Khoirunnisa dan Novitasari 2015
dalam (Aryani, 2022)

d. Wong Baker Pain Rating Scale


Metode ini digunakan pada pasien yang sulit
mendeskripsikan nyerinya dalam angka. Metode ini menggunakan
respons wajah dengan adanya nyeri yang dialami pasien. Metode
ini biasanya digunakan pada pasien anak-anak. Terdapat enam
ekspresi yang menunjukkan respons terhadap nyeri mulai dari
senyum yang menunjukkan tidak adanya nyeri yang dirasakan
sampai dengan gambaran wajah yang terlihat menangis untuk
menggambarkan rasa sakit yang parah.

Sumber: Kozier 2011 dalam (Aryani, 2022)


6. Penetalaksanaan Nyeri

Metode pengurangan rasa nyeri menurut Judha (2012) dalam


(Aryani, 2022):
a. Terapi farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis pada nyeri meliputi
analgesia yang menurunkan dan mengurangi rasa nyeri dan
anesthesia yang menghilangkan sensasi bagian tubuh baik parsial
maupun total. Berbagai pilihan penatalaksanaan farmakologis
antara lain:
1) Analgesia regional (epidural, spinal dan kombinasinya)
2) Analgesia narkotik (merepidine, fentanil, butorphanol, morfin
sulfate fentanylin)
3) ILA (Intra Thecal Labor Analgesia).
b. Terapi non farmakologis
1) Teknik imajinasi terbimbing (relaksasi benson)
Teknik relaksasi benson adalah suatu teknik merileksasikan
ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri dengan sambil
mengucapkan doa atau kata yang berefek ketenangan. Selain
dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi benson juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah.

2) Kompres dingin
Untuk mengurangi ketegangan nyeri sendi otot,
mengurangi pembengkakan dan menyejukkan kulit. Kompres
dingin juga dapat memperlambat transmisi nyeri melalui netron
sensorik.
3) Distraksi
Distraksi merupakan teknik memfokuskan perhatian pasien
pasa sesuatu hal selain nyeri. Distraksi dapat menurunkan
persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak.
4) Teknik Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik
relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan
frekuensi lambat, berirama.
5) Teknik Dzikir
Terapi dzikir merupakan salah satu intervensi yang
dipercaya untuk menurunkan tingkat stress pasien dan
meningkatkan kenyamanan, sehingga nyeri dada pasien dapat
berkurang.
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Identitas Pasien Pasien 1 Pasien 2
Nama Tn. D Tn. S
Umur 35 Tahun 43 Tahun
Agama Islam Islam
Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki
Pekerjaan Guru Polisi
Alamat Semarang, Jateng Demak, Jateng
Diagnosa medis Stemi, Chest Pain Stemi, Hpertensi
Pengkajian 9 Desember 2022 10 Desember 2022
(01.00 WIB) (04.00 WIB)

2. Pengkajian Primer
Primer Pasien 1 Pasien 2
Airway bicara jelas (+), snooring (-), bicara jelas (+), snooring (-),
gurgling (-), jejas leher (-), gurgling (-), jejas leher (-),
sianosis (-) sianosis (-)
Breathing RR 24 ×/mnt, reguler (+), RR 26 ×/mnt, reguler (+), jejas
jejas di dada (-), SpO2 98% di dada (-), SpO2 97%
Circulstion TD 135/98 mmHg TD 148/89 mmHg
HR 86 x/mnt HR 98 x/mnt
S 36.8°C S 36.9°C
Terpasang infus perifer Terpasang infus perifer tangan
tangan kiri NaCl 0.9% kiri NaCl 0.9%
Disability GCS E4M6V5 (15), GCS E4M6V5 (15),
composmentis, pupil isokor composmentis, pupil isokor
3. Pengkajian Sekunder
Amannesa Pasien 1 Pasien 2
Alergic Pasien tidak ada alergi makana dan Pasien tidak ada alergi makana dan
obat-obatan obat-obatan
Medication Inj. Heparin 4000 iU, aspirin Inj. Heparin 4000 iU, aspirin
160mg, ticagrelor 180mg, 160mg, ticagrelor 180mg,
atosvastatin 40mg atosvastatin 40mg
Past History Pasien punya riwayat penyakit DM Pasien punya riwayat penyakit
Hipertensi tidak terkontrol
Last Meal Makan terkahir jam 22.00 Makan terkahir 21.30
Event 1.5 jam SMRS Pasien mengeluh 2 jam SMRS Pasien mengeluh
nyeri dada bagian tengah dan kiri, nyeri dada tengah dan ulu hati saat
tembus belakang, menjalar lengan sedang beraktivitas sebagai polisi,
kiri, nyeri hebat seperti ditekan durasi lebih dari dari 20 menit,
sampai terasa sesak, muncul saat dirasakan menjalar ke rahang
sedang mengetik komputer. bawah dan tembus ke belakang.
Keluhan disertai mual, muntah 2x, Mual (+), keringat dingin
keringat dingin, sesak nafas hanya gemryobos (+). Sesak (-), berdebar
saat nyeri dada. Riwayat nyeri dada (-), pingsan (-). Keluhan dirasakan
sebelumnya (+), tidak dibawa ke semakin memberat kemudia pasien
RS, disarankan treadmill namun di bawa ke rumah sakit. Pasien
belum dilakukan. riwayat penyakit hipertensi tidak
terkontrol.
Nyeri Pengkajian nyeri Pengkajian nyeri
P : Penyakit P : Penyakit
Q : Seperti tertekan Q : Seperti tertekan
R : Dada menjalar ke kiri R : Dada menjalar ke kiri
S : Skala 5 (NRS) S : Skala 6 (NRS)
T : Terus menerus T : Terus menerus

4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Pasien 1 Pasien 2
Kepala Tidak ada luka di kepala Tidak ada luka di kepala
Wajah Simetris, tidak ada jejas Simetris, tidak ada jejas
Toraks  Inspeksi: bentuk simetris,  Inspeksi: bentuk simetris,
tidak ada lesi dan jejas tidak ada lesi dan jejas
 Palpasi: tidak teraba massa  Palpasi: tidak teraba massa
 Perkusi: tidak ada dullnes,  Perkusi: tidak ada dullnes,
sonor sonor
 Auskultasi: tidak ada  Auskultasi: tidak ada
wheezing atau ronkhi wheezing atau ronkhi
Abdomen  Inspeksi: tidak tampak  Inspeksi: tidak tampak
adanya jejas, simetris adanya jejas, simetris
 Auskultasi: bising usus ada.  Auskultasi: bising usus ada.
normal normal
 Palpasi: tidak ada nyeri  Palpasi: tidak ada nyeri
tekan tekan
 Perkusi: tympani  Perkusi: tympani
Ekstremitas Tidak terdapat luka pada Tidak terdapat luka pada
ekstremitas atas dan bawah ekstremitas atas dan bawah

5. Pemeriksaan Penunjang
Penunjang Pasien 1 Pasien 2
EKG Irama sinus, HR 75x/mnt, LAD, SR, 75 bpm, normoaxis, ST elevasi
Slight ST elevation V4-V6, I 6 mm V1-V4
aVL
Laboratorium Troponin kurang dari 0.01 Troponin lebih dari dari 25.00

6. Therapy
Therapy Pasien 1 Pasien 2
Infus Infus NaCl 0.9% 10 tpm Infus NaCl 0.9% 20 tpm
Syirine pump NTG 30 mcg/menit NTG 50 mcg/menit
Injeksi Inj Lansoprazol 30 Inj Lansoprazol 30 mg/24jam
mg/24jam
Inj. Heparin 4000 IU IV
bolus
PO Aspilet 80 mg/24 jam Aspilet 80 mg/24jam
Ticagrelor 90 mg/12 jam Klopidogrel 75 mg/24jam
Atorvastatin 40 mg/24 jam Ramipril 1.25 mg/24jam
Nitrokaf 2.5 mg/12jam Bisoprolol 2.5 mg/24jam
Diazepam 5 mg/24jam ISDN 5 mg/8jam
Diazepam 5 mg/24jam

B. Analisa Data
Kasus 1 Kasus 2
DS: DS:
1. Pasien mengatakan nyeri 1. Pasien mengatakan nyeri
2. Pengkajian nyeri 2. Pengkajian nyeri
P : Penyakit P : Penyakit
Q : Seperti tertekan Q : Seperti tertekan
R : Dada menjalar ke kiri R : Dada menjalar ke kiri
S : Skala 5 (NRS) S : Skala 6 (NRS)
T : Terus menerus T : Terus menerus

DO: DO:
1. KU composmentis 1. KU composmentis
2. Pasien tampak meringis kesakitan 2. Pasien tampak meringis kesakitan
dan memegang dadanya dan memegang dadanya

C. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d Agen pencedere fisiologis (iskemia)

D. Intervensi
No Diagnosa SLKI SIKI

1 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I.08238)


Agen pencedera tindakan keperawatan Tindakan Keperawatan :
isiologis (iskemia) selama 1x30 menit Observasi
diharapkan tingkat 1. Identifikasi lokasi,
nyeri menurun dengan karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas nyeri
kriteria hasil : 2. Identifikasi skala nyeri
Terapeutik
1. Keluhan nyeri
1. Berikan teknik
2. Meringis nonfarmakologis untuk
menurun mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

E. Implementasi
Kasus 1

No Tgl, Jam Implementasi Respon

1 Jumat, 9 - Mengidentifikasi DS : Pasien mengatakan nyeri


Desember lokasi, karakteristik,  P : Infark
2022 durasi, frekuensi,  Q : Seperti tertekan
kualitas nyeri dan  R : Dada menjalar ke kiri
02.00 WIB
mengientifikasi skala  S : Skla 5 (NRS)
nyeri  T : Terus menerus

DO : Pasien tampak meringis


menahan nyeri

DS : Pasien mengatakan nyeri pada


- Mengidentifikasi
daerah dada dirasakan berkisar
skala nyeri
5 dari 0-10

DO : Pasien tampak memegangi


dadanya

DS : Pasien mengatakan bersedia


untuk dilakukan terapi non
- Memberikan tehnik
farmakologi yaitu terapi dzikir
non farmakologis
DO : Pasien mendengarkan dan ikut
melantunkan dzikir sambil
menarik nafas dalam sesekali

DS : Pasien mengatakan paham


penyebab terjadinya nyeri
- Menjelaskan
penyebab dan DO : Penyebab pemicu nyeri
pemicu nyeri dijelaskan ke pasien dan pasien
nampak memperhatikan
Kasus 2

No Tgl, Jam Implementasi Respon

1 Sabtu, 10 - Mengidentifikasi DS : Pasien mengatakan nyeri


Desember lokasi, karakteristik,  P : Infark
2022 durasi, frekuensi,  Q : Seperti tertekan
kualitas nyeri dan  R : Dada menjalar ke kiri
05.00
mengientifikasi skala  S : Skla 6 (NRS)
nyeri  T : Terus menerus

DO : Pasien tampak meringis


menahan nyeri

DS : Pasien mengatakan nyeri pada


- Mengidentifikasi
daerah dada dirasakan berkisar
skala nyeri
6 dari 0-10

DO : Pasien tampak memegangi


dadanya

DS : Pasien mengatakan bersedia


untuk dilakukan terapi non
- Memberikan tehnik
farmakologi yaitu terapi dzikir
non farmakologis
DO : Pasien mendengarkan dan ikut
melantunkan dzikir sambil
menarik nafas dalam sesekali

DS : Pasien mengatakan paham


penyebab terjadinya nyeri
- Menjelaskan
penyebab dan DO : Penyebab pemicu nyeri
pemicu nyeri dijelaskan ke pasien dan pasien
nampak memperhatikan
F. Evaluasi
Kasus 1
Tgl/Jam Diagnosa Evaluasi
keperawatan
Jumat 9 Nyeri akut b.d S : Pasien mengatakan nyeri pada dadanya
Desember Agen pencedera O : Pasien masih terlihat meringis menahan nyeri,
2022 isiologis terlihat memegangi dadanya, Skala nyeri 4
03.30 WIB (iskemia) A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri

Kasus 2
Tgl/Jam Diagnosa Evaluasi
keperawatan
Sabtu, 10 Nyeri akut b.d S : Pasien mengatakan nyeri pada dadanya
Desember Agen pencedera O : Pasien masih terlihat meringis menahan nyeri,
2022 isiologis terlihat memegangi dadanya, Skala nyeri 5
06 WIB (iskemia) A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi nyeri
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Studi Kasus


Asuhan keperawatan pada pasien dengan acute coronary syndrom
dengan diagnosa nyeri dada dilaksanakan di di IGD RSUP DR Kariadi
Semarang pada bulan Desember 2022. Penulis menerapkan proses mulai
dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawtaan,
implementasi, dan evaluasi.
B. Metode
Karya ilmiah ini menggunakan metode penulisan deskriptif dengan
desain studi kasus melalui pendekatan proses keperawatan. Studi kasus di
laksanakan di IGD RSUP DR Kariadi Semarang pada bulan Desember
2022 pada pasien acute coronary syndrome yang mengeluh nyeri dada
sebanyak 2 responden. Kriteria inklusi dan ekslusi karya ilmiah ini,
sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien ACS dengan nyeri dada
b. Pasien muslim
c. Pasien mendapat terapi nyeri
d. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria Eksklusi
a. Pasien post operasi jantung
b. Pasien kehilangan kesadaran
Studi kasus dilaksanakan selama satu bulan dalam 1 kali pertemuan
dengan memberikan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, analisa
data, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Intervensi
menggunakan terapi dzikir dengan durasi 15-20 menit dengan mengukur
skala nyeri sebelum dilakukan terapi dzikir dan setelah dilakukan terapi
dzikir. Alat dan bahan yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi:
Informed concent, lembar pengkajian, lembar SOP terapi dzikir, audio
dzikir, skala nyeri NPRS dan lembar observasi.
Penerapan terapi ini dilakukan atas persetujuan kedua subjek studi
kasus dengan mengisi lembar persetujuan (informed consent) setelah
diberikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, Pengolahan dan penyajian
data pada kedua subjek. Studi kasus dilakukan dengan proses keperawatan
meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi serta
evaluasi keperawatan. Evaluasi keperawatan terdiri dari evaluasi formatif
(proses) dan evaluasi sumatif (hasil). Evaluasi formatif (proses) dilihat
berdasarkan dari Subjektif, Objektif, Assesment dan Plan (SOAP)
C. Hasil
Hasil studi kasus pada subjek pertama adalah laki-laki berumur 35
tahun yang berprofesi sebagai guru dengan diagnosa medis Stemi. Subjek
mengatakan nyeri dada bagian tengah dan kiri, tembus belakang, menjalar
lengan kiri, nyeri hebat seperti ditekan sampai terasa sesak, hasil
pengukuran nyeri skala 5.
Subjek kedua laki-laki berumur 43 tahun yang berprofesi sebagai
polisi dengan diagnosa medis Stemi. Subjek mengatakan nyeri dada
tengah dan ulu hati saat sedang beraktivitas sebagai polisi, durasi lebih
dari dari 20 menit, dirasakan menjalar ke rahang bawah dan tembus ke
belakang, hasil pengukuran nyeri skala 6.
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut b.d Agen
pencedera isiologis (iskemia) Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Hal ini
dibuktikan dengan adanya tanda dan gejala pada kedua subjek studi kasus
seperti nyeri pada daerah dada karena infark. Hal ini jika tidak segera
ditangani akan mengakibatkan lamanya proses penyembuhan, gangguan
mobilitas, terjadi nyeri kronis serta kemungkinan terburuk mengakibatkan
komplikasi penyakit lain sampai kematian.
Intervensi yang diberikan adalah Manajemen Nyeri (Tim Pokja
SIKI DPP PPNI, 2018). Antara lain Mengidentifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, Mengidentifikasi skala nyeri,
Memberikan tehnik non farmakologis, Menjelaskan penyebab dan pemicu
nyeri. Intervensi keperawatan pada kedua studi kasus terdapat penambahan
spesifik pada pengelolaan nyeri yaitu diberikan terapi dzikir dengan tujuan
untuk menurunkan skala nyeri pada pasien.
Implementasi keperawatan dilakukan 1 kali dalam 30 menit.
Tindakan keperawatan pada subjek 1 dilakukan pada tanggal 9 Desember
2022 dan subjek 2 pada 10 Desember 2022 dimulai dengan
Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri, memberikan teknik non farmakologi terapi dzikir selama 15-20
menit kemudian mengevaluasi skala nyeri setelah dilakukan terapi dzikir.
Setelah dilakukan terapi dzikir selama 15 – 20 menit dilakukan
pengukuran skala nyeri sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pada
kedua subjek studi kasus. Hasil penurunan tingkat skala nyeri dapat dilihat
pada tabel berikut:
No Pasien Pre Intervensi Post Intervensi
1 Tn. D Skala 5 Skala 3
2 Tn. S Skala 6 Skala 3
Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Skala Nyeri
D. Pembahasan
Berdasarkan studi kasus dilapangan menunjukan bahwa subjek
dalam studi kasus ini merupakan 2 orang berjenis kelamin laki-laki. Hasil
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada (Hamzah, 2017)
Perbedaan biologis, perilaku, dan psikososial antara gender mungkin juga
berpengaruh pada kemunculan penyakit jantung koroner. Misalnya
konsumsi alkohol berlebihan dan merokok mungkin lebih sering dilakukan
oleh pria dibandingkan wanita. Seperti yang diketahui, konsumsi alkohol
dan merokok secara berlebihan merupakan sedikit dari beberapa penyebab
penyakit jantung koroner.
Pelaksanaan implementasi dilakukan 1 kali selama 30 menit pada
bulan Desember 2022 untuk menangani masalah nyeri pada pasien acute
coronary syndrome. Memantau skala nyeri secara berkala dengan
kolaborasi dengan terapi dzikir. Penurunan skala nyeri juga dipengaruhi
oleh kondisi psikologis pasien. Pasien dengan ACS memiliki gejala
kecemasan, seperti ketakutan akan kematian, kehilangan kendali pribadi,
dan ketidakmampuan untuk bekerja secara normal. menyebabkan produksi
hormon katekolamin menyebabkan hipertensi, takikardia, dan sesak napas
yang membutuhkan lebih banyak oksigen. Terapi dzikir dapat mengurangi
konsumsi oksigen dengan mengendalikan beberapa faktor prediktor,
seperti kecemasan dan ketakutan sehingga dapat meningkatkan
kenyamanan dan nyeri dada pasien dapat berkurang (Pangestika, 2020).
Evaluasi dari hasil studi kasus setelah penerapan terapi dzikir yang
dilakukan pada 2 subjek diperoleh hasil penurunan skala nyeri sebelum
dan setelah dilakukan intervensi terapi dzikir selama 30 menit. Klien
pertama dengan hasil pengukuran skala nyeri 5 menjadi 3 dan klien kedua
dari skla nyeri 6 menjadi 3.
DAFTAR PUSTAKA

AHA. (2022). Performance of the American Heart Association/American College


of Cardiology Guideline‐Recommended Pretest Probability Model for the
Diagnosis of Obstructive Coronary Artery Disease. Journal of the American
Heart Association, 11(24). https://doi.org/10.1161/JAHA.122.027260
Aryani, I. (2022). Implementasi Keperawatan Manajemen Nyeri Pada Pasien
Post Sectio Caesarea Dengan Nyeri Akut Di Rs Muhammadiyah Palembang
Tahun 2022. Poltekkes Kemenkes Palembang.
Gusti, N. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. A DENGAN NON-ST
SEGMEN ELEVATIONMYOCARD INFARCTION (N-STEMI) MELALUI
AROMA TERAPI LAVENDER UNTUKMENGURANGI SKALA NYERI
DADA DI RUANGAN ICCU RSUD. ACHMADMOCHTAR BUKITTINGGI
TAHUN 2019.
Hamzah, R. (2017). HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN
KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA GAGAL JANTUNG DI RS PKU
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA.
Kemenkes. (2019). PROFIL KESEHATAN INDONESIA TAHUN 2020.
Kurniawati, T. (2018). KARYA TULIS ILMIAH : STUDI KASUS ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA)
DENGAN MASALAH NYERI AKUT.
Laksono, S., & Harsas, N. A. (2022). ARRHYTHMIA IN ACUTE CORONARY
SYNDROME: MINI REVIEW. Al-Iqra Medical Journal : Jurnal Berkala
Ilmiah Kedokteran, 5(1), 40–48. https://doi.org/10.26618/AIMJ.V5I1.7646
Marcelina, R. N. (2022). MENGENAL SINDROM KORONER AKUT/SKA.
http://ners.unair.ac.id/site/index.php/news-fkp-unair/30-lihat/623-mengenal-
sindrom-koroner-akut-ska
Ningsih, H. M. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN PERAWATAN JANTUNG
PADA PASIEN ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) DENGAN
GANGGUAN PENURUNAN CURAH JANTUNG DI RUANG ICCU
RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU TAHUN 2022. –2003 ,8.5.2017 ,‫הארץ‬
2005.
Pangestika, D. D., Trisyani, Y., & Nuraeni, A. (2020). The effect of dhikr therapy
on the cardiac chest pain of acute coronary syndrome (ACS) patients. Nurse
Media Journal of Nursing, 10(2), 200–210.
https://doi.org/10.14710/nmjn.v10i2.25638
PERKI. (2020). Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung.
Sari, F. S. (2022). LAPORAN PROFESI KEPERAWATAN KOMPREHENSIF
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN UNSTABLE ANGINA
PECTORIS (UAP) DENGAN MEMBERIKAN KOMBINASI TERAPI
RELAKSASI NAPAS DALAM DAN TERAPI ZIKIR UNTUK
MENURUNKAN KELUHAN NYERI DADA.
Suhardi, F. L., & Shujuan, S. (2021). Sindroma Koroner Akut Akibat Hipoksia:
Sebuah Laporan Kasus. Faktor Presdiposisi Ibu Usia Remaja Terhadap
Pemberian ASI Eksklusif Pada Bayi Di Kecamatan Luahagundre Maniamolo
Kabupaten Nias Selatan, 2(2), 192–199.
Wati, T. P. (2022). STUDI KASUS: IMPLEMENTASI KEPERAWATAN SLOW
DEEP BREATHING DAN PSIKOEDUKASI UNTUK MENGURANGI
NYERI PADA PASIEN JANTUNG KORONER.

Anda mungkin juga menyukai