Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN NSTEMI

LAPORAN PENDAHULUAN
Diajukan sebagai salah satu syarat memenuhi tugas praktik klinik DIII
Keperawatan stase KGD dan KMB 1

Di susun oleh :
KHEMAL ZIDANE PAMUNGKAS
ASYWATUR RIZKY ARIFIANI
NADILLA SEPMITASARI
SOVANAL MAULANA

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN 2019
LAPORAN PENDAHULUAN NSTEMI

A. PENGERTIAN
Secara klinis infark akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip
dengan angina tidak stabil. Yang membedakan adalah adanya enzym
petanda jantung yang positif. Angina pektoris tidak stabil / Ustable Angina
Pektoris (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI)
diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi
dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya
tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard
berupa peningkatan biomarker jantung.
NSTEMI adalah infark miokard akut tanpa elevasi ST yang terjadi
dengan mengembangkan oklusi lengkap arteri koroner kecil atau oklusi
parsial arteri koroner utama yang sebelumnya terkena aterosklerosis. Hal
ini menyebabkan kerusakan ketebalan parsial otot jantung. Jumlah
NSTEMI sekitar 30% dari semua serangan jantung. Pada APTS dan
NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi
tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah
progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling
sensitif dan spesifik untuk nekrosis miosit dan penentuan patogenesis dan
alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-
obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik,
beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI
merupakan SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard (Smeltzer, 2010).
NSTEMI (Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction)
merupakan jenis kerusakan pada jantung yang tidak menimbulkan
kelainan khas pada hasil pemeriksaan rekam jantung. Meski tidak
seberbahaya STEMI (ST-segment Elevation Myocardial Infarction),
kondisi ini tetap perlu diwaspadai dan ditangani dengan cermat.
NSTEMI adalah salah satu jenis sindrom koroner akut. Sindrom
koroner akut sendiri adalah kondisi berbahaya yang disebabkan oleh
penyumbatan pada pembuluh darah arteri jantung. Penyumbatan ini akan
membuat jantung kekurangan oksigen.
Sedangkan pada NSTEMI, pembuluh darah arteri jantung tidak
tersumbat seluruhnya, sehingga kerusakan otot jantung tidak seberat ketika
mengalami STEMI. NSTEMI juga lebih jarang terjadi. Frekuensi
kejadiannya hanya sekitar 3 kasus per 1000 orang per tahun, atau sekitar
30% dari total kasus serangan jantung. (dr. Merry Dame Cristy Pane.
2019)
B. ETIOLOGI
NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
coroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses
vasokonstrikai coroner, sehingga terjadi eskemia miokard dan dapat
meneyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil ,
biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat
menyebabkan elevasi segmen ST , namun menyebabkan pelepasan
penanda ekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan fungsi miokard yang
dihasilkan dari penyempitan arteri coroner disebabkan oleh thrombus
nonocclusive yang telah dikembangkan pada plak ateroskletorik
terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri coroner mungkin juga yang
menyebabkan NSTEMI.
NSTEMI (Non-ST Elevation Myocardial) didapatkan kerusakan
pada plak lebih berat dan menimbulkan oklusi yang lebih persisten dan
berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼ pasien
NSTEMI, terjadi oklusi trombus yang berlangsung lebih dari 1 jam,
trombolisis terjadi spontan, resolusi vasokonstriksi dan koleteral
memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya STEMI,
sedangkan pada STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction) didapatkan
kerusakan plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan
terbentuknya trombus yang fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi
miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 (satu) jam
dan menyebabkan nekrosis miokard transmural (Ainiyah, 2016).
NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi iskemia miokard dan dapat
menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih kecil,
biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat
menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda
nekrosis.
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang
dihasilkan dari penyempitan arteri koroner disebabkan oleh thrombus
nonocclusive yang telah dikembangkan pada plak aterosklerotik
terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri koroner mungkin juga
bertanggung jawab.
Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat
disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia
berat, artritis, dan aorta Insufisiensi. Faktor resiko pada SKA (Muttaqin,
2009) dibagi menjadi :
1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah:
a. Usia
Angka morbiditas dan mortalitas penyakit SKA meningkat seiring
pertambahan usia. Sekitar 55% korban serangan jantung berusia 65 tahun
atau lebih dan yang meninggal empat dari lima orang berusia di atas 65
tahun. Mayoritas berada dalam resiko pada masa kini merupakan refleksi
dari pemeliharaan kesehatan yang buruk di masa lalu.
b. Jenis kelamin
Pria memiliki resiko yang lebih untuk terserang SKA, sedangkan
pada wanita resiko lebih besar setelah masa menopause. Peningkatan pada
wanita setelah menopause terjadi akibat penurunan kadar estrogen dan
peningkatan lipid dalam darah.
c. Riwayat keluarga
Tingkat faktor genetika dan lingkungan membantu terbentuknya
atherosklerosis belum diketahui secara pasti. Tendensi atherosklerosis
pada orang tua atau anak dibawah usia 50 tahun ada hubungan terjadinya
sama dengan anggota keluarga lain.

.
2. Faktor resiko yang dapat dirubah:
a. Merokok
Perokok memiliki resiko 2 sampai 3 kali untuk meninggal karena
SKA daripada yang bukan perokok. Resiko juga bergantung dari berapa
banyak rokok per hari, lebih banyak rokok lebih tinggi pula resikonya. Hal
ini dikaitkan dengan pengaruh nikotin dan kandungan tinggi dari
monoksida karbon yang terkandung dalam rokok.
b. Hiperlipidemia
Kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah terlibat dalam
transportasi, digesti, dan absorbs lemak. Seseorang yang memiliki kadar
kolesterol melebihi 300 ml/dl memiliki resiko 4 kali lipat untuk terkena
SKA dibandingkan yang memiliki kadar 200 mg/dl. Diet yang
mengandung lemak jenuh merupakan faktor utama yang menimbulkan
hiperlipidemia.
c. Diabetes mellitus
Aterosklerosis diketahui berisiko 2 sampai 3 kali lipat pada
diabetes tanpa memandang kadar lipid dalam darah. Predisposisi
degenerasi vaskuler terjadi pada diabetes dan metabolisme lipid yang tidak
normal memegang peranan dalam pertumbuhan atheroma.
d. Hipertensi
Peningkatan resisten vaskuler perifer meningkatkan afterload dan
kebutuhan ventrikel, hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen untuk
miokard untuk menghadapi suplai yang berkurang.
e. Obesitas
Berat badan yang berlebihan berhubungan dengan beban kerja
yang meningkat dan juga kebutuhan oksigen untuk jantung. Obesitas
berhubungan dengan peningkatan intake kalori dan kadar low density
lipoprotein.
f. Inaktifitas fisik
Kegiatan gerak dapat memperbaiki efisiensi jantung dengan cara
menurunkan kadar kecepatan jantung dan tekanan darah. Dampak terhadap
fisiologis dari kegiatan mampu menurunkan kadar kepekatan rendah dari
lipid protein, menurunkan kadar glukosa darah, dan memperbaiki cardiac
output.
g. Stres psikologis berlebihan
Stres merangsang sistem kardiovaskuler melepaskan katekolamin
yang meningkatkan kecepatan jantung dan menimbulkan vasokontriksi.
3. Faktor penyebab
a) Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada
b) Obstruksi dinamik (spasme coroner atau vasokontriksi)
c) Obstruksi mekanik yang progresif
d) Inflamasi dan atau inflamasi
e) Faktor atau keadaan pencetus

C. MANIFESTASI KLINIS
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmat (2013), terdapat perbedaan
secara bermakna antara kadar glukosa darah sewaktu yang diperiksa saat
masuk rumah sakit. Di mana lebih tinggi pada penderita STEMI
dibandingkan dengan Non - ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)
(205,8±112,3 vs 145±98,3; p=0,003). Ditinjau dari patofisiologi STEMI
dan NSTEMI, terdapat perbedaan sumbatan. Di mana pada STEMI terjadi
sumbatan total di arteri koroner sedangkan pada NSTEMI hanya terjadi
sumbatan sebagian. Selain sumbatan total terdapat pula perbedaan di mana
kadar Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) dan inflamasi yang terjadi
pada STEMI lebih tinggi dibandingkan dengan NSTEMI (Priscillah,
2017).
a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa
terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas,
dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang
dengan pemberian nitrat, gejala yang menyertai : berkeringat, pucat
dan mual, sulit bernapas, cemas, dan lemas.
b. Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau obat nitrat.
c. Kelainan lain: di antaranya atrima, henti jantung atau gagal jantung
akut.
d. Bisa atipik:
1) Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
2) Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau
gagal jantung bisa tanpa disertai nyeri dada.
Kemampuan sintesa ATP scr
D. Pathway NON STEMI
Blok sebagian aerob berkurang
Modified Risk Factor Blok pada arteri Infark Miokard
Blok total STEMI
Non-Modified Risk Factor koroner jantung
Produksi ATP Anaerob

Penimbunan trombosit
Inflamasi Sel pecah (lisis) Sel terisi ion Pompa natrium, ATP yg dihasilkan As. Laktat
dan faktor pembekuan
natrium dan air kalium berhent sangat sedikit meningkat
Kondisi Infark
Pelepasan histamin Protein intrasel Edema dan bengkak Nyeri di dada
dan prostaglandin keluar ke sistemik sekitar miokard
& intersttal
Dx: Nyeri akut
Vasokonstriksi dan Dx: Nyeri akut Jalur hantaran
tromboksan Pompa jantung tdk listrik terganggu
terkoordinasi

Dx: Penurunan Hambatan depol


Curah Jantung Vol. Sekuncup turun atrium / ventrikel Otot rangka Dx: Intoleransi
kekurangan oksigen Aktivitas
dan ATP
Penurunan TD disritmia
Respon baroreseptor
Sistemik

Komplikasi: Gagal
Hipoksia meluas,
jantung, kematan.
Aktvasi saraf simpats, sistem Parasimpats iskemia meluas,
renin-angiotensin, peningkatan berkurang infark meluas
ADH, pelepasan hormon stress Aliran darah ke perifer CRT di ekstremitas > 2 dt,
(ACTH, Kortsol), peningkatan semakin menurun pucat bahkan sianosis
prod. glukosa HR dan TPR Beban jantung
Meningkat meningkat
Dx: Insufisiensi
Darah ke ginjal Produksi urin Volume plasma Aliran balik vena Perfusi Perifer
menurun menurun meningkat meningkat
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Adapun pemeriksaan penunjang NSTEMI, yaitu:


1. Biomarker Jantung:
Troponin T dan Troponin I
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan
yang sangat penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita
Sindroma Koroner Akut (SKA).Troponin T mempunyai sensitifitas 97%
dan spesitifitas 99% dalam mendeteksi kerusakan sel miokard bahkan
yang minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan troponin I memiliki
nilai normal 0,1. Perbedaan troponin T dengan troponin I:
a) Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen
inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin.
b) Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi
mengikat tropomiosin.

2. EKG (T Inverted dan ST Depresi)


Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan
ST depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika
terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan
biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini
tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-
MB (creatine kinase-myoglobin) maupun troponin yang tetap normal,
diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika inversi gelombang T
menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan diagnosisnya
menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan),
atau oklusi yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.
NSTEMI ditetapkan apabila nyeri dada disertai gambar Elektrokardiografi
(EKG) depresi ST dan T inversi yang disertai laboratorium positif
(Halimuddin, 2016).
3.

Echo Cardiografi pada Pasien Non-ST Elevasi Miokardial Infark


a) Area Gangguan
b) Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke aorta.
Freksi pada prinsipnya adalah presentase dari selisih volume akhir
diastolik dengan volume akhir sistolik dibagi dengan volume akhir
diastolik. Nilai normal > 50%. Dan apabila < dari 50% fraksi ejeksi
tidak normal.

3. Angiografi koroner (Coronari angiografi)


Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila
pasien mengalami derajat stenosis 50% padapasien dapat diberikan obat-
obatan. Dan apabila pasien mengalami stenosis lebih dari 60% maka pada
pasien harus di intervensi dengan pemasangan stent.

F. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana awal pasien dugaan SKA (dilakukan dalam waktu 10 menit):
a. Memeriksa tanda-tanda vital
b. Mendapatkan akses intra vena
c. Merekam dan menganalisis EKG
d. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
e. Mengambil sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serta
pemeriksaan koagulasi.
f. Mengambil foto rongten thorax (<30 menit).
EKG harus dilakukan segera dan dilakukan rekaman EKG berkala untuk
mendapatkan ada tidaknya elevasi segmen ST. Troponin T/I diukur saat
masuk, jika normal diulang 6-12 jam kemudian. Enzim CK dan CKMB
diperiksa pada pasien dengan onset < 6 jam dan pada pasien pasca infark
< 2minggu dengan iskemik berulang untuk mendeteksi reinfark atau
infark periprosedural

Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner,


pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen.
Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan
sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.

 Terapi Medika Mentosa


1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan
arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload
sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen
(Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan
vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian
intravena : 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat
diganti dengan per oral.
Preparat :
Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol,
metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta
antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis
kalsium :
-
golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat
dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit
dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
-
golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam
pengobatan angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST
segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat
seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun
non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak
stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80
sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang
merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila
pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus
diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang
dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari
tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok,
infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300
mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada
saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak
stabil maupun untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama
pada kasus-kasus angina tak stabil.
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor
Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel
yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida
heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH
mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas
lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteparin,
nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan pemberian
LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan
secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah,
tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard,
tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui
untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang
menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin
(HIT).
d) Terapi Non Medika Mentosa
Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah
(penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat
(penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja
jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk
adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga
terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan
curah jantung , terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan
oksigen jantung.

G. PENGKAJIAN FOKUS
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Pada pemeriksaan keadaan umum, kesadaran klien IMA
biasanya baik atau compos mentis (CM) dan akan berubah sesuai
tingkat gangguan yang melibatkan perusi sistem saraf pusat.
2. B1 (Breathing)
Klien terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal dan
mengeluh sesak napas seperti tercekik. Dispnea kardiak biasanya
ditemukan. Sesak napas terjadi akibat pengerahan tenaga dan
disebabkan oleh kenaikan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri yang
meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Hal ini terjadi karena terdapat
kegagalan peningkatan curah darah oleh ventrikel kiri pada saat
melakukan kegiatan fisik. Dispnea kardiak pada infark miokardium
yang kronis dapat timbul pada saat istirahat
3. B2 (Blood)
 Inspeks : adanya jaringan parut pada dada klien. Keluhan lokasi
nyeri biasanya di daerah substernal atau nyeri atas pericardium.
Penyebaran nyeri dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri dan
ketidakmampuan menggerakkan bahu dan tangan.
 Palpasi : denyut nadi perifer melemah. Thrill pada IMA tanpa
komplikasi biasanya tidak ditemukan.
 Auskultasi : tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan
volume sekuncup yang disebabkan IMA. Bunyi jantung tambahan
akibat kelainan katup biasanya tidak ditemukan pada IMA tanpa
komplikasi.
 Perkusi: batas jantung tidak mengalami pergeseran
4. B3 (Brain)
Kesadaran umum klien biasanya CM. Pengkajian objektif klien,
yaitu wajah meringis, menangis, merintis, merenggang, dan menggeliat
yang merupakan respons dari adanya nyeri dada akibat infark pada
miokardium. Tanda klinis lain yang ditemukan adalah takikardia,
dispnea pada saat istirahat maupun saat beraktivitas.
5. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine dengan intake cairan klien.
Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria pada klien
dengan IMA karena merupakan tanda awal syok kardiogenik.
6. B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual dan muntah. Pada palpasi
abdomen ditemukan nyeri tekan pada keempat kuadran, penurunan
peristaltic usus yang merupakan tanda utama IMA.
7. B6 (Bone)
Aktivitas klien biasanya mengalami perubahan. Klien sering
merasa kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap,
dan jadwal olahraga teratur. perubahan postur tubuh.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload, vasokontriksi, iskemia miokard, hipertrofi ventricular,
kontraktilitas miokard
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum,
ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen
4. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan nyeri
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Penurunan curah jantung NOC: NIC:


berhubungan dengan
peningkatan afterload, Keefektifan pompa Jantung Perawatan Jantung: Akut
vasokontriksi, iskemia Status sirkulasi  Evaluasi nyeri
miokard, hipertrofi dada (intensitas, lokasi, radiasi,
ventricular Setelah dilakukan tindakan durasi, factor pemicu dan yang
keperawatan selama ... x 24 jam mengurangi)
diharapkan curah jantung klien  Instruksikan
kembali normal, dengan kriteria pasien akan pentingnya
Domain 4: melaporkan segera jika
hasil:
merasakan ketidaknyamanan di
Aktivitas/Istirahat bagian dada
Tanda Tanda vital dalam
 Monitor EKG
Kelas 4: Respons rentang normal (tekanan
sebagaimana mestinya, apakah
kardiovaskular/ Pulmonal darah: 120/80 mmHg, nadi: terdapat perubahan segmen ST
60-80 x/menit, pernafasan:  Monitor irama
16-20x/menit) jantung dan kecepatan denyut
jantung
 Auskultasi suara
jantung
 Pertahankan
lingkungan yang kondusif
untuk istirahat
 Hindari memicu
situasi emosional
Nyeri akut berhubungan NOC: NIC:
dengan agen injuri  Kaji nyeri secara komprehensif
biologis - Control nyeri dan tingkat termasuk lokasi, karakteristik,
nyeri durasi, frekuensi, kualitas, dan
Domain 12 Kenyamanan Setelah dilakukan tinfakan faktor presipitasi.
keperawatan selama …. Pasien  reaksi non verbal dari
Kelas 1 : Kenyamanan tidak mengalami nyeri, dengan ketidaknyamanan
fisik kriteria hasil:  Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
 Mampu mengontrol nyeri pengalaman nyeri pasien
(tahu penyebab nyeri, mampu  Evaluasi pengalaman nyeri
menggunakan tehnik masa lalu
nonfarmakologi untuk  Evaluasi bersama pasien dan
mengurangi nyeri, mencari tim kesehatan lain tentang
bantuan) ketidakefektifan control nyeri
 Melaporkan bahwa nyeri masa lampau.
berkurang dengan  Kontrol lingkungan yang dapat
menggunakan manajemen mempengaruhi nyeri seperti
nyeri suhu ruangan, pencahayaan, dan
 Mampu mengenali nyeri kebisingan.
(skala, intensitas, frekuensi  Kurangi faktor presipitasi nyeri.
 Kaji tipe dan sumber nyeri
dan tanda nyeri)
 Ajarkan teknik penanganan
 Menyatakan rasa nyaman
nyeri farmakologi dan
setelah nyeri berkurang
nonfarmakologi
 Tanda vital dalam rentang  Tingkatkan istirahat
normal  Kolaborasi pemberian analgetik
 Tidak mengalami gangguan untuk mengurangi nyeri
tidur

Intoleransi aktivitas NOC: NIC:


berhubungan dengan
kelemahan umum, Setelah dilakukan tindakan Manajemen energi
ketidakseimbangan keperawatan ...x24 jam, pasien
mampu bertoleransi terhadap  Kaji status fisiologis pasien
antara suplai dengan yang menyebabkan kelelahan
kebutuhan oksigen aktivitas dengan kriteria hasil : sesuai dengan konteks usia
dan perkembangan.
Domain 4 : aktivitas/ Kelelahan : efek yang
 Pilih intervensi untuk
istirahat mengganggu mengurangi kelelahan baik
secara farmakologi maupun
Kelas 2: Aktivitas fisik  Tidak terjadi penurunan
non farmakologi dengan
energi.
tepat.
 Tidak ada gangguan  Tentukan jenis dan banyaknya
dengan aktivitas sehari – aktivitas yang dibutuhkan
hari. untuk menjaga ketahanan.
 Tidak terdapat  Monitor intake dan output
perubahan nutrisi. nutrisi untuk mengetahui
 Tidak ada malaise. sumber energi yang adekuat.
Daya tahan  Monitor sistem
kardiorespirasi pasien selama
 Dapat melakukan kegiatan (misalnya takikardia,
aktivitas rutin. disritmia, dyspnea,
 Pemulihan energi saat diaphoresis, dll).
istirahat tidak  Montor lokasi dan sumber
terganggu. ketidaknyamanan/nyeri yang
 Konsentrasi dan daya dialami pasien selama
tahan otot tidak aktivitas.
terganggu.  Buat batasan untuk aktivitas
yang hiperaktif pasien saat
menggangu yang lain atau
dirinya sendiri.
 Ajarkan pasien mengenai
pengelolaan kegiatan dan
teknik manajemen waktu
untuk mencegah kelelahan.
 Bantu pasien memproritaskan
kegiatan untuk
mengakomodasi energi yang
diperlukan.
 Bantu pasien unttuk
menetapkan tujuan aktivitas
yang akan dicapai secara
realistis.
 Lakukan ROM aktif/pasif
untuk menghilangkan
ketegangan otot.
 Berikan kegiatan pengalihan
yang menenangkan untuk
meningkatkan relaksasi.

Ketidakefektifan pola NOC: NIC:


napas berhubungan Manajemen jalan napas
dengan nyeri  Status pernapasan: ventilasi  Buka jalan napas, gunakan
 Status pernapasan: teknik chin lift atau jaw thrust
kepatenan jalan nafas bila perlu
 Status vital sign  Posisikan pasien untuk
Setelah dilakukan tindakan memaksimalkan ventilasi
keperawatan selama…. Pasien  Identifikasi pasien perlunya
akan menunjukkan keefektifan pemasangan alat jalan nafas
pola napas dengan buatan
 Pasang mayo bila perlu
Kriteria hasil:  Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
 Mendemonstrasikan batuk  Keluarkan secret dengan
efektif dan suara napas yang batuk atau suction
bersif, tidak ada sianosis,  Auskultasi suara napas, catat
dan dypsneu (mampu adanya suara tambahan
mengeluarkan sputum,  Lakukan suction pada mayo
mampu pernapas dengan  Berikan bronkodilator bila
mudah, tidak ada pursed perlu
lips)  Berikan pelembab udara kassa
 Menunjukkan jalan napas basah NaCl lembab
yang paten (pasien tidak  Atur intake untuk cairan
merasa tercekik, irama mengoptimalkan
napas, frekuensi pernapasan keseimbangan
dalam rentang normal, tidak  Monitor respirasi dan status
ada suara nafas abnormal) O2
 Tanda-tanda vital dalam Terapi oksigen
rentang normal
 Bersihkan mulut, hidung dan
secret
 Pertahankan jalan napas yang
paten
 Atur peralatan oksigenasi
 Monitor aliran oksigen
 Pertahankan posisi pasien
 Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
 Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigen
Monitor vital sign

 Monitor TD, nadi, suhu, dan


RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
 Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
 Auskultasi TD pada kedua
lengan dan bandingkan
 Monitot TD, nadi, RR,
sebelum, selama, dan setelah
aktivitas
 Monitor kualitas dari nadi
 Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
 Monitor suara paru
 Monitor pola pernapasan
abnormal
 Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
 Monitor sianosis perifer
 Monitor adanya cushing triad
 Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign
Nyeri akut berhubungan NOC: NOC:
dengan agen cedera Management nyeri
biologis  Tingkat nyeri  Lakukan pengkajian nyeri
 Kontrol nyeri secara komprehensif termasuk
 Tingkat kenyamanan lokasi, karakteristik, durasi,
Setelah dilakukan tindakan frekuensi, kualitas dan faktor
keperawatan selama….nyeri presipitas
pasien teratasi dengan  Observasi reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan
Kriteria Hasil  Gunakan teknik komunikasi
teraupetik untuk mengetahui
 Mampu mengontrol nyeri pengalaman nyeri pasien
(tahu penyebab nyeri,  Kaji kultur yang
mampu menggunakan mempengaruhi respon nyeri
tehnik nonfarmakologi  Bantu pasien dan keluarga
untuk mengurangi nyeri, untuk mencari dan
mencari bantuan) menemukan dukungan
 Melaporkan bahwa nyeri  Kontrol lingkungan yang
berkurang dengan dapat mempengaruhi nyeri
menggunakan managemen seperti suhu ruangan,
nyeri pencahayaan dan kebisingan
 Mampu mengenali nyeri  Kurangi faktor prepitasi nyeri
(skala, intensitas, frekuensi  Pilih dan lakukan penanganan
dan tanda nyeri) nyeri
 Menyatakan rasa nyaman  Tingkatkan istirahat
setelah nyeri berkurang Pemberian analgesic

 Tentukan lokasi, karakteristik,


kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian
 Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari Satu
Kelebihan volume cairan NOC Fluid management
berhubungan dengan
gangguan mekanisme Electrolit and acid base  Timbang popok/pembalut jika
balance diperlukan
regulasi  Pertahankan catatan intake
Fluid balance dan output yang akurat
Hydration  Pasang urin kateter jika
diperlukan
 Monitor hasil Hb yang sesuai
dengan retensi cairan (BUN,
Kriteria Hasil :
Hmt, osmolalitas urin)
 Monitor status hemodinamik
 Terbebas dari edema,
termasuk CVP,MAP, PAP dan
efusi, anaskara
PCWP
 Bunyi nafas bersih,
tidak ada Monitor vital sign
dvspneu/ortopneu  Montor indikasi retensi /
 Terbebas dari distensi
vena jugularis, reflek kelebihan cairan (cracles,
hepatojugular (+) CVP, edema, distensi vena
 Memelihara tekanan leher, asites)
vena sentral, tekanan  Kaji lokasi dan luas edema
kapiler paru, output  Monitor masukan makanan /
jantung dan vital sign cairan dan hitung intake kalori
dalam batas normal  Monitor status nutrisi
 Terbebas dan kelelahan,  Kolaborasi pemberian diuretik
kecemasan atau sesuai interuksi
kebingungan  Kolaborasi dokter jika tanda
 Menjelaskan indikator cairan berlebih muncul
kelebihan cairan memburuk
Fluid Monitoring

 Tentukan riwayat jumlah dan


tipe intake cairan dan
eliminasi
 Tentukan kemungkinan faktor
resiko dan ketidakseimbangan
cairan (Hipertermia, terapi
diuretik, kelainan renal, gagal
jantung, diaporesis, disfungsi
hati, dll)
 Monitor berat badan, BP, HR,
dan RR
 Monitor serum dan elektrolit
urine
 Monitor serum dan osmilalitas
urine
 Monitor tekanan darah
orthostatik dan perubahan
irama jantung
 Monitor parameter
hemodinamik infasif
 Catat secara akurat intake dan
output
 Monitor adanya distensi leher,
rinchi, eodem perifer dan
penambahan BB
 Monitor tanda dan gejala dari
odema
J. REFERENSI
Ainiyah, N. (2016). Peran Perawat Dalam Identifikasi Dini Dan. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 8(2), 184–192.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).
Nursing Interventions Classification (6 ed.). (I. Nurjannah, & R. D.
Tumanggor, Penerj.) Philadephia: Elsevier.

Gayatri, N. I., Firmansyah, S., S, S. H., & Rudiktyo, E. (2016). Prediktor


mortalitas dalam rumah sakit pasien infark miokard ST elevasi ( STEMI )
akut di RSUD dr . Dradjat Prawiranegara Serang, Indonesia. Cdk, 43(3),
171–174.
Halimuddin. (2016). TEKANAN DARAH DENGAN KEJADIAN INFARK
PASIEN Blood Pressure and Infarction in Acute Coronary Syndrome
patients. Idea Nursing, VII(3), 30–36.
Heather, H. T. (2015). Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-
2017 (10 ed.). (B. A. Keliat, H. D. Windarwati, A. Pawirowiyono, & A.
Subu, Penerj.) Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
outcomes Classification (NOC) (5 ed.). (I. Nurjannah, & R. D. Tumanggor,
Penerj.) Philadelphia: Elsevier.

Priscillah, W. (2017). Perbedaan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Pada Penderita


ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) dan Non ST Elevasi Miokard Infark
(NSTEMI) di RSUD Dr. Moewardi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 6. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C & Brenda G. Beare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Ed. 8. Vol.

Anda mungkin juga menyukai