Disusun Oleh :
Ella Seftia Andhal Safitri, S. Kep
2114901011
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan kemudahan, sehingga kami dapat menyelesaian laporan pendahuluan ini
dengan lancar. Laporan pendahuluan ini telah disusun dengan semaksimal
mungkin dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan laporan pendahuluan ini.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
1. Pengertian NSTEMI
SKA merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan salah satu
dari tiga manifestasi klinis dari penyakit arteri coroner (Jones & Fix, 2009) :
Angina tak stabil
IM tanpa elevasi ST
IM dengan elevasi ST
Angina tak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi
klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui penanda
biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB)
maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak
meninggi, maka diagnosis adalah APTS (Idrus Alwi, 2006).
3. Patofisiologi
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan
oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen
miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri
koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil (Corwin,
Elizabeth 2009).
Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor
jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang
tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T
yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF α , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 merangsang
pengeluaran hsCRP di hati.
5. Klasifikasi KILLIP
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis
IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai
menggunakan klasifikasi Killip:
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA
Proporsi Mortali
Kelas Definisi
pasien tas(%)
STRATIFIKASI RISIKO
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi
untuk SKA. beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI
(Thrombolysis In Myocardial Infarction) (Tabel 4), dan GRACE (Global
Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk
stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with
Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk
menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan (Tabel 8). Stratifikasi perdarahan
penting untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan
stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya
(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel
yang masingmasingvsetara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah
usia ≥65vtahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST
pada EKG,vterdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu,
peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir.
Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel
yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko
kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian
kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian
kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi
kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk
UAP/NSTEMI (PERKI, 2015).
Klasifikasi GRACE (Tabel 6) mencantumkan beberapa variabel yaitu
usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest
saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif
dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi
mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari
rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor
risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian
<1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140
berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%).
Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko
kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan
>118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi
(>8%) (PERKI, 2015).
7. Penatalaksanaan Medis
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen.
Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan
sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan
arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload
sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen
(Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan
vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian
intravena : 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat
diganti dengan per oral.
Preparat :
Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat :Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol,
metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta
antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis
kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih
kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih
sedikit dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan
angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga
gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin,
tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun
non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak
stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80
sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang
merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila
pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus
diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang
dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari
tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok,
infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300
mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada
saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil
maupun untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama
pada kasus-kasus angina tak stabil.
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor
Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel
yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida
heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH
mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas
lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteparin,
nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah,
tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard,
tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah
disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak
stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat
menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia
akibat heparin (HIT). 21
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada
pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3
pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan
operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah
sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan
penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau
bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan
utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal
coronary angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat
menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik
didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam
arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada
di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal
ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah
pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri
atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak
sakit. Aliran darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh
yang paling sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri
mamaria interna. Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam
arteri agar tatap terbuka kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan
yang bervariasi.
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah
(penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat
(penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja
jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk
adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi
peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah
jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
Terdiagnosis NSTEMI
ASA atau Clopidogrel (Kelas I, LOE A) jika ASA tidak toleran
Strategi Konservatif
Beberapa gejala beruang seperti : iskemia, gagal jantung atau aritmia serius
Diagnosa Angiografy Evaluasi LVEF (Class I, LOE B) Stress test ( Kelas I, LOE B)
EF 0,40 atau kurang EF lebih besar dari 0,4 Not Low Risk Low Risk
9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi
akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal
terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel
miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan
oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP
secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering
didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung
dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke
otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik.
Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung
sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis).
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada
ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.
BAB III
ASKEP TEORITIS
A. Konsep Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit
(MRS), nomor register, dan diagnosa medik.
b. Keluhan Utama
1) Sesak saat bekerja, dipsnea nokturnal paroksimal, ortopnea
2) Lelah, pusing
3) Nyeri dada
4) Edema ektremitas bawah
5) Nafsu makan menurun, nausea, dietensi abdomen
6) Urine menurun
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan
pertanyaan tentang kronologi keluhan utama. Pengkajian yang
didapat dengan gejala-gejala kongesti vaskuler pulmonal, yakni
munculnya dispnea, ortopnea, batuk, dan edema pulmonal akut.
Tanyakan juga gajala-gejala lain yang mengganggu pasien.
d. Riwayat Penyakit dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien
apakah pasien sebelumnya menderita nyeri dada khas infark
miokardium, hipertensi, DM, atau hiperlipidemia. Tanyakan juga
obat-obatan yang biasanya diminum oleh pasien pada masa lalu, yang
mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki
pasienSirkulasi
Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI.
American Heart Association. 2006. Heart and Stroke Facts: 2005 Statistical
Supplement. Dallas: American Heart Association.
Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al.
2008. Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the
management of patients with ST-elevation myocardial infarction: a report
of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (51: 210–247). J Am Coll Cardiol.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition
Harrison’s Principles of Internal Medicine. New South Wales: McGraw
Hill.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. dalam Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi Pada Pasien
Infark Miokard Akut St-Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun tidak
Mendapat Terapi Reperfusi (Studi Di RSUP Dr.Kariadi Semarang).
Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro 2012. Jakarta: Interna Publishing