Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA


NON ST ELEVATION INFARK MIOCARD (NSTEMI)
DI RUANG CVCU RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG

Disusun Oleh :
Ella Seftia Andhal Safitri, S. Kep
2114901011

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Ns. Hendria Putra, M.Kep, Sp. KMB) (


)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan kemudahan, sehingga kami dapat menyelesaian laporan pendahuluan ini
dengan lancar. Laporan pendahuluan ini telah disusun dengan semaksimal
mungkin dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan laporan pendahuluan ini.

Saya berharap semoga laporan pendahuluan ini dapat menambah


pengetahuan dan bermanfaat bagi para pembaca. Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman yang kami miliki, kekurangan pasti
masih ada dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan
pendahuluan ini.

Padang, 6 Januari 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia


miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa
nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan
perubahan biomarker jantung (Kumar & Cannon, 2009). Keadaan iskemia
yang akut dapat menyebabkan nekrosis miokardial yang dapat berlanjut
menjadi Infark Miokard Akut. Nekrosis atau kematian sel otot jantung
disebabkan karena adanya gangguan aliran darah ke jantung. Daerah otot
yang tidak mendapat aliran darah dan tidak dapat mempertahankan
fungsinya, dikatakan mengalami infark (Guyton, 2007).

Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasarkan hasil EKG


menjadi Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard non
ST-elevasi (NSTEMI). Pada Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI)
terjadi oklusi total arteri koroner sehingga menyebabkan daerah infark
yang lebih luas meliputi seluruh miokardium, yang pada pemeriksaan
EKG ditemukan adanya elevasi segmen ST, sedangkan pada Infark
Miokard non ST-elevasi (NSTEMI) terjadi oklusi yang tidak menyeluruh
dan tidak melibatkan seluruh miokardium, sehingga pada pemeriksaaan
EKG tidak ditemukan adanya elevasi segmen ST (Alwi, 2009).

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa Infark Miokard Akut


adalah salah satu penyakit yang mempunyai prevalensi dan angka
kematian yang tinggi. Karena masih terbatasnya infromasi terkait dengan
adanya peningkatan kadar SGOT pada STEMI dan NSTEMI dalam darah,
maka penulis tertarik meneliti perbedaan kadar SGOT pada pasien STEMI
dan NSTEMI di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar SGOT pada STEMI dan
NSTEMI. Harapannya pada akhir penelitian ini SGOT dapat dijadikan
sebagai salah satu acuan dalam diagnostik biomarker dan prognostik pada
pasien STEMI dan NSTEMI.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan miokard infark


dengan elevasi pada NSTEMI

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan tentang konsep dasar


dan asuhan keperawatan pada pasien dengan STEMI dan NSTEMI

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa dapat memahami konsep dasar dari NSTEMI

b. Mahasiswa dapat mampu melakukan pengkajian pada pasien


NSTEMI

c. Mahasiswa mampu menegakkan diagnose keperawatan berdasarkan


prioritas pada pasien NSTEMI

d. Mahasiswa mampu merumuskan intervensi keperawatan berdasarkan


prioritas pada pasien NSTEMI

e. Mahasiswa mampu mengimplementasika intervensi keperawatan


berdasarkan prioritas pada pasien NSTEMI

f. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan yang dilakukan dan


tujuan yang ditetapkan pada pasien NSTEMI
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Pengertian NSTEMI
SKA merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan salah satu
dari tiga manifestasi klinis dari penyakit arteri coroner (Jones & Fix, 2009) :
 Angina tak stabil
 IM tanpa elevasi ST
 IM dengan elevasi ST
Angina tak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi
klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui penanda
biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB)
maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak
meninggi, maka diagnosis adalah APTS (Idrus Alwi, 2006).

NSTEMI dalah IMA yang disebabkan penurunan suplai oksigen atau


peningkatan kebutuhan oksigen jantung yang diperberat oleh obstruksi
koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi
koroner. Trombosisi ini diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil
dan biasanya plak tersebut mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot
polos yang rendah, fibrosus cap yang tipis, dan konsentrasi jaringan yang
tinggi. (Corwin, 2001).
NSTEMI adalah  adanya ketidakseimbangan antara pemintaan dan suplai
oksigen ke miokardium terutama akibat penyempitan arteri koroner akan
menyebabkan iskemia miokardium local. Iskemia yang bersifat sementara
akan menyebabkan perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan. Pada
NStemi gambaran EKG tidak ditemukn adanya elevasi pada segmen ST
(Sylvia,2006).
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh
kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2001). Infark miocard
akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan
sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak
mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton &
Hall, 2007).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori,
yaitu ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark
miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen
ST pada EKG.
 Berdasarkan lapisan otot yang terkena :
- Transmural yaitu mengenai seluruh bagian ketebalan dinding ventrikel
bersangkutan
- Subendokardial yaitu mengenai sebagian dalam miokardium
 Berdasarkan tempat oklusinya :
- Anterior mengenai desendens anterior kiri
- Posterior mengenai sirkumfleksa kiri
- Inferior mengenai koronaria kanan

2. Etiologi dan Faktor Resiko


NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI
terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner, sehingga
terjadi iskemia miokard dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard
dengan derajat lebih kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan
ini tidak dapat menyebabkan elevasi segmen ST, namun menyebabkan
pelepasan penanda nekrosis (Idrus Alwi, 2006).
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang
dihasilkan dari penyempitan arteri koroner disebabkan oleh thrombus non
occlusive yang telah dikembangkan pada plak aterosklerotik
terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri koroner mungkin juga
bertanggung jawab.
Faktor resiko
a. Yang tidak dapat diubah
 Umur (> 65 tahun)
 Jenis kelamin : insiden pada pria tinggi, sedangkan pada wanita
meningkat setelah   menopause
 Riwayat penyakit jantung coroner pada anggota keluarga di usia muda
(anggota keluarga laki-laki muda dari usia 55 tahun atau anggota
keluarga perempuan yang lebih muda dari usia 65 tahun).
 Hereditas
 Ras : lebih tinggi insiden pada kulit hitam.
b. Yang dapat diubah
 Mayor : hiperlipidemia, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, diet
tinggi lemak jenuh, kalori.
 Minor : Inaktifitas fisik, emosional, agresif, ambisius, kompetitif,
stress psikologis berlebihan.
Penentuan
risiko berdasarkan skor risiko TIMI (Thrombolysis in myocardial Infarctio) se
bagai berikut:
 Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
 Usia > 65 tahun
 Memiliki lebih dari 3 faktorrisiko penyakit jantung koroner
 Diketahhui penderita PJK atau terdapat stenosis arteri koroner > 60% 
 Lebih dari 2x episode angina dalam 24 jam terakhir
 Peningkatan enzim jantung (CKMB dan Troponin)
 Adanya deviasi segmen ST.
Beberapa faktor resiko penyebab yang dapat menimbulkan ACS antara lain:
1. Suplai oksigen ke miocard berkurang yang disebabkan oleh 3 faktor :
 Faktor pembuluh darah : 1) Aterosklerosis, 2) Spasme, 3) Arteritis\
 Faktor sirkulasi : 1) Hipotensi, 2) Stenosis aorta, 3) Insufisiensi
 Faktor darah : 1) Anemia 2) Hipoksemia 3) Polisitemia
2. Curah jantung yang meningkat :
 Aktifitas berlebihan
 Emosi
 Makan terlalu banyak
 hypertiroidisme
3. Kebutuhan oksigen miocard meningkat pada :
 Kerusakan miocard
 Hypertropi miocard
 Hypertensi diastolic

Faktor penyebab (Idrus Alwi, 2006)


No. Penyebab ST/Nstemi
1. Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada

2. Obstruksi dinamik (spasme koroner atau vasokonstriksi)

3. Obstruksi mekanik yang progresif

4. Inflamasi dan atau infeksi

5. Faktor atau keadaan pencetus

a) Trombus tidak oklusif pada plak yang sudah ada


Penyebab paling sering SKA adalah penurunan perfusi miokard oleh
karena penyempitan arteri koroner sebagai akibat dari trombus yang ada
pada plak aterosklerosis yang robek/pecah dan biasanya tidak sampai
menyumbat. Mikroemboli (emboli kecil) dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang ruptur, yang mengakibatkan infark kecil di
distal, merupakan penyebab keluarnya petanda kerusakan miokard pada
banyak pasien.
b) Obstruksi dinamik
Penyebab yang agak jarang adalah obstruksi dinamik, yang mungkin
diakibatkan oleh spasme fokal yang terus menerus pada segmen arteri
koroner epikardium (angina prinzmetal). Spasme ini disebabkan oleh
hiperkontraktilitas otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi
endotel. Obstruksi dinamik koroner dapat juga diakibatkan oleh konstriksi
abnormal pada pembuluh darah yang lebih kecil.
c) Obstruksi mekanik yang progresif
Penyebab ke tiga SKA adalah penyempitan yang hebat namun bukan
karena spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada sejumlah pasien dengan
aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi
koroner perkutan (PCI).
d) Inflamasi dan/atau infeksi
Penyebab ke empat adalah inflamasi yang mungkin menyebabkan
penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur dan trombogenesis. Makrofag
dan limfosit-T di dinding plak meningkatkan ekspresi enzim seperti
metaloproteinase, yang dapat mengakibatkan penipisan dan ruptur plak,
sehingga selanjutnya dapat mengakibatkan SKA.

e) Faktor atau keadaan pencetus


Penyebab ke lima adalah SKA yang merupakan akibat sekunder dari
kondisi pencetus diluar arteri koroner. Pada pasien ini ada penyebab
berupa penyempitan arteri koroner yang mengakibatkan terbatasnya
perfusi miokard, dan mereka biasanya menderita angina stabil yang
kronik. SKA jenis ini antara lain karena:
 Peningkatan kebutuhan oksigen miokard, seperti demam, takikardi dan
tirotoksikosis.
 Berkurangnya aliran darah coroner.
 Berkurangnya pasokan oksigen miokard, seperti pada anemia dan
hipoksemia.
Kelima penyebab SKA di atas tidak sepenuhnya berdiri sendiri dan
banyak terjadi tumpang tindih. Dengan kata lain tiap penderita mempunyai
lebih dari satu penyebab dan saling terkait.

3. Patofisiologi
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan
oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen
miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena
trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri
koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil (Corwin,
Elizabeth 2009).
Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar,
densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor
jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai
konsentrasi ester kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang
tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T
yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan
sitokin proinflamasi seperti TNF α , dan IL-6. Selanjutnya IL-6 merangsang
pengeluaran hsCRP di hati.

4. Manifestasi Klinis NSTEMI


a. Nyeri Dada

Nyeri yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina


kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang
dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada
dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut.
Biasanya nyeri dada menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke
epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya
sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM
berkaitan dengan neuropathy.
b. Sesak Nafas

Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan


akhir diastolik ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa
menimbulkan hiperventilasi. Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak
nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
c. Gejala Gastrointestinal

Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan


biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada
infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan.
d. Gejala Lain

Termasuk palpitasi, rasa pusing atau sinkop dari aritmia ventrikel


dan gelisah.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim
Jantung
Angina Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak
Pectoris istirahat/ aktivitas Inversi gelombang T meningkat
ringan (ICS III-IV). Tidak ada gelombang
Stabil
Hilang dengan nitrat Q
Lebih berat dan lama (> Depresi segmen ST Meningkat
20 menit). Tidak hilang Inversi Gelombang T minimal 2 kali
NSTEMI
dengan nitrat, perlu dalam nilai batas atas
opium normal
Lebih berat dan lama (> Elevasi segmen ST Meningkat
20 menit). Tidak hilang inversi gelombang T minimal 2 kali
STEMI
dengan nitrat, perlu nilai batas atas
opium normal

5. Klasifikasi KILLIP
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis
IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai
menggunakan klasifikasi Killip:
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA

Proporsi Mortali
Kelas Definisi
pasien tas(%)

Tidak ada tanda gagal jantung


I 40-50% 6
kongestif

Heart falure. Kriteria diagnosis


disertai adanya S3 gallop dan/atau
II 30-40% 17
ronki basah (rales) di basal paru dan
hipertensi pulmonal

Severe Heart Failure. Edema paru


IIIa 10-15% 30-40
akut (ALO)

IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80


6. Pemeriksaan Penunjang       
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa
elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis
miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih
disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan
CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer
setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.

Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan


American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark
tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup
berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga
adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak
stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan
troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk
iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau
adannya gelombang T yang negatif.
a. Pemeriksaan fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan
diagnosis banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan
fisik jika digabungkan dengan keluhan angina (anamnesis), dapat
menunjukkan tingkat kemungkinan keluhan nyeri dada sebagai
representasi SKA.
b. Biomarker Jantung
1) Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka
dan jantung. Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I
(TnI), troponin T (TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode
isoform TnC pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena itulah
tidak ada perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian,
subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan
jelas, dan immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal
ini menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac troponin.
Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji
troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi,
mirip dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap
tinggi selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin itu
sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan informasi prognostik untuk
pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara level TnI atau TnT dengan
tingkat mortalitas dan adverse cardiac event pada ACS. Mereka telah
menjadi cardiac marker pilihan untuk pasien dengan ACS.
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan
yang sangat penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita
Sindroma Koroner Akut (SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97%
dan spesitifitas 99% dalam mendeteksi kerusakan sel miokard bahkan
yang minimal sekalipun (mikro infark). Sedangkan troponin I memiliki
nilai normal 0,1. Perbedaan troponin T dengan troponin I:
 Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu
komponen inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin.
 Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi
mengikat tropomiosin.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut
akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk
diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan
angina dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka
jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of
normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang
seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan
angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat
dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar
troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam darah
perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu.
Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam 2
hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat
menetap hingga 2 minggu. Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam
darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan
sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat.
Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI, peningkatan kadar
troponin juga dapat terjadi akibat:
 Takiaritmia atau bradiaritmia berat
 Miokarditis
 Dissecting aneurysm
 Emboli paru
 Gangguan ginjal akut atau kronik
 Stroke atau perdarahan subarakhnoid
 Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB
dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam,
mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.
2) Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang
dipilih untuk diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang
kebanyakan digunakan untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di
atas level cutoff diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali lipat
batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di
miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga terdapat
pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false
positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau
miopati.
CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala,
puncaknya adalah pada 24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam.
CK-MB level walaupun sensitif dan spesifik untuk diagnosis AMI,
tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan tidak mempunyai nilai
prognostik.
3) Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total
CK x 100] dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false
positive peningkatan CK-MB  otot rangka. Rasio yang kurang dari 3
konsisten dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan
sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area.
Indeks relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan
spesifitas elevasi CK-MB untuk MI.
Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien
hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya.
Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI dan
kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat,
polymyositis), sensitifitas akan jatuh secara signifikan.  Diagnosis AMI
tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi
indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana total CK atau
CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi secara klinis
bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami peningkatan
4) Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada
MI. Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka
dan jantung. Berat molekulnya yang rendah menyebabkan
pelepasannya yang cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4 jam
setelah terjadinya infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan
kembali ke normal setelah 24-36 jam. 
Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah
kurang kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan
sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah
1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian,
mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif
negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI.
Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan
definisi origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB.
Dengan adopsi dari standar troponin untuk definisi AMI dari
ESC/ACC, sensitifitas mioglobin untuk AMI menurun
5) Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1
dan CK-MB2. CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya
dilepaskan oleh miokardium setelah MI. Kemudian berubah di serum
menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala terjadi.
Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan
tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform
jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang dari 1.
Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan
rasionya lebih dari 1,7. 
Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat
dideteksi di serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-
9 jam. Ini adalah marker awal dari AMI. Dua penelitian besar
menyebutkan bahwa sensitivitasnya adalah 92% pada 6 jam setelah
onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk CKMB dan 79% untuk
mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif sulit
dilakukan oleh laboratorium.
6) C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat
secara langsung pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang
dimulai pada awal 1990an menunjukkan bahwa level CRP yang
meningkat menunjukkan adverse cardiac events, baik pada prevensi
primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi
profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP
berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS.
Peningkatan level CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.
7) Referensi Nilai
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode
yang digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the
American Heart Association (AHA).
 Total CK   = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L
untuk perempuan.
 CKMB       = 10-13 units/L.
 Troponin T = kurang dari 0,1 ng/mL.
 Troponin I   = kurang dari 1,5 ng/mL.
 Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.
 Mioglobin     = kurang dari 110 ng/mL
Tabel 4. Cardiac marker pada MI.
Waktu Awal Waktu Puncak Waktu Kembali
Marker
Peningkatan (jam) Peningkatan (jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari
Grafik 1. Pelepasan mioglobin, CK-MB, troponin I, dan troponin
T berdasarkan waktu.
c. EKG (T Inverted dan ST Depresi)
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG
istirahat normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun
sepeda ergometer. Tujuan dari stress test adalah:
a. menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b. menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh
darah utama akan memberi hasil positif kuat
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan
ST depresi yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika
terjadi iskemia, gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan
biasanya bersifat sementara (saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini
tidak didapatkan kerusakan miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-
MB (creatine kinase-myoglobin) maupun troponin yang tetap normal,
diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun, jika inversi gelombang T
menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan diagnosisnya
menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan),
atau oklusi yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak


medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG
sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG
awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau
pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien
NSTEMI dan UAP antara lain:
 Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai
dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
 Gelombang Q yang menetap
 Nondiagnostik
 Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat
iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel
kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu dipertimbangkan
pemasangan sadapan tambahan. Depresi segmen ST ≥0,5 mm di dua atau
lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau NSTEMI,
tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil,
diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm.
Depresi segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di
beberapa sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau
NSTEMI (tingkat peluang tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai
depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T menunjukkan tingkat
persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga diagnosis yang
seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara
angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian
(rekam juga V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik dan marka jantung negatif
sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau
selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi
angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya
depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka
diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian,
depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada
dan mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat sugestif
diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk provokasi
iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG
tetap nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal
jantung. Hasil stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau
menunjukkan persangkaan tinggi UAP atau NSTEMI. Hasil stress test
negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan dan dilanjutkan dengan
rawat jalan (PERKI, 2015)
d. Echo Cardiografi  pada Pasien Non-ST Elevasi Miokardial Infark
 Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke
aorta. Freksi pada prinsipnya adalah presentase dari selisih volume
akhir diastolik dengan volume akhir sistolik dibagi dengan volume
akhir diastolik. Nilai normal > 50%. Dan apabila < dari 50% fraksi
ejeksi tidak normal.
 Angiografi koroner (Coronari angiografi)
Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila
pasien mengalami derajat stenosis 50% pada pasien dapat diberikan
obat-obatan. Dan apabila pasien mengalami stenosis lebih dari 60%
maka pada pasien harus di intervensi dengan pemasangan stent.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner
yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana
disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri
yang terkena infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati
titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke
bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan
arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami
infark dengan aliran normal.
e. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental
dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal
saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis
aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi trantorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat
darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien
tersangka SKA. Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas
sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK
obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan
marka jantung yang negatif. Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat
digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien
dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak meyakinkan (PERKI, 2015).

f. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan
dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk
tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding
yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri
sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala
atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi,
penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya
trombus intrakoroner.

STRATIFIKASI RISIKO
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi
untuk SKA. beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI
(Thrombolysis In Myocardial Infarction) (Tabel 4), dan GRACE (Global
Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk
stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with
Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk
menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan (Tabel 8). Stratifikasi perdarahan
penting untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan
stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya
(konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI.
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel
yang masingmasingvsetara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah
usia ≥65vtahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST
pada EKG,vterdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu,
peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir.
Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan variabel
yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko
kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian
kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian
kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi
kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk
UAP/NSTEMI (PERKI, 2015).
Klasifikasi GRACE (Tabel 6) mencantumkan beberapa variabel yaitu
usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest
saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif
dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi
mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari
rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor
risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian
<1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140
berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%).
Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko
kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan
>118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi
(>8%) (PERKI, 2015).
7. Penatalaksanaan Medis
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen.
Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan
sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan
arteriol perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload
sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen
(Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan
vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian
intravena : 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat
diganti dengan per oral.
Preparat :
 Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
 Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
 Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
 Isosorbid dinitrat :Isobit 5-10 mg tablet sublingual
 Isodil 5-10 mg tablet sublingual
 Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol,
metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta
antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis
kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih
kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih
sedikit dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan
angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga
gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin,
tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun
non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak
stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80
sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang
merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila
pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus
diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang
dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari
tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok,
infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300
mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada
saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil
maupun untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama
pada kasus-kasus angina tak stabil.
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor
Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel
yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida
heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH
mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas
lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteparin,
nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah,
tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard,
tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah
disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak
stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat
menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia
akibat heparin (HIT). 21
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada
pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3
pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan
operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah
sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan
penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau
bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan
utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal
coronary angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat
menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik
didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam
arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada
di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal
ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah
pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri
atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak
sakit. Aliran darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh
yang paling sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri
mamaria interna. Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam
arteri agar tatap terbuka kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan
yang bervariasi.
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah
(penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat
(penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja
jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk
adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya
berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi
peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah
jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.

PATHWAY (Arie Baldwell, 2011)

Terdiagnosis NSTEMI
ASA atau Clopidogrel (Kelas I, LOE A) jika ASA tidak toleran

Pilih manajemen strategi

Strategi Konservatif

1. Inisiasi terapi antikoagulan : Enoxaparin/UHF (Kelas I, LOE A)


2. Bivalirudin atau Fondaparinux (Kelas I, LOE A)
3. Enoxaparin dan Fondaparinux lebih baik (Kelas II a LOE B)

1. Inisiasi terapi Clopidogrel


2. Pertimbangan penambahan IV Eptifibtide atau Tirofiban (Kelas IIb, LOE B)

Beberapa gejala beruang seperti : iskemia, gagal jantung atau aritmia serius

Diagnosa Angiografy Evaluasi LVEF (Class I, LOE B) Stress test ( Kelas I, LOE B)

EF 0,40 atau kurang EF lebih besar dari 0,4 Not Low Risk Low Risk

1. Lanjutkan ASA 75-162 mg (Kelas I, LOE A)


2. Lanjutkan Clopidogrel 75 mg untuk kurang lebih satu
bulan ( Kelas I, LOE A) dan lebih idealnya 1 tahun
(Kelas I, LOE B)
3. Jangan lanjutkan IV GP II/IIIa jika memulai sebelumnya
(Kelas I, LOE A)
4. Jangan lanjutkan terapi antikoagulan (Kelas I, LOE A)
8. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan
BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi,
hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga
untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan
jantung.

9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi
akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal
terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel
miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan
oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP
secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering
didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung
dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke
otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik.
Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung
sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis).
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada
ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.

BAB III

ASKEP TEORITIS
A. Konsep Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit
(MRS), nomor register, dan diagnosa medik.
b. Keluhan Utama
1) Sesak saat bekerja, dipsnea nokturnal paroksimal, ortopnea
2) Lelah, pusing
3) Nyeri dada
4) Edema ektremitas bawah
5) Nafsu makan menurun, nausea, dietensi abdomen
6) Urine menurun
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan
pertanyaan tentang kronologi keluhan utama. Pengkajian yang
didapat dengan gejala-gejala kongesti vaskuler pulmonal, yakni
munculnya dispnea, ortopnea, batuk, dan edema pulmonal akut.
Tanyakan juga gajala-gejala lain yang mengganggu pasien.
d. Riwayat Penyakit dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien
apakah pasien sebelumnya menderita nyeri dada khas infark
miokardium, hipertensi, DM, atau hiperlipidemia. Tanyakan juga
obat-obatan yang biasanya diminum oleh pasien pada masa lalu, yang
mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki
pasienSirkulasi

e. Riwayat penyakit keluarga


Apakah ada keluarga pasien yang menderita penyakit jantung, dan
penyakit keteurunan lain seperti DM, Hipertensi. Diagnosa
Keperawatan
2. Pengkajian Data
a. Aktifitas dan istirahat : adanya kelelahan, insomnia, letargi, kurang
istirahat, sakit dada, dipsnea pada saat istirahat atau saat beraktifitas.
b. Sirkulasi : riwayat hipertensi, anemia, syok septik, asites, disaritmia,
fibrilasi atrial,kontraksi ventrikel prematur, peningkatan JVP,
sianosis, pucat.
c. Respirasi : dipsnea pada waktu aktifitas, takipnea, riwayat penyakit
paru.
d. Pola makan dan cairan : hilang nafsu makan, mual dan muntah.
e. Eliminasi : penurunan volume urine, urin yang pekat, nokturia, diare
atau konstipasi.
f. Neuorologi : pusing, penurunan kesadaran, disorientasi.
g. Interaksi sosial : aktifitas sosial berkurang
h. Rasa aman : perubahan status mental, gangguan pada kulit/dermatitis
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Kesadaran dan keadaan emosi, kenyamanan,
distress, sikap dan tingkah laku pasien.
b. Tanda tanda vital
1) Tekanan Darah
Nilai normalnya :
Nilai rata-rata sistolik : 110-140 mmHg
Nilai rata-rata diastolik : 80-90 mmHg
2) Nadi
Nilai normalnya : Frekuensi : 60-100x/menit (bradikardi atau
takikkardi)
3) Pernapasan
Nilai normalnya : Frekuensi : 16-20 x/menit
Pada pasien : respirasi meningkat, dipsnea pada saat istirahat /
aktivitas
4) Suhu Badan
Metabolisme menurun, suhu menurun
c. Head to toe examination
1) Kepala : bentuk , kesimetrisan
2) Mata: konjungtiva: anemis, ikterik atau tidak ?
3) Mulut: apakah ada tanda infeksi?
4) Telinga : kotor atau tidak, ada serumen atau tidak, kesimetrisan
5) Muka; ekspresi, pucat
6) Leher: apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dan limfe
7) Dada: gerakan dada, deformitas
8) Abdomen : Terdapat asites, hati teraba dibawah arkus kosta
kanan
9) Ekstremitas: lengan-tangan:reflex, warna dan tekstur kulit,
edema, clubbing, bandingakan arteri radialis kiri dan kanan.
10) Pemeriksaan khusus jantung
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
a. Gangguan pertukaran gas b.d perubahan membran alveolus-kapiler
b. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas (mis: nyeri saat
bernafas)
c. Penurunan curah jantung b.d perubahan preload / perubahan afterload
/ perubahan kontraktilitas
d. Nyeri akut b.d gen penedera fisiologis (Mis: Iskemia)
e. Intoleransi aktifitas b.d kelemahan
4. Intervensi Keperawatan

Standar Standar Luaran Standar Intervensi


Diagnosa Keperawatan Indonesia Keperawatan Indonesia
Keperawatan (SLKI) (SIKI)
Indonesia
(SDKI)
Gangguan Tujuan : (Pemantauan Respirasi
pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan I.01014)
b.d perubahan keperawatan diharapkan 1. Monitor frekuensi irama,
membran pertukaran gas meningkat. kedalaman dan upaya
alveolus- nafas
kapiler Kriterian hasil : 2. Monitor pola nafas
(Pertukaran gas 3. Monitor kemampuan
L.01003) batuk efektif
1. Dipsnea menurun 4. Monitor nilai AGD
2. bunyi nafas tambahan 5. Monitor saturasi oksigen
menurun 3.pola nafas 6. Auskultasi bunyi nafas
membaik 7. Dokumentasikan hasil
3. PCO2 dan O2 membaik pemantauan
8. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
9. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
10. Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktifitas
dan/atau tidur
Pola nafas Tujuan : (Manajemen jalan nafas
tidak efektif Setelah dilakukan tindakan I.01011)
b.d hambatan keperawatan diharapkan 1. Monitor pola nafas
upaya nafas pola nafas membaik. (frekuensi, kedalaman,
(mis: nyeri usaha nafas)
saat bernafas) Kriteria hasil : 2. Monitor bunyi nafas
Pola Nafas (L.01004) tambahan (mis: gagling,
1. Frekuensi nafas dalam mengi, Wheezing, ronkhi)
rentang normal 3. Monitor sputum (jumlah,
2. Tidak ada warna, aroma)
pengguanaan otot 4. Posisikan semi fowler
bantu pernafasan atau fowler
3. Pasien tidak 5. Ajarkan teknik batuk
menunjukkan tanda efektif
dipsnea 6. Kolaborasi pemberian
bronkodilato, ekspetoran,
mukolitik, jika perlu.
Penurunan Tujuan : (Perawatan jantung I.02075)
curah jantung setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi tanda/gejala
b.d perubahan keperawatan diharapkan primer penurunan curah
preload / curah jantung meningkat. jantung
perubahan 2. Identifikasi tanda/gejala
afterload / Kriteria hasil : sekunder penurunan curah
perubahan (curah jantung jantung
kontraktilitas L.02008) 3. Monitor intake dan output
1. Tanda vital dalam cairan
rentang normal 4. Monitor keluhan nyeri
2. Kekuatan nadi dada
perifer meningkat 5. Berikan terapi terapi
3. Tidak ada edema relaksasi untuk
mengurangi strees, jika
perlu
6. Anjurkan beraktifitas fisik
sesuai
7. toleransi
8. Anjurkan berakitifitas
fisik secara bertahap
9. Kolaborasi pemberian
antiaritmia,
10. jika perlu
Nyeri akut Tujuan : setelah (Manajemen nyeri I.08238)
b.d gen dilakukan tindakan 1. Identifikasi lokasi,
penedera keperawatan diharapkan karakteristik nyeri, durasi,
fisiologis tingkat nyeri menurun. frekuensi, intensitas nyeri
(Mis: 2. Identifikasi skala nyeri
Iskemia) Kriteria hasil : 3. Identifikasi faktor yang
Tingkat nyeri memperberat dan
(L.08066) memperingan nyeri
1. Pasien mengatakan 4. Berikan terapi non
nyeri berkurang dari farmakologis untuk
skala 7 menjadi 2 mengurangi rasa nyeri
2. Pasien menunjukkan 5. Kontrol lingkungan yang
ekspresi wajah tenang memperberat rasa nyeri
3. Pasien dapat beristirahat (mis: suhu ruangan,
pencahayaan,kebisingan)
dengan nyaman
6. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
7. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi nyeri
8. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI.

American Heart Association. 2006. Heart and Stroke Facts: 2005 Statistical
Supplement. Dallas: American Heart Association.

American Heart Association. 2007. Management of Patients with Unstable


Angina/Non-ST-Elevation Myocardial Infrction. Dallas: American Heart
Association.

Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al.
2008. Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the
management of patients with ST-elevation myocardial infarction: a report
of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines (51: 210–247). J Am Coll Cardiol.

Corwin, E.J. 2001. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U.


Jakarta: EGC;
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi. Edisi 3. EGC. Jakarta
Faqih, R.,. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Malang: UMM Press

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition
Harrison’s Principles of Internal Medicine. New South Wales: McGraw
Hill.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Levefer, J.,. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik


dengan Implikasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman
Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Edisi Ketiga. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.

Prasetyo, J., B.,. (2003). Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. dalam Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi Pada Pasien
Infark Miokard Akut St-Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun tidak
Mendapat Terapi Reperfusi (Studi Di RSUP Dr.Kariadi Semarang).
Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro 2012. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai