PENDAHULUAN
Salah satu penyakit yang merupakan masalah kesehatan terbesar yang di Indonesia
diantaranya adalah kecacingan, biasanya ditularkan melalui tanah yaitu Ascris lumbricoides
(cacing gelang). Jika seseorang terkena cacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan gizi, kecerdasan dan produktifitas. Kecacingan juga menyebabkan kehilangan
karbohidrat, protein serta darah sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Prevelensinya di Indonesia umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk
yang kurang mampu dan sanitasi yang terbilang buruk, prevelensinya yaitu antara 2,5% -
62%.
Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang perlu penanganan serius terutama di
daerah tropis karena cukup banyak penduduk (utamanya anak-anak) yang menderita
kecacingan. Penyakit kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh
terhadap penyakit dan terhambatnya tumbuh kembang anak karena cacing mengambil sari
makanan yang penting bagi tubuh seperti protein, karbohidrat, dan zat besi yang dapat
menyebabkan anemia. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan kecerdasan atau
intelegensia anak.
Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing. Beberapa jenis cacing yang
dapat menyebabkan kecacingan yaitu cacing kremi (Oxyuris vermicularis/Enterobius
vermicularis/threadworm/pinworm), cacing gelang (Ascaris lumbricoides/roundworm),
cacing tambang/hookworm (Necator americanus, Ancylostoma duodenale), cacing cambuk
(Trichuris trichiura), dan cacing pita (Taenia saginata dan Taenia solium). (Referensi
PIONAS)
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Patofisiologi Kecacingan
Gambar 1. Patofisiologi
Kerusakan langsung
Disebabkan oleh aktivitas cacing itu sendiri, seperti penyumbatan organ dalam atau efek
tekanan langsung oleh parasit yang tumbuh.
Ascaris dewasa memblokir usus yang menyebabkan obstruksi usus halus, volvulus, atau
intususepsi, terutama pada anak-anak, atau dapat menyerang orifisium yang
menyebabkan apendisitis, kolesistitis, pankreatitis, dan ascariasis lambung. Migrasi
Ascaris juga dapat memblokir saluran empedu dan juga dapat mengubah mikrobiota
usus. Perdarahan mukosa dari saluran pencernaan bagian atas atau peradangan umum
menyebabkan anemia.
Trichuris terletak di mukosa usus dan dapat menyebabkan lesi petekie, perdarahan
mukosa bercak, keluarnya cairan, dan peradangan usus besar. Ini juga dapat
menyebabkan anemia parah pada wanita hamil. [3] [16]
Infeksi Schistosomiasis didapat melalui kontak dengan air tawar yang terkontaminasi,
terutama saat berenang atau mencuci. [11] [17] Deposisi telur schistosome di dalam hati
dan kandung kemih dapat membentuk granuloma di sekitar telur ini yang dapat
menghalangi aliran darah di hati yang menyebabkan perubahan patologis seperti
fibrosis periportal dan telah dikaitkan dengan neoplasia. Menariknya, fibrosis periportal
ini memiliki fungsi hepatoseluler yang berbeda dari penyebab sirosis lainnya. Cacing
hati ini juga dapat menyebabkan hiperplasia saluran empedu. [16] [18] [19] [20]
Wuchereria bancrofti menyebabkan obstruksi limfatik yang mengarah ke kaki gajah
[16] [1] Kista hidatidosa yang disebabkan oleh infeksi cacing pita larva (Echinococcus
granulosus) menyebabkan atrofi tekanan.
Taenia solium, cacing pita babi, sering berkembang di usus menyebabkan taeniasis, dan
di sistem saraf pusat menyebabkan sistiserkosis. [16] [18] [21]
Ancylostoma dan Necator membenamkan gigi mereka ke dalam mukosa dan
submukosa, menciptakan tekanan negatif dengan mengontrak esofagus otot mereka
yang menyebabkan pecahnya kapiler dan arteriol dan secara aktif menghisap darah.
Pembuluh darah pecah oleh kompresi mekanis dan enzim hidrolitik yang disekresikan
oleh cacing tambang ini. Cacing ini juga mengeluarkan antikoagulan yang
menyebabkan perdarahan berkepanjangan dan, akhirnya, kehilangan darah yang
signifikan. Mereka dapat menyebabkan anemia yang signifikan, terutama pada anak-
anak dan wanita hamil, bersama dengan schistosomiasis, ini dapat meningkatkan
prematuritas neonatal dan morbiditas dan mortalitas ibu, juga menyebabkan hilangnya
protein oleh inflamasi.
Diphyllobothrium latum menyebabkan kekurangan vitamin B12 dengan mengganggu
penyerapan melalui usus. Migrasi melalui jaringan tubuh, banyak cacing menyebabkan
kerusakan jaringan langsung dan juga oleh reaksi hipersensitivitas, sedangkan organ
yang paling banyak terkena adalah kulit, paru-paru, hati, dan usus.
Kerusakan tidak langsung:
Kerusakan tidak langsung dilakukan oleh respon imun inang terhadap cacing.
Semua cacing bersifat antigenik bagi tubuh karena merupakan benda asing dan
merangsang respons imun. Penyumbatan limfatik oleh W. bancrofti dan pembentukan
granuloma oleh skistosom di hati dan kandung kemih berhubungan dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap cacing ini.
Strongyloides dan Trichinella dapat menyebabkan peradangan usus yang
berkepanjangan yang menyebabkan atrofi vili; dalam kasus yang parah, dapat
menyebabkan enteropati kehilangan protein.
Stercoralis dapat menyebabkan sindrom Loeffler melalui reaksi hipersensitivitas tipe 1.
Trichuris, yang juga dikenal sebagai cacing cambuk, dapat menyebabkan radang usus
besar yang menyebabkan kehilangan darah dan prolaps rektal.
Kerusakan tidak langsung tergantung pada tingkat keparahan peradangan dan lamanya
peradangan. Jika durasinya berkepanjangan, banyak cacing menghasilkan kerusakan
inflamasi yang luas pada jaringan yang merupakan hilangnya jaringan secara permanen
dan tidak dapat diubah, seperti hiperplasia saluran empedu oleh infeksi jangka panjang
cacing hati, fibrosis yang disebabkan oleh schistosomiasis dan atrofi kulit yang
disebabkan oleh onchocerciasis
II.1.2 Etiologi Kecacingan
Infeksi parasit usus seringkali menyebabkan morbiditas dan mortalitas terutama pada
anak-anak. Faktor risiko utama kecacingan adalah daerah pedesaan, status sosial ekonomi
rendah, sanitasi yang buruk, ketersediaan air bersih yang buruk, kebersihan pribadi yang
buruk, kurangnya pemangkasan kuku, kondisi kehidupan yang padat, kurangnya
pendidikan, kurangnya akses ke perawatan kesehatan, dan tempat tinggal yang tidak
memadai. kondisi.
lumbricoides dan T. trichiura ditularkan melalui jalur fekal-oral. Ascaris dewasa adalah
cacing silinder yang panjang, dan larvanya dapat bermigrasi ke sirkulasi paru, tetapi T.
trichiuria tidak bisa.
duodenale dan N. americanus ditularkan melalui penetrasi kulit dari tempat ia masuk ke
paru-paru dan melintasi kapiler paru untuk menembus ke dalam alveolus dan kemudian
ke usus melalui laring. N americanus secara global dominan dibandingkan dengan A.
duodenale. S. stercoralis dapat menginfeksi perkutan dan oral. [4] [7] [9] [10]
Kebersihan ibu atau pengasuh yang buruk juga merupakan salah satu faktor risiko
terpenting untuk infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah pada anak-anak
prasekolah. [4]
Infeksi schistosomiasis biasanya ditularkan dari kontak dengan siput air tawar saat
berenang atau mencuci. Schistosomiasis menyebabkan peradangan kronis yang
menghasilkan radikal bebas oksigen. Radikal bebas ini bertanggung jawab atas berbagai
mutasi dan pembentukan N-nitrosamin karsinogenik yang menyebabkan karsinoma
kandung kemih dan fibrosis saluran portal. [11] [12]
Diphyllobothriasis paling sering terjadi oleh spesies D. latum dari konsumsi larva
cacing pita ikan.
II.1.3 Jenis Cacing Penginfeksi dan Siklus Hidup
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Cacing jantan mempunyai panjang 10-30 cm sedangkan cacing betina 22-35 cm.
Cacing betina dapat bertelur 100 000 - 200 000 butir sehari, terdiri atas telur dibuahi
dan telur tidak dibuahi. Di tanah yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Bila telur infektif tertelan, telur
akan menetas menjadi larva di usus halus. Selanjutnya larva menembus dinding usus
halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu terbawa aliran darah ke jantung
dan paru. Di paru, larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus,
masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari
trakea larva menuju ke faring dan menimbulkan rangsangan di faring sehingga
penderita batuk dan larva tertelan ke dalam esofagus, lalu ke usus halus.
III. SWAMEDIKASI
1. OBAT-OBAT SINTETIS (Permenkes No. 15 thn 2017)
1) Albendazol
Albendazol merupakan obat cacing berspektrum luas. Obat bekerja dengan
menghambat pembentukan energi cacing sehingga mati. Albendazol juga memiliki
efek larvisida terhadap cacing gelang (A. lumbricoides) dan cacing tambang serta
memiliki efek ovisida terhadap cacing gelang (A.lumbricoides), cacing tambang
(A.duodenale) dan cacing cambuk (T.trichiura).
Setelah pemberian oral, albendazol akan segera mengalami metabolisme lintas
pertama dihati menjadi metabolit aktif albendazol-sulfoksida. Absorbsi obat akan
meningkat bila diberikan bersama makanan berlemak.
Waktu paruh albendazol adalah 8 – 12 jam dengan kadar puncak plasma dicapai
dalam 3 jam.
Pada pasien dewasa dan anak usia 2 tahun diberikan dosis tunggal 400 mg per
oral. Untuk askariasis berat dapat diberikan selama 2 – 3 hari. WHO
merekomendasikan dosis 200 mg untuk anak usia antara 12 – 24 bulan. Penggunaan
yang tidak lebih dari 3 hari, hampir bebas dari efek samping. Efek samping biasanya
ringan dan berlangsung sekilas yaitu rasa tidak nyaman di lambung, mual, muntah,
diare, nyeri kepala, pusing, sulit tidur dan lesu.
Albendazol tidak boleh diberikan pada Penderita yang memiliki riwayat
hipersensitivitas terhadap obat golongan benzimidazol dan penderita sirosis. Pada
askariasis berat, dapat terjadi erratic migration yaitu hiperaktivitas A. lumbricoides
yang bermigrasi ke tempat lain dan menimbulkan komplikasi serius seperti sumbatan
saluran empedu, apendisitis, obstruksi usus dan perforasi intestinal yang disertai
peritonitis. Pada pasien dengan demam serta wanita hamil trimester satu. Pengobatan
dapat ditunda bila terdapat salah satu kontra indikasi di atas.
2) Mebendazol
Mebendazol memiliki mekanisme kerja yang sama dengan albendazol.
Setelah pemberian oral, kurang dari 10% obat akan diabsorpsi kemudian diubah
menjadi metabolit yang tidak aktif dengan waktu paruh 2 – 6 jam. Ekskresi terutama
melalui urin dan sebagian kecil melalui empedu. Absorpsi akan meningkat bila
diberikan bersama makanan berlemak.
Dosis untuk dewasa dan anak usia lebih dari 2 tahun adalah 2 X 100 mg/hari,
selama 3 hari berturut-turut untuk askariasis, cacing tambang dan trikuriasis. Sebelum
ditelan sebaiknya tablet dikunyah lebih dulu. Pemberian jangka pendek hampir bebas
dari efek samping yaitu mual, muntah, diare dan nyeri perut yang bersifat ringan. Pada
dosis tinggi sehingga ada efek sistemik dapat terjadi agranulositosis, alopesia,
peningkatan enzim hati dan hipersensitivitas. Kontraindikasi untuk ibu hamil karena
ditemukan efek teratogenik pada hewan coba. Pada anak usia dibawah 2 tahun, perlu
berhati hati karena data penggunaan masih terbatas dan ada laporan terjadi kejang.
Seperti pada albendazol erratic migration dapat terjadi pada askariasis berat.
3) Pirantel pamoat
Pirantel pamoat efektif untuk askariasis dan cacing tambang. Obat tersebut
bekerja sebagai neuromuscular blocking agent yang menyebabkan pelepasan
asetilkolin dan penghambatan kokinesterase sehingga menghasilkan paralisis spastik.
Dosis yang dianjurkan 10 mg-11 mg/kg BB per oral, maksimum 1 gram, tidak
dipengaruhi oleh makanan. Efek sampingnya jarang, ringan dan berlangsung sekilas
antara lain mual, muntah, diare, kram perut, pusing, mengantuk, nyeri kepala, susah
tidur, demam, lelah. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi hati, karena dapat
meningkatkan serum amino transferase pada sejumlah kecil Penderita yang
memperoleh pirantel. Data penggunaan obat pada ibu hamil dan anak usia dibawah 1
tahun masih terbatas, oleh karena itu penggunaan untuk kelompok tersebut tidak
dianjurkan.
2. OBAT-OBAT HERBAL
A. Tanaman herbal (Kemenkes RI, 2011)
Petai cina
Gambar 9. Pepaya
Nama tanaman : Pepaya
Spesies : Carica papaya
Kandungan : Karpain dan BITC (benzyl isothiocynate) berperan sebagai
antihelmintik
Kegunaan : Obat cacing kremi
Dosis : 2 x sehari
Cara pembuatan : sekitar 5 biji pepaya dikeringkan, kemudian direbus dan
saring, lalu dikonsumsi
B. Sediaan herbal (BPOM, 2018)
Hermuno®
Komposisi : andrographis paniculta 100 mg
Centella asiatica 100 mg
Curcuma xanthorriza rhizoma 100 mg
Phyllantus niruni 200 mg
Bentuk sediaan : kapsul
Dosis/aturan pakai : 500 mg / 2 x sehari 1 kapsul (untuk dewasa)
Pro Herbarix®
Komposisi : Daun jati belanda, kemuning, teh hijau, asam gelugur
Bentuk sediaan : kapsul
Dosis/aturan pakai : 500 mg / 1 x sehari 2 kapsul
Ecositin®
Komposisi : Buah pare, akar jahe, akar kunyit, biji palm sirih
Bentuk sediaan : kapsul
Dosis/aturan pakai : 500 mg / 2 x sehari 1 kapsul
IV. PEMBAHASAN
V. KESIMPULAN
Cacingan merupakan penyakit endemik dan kronik dengan prevalensi
tinggi. Penyakit itu memang tidak mematikan, namun dapat menggerogoti kesehatan
dan menurunkan mutu sumber daya manusia. Ada 3 jenis cacing yang hidup dan
berkembang biak sebagai parasit di dalam tubuh manusia seperti cacing gelang
hidup, dengan mengisap sari makanan, cacing cambuk selain mengisap makanan
juga mengisap darah, sedangkan cacing tambang hidup dengan mengisap darah saja,
sehingga penderita cacingan akan kurus, dan kurang gizi, pada gilirannya menjadi
mudah lelah, malas belajar, daya tangkap menurun bahkan mengalami gangguan
pencernaan (diare) yang berujung pada rendahnya mutu sumber daya manusia dan
merosotnya produktivitas.
Meskipun penyakit cacingan tidak mematikan, namun cacingan bisa
menurunkan kualitas hidup penderitanya, bahkan mengakibatkan kurang darah
(anemia) dan pada anak-anak mengakibatkan kebodohan. Sekitar 40-60 %
penduduk Indonesia menderita cacingan dan data WHO menyebutkan lebih dari
satu miliar penduduk dunia juga menderita cacingan (WHO, 2011).
A. Faktor Resiko Penyakit Cacingan
Penyakit cacingan lebih rentan menyerang seseorang dengan faktor resiko
berikut :
1) Usia
Penyakit cacingan sering dialami anak berusia 10 tahun atau kurang.
Anak-anak dikelompok ini rentan menderita penyakit cacingan karena
mereka kerap bermain di tanah.
2) Daerah bersuhu hangat
Prevalensi peyakit cacingan cenderung lebih sering terjadi di negara-
negara berkembang yang memiliki suhu hangat sepanjang tahun.
3) Sanitasi lingkungan
Kondisi sanitasi lingkungan sangat erat hubungannya dengan
cacingan. Hal ini dikarenakan sanitasi lingkungan yang tidak memadai
dapat menjadi sumber penularan cacing pada tubuh manusia (Mardiana,
2008).
Penyakit cacingan biasanya terjadi dilingkungan yang kumuh terutama
didaerah kota dan daerah pinggiran. Jumlah prevalensi Ascaris lumbricoide banyak
ditemukan didaerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakatnya sebagian besar
masih hidup dalam kekurangan (dachi, 2005).
Data direktorat penyehatan lingkungan depatemen kesehatan
memperlihatkan, kondisi sanitasi yang buruk memicu angka kematian anak akibat
paparan penyakit cacingan diare, tipus dan polio. Khusus tentang prevalensi
cacingan. Depkes, pada tahun 2007 menyebutkan sekitar 35,3% penduduk indonesia
diperkirakan terpapar cacingan (Sudarianto, 2012).
B. Patofisiologi Penyakit Cacingan
Ginting (2008) mengatakan bahwa cacing yang menembus kulit akan masuk
ke aliran darah, lalu menuju jantung kanan, kemudian ke paru-paru, dan
berkembang biak di paru-paru lalu menuju usus halus saat dewasa. Setelah telur
menetas di dalam paru-paru, larva cacing akan naik untuk berimigrasi kembali ke
usus halus, dimana pada kondisi ini penderita akan mengalami batuk disertai dahak
yang berdarah dan kadang berisi larva cacing yang dapat hidup hingga 8 hari pada
kondisi lembab (WHO, 2016).
C. Pengobatan Cacingan
Pengobatan penyakit cacingan dapat berbeda-beda tergantung jenis cacing
yang menyebabkan penyakit (Sembiring, 2012). Untuk Obat berupa Mebendazol,
Pirantel Pamoat, Levamisol, dan Piperazin yang diperuntukkan obat cacing secara
umum dapat dibeli di apotek pada berbagai macam merk dagang, namun pada kasus
cacing pita memerlukan terapi dengan golongan obat keras yang hanya dapat
diperoleh dengan resep dokter (BPOM RI, 2012). Hotez dkk (2013) mengatakan
bahwa Major Global Helminthic Desease Control Initiatives memiliki target
pemenuhan obat cacingan pada anak berupa albendazole dan mebendazole pada
tahun 2020.
VII. DISKUSI
1. Pertanyaan
2. jawaban