Anda di halaman 1dari 63

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Perapotekan di Apotek Kimia Farma 38 Sultan
Hasanuddin Makassar, dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan studi pada Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) di Fakultas
Farmasi Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa selama melaksanakan kegiatan PKPA ini,


terdapat tantangan yang dihadapi. Namun berkat adanya bantuan dan doa dari
berbagai pihak, sehingga penulis mampu menyelesaikan rangkaian kegiatan selama
PKPA hingga saat ini. Oleh sebab itu, penulis secara khusus mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Aminullah., S.Si. M.Pharm.Sc., Apt sebagai pembimbing
teknis PKPA Farmasi Perapotekan, Bapak Andi Muh Afif Maralla, S.Si., Apt
selaku manager dari apotek Kimia Farma 38 Sultan Hasanuddin yang telah
memberi kesempatan kepada penulis untuk senantiasa menggali ilmu selama
pelaksanaan PKPA Perapotekan, juga kepada koordinator PKPA Farmasi
Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin.

Penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada kedua orang tua
dan saudara yang senantiasa memberi dukungan kepada penulis, serta kepada
apoteker penanggung jawab apotek, seluruh asisten apoteker dan pegawai Apotek
Kimia Farma 38 Sultan Hasanuddin yang telah membantu penulis selama
melaksanakan PKPA ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan sehingga laporan ini


jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Makassar, 2019

Indy Safitri

iii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Tujuan Pelayanan Resep 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
II.1. Definisi, Tugas dan Fungsi Apotek 3
II.1.1. Definisi Apotek 3
II.1.2. Tugas dan Fungsi Apotek 3
II.2. Pelayanan, Tugas dan Wewenang Apotek 4
II.2.1. Definisi Apoteker 4
II.2.2. Tugas dan Wewenang Apoteker 4
II.3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apoteker 6
II.3.1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai 7
II.3.2. Pelayanan Farmasi Klinik 9
II.4. Penggolongan Obat 12
II.4.1. Obat Bebas 12
II.4.2. Obat Bebas Terbatas 13
II.4.3. Obat Keras 14
II.4.3.1. Obat Wajib Apotek 15
II.4.3.2. Psikotropika 16
II.4.4. Narkotika 19
II.5. Prekursor Farmasi 22

iv
BAB III PELAYANAN RESEP DI APOTEK 24
III.1. Contoh Resep 24
III.2. Kajian Resep 25
III.2.1. Skrining adminstratif 25
III.2.2. Skrining farmasetik 26
III.2.3. Skrining klinis 27
III.3. Uraian Obat dalam Resep 37
III.4. Penyiapan Obat 43
III.4.1. Resep racikan 43
III.4.2. Resep non-racikan 44
III.5. Etiket dan copy resep 44
III.5.1. Etiket 45
III.5.2. Copy resep 46
III.6. Penyerahan Obat 47
BAB IV PENUTUP 49
IV.1. Kesimpulan 49
IV.2. Saran 49
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN 52

v
DAFTAR TABEL

Tabel halaman
1. Skrining administratif resep 25
2. Interaksi obat dalam resep 36

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman
1. Penandaan golongan obat bebas 13
2. Penandaan golongan obat bebas terbatas 13
3. Tanda peringatan obat bebas terbatas 14
4. Penandaan golongan obat keras 15
5. Penandaan obat narkotika 20
6. Contoh resep 24
7. Etiket resep Cefspan® sirup 45
8. Etiket resep racikan 45
9. Etiket resep Sanmol® sirup 45
10. Copy resep 46

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman
1. Contoh surat pesanan narkotika 52
2. Contoh surat pesanan psikotropika 53
3. Contoh surat pesanan obat jadi prekursor 54
4. Form Pelaporan Penggunaan Obat Golongan Morfin,
Pethidin, dan Derivatnya 55
5. Form Pelaporan Penggunaan Obat Golongan Narkotika 56
6. Form Pelaporan Penggunaan Obat Mengandung Prekursor 57

viii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pelayanan resep merupakan salah satu pelayanan kefarmasian di apotek yang
mempunyai peranan strategis dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Dimana resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi,
dokter hewan dan prakitisi lain yang memiliki izin kepada apoteker pengelola
apotek untuk menyediakan, membuat obat dan menyerahkannya kepada pasien.
Pelayanan resep di apotek saat ini harus berubah orientasi dari drug oriented
menjadi patient oriented yang tadinya hanya berfokus pada pengelolaan obat
sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dan bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Bogadenta, A, 2012).

Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian di masyarakat, telah


dikeluarkan standar pelayanan kefarmasian di apotek menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 73 Tahun 2016 dimana meliputi pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik. Standar
pelayanan farmasi klinik yang terdiri dari kegiatan pengkajian resep, dispensing,
pelayanan informasi obat, konseling dengan pasien, pelayanan kefarmasian di
rumah sakit, pemantauan terapi obat, serta monitoring efek samping obat
(PerMenKes, No.73, 2016).

Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam standar pelayanan farmasi klinik
yaitu kegiatan pengkajian resep yang dilakukan di apotek. Skrining resep
diperlukan salah satunya untuk meninjau kelengkapan resep, menganalisis
rasionalitas, dan kesesuaian pengobatan yang diberikan untuk menjamin keamanan
obat dan menghindari efek yang tidak diinginkan pasien. Hal tersebut berakibat
pada pemborosan biaya, ketidakrasionalan penggunaan obat juga meningkatkan
risiko terjadinya efek samping. Dampak negatif penggunaan obat yang tidak
rasional sangat beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan

1
2

penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja hanya dialami oleh pasien (efek
samping dan biaya yang mahal) maupun oleh populasi yang lebih luas (resistensi
kuman terhadap antibiotika tertentu) dan mutu pelayanan pengobatan secara umum
(PerMenKes, No.51, 2009).

Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional diperlukan


beberapa upaya perbaikan, baik di tingkat pembuat resep, penyerah obat, dan
pasien/masyarakat, hingga sistem kebijakan obat nasional. Masih kurang tertatanya
sistem informasi pengobatan ke pasien menjadi salah satu masalah dalam proses
terapi (PerMenKes, No.51, 2009).

Berdasarkan hal tersebut, laporan pelayanan resep disusun untuk


melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan program
studi profesi apoteker. Praktik kerja profesi apoteker (PKPA) yang dilakukan untuk
melatih dan meningkatkan kemampuan mahasiswa profesi apoteker dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh terutama pelayanan
kefarmasian serta melaksanakan perannya dalam menjalankan tugas sebagai pusat
informasi obat sehingga mampu berkompeten.

I.2 Tujuan Pelayanan Resep


Adapun tujuan dari pelayanan resep adalah memberikan kesempatan kepada
calon apoteker agar dapat :
1. Mengetahui tahapan-tahapan atau alur dalam pelayanan resep
2. Meningkatkan keterampilan dan sikap dalam pelayanan resep di apotek mulai
dari penerimaan resep hingga penyerahan obat kepada pasien
3. Mengetahui cara berkomunikasi yang baik kepada pasien dalam hal yang
berkaitan dengan obat sehingga dapat dimengerti oleh pasien
4. Mampu mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan
dengan resep untuk meminimalkan terjadinya medication error.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi, Tugas, dan Fungsi apotek

II.1.1 Definisi Apotek


Apotek merupakan suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang
farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Tugas dan fungsi apotek adalah tempat
pengabdian apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan, sarana farmasi
untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan
obat, dan sarana penyalur perbekalan farmasi, termasuk obat yang diperlukan
masyarakat, secara luas dan merata (Sukmajati, 2007)

Berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No.51 tahun 2009 apotek adalah


sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker.
Praktik kefarmasian yang dimaksud sesuai dengan pekerjaan kefarmasian yaitu
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PerMenkes, No.51, 2009).

II.1.2 Tugas dan Fungsi apotek


Tugas dan fungsi apotek menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009,
tugas dan fungsi apotek adalah :
a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan;
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata

3
4

II.2 Definisi, Tugas, dan Wewenang apoteker

II.2.1 Definisi Apoteker


Apoteker merupakan sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan
telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Pekerjaan kefarmasian dalam
produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab. Penyerahan
dan pelayanan obat yang berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker.
Apoteker penanggung jawab dapat dibantu oleh apoteker pendamping
dan/atau tenaga teknis kefarmasian (TTK) (PerMenkes, No.51, 2009).

Seorang apoteker pengelola apotek harus memenuhi persyaratan sebagai


berikut (PerMenkes, No.51, 2009):

1. Ijazahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.


2. Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker.
3. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dari menteri.
4. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan
tugasnya sebagai apoteker.
5. Tidak bekerja disuatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di apotek lain.

Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, apoteker harus menetapkan standar


prosedur operasional (SOP). Standar prosedur operasional harus dibuat secara
tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan (PerMenkes, No.51, 2009).

II.2.2 Tugas dan Wewenang Apoteker


Tugas apoteker dalam melaksanakan profesi di apotek yaitu (PerMenKes,
No.1332, 2002):
1. Menjalankan pekerjaan kefarmasian di apotek berdasarkan keahlian dan
kompetensi yang dilandasi oleh sumpah jabatan dan kode etik. Pada saat
melaksanakan pekerjaan kefarmasian, apoteker bertugas melakukan pekerjaan
kefarmasian tertentu sesuai dengan keahlian dan kewenangannya dengan
dibantu oleh karyawan lainnya dan mengarahkan karyawan yang bertugas
5

sebagai pendukung pekerjaan kefarmasian menjadi tim terpadu untuk


tercapainya keserasian proses pekerjaan sehingga menghasilkan penyelesaian
pekerjaan yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Melakukan pekerjaan pemantauan sediaan farmasi yang meliputi: mutu,
ketersediaan, keabsahan dan kemanfaatan sediaan farmasi serta melakukan
pendidikan, konsultasi dan informasi kepada klien atau masyarakat sehingga
obat yang dikonsumsi masyarakat akan dipergunakan secara benar dan memberi
manfaat terapi yang optimal. Disamping itu melakukan pemantauan lingkungan
dalam rangka membantu ketertiban distribusi obat masyarakat.
3. Melakukan komunikasi yang intens dengan sejawat profesi kesehatan lain
sehingga tercapai kesamaan persepsi sehingga akan mengurangi
kesalahpahaman dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi
kesehatan.

Fungsi dan tugas apoteker sesuai dengan kompetensi WHO yakni eight stars
pharmacist (WHO,2006):
1. Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien, memberi
informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya.
2. Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya
mampu mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu
mengambil keputusan terbaik terkait dengan pelayanan kepada pasien, sebagai
contoh ketika pasien tidak mampu membeli obat yang ada dalam resep maka
apoteker dapat berkonsultasi dengan dokter atau pasien untuk pemilihan obat
dengan zat aktif yang sama namun harga lebih terjangkau.
3. Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi dengan baik dengan
pihak ekstern (pasien atau customer) dan pihak interna (tenaga profesional
kesehatan lainnya).
4. Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam hal
pelayanan, pengelolaan manajemen apotek, pengelolaan tenaga kerja dan
administrasi keuangan. Untuk itu Apoteker harus mempunyai kemampuan
6

manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu


manajemen.
5. Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus menggali ilmu
pengetahuan, senantiasa belajar, menambah pengetahuan dan keterampilannya
serta mampu mengembangkan kualitas diri.
6. Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing bagi stafnya,
harus mau meningkatkan kompetensinya, harus mau menekuni profesinya, tidak
hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, tapi harus dapat melaksanakan
profesinya tersebut dengan baik.
7. Researcher, artinya apoteker berperan serta dalam berbagai penelitian guna
mengembangkan ilmu kefarmasiannya.
8. Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di apotek. Sebagai
seorang pemimpin, apoteker merupakan orang yang terdepan di apotek,
bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari manajemen pengadaan,
pelayanan, administrasi, manajemen SDM serta bertanggung jawab penuh dalam
kelangsungan hidup apotek.

Seorang apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas


pelayanan kefarmasian memiliki wewenang untuk :
a. Mengangkat seorang apoteker pendamping yang memiliki SIPA;
b. Mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
dan
c. Menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas
resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(PerMenkes, No.51, 2009).

II.3 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian


dengan baik, dan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di apotek yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, diperlukan suatu standar yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian di apotek. Pengaturan
7

Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek bertujuan untuk (PerMenKes, No.35,


2014):
1. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

Standar pelayanan kefarmasian adalah acuan yang dipergunakan sebagai


pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut PerMenkes No.73
tahun 2016 meliputi standar :

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang
meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
2. Pelayanan farmasi klinik

II.3.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
menurut PerMenKes No.73 tahun 2016, meliputi:

a. Perencanaan
Perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan
masyarakat dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai (PerMenkes, No.73, 2016).

b. Pengadaan
Pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian
(PerMenkes, No.73, 2016).
8

c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, mutu, jumlah, harga dan waktu penyerahan yang tertera dalam surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima (PerMenkes, No.73, 2016).

d. Penyimpanan
Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada
wadah baru. Wadah sekurang- kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan
tanggal kadaluwarsa (PerMenkes, No.73, 2016).

Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya. Sistem penyimpanan dilakukan dengan
memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara
alfabetis. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First In First Out) (PerMenkes, No.73, 2016).

e. Pemusnahan
Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kedaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika
dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang
memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan
berita acara pemusnahan (PerMenkes, No.73, 2016).

Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota (PerMenkes,
No.73, 2016).
9

f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau
pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari
terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa,
kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan
menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok
sekurang- kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah
pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan (PerMenkes, No.73, 2016).

g. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan (PerMenkes, No.73, 2016).

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal


merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan
pelaporan lainnya (PerMenkes, No.73, 2016).

II.3.2 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik menurut PerMenKes No.73 tahun 2016, meliputi:

1. Pengkajian dan Pelayanan Resep


Menurut Permenkes no 73 tahun 2016, kegiatan pengkajian resep meliputi
administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis (PerMenkes, No.73,
2016).
10

a. Kajian administratif meliputi :


1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.
2) Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf.
3) Tanggal penulisan Resep.

b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:


1) Bentuk dan kekuatan sediaan
2) Stabilitas
3) Kompatibilitas (ketercampuran obat)

c. Pertimbangan klinis meliputi:


- Ketepatan indikasi dan dosis obat;
- Aturan, cara dan lama penggunaan obat;
- Duplikasi dan/atau polifarmasi;
- Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi
klinis lain);
- Kontraindikasi; dan
- Interaksi (PerMenkes, No.73, 2016).

2. Dispensing (penyiapan dan penyerahan obat)


Penyiapkan obat dilakukan sesuai dengan permintaan resep, dengan cara
menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep dan mengambil obat yang
dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama obat, tanggal
kadaluwarsa dan keadaan fisik obat. Obat diberikan etiket sekurang-kurangnya
meliputi :
a. Warna putih untuk obat dalam/oral;
b. Warna biru untuk obat luar dan suntik;
c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.

Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik,
mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil.
Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya
(PerMenkes, No.73, 2016).
11

3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


Pelayanan Informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker
dalam pemberian informasi mengenai obat. Informasi meliputi dosis, bentuk
sediaan, formulasi khusus, rute pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik
dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek
samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat
dan lain-lain (PerMenkes, No.73, 2016).

4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Tahap kegiatan konseling, yaitu :

a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.

b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime


Questions, yaitu:

1. Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?

2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat anda?

3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah anda
menerima terapi obat tersebut?

c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien


untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien (PerMenkes,
No.73, 2016).

5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)


Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok
12

lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya (PerMenkes, No.73,
2016).

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)


Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan proses yang memastikan bahwa
seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping (PerMenkes, No.73,
2016).

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)


Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada
dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan
terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis (PerMenkes, No.73, 2016).

II.4 Penggolongan Obat


Golongan obat adalah penggolongan yang bertujuan untuk meningkatan
keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari
obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan
narkotika.

II.4.1 Obat Bebas


Obat bebas adalah obat yang bebas dijual di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Obat ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan.
Penandaan khusus lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada
kemasan dan etiket obat bebas. Ukuran lingkaran tanda khusus obat bebas
disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar dengan
ukuran diameter lingkaran luar dan tebal garis tepi yang proporsional, berturut-turut
minimal 1 cm dan 1 mm. Penandaan dari golongan obat bebas dapat dilihat pada
gambar 1.
13

Gambar 1. Penandaan golongan obat bebas


(Sumber : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)

Contoh Obat bebas: Bodrex®, Magasida®, Sanmol®, Dulcolactol®, dll (Direktorat


Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007).

II.4.2 Obat Bebas Terbatas


Obat bebas merupakan obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas
tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu dan disertai dengan tanda peringatan.
Penandaan khusus lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada
kemasan dan etiket obat bebas terbatas. Ukuran lingkaran tanda khusus disesuaikan
dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar yang bersangkutan
dengan ukuran diameter lingkaran terluar dan tebal garis tepi yang proporsional,
berturut-turut minimal satu cm dan satu mm (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik, 2007).

Gambar 2. Penandaan golongan obat bebas terbatas


(Sumber : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)

Untuk obat bebas terbatas harus mencantumkan tanda peringatan. P.No.1,


P.No.2, P.No.3, P.No.4, P.No.5 atau P.No.6 yang ditetapkan dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No.6355/Dir.Jend./SK/69 tanggal 28 Oktober 1969.
Tanda peringatan yang selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa
empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) centimeter, lebar
2 (dua) centimeter dan dengan pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007; SK Menkes, No.2380,
1983) :
14

Gambar 3. Tanda peringatan obat bebas terbatas


(Sumber : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)

Beberapa contoh obat bebas terbatas:


1. P.No.1 : Awas! Obat keras. Bacalah aturan pakainya.
Contoh : Etaflusin®, Benadryl®, Neozep®, Decolgen® dan Refagen®
2. P.No 2 : Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, Jangan ditelan.
Contoh : Betadine® , Molexdine® MW, Tantum Verde®, Forinfec® Gargle
3. P.No.3 : Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
Contoh : Canesten® krim, Solinfec® krim, Micrem® krim.
4. P.No.4 : Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
Contoh : Rokok antiasma
5. P.No.5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
Contoh: Rivanol® kompres, yang digunakan untuk kompres luka
6. P.No.6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan.
Contoh: Anusol® suppositoria

II.4.3 Obat Keras


Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter.
Penandaan khusus pada kemasan dan etiket adalah lingkaran bulat berwarna merah
dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh garis tepi.
Ukuran lingkaran tanda khusus disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket wadah
15

dan bungkus luar yang bersangkutan dengan ukuran diameter lingkaran terluar dan
tebal garis tepi yang proporsional, berturut-turut minimal satu cm dan satu mm
Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus dicantumkan
secara jelas tanda khusus untuk obat keras dan keharusan mencantumkan kalimat
"Harus dengan resep dokter" yang di tetapkan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977 (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik 2007; SK Menkes, No.02396, 1986).

Menurut Undang-Undang Obat Keras Stbl. No. 419 tanggal 22 Desember


1949 pasal 2, penggolongan obat keras dimasukkan dalam dua daftar yaitu:
1. Obat-obatan G adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar
obat-obatan berbahaya (gevaarlijk; daftar G).
2. Obat-obatan W adalah obat-obat keras yang oleh Sec. V. St. didaftar pada daftar
peringatan (warschuwing; daftar W).
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin,
penisilin, dan sebagainya), obat-obatan yang mengandung hormon, obat diabetes,
Simvastatin®, Ranitidin®, Klonidin®, Piroksikam®, Pyrazinamid®, Omeprazol®,
dan lain-lain.

Gambar 4. Penandaan Golongan Obat Keras


(Sumber : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)

II.4.3.1 Obat Wajib Apotek (OWA)


Obat Wajib Apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh
Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien tanpa resep dokter (KepMenKes,
No.347, 1990).

Apoteker di Apotek dalam melayani pasien yang memerlukan OWA


diwajibkan untuk :
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam Obat Wajib Apotik (OWA) yang bersangkutan.
16

2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.


3. Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontra indikasi, efek
samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien (KepMenKes,
No.347, 1990).

Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat oleh masyarakat yaitu


obat-obat yang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang diderita pasien. Antara
lain: obat antiinflamasi (Asam mefenamat), obat alergi kulit (salep Hidrokortison),
infeksi kulit dan mata (salep Oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat KB
hormonal.

II.4.3.2 Psikotropika
Obat psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Obat-
obat yang termasuk dalam Psikotropika adalah Alprazolam, Diethylpropion HCl,
Clobazam, Lorazepam, Phenobarbital, Chlordiazepoxid HCl, Diazepam,
Midazolam, Nitrazepam, Estazolam, dan Bromazepam (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2007).

Menurut Permenkes No 3 tahun 2017 tentang Psikotropika, digolongkan


menjadi :
1. Psikotropika golongan I adalah psikotopika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan,
contohnya antara lain : lisergida (LSD/extasy), MDMA (Metilen Dioksi Meth
Amfetamin) dan meskalina
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan, contohnya antara lain: amfetamin, metamfetamin (sabu-
sabu) dan metakualon
17

3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk


pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan, contohnya antara lain penthobarbital, amobarbital dan
siklobarbital.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantunagan, contohnya antara lain: diazepam (Valium®), allobarbital,
barbital, bromazepam, klobazam, triazolam dan alprazolam.

PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 mengatur tentang Pengelolaan Psikotropika,


meliputi :

1. Pemesanan Psikotropika
Apoteker penanggung jawab membuat Surat Pesanan (SP) untuk pemesanan
psikotropika dalam bentuk obat jadi. Surat pesanan psikotropika hanya dapat
digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis psikotropika. Surat pesanan yang
dimaksud harus terpisah dari pesanan barang lain dan dibuat sekurang-
kurangnya 3 rangkap (PerMenKes, No.3, 2015).

2. Penyimpanan Psikotropika
Lemari khusus penyimpanan psikotropika harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Lemari khusus harus terbuat dari bahan yang kuat.
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci.
c. Harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan (PerMenKes, No.3, 2015).

3. Pencatatan Psikotropika
Pencatatan psikotropika berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal
43 ayat 1 dan 3; dan pasal 44 meliputi :
18

a. Apotek yang melakukan penyaluran atau penyerahan psikotropika, wajib


Membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
psikotropika.

b. Pencatatan paling sedikit terdiri atas:


1) Nama, bentuk sediaan, kekuatan dan jumlah persediaan
2) Tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan
3) Jumlah yang diterima
4) Tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan
5) Jumlah yang disalurkan/diserahkan
6) Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
penyerahan
7) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

c. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,


dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan psikotropika wajib
disimpan secara terpisah paling singkat 5 tahun (PerMenKes, No.3, 2015).

4. Pelaporan Psikotropika
berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal 45 ayat 6,7 dan 10
pelaporan psikotropika meliputi :
a. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan penggunaan
psikotropika setiap bulan, yang disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
Kepala Balai setempat.
b. Pelaporan penyerahan/penggunaan psikotropika terdiri atas :
- Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
- Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
- Jumlah yang diterima
- Jumlah yang diserahkan (PerMenKes, No.3, 2015).

5. Pemusnahan Psikotropika
Apoteker penanggung jawab menyampaikan surat pemberitahuan dan
permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai
19

Pengawas Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang
telah ditetapkan (PerMenKes, No.3, 2015).

Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian yang melaksanakan


pemusnahan psikotropika harus membuat berita acara pemusnahan. Berita acara
pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada
Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat (PerMenKes, No.3, 2015).

II.4.4 Narkotika
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis ataupun
semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan menjadi beberapa golongan
beradasarkan pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

1. Narkotika Golongan 1
Golongan ini dilarang penggunaannya dalam pelayanan kesehatan,
melainkan digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
reagensia diagnostik dan reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan
dari Menteri Kesehatan atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Golongan ini memiliki potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: Tanaman Papaver Somniferum L. dengan zat/senyawa
heroin di dalamnya, ganja, MDMA dan lainnya

2. Narkotika Golongan II
Golongan ini berkhasiat pengobatan dan digunakan sebagai pilihan terakhir
dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga
potensi untuk menimbulkan ketergantungan juga tinggi. Contohnya: fentanil,
alfasetilmetadol, pethidin, morfin dan garam-garamnya.
20

3. Narkotika Golongan III


Golongan ini berkhasiat pengobatan sehingga sangat luas digunakan dalam
terapi dan mengakibatkan ketergantungan ringan. Golongan ini juga digunakan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan distribusinya diatur oleh pemerintah.
Contoh: kodein dan asetildihidrokodein.

Penandaan obat narkotika adalah palang medali merah (Bina Farmasi


Komunitas dan Klinik, 2007).

Gambar 5. Penandaan Golongan Obat Narkotika


(Sumber : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)

PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 mengatur tentang Pengelolaan


Narkotika, meliputi:

1. Pemesanan Narkotika
a. Surat pemesanan (SP) khusus narkotika yang terdiri atas minimal tiga
rangkap yaitu untuk BPOM, untuk DINKES Kabupaten/Kota, dan untuk
arsip Apotek.
b. Surat pemesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk satu jenis
narkotika dan harus terpisah dari pesanan barang lain (PerMenKes, No.3,
2015).

2. Penyimpanan Narkotika
Lemari khusus penyimpanan narkotika harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Lemari khusus harus terbuat dari bahan yang kuat.
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci.
c. Harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan (PerMenKes,
No.3, 2015).
21

3. Pencatatan Narkotika
a. Apotek yang melakukan penyaluran atau penyerahan narkotika, wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
narkotika.

b. Pencatatan paling sedikit terdiri atas:


1) Nama, bentuk sediaan, kekuatan dan jumlah persediaan
2) Tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan
3) Jumlah yang diterima
4) Tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan
5) Jumlah yang disalurkan/diserahkan
6) Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran
penyerahan
7) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

c. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,


dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan narkotika
wajib disimpan secara terpisah paling singkat 5 tahun (PerMenKes, No.3,
2015).
4. Pelaporan Narkotika
a. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan
penggunaan narkotika setiap bulan, yang disampaikan paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.

b. Pelaporan penyerahan/penggunaan narkotika terdiri atas :


- Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
- Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
- Jumlah yang diterima
- Jumlah yang diserahkan (PerMenKes, No.3, 2015).

5. Pemusnahan Narkotika
Apoteker penanggung jawab menyampaikan surat pemberitahuan dan
permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai
22

Pengawas Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang
telah ditetapkan (PerMenKes, No.3, 2015).

Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian yang melaksanakan


pemusnahan Narkotika, harus membuat berita acara pemusnahan. Berita acara
pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada
Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat (PerMenKes, No.3, 2015).

II.5. Prekursor Farmasi


Prekursor Farmasi merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia
tertentu yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan
proses produksi industri farmasi. Adapun contoh prekursor adalah efedrin,
pseudoefedrin, norefedrin, dll. (PerMenKes, No.168, 2005).
Pengelolaan prekursor meliputi :
1. Pemesanan Prekursor
a. Surat pemesanan (SP) khusus prekursor farmasi
b. Surat pesanan prekursor farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau
beberapa jenis prekursor farmasi.
c. Surat pesanan yang dimaksud harus terpisah dan pesanan barang lain
dan dibuat sekurang-kurangnya 3 rangkap (PerMenKes, No.3, 2015).

2. Penyimpanan Prekursor
Lemari khusus penyimpanan prekursor dalam bentuk bahan baku harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Lemari khusus harus terbuat dari bahan yang kuat.
b. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci.
c. Harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
d. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan (PerMenKes,
No.3, 2015).
23

3. Pelaporan prekursor farmasi


Adapun pelaporan obat prekursor adalah sebagai berikut (PerMenKes RI
No. 3 tahun 2015):
a. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/
penggunaan prekursor farmasi setiap bulan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat dan
disampaikan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

b. Pelaporan penyerahan/penggunaan prekursor farmasi terdiri atas:


- Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan prekursor farmasi
- Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
- Jumlah yang diterima
- Jumlah yang diserahkan

4. Pemusnahan Prekursor
Apoteker penanggung jawab menyampaikan surat pemberitahuan dan
permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai
Pengawas Obat dan Makanan setempat. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang
telah ditetapkan (PerMenKes, No.3, 2015).

Penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian yang melaksanakan


pemusnahan prekursor, harus membuat berita acara pemusnahan. Berita acara
pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada
Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat (PerMenKes, No.3, 2015).
BAB III
PELAYANAN RESEP DI APOTEK

III.1. Contoh Resep

08239386002

dr. Indy Safitri


SIP. N014181720

AG

Gambar 6. Contoh resep

24
25

III.2. Kajian Resep


III.2.1. Skrining administratif
Tabel 1. Skrining administratif resep
Bagian Tidak
Kelengkapan Ada Keterangan
resep Ada
Nama dokter √ - dr. Indy Safitri
Surat Izin Praktik (SIP) √ - SIP. N014181720
Inscriptio. Alamat dokter/Praktik √ - Jl. Letjen Hertasning Raya
No. telp praktik/rumah √ - 082393860002
Tanggal penulisan resep √ - 20 Januari 2019
R/ Cefspan
R/ Erysanbe
Asvex
Heptasan
Nama obat √ - Epexol
Valisanbe
Vitamin C
GG
R/ Sanmol
R/ Cefspan sirup No 1
Prescriptio R/ Erysanbe 100 mg tablet
Asvex 6 mg tablet
Heptasan 2 mg tablet
Jumlah yang diminta √ - Epexol 10 mg tablet
Valisanbe 1 mg tablet
Vitamin C 12,5 mg tablet
GG 40 mg tablet
R/ Sanmol sirup no 1
R/ sirup
Bentuk sediaan √ - R/ puyer
R/ sirup
R/ S 2 dd 1 cth
Aturan pakai √ - R/ S 3 dd 1 pulv
R/ S 3 dd 1 cth
Nama pasien √ - AG

Umur pasien √ - 4 tahun 6 bulan (TL 15/07/2014)


Signatura
Bobot badan - √ Tidak Tercantum

Jenis kelamin - √ Tidak Tercantum

Alamat pasien - √ Tidak Tercantum

No. telepon pasien - √ Tidak Tercantum


Subcriptio Paraf/ tanda tangan
√ - Tercantum
dokter
26

Pada skrining administratif resep, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Dapat dilihat bahwa dalam resep terdapat beberapa bagian yang tidak memenuhi
kelengkapan dalam skrining administratif. Adapun kekurangan tersebut yaitu :
1. Bobot badan pasien
Berat badan merupakan salah satu aspek yang diperlukan dalam perhitungan
dosis. Dalam penentuan dosis para ahli telah membuat rumus khusus berdasarkan
berat badan seseorang, untuk itu berat badan sangat perlu dicantumkan dalam
penulisan resep. (Megawati dan Santoso, 2017). Pada resep tersebut tidak
dicantumkan bobot badan pasien, namun dapat diperkirakan umur pasien melalui
tanggal lahir pasien yang dicantumkan di dalam resep. Selain bobot badan, umur
juga dapat digunakan dalam menyesuaikan dosis pasien. Umur pasien tidak
dicantumkan namun dicantumkan tanggal lahir pasien, sehingga resep tersebut
masih dapat dilayani.

2. Jenis Kelamin, alamat dan nomor telpon pasien


Jenis kelamin merupakan salah satu aspek yang diperlukan dalam
perencanaan dosis karena dapat mempengaruhi faktor dosis obat pada pasien.
Alamat dan nomor telpon pasien sering kali diabaikan oleh penulis resep (dokter),
alamat dan nomor telpon pasien berguna sebagai identitas pasien apabila terjadi
kesalahan dalam pemberian obat di apotek, atau obat tertukar dengan pasien lain
serta hal ini sangat diperlukan dalam proses pelayanan peresepan, sebagai
pembeda ketika ada nama pasien yang sama agar tidak terjadi kesalahan pemberian
obat pada pasien (Megawati dan Santoso, 2017).

III.2.2. Skrining farmasetik


1. Kesesuaian bentuk sediaan
a. Cefspan®
Cefspan® mengandung cefixime dengan kekuatan sediaan tiap 5 ml
mengandung 100 mg. Bentuk sediaan sirup dianggap tepat karena sesuai
dengan umur pasien.
27

b. Sanmol®
Sanmol® mengandung paracetamol dengan kekuatan sediaan tiap 5 ml
mengandung 120 mg. Bentuk sedian sirup dianggap tepat karena sesuai
dengan umur pasien.

c. Obat racikan dalam bentuk puyer


Obat racikan tersebut mengandung erysanbe® 200 mg sebanyak 5
tablet, asvex® 33,21 mg sebanyak 1,8 tablet, heptasan® 4 mg sebanyak 5
tablet, epexol® 30 mg sebanyak 3,5 tablet, valisanbe® 2 mg sebanyak 5
tablet, vitamin c 100 mg sebanyak 2,5 tablet, guaifenesin 100 mg sebanyak
4 tablet. Bentuk sediaan puyer dianggap tepat karena sesuai dengan umur
pasien.

a. Stabilitas
Obat yang terdapat pada resep tersebut merupakan sediaan padat dan cairan.
Obat sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup rapat, di tempat sejuk dan kering,
terlindung dari cahaya dan pada suhu kamar.

b. Inkompatibilitas Obat
Resep obat racikan yang terdiri atas erysanbe®, asvex®, heptasan®, epexol®,
valisanbe®, vit c, dan GG terdapat inkompatibilitas secara farmasetika dimana
heptasan® merupakan tablet salut film yang sebaiknya tidak untuk digerus . Di
dalam resep juga terdapat antibiotik yang dibuat puyer bersama obat lainnya. Hal
itu tidak diperbolehkan dikarenakan penggunaan antibiotik yang harus di habiskan
sedangkan beberapa obat yang lainnya hanya digunakan jika terdapat gejala.

III.2.3. Skrining Klinis


1. Kesesuaian dosis
a. Cefspan® sirup (Cefixime)
Tiap 5 ml Cefspan® mengandung cefixime 100 mg
Dosis lazim
sehari = 200 - 400 mg
pasien berumur 4 tahun 6 bulan (5 tahun)
28

𝑛
Rumus cowling = x dosis dewasa (n= umur dalam satuan tahun
24

yang digenapkan ke atas)


Untuk anak berumur 5 tahun
5
Sehari = x (200 mg – 400 mg) = (41,66 mg – 83,33 mg)
24

Untuk anak berumur 5 tahun dosis lazim cefspan® untuk sekali pakai sebanyak
41,66 mg – 83,33 mg.
Dosis yang dicantumkan pada resep adalah 100 mg 2 kali sehari
Sekali = 1 x 100 mg = 100 mg (sesuai dosis lazim)
Sehari = 2 x 100 mg = 200 mg (lebih dari dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan dosis yang terdapat pada resep, dosis cefspan yang
diberikan lebih dari dosis lazim dan mencapai efek terapi

b. Erysanbe® (Erythromycin)
Tiap tablet Erysanbe® mengandung erythromycin 200 mg
Dosis lazim sekali = 225- 500 mg sekali
Dosis lazim sehari = 1 – 2 gram sehari
Untuk anak 5 tahun
5
Sekali = x (225 mg – 500 mg) = (46,87 mg – 104,16 mg)
24

Dosis lazim sekali pakai untuk anak usia 5 tahun sebesar 46,87 mg – 104,16 mg
5
Sehari = x (1000 mg – 2000 mg) = 208,33 mg – 416,66
24

mg
Dosis lazim sehari pakai untuk anak usia 5 tahun sebesar 208,33 mg – 416,66
mg
Dosis yang dicantumkan pada resep 100 mg 3 kali sehari
Sekali = 1 x 100 mg = 100 mg (sesuai dosis lazim)
Sehari = 3 x 100 mg = 300 mg (sesuai dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan, dosis erysanbe yang diberikan pada resep telah sesuai
untuk pemakaian sekali dan sehari pakai

c. Asvex® (Tipepidin)
Tiap tablet Asvex® mengandung tipepidine 33,21 mg
Dosis lazim sehari = 20 - 40 mg
29

Untuk anak umur 5 tahun


5
Sehari = x (20 mg – 40 mg) = 4,16 mg – 8,33 mg
24

Dosis lazim sehari pakai untuk anak umur 5 tahun sebesar 4,16 mg – 8,33 mg
Dosis yang dicantumkan pada resep adalah 6 mg 3 kali sehari.
Sekali = 1 x 6 = 6 mg
Sehari = 3 x 6 mg = 18 mg (lebih dari dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan, dosis asvex yang diberikan pada resep melebihi dosis
lazim dan mencapai efek terapi.

d. Heptasan® (Cyproheptadine)
Tiap tablet Heptasan® mengandung cyproheptadine 4 mg
Dosis lazim sekali (anak-anak ≤ 5 tahun) = 2 mg
Dosis yang dicantumkan pada resep adalah 2 mg 3 kali sehari
Sekali = 1 x 2 mg= 2 mg (sesuai dosis lazim)
Sehari = 3 x 2 mg = 6 mg
Berdasarkan perhitungan, dosis heptasan yang diberikan pada resep telah sesuai
dosis lazim dan mencapai efek terapi dalam pemakaian sekali.

e. Epexol® (Ambroxol)
Tiap tablet Epexol® mengandung ambroxol 30 mg
Dosis lazim sehari = 60-120 mg sehari
Untuk anak umur 5 tahun
5
Sehari = x (60 mg – 120 mg) = 12,5 mg – 25 mg
24

Dosis lazim sehari epexol® untuk anak umur 5 tahun sebesar 12,5 mg – 25 mg
Dosis yang dicantumkan pada resep adalah 10 mg 3 kali sehari
Sekali = 1 x 10 mg = 10 mg
Sehari = 3 x 10 mg = 30 mg (lebih dari dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan, dosis epexol® yang diberikan pada resep lebih dari
dosis lazim dan mencapai efek terapi baik dalam pemakaian sehari.

f. Valisanbe® (Diazepam)
Tiap tablet Valisanbe® mengandung diazepam 2 mg
Dosis lazim sehari = 5 – 30 mg sehari
30

Untuk anak umur 5 tahun


5
Sehari = x (5 mg – 30 mg) = 1,04 mg – 6,25 mg
24

Dosis lazim sehari valisanbe untuk anak umur 5 tahun sebesar 1,04 mg – 6,25
mg
Dosis maksimum sehari = 40 mg
Untuk anak umur 5 tahun
5
Sehari = x 40 mg = 8,33 mg
24

Dosis yang dicantumkan pada resep adalah 1 mg 3 kali sehari


Sekali = 1 x 1 = 1 mg
Sehari = 3 x 1 mg = 3 mg (sesuai dosis lazim dan DM)
Berdasarkan perhitungan, dosis valisanbe yang diberikan pada resep tidak
melebihi dosis maksimum dan mencapai efek terapi baik dalam pemakaian
sehari.
3 mg
% DM sehari = 8,33 mg x 100% = 36,01%

Berdasarkan perhitungan, persen DM sehari sebesar 36,01% (kurang dari 80%),


dimana obat tidak perlu ditimbang satu persatu.

g. Vitamin C
Tiap tablet mengandung 50 mg vitamin c
Dosis Lazim sehari = 100 – 300 mg
Untuk anak 5 tahun
5
Sehari = x (100 mg – 300 mg) = 20,83 mg – 62,5 mg
24

Dosis lazim sehari vitamin C untuk anak umur 5 tahun sebesar 20,83 mg – 62,5
mg
Dosis yang diberikan 12,5 mg 3 kali sehari
Sekali = 1 x 12,5 = 12,5 mg
Sehari = 3 x 12,5 mg = 37,5 mg (sesuai dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan, dosis vitamin c yang diberikan pada resep sesuai
dengan dosis lazim dan mencapai efek terapi baik dalam pemakaian sehari.
31

h. GG (Glyceryl Guaiacolat)/ Guaifenesin


Dosis lazim sekali = untuk anak 2 - 6 tahun = 50 mg - 100 mg
Dosis yang diberikan 40 mg 3 kali sehari
Sekali = 1 x 40 mg = 40 mg (kurang dari dosis lazim)
Sehari = 3 x 40 mg = 120 mg
Berdasarkan perhitungan, dosis glyceryl guaiacolat yang diberikan pada resep
tidak mencapai dosis lazim dalam pemakaian sekali sehingga disarankan untuk
menaikkan dosis yang diberikan.
Sebaiknya dosis glyceryl guaiacolat dinaikkan menjadi:
Sekali = 1 x 50 mg = 50 mg (sesuai dengan dosis lazim)
Sehari = 3 x 50 mg = 150 mg

i. Sanmol® (Paracetamol)
Tiap 5 ml Sanmol® sirup mengandung 120 mg paracetamol
Dosis lazim sekali = untuk umur 1-5 tahun 120 – 250 mg
Dosis yang diberikan 1 sendok makan, 1 sendok makan= 5 ml, tiap 5 ml
mengandung 250 mg diberi 3 kali sehari
Sekali = 1 x 250 mg = 250 mg (sesuai dosis lazim)
Berdasarkan perhitungan, dosis sanmol® yang diberikan pada resep mencapai
efek terapi baik dalam pemakaian sekali

2. Pertimbangan klinis
Pada resep resep terdiri atas dua obat non racikan yakni cefspan® sirup
yang berisi cefixime dan sanmol® sirup yang berisi paracetamol, serta satu obat
racikan yang mengandung erysanbe®, asvex®, heptasan®, epexol®, valisanbe®,
vitamin c, dan GG. Oleh karena itu, interpretasi kemungkinan penyakit yang
diderita oleh pasien AS dapat berupa penyakit infeksi saluran pernapasan, batuk
yang disertai demam.

Cefixime digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih, otitis media


ataupun infeksi saluran pernapasan. Obat ini bekerja dengan cara berikatan
dengan satu atau lebih protein pengikat penisilin, menahan dinding sel bakteri
dan menghmbat pertumbuhan bakteri (Medscape, 2019). Jika dihubungkan
32

dengan obat lain yang ada dalam resep, dalam resep ini cefixime digunakan
untuk mengatasi infeksi saluran napas yang dialami oleh pasien.

Erysanbe® mengandung antibiotik erytromisin yang diindikasikan untuk


infeksi paru-paru pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi pertusis (batuk
rejan) (Medscape, 2019). Dalam resep ini erysanbe digunakan untuk mengatasi
infeksi pernapasan pada pasien.

Asvex mengandung tipepidine yang bekerja sebagai ekspektoran yang


berperan sebagai inhibitor dari G-protein-copled inwardly-rectifryring
potassium channels atau GIRKs dengan kemampuannya untuk membantu
mengeluarkan dahak (MIMS, 2017). Dalam resep ini asvex digunakan untuk
mengatasi batuk berdahak pada pasien.

Heptasan mengandung cyprohetadine merupakan antihistamin generasi


pertama yang berkerja dengan cara menghambat histamine serta serotonin yang
dapat menimbulkan reaksi alergi (Medscape, 2019). Dalam resep ini heptasan
diindikasikan untuk batuk pasien.

Epexol mengandung ambroxol yang diindikasikan sebagai mukolitik


pada pasien bronchitis atau kelainan saluran pernafasan yang lain. Ambroxol
merupakan metabolit dari bromhexin yang memiliki mekanisme kerja
mengencerkan secret saluran nafas dengan jalan memecah benang-benang
mukoprotein dari sputum. (Medscape, 2019). Dalam resep ini Ambroxol
diindikasikan untuk batuk pasien.

Valisanbe mengandung diazepam digunakan untuk neurotik,


psikosomatik, psikoneurotik, gangguan otot akibat trauma, gejala putus alkohol,
status epileptikus, kondisi pra dan pasca operasi. Dengan mekanisme kerja
potensiasi inhibisi neuron dengan asam gamma amonibitrat (GABA) sebagai
mediator pada sistem saraf pusat (Medscape, 2019). Dalam resep ini, diazepam
diindikasikan untuk menenangkan pasien untuk membantu pemulihan batuk
yang dialami pasien.
33

Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu


merupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau
tidak langsung memberikan electron ke enzim yang membutuhkan ion-ion
logam tereduksi. Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan mengobati
deficienci vitamin c serta membantu penyembuhan (Medscape, 2019). Dalam
resep ini Vitamin C diindikasikan untuk membantu proses penyembuhan
peradangan

Glyceryl guaiacolat bekerja dengan menstimulasi mukosa dan


merangsang sekresi kelenjar saluran nafas lewat N. vagus sehingga menurunkan
viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. (Medscape, 2019). Dalam
resep ini glyceryl guaiacolat diindikasikan untuk bantuk berdahak.

Sanmol mengandung paracetamol yang merupakan senyawa turunan


para-aminofenol yang memiliki aktivitas analgesik dan antipiretik serta aktivitas
antiinflamasi yang lemah. Mekanisme kerjanya sama dengan golongan salisilat,
namun paracetamol tidak memiliki aktivitas urikosurik. Indikasi sebagai
analgesik, antipiretik, antiinflamasi (Medscape, 2019). Dalam resep ini
paracetamol diindikasikan untuk antipiretik serta mengurangi peradangan

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang


sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan
harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat (WHO, 1985). Beberapa
obat yang diresepkan merupakan obat paten yang diketahui memiliki harga yang
lebih tinggi dibandingkan dengan harga obat generiknya. Disarankan untuk
mengganti beberapa obat dari paten ke generik namun sebelumya perlu
persetujuan pasien terlebih dahulu.

Cefixime merupakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang dapat


digunakan untuk mengatasi otitis media, faringitis, infenksi saluran pernapasan,
infesi saluruan kemih (Sweetman, 2009). Pada resep diidikasikan untuk infeksi
saluran pernapasan, tetapi penggunaan antibakteri dalam penanganan infeksi
saluran napas masih harus dipelajari lebih lanjut karena infeksi ini tidak hanya
disebabkan oleh bakteri tapi juga dapat disebabkan oleh virus.
34

Erytromisin merupakan golongan makrolida dengan mekanisme kerja


menghambat sintesis protein dengan berikatan secara reversible dengan ribosom
subunit 50S (Farmakologi dan Terapi, 2007). Erytromicin diindikasikan untuk
mengatasi infeksi pada saluran pernafasan. Namun penggunaan erytromicin
perlu dipertimbangkan dikarenakan adanya duplikasi dimana pasien telah
diberikan antibiotik cefixime. Selain itu, erytromisin tidak dianjurkan untuk
diracik bersama dengan obat lainnya dikarenakan erytromisin merupakan
antibiotik yang penggunaannya harus dihabiskan sedangkan obat yang lainnya
dihentikan jika gejalanya telah membaik.

Penggunaan diazepam dan erytromicin perlu dipertimbangkan. Dimana


efek erytromisin akan meningkatkan efek dari diazepam dengan menghambat
metabolisme diazepam melalui enzim CYP3A4. Disanarankan untuk
menggunakan obat yang lainnya jika diperlukan (Medscape, 2019). Juga
terdapat interaksi antara cyproheptadine dan diazepam dimana penggunaan
keduanya dapat meningkatkan efek sedasi dikarenakan memiliki efek yang sama
(Medscape, 2019)

Aturan pakai, cara minum dan lama penggunaan obat non racikan cefspan
sirup yang mengandung antibiotic cefixime yaitu 2 kali sehari satu sendok
makan dimana tiap satu sendok makan sama dengan 5 ml, dan setiap 5 ml
cefspan mengandung 100 mg cefixime. Cefixime harus dihabiskan untuk
mencegah resistensi antibiotik. Hanya saja tidak dicantukan waktu penggunaan
obat dalam resep. Cefixime sebaiknya dikonsumsi bersama dengan makanan
untuk meminimalisir ketidaknyamanan pada saluran pencernaan (Sweetman,
2009).

Aturan pakai pada sanmol sirup yaitu 3 kali sehari satu sendok teh dimana
tiap satu sendok teh sama dengan 5 ml, dan setiap 5 ml sanmol mengandung 120
mg parasetamol. Paracetamol hanya digunakan secara pro rena ta atau hanya
jika diperlukan (MIMS, 2017) namun pada resep tidak dicantumkan.

Obat racikan terdiri dari 7 macam obat yaitu erysanbe, asvex, heptasan,
epexol, valisanbe, vitamin C, dan glyceryl guaiacolat. Pada resep tidak
35

dicantukan waktu penggunaan obat sebelum makan atau sesudah makan.


(MIMS, 2017). Penggunaan obat racikan dapat dihentikan jika gejala batuk yang
dialami sudah berhenti.

Pada resep terdapat duplikasi obat yaitu antara cefixime dan erytromicin,
keduanya memiliki indikasi yang sama sebagai antibiotik. Perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan salah satunya saja dikarenakan
penggunaan antibiotik yang berlebihan dapat menimbulkan resiko resistensi
pada pasien.

Jika dilihat dari definisinya, resep polifarmasi adalah resep yang


mengandung lebih dari 5 macam obat sehingga dapat menyebabkan terjadi
interaksi obat yang dapat meningkatkan/ meniadakan efek obat atau
menyebabkan efek samping obat/ reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD),
maka dalam resep tersebut tidak terdapat polifarmasi.

Menurut WHO, reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) atau adverse
drug reaction (ADR) didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang
berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnose maupun terapi

Cefixime dapat menyebabkan efek samping berupa kelainan


gastrintestinal, reaksi hipersensivitas, perubahan hematologik, peningkatan
SGOT/SGPT/fosfatase alkalin, gangguan fungsi ginjal, efek pada saluran
pencernaan, pneumonia interstisial, stomatis atau kandidiasis, defesiensi vit K
atau vit B, sakit kepala, hasil tes Coomb positif (Sweetman, 2009).

Efek yang tidak diinginkan dari penggunaan erytromicin adalah


gastrointestinal, mual, muntah, sakit perut, dan diare. Efek samping dari
penggunaan cyproheptadine adalah adanya rasa mual, muntah, gangguan
muskular, takikardia, dan palpitasi. Efek samping dari penggunaan ambroxol
berupa mual dan peninggian transaminase serum. Efek samping dari penggunaan
diazepam adanya diare dan gatal-gatal. Efek samping pada penggunaan vitamin
C dengan dosis lebih dari 1 g/hari dapat menyebabkan diare dikarenakan efek
iritasi pada mukosa usus yang menyebabkan peningkatan peristaltic. Dosis besar
36

tersebut dapat juga meningkatkan terbentuknya batu ginjal, oksalosis, dan


aritmia jantung. Efek samping pada penggunaan glyceryl guaiacolat dapat
menimbulkan menimbulkan kantuk, mual dan muntah.

Efek samping pada penggunaan sanmol yang mengandung paracetamol


ialah mual, muntah, trombositopenia, leucopenia, neutropenia, pansitopenia,
agranulosit, hipotensi, dan takikardi (Medscape, 2019)

Setiap obat memiliki interaksi pada obat-obat tertentu. Interaksi obat


merupakan modifikasi efek suatu obat yang diberikan pada awal atau diberikan
secara bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat lebih berubah.
Interaksi obat dibedakan menjadi 3 yaitu interaksi farmasetik, interaksi
farmakodinamik dan interaksi farmakokinetik. Interaksi farmasetik terjadi diluar
tubuh antara obat yang tidak dapat dicampur. Interaksi farmakodinamik adalah
interaksi yang antara obat yang memilliki efek farmakologis, antagonis atau efek
samping yang hampir sama. Interaksi farmakodinamik dapat berupa reaksi
sinergis, aditif maupun berlawanan (antagonis) (BNF:2009). Interaksi
farmakokinetik merupakan interaksi yang terjadi apabila suatu obat mengubah
absorbsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat lain, sehingga interaksi ini
meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk
menimbulkan efek farmakologinya . Interaksi obat pada resep ini disajikan pada
tabel 2.

Tabel 2. Interaksi obat dalam resep (Medscape, 2019)


No Obat I Obat II Interaksi
1. Erytromicin Diazepam Obat I dapat
meningkatkan efek obat
II
2. Cyproheptadine Diazepam Obat I dan obat II akan
meningkatkan efek
sedasi
3. Diazepam paracetamol Obat I akan mengurangi
efek obat II
37

III.3. Uraian Obat dalam Resep


1. Cefixime (MIMS, medscape, Sweetman 2019)
a. Komposisi
Tiap tablet mengandung cefixime 100 mg
b. Nama dagang
Cefspan®, Anfix®, Cefacef®
c. Farmakologi
Cefixime merupakan antibiotic golongan cephalosporin generasi ketiga yang
memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel mikroba.
d. Indikasi
Untuk bakteri gram positif dan gram negative seperti bronchitis akut
e. Kontraindikasi
Pasien hipersensitif terhadap cefixim
f. Efek samping
Efek samping cefixime umumnya ringan, yang tersering ialah diare (16%)
dan keluhan saluran cerna lainnya.
g. Peringatan dan perhatian
-
h. Dosis dan aturan pakai
Pada umumnya dosis yang digunakan yaitu 200-400 mg untuk dewasa dengan
berat badan lebih dari 50 kg 2 kali

2. Erytromisin (MIMS, Medscape)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung erytromisin 200 mg dan 500 mg
b. Nama dagang
Erysanbe®
c. Farmakologi
Erytromisin bekerja dengan menghambat disosiasi perptidyl tRNA dari
ribosom, menyebabkan terhambatnya sintesis protein
38

d. Indikasi
infeksi paru-paru pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi pertussis (batuk
rejan)
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas erytromisin, tidak dianjurkan untuk diberikan bersama
ergotamine dikarenakan dapat meningkatkan toksisitas ergotamin
f. Efek samping
gastrointestinal, mual, muntah, sakit perut, dan diare
g. Peringatan dan perhatian
Obat yang dapat menghambat CYP3A4 dapat menyebabkan resiko kematian
mendadak
h. Dosis dan aturan pakai
Untuk infeksi paru pneumonia 1-4 g/hari dalam 21 hari, infeksi saluran kemih
dengan dosis 500 mg tiap 6 jam dalam 7 hari, batuk rejan dengan dosis 500
mg tiap 6 jam dalam 14 hari

3. Tipepidine, (MIMS, Sweetman, 2009)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung tipepidine 33,21 mg
b. Nama dagang
Asvex®
c. Farmakologi
Tipepidine merupakan bekerja sebagai ekspektoran yang berperan sebagai
inhibitor dari G-protein-copled inwardly-rectifryring potassium channels atau
GIRKs dengan kemampuannya untuk membantu mengeluarkan dahak
d. Indikasi
Batuk berdahak
e. Kontraindikasi
-
f. Efek samping
Gangguan saraf, kejang.
39

g. Peringatan dan perhatian


-
h. Dosis dan aturan pakai
20 mg - 40 mg tiap 8 jam per oral

4. Cyproheptadine (MIMS, Medscape)


i. Komposisi
Tiap tablet mengandung cyproheptadine 4 mg
j. Nama dagang
Heptasan®
k. Farmakologi
Cyprohetadine merupakan antihistamin generasi pertama yang berkerja
dengan cara menghambat histamine serta serotonin yang dapat menimbulkan
reaksi alergi.
l. Indikasi
Rhinitis alergi
m. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan untuk wanita hamil, glaucoma, pasien dengan obstruksi
kandung kemih
n. Efek samping
Mual, muntah, gangguan muskular, takikardia, dan palpitasi
o. Peringatan dan perhatian
Hati-hati penggunaan pada pasien yang mengalami penyakit kardiovaskular,
hipertensi dan gagal jantuk iskemik
p. Dosis dan aturan pakai
Untuk rhinitis alergi 4 mg tiap 8 jam dan untuk dosis pemeliharaan 4-20
mg/hari.

5. Ambroxol (MIMS, Sweetman 2009)


a. Komposisi
Tiap tablet menggandung ambroxol 30 mg
40

b. Nama dagang
Epexol®
c. Farmakologi
Ambroxol merupakan metabolit dari bromhexin yang memiliki mekanisme
kerja mengencerkan secret saluran nafas dengan jalan memecah benang-
benang mukoprotein dari sputum.
d. Indikasi
Untuk mukolitik pada pasien bronchitis atau kelainan saluran pernafasan
yang lain.
e. Kontraindikasi
-
f. Efek samping
Pemberian oral berupa mual dan peninggian transaminase serum.
g. Peringatan dan perhatian
Hati-hati digunakan pada pasien tukak lambung
h. Dosis
Secara oral diberikan dosis 60-120 mg sehari.

6. Diazepam (MIMS, Medscape)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung diazepam 2 mg
b. Nama dagang
valisanbe®
c. Farmakologi
Merupakan golongan benzodiazepine yang bekerja dengan meningkatkan
GABA di SSP yang akan menimbulkan efek spasme pada otot dan
menyebabkan sedasi
d. Indikasi
Sebagai antiansietas, sedasi preparative (praoperasi), kejang otot.
e. Kontraindikasi
Pada pasien yang memiliki hipersensitivitas terhadap diazepam, pasien yang
mengkonsumsi alcohol, anak-anak dibawah 6 bulan
41

f. Efek samping
Diare dan gatal-gatal
g. Peringatan dan perhatian
Hati-hati bila diberikan pada pasien yang diberikan opioid secara bersamaan
dapat menyebabkan sedasi mendalam, depresi pernafasan, koma bahkan
kematian.
h. Dosis dan aturan pakai
Diberikan secara oral dengan dosis 4 mg/hari dan dapat ditingkatkan bertahap
hingga maksimum 60 mg/hari.

7. Vitamin C (MIMS, Medsacpe, Sweetman 2009)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung 50 mg
b. Nama dagang
VitalongC®, ExterC®
c. Farmakologi
Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu
merupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau
tidak langsung memberikan electron ke enzim yang membutuhkan ion-ion
logam tereduksi.
d. Indikasi
Pencegahan dan mengobati deficienci vitamin c
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan untuk pasiem hemokromatosis, talasemia, dan anemia
sideroblastik
f. Efek samping
Vitamin C dengan dosis lebih dari 1 g/hari dapat menyebabkan diare
dikarenakan efek iritasi pada mukosa usus yang menyebabkan peningkatan
peristaltic. Dosis besar tersebut dapat juga meningkatkan terbentuknya batu
ginjal, oksalosis, dan aritmia jantung.
42

g. Peringatan dan Perhatian


Hati-hati pada pasien yang sedang mengkonsumsi tetrasiklin, fenobarbital,
dan salisilat
h. Dosis dan aturan pakai
Diberikan dengan dosis 100-500 mg/hari

8. Glyseril Guaiacolat (GG) atau Guaifenesin (MIMS, Medscape)


a. Komposisi
Tiap tablet mengandung 100 mg
b. Nama dagang
-
c. Farmakologi
Mekanisme kerjanya menstimulasi mukosa dan merangsang sekresi kelenjar
saluran nafas lewat nasofagus sehingga menurunkan viskositas dan
mempermudah pengeluaran dahak.
d. Indikasi
Batuk berdahak
e. Kontraindikasi
Dikontraindikasikan untuk pasiem hipersensitifitas terhadap guaifenesin
f. Efek samping
Jika dengan dosis besar akan menimbulkan kantuk, mual dan muntah
g. Peringatan dan Perhatian
Hati-hati pada pasien yang sedang mengkonsumsi phenylalanine
h. Dosis dan aturan pakai
Diberikan dengan dosis 100-400 mg peroral tiap 4 jam, tidak lebih dari 2,4
gram/hari

9. Sanmol® (MIMS, Medscape, Sweetman 2009)


a. Komposisi
Tiap kaplet (tablet) mengandung paracetamol 500 mg.
b. Nama Dagang
Sanmol®, Hufagesic®, Pyrex®, Dapyrin®, Lanamol®
43

c. Farmakologi
Paracetamol merupakan senyawa turunan para-aminofenol yang memiliki
aktivitas analgesik dan antipiretik serta aktivitas antiinflamasi yang lemah.
Mekanisme kerjanya sama dengan golongan salisilat, namun paracetamol
tidak memiliki aktivitas urikosurik
d. Indikasi
Analgesik, antipiretik, antiinflamasi
e. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap paracetamol dan pasien gangguan hati.
f. Efek samping
Mual, muntah, trombositopenia, leucopenia, neutropenia, pansitopenia,
agranulosit, hipotensi, dan takikardi.
g. Peringatan dan Perhatian
Hati-hati bila diberikan kepada pasien dengan gangguan hati dan ginjal,
pasien yang ketergantungan alkohol.
h. Dosis dan aturan pakai
- Untuk dewasa dosis pada umumnya diberikan 0.5-1 g tiap 4-6 hourly
(jika perlu) dengan dosis maksimum 4 g sehari.
- Untuk anak-anak 3 bulan – 1 tahun : 60-120 mg, 1-5 tahun : 60-120 mg,
dan anak-anak 6-12 tahun : 250-500 mg. Diberikan tiap 4-6 jam jika
perlu

III.4. Penyiapan Obat


III.4.1. Resep racikan
1. Perhitungan bahan
Dibuat sebanyak 10 puyer racikan, jumlah bahan yang dibutuhkan:
100 𝑚𝑔
a. Erytromisin = 200 𝑚𝑔 x 10 = 5 tablet @ 200 mg
6 𝑚𝑔
b. Asvex = 33,21 𝑚𝑔 x 10 = 1,8 tablet @ 33,21 mg
2 𝑚𝑔
c. Heptasan =4 𝑚𝑔 x 10 = 5 tablet tablet @4 mg
10 𝑚𝑔
d. Epexol = x 10 = 3,3 tablet tablet @30 mg
30 𝑚𝑔
44

1 𝑚𝑔
e. Valisanbe = 2 𝑚𝑔 x 10 = 5 tablet tablet @2 mg
12,5 𝑚𝑔
f. Vitamin C = x 10 = 2,5 tablet tablet @50 mg
50 𝑚𝑔
40 𝑚𝑔
g. GG = 100 𝑚𝑔 x 10 = 4 tablet tablet @100 mg

2. Peracikan
1. Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan terlebih dahulu.
2. Erysanbe, asvex, heptasan, epexol, valisanbe, vitamin c, dan GG ditimbang
satu per satu sesuai perhitungan.
3. Bahan tersebut kemudian dimasukkan dan digerus dalam lumpang hingga
homogen. Setelah homogen, bahan dikeluarkan dari lumpang dan diletakkan di
atas 10 kertas perkamen dengan takaran yang sesuai .
4. Bungkus kertas perkamen dan beri etiket

III.4.2. Resep non-racikan


1. Cefspan® sirup
Cefspan® yang berisi cefixime dengan sediaan 100 mg disiapkan Kemudian
diberikan etiket berwarna putih dengan aturan pakai yaitu 2 kali sehari 1 sendok
makan, tiap 12 jam sesudah makan serta harus diminum sampai habis.

2. Sanmol® sirup
Sanmol® sirup disiapkan dengan dosis 120 mg/5 ml. Kemudian diberi etiket
berwarna putih dengan aturan pakai jika perlu 3 kali sehari 1 sendok makan (setara
dengan 5 ml) pada pagi, siang, dan malam hari setelah makan. Obat ini digunakan
bila perlu (demam)

III.5. Etiket dan copy Resep


III.5.1. Etiket
Etiket yang digunakan untuk resep di atas yaitu sebanyak 3 etiket yaitu untuk
Cefspan® sirup, obat batuk racikan, dan Sanmol® sirup. Ketiganya menggunakan
etiket putih karena merupakan obat yang digunakan secara peroral.
45

a. Resep Cefspan® sirup

APOTEK KIMIA FARMA 38


jl. Sultan hasanuddin No 46 (0411)3617110
Apoteker: Hafidzawati, S.Si.,Apt
SIPA: 446/838.1.06/SIPA/DKK/XI/2017

Tanggal: No :

Gambar 7. Etiket resep Cefspan sirup


b. Resep racikan
APOTEK KIMIA FARMA 38
jl. Sultan hasanuddin No 46 (0411)3617110
Apoteker: Hafidzawati, S.Si.,Apt
SIPA: 446/838.1.06/SIPA/DKK/XI/2017

Tanggal: No :

Gambar 8. Etiket resep racikan

c. Resep Sanmol® sirup


APOTEK KIMIA FARMA 38
jl. Sultan hasanuddin No 46 (0411)3617110
Apoteker: Hafidzawati, S.Si.,Apt
SIPA: 446/838.1.06/SIPA/DKK/XI/2017

Tanggal: No :

Gambar 9. Etiket resep Sanmol® sirup


46

III.5.2. Copy resep


Salinan resep atau copy resep dapat diberikan apabila pasien meminta atau
bila masih ada obat yang harus ditebus dalam resep. Berikut adalah contoh salinan
resep.

Apoteker: Hafidzawati, S.Si.,Apt


APOTEK KIMIA FARMA 38 SIPA:
jl. Sultan hasanuddin No 46, makassar 446/838.1.06/SIPA/DKK/XI/2017
(0411)3617110

COPY RESEP
Salinan resep no :
Dari dokter :
Dibuat tanggal:
Untuk :
R/

cap PCC
apotek

(Hafidzawati, s.si., apt)

Gambar 10. Contoh copy resep


47

III.6. Penyerahan Obat


Kegiatan apotek terdiri atas aspek manajerial dan pelayanan farmasi klinik.
Salah satu kegiatan pelayanan farmasi klinik yaitu melakukan pelayanan informasi
obat (PIO) (PerMenKes, No.73, 2016). Pelayanan Informasi Obat (PIO) adalah
kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat
yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau
masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal
(PerMenKes, No. 73, 2016).

Penyerahan obat kepada pasien hendakah dilakukan dengan cara yang baik
dan sopan, sebab mengingat pasien sedang dalam keadaan tidak sehat sehingga
emosinya kemungkinan tidak stabil. Namun, sebelum memberikan informasi,
apoteker mengajukan beberapa pertanyaan kepada pasien mengenai nama dan usia
pasien, keluhan yang dirasakan, lama terjadinya keluhan, riwayat obat lain yang
digunakan, dan reaksi alergi.

Saat melakukan penyerahan obat yang terdapat pada resep, beberapa


informasi yang dapat diberikan terkait penggunaan obat pasien yaitu:
1. Obat Cefspan® yang mengandung cefixime merupakan antibiotika yang
digunakan untuk mengatasi infeksi pada saluran pernapasan pasien. Obat
Cefspan® diberikan 2 kali sehari sebanyak 1 sendok makan yang setara dengan
5 ml dan harus dihabiskan walaupun keluhan sudah hilang. Obat ini dikonsumsi
sesudah makan. Penyimpanan obat ini sebaiknya di tempat yang sejuk, kering,
tertutup rapat, terhindar dari cahaya dan harus dijauhkan dari jangkauan anak-
anak.
2. Obat racikan digunakan untuk mengatasi batuk dan sesak nafas yang dialami
oleh pasien. Aturan pakainya yaitu 3 kali sehari 1 puyer pagi, siang, dan malam
hari. Obat ini dikonsumsi sesudah makan dan obat akan habis dalam waktu 3
hari sebab obat yang diberikan yaitu sebanyak 10 puyer. Penyimpanan obat ini
sebaiknya di tempat yang sejuk, kering, tertutup rapat, terhindar dari cahaya dan
harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
48

3. Sanmol® sirup merupakan obat yang mengandung paracetamol dan digunakan


untuk mengatasi demam pasien. Sanmol dikonsumsi 3 kali sehari 1 sendok
makan yang setara dengan 5 ml jika perlu. Jadi obat ini dapat dihentikan
penggunaannya bila demam sudah turun. Sanmol juga dapat dikonsumsi sesudah
makan. Penyimpanan obat ini sebaiknya di tempat yang sejuk, kering, tertutup
rapat, terhindar dari cahaya dan harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
4. Jika sakit berlanjut ataupun terjadi efek yang tidak diinginkan, maka segera
untuk menghubungi dokter atau apoteker.
BAB IV
PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai pelayanan resep di apotek Kimia
Farma 38 Sultan Hasanuddin, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada kajian administratif resep, terdapat beberapa kekurangan dalam
kelengkapan resep yaitu bobot badan pasien, tinggi badan, alamat dan nomor
telpon pasien.
2. Pada skrining kesesuaian farmasetik terdapat inkompatibilitas antar bahan
dimana terdapat tablet salut selaput yang tidak boleh dipuyerkan
3. Pada pertimbangan klinis resep, terjadi interaksi antara satu obat dengan obat
lainnya, seperti erytromisin dan diazepam serta cyproheptadine dan diazepam.
Selain itu, terdapat duplikasi pada antibiotika.
4. Resep yang diberikan memiliki indikasi untuk infeksi saluran pernapasan, sesak
nafas, batuk, dan demam. Obat yang tercantum dalam resep sudah sesuai
dengan penyakit yang diderita pasien.
IV.2. Saran
Sebaiknya dokter dapat lebih memperhatikan kelengkapan administratif resep
dan mempertimbangkan pemberian resep dari segi klinis juga dosis pada racikan

49
DAFTAR PUSTAKA

Bogadenta, Aryo. 2012. Manajemen Pengelolaan Apotek. Jogjakarta : D-


Medika

Departemen Kesehatan RI. Undang - Undang Obat Keras Nomor 419 tahun
1949 Tentang Ordonansi Obat Keras. Jakarta. 1949.

Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No.


374/Menkes/SK/VII/1990 Tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta. 1990

Departemen Kesehatan RI. Permenkes RI Nomor 1332/Menkes/SK/X/ 2002


Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
Jakarta. 2002.

Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35


Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta. 2009.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor


35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2007. Pedoman


Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI.

Megawati dan Santoso. 2017. Pengkajian Resep Secara Administratif


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 Pada Resep
Dokter Spesialis Kandungan di Apotek Sthira Dhipa. Journal Of Medicamento.
Vol. 3. No. 1. h: 14-15

Medscape. Drug Interaction Checker. Diakses dari


http://www.reference.medscape.com/drug-interactionchecker pada tanggal 30
Maret 2019

Menteri Kesehatan RI. 1986. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 02396/A/SK/VIII/86 Tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar
G. Jakarta

Menteri Kesehatan RI. 1983. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor: 2380/A/Sl/Vl/83 Tentang Tanda Khusus Untuk Obat Bebas dan
Obat Bebas Terbatas. Jakarta

Menteri Kesehatan RI. 1990. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:


347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotik. Jakarta

50
51

Menteri Kesehatan RI. 2005. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 168/Menkes/Per/II/2005 Tentang Prekursor Farmasi. Jakarta.

Menteri Kesehatan RI. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 51 Tahun 2009, tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.

Menteri Kesehatan RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan,
dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Pekursor Farmasi. Jakarta.

Menteri Kesehatan RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek. Jakarta.

Menteri Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
Jakarta
Menteri Kesehatan RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika.
Jakarta

MIMS Grup. 2018. Drug Information. Diakses dari


http://www.mims.com/indonesia/drug/info. pada tanggal 30 Maret 2019.

Nafriadi, Gunawan, dan Gan Sulistia. 2012. Farmakologi Dan Terapi.


Departemen Farmakologi Dan Terapeutik FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Sweetman, S.C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Edisi 36.
Pharmaceutical Press: USA

Sukmajati, M.A. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/Xi?2004 di Kota Yogyakarta.
Skripsi. Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta.

WHO. Developing Pharmacy Practice A Focus On Patient Care Handbook


2006 edition. Geneva. 2006.
52

LAMPIRAN

Lampiran. 1. Contoh Surat Pesanan Obat Narkotika


53

Lampiran 2. Contoh Surat Pesanan Obat Psikotropika


54

Lampiran 3. Contoh Surat Pesanan Obat Jadi Prekursor


55

Lampiran 4. Form Pelaporan Penggunaan Obat Golongan Morfin, Pethidin, dan


Derivatnya
56

Lampiran 5. Form Pelaporan Penggunaan Obat Golongan Narkotika


57

Lampiran 6. Form Pelaporan Penggunaan Obat Mengandung Prekursor

Anda mungkin juga menyukai