Anda di halaman 1dari 69

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA 38 HASANUDDIN
GELOMBANG II
PERIODE 24 FEBRUARI – 28 MARET 2020

NURHALISA
N014191019

SEMESTER AKHIR 2019/2020


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA 38 HASANUDDIN
GELOMBANG II
PERIODE 24 FEBRUARI – 28 MARET 2020

NURHALISA
N014191019

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Pembimbing PKPA Farmasi Perapotekan
Program Studi Profesi Apoteker Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin

Dr. Aliyah, M.S., Apt. Muhammad Raihan S.Si., M.Sc. Stud., Apt.
NIP. 19570704 198603 2 001 NIP. 19900528 201504 1 001

Makassar, Juni 2020


KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA)
Farmasi Perapotekan di Apotek Kimia Farma 38 Hasanuddin, yang merupakan
salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker
(PSPA) di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Muhammad Raihan, S.Si., M.Sc., Stud., Apt. sebagai pembimbing
PKPA Farmasi Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker Universitas
Hasanuddin yang telah membimbing dan memberi pengarahan selama proses
penyusunan laporan hingga selesai.
2. Bapak A. Muh. Afiff Maralla., S.Si., Apt. selaku Manager Apotek Pelayanan
Kimia Farma 38 Hasanuddin Makassar, sekaligus Pembimbing Teknis PKPA
Farmasi Perapotekan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
menambah ilmu selama pelaksanaan PKPA Perapotekan.
3. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanudin, beserta segenap jajaran Wakil
Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
4. Ketua Program Studi Profesi Apoteker Universitas Hasanuddin
5. Koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker
Universitas Hasanuddin.
6. Kedua orang tua, kakak dan keluarga penulis yang senantiasa selalu memberi
dukungan moril dan materil kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dilaporan ini masih terdapat kekurangan, namun
penulis berharap agar laporan ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Makassar, Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
I.1 Latar Belakang 1
I.2. Tujuan Pelayanan Resep 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
II.1 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek 3
II.1.1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai 4
II.1.2 Pelayanan farmasi klinik 9
II.2 Apotek 17
II.2.1 Definisi apotek 17
II.2.2 Fungsi apotek 17
II.2.3 Registrasi, izin praktik dan izin kerja apoteker 17
II.3. Penggolongan Obat 18
II.3.1 Obat bebas 18
II.3.2. Obat bebas terbatas 19
II.3.3 Obat keras 21
II.3.4 Narkotika 25
II.4 Prekursor Farmasi 28
BAB III PELAYANAN RESEP DI APOTEK 26
III.1 Contoh Resep 26
III.2 Skrining Resep 27
III.2.1 Skrining adminstratif 27
III.2.2 Skrining farmasetik 28

iv
III.2.3 Skrining klinis 28
III.3 Uraian Obat dalam Resep 33
III.4 Penyiapan Obat 39
III.5 Etiket dan Copy Resep 40
III.6 Penyerahan Obat 42
BAB IV PENUTUP 43
IV.1 Kesimpulan 43
IV.2 Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 47

v
DAFTAR TABEL

Tabel halaman
1. Skrining administratif resep 27

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman
1. Contoh kartu stock 7
2. Pelaporan melalui SIPNAP 9
3. Contoh formulir PTO 15
4. Contoh formulir MESO 16
5. Penandaan obat bebas 19
6. Penandaan obat bebas terbatas 19
7. Tanda peringatan obat bebas terbatas 20
8. Penandaan obat keras 21
9. Penandaan obat narkotika 25
10. Contoh resep 26
11. Etiket resep racikan 40
12. Etiket resep paracetamol 41
13. Copy resep 41

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman
1. Form surat pesanan narkotika 47
2. Form surat pesanan psikotropika 48
3. Form surat pesanan obat jadi prekursor 49
4. Contoh laporan penggunaan sediaan jadi narkotika 50
5. Contoh laporan penggunaan morfin, pethidin, dan derivatnya 51
6. Contoh laporan penggunaan psikotropika 52
7. Contoh laporan penggunaan mengandung prekursor 53
8. Skema pelayanan resep tunai di Apotek Kimia Farma 38 Hasanuddin 54
9. Skema pelayanan resep kredit di Apotek Kimia Farma 38 Hasanuddin 55

viii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Menurut peraturan pemerintah No. 51 tahun 2009, pekerjaan kefarmasian
adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan tersebut harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan atau lebih spesifik tenaga kefarmasian yang
memiliki wewenang dan keahlian untuk itu. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, peran apoteker juga mengalami perubahan yang semula
hanya berfokus pada pengelolaan obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang
komperhensif (pharmaceutical care) yang meliputi pelayanan obat dan farmasi
klinik (PerMenKes, No 73, 2016).

Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu


kegiatan yang bersifat manajerial yang berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinik. Pelayanan
farmasi klinik di apotek merupakan pelayanan kefarmasian yang langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Salah satu standar
pelayanan farmasi klinik di apotek yaitu pengkajian dan pelayanan resep
(PerMenKes, N0.73, 2016).

1
2

Pelayanan ini mencakup pelayanan resep yang dimulai dari penerimaan,


pemeriksaan ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai, termasuk peracikan obat, pemeriksaan kembali, dan penyerahan
yang disertai dengan pemberian informasi obat.

Pada setiap tahap alur pelayanan resep, apoteker harus mampu melakukan
upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error) serta
mampu mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang terkait dengan obat (drug
related problems), farmakoekonomi dan farmakososial (PerMenKes, No.73, 2016).

Oleh karena itu, perkerjaan kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga


kesehatan yang mempunyai keahlian dan wewenang. Apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan
tugasnya dan berinteraksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi yang terjadi
dapat berupa pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. Apoteker
harus menjadikan standar pelayanan kefarmasian sebagai acuan dan menjalankan
tugasnya sehingga diperoleh hasil yang optimal dan dapat meningkatkan mutu
pelayanan kefarmasian (PerMenKes, No.73, 2016).

Sehubungan dengan pentingnya peranan Apoteker dalam dunia kesehatan


terutama dalam praktik kefarmasian di Apotek, oleh karena itu selain memerlukan
pengetahuan secara teori, para calon apoteker perlu melakukan praktik langsung
kedunia kerja. Karena hal tersebutlah dilaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) Perapotekan yang dilaksanakan di Apotek Kimia Farma 38 Hasasanuddin.
PKPA ini diharapkan mampu membekali para calon apoteker dalam melaksanakan
fungsi dan tanggung jawab sebagai Apoteker secara professional serta mengatasi
permasalahan yang muncul dalam pengelolaan suatu apotek.

I.2. Tujuan Pelayanan Resep


Adapun tujuan dalam PKPA Perapotekan adalah memberikan kesempatan
kepada mahasiswa calon apoteker agar dapat:
1. Mengetahui alur pelayanan resep dan meningkatkan keterampilan dalam
memberikan pelayanan di apotek mulai dari penerimaan resep dengan
3

memperhatikan persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik,


pertimbangan klinis hingga penyerahan obat kepada pasien.
2. Mengetahui cara berkomunikasi yang baik dan jelas dalam memberikan
informasi terkait obat yang diterima oleh pasien.
3. Mampu mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait resep
yang diterima.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Pelayanan kefarmasian adalah suatu bentuk pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Berdasarkan kewenangan pada peraturan
perundang-undangan, pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang
semula hanya berfokus kepada produksi dan pengelolaan obat (drug oriented)
berkembang menjadi pelayanan kefarmasian yang komprehensif kepada pasien
(patient oriented). Pekerjaan kefarmasian ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Oleh
karena itu, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan
perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker
harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta
mengatasi masalah terkait obat (drug oriented problems), masalah farmako-
ekonomi, dan farmasi sosial (social-pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal
tersebut, apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan
(PerMenKes, No.73, 2016).

Standar pelayanan kefarmasian di apotek telah diatur oleh Pemerintah dalam


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Peraturan ini dibuat untuk
menggantikan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang belum sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu dilakukan
perubahan.

3
4

Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan untuk


meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian; menjamin kepastian hukum bagi
tenaga kefarmasian; serta melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016, bahwa pelayanan
kefarmasian di apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat
manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh
sumber daya manusia, sarana dan prasarana (PerMenKes, No.73, 2016).

II.1.1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku meliputi
(PerMenKes, No.73, 2016):

a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya
dan kemampuan masyarakat. Sebelum melakukan perencanaan, terlebih dahulu
dilakukan Analisa metode untuk merencanakan pengadaan obat. Metode yang biasa
digunakan adalah system Analisa pareto atau biasa juga disebut analisis ABC dan
metode Analisa VEN.

Analisis ABC yang didasarkan pada hukum pareto merupakan konsumsi


obat tahunan untuk menentukan item-item obat mana saja yang memiliki porsi dana
terbesar. Analisis ABC dapat diterapkan dengan menggunakan data konsumsi obat
selama satu tahun atau kurang (Holloway, 2003). Metode ini dalam proses
pengadaan digunakan untuk memastikan bahwa pengadaan sesuai dengan prioritas
kesehatan masyarakat dan menaksir frekuensi pemesanan yang mempengaruhi
keseluruhan persediaan (Quick et al, 2012). Dalam analisis ini, persediaan
dikelompokkan menjadi tiga kelompok (A,B, dan C) berdasarkan nilai penggunaan
tahunan. Kelompok A adalah kelompok dengan penggunaan tahunan tertinggi
5

dengan 10-20% item tetapi menghabiskan 70-80% dana. Kelompok B sebanyak 10-
20% item berikutnya dan menggunakan 15-20% dana, sementara kelompok C
sebanyak 60-80% total item tetapi hanya bernilai 5-15% dari konsumsi tahunan
(Quick et al, 2012).

Analisis VEN adalah metode untuk membantu membuat prioritas untuk


pembelian obat-obatan dan menjaga persediaan. Obat-obatan dibagi berdasarkan
dampaknya pada kesehatan menjadi Vital (V), Esensial (E), dan Non-Esensial (N).
kelompok V adalah obat-obatan yang bersifat life-saving atau sangat penting untuk
disediakan. Kelompok E adalah obat-obatan yang efektif dan signifikan bekerja
pada penyakit, tetapi tidak sepenting obat vital untuk disediakan. Kelompok N
adalah obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi sebagian kecil penyakit atau
penyakit yang dapat diatasi sendiri, kelompok N berkhasiat namun tidak terlalu
penting untuk disediakan (Holloway, 2003).

b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan
farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di Apotek Kimia Farma 38 Hasanuddin menggunakan system pengadaan satu
pintu. Untuk pengadaan obat-obatan atau alat kesehatan hanya dilakukan oleh satu
apotek yaitu Kimia Farma Ahmad Yani. Semua kebutuhan obat-obatan atau alat
kesehatan dicatat kemudian diserahkan kepada bagian pengadaan di apotek Kimia
Farma Ahmad Yani. Hal ini juga berlaku untuk semua unit cabang Kimia Farma di
Makassar.
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu pelayanan, dan harga yang tertera dalam surat
pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas
6

pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor


batch dan tanggal kedaluarsa.
2. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang
lainnya yang dapat menyebabkan kontaminasi.
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan
kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
5. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO
(First in First Out).
e. Pemusnahan dan penarikan
1. Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kedaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian
lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan
dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep
dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
3. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela
oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.
7

5. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap
produk yang izin edarnya telah dicabut oleh Menteri.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,
penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kedaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya
memuat nama obat, tanggal kedaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran
dan sisa persediaan.

Gambar 1. Contoh Kartu Stock

Stock opname adalah salah satu bentuk kegiatan perhitungan persediaan


stock barang digudang sebelum dijual. Kegiatan stock opname dilakukan untuk
mengetahui secara pasti dan benar tentang persediaan barang yang ada pada catatan
pembukuan dan barang yang ada di gudang. Apakah jumlahnya sama atau berbeda.
Jika ditemukan barang lebih banyak daripada yang tertulis di stock opname, maka
8

dilakukan pengecekan ulang apakah kemungkinan ada transaksi yang belum dicatat
atau kesalahan dalam melakukan pencatatan.

g. Pencatatan dan pelaporan


Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan dan
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya sesuai kebutuhan.

Pelaporan terdiri atas pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal


merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi


kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi
pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.

Pelaporan penggunaan Narkotika dilakukan setiap bulan. Laporan


penggunaan obat Narkotika dilakukan melalui online SIPNAP (Sistem Pelaporan
Narkotika dan Psikotropika). Asisten apoteker setiap bulannya menginput data
penggunaan narkotika dan psikotropika melalui SIPNAP lalu setelah data terinput
data tersebut kemudia di import (paling lama sebelum tanggal 10 pada bulan
berikutnya). Laporan meliputi laporan pemakaian narkotika untuk bulan
bersangkutan (meliputi nomor urut, nama bahan/sediaan, satuan, persediaan awal
bulan), password dan username didapatkan setelah melakukan regisrasi pada dinkes
setempat.
9

Gambar 2. Pelaporan melalui SIPNAP

III.1.2. Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan bagian dari pelayanan
kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan
farmasi klinik meliputi (PerMenKes, No.73, 2016):

a. Pengkajian dan pelayanan resep


Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik, dan
pertimbangan klinis.
1. Kajian administratif meliputi:
a) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan
b) Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon, dan
paraf
c) Tanggal penulisan resep
2. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi :
a) Bentuk dan kekuatan sediaan
b) Stabilitas
c) Kompatibilitas (ketercampuran obat)
10

3. Pertimbangan klinis meliputi :


a) Ketepatan indikasi dan dosis obat
b) Aturan, cara, dan lama penggunaan obat
c) Duplikasi dan atau poliformasi
d) Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi
klinik lain)
e) Kontraindikasi
f) Interaksi

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka apoteker


harus menghubungi dokter penulisan resep. Pelayanan resep dimulai dari
penerimaan; pemeriksaan ketersediaan; penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat; pemeriksaan; penyerahan disertai
pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error) (PerMenKes,
No.73, 2016).

b. Dispensing
Dispensing terdiri atas penyiapan, penyerahan, dan pemberian informasi
obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut :
1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep
a. Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep
b. Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kedaluarsa dan keadaan fisik obat.
2. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
a. Warna putih untuk obat dalam/oral
b. Warna biru untuk obat luar dan suntik
c. Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi.
4. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang
berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah.
11

Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:


1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali
mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan
jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep).
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.
4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.
5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan
obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari,
kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain.
6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik,
mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil.
7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya
8. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker
(apabila diperlukan).
9. Menyimpan resep pada tempatnya.
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas
atau bebas terbatas yang sesuai.
c. Pelayanan informasi obat (PIO)
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker
dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan
kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat
resep, obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi
khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapetik dan
alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek
samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat
dan lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di apotek, meliputi:
12

1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan


2. Membuat dan menyebarkan bulletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat
(penyuluhan)
3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien
4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang
sedang praktik profesi
5. Melakukan penelitian penggunaan obat
6. Membuat dan menyampaikan makalah dalam forum ilmiah
7. Melakukan program jaminan mutu
Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu
penelusuran kembali dalam waktu relatif singkat. Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam dokumentasi pelayanan informasi obat:
1. Topik pertanyaan
2. Tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan
3. Metode pelayanan informasi obat (lisan, tertulis, lewat telepon)
4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat
alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium)
5. Uraian pertanyaan
6. Jawaban pertanyaan
7. Referensi
8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data apoteker yang
memberikan pelayanan informasi obat
d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan
pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling,
apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien
dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker
harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami
obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling :
13

1. Pasien kondisi khusus (pediatrik, geriatrik, gangguan fungsi hati dan/atau


ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya : TB, DM,
AIDS, epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi, pasien menerima beberapa obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari
satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis
obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahapan kegiatan konseling:
1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime
Question, yaitu :
a) Apa yang disampaikan dokter tentang obat Anda?
b) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat Anda?
c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah
Anda menerima terapi obat tersebut?
3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien
untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan


pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam
konseling.
e. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care).
14

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan


pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok
lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan
kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker meliputi:
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan
2. Identifikasi kepatuhan pasien
3. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah misalnya
cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas, dan keamanan penggunaan obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien
6. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah.

f. Pemantauan terapi obat (PTO)


Merupakan proses yang memastikan bahwa seseorang pasien mendapatkan
terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping. Kriteria pasien:
1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui
2. Menerima obat lebih dari 5 jenis
3. Adanya multidiagnosis
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati
5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit
6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang
merugikan
Kegiatan :
1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri
atas riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi, melalui
wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.
3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain
adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi,
15

pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah,
terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat.
4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan
apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi
5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh
apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk
mengoptimalkan tujuan terapi.
7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat.

Gambar 3. Contoh Formulir PTO


16

g. Monitoring efek samping obat (MESO)


Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
merugikan atau tidak diharapkan terjadi pada dosis normal yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi
fisiologis. Kegiatan:
1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami
efek samping obat
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain
2. Ketersediaan formulir monitoring efek samping obat

Gambar 4. Contoh Formulir MESO


17

II.2. Apotek
II.2.1. Definisi apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 9 tahun 2017 tentang Apotek,
apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian
oleh apoteker. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, pekerjaan
kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Pekerjaan kefarmasian dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang terdiri atas


apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Adapun
tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya
farmasi, dan analis farmasi (PerMenKes, No. 9, 2017).

II.2.2. Fungsi apotek


Fungsi apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotik, adalah:
1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik, termasuk komunitas.

II.2.3. Registrasi, izin praktik, dan izin kerja apoteker

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar


Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pelayanan kefarmasian di apotek
diselenggarakan oleh apoteker, dapat dibantu oleh apoteker pendamping, dan/atau
tenaga teknis kefarmasian yang memiliki surat tanda registrasi (STR) dan surat izin
praktik.

Dalam melakukan pelayanan kefarmasian apoteker harus memenuhi kriteria:


(PerMenKes No.73, 2016)
18

1. Persyaratan administrasi
a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi.
b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).
c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku.
d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA).
2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional
Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang
berkesinambungan.
4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri,
baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau
mandiri.
5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang-
undangan, sumpah apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar
pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.

II.3. Penggolongan Obat


Obat adalah bahan atau panduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (PerMenKes,
No.73, 2016). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
917/MENKES/PER/X/1993 golongan obat adalah penggolongan yang
dimaksudkan untuk peningkatan dan keteapatan penggunaan serta pengamanan
distribusi yang terdiri atas obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat
keras, psikotropika dan narkotika (PerMenKes No.917, 1993).

II.3.1. Obat bebas


Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran
hijau dengan garis tepi berwarna hitam (DitBinFar, 2007).
19

Gambar 5. Penandaan obat bebas


(Sumber : DitBinFar, 2007)

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


2380/A/SK/VI/83 bahwa ukuran lingkaran tanda khusus obat bebas disesuaikan
dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar yang bersangkutan
dengan ukuran diameter lingkaran luar dan tebal garis tepi yang proporsional,
berturut-turut minimal satu cm dan satu mm. Contoh : Cendo Protagenta® tetes
mata minidose, Ottopan® sirop, Paraco® drops, Microlax® laxative enema,
Magasida® tablet, Magasida® suspensi, Sanvita-B® Syrup, Farmacrol Forte® sirop,
Diatabs® activated attapulgite tablet, Puyer Bintang Toedjoe dan Pharolit® serbuk.

II.3.2. Obat bebas terbatas


Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (DitBinFar, 2007).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 2380/A/SK/VI/83 bahwa ukuran lingkaran tanda khusus obat bebas terbatas
disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar yang
bersangkutan dengan ukuran diameter lingkaran luar dan tebal garis tepi yang
proporsional, berturut-turut minimal satu cm dan satu mm.

Gambar 6. Penandaan obat bebas terbatas


(Sumber : DitBinFar, 2007)

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa
empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan
memuat pemberitahuan berwarna putih seperti yang tercantum pada gambar di
bawah (DitBinfar, 2007).
20

Gambar 7. Tanda peringatan obat bebas terbatas


(Sumber : DitBinFar, 2007)

Beberapa contoh obat bebas terbatas:

1. P.No.1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pakainya.


Contoh: Neozep® Tablet, Actifed® sirop.
2. P.No 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, Jangan ditelan.
Contoh: Betadine® gargle, Tantum Verde® gargle.
3. P.No.3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
Contoh: Daktarin® powder, Fungiderm®Krim, Neo Ultrasiline® Krim
Kalpanax® cair, Thrombophob® gel.
4. P.No.4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
Contoh: Asthmador Cigarettes® rokok asma yang mengandung Scopolaminum
5. P.No.5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
Contoh: Rivanol® kompres yang digunakan untuk kompres luka
6. P.No.6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan.
Contoh: Anusol®Suppositoria,

II.3.3. Obat keras


Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah lingkaran berwarna merah
21

yang di dalamnya terdapat huruf K yang menyentuh tepi lingkaran berwarna hitam
(DitBinFar, 2007).

Gambar 8. Penandaan obat keras


(Sumber : DitBinFar, 2007)
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 2396/A/SK/VIII/86 bahwa ukuran lingkaran tanda khusus obat keras
disesuaikan dengan ukuran dan desain etiket wadah dan bungkus luar yang
bersangkutan dengan ukuran diameter lingkaran terluar, tebal garis tepi dan tebal
huruf K yang proporsional, berturut-turut minimal satu cm dan satu mm. Penandaan
ini harus dicantumkan pada etiket dan bungkus luar obat secara jelas dan sebagai
pelengkap harus dicantumkan kalimat “Harus Dengan Resep Dokter”. Yang
termasuk golongan obat keras adalah beberapa obat generik dan obat wajib apotek
(OWA), juga termasuk di dalamnya adalah psikotropika.

A. Obat wajib apotek (OWA)


Obat wajib apotek (OWA) merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh
Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien tanpa resep dokter. Berdasarkan
PerMenKes Nomor 9 Tahun 2017, resep merupakan permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, atau dokter hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun
elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan bagi pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada
persyaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA, yaitu (KepMenKes,
No.347, 1990):
1. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan
kepada pasien. Contohnya untuk obat Albendazole tablet yang tersedia dalam
dua bentuk kekeuatan sediaan yang masuk dalam daftar OWA, yaitu dengan
kekuatan sediaan 200 mg yang maksimum dapat diberikan sebanyak 6 tablet,
dan dalam bentuk kekuatan sediaan 400 mg yang maksimum hanya dapat
diberikan sebanyak 3 tablet.
22

2. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama,
alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
3. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi,
kontra-indikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan dan efek samping obat yang
mungkin timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki
tersebut timbul.
Tujuan OWA adalah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
mengobati dirinya sendiri (swamedikasi) untuk mengatasi masalah kesehatan
dengan gejala ringan yang dialaminya, sehingga akan tercapai peningkatan
swamedikasi secara tepat, aman dan rasional melalui peningkatan penyediaan obat
yang dibutuhkan sekaligus menjamin penggunaan obat secara tepat, aman dan
rasional (KepMenKes, No. 347, 1990).
Sesuai PerMenKes Nomor 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang
dapat diserahkan adalah sebagai berikut :
1) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di
bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2) Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada
kelanjutan penyakit.
3) Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan.
4) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
5) Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung-
jawabkan untuk pengobatan sendiri.

B. Psikotropika
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran,
Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi, menyatakan psikotropika adalah zat/ bahan baku atau obat, baik alamiah
maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
23

selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.

Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom


ketergantungan sebagaimana dimaksudkan dalam UU RI No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang
Perubahan Penggolongan Psikotropika digolongkan menjadi:

1) Psikotropika golongan I
Pasal 6 UU RI No. 5 Tahun 1997, menyatakan bahwa psikotropika golongan
I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi. Contoh:
brolamfetamina, etisiklidina, etriptamina, mekationa, psilosibina, rolisiklidina,
tenamfetamina, dan tenoksilidina.

2) Psikotropika golongan II
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat sebagai penyebab sindrom
ketergantungan. Contoh: amineptina, metilfenidat dan sekobarbital.

3) Psikotropika golongan III


Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang sebagai penyebab sindrom
ketergantungan. Contoh: glutetimida, amobarbital, siklobarbital.

4) Psikotropika golongan IV
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan sangat banyak digunakan untuk terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan sebagai penyebab sindrom
ketergantungan. Contoh : diazepam, alprazolam, dan zolpidem.

Pengelolaan Psikotropika berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015,


meliputi:
24

a) Pemesanan psikotropika
Pemesanan Psikotropika dalam bentuk obat jadi dapat dilakukan berdasarkan
surat pesanan (SP) dari Apoteker penanggung jawab. Surat pesanan Psikotropika
dapat digunakan untuk satu atau beberapa jenis Psikotropika dan harus terpisah dari
pesanan barang lain. Surat pesanan Psikotropika dibuat sekurang-kurangnya tiga
rangkap.

b) Penyimpanan Psikotropika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015, lemari khusus penyimpanan
psikotropika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Terbuat dari bahan yang kuat.
2. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai kunci.
3. Harus diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
4. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

c) Pencatatan dan Pelaporan Psikotropika


Pencatatan Psikotropika berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal
43 ayat 1 dan 3; dan pasal 44 meliputi :
1. Apotek yang melakukan penyaluran atau penyerahan Psikotropika, wajib
membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Psikotropika.
2. Pencatatan paling sedikit terdiri atas:
a) Nama, bentuk sediaan, kekuatan dan jumlah persediaan
b) Tanggal, nomor dokumen dan sumber penerimaan
c) Jumlah yang diterima
d) Tanggal, nomor dokumen dan tujuan penyaluran/penyerahan
e) Jumlah yang disalurkan/diserahkan
f) Nomor batch dan kedaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran penyerahan
dan
g) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
25

3. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,


dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Psikotropika wajib
disimpan secara terpisah paling singkat 5 tahun.
Pelaporan Psikotropika berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal
45 ayat 6,7 dan 10 meliputi :
a) Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan
penggunaan psikotropika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat dan disampaikan
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
b) Pelaporan penyerahan/penggunaan psikotropika terdiri atas :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c. Jumlah yang diterima
d. Jumlah yang diserahkan

II.3.4. Obat narkotika


Berdasarkan Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika,
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Penandaan obat narkotika adalah palang medali
merah (DitBinFar, 2007).

Gambar 9. Penandaan obat narkotika


(Sumber :DitBinFar, 2007)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 7 Tahun 2018 tentang


Perubahan Penggolongan Narkotika, narkotik digolongkan ke dalam 3 golongan,
yaitu:
a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
26

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.


Berdasarkan PerMenKes Nomor 7 tahun 2018 tentang Perubahan
Penggolongan Narkotika, daftar narkotika golongan I di antaranya yaitu :
1) Tanaman Papaver somniferum L. dan semua bagian - bagiannya termasuk
buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver somniferum L. yang hanya mengalami pengolahan
sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar
morfinnya.
3) Opium masak terdiri atas :
a) Candu yaitu hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan, dan
peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan
maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk
pemadatan.
b) Jicing yaitu sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan
apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c) Jicingko yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5) Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk
serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui
perubahan kimia.
6) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat
diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7) Tanaman ganja, semua tanaman genus - genus Cannabis dan semua bagian
dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau
bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
8) Karisoprodol, dengan nama lain Isomeprobamat, Soma, Isobamat.
27

b. Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan


sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Daftar narkotika golongan II di antaranya :
alfasetilmetadol, betametadol, difenoksin, dihidromorfina, hidromorfinol,
hidromorfona, fentanil, metadona, petidina.
c. Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Daftar narkotika golongan III diantaranya yaitu asetildihidrokodeina,
dekstropropoksifena, dihidrokodeina, etilmorfina, kodeina, nikodikodina,
nikokodina, norkodeina, polkodina, propiram.
a. Pemesanan Narkotika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015, pemesanan narkotika hanya
dapat dilakukan berdasarkan:
1. Surat pemesanan (SP) khusus narkotika yang terdiri atas minimal tiga
rangkap yaitu untuk BPOM, untuk DINKES Kabupaten/Kota, dan untuk
arsip Apotek.
2. Surat pemesanan narkotika hanya dapat digunakan untuk satu jenis
narkotika dan harus terpisah dari pesanan barang lain.
b. Penyimpanan Narkotika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015, lemari khusus penyimpanan
narkotika harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Terbuat dari bahan yang kuat
2. Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai dua buah kunci yang berbeda
3. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
4. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau
apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

c. Pelaporan Narkotika
Berdasarkan PerMenKes RI No. 3 tahun 2015 pasal 45 ayat 6 dan 7 menyatakan
bahwa :
28

1. Apotek wajib menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan atau


penggunaan narkotika setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat dan disampaikan
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2. Pelaporan penyerahan atau penggunaan narkotika terdiri atas :
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c. Jumlah yang diterima
d. Jumlah yang diserahkan

II.4 Prekursor Farmasi


Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 tentang Prekursor Farmasi
adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan
baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk
antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrin,
pseudoephedrin, norephedrin/phenyl propanolamin, ergotamin, ergometrin, atau
potasium permanganat.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 mengatakan bahwa
pemesanan pekursor farmasi dapat dilakukan berdasarkan:
1. Surat pemesanan (SP) khusus prekursor farmasi
2. Surat pemesanan prekursor farmasi dapat digunakan untuk satu atau beberapa
jenis prekursor dan harus terpisah dari pesanan barang lain.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 mengatakan bahwa, lemari


khusus penyimpanan prekursor farmasi harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1. Terbuat dari bahan yang kuat
2. Tidak mudah dipindahkan
3. Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum
4. Kunci lemari khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau apoteker
yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.
29

Penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi di tempat


penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko.
BAB III
PELAYANAN RESEP DI APOTEK

III.1. Contoh Resep

Gambar 10. Contoh resep yang dilayani di Apotek KF 38 Hasanuddin

26
27

III.2. Skrining Resep


III.2.1. Skrining administratif
Tabel 1. Skrining administatif resep
Tidak
No Kelengkapan Ada Keterangan
Ada
1 Nama dokter √ dr. Nurhalisa
2 SIP √ -
3 No telepon √ -
4 Alamat dokter √ Kimia farma 38 Hasanuddin
5 Paraf/tanda tangan dokter √
6 Tanggal penulisan resep √ -
7 Tanda R/ √
1. Amoxcicillin 100 mg
Tremenza ¼ tab
Bisolvon ½ tab
Ctm 1 mg
Nama obat, bentuk sediaan, Loratadine ½ tab
8 dosis dan jumlah yang √ Cortidex ½ tab
diminta Bcom ½ tab
Curcuma ½ tab
m.f.pulv.dtd No XV
3. Pct syrup I
S3dd Cth II
1. 3dd1
9 Aturan pemakaian √
2. 3dd Cth II
12 Nama pasien √ An. KL
13 Umur pasien √ -
14 Bobot badan √ -
15 Jenis Kelamin Pasien √ -
16 Alamat pasien √ -
17 Nomor telepon pasien √ -

Setelah dilakukan skrining resep, terdapat beberapa kekurangan yaitu:

1) Pada resep tidak dicantumkan nomor SIP dan nomor telepon dokter. Dokter yang
menuliskan resep merupakan dokter yang berpraktek di klinik Kimia Farma, hal
ini dapat dilihat dari blanko resep yang mencantumkan nama, alamat, dan nomor
telepon klinik pada bagian atas resep sehingga keberadaan dokter dan keaslian
resep dapat dijamin.
2) Pada resep tidak dituliskan umur pasien sehingga pada saat melakukan skrining
resep, sebaiknya ditanyakan kepada pasien mengenai usia pasien yang akan
menggunakan obat tersebut. Namun, pada resep dapat dilihat bahwa pasien
tersebut merupakan anak-anak karena aturan pakai yang digunakan yaitu
28

menggunakan sendok teh sehingga bias disimpulkan bahwa pasiennya adalah


anak-anak.
3) Pada resep tidak dituliskan alamat dan nomor telepon pasien. Ketidak lengkapan
alamat dan nomor telepon pasien ini sebaiknya ditanyakan kepada pasien saat
rmelakukan skrining resep.

III.2.2. Skrining farmasetik


III.2.2.1. Kesesuaian bentuk sediaan
Pada resep, dokter meresepkan obat batuk racikan dalam kapsul yang terdiri
atas Amoxicillin 100 mg, Tremenza ¼ tab, bisolvon ½ tab, CTM 1 mg, loratadine
½ tab, Cortidex ½ tab, B Complex ½ tab dan Curcuma ½ tab dalam bentuk puyer.
selain obat racikan, pasien juga diberi Paracetamol sirup. Bentuk puyer dan sirup
sudah sesuai untuk pasien karena mudah dikonsumsi untuk anak-anak.

III.2.2.2. Stabilitas
Obat-obatan yang dituliskan dalam resep sebaiknya disimpan pada tempat
yang kering, suhu 15-30OC (suhu kamar), dan hindarkan dari cahaya matahari
langsug.

III.2.2.3. Inkompatibilitas
Dalam resep racikan, terdapat interaksi antara Bromhexine dengan antibiotic
(Amoxcicillin). Bromhexine menyebabkan kadar antibiotic akan meningkat
didalam jaringan paru. Selain itu, seharusnya antibiotic diracik secara terpisah
sehingga terdapat 2 racikan yang berbeda.

III.2.3. Skrining klinis


III.2.3.1. Kesesuaian dosis dan aturan pakai
1. Amoxcicillin (Pionas BPOM)
Menurut pustaka:
Dosis Lazim (DL) = 125-250 mg (Anak-anak)
Perhitungan dosis berdasarkan resep:
Dosis yang diberikan adalah 100 mg 3 kali sehari
Dosis sekali = 1 × 100 mg = 100 mg
29

Dosis sehari = 3 × 100 mg = 300 mg


Berdasarkan perhitungan dosis yang diberikan dalam resep, dosis amoxcicillin
yang diberikan untuk satu kali pemakaian tidak tepat karena belum mencapai
batas dosis lazim (tidak berefek) dan untuk sehari sudah tepat.

2. Tremenza® (AHFS, 2011; Martindale, 2009)


Tiap tablet mengandung pseudoefedrin HCl 60 mg dan triprolidine HCl 2,5 mg
Pseudoefedrine :
Dosis Lazim (DL) untuk anak-anak 6 – 12 tahun = 30 mg
Dosis yang diberikan adalah tablet ¼ × 60 mg = 15 mg
Dosis Sekali : 1 x 15 mg = 15 mg
Dosis Sehari : 3 x 15 mg = 45 mg
Dosis Pseudoefedrine yang diberikan berada di bawah dosis lazim yang
ditentukan sehingga sebaiknya dosisnya dinaikkan menjadi ½ tablet 3 kali
sehari agar dapat memberikan efek terapi
Triprolidine :
Dosis Lazim (DL) untuk dewasa 2,5 mg
2 2
Dosis Lazim (DL) untuk anak 2 tahun = 12+2 x 2,5 mg = 14 x 2,5 mg = 0,35 mg

Dosis yang diberikan ¼ tablet × 2,5 mg = 0,625


Dosis sekali = 1 × 0,625 mg = 0,625 mg
Dosis sehari = 3 × 0,625 mg = 1,875 mg
Berdasarkan perhitungan dosis yang diberikan dalam resep, dosis Triprolidine
yang diberikan untuk satu kali pemakaian dan untuk sehari pemakaian tidak
mencapai minimal dosis untuk berefek.
Bisolvon® (Pionas BPOM)
Bisolvon® mengandung Bromheksin 4 mg
Menurut pustaka:
Dosis lazim untuk anak adalah 8 mg
Perhitungan dosis berdasarkan resep:
Dosis yang diberikan adalah ½ tablet × 4 mg = 2 mg
Dosis satu kali pemakaian = 1 × 2 mg = 2 mg
30

Dosis sehari = 3 × 2 mg = 6 mg
Berdasarkan perhitungan dosis yang diberikan dalam resep, dosis bromheksin
yang diberikan untuk satu kali pemakaian dan untuk sehari pemakaian tidak
mencapai minimal dosis untuk berefek.

3. Chlorpheniramine Maleate (Pionas BPOM)


Menurut pustaka:
Dosis = 1 mg (anak usia 1-5 tahun) 2 mg (anak usia 6-12 tahun)
Perhitungan dosis berdasarkan resep:
Dosis yang diberikan adalah 1 mg, 3 kali sehari
Dosis untuk satu kali pemakaian = 1 × 1 mg = 1 mg
Dosis sehari = 3 × 1 mg = 3 mg
Berdasarkan perhitungan dosis yang diberikan dalam resep, dosis
chlorpheniramine maleate yang diberikan untuk satu kali pemakaian dan untuk
sehari sudah tepat.

4. Loratadin (Sweetman C, 2009)


Menurut pustaka:
Dosis Lazim (DL) sehari = 5-10 mg
Perhitungan dosis berdasarkan resep:
Dosis yang diberikan adalah ½ tab × 10 mg = 5 mg 3 kali sehari
Dosis satu kali pemakaian = 1 × 5 mg = 5 mg
Dosis sehari = 3 × 5 mg = 15 mg
Berdasarkan perhitungan dosis yang diberikan dalam resep, dosis loratadin
yang diberikan untuk satu kali pemakaian dan untuk sehari sudah tepat.
5. Cortidex® (Pionas BPOM)
Cortidex® mengandung Dexamethasone 0,5 mg.
Menurut pustaka:
Dosis = Dewasa = 0,5-10 mg/hari, anak-anak = 10-100 mcg/kgBB/hari
Perhitungan dosis berdasarkan resep:
Dosis yang diberikan adalah ½ tab × 0,5 mg = 0,25 mg
Dosis satu kali pemakaian = 1 × 0,25 mg = 0,25 mg = 250 mcg
31

Dosis sehari = 3 × 0,25 mg = 0,75 mg = 750 mcg


Berdasarkan perhitungan dosis yang diberikan dalam resep, dosis
Dexamethasone yang diberikan untuk satu kali pemakaian dan untuk sehari
pemakain sudah tepat.
6. Paracetamol sirup (FI III, 1979)
Setiap 5 mL mengandung paracetamol 120 mg
Menurut pustaka:
Dosis Lazim (DL) = 100-200 mg (anak usia 5-10 tahun) 250 mg (anak usia >10)
Dosis maksimal sehari: 4 kali dosis dalam 24 jam
Dewasa = 4 gram
Anak 5-10 = 800 mg
Anak >10 tahun = 1 gram
Perhitungan dosis berdasarkan resep:
Dosis yang diberikan adalah 120 mg, 3 kali sehari
Dosis satu kali pemakaian = 1 × 120 mg = 120 mg
Dosis sehari = 3 × 120 mg = 360 mg
Berdasarkan perhitungan dosis yang diberikan dalam resep, dosis paracetamol
sirup yang diberikan untuk satu kali pemakaian dan untuk sehari pemakain
sudah tepat.

III.2.3.2. Pertimbangan klinis


Resep terdiri atas 2 jenis obat yaitu 1 obat racikan serbuk terbagi atau puyer
yang terdiri atas Amoxcicillin, Tremenza®, Bisolvon®, CTM, Loratadine,
Cortidex®, B Compleks dan Curcuma serta 1 obat lain adalah Paracetamol Sirup.

Paracetamol merupakan golongan obat Analgetik dan Antipiretik (AINS)


yang memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di
system saraf pusat (SSP). Paracetamol merupakan lini pertama bagi penanganan
demam dan nyeri sebagai antipiretik dan analgetik untuk nyeri ringan hingga
sedang. Parasetamol tersedia dalam bentuk obat tunggal berbentuk tablet 500 mg
atau sirup yang mengandung 120 mg/5ml. selain dalam bentuk sediaan tunggal,
juga terdapat sediaan kombinasi tetap dalam bentuk tablet atau cairan. Dosis
32

paracetamol untuk dewasa 0,5 -1 gram per kali dengan batas maksimum 4 gram per
hari. Dan untuk anak 6-12 tahun 250-500 mg/kali dengan dosis maksimum perhari
adalah 1 gram. Parasetamol memiliki efek samping yang paling ringan dan aman
untuk anak-anak (Pionas BPOM).

Pada resep yang diberikan, Paracetamol yang diminta adalah sirup 120 mg/5
ml dengan aturan pakai 3 kali sehari 2 sendok teh sebelum makan. Hal ini sudah
tepat, karena pasien adalah anak-anak sehingga mempermudah pasien untuk
mengonsumsi obat.

Pada resep racikan, obat diindikasikan untuk flu dan batuk terdiri dari
beberapa kombinasi bahan aktif yaitu Amoxcicillin, Pseudoephedrine, Triprolidine,
Bromhexine, Chlorpheniramine Maleate, Loratadine, Dexamethasone, Bcompleks
dan Curcuma. Berdasarkan hasil perhitungan dosis, terdapat beberapa obat yang
tidak mencapai dosis lazim sehingga tidak berefek seperti Amoxcicillin,
Tremenza® dan Bisolvon®. Bisolvon® (Bromhexine) diindikasikan untuk
mengatasi batuk berdahak. Bromhexine merupakan obat yang digunakan untuk
mengencerkan dahak pada saluran pernapasan atau biasa disebut dengan agen
mukolitik. Bromhexine bekerja dengan cara memecah mucoprotein dan
mukopolisakarida pada sputum sehingga mucus yang kental pada saluran bronkial
menjadi lebih encer. Obat yang diindikasikan untuk flu adalah Tremenza® yang
mengandung Pseudoephedrine dan Triprolidine serta Chlorpheniramine Maleate
dan Loratadine. Pseudoephedrine merupakan golongan obat simpatomimetik yang
sering digunakan untuk mengatasi hidung tersumbat, golongan obat ini sering
dikombinasikan dengan anti histamin untuk mengatasi reaksi alergi oleh karena itu
diberikan Tremenza® yang mengandung kombinasi keduanya. Sedangkan untuk
Loratadine dan CTM merupakan obat yang masuk dalam golongan Anti Histamin
dan digunakan untuk mengobati reaksi alergi. Obat-obat ini bekerja dengan cara
memblokir produksi histamin didalam tubuh. Chlorpheniramine Maleate
merupakan Anti histamin I generasi pertama sedangkan Loratadine merupakan
Antihisamin I generasi kedua. Pada resep, terdapat beberapa obat yang memiliki
efek dan golongan yang sama, misalnya obat golongan Anti hitamin yang terdiri
33

atas 3 obat. Oleh karena itu harus diperhatikan kembali komposisi resep racikan
dan sebaiknya dihilangkan salah satu karena efek yang ditimbulkan juga serupa
sehingga komponen obat didalam resep racikan tidak berlebihan. Untuk mengatasi
peradangan, pasien diberikan Cortidex® yang mengandung Dexamethasone 0,5
mg. Dexamethasone merupakan obat golongan kortikosteroid. obat ini diberikan
untuk merespon reaksi tubuh yang disebabkan oleh histamin yang melakukan
perlawanan (setelah diberikan anti histamin) sehingga menyebabkan terjadinya
peradangan. Pasien didiagnosa mengalami flu dan batuk akibat infeksi bakteri, oleh
karena itu diberikan antibiotic Amoxcicillin. Pada resep racikan, antibiotic diracik
bersamaan dengan obat lain sementara pada resep tersebut terdapat interaksi antara
Bromhexin dengan antibiotic dimana bromhexine akan meningkatakan kadar
antibiotic didalam jaringan paru. Selain itu, seharusnya antibiotic diracik terpisah
dengan obat lain karena konsumsi antibiotic harus dihabiskan untuk menghindari
terjadinya resistensi antibiotic. Jadi, seharusnya terdapat 2 resep racikan yaitu
racikan untuk flu dan batuk dan racikan antibiotic (Medscape, 2016).

Selain beberapa obat diatas, pada resep racikan juga terdapat multivitamin
yaitu Vitamin B kompleks dan curcuma untuk menunjang dan melengkapi
kebutuhan vitamin pasien.

III.3. Uraian Obat dalam Resep


1. Paracetamol Sirup
a. Komposisi
Tiap 5 ml mengandung paracetamol 120 mg.
a. Nama dagang
Alphamol®, Dumin®, Erphanol®
b. Farmakologi
Paracetamol merupakan golongan AINS dengan cara kerja menghambat
sintesis prostaglandin terutama pasa system saraf pusat (SSP) yang
mempengaruhi ambang rasa sakit dengan menghambat enzim siklooksigenase
yang terlibat dalam pembentukaan prostaglandin.
c. Indikasi
34

Lini pertama bagi penanganan demam dan nyeri sebagai analgetik dan
antipiretik, digunakan untuk nyeri ringga hingga sedang dan demam.
d. Kontraindikasi
Penderita gangguan fungsi hati berat dan hipersensivitas.
e. Efek samping
Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau urtikaria, kelainan darah,
hipotensi dan kerusakan hati.
f. Peringatan dan perhatian
Pengawasan ketat pada pasien gangguan fungsi hati.
g. Dosis dan aturan pakai
1) Dewasa = 500 mg-1000 mg/kali diberikan tiap 4-6 jam batas maksimum 4
gram per hari
2) Anak <12 tahun = 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 4-6 jam. Maksimum
pemberian 4 dosis sehari

2. Tremenza®
b. Komposisi
Tiap tablet mengandung Pseudoephedrine 60 mg dan Triprolidine 2,5 mg
c. Nama dagang
Tremenza®
d. Farmakologi
Pseudoefedrin bekerja pada reseptor alfa -adrenergik dalammukosa saluran
pernapasan sehingga akan menghasilkan efek vasokontriksi pada pembuluh
darah dan melegakan hidung tersumbat. Triprolidine merupakan anti histamin
H1 yang biasa digunakan untuk mengatasi alergi yang bekerja dengan cara
menghambat proses pembentukan hisamin yang menyebabkan terjadinya
alergi.
e. Indikasi
flu dan batuk
f. Kontraindikasi
Hipersensitivitas, hipertensi berat, neonates.
g. Efek samping
35

1) Mulut, hidung, dan tenggorokan kering


2) Pusing, tremor, halusinasi
h. Peringatan dan perhatian
1) Hati-hati bila engendarai kendaraan bermotor atau menjalankan esin
2) Pemberian pada wanita hamil dan menyusui harus sesuai dengan petunjuk
dokter
i. Dosis dan aturan pakai
1) Dewasa : dewasa dan anak >12 tahun 1 tab atau 2 sendok teh
2) Anak 6-12 tahun = ½ tablet atau 1 sendok teh. Anak usia 2-5 tshun ½
sendok teh.
h. Interaksi
Penggunaan Bersama antidepresan MAOI dapat mengakibatkan krisis
hipertensi
3. Bisolvon®
a. Komposisi
Tiap tablet mengandung Bromhexine 4 mg
b. Nama dagang
Bisolvon®, Bronkris®, Hexon®
c. Farmakologi
Bromhexine adalah golongan mukolitik yang bekerja dengan mengencerkan
dahak yang kental di saluran pernafasan agar lebih mudh dikeluarkan.
d. Indikasi
Mukolitik untuk meredakan batuk berdahak
e. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap bromhexine
f. Efek samping
Hipersensitivitas, sok dan reaksi anafilaktif, bronkospasme, mual, muntah,
diare, nyeri perut bagian atas, ruam, angioedema, urtikaria, pruritus.
g. Peringatan dan perhatian
Pasien dengan disfugsi hati dan ginjal, wanita hamil, dan laktasi
h. Dosis
36

Dewasa dan anak >10 tahun + 1 tablet atau 10 ml 3 kali sehari


Anak 2-10 tahun = ½ tablet atau 5 ml 2-3 kali sehari
i. Interaksi obat
Pemberian Bersama dengan antibiotic dapat meningkatkan kadar antibiotic
dalam jaringan paru
4. Chlorphenilaramine Maleate
a. Komposisi
Tiap tablet mengandung CTM 4 mg
b. Nama dagang
CTM®, Cohisan®, Orphen®.
c. Farmakologi
Chlorphenkiramine Maletae merupakan Anti Histamin I generasi satu yang
menghambat efek hisamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-
macam otot polos. Selain itu, AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen
berlebihan.
d. Indikasi
Reaksi alergi seperti hay fever, urtikaria, pengobatan darurat dan reaksi
anafilaksis.
e. Kontraindikasi
1) porfiria
2) serangan asma akut
3) anak <1 tahun
4) Bayi prematur
f. Efek samping
Sedasi, nyeri kepala, gangguan psikomotor, efek antikolinergik, retensi urin,
mulut kering, pandangan kabur, gangguan saluran cerna, hipotensi, tinitus,
euphoria, reaksi alergi dan kelainan darah
g. Peringatan dan perhatian
1) Tidak dianjurkan untuk bayi yang baru lahir atau anak dibawah usia 1 tahun
tanpa anjuran dokter
37

2) Hindari mengemudikan kendaraan atau mengoperasikan mesin


3) Jika kortikosteroid digunakan pada pasien dengan TBC laten, perlu
dilakukan pengawasan yang teliti sebagai pengaktifan kembali penyakit
yang dapat terjadi.
4) Tidak dianjurkan penggunaan pada penderita herpes simpleks ocular.
5) Harap berhati-hati mengonsumsi obat ini jika memiliki infeksi paru, asma
dan gangguan saluran pernapasan yang terjadi saat tidur, glaucoma, tukak
lambung, dan kelainan kandung kemih.
h. Dosis
Dewasa = 4 mg tiap 4-6 jam maksimal 24 mg/hari
Anak 1-2 tahun = 1 mg 2 kali sehari
Anak 2-5 tahun = 1 mg tiap 4-6 jam maksimal 6 mg/hari
Anak 6-12 tahun 2 mg tiap 4-6 jam maksimal 12 mg/hari
i. Interaksi obat
Penggunaan Bersama penghambat MAO memperpanjang masa kerja dan
meningkatkan efek antihisamin. Penggunaan Bersama dengan alcohol, anti
depresan trisiklik, barbiturate atau depresan SSP lain akan memperkuat efek
sedative antihisamin. Bersama dengan antikolinergik lain; atropine,
scopolamine akan meningkatkan resiko timbulnya efek antimuskarinik.
5. Loratadine
a. Komposisi
Tiap tablet mengandung loratadine 10 mg.
b. Nama Dagang
Rahistine®, Folerin®, Lorihis®.
c. Farmakologi
Loratadine merupakan Anti Histamin 1 generasi 2 yang menghambat efek
hisamin pada pembuluh darah, bronkus, dan bermacam-macam otot polos.
Selain itu, AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensivitas atau
keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan.
d. Indikasi
Gejala alergi, urtikaria
38

e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap loratadine
f. Efek samping
Lesu, nyeri kepala, sedasi dan ulut kering jarang
g. Peringatan dan perhatian
1) Hati-hati pada penggunaan terhadap wanita hamil dan menyusui
2) Insiden sedasi dan anti muskarinik rendah
h. Dosis dan aturan pakai
Dewasa: 10 mg 1 kali per hari
Anak 2-12 tahun dengan berat badan <30 kg = 5 mg 1 kali per hari
Anak 2-12 tahun dengan berat badan >30 kg = 10 mg 1 kali per hari
6. Cortidex®
a. Komposisi
Tiap kapsul mengandung Dexamethasone 0,5 mg.
b. Farmakologi
Dexamethasone merupakan golongan kortikoseroid yang mengandung
hormone seroid yangberguna untuk menambah hormone seroid bila diperlukan
dan meredakan peradangan/inflamasi serta menekan kerja system kekebalan
tubuh yang berlebihan.
c. Indikasi
Inflamasi dan alergi, sok, diagmosis sindrom cushing, hiperlapsia, adrernal
kongenital, edema serebral.
d. Kontraindikasi
DM, tukak peptic/duodenum, infeksi berat, hipertensi atau gangguan system
kardiovaskular lainnya.
e. Efek samping
Gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemiaa, glikosuria, mudah infeksi,
moon face.
f. Peringatan dan perhatian
1) Jangan menhentikan konsumsi obat secara toiba-tiba tanpa anjuran dokter.
g. Dosis dan aturan pakai
39

Dewasa = 0,5-10 mg/hari


Anak = 0,08-0,3 mg/kgBB/hari setiap 6-12 jam.
h. Interaksi
-
III.4. Penyiapan Obat
III.4.1. Resep Racikan
Setelah dilakukan skrining klinis pada resep, diketahui bahwa terdapat
obat yang seharusnya tidak diracik bersamaan, yaitu Amoxcicillin yang merupakan
antibiotic dengan obat racikan yang lain. Jadi, sebaiknya dibuat dalam dua racikan
yang terpisah untuk antibiotic dan racikan obat flu dan batuk.

III.4.1.1. Perhitungan bahan


Dibuat 15 serbuk terbagi (puyer) racikan, maka bahan-bahan yang
dibutuhkan adalah:
a. Amoxcicillin
Jumlah yang diresepkan = 100/500 mg × 15 = 3 tablet
b. Tremenza®
Jumlah yang diresepkan = ¼ tab × 15 = 3,75 = 4 tablet
c. Chlorpheniramin Maleat®
Jumlah yang diresepkan = ¼ × 15 = 3,75 = 4 tablet
d. Bisolvon®
Jumlah yang diresepkan = ½ × 15 = 7,5 = 8 tablet
e. Loratadine®
Jumlah yang diresepkan = ½ × 15 = 7,5 = 8 tablet
f. Cortidex®
Jumlah yang diresepkan = ½ × 15 = 7,5 = 8 tablet
g. Vitamin B Complex
Jumlah yang diresepkan = ½ × 15 = 7,5 = 8 tablet
h. Curcuma
Jumlah yang diresepkan = ½ × 15 = 7,5 = 8 tablet
40

III.4.1.2. Peracikan
1. Semua alat dan bahan disiapkan.
2. Tablet Amoxcicillin, Tremenza, Bisolvon, CTM, Loratadin, Cortidex,
Bcomplex, dan Curcuma kemudian dimasukkan ke dalam mesin penghalus
elektrik (blender) untuk dihaluskan hingga homogen.
3. Sebanyak 15 lembar kertas perkamen diletakkan diatas meja
4. Serbuk dibagi diatas kertas perkamen sama rata.
5. Kertas perkamen dilipat satu per satu.
6. Puyer yang telah jadi dimasukkan ke dalam plastik sak obat lalu diberi etiket
putih dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 kapsul, diminum sesudah makan dan
harus dihabiskan.

III.4.2. Resep Non-racikan


Paracetamol sirup sebanyak 1 botol disiapkan kemudian diberi etiket
berwarna putih dengan aturan pakai 3 kali sehari 2 sendok teh, diminum setelah
makan.
III.5. Etiket dan copy Resep
III.5.1. Etiket
Terdapat 2 etiket untuk resep yaitu untuk resep puyer racikan dan parasetamol
sirup. Kedua resep menggunakan etiket putih karena merupakan obat yang
dikonsumsi secara peroral.
a. Resep Puyer Racikan

Gambar 11. Etiket resep Puyer racikan


41

b. Resep Parasetamol Sirup

Gambar 12. Etiket resep Parasetamol Sirup

II.5.2. Copy Resep


Salinan resep atau copy resep dapat diberikan apabila pasien meminta atau bila
masih ada obat yang harus ditebus dalam resep. Berikut adalah contoh salinan
resep.

Gambar 13. Contoh copy resep


42

III.6. Penyerahan Obat


Penyerahan obat dilakukan dengan terlebih dahulu memeriksa kesesuaian
antara obat, resep, dan etiket yang diberikan, serta memeriksa kembali kesesuaian
tanggal kedaluwarsa masing-masing obat. Setelah dilakukan pemeriksaan akhir,
obat diserahkan kepada pasien dengan pemberian informasi obat.

Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker


dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan
kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat
resep, obat bebas dan herbal (PerMenKes, No.73, 2016).

Penyerahan obat diawali dengan memanggil nama pasien dan


mengkonfirmasi kebenaran nama pasien dan apakah benar resep tersebut adalah
milik pasien yang bersangkutan. Sebelum obat diserahkan, dipastikan kembali
apakah yang datang membawa resep adalah pasien yang akan menggunakan obat
tersebut atau keluarga pasien. Informasi yang diberikan kepada pasien pada saat
penyerahan obat yaitu:
1. Paracetamol sirup adalah obat demam diminum 3 kali sehari 2 sendok teh
sebelum makan. Obat ini diminum ketika masih demam, apabila sudah berhenti
obat juga bisa dihentikan penggunaannya.
2. Kapsul racikan diindikaskan sebagai obat flu dan batuk, obat ini diminum
dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 bungkus, sesudah makan. Obat ini diminum
setelah makan dan harus dihabiskan karena terdapat antibiotic didalam racikan.
Obat-obat tersebut disimpan pada tempat penyimpanan yang kering, sejuk,
jauh dari paparan sinar matahari langsung, serta terhindar dari jangkauan anak-
anak.
BAB IV
PENUTUP

IV.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelayanan resep di Apotek Kimia Farma 38 Hasanuddin
Makassar, dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat kekurangan pada kelengkapan administrasi resep yaitu tanggal SIP
dokter, nomor telepon dokter, umur pasien, bobot badan pasien, dan alamat
pasien.
2. Berdasarkan pertimbangan klinis, adanya interaksi yang ditemukan antara obat-
obat yang terdapat pada resep racikan yaitu Bromhexin dan Amoxcicillin,.
3. Pada resep racikan, antibiotic diracik bersamaan dengan obat lain seharusnya
diracik terpisah. Oleh karena itu, resep racikan tersebut sebaiknya diracik
terpisah sehingga terdapat 2 resep racikan yaitu obat flu dan batuk serta
antibiotic.

IV.2. Saran
Sebaiknya kelengkapan resep lebih diperhatikan sehingga meminimalkan
resiko terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Serta komunikasi antara Tenaga
Kesehatan terkait lebih ditingkatkan sehingga pasien mendapatkan obat yang sesuai
dan aman untuk dikonsumsi serta tujuan pengobatan dapat tercapai.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. BPOM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Badan


Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta, Terdapat di :
http://pionas.pom.go.id/ioni/pedoman-umum.

2. Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope edisi III. Dirjen POM. Jakarta.

3. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas
Terbatas. Jakarta.

4. Holloway, K. 2003. Drug and Therapeutics Committee. Geneva: World Health


Organization, Departement of Essential Drugs and Medicines Policy.

5. McEvoy, Gerald K. 2004. AHFS Drg Information. US: Amer Soc of Health
System.

6. Medscape. Drug and Disease. Available from: URL:


http://reference.medscape.com. Accessed Juni 1, 2020.

7. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1993. Peraturan Meneteri Kesehatan


917/MENKES/PER/X/1993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi. Jakarta.

8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1983. Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk Obat
Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta.

9. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 1986. Keputusan Menteri Kesehatan


RI Nomor 02396/A/SKA/VIII/1986 Tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar
G. Jakarta.

10. Menteri Kesehatan RI. 1990. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta.

11. Menteri Kesehatan RI. 1993. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


925/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar Perubahan Golongan Obat No.1.
Jakarta.

12. Menteri Kesehatan RI. 1993. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


924/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2. Jakarta.

13. Menteri Kesehatan RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


1176/MENKES/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.3. Jakarta.

44
14. Menteri Kesehatan RI. 1993. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
913/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan
Tanpa Resep.. Jakarta.

15. Menteri Kesehatan RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor


3/Menkes/SK/X/2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan
Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi. Jakarta.

45
46

16. Menteri Kesehatan RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 73 Tahun
2016. Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta

17. Menteri Kesehatan RI, 2018. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 7 Tahun
2018. Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Jakarta

18. Menteri Kesehatan RI, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun
2017. Tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika. Jakarta

19. Menteri Kesehatan RI, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 9 Tahun
2017. Tentang Apotek. Jakarta.

20. Quick, JD., Rankin, Dias, Vimal. 2012. Inventory Management in Managing
Drug Supply. Third Edition. Managing Access to Medicines and Health
Technologies. Arlington: Management Sciences for Health.

21. Sweetman, S.C. 2009. Martindale 36thThe Complete Drug Reference. London :
The Pharmaceutical Press.
47

Lampiran 1. Form surat pesanan narkotika (PerMenKes, No. 3, 2015)

SURAT PESANAN NARKOTIKA


Nomor : ………………………

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
Mengajukan pesanan Narkotika kepada :
Nama distributor : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telp : ………………………………………
dengan Narkotika yang dipesan adalah:
(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk
angka dan huruf)
Narkotika tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama sarana : ……………………………………..
(Industri farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi
Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik/Instalasi Farmasi
Pemerintah/LembagaIlmu Pengetahuan)*
Alamat Sarana : ……………………………………..

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda Tangan dan Stempel

Nama Apoteker/Kepala Lembaga Ilmu


Pengetahuan
No. SIKA/SIPA/NIP
*Coret yang tidak perlu
Catt:
- Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika
- Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) Rangkap
48

Lampiran 2. Form surat pesanan psikotropika (PerMenKes, No. 3, 2015)

SURAT PESANAN PSIKOTROPIKA


Nomor : ………………………

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
Mengajukan pesanan Psikotropika kepada :
Nama distributor : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telp : ………………………………………
dengan Psikotropika yang dipesan adalah:
(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk
angka dan huruf)
Psikotropika tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama sarana : ……………………………………..
(Industri farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi
Rumah Sakit/Instalasi FarmasiKlinik/Instalasi Farmasi
Pemerintah/LembagaIlmu Pengetahuan)*
Alamat Sarana : ……………………………………..

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda Tangan dan Stempel

Nama Apoteker/Kepala Lembaga Ilmu


Pengetahuan
No. SIKA/SIPA/NIP
*Coret yang tidak perlu
Catt:
- Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) Rangkap
49

Lampiran 3. Form surat pesanan precursor (PerMenKes, No. 3, 2015)

SURAT PESANAN OBAT JADI PREKURSOR FARMASI


Nomor : ………………………

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
Mengajukan pesanan Obat Jadi Prekursor Farmasi kepada :
Nama distributor : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telp : ………………………………………
dengan Obat Jadi Prekursor Farmasi yang dipesan adalah:
(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam bentuk
angka dan huruf)
Obat Jadi Prekursor Farmasi tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama sarana : ……………………………………..
(Industri farmasi/PBF/Apotek/Puskesmas/Instalasi Farmasi
Rumah Sakit/Instalasi FarmasiKlinik/Instalasi Farmasi
Pemerintah/Lembaga Ilmu Pengetahuan)*
Alamat Sarana : ……………………………………..

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesan

Tanda Tangan dan Stempel

Nama Apoteker/Kepala Lembaga Ilmu


Pengetahuan
No. SIKA/SIPA/NIP
*Coret yang tidak perlu
Catt:
- Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) Rangkap
50

Lampiran 4. Contoh laporan penggunaan sediaan jadi narkotika (PerMenKes, No. 73, 2016)

Formulir Pelaporan Pemakaian Narkotika

Nama Saldo Pemasukan Pemasukan Penggunaan Penggunaan


Satuan Saldo Akhir
Narkotika Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah

……………………, ………………….. 20…

Apoteker

50
51

Lampiran 5. Contoh laporan penggunaan morphin, pethidin, dan derivatnya

LAPORAN PENGGUNAAN MORPHIN, PETHIDIN, DAN DERIVATNYA


NAMA APOTEK : ………………………… BULAN : …………………………
NO. IZIN APOTEK : ………………………… TAHUN : …………………………
ALAMAT : …………………………
TELEPON : …………………………

PENGELUARAN PASIEN DOKTER STOK


NO NAMA STOK
SATUAN TANGGAL NAMA/ AKHIR KET.
. NARKOTIKA AWAL JUMLAH NAMA ALAMAT SPESIALIS
NOMOR PENYERAHAN ALAMAT
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Makassar,……………… 20…….
Apoteker Pengelola Apotek

(...........................................)
No. SIPA

51
52

Lampiran 6. Contoh laporan penggunaan sediaan jadi psikotropika (PerMenKes, No. 73, 2016)

Formulir Pelaporan Pemakaian Psikotropika

Nama Saldo Pemasukan Pemasukan Penggunaan Penggunaan


Satuan Saldo Akhir
Narkotika Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah

……………………, ………………….. 20…

Apoteker

52
53

Lampiran 7. Contoh laporan penggunaan sediaan mengandung prekursor

LAPORAN PENGGUNAAN SEDIAAN MENGANDUNG PREKURSOR


NAMA APOTEK : ………………………… BULAN : …………………………
NO. IZIN APOTEK : ………………………… TAHUN : …………………………
ALAMAT : …………………………
TELEPON : …………………………

Pengeluaran
Nama Persediaan Pemasukan Jumlah Untuk Persediaan
No Bahan Satuan Awal Keseluruhan Akhir Ket.
Lain- Jumlah
Sediaan Bulan (4+7) Pembuatan (8-11)
lain
Tgl Dari Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Makassar, ……………… 20…….


Apoteker Pengelola Apotek

(...........................................)
No. SIPA

53
54

Lampiran 8. Skema Pelayanan Resep Tunai di Apotek Kimia Farma 38


Hasanuddin

Resep tunai

Asisiten Apoteker

Mengecek obat dan menyampaikan harga


Kasir

- Menerima uang dari pasien


- Resep diberi nomor
- Pasien diberikan nomor resep (Struk harga)
Pemeriksaan Oleh Apoteker

Bagian Peracikan

Non Racikan Racikan

- Diberi etiket
- Pengontrolan kesesuaian obat dan resep atau
permintaan pasien

Obat Siap

Penyerahan obat disertai pengecekan ulang dan


pemberian informasi oleh Apoteker

Pasien
55

Lampiran 9. Skema Pelayanan Resep Kredit di Apotek Kimia Farma 38


Hasanuddin

Resep
Kasir Pasien

Penagihan sesuai Bagian


dengan Kesepakatan Peracikan
(Melalui Bagian
Pelaksanaan Piutang
Dagang)

Racikan Non racikan

• Diberi etiket
• Pengontrolan kesesuaian

Obat Siap

Penyerahan obat disertai


pengecekan ulang dan informasi
obat oleh apoteker

Anda mungkin juga menyukai