Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi (PKP)
Apoteker di Apotek Ibunda. Laporan ini ditulis berdasarkan teori dan hasil
pengamatan selama melakukan PKPA di Apotek Ibunda.
Selama melaksanakan PKPA ini, penulis menerima bantuan dari berbagai
pihak berupa bimbingan, arahan, dan masukan. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu sebagai Pemilik Sarana Apotek yang telah memberikan izin untuk
pelaksanaan PKPA di apotek Ibunda.
2. Bapak Prof. Dr. Helmi Arifin, MS, Apt., sebagai pembimbing I yang telah
memberikan fasilitas, bimbingan, arahan, dan dukungan kepada kami
selama melaksanakan PKPA hingga penyusunan laporan.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Marlina, MS.Apt., selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan selama melaksanakan
PKPA hingga penyusunan laporan dan tugas.
4. Bapak Syofyan S. Si, M. Farm, Apt. sebagai Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang.
5. Seluruh Karyawan Apotek Farma Indah atas bantuan, kerjasama, dan
pengalaman yang diberikan selama PKPA di apotek.
Penulis berharap semoga laporan ini dapat menambah ilmu dan
pengetahuan di bidang farmasi khususnya pengetahuan perapotekan.

Padang, Januari 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Lembar Pengesahan ii

Kata pengantar iii

Daftar Isi iv

Daftar gambar iv

Daftar tabel v

BAB I. Pendahuluan 1

BAB II. Tinjauan Kasus 3

2.1. Resep 3
2.2. Deskripsi Pasien 3
2.3. Deskripsi Penyakit 3
2.4. Pengkajian Resep 11
2.4.1 Skrining administrasi 11
2.4.2. Skrining farmasetik 12
2.4.3. Skrining klinis 12
2.4.2. Skrining farmakokinetik 15
2.4.2. DRP 17

BAB III. Tinjauan Kompetensi 18

3.1. Aspek Praktek Profesional, Legal dan Etis 18


3.2. Aspek Optimalisasi Penggunaan Sediaan Farmasi 19
3.3. Aspek Dispensing Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 19
3.4. Aspek Komunikasi dan Kolaborasi 20
3.5. Aspek Upaya Prefentif dan Promotif Kesehatan 20
3.6. Aspek Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan 23
3.7. Aspek Kepemimpinan dan Manajemen Diri 23
3.8. Aspek Peningkatan Kompetensi Profesi 24

BAB IV. Kesimpulan dan Saran 25

4.1. Kesimpulan 25
4.2. Saran 25

Daftar Pustaka

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung


jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan
kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dan merupakan
wujud pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian berdasarkan Undang-Undang No. 23
tahun 1992 tentang Kesehatan. Paradigma pelayanan kefarmasian sekarang
mengacu pada pelayanan yang berorientasi pada pasien (patient oriented) yang
sebelumnya yaitu mengacu pada pelayanan yang berorientasi pada obat (drug
oriented).
Dalam perubahan orientasi tersebut, apoteker tidak saja sebagai
pengelolah obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencangkup
pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar
dan rasional, monitoring pengunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta
kemungkinan terjadi kesalahan pengobatan. Apoteker dituntut untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan
interaksi langsung dengan pasien.
Apotek merupakan salah satu tempat seorang apoteker dalam
melaksanakan pelayanan kefarmasian. Menurut Permenkes no. 35 tahun 2014
tentang Standar Kefarmasian di Apotek menyatakan bahwa Apotek adalah sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan
mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related
problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (socio-
pharmacoeconomy). Dalam melakukan praktik tersebut, Apoteker juga dituntut
untuk melakukan monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua
kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.

1
Dalam alur pelayanan resep, apoteker wajib melakukan skrining resep
yang meliputi skrining admninstrasi, kesesuaian farmasetis, dan kesesuian klinis
untuk menjamin legalitas suatu resep dan meminimalkan kesalahan pengobatan.
Resep harus ditulis dengan jelas untuk menghindari salah presepsi antara penulis
denganpembaca resep, kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara dokter
denganapoteker merupakan alah satu faktor kesalahan medikasi (medication
error) yang berakibat fatal bagi pasien.
Salah satu faktor medication error yang sering ditemui adalah kegagalan
komunikasi dan salah interpretasi antara dokter dengan apoteker yang mana dapat
berakibat fatal bagi pasien. Adapun salah satu cara untuk menghindari hal tersebut
resep harus ditulis dengan jelas. Dalam usaha meminimalkan masalah yang terkait
obat, apoteker dapat melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis. Jika ditemukan masalah terkait obat
harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep.
Seorang apoteker Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan
obat yang rasional. Dikatakan pengobatan rasional dan tepat secara klinis jika
dalam resep memenuhi persyaratan dalam tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis,
tepat interval pemberian, lama pemberian dan menghindari terjadinya interaksi
obat, alergi obat dan efek samping yang tidak diinginkan (Depkes, 2011).

2
BAB II
TINJAUAN KASUS

2.1 Resep

Gambar 1. Resep

2.2 Deskripsi Pasien


Ny.I datang ke Apotik Farma Indah membawa resep untuk menebus obat
untuk suaminya bernama A.R, setelah melakukan pengobatan di Rumah Sakit
Ibnu Sina Padang dengan dr. R diagnosis menderita penyakit Ulkus peptikum.

2.3 Deskripsi penyakit


Ulkus peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, submukosa
sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktivitas pepsin dan asam
lambung yang berlebihan.
Ulkus peptikum (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi
asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor

3
pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran
darah mukosa) (Berardi & Lynda, 2005; Tas et al, 2015).

2.3.1 Patofisiologi
A. Asam lambung
Asam lambung terbukti berperan dalam timbulnya ulkus. Terjadinya
peningkatan produksi dan pelepasan gastrin menyebabkan sensitifitas mukosa
lambung terhadap ransangan gastrin meningkat secara berlebihan, jumlah sel
parietal, pepsinogen khususnya pepsinogen I meningkat. Sekresi bikarbonat dalam
duodenum menurun menyebabkan daya tahan mukosa menurun, tidak mampu
menahan daya cerna asam dan pepsin sehingga memungkinkan terbentuknya
tukak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sekresi asam lambung:
- Zat-zat kimiawi (gastrin, histamin)
- Sistem neuro-hormonal (nervus vagus)
 Gastrin
Gastrin merupakan hormon polipeptida yang merupakan salah satu
pengtur sekresi sam lambung. Gasterin yang dihasilkan oleh sel G di
mukosa lambung dibawa melalui aliran darah ke sel parietal. Kemudian
gastrin merangsang sekresi asam lambung. Produksi dan pelepasan gastrin
dirangsang melalui sistem saraf otonom yakni nervus vagus, jadi sekresi
asam lambung juga dirangsang oleh sistem saraf otonom melalui nervus
vagus, yang bersifat kolinergik.
 Histamin
Histamin banyak terdapat di lapisan mukosa lambung di sel mast.
Pasa manusia terdapat beberpa tipe reseptor histamin yang masing-masing
berbeda lokasi dan reaksinya terhadap histamin, yaitu:
1. Reseptor H-1
a. Banyak terdapat di pembuluh darah dan otot polos.
b. Perangsangan reseptor ini meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah, dan dilatasi (pelebaran).
c. Efek inisering disertai rasa sakit, panas, dan gatal.

4
d. Obat-obatan yang meghambat reseptor H-1 dikenal sebagai
antihistamin yang umum, antara lain: chlorfeniramin maleat,
difenhidramin, siproheptadin, mebhidrolin nafadisilat dan lain-lain
yang menyebabkan sedasi.
e. Kelompok yang tidak menyebabkan kantuk misalanya: terfenadin,
astemizol, fexofenadin, dan cetrizine dosis rendah.
2. Reseptor H-2
a. Histamin pada reseptor H-2 lambung merangsang produksi asam
lambung.
b. Obat yang menghambat reepto H-2 ini disebut antagonis H-2 seperti,
simetidin, ranitidin, dan famotidin.
c. Pada ulkus duodenum, faktor agresif lebih berperan dalam proses
patogenesisnya. Penderita ulkus duodenum biasanya mensekresi
asam lambung lebih banyak daripada orang normal.
B. Helicobacter pylori
H. Pylori merupakan bakteri gram negatif yang memiliki endotoksin yang
dapat merusak endotel dan menimbulkan mikrotrombosis mukosa. Leukosit
tertarik pada daerah yang rusak tersebut dan sebagai akibatnya akan dilepaskan
sitokin yang menimbulkan radikal superoksid yang merusak. Derajat infeksi H.
Pylori dan beratnya kerusakan mukosa langsung berkorelasi dengan luasnya
infiltrasi leukosit.
H. Pylori dapat meningkatkan gastrin plasma melalui peransangan sel G
lambung dan menurunkan sekresi somatostatin melalui inhibisi sel lambung.
Akibatnya sekresi asam lambung menjadi lebih tinggi dari normal.
C. Penggunaan obat-obat anti inflamasi non steroid (NSAID)
NSAID dapat menyebabkan ulcer melalui sistemik dan topikal, dan
kemungkinan oleh prostaglandin-dependent (melalui inhibisi COX-1 atau COX-2)
atau prostaglandin independent (melalui inhibisi NO, H2S, dan polyamines).
Efek Sistemik:
 Inhibisi COX-1, COX-2 dan deplesi prostaglandin
- Integritas pertahanan mukosa bergantung pada pembentukan
prostaglandin E2 (PGE2) dan prostacyclin (PGI2), yang dimediasi oleh

5
COX-1 dan COX-2 yang mengkatalisis pembentukan asam arakidonat
menjadi prostaglandin endoperoxide (PGG) dan prostanoid (Gambar 1)

Gambar 2. Jalur Sintesa Prostaglandin (Musumba, 2009)

- PGE2 dan PGI2 merupakan vasodilator poten dan mengontrol semua


aspek pertahanan dan penyembuhan mukosa lambung
- Ragam fungsi PGE2dimediasi oleh empat GPCR (G-protein coupled
receptor), yaitu EP1, EP2, EP3, dan EP4
- Inhibisi COX-1 akan menyebabkan hipermotilitas lambung, penurunan
GMBF, penurunan sekresi mukosa lambung, fosfolipase dan bikarbonat,
serta meningkatkan permeability dan konsenrasi asam di dalam lambung
- Sedangkan inhibisi COX-2 menyebabkan penurunan hormon
pertumbuhan (GF)
- Kedua hal ini dapat menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi dan
perekrutan netrofil sehingga menyebabkan peningkatan Reactive oxygen
specific (ROS) dan kematian sel mukosa lambung secara
apoptosis/nekrosis
- Kegagalan perbaikan dan penyembuhan mukosa lambung menyebabkan
terjadinya lesi pada mukosa atau ulcer.

6
2.3.3 Diagnosa
Penegakan diagnosa dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
1. Endoskopi (gastroskopi) dengan biopsi dan sitologi
2. Pemeriksaan dengan barium
3. Pemeriksaan radiologi pada abdomen
4. Analisis lambung
5. Pemeriksaan laboratorium kadar Hb, Ht dan pepsinogen

2.3.4 Manifestasi Klinis


a. Nyeri abdomen seperti terbakar (dispepsia) sering trejadi di malam hari.
Nyeri biasanya terletak di area tengah epigastrum dan sering bersifat
ritmik.
b. Nyeri sering hilang timbul, nyeri terjadi hampir setiap hari selama
beberapa minggu kemudian menghilang.
c. Penurunan berat badan juga bisa menyertai ulkus peptikum.

2.3.5 Penatalaksanaan
Obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan simtomatik tukak ditujukan
untuk menghambat sekresi asam dan meningkatkan resistensi mukosa terhadap
asam. Sekarang telah tersedia berbagai macam antasida, yang sebagian besar
mengandung alumunium hidroksida, magnesium hidroksida atau kalsium
karbonat. Penghambat reseptor histamin H2 lambung oleh obat-obat penghambat
reseptor H2 misalnya simetidin, ranitidin, nizatidin, dan famotidin secara efektif
mengurangi respon asam (Ganong, 2003). Pada saat ini, penekanan pengobatan
ditujukan pada peran luas infeksi H. pylori sebagai penyebab tukak lambung.
Eradikasi H. pylori infeksi dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang
sesuai.
Penderita tukak harus menghentikan pengobatan dengan NSAID atau,
apabila hal ini tidak dapat dilakukan, pemberian agonis prostaglandin yang
bekerja lama, misalnya misoprostol (Ganong, 2003). Tukak lambung biasanya
lebih besar dan luas, akibatnya waktu yang dibutuhkan untuk pengobatan lebih

7
lama. Tukak lambung sebaiknya di biopsi untuk menyingkirkan keganasan
(Tarigan, 2001).

Gambar 3. Algoritma Tukak lambung (Dipiro)

8
(Dipiro, 2009)

9
Keterangan Algoritma Tukak Lambung
1. Terapi pertama yang digunakan untuk tukak lambung adalah PPI
(dengan bismuth, metronidazole, dan tetrasiklin). Kombinasi ini
digunakan dalam rentang 7 hari. PPI harus diberikan 30-60 menit
sebelum makan dengan dua buah antibiotic selama 7 hari atau (10-14
hari) dengan resistensi antibiotik.
2. Jika terapi pertama gagal, maka gunakan antibiotic yang tidak
diberikan pada regimen pertama (PPI-amoksisilin-clarithromycin gagal
dilanjutkan dengan PPI, bismuth subsalicylate, metronidazole, dan
tetrasiklin selama 14 hari.
3. Terapi kombinasi pengobatan ulkus (contoh PPI, antagonis histamine
reseptor (H2RA+sulralfat, H2RA+PPI). Terapi ini tidak
direkomendasikan karena meningkatkan harga dan tidak efektiv.
4. Dosis pemeliharaan dengan PPI atau H2RA direkomendasikan untuk
pasien yang mengalami komplikasi ulkus atau ketika HP resisten,atau
ulkus yang tidak disebabkan oleh HP.
5. Untuk terapi yang menggunakan NSAIDs, penggunaan NSAIDs yang
tidak selektif harus dihindari ketika positif ulkus.
6. Ulkus yang disebabkan oleh NSAIDs dapat diobati dengan H2RA,
PPI, atau sukralfat. Jika NSAID harus digunakan maka dapat diganti
dengan parasetamol, COX-2, atau selektif COX-2. Ketika NSAID
harus digunakan maka pilihan paling tepat adalah penggunaan PPI
karena jumlah asam lambung harus dihambat.

2.3.6 Evaluasi Terapi


a. Ulkus yang disebabkan oleh NSAID dievaluasi setelah 7 hari pemberian
anti ulkus dan NSAID dihentikan.
b. Pasien dengan pemakaian NSAID dalam jangka waktu lama dan dosis yang
tinggi harus dimonitoring tanda- tanda pendarahan, kerusakan, dan tukak
lambung.

10
c. Follow-up endoskopi dianjurkan untuk pasien dengan tanda-tanda asam
lambung secara berkelanjutan, kronis, komplikasi, dan dicurigai sekresi
asam lambung yang berlebihan.

2.4 Pengkajian Resep


2.4.1 Administrasi

Persyaratan
Ada/tidak Keterangan
Administrasi
Nama dokter Ada Dr. R
Alamat dokter dan no Tidak ada Pada resep tercantum hanya
telpon tercantum alamat dan nomor
telpon RS tempat praktek
Nama Pasien Ada A.R
Jenis Kelamin Ada Laki laki
Berat badan Tidak Ada -
Umur Pasien Ada 29 tahun
Alamat Pasien Tidak Ada -
Nama dan paraf Ada Dr.R
dokter
Tanggal Resep Ada 11-12-2017

Tabel 1. Skrining administrasi

11
2.4.2 Pengkajian Farmasetik (AHFS, 2011)

No Nama Obat Zat aktif Bentuk sediaan Kekuatan Dosis Stabilitas Kompatibilitas
(ketercampuran
obat)
1 Sucralfate Sukralfat Suspensi 500mg/5ml 3 xsehari 1 sendok V V
teh
2 Lansoprazol Lansoprazol Kapsul 30 mg 1x sehari 1kapsul V V

3 Domperidon Domperidon Tablet 10 mg 3x sehari 1 tablet V V

2.4.3 Pengkajian Klinis (AHFS, 2011)

No Nama Obat Komposisi Indikasi Mekanisme Kerja Dosis Pemberian Efek Samping
Obat
1 Sucralfate Sukralfat Antiulcer; Terapi Membentuk lapisan 1 gram 4x sehari, 1 jam Konstipasi, mual,
suspensi 500mg/ 5ml untuk tukak pada dasar tukak Profilaksis: 1 gram sebelum muntah, nyeri
lambung, tukak sehingga melindungi 2xsehari makan atau 2 abdomen, dispepsia,
duodenum tukak dari pengaruh jam setelah diare, mulut kering,
agresif asam lambung makan (perut pusing.

12
dan pepsin. kosong)

2 Lansoprazol Lansoprazol PPI; Terapi untuk Menghambat atau 15-30 mg 1 jam Sakit kepala, Diare,
30 mg tukak lambung, mencegah sekresi asam 1 kali sehari sebelum mual, konstipasi, nyeri
tukak duodenum, lambung makan abdomen, muntah,
gastroesophageal pusing dan ruam pada
reflux (GERD) kulit.

3 Domperidon Domperidon Antiemetik; terapi memicu gerak 10-20 mg 15-30 menit Ruam, reaksi alergi,
10 mg mual dan muntah, peristaltik oesophagus 3-4 x sehari (max jam sebelum reaksi distonia akut
dispepsia dan usus serta makan
fungsional. mereganggan sphincter
oesophagus di
lambung. sehingga
makanan segera
terdorong keluar dari
lambung menuju usus.
Dan memblokir
kemoreseptor dopamine
di otak lebih tepatnya
reseptor dopamine D2
dan D3 (triger yang

13
pemicu terjadinya
muntah)

14
2.4.4 Pengkajian Farmakokinetik (AHFS, Madscape, Martindal)
No Nama Obat Absorbsi Distribusi Metabolisme Eksresi Waktu paruh
1 Sucralfate Sedikit diserap di Hanya sedikit Tidak berubah menjadi Dieliminasi di feses Berikatan sisi
dalam usus. didistribusikan di metabolismenya (>90%) dan urin (3- tukak setelah 6
Bioavabilitas 5%. jaringan. 5%) jam.
Onset 1-2 jam

2 Lansoprazol Diserap dengan baik Lansoprazol Dimetabolisme di hati Ekskresi terutama < 2 jam (0,9-
dari saluran GI didistribusikan ke oleh enzim CYP3A dan pada fases (sekitar 1,5 jam)
(bioavailabilitas susu tikus, pada CYP2C19 67%) dengan sisa air
absolut> 80%). manusia belum kencing;
Konsentrasi plasma diketahui, ikatan
puncak dicapai proteinnya 97%
sekitar 1,7 jam
setelah pemberian
oral

3 Domperidon Diserap cepat, Lebih dari 90% Ia mengalami hepatic Sekitar 30% dari 7,5 jam
terikat pada protein
bioavabilitas hanya metabolisme yang dosis oral
plasma. Sejumlah
sekitar 15% kecil domperidone cepat dan ekstensif. diekskresikan
didistribusikan ke
Jalur metabolik utama melalui urin dalam
dalam ASI, tidak
mudah melintasi adalah N-dealkilasi oleh waktu 24 jam,
sawar darah otak.

15
sitokrom P450 isoenzim hampir seluruhnya
CYP3A4, sebagai metabolit;
sisa dosis
diekskresikan
melalui fases selama
beberapa hari.

16
2.4.5 Pengkajiian Drug Related Problem (DRP)

Jenis DRP DRP Keterangan Rekomendasi

Indikasi yang tidak


- - -
diterapi

Terapi tanpa indikasi - - -

Dosis sucralfate dewasa 1 gram 4xsehari, untuk


Dosis kurang v Hubungi dokter
profilaksis: 1gram 2xsehari (AHFS)

Dosis berlebih - - -

Gagal mendapatkan
- - -
obat
Pilihan obat tidak di
- - -
terapi
Efek samping obat - -

Duplikasi terapi - - -

- jarakkan penggunaan obat


- sukralfat dapat menurunkan konsentrasi lansoprazol
seperti lansoprazol 1 jam
Interaksi Obat melalui penghambatan absorbsi GI (minor: signifikan
sebelum makan, sucralfat 2 jam
tidak diketahui).
setelah makan.

17
BAB III
TINJAUAN KOMPETENSI

3.1 Aspek Praktek Profesional, Legal dan Etis


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/Menkes/Per/V/2011 tentang registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga
kefarmasian bahwa dalam melakukan praktik kefarmasian secara legal dan
profesional seorang apoteker harus memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA).
Dalam melaksanakan praktek kerja di apotek, apoteker harus dapat melakukan
analisis dan pengkajian resep sesuai dengan persyaratan administrasi, persyaratan
farmasetik, dan persyaratan klinis pada setiap resep yang diterima. Seorang
apoteker harus memiliki keterampilan dalam berkomunikasi dengan teman
sejawat ataupun pasien. Komunikasi dengan pasien untuk memberikan informasi
obat, memberikan konseling untuk pasien yang membutuhkan konseling mengenai
obat-obat yang diterima serta terapi nonfarmakologi. Apoteker dapat menanyakan
three questions kepada pasien atau keluarga pasien guna menggali informasi lebih
lanjut dari pasien, three questions berupa pertanyaan seperti apa saja yang telah
dijelaskan dokter tentang penyakit pasien, apa yang dijelaskan dokter tentang obat
yang diberikan, dan serta tujuan pengobatan. Meninjau riwayat pengobatan dan
riwayat penyakit pasien sebelumnya. Serta memastikan kepada pasien maupun
keluarga pasien bahwa pasien tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obat tertentu.

3.2 Aspek Optimalisasi Penggunaan Sediaan Farmasi


Hasil analisa resep diketahui pasien di diagnosa ulkus peptikum dan
mendapatkan 2 jenis obat anti ulkus yaitu lansoprazol dan sukralfat. Lansoprazol
merupakan salah satu obat golongan acid or proton pompa inhibitor (PPI) yaitu
golongan obat yang menghambat sekresi asam lambung. Menurut dipiro
tatalaksana untuk terapi farmakologi ulkus peptikum, untuk lini pertama diberikan
obat golongan PPI seperti omeprazol, lansoprazol, pantoprazol etc. Sedangkan
sukralfat merupakan obat antiulcer agent, yang bekerja dengan cara membentuk
lapisan pada dasar tukak sehingga melindungi tukak dari pengaruh agresif asam

18
lambung dan pepsin. Pemberian sukralfat ketika kondisi lambung kosong, seperti
minimal 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
Domperidon merupakan salah satu antiemetik, yang dapat meredakan rasa
mual, muntah, rasa tidak nyaman dan gangguan perut, serta refluks asam lambung
(GERD).

3.3 Aspek Dispensing Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan


a. Ambil lansoprazol 30mg 6 kapsul, masukkan dalam plastik obat, beri etiket.
b. Ambil domperidon 10 tablet, masukkan dalam plastik obat, beri etiket
c. Ambil sucralfate suspensi 1 botol, beri etiket, masukkan dalam kemasan
primer atau plastik obat yang sesuai.
d. Serahkan kepada pasien

3.4 Aspek Komunikasi dan Kolaborasi


Seorang apoteker harus dapat berkomunikasi dengan baik kepada dokter
maupun pasien. Ketika terdapat ha-hal yang meragukan terkait dosis dan indikasi
obat terutama jika adanya rekomendasi untuk mengubah dosis, mengganti obat,
maka apoteker sebaiknya mengkomunikasikan hal tersebut pada dokter. Seorang
apoteker juga harus dapat berkomunikasi dengan baik kepada pasien guna
menggali informasi dari pasien untuk mengetahui kondisi pasien lebih lanjut.
Selain itu, ketika penyerahan obat, apoteker menginformasikan kepada pasien
informasi penting terkait obat pasien seperti cara penggunaan, penggunaan obat
sesuai aturan, lama pemberian obat, jelaskan cara penyimpanan obat hingga efek
samping yang mungkin ditimbulkan akibat pemakaian obat. Apoteker juga dapat
melakukan pemantauan terapi obat melalui kedatangan pasien kembali, via
telpon, keberhasilan terapi dan efek samping obat yang didapat pasien.
Selain pasien, edukasi dan informasi juga juga perlu diberikan pada keluarga
pasien, serta tenaga kesehatan lain yang terlibat dengan pengobatan pasien. Untuk
meningkatkan pemahaman keluarga pasien dan pasien itu sendiri terhadap
penyakitnya serta untuk meningkatkan keberhasilan terapi pengobatan. Selain itu
dapat juga diberikan brosur sebagai salah satu cara informasi dan edukasi kepada
pasien maupun tenaga kesehatan lainnya.

19
3.5 Aspek Upaya Prefentif dan Promotif Kesehatan
 Usahakan makan secara teratur
 Hindari makanan yang memiliki resiko dispepsia seperti kopi, teh,
cola, susu dan makanan pedas.
 Jika menggunakan obat yang mempengaruhi mukosa lambung seperti
obat golongan NSAID, sebaiknya gunakan setelah makan.
 Hindari stres yang berlebihan

3.6 Aspek Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan


Menurut standar pelayanan kefarmasian dia apotek terdapat 7 aspek yang
harus dipenuhi dalam melakukan pengadaan dan pengelolaan sediaan farmasi dan
alat kesehatan :
1. Perencanaan
Perencanaan adalah prediksi kebutuhan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan yang akan diadakan di apotek. Beberapa analisa
yang diperlukan antara lain :
a. Pola konsumsi, yaitu dengan melihat obat yang sering keluar dalam
resep dokter dan dengan mempertimbangkan penyakit yang sering
terjadi. Umumnya ulkus peptikum banyak terdapat pada masyarakat
dengan gaya makanan yang tidak terkontrol, memiliki jam kerja yang
padat, masyarakat dengan tingkat beban pikiran yang tinggi.
b. Pola penyakit, mencari laporan ke Dinas Kesehatan, sarana kesehatan
setempat seperi puskesmas atau dapat bertanya langsung kepada
pejabat daerah dan masyrakat seempat mengenai penyakit yang
banyak diderita oleh pasien suatu daerah tertentu. Sehingga apoteker
dapat mengetahui epidemiologi penyakit tertentu.
c. Budaya, dengan gaya hidup yang tidak terkontrol maka dapat
meningkatkan resiko penyakit ulkus peptikum.
d. Kemampuan masyarakat, dalam hal pemilihannya kita juga harus
mempertibangkan kemampuan daya beli masyarakat. Hal ini akan
menentukan pemilihan nama obat baik generik maupun merk dagang.
Ada banyak nama merk dagang obat dari berbagai produsen obat

20
untuk satu jenis obat yang tentunya juga beda dari segi keuntungan
dan kualitas obat.
Perencanaan obat obat tersebut biasanya menggunakan metode konsumsi
dimana dengan melihat jumlah pemakaian sebelumnya pada kartu stok
dan resep. Jika stok obat sudah menipis maka langsung dicatat pada buku
pesanan untuk dipesan pada pagi harinya.
2. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan adalah kegiatan
menyediakan obat-obat yang persediaannya sudah mulai habis atau
menipis biasanya dituliskan dalam buku pesanan yang merupakan catatan
sediaan yang akan dipesan pada PBF. Untuk menjamin kualitas pelayanan
kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat-obat golongan obat
keras dan pengadaan obat-obat keras dapat dipesan langsung ke PBF
dengan membuat surat pesanan yang ditandatangani oleh apoteker
penanggung jawab apotek. Pengadaan dilaksanakan sesuai perencanaan
apotek, disesuaikan dengan kebutuhan apotek.
Pengadaan obat obat tersebut biasanya dipesan langsung ke pbf
berdasakan jumlah yang ditulis pada buku pesanan. Untuk sukralfat bisa
dipesan di PBF Kebayoran, untuk lansoprazol dipesan di PBF Enseval dan
domperidon bisa di pesan di PBF Enseval. Pemesanan menggunakan SP
biasa.
3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi (nama obat dan kekuatan sediaan obat), jumlah, mutu, waktu
penyerahan dan harga yang tertera pada faktur dengan kondisi fisik yang
diterima dari PBF.
4. Penyimpanan
Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud

21
meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya,
kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan adalah:
a. Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam
hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain,
maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi
yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang kurangnya memuat nama
Obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
b. Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai
sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
c. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan
dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
d. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First In First Out)
5. Pemusnahan
Berdasarkan standar pelayanan kefarmasian di apotek, dijelaskan
bahwa:
a. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Obat non narkotika dan psikotropika maka
pemusnahan dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktek atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
b. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan
oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara
pemusnahan resep, dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem

22
pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan
untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,
kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan.
Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan
cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat
nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran
dan sisa persediaan.
7. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Obat Keras
meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan
internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
meliputi pelaporan narkotika (menggunakan Formulir 3 sebagaimana
terlampir), psikotropika (menggunakan Formulir 4 sebagaimana
terlampir) dan pelaporan lainnya.

3.7 Aspek Kepemimpinan dan Manajemen Diri


Apoteker merupakan seorang manajer di apotek, sebagai manajer harus
mampu mengelola apotek dengan baik sehingga semua kegiatan yang berjalan di
apotek berlangsung secara efektif dan efisien. Apoteker harus mempunyai
kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-
prinsip ilmu manajemen agar mampu memimpin, mengarahkan, mengambil
keputusan dan bekerja sesuai etik seorang apoteker. Tidak hanya dibidang
manajerial, apoteker juga wajib memberikan pelayanan, mengambil keputusan
yang baik, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai
pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelolan SDM secara
efektif. Apoteker hasur mampu menjalankan fungsi kepemipinan sebagai apoteker

23
penanggungjawab apotek yang bekerja sama denga tenaga kefarmasian dan
pegawai nonkesehatan lainnya.

3.8 Aspek Peningkatan Kompetensi Profesi


Apoteker sebagai seorang profesional di bidang kefarmasian (penanggung
jawab teknis kefarmasian) sesuai dengan keilmuan tentang pekerjaan kefarmasian,
apoteker mampu melakukan pengembangan diri dengan memanfaatkan teknologi
informasi. Apoteker harus aktif mengikuti seminar/symposium serta
pelatihan/workshop. Apoteker juga harus memiliki rasa kepedulian yang tinggi
terhadap masalah kesehatan yang sedang dihadapi oleh pasien (caring), kompeten
di bidang kefarmasian (competent), dan memiliki komitmen (commited).

24
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
1. Terdapat permasalahan terkait obat yang diberikan kepada pasien seperti
dosis obat yang diberikan kurang dari yang seharusnya diberikan.
2. Terapi nonfarmakologi khususnya intervensi terhadap perubahan gaya
hidup harus selalu diingatkan oleh seorang apoteker kepada pasien
dengan resiko ulkus peptikum

4.2. Saran
1. Sarankan kepada pasien untuk mengontrol pola makan yang teratur.
2. Penting bagi pasien untuk menghindari faktor resiko penyakit ulkus
peptikum.
3. Diharapkan apoteker menjalankan kegiatan preventif dan promotif
kesehatan secara berkelanjutan.

25
DAFTAR PUSTAKA

AHFS.2011.AHFS Drug Information Bethesda: American Society of Health


System Pharmacis.

Dipiro, J. T., Dipiro, C.V.,Wells, B.G., & Scwinghammer, T.L. 2009.


Pharmacoteraphy Handbook Seventh Edition. USA : McGraw-Hill
Company.

Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ganong, Edisi 22.Jakarta:
EGC
Goodman & Gilman. 2008. Manual Pharmacology and Therapeutics. USA :
McGraw-Hill Company.
Musumba, C., Pritchard, D.M., Pirmohamed, M. 2009. Cellular and Molecular
Mechanism of NSAID-Induced Peptic Ulcer. Alimentary Pharmacology
& Terapeuthics. 30: 517-531.
Tarigan, P. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam jilid1.Ed.3.Sirosis Hati.Jakarta:
Balai Penerbit FKUI

26

Anda mungkin juga menyukai