Anda di halaman 1dari 22

BAB I

TINJAUAN UMUM KASUS

1.1. Kasus
Seorang pasien dengan inisial S (66 tahun), masuk ke rumah sakit pada
tanggal 15 Februari2018dengan keluhan:
 Pusing berputar (+), nyeri leher belakang
 Riwayat trauma kepala (+)
 Mual (+), Muntah (-)

1.2. Tinjauan Pustaka


1.2.1 Post Trumatic Vertigo
A. Pengertian
Vertigo merupakan gejala yang sering dirasakan seseorang yang
mengalami trauma akibat cedera pada kepala, leher , dan penghubung
kranioservikal. Cedera yang disebabkan karena kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh dari ketinggian, perkelahian, dan cedera olahraga dapat
menyebabkan vertigo. Berbagai Jenis mekanisme trauma dan gaya yang
dihasilkan dapat menyebabkan cedera pada anatomi system vestibular. Vertigo
pasca trauma bisa timbul pada beberapa hari, minggu, atau bulan pasca
trauma. Tanda dan gejala serta penatalaksanaan post traumatic vertigo
tergantung dari struktur anatomi yang terkena cedera. Walaupun tidak ada
kaitan nya antara mekanisme cedera dan gangguan vestibular yang spesifik.
Kondisi patologis yang tersering saat terjadinya trauma kepala adalah BPPV
(benign paroxysmal positional vertigo) yang timbul sekitar 28% kasus trauma
kepala. Gangguan lain yang sering terjadi yang dapat muncul pada system
vestibular akibat trauma kepala yaitu benturan pada batang otak, atau cedera
nervus VIII kompleks, penyakit Meniere post trauma atau hidrops endolimfe,
rupture membran tinkap lonjong atau fistula perilimf dan benturan
labirin.Diagnosis yang tepat pada gangguan vestibular merupakan kunci
keberhasilan penatalaksanaan vertigo post trauma (Wreksoatmojo, 2009).
Vertigo sendiri berasal dari istilah latin, yaitu vertereyang berarti
berputar, dan igo yang berartikondisi. Vertigo merupakan subtipe dari
“dizziness”yang secara definitif merupakan ilusigerakan, dan yang paling
sering adalah perasaanatau sensasi tubuh yang berputar terhadaplingkungan
atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar.
B. Epidemiologi
Angka kejadian vertigo di Amereika berkisar 64 dari 100.000 orang dan
wanita cenderung lebih sering terserang (64%), kasus Benigna Paroxysmal
Positional Disease (BPPV) sering terjadi pada usia rata-rata 51-57 tahun,
jarang pada usia 35 tahun tanpa riwayat trauma kepala (George, 2009).
Menurut survey dari Department of Epidemiology, Robert Koch Institute
Germany pada populasi umum di Berlin tahun 2007, prevalensi vertigo dalam
1 tahun 0,9%, vertigo akibat migren 0,89%, untuk BPPV 1,6%, vertigo akibat
Meniere’s Disease 0.51%. Pada suatu follow up study menunjukkan bahwa
BPPV memiliki resiko kekambuhan sebanyak 50% selama 5 tahun. Data dari
Advance Life Trauma Support (ATLS) tahun 2004 menunjukkan bahwa, di
Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Menurut Ramos et all (2013), angka kejadian
vertigo pada pasien trauma kepala berkisar 55%. Menurut Friedman (2004),
insiden vertigo yang terjadi setelah trauma kepala sekitar 40-60%,biasanya
terjadi setelah trauma kepala ringan dan sedang yang tidak memerlukan
perawatan akut. Vertigo tidak lazim didapat kecuali kerusakan pada telinga
bagiandalam, N. VIII atau batang otak (Iskandar, 2002).

C. Patofisiologi
Seluruh sistem vestibuler memiliki potensi kerusakan yang dikarenakan
trauma tumpul pada daerah kepala dan leher. Studi radiologis dan postmortem
yang menunjukan mekanisme patofisiologi yang mendasari cedera vestibular
masih belum jelas.
 BPPV (Benign paroxysmal positional vertigo)

Dari seluruh mekanisme patofisiologi vertigo post trauma, traumatic


BPPV paling mudah dipahami.
Mekanisme yang mendasari BPPV traumatic sama seperti BPPV
idiopatik dan termasuk didalamnya teori canalolithiasis dan cupulolithiasis.
Canalithiasis diartikan sebagai suatu kondisi partikel yang berada dalam
canal pada canalis semisirkularis. Karena keberadaannya mengambang dan
dapat bergerak yang dapat menyebabkan vertigo yg disebabkan pergerakan
akibat suatu gaya. Berbeda pada cupulolitiasis yang mengarah pada
kepadatan parrtikel yang menempel pada cupula di dalam Krista ampularis.
Partikel cupulolith berada di dalam ampula yang berada di dalam kanalis
semisirkularis dan tidak mengambang bebas.
 Gegar batang otak atau cedera kompleks nervus VIII
Kompleks nervus VIII sangat berisiko terhadap trauma, walaupun
trauma ringan, karena robekan dapat berdampak pada tempat masuknya
nervus ke batang otak.
 Sindroma meniere post traumatic atau delayed hydrops endolimphatic
Mekanisme sindroma meniere post traumatic, selain dikarenakan
gangguan duktus endolimfatik dikarenakan fraktur OS temporal, adalah
dikarenakan perdarahan telinga dalam yang diikuti dengan gangguan
transport cairan. Terdapat 3% kasus dari 120 pasien yang mengalami
sindroma meniere post traumatic. Penelitian lain juga mendeskripsikan
trauma yang menyebabkan hidrops endolimfatik tanpa fraktur os temporal.
 Fistula perilimfatik / Perilymphatic Fistule (PLF)
PLF adalah saluran abnormal telinga dalam dan telinga tengah.
Walaupun PLF sekunder biasanya terdapat pada fraktur os tempora,
kebocoran dapat muncul pada robekan membrane oval pada pelekatan
ligamentum kaki stapes pada tepi tingkap lonjong.
D. Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis merupakan bagian pemeriksaan yang paling penting untuk
penderita vertigo, oleh sebab itu diperlukan anamnesis yang cermat dan
banyak memerlukan waktu.
1. Penderita diminta melukiskan dengan kata-kata sendiri apa yang
dimaksudnya dengan pusing
2. Anamnesis khusus dengan vertigonya
– Adakah kekhususan sifat vertigo yang timbul, keparahan vertigonya
– Intensitas timbulnya vertigo berkaitan dengan perjalanan waktu
– Bagaimana timbul dan bagaimana berakhirnya
– Pengaruh lingkungan atau situasi
– Keluhan lain seperti telinga berdenging, mual, muntah dll
3. Anamnesis untuk keluhan-keluhan lain (drop attack, gangguan
penglihatan, disatria, disfonia, gangguan pergerakan atau sensibilitas)
bilamana keluhan ini ada dan bersamaan dengan penurunan kesadaran
maka perlu dicurigai kelainan serebrovaskuler.
4. Anamnesis intoksikasi/pemakaian obat-obatan, sepeti streptomisin,
anti konvulsan, gentamisin, anti hipertensi, kanamisin, penenang,
neomisin, alkohol, fenilbutazol, kinin, asam eta-akrinik, tembakau.
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan mata perlu dilakukan pada kondisi mata bergerak dan dalam
posisi netral.
1. Mencari adanya strabismus dan/atau diplopía
2. Mencari adanya nistagmus
Pemeriksaan nistagmus dilakukan waktu memeriksa gerakan bola mata.
Waktu memeriksa gerak bola mata, harus diperhatikan terlihat ada nistagmus
atau tidak. Nistagmus ialah gerak bolak balik bola mata yang involunter dan
ritmik. Untuk maksud ini penderita disuruh melirik terus ke satu arah (misalnya
ke kanan, ke kiri, ke atas, bawah) selama jangka waktu 5 sampai 6 detik. Jika
ada nistagmus hal ini akan terlihat dalam jangka waktu tersebut. Akan tetapi,
mata jangan terlalu jauh dilirikkan, sebab hal demikian dapat menimbulkan
nistagmus pada orang yang normal (end position nystagmus; nistagmus posisi
ujung).
Bila dijumpai nistagmus harus diperiksa:
a. Jenis gerakannya
1. Nistagmus pendular : nistagmus yang tidak memiliki fase cepat dan
lambat.
2. Nistagmus vertikal yang murni : nistagmus yang geraknya ke atas dan
ke bawah
3. Nistagmus rotarorri yang murni : nistagmus yang geraknya berputar
4. Gerakan nistagmoid : gerakan bola mata yang bukan nistagmus
sebenarnya
5. Nistagmus tatapan yang murni : nistagmus yang berubah arahnya bila
arah lirik mata berubah.
b. Bidang gerakannya: horizontal, ventrikal, rotatoar, atau campuran
c. Frekuensinya (cepat atau lambat)
d. Amplitudonya (besar atau kecil, kasar atau halus)
e. Arah gerakannya yaitu arah komponen cepatnya. Bila dikatakan
nistagmus horizontal kanan, ini berarti komponen cepatnya ialah
horizontal kanan. Sebetulnya lesi berada di arah komponen lambatnya,
karena komponen lambat inilah yang esensial pada nistagmus: timbulnya
nistagmus ialah karena lemahnya mata untuk mengadakan deviation
conjuge yang volunter.
f. Derajatnya
- Derajat 1 : nistagmus timbul bila melirik ke arah komponen cepat
- Derajat II : juga ada bila melihat ke depan
- Derajat III : juga ada abila melirik ke arah komponen lambat.
g. Lamanya : apakah menetap (permanen), atau berlalu (menghilang setelah
beberapa waktu, hari, atau minggu)
E. Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
Umumnya merupakan pengobatan simptomatis. Beberapa obat yang dapat
diberikan antara lain sebagai berikut :

1. antikolinergik/parasimpatolitik
2. antihistamin
3. penenang minor dan mayor
4. simpatomimetik
5. vasodilator
Pengobatan vertigo :
a. Terapi kausal : merupakan pengobatan terbaik yaitu sesuai dengan etiologi

• Pengobatan terhadap kelainan susunan saraf pusat seperti iskemia,


hipotensi, infeksi, trauma kepala, tumor, migren
• Pengobatan kelainan sistem vaskuler perifer seperti kelainan telinga
tengah/dalam
b. Terapi simptomatik (medika mentosa) ditujukan kepada 2 gejala

• rasa vertigo, mutar melayang


• gejala otonom (mual, muntah)

Pemilihan obat: sesuai efek obat, berat dan fase vertigo


Golongan obat :
a. Menekan irritabilitas vestibular

• Anti histamin: dimenhidrinat (dramamin)


• Prometazine (phenergan)
• Sinarizin (vertizin, stugoron)
• Benzodiazepin
• Beta blocker : carvedilol
• Ca entry blocker (flunarizine)
b. Memperbaiki aliran darah ke labirin dan batang otak (meningkatkan
oksigenasi)

• Histaminik : Betahistin maleat


Mekanisme betahistin yang pertama secara langsung menstimulasi
reseptor H1 di pembuluh darah pada telinga bagian dalam sehingga terjadi
vasodilatasi local dan kenaikan permeabilitas dengan demikian
menghilangkan endolymphatic hydrops.. Mekanisme betahistin yang
kedua yaitu antagonist histamine pada reseptor histamine 3 (AH3).
Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai
system organ. Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan pada berbagai daerah
di otak mengurangi pelepasan transmitter baik histamine maupun
norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin. AH3 menghambat histamine
dengan cara meningkatkan neurotransmitter seperti norepinefrin,
serotonin, dan asetilkolin dari ujung-ujung serabut saraf. Mekanisme ini
yang menyebabkan terjadi efek vasodilatasi yang lebih kuat pada
betahistin di telinga bagian dalam sehingga mengakibatkan pelebaran
spinchter prekapiler sehingga meningkatkan aliran darah pada telinga
bagian dalam.Dosis Obat: Dewasa 1-2 tab 3x/hari, berikan sesudah makan
Maksimal 15 tab/kasus.

• Ca entry blocker (flunarizine)


Flunarizin (antagonis kalsium). Cara kerjanya diduga daerah
vestibular di dalam sel rambut banyak mengandung celah kalsium. Dan
influk yang terus menerus dari kalsium menyebabkan timbulnya vertigo.
Dengan kerja antagonis kalsium yang menghambat masuknya kalsium
akan menyebabkan rangsangan semakin menurun kemudian menghilang.
Ca  entry bloker ( mengurangi aktivitas eksitatory SSP dengan menekan
pelepasan glutamat, menekan aktivitas NMDA spesial channel, bekerja
langsung sebagai depresor labirin). Flunarizin (sibelium 3x 5-10 mg/hr).

c. Mengatasi mual, muntah


- Fenotiazine (proklorperazin, stemetil)

2) Fisioterapi
Bertujuan untuk mempercepat tumbuhnya mekanisme kompensasi/
adaptasi atau habituasi sistem vestibuler yang mengalami gangguan tersebut.
Tatalaksana untuk masing-masing vertigo berdasarkan penyebabnya yaitu:

– Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)


1) Canalith Repositioning Treatment (CRT)
CRTmerupakan terapi standar untuk BPPV.Terapi ini adalah terapi non
invasif dan dapat dilakukan diluar rumah sakit. CRT dapat dilakukan dengan
caraEpley maneuverseperti yang ada di gambar 2.12. Tujuan dilakukannya
terapi ini adalah untuk mengembalikan otolit yang terlepas dari utrikulus itu
kembali ke tempat semula. Terapi ini lebih efektif jika dilanjutkan dengan
Latihan Brand-Daroff .
2) Latihan Brand-Daroff
Latihan fisik untuk kepala dan leher yang bisa dikerjakan di
rumah.Tujuannya untuk melakukan habituasi terhadap sistem vestibuler
sentral.Pasien diminta untuk bergerak dengan cepat dari posisi duduk ke posisi
berbaring pada sisi yang mencetuskan vertigo (kepala pasien menoleh ke sisi
kontralateral sejauh 45 derajat) selama minimal 30 detik.Bila timbul vertigo,
pasien tetap dalam posisi tersebut hingga vertigo hilang.Selanjutnya pasien
kembali ke posisi duduk dengan cepat dan tetap dalam posisi duduk selama 30
detik.Setelah itu pasien berbaring ke sisi kontralateral dengan kepala menoleh
menjauhi sisi tersebut selama 30 detik dilanjutkan dengan kembali ke posisi
duduk selama 30 detik.Pasien diminta untuk kontrol satu minggu
kemudian.Pada saat kontrol dilakukan uji Dix-Hallpike dan dilakukan
perekaman ulang dengan menggunakan kamera video inframerah.Selanjutnya
dilakukan penilaian terhadap perbedaan gambaran nistagmus

1.2.2 Cervical Syndrom


A. Pengertian
Nyeri leher atau bisa disebut nyeri servikal adalah suatu kondisi medis yang
sakit pada bagian leher tulang punggung. Bagian leher (cervical) pada kolom
tulang punggung terbuat dari 7 tulang rusuk (vertebrae) yang terpisah oleh disk
yang seperti bantal. Disk ini penyerap benturan untuk kepala dan leher. Nyeri
leher ini biasanya muncul dari akibat sejumlah gangguan dan penyakit yang
mengenai jaringan sekitar leher seperti penyakit degeneratif pada diskus,
ketegangan pada leher, dan cedera leher meliputi herniasi diskus
B. Etiologi
Etiologi adalah ilmu pengetahuan atau teori tentang faktor penyebab suatu
penyakit atau asal mula penyakit (Dorland, 2002). Nyeri pada leher dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor musculoskeletal, faktor
nervorum, faktorvascularisasi, dan faktor pada persendiannya (Hudaya, 2009).
Berbagai macampenyebab dari sindroma nyeri servikal, meliputi:
– Trauma

Trauma yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang


menyebabkanwhiplash injury, kecelakaan akibat kerja atau olahraga yang kontak
badan sehingga mengakibatkan timbulnya nyeri pada leher. Pada beberapa jenis
pekerjaan dapat menyebabkan nyeri leher akibat trauma menahun, misalnya pada
tukang cat plafon, tukang potong rambut, dan seorang pegawai kantor yang
bekerja didepan komputer selama kerjanya (Hudaya, 2009).
– Kesalahan postural

Kebiasaan sikap postural dan posisi yang salah dan berkepanjangan dapat
menyebabkan nyeri pada leher, misalnya kebiasaan tidur menggunakan bantal
yang terlalu tinggi, menggerakkan leher secara spontan.
– Penyakit degeneratif

Penyakit degeneratif merupakan salah satu kondisi yang sering


mengenaileher pada orang setelah usia pertengahan dan meningkat seiring
bertambahnya usia yang menyebabkan nyeri pada leher. Kondisi ini disebut
dengan spondilosiscervicalis yang tampak dari hasil radiologis, yaitu: perubahan
discus intervertebralis, pembentukan osteofit pada paravertebral dan facet joint,
serta perubahan arcus lamina posterior. Pada kasus sindroma nyeri servikal ini
disebabkan oleh kesalahan postural yang berkepanjangan.

C. Patologi
Patologi sindroma nyeri servikal disini dengan tanpa adanya kondisi
traumatik seperti fraktur, dislokasi maupun subluksasi bisa disebabkan karena
spondilosiscervical. Hal ini merupakan suatu keadaan yang menimbulkan kaku
kuduk (neck stiffness) atau rasa nyeri, yang timbul akibat kapsul sendi yang
mengandung serabut saraf sangat sensitif terhadap peregangan dan distorsi, selain
itu ligamentum dan tendon di leher sensitif juga terhadap regangan dan torsi oleh
gerakan yang keras atau overuse leher atau bagian atas punggung, juga osteofit
dapat menekan akar saraf atau medulla spinalis karena foramen intervertebrale
menyempit akibat membesarnya osteofit paravetebral dan facet joint. Bila ukuran
lubang foramen perlahan-lahan mengecil, hanya butuh strain cervical yang ringan
saja sudah dapat membangkitkan gejala radikuler berupa nyeri atau rasa
kesemutan, yang menjalar dari lateral leher, turun menuju bahu, lengan dan
pergelangan tangan. Tergantung akar saraf mana yang mengalami kompresi.
D. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada kasus sindroma nyeri servikal meliputi:
 Adanya nyeri pada daerah leher yang bersifat terus- menerus.
Nyeri tersebut berupa nyeri tekan pada otot-otot sekitar leher, scapula, dan
pundak seperti m. sternocleidomastoideus, m. levator scapulae, m.
ekstensor leher, m. upper trapezius, m. rhomboideus major, dan m.
rhomboideus minor. Nyeri gerak pada gerakan leher yang meliputi gerak
fleksi, ekstensi, rotasi kanan, rotasi kiri, lateral fleksi kanan, dan lateral
fleksi kiri baik gerak pasif maupun aktif.
 Spasme otot
Adanya spasme otot-otot leher, scapula, dan pundak pada
sternocleidomastoideus, m. levator scapulae, m. ekstensor leher, m. upper
trapezius, m. rhomboideus major, dan m. rhomboideus minor.
 Keterbatasan gerak
Adanya keterbatasan gerak pada leher yang meliputi gerak fleksi, ekstensi,
rotasi kanan, rotasi kiri, lateral fleksi kanan, dan lateral fleksi kiri baik
gerak aktif maupun pasif.
 Gangguan postural
Gangguan postural sebaga i gerakan kompensasi untuk menghindari rasa
nyeri, misalnya bahu menjadi asimetris atau tidak tegak.

E. Penatalaksanaan
1. Bila penyebabnya adalah akibat dari trauma whiplast, maka dengan
istirahat akan menjadi baik kembali.
2. Bila oleh karena spondilitis, maka dapat dilakukan rehabilitasi medik.
a. Fisioterapi
Program rehabilitasi medik antara lain fisioterapi dan pemasangan
alat bantu seperti cervical collar dan traksi.
b. Farmakologi
Fase akut: Obat penghilang nyeri/ relaksan otot : contohnya Eperison,
Golongan salisilat atau NSAID, jika nyeri hebat analgetik.
Contoh obat: Ibuprofen, Naproksen, Fenoprofen, Vit. B1, B6, B12.

1.2.3 Hipertensi
A. Pengertian
Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal
atau tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan
JNC (Joint National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika
tekanan sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih
(Chobaniam, 2003). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90
mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik
160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.

B. Patofisiologi
 Tekanan darah arteri
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding
arteri dalammillimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya
diukur, tekanan darahsistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD).
TDS diperoleh selamakontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah
kontraksi sewaktu bilik jantung diisi.Banyak faktor yang mengontrol
tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya
hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah:
 Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau
variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons
terhadap stress psikososial dll
 Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
 Asupan natrium (garam) berlebihan
 Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
 Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan
meningkatnyaproduksi angiotensin II dan aldosteron
 Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan
peptidenatriuretik
 Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang
mempengaruhitonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
 Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan
padapembuluh darah kecil di ginjal
 Diabetes mellitus
 Resistensi insulin
 Obesitas
 Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
 Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut
jantung,karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
 Berubahnya transpor ion dalam sel
C. Etiologi
Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol.
Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang
khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebabhipertensi sekunder;
endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunderdapat diidentifikasi,
hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secarapotensial
 Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial(hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial
merupakan95% dari seluruh kasus hipertensi.Beberapa mekanisme yang
mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi initelah diidentifikasi,
namun belum satupun teori yang tegas menyatakanpatogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalamsuatu keluarga, hal ini
setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegangperanan penting
pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukangambaran
bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenikmempunyai
kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristikgenetik
dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, danangiotensinogen.
 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah
(lihattabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal
kronis ataupenyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling
sering. Obat-obattertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi ataumemperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah. Obat-obat ini dapatdilihat pada tabel 1. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka denganmenghentikan obat yang
bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisikomorbid yang
menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder.
D. Klasifikasi tekanan darah
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥18 tahun)
berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih
kunjungan klinis2 (Tabel 2). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori,
dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan
darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori
penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung
meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat
(stage) hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat.

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh


tekanan darahyang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinyakelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg;dikategotikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi.
Padahipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan
kerusakanorgan target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah
harusditurunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah kerusakan
organtarget lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut:
encephalopathy,pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema
paru, dissectingaortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil, dan eklampsia atau
hipertensi beratselama kehamilan.

E. Komplikasi hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri danmempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk
rusaknya organtubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah
besar. Hipertensiadalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular
(stroke, transientischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,
angina), gagal ginjal,dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi
memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan
mortalitas danmorbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut
StudFramingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko
yangbermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan
gagaljantung.

F. Gejala Klinis
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah
mempunyai faktor resiko tambahan (lihat tabel 3), tetapi kebanyakan asimptomatik.

 Faktor resiko mayor


1. Hipertensi
2. Merokok
3. Obesitas (BMI ≥30)
4. Immobilitas
5. Dislipidemia
6. Diabetes mellitus
7. Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min
8. Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)
9. Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55
10. tahun atau perempuan < 65 tahun)
 Kerusakan organ target
1. Jantung : Left ventricular hypertrophy
2. Angina atau sudah pernah infark miokard
3. Sudah pernah revaskularisasi koroner
4. Gagal jantung
5. Otak : Stroke atau TIA
6. Penyakit ginjal kronis
7. Penyakit arteri perifer
8. Retinopathy
Tabel 1. Faktor-faktor resiko kardiovaskular 2

G. Diagnosis
Evaluasi hipertensi
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi:
1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskularatau
penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosissehingga
dapat memberi petunjuk dalam pengobatan (Tabel 1)
2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi
Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakitkardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, danprosedur
diagnostik lainnya.
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar,
pemeriksaanfunduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg)
dibagidengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal,
danbruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap
jantungdan paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal,
massaintra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah
untukmelihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:
1. Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegahtekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penangananhipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi
harus melakukanperubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat
menurunkan tekanan darahdapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan
rekomendasi dari JNC VII. Disampingmenurunkan tekanan darah pada
pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gayahidup juga dapat
mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi padapasien-pasien
dengan tekanan darah prehipertensi.Modifikasi gaya hidup yang penting
yang terlihat menurunkan tekanan darahadalah mengurangi berat badan
untuk individu yang obes atau gemuk;mengadopsi pola makan DASH
(Dietary Approach to Stop Hypertension) yangkaya akan kalium dan
kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; danmengkonsumsi alkohol
sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolantekanan darah cukup
baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangigaram dan berat
badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.Program diet
yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan beratbadan
secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertaipembatasan
pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan kepasien,
dan dorongan moril.Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien
supaya pasien mengertirasionalitas intervensi diet .
a. Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding
orangdengan berat badan ideal. Lebih dari 60 % pasien dengan
hipertensi adalah gemuk (overweight)
b. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg)
dapatmenurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk
c. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang
jugaprekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang
dapatberlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke
penyakitkardiovaskular.
d. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh
dapatmenurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.
e. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap
garam,kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah
sistolik denganpembatasan natrium.

2. Terapi farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat
enzimkonversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin
(ARB), danantagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama
(tabel 5). Obat-obatini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk
mengobati mayoritaspasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan
keuntungan dengan kelas obatini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya
diuretik dan antagonis kalsium)mempunyai subkelas dimana perbedaan yang
bermakna dari studi terlihat dalammekanisme kerja, penggunaan klinis atau
efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa2 sentral, penghambat adrenergik,
dan vasodilator digunakan sebagai obatalternatif pada pasien-pasien tertentu
disamping obat utama.Evidence-based medicine adalah pengobatan yang
didasarkan atas bukti terbaikyang ada dalam mengambil keputusan saat
memilih obat secara sadar, jelas, danbijak terhadap masing-masing pasien
dan/atau penyakit. Praktek evidence-baseduntuk hipertensi termasuk
memilih obat tertentu berdasarkan data yangmenunjukkan penurunan
mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakantarget organ akibat
hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadarmenurunkan tekanan
darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalamseleksi obat
hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obatyang
paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi
angiotensin(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta,
dan antagoniskalsium (CCB).
Terapi Kombinasi
Rasional kombinasi obat antihipertensi:
Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan:
1. Mempunyai efek aditif
2. Mempunyai efek sinergisme
3. Mempunyai sifat saling mengisi
4. Penurunan efek samping masing-masing obat
5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu
6. Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan
pasien(adherence)

Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:


1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3. Penyekat beta dengan diuretik
4. Diuretik dengan agen penahan kalium
5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis
kalsium
6. Agonis α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretic
DAFTAR PUSTAKA

1. Ngoerah I. G. N. Dalam : Dasar-dasar Ilmu Penyakit Syaraf. Penerbit


dan Percetakan Universitas Airlangga.Denpasar, 1990.
2. PERDOSSI. Panduan Praktik Klinis Neurologi. 2016. Jakarta
3. Debroot J. Dalam : Neuroanatomi Korelatif. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta, 1997.
4. Marjono M, Sdharta P. Dalam : Neurologi Klinik Dasar. Dian
Rakyat.Jakarta, 1997.
8. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada Press.Yogyakarta,
2000.
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani W.I, Setiowulan W. Dalam :
Kapita Selekta Kedokteran, edisi tiga, jilid kedua. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta, 2000.
10. Lumbantobing S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta, 2003.
11. Sidharta P. Dalam : Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian
Rakyat. Jakarta, 1999.
12. Johnson RJ, Feehally J, Floege J. 2015. Comprehensive Clinical
Nephrology. 5th edition. Elseiver Saunders; Philadelpia
13. Huan Y and Townsend RR. Evaluation and Management of
Hypertension. In: Gilbert SJ, Weiner DE, Gipson DS, Perazella MA
and Tonelli M. National Kidney Foundation’s Primer on Kidney
Disease. 6th ed. China. Elzeiver Sanduers.2014. pp;590-600.
14. InaSH, 2014. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2014.
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Jakarta.
15. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. Eventh report of the
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. Hypertension 2008 2003; 42
(6):1206-52
16. Adler, dkk. 2008; PNF in Practice; Third edition; Springer Medizen
VerlagHeidelberg, Germany. Hal 33-35, 155-165

56
17. Cailliet, R, 1991; Neck and Arm Pain; Third edition, F.Philadelphia.
Hal 45-47, 75-76

57

Anda mungkin juga menyukai