Anda di halaman 1dari 23

BAB I

TINJAUAN UMUM KASUS


1.1 KASUS
Seorang anak laki-laki, berusia 1,8 tahun, datang ke IGD dengan keluhan
buang air besar (BAB) cair , sejak ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
juga mengalami demam naik turun sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah
sakit,terutama saat malam hari, batuk, pilek sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah
sakitdan muntah. Pasien juga memiliki riwayat kejang demam saat umur 11
bulan.Obat yang pernah dikonsumsi pasien adalah paracetamol dan diazepam.
Pasien telah menjalani imunisasi lengkap sesuai usia.
Riwayat penyakit :
 demam naik turun sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit, terutama saat
malam hari,
 batuk, pilek sejak ± 4 hari sebelum masuk rumah sakit dan
 muntah (+).

1.2 TINJAUAN PUSTAKA


A. Diare Dehidrasi Sedang
Diare merupakan salah satu penyebab angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi pada anak di bawah umur lima tahun di seluruh dunia, yaitu mencapai
1 milyar kesakitan dan 3 juta kematian per tahun. Definisi diare adalah buang air
besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi lembek atau cair.
WHO/UNICEF (1987) mendefinisikan diare akut sebagai kejadian akut dari diare
yang biasanya berlangsung selama 3 – 7 hari tetapi dapat pula berlangsung sampai
14 hari. Diare persisten adalah episode diare yang diperkirakan penyebabnya
adalah infeksi dan mulainya sebagai diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari,
serta kondisi ini menyebabkan malnutrisi dan berisiko tinggi menyebabkan
kematian.
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih
sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari. Secara klinis penyebab diare
dapat dikelompokkan dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan oleh
bakteri, virus atau infestasi parasit), malabsorpsi, alergi, keracunan,

1
imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang sering ditemukan di
lapangan ataupun secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan
keracunan.
Jenis diare ada dua, yaitu Diare akut, Diare persisten atau Diare kronik.
Diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, sementara Diare
persisten atau diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
Ada tiga derajat dehidrasi, yaitu:
a) Diare tanpa dehidrasi
b) Diare dengan dehidrasi ringan/ sedang
c) Diare dengan Dehidrasi berat.

Etiologi
Peradangan usus oleh agen penyebab:
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral yaitu : infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab
utama diare pada anak, meliputi:
 Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Champylobacter,
Yersinia, Aeromonas dan sebagainya.
 Infeksi virus : Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan
sebagainya
 Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides),
Protozoa (E.histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur
(C.albicans).
b. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan
seperti OMA, tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya,
terutama terdapat pada bayi dan anak di bawah umur 2 tahun.
2. Faktor Malabsorbsi
a. Malabsorbsi KH : disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa),
monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa).
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan : makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.

2
4. Faktor psikologis : rasa takut, cemas.

Patofisiologi diare
Fungsi utama dari saluran cerna adalah menyiapkan makanan untuk
keperluan hidup sel, pembatasan sekresi empedu dari hepar dan pengeluaran
sisa-sisa makanan yang tidak dicerna. Fungsi tadi memerlukan berbagai proses
fisiologi pencernaan yang majemuk, aktivitas pencernaan itu dapat berupa
1. Proses masuknya makanan dari mulut kedalam usus.
2. Proses pengunyahan (mastication) : menghaluskan makanan secara
mengunyah dan mencampur dengan enzim-enzim di rongga mulut.
3. Proses penelanan makanan (diglution) : gerakan makanan dari mulut ke
gaster.
4. Pencernaan (digestion) : penghancuran makanan secara mekanik,
percampuran dan hidrolisa bahan makanan dengan enzim-enzim.
5. Penyerapan makanan (absorption): perjalanan molekul makanan melalui
selaput lendir usus ke dalam. sirkulasi darah dan limfe.
6. Peristaltik: gerakan dinding usus secara ritmik berupa gelombang
kontraksi sehingga makanan bergerak dari lambung ke distal.
7. Berak (defecation) : pembuangan sisa makanan yang berupa tinja.

Dalam keadaan normal dimana saluran pencernaan berfungsi efektif akan


menghasilkan ampas tinja sebanyak 50-100 gr sehari dan mengandung air
sebanyak 60-80%. Dalam saluran gastrointestinal cairan mengikuti secara pasif
gerakan bidireksional transmukosal atau longitudinal intraluminal bersama
elektrolit dan zat zat padat lainnya yang memiliki sifat aktif osmotik.
Cairan yang berada dalam saluran gastrointestinal terdiri dari cairan yang
masuk secara per oral, saliva, sekresi lambung, empedu, sekresi pankreas
serta sekresi usus halus. Cairan tersebut diserap usus halus, dan selanjutnya usus
besar menyerap kembali cairan intestinal, sehingga tersisa kurang lebih 50-100 gr
sebagai tinja.
Motilitas usus halus mempunyai fungsi untuk:
1) Menggerakan secara teratur bolus makanan dari lambung ke sekum

3
2) Mencampur khim dengan enzim pankreas dan empedu
3) Mencegah bakteri untuk berkembang biak.
Faktor – faktor fisiologi yang menyebabkan diare sangat erat
hubungannya satu dengan lainnya. Misalnya bertambahnya cairan pada
intraluminal akan menyebabkan terangsangnya usus secara mekanis, sehingga
meningkatkan gerakan peristaltik usus dan akan mempercepat waktu lintas khim
dalam usus.
Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam
penyebab dari diare, maka patofisiologi diare dapat dibagi dalam 3 macam
kelainan pokok yang berupa:
1. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin) Gangguan
reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat menyebabkan
diare, misalnya pada kejadian infeksi.
2. Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus (invasive
diarrhea) Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan
normal bila bolus makanan tercampur baik dengan enzim-enzim saluran
cerna dan. berada dalam keadaan yang cukup tercerna. Juga. waktu
sentuhan yang adekuat antara khim dan permukaan mukosa usus halus
diperlukan untuk absorpsi yang normal. Permukaan mukosa usus halus
kemampuannya berfungsi sangat kompensatif, ini terbukti pada penderita
yang masih dapat hidup setelah reseksi usus, walaupun waktu lintas
menjadi sangat singkat.
Motilitas usus merupakan faktor yang berperanan penting dalam
ketahanan lokal mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan
mikro organisme berkembang biak secara berlebihan (tumbuh lampau atau
overgrowth) yang kemudian dapat merusak mukosa usus, menimbulkan
gangguan digesti dan absorpsi, yang kemudian menimbulkan diare.
Hipermotilitas dapat terjadi karena rangsangan hormon prostaglandin,
gastrin, pankreosimin; dalam hal ini dapat memberikan efek langsung
sebagai diare. Selain itu hipermotilitas juga dapat terjadi karena pengaruh
enterotoksin staphilococcus maupun kholera atau karena ulkus mikro
yang invasif o1eh Shigella atau Salmonella.Selain uraian di atas haruslah

4
diingat bahwa hubungan antara aktivitas otot polos usus,gerakan isi lumen
usus dan absorpsi mukosa usus merupakan suatu mekanisme yang sangat
kompleks.
3. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus).
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang
melebihi kapasitas dari pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare.
Adanya malabsorpsi dari hidrat arang, lemak dan zat putih telur akan
menimbulkan kenaikan daya tekanan osmotik intra luminal, sehingga akan
dapat menimbulkan gangguan absorpsi air.
Malabsorpsi hidrat arang pada umumnya sebagai malabsorpsi
laktosa yang terjadi karena defesiensi enzim laktase. Dalam hal ini laktosa
yang terdapat dalam susu tidak sempurna mengalami hidrolisis dan kurang
di absorpsi oleh usus halus. Kemudian bakteri-bakteri dalam usus besar
memecah laktosa menjadi monosakharida dan fermentasi seterusnya
menjadi gugusan asam organik dengan rantai atom karbon yang lebih
pendek yang terdiri atas 2-4 atom karbon. Molekul-molekul inilah yang
secara aktif dapat menahan air dalam lumen kolon hingga terjadi diare.
Defisiensi laktase sekunder atau dalam pengertian yang lebih luas
sebagai defisiensi disakharidase (meliputi sukrase, maltase, isomaltase dan
trehalase) dapat terjadi pada setiap kelainan pada mukosa usus halus.
Hal tersebut dapat terjadi karena enzim-enzim tadi terdapat pada
brush border epitel mukosa usus. Asam-asam lemak berantai panjang tidak
dapat menyebabkan tingginya tekanan osmotik dalam lumen usus karena
asam ini tidak larut dalam air.
Sebagai akibat diare baik yang akut maupun khronis, maka akan terjadi:
1. Kehilangan air dan elektrolit sehingga timbul dehidrasi dan
keseimbangan asam basa disebabkan oleh:
a. Previous Water Losses : kehilangan cairan sebelum pengelolaan,
sebagai defisiensi cairan.
b. Normal Water Losses : kehilangan cairan karena fungsi fisiologik.
c.Concomittant Water Losses : kehilangan cairan pada waktu
pengelolaan.

5
d. Intake yang kurang selama sakit : kekurangan masukan cairan karena
anoreksia atau muntah.
Kekurangan cairan pada diare terjadi karena:
a. Pengeluaran usus yang berlebihan
 Sekresi yang berlebihan dari selaput lendir usus (Secretoric
diarrhea) karena, gangguan fungsi selaput lendir usus, (Cholera E.
coli).
 Berkurangnya penyerapan selaput lendir usus, yang disebabkan oleh
berkurangnya kontak makanan dengan dinding usus, karena adanya
hipermotilitas dinding usus maupun kerusakan mukosa usus.
 Difusi cairan tubuh kedalam lumen usus karena penyerapan
oleh tekanan cairan dalam lumen usus yang hiperosmotik; keadaan
ini disebabkan karena adanya substansi reduksi dari fermentasi laktosa
yang tidak tercerna enzim laktase (diare karena virus Rota)
b. Masukan cairan yang kurang karena :
 Anoreksia
 Muntah
 Pembatasan makanan (minuman)
 Keluaran yang berlebihan (panas tinggi, sesak nafas)
2. Gangguan gizi sebagai “kelaparan” (masukan kurang dan keluaran
berlebihan) disebabkan karena;
 Masukan makanan berkurang karena adanya anoreksia (sebagai
gejala penyakit) atau dihentikannya beberapa macam makanan o1eh
orang tua, karena ketidaktahuan. Muntah juga merupakan salah satu
penyebab dari berkurangnya masukan makanan.
 Gangguan absorpsi. Pada diare akut sering terjadi malabsorpsi dari
nutrien mikro maupun makro. Malabsorpsi karbohidrat (laktosa,
glukosa dan fruktosa) dan lemak yang kemudian dapat berkembang
menjadi malabsorpsi asarn amino dan protein. Juga kadang akan
terjadi malabsorpsi vitamin baik yang larut dalam air maupun yang
larut dalam lemak (vitamin B12, asam folat dan vitamin A) dan mineral
trace (Mg dan Zn).

6
Gangguan absorpsi ini terjadi karena:
o Kerusakan permukaan epitel (brush border) sehingga timbul
deplisit enzim laktase.
o Bakteri tumbuh lampau, menimbulkan:
1. Fermentasi karbohidrat
2. Dekonjugasi empedu.
3. Kerusakan mukosa usus, dimana akan terjadi perubahan
struktur mukosa usus dan kemudian terjadi pemendekan villi dan
pendangkalan kripta yang menyebabkan berkurangnya permukaan
mukosa usus.
Selama diare akut karena kolera dan E. coli terjadi penurunan absorpsi
karbohidrat, lemak dan nitrogen. Pemberian masukan makan makanan
diperbanyak akan dapat memperbaiki aborpsi absolut sampai meningkat dalam
batas kecukupan walaupun diarenya sendiri bertambah banyak. Metabolisme dan
absorpsi nitrogen hanya akan mencapai 76% dan absorpsi lemak hanya
50%.

C. Katabolisme
Pada umumnya infeksi sistemik akan mempengaruhi metabolisme dan
fungsi endokrin, pada penderita infeksi sistemik terjadi kenaikan panas badan.
Akan memberikan dampak peningkatan glikogenesis, glikolisis, peningkatan
sekresi glukagon, serta aldosteron, hormon anti diuretik (ADH) dan hormon
tiroid. Dalam darah akan terjadi peningkatan jumlah kholesterol, trigliserida dan
lipoprotein. Proses tersebut dapat memberi peningkatan kebutuhan energi dari
penderita dan akan selalu disertai kehilangan nitrogen dan elektrolit intrasel
melalui ekskresi urine, peluh dan tinja.

D. Kehilangan langsung
Kehilangan protein selama diare melalui saluran cerna sebagai
Protein loosing enteropathy dapat terjadi pada penderita campak dengan diare,
penderita kolera dan diare karena E. coli. Melihat berbagai argumentasi di atas
dapat disimpulkan bahwa diare mempunyai dampak negatif terhadap status gizi

7
penderita.
3) Perubahan ekologik dalam lumen usus dan mekanisme ketahanan isi usus.
Kejadian diare akut pada umumnya disertai dengan kerusakan mukosa
usus keadaan ini dapat diikuti dengan gangguan pencernaan karena deplesi
enzim. Akibat lebih lanjut adalah timbulnya hidrolisis nutrien yang kurang
tercerna sehingga dapat menimbulkan peningkatan hasil metabolit yang berupa
substansi karbohidrat dan asam hidrolisatnya. Keadaan ini akan merubah ekologi
kimiawi isi lumen usus, yang dapat menimbulkan keadaan bakteri tumbuh
lampau, yang berarti merubah ekologi mikroba isi usus.
Bakteri tumbuh lampau akan memberi kemungkinan terjadinya
dekonjugasi garam empedu sehingga terjadi peningkatan asam empedu yang
dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus lebih lanjut. Keadaan tersebut dapat
pula disertai dengan gangguan mekanisme ketahanan lokal pada usus, baik yang
disebabkan oleh kerusakan mukosa usus maupun perubaban ekologi isi usus.

Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:
1. Gangguan osmotik, yaitu terdapat makanan dan zat yang tidak dapat
diserap sehingga meningkatkan tekanan osmotik di dalam rongga usus.
Kemudian air dan elektrolit masuk ke dalam rongga usus dan merangsang
usus untuk mengeluarkannya.
2. Gangguan sekresi, yaitu akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada
dinding usus sehingga terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke
dalam rongga usus.
3. Gangguan motilitas usus, yaitu pada keadaan peristaltik usus menurun
mengakibatkan bakteri timbul berlebihan di dalam rongga usus.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Anamnesis
 Sudah berapa lama diare berlangsung, berapa kali sehari, warna dan
konsistensi tinja, lender dan /darah dalam tinja, adanya muntah, anak

8
lemah, kesadaran menurun, rasa haus, rewel, kapan kencing terakhir, suhu
badan.
 Jumlah cairan yang masuk selama diare.
 Anak minum ASI atau susu formula, apakah anak makan-makanan yang
tidak biasa.
 Apakah ada yang menderita diare di sekitarnya. Dari mana sumber air
minum.

Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaaan fisis harus diperhatikan tanda utama, yaitu kesadaran,
rasa haus, dan turgor kulit abdomen. Tanda tambahan seperti ubun-ubun besar dan
mata cekung atau tidak, air mata ada/tidak, mukosa bibir, mulut dan lidah
kering/tidak.
Penilaian derajat dehidraasi dilakukan sesuai dengan criteria sebagai berikut:
Tanpa dehidrasi (Kehilangan cairan <5% berat badan)
 Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
 Keadaan umum baik dan sadar.
 Tanda vital dalam batas normal.
 Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mukosa
mulut dan bibir basah.
 Turgor abdomen baik, bising usus normal.
 Akral hangat.
 Pasien dapat dirawat di rumah .

Dehidrasi ringan-sedang (kehilangan cairan 5 – 10% berat badan)


 Apabila ditemukan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan.
 Keadaan umum gelisah atau cengeng.
 Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang,
mukosa mulut dan bibir sedikit kering.
 Turgor kurang.
 Akral hangat.

9
 Pasien harus rawat inap.

Dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% berat badan)


 Apabila ditemukan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan.
 Keadaan umum lemah, letargi atau koma
 Ubun-ubun besar sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada,
mukosa mulut dan bibir sangat kering.
 Turgor buruk.
 Akral dingin.
 Pasien harus rawat inap.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tinja antara lain:
a. Pemeriksaan penunjang tinja dilakukan pada diare akut, kecuali apabila
ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis
b. Hal – hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja ;
Makroskopis: bau, warna, lender, darah dan konsistensi
Mikroskopis: eritrosit, leukosit, parasit.
Kimia: pH dan elektrolit (Na,K, HCO3).
Bila perlu biakan dan uji resistensi.
c. Analisis gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

TERAPI
1. Cairan dan elektrolit
Adapun tujuan dari pada pemberian cairan adalah :
1. Memperbaiki dinamika sirkulasi ( bila ada syok ).
2. Mengganti defisit yang terjadi.
3. Rumatan ( maintenance ) untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit
yang sedang berlangsung ( on going losses ).
Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau
parenteral. Pemberian secara oral dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai

10
sedang dapat menggunakan pipa nasogastrik, walaupun pada dehidrasi ringan dan
sedang, bila diare profus dengan pengeluaran air tinja yang hebat ( > 100
ml/kg/hari ) atau mutah hebat ( severe vomiting ) dimana penderita tak dapat
minum sama sekali, atau kembung yang sangat hebat (violent meteorism)
sehingga rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit, maka dapat dilakukan rehidrasi
parenteral walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan hanya untuk
dehidrasi berat dengan gangguan sirkulasi.
Jenis cairan:
 Per oral : cairan rumah tangga, oralit
 Parenteral: ringer laktat, ringer asetat, normal salin
Volume cairan diberikan sesuai derajat dehidrasi, yaitu:
Tanpa dehidrasi: cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit
diberikan sesuai usia setiap kali BAB atau muntah, dengan dosis:
 <1 tahun : 50 – 100 cc
 1 – 5 tahun : 100 – 200 cc
 >5 tahun : semaunya
 Dehidrasi tidak berat (ringan- sedang). Rehidrasi dengan elektrolit 75
cc/kg BB dalam 3 jam pertama, dilanjutkan pemberian kehilangan cairan
yang sedang berlangsung seauai umur seperti di atas setiap kali BAB.
 Dehidrasi berat. Rehidrasi parenteral dengan cairan ringer laktat atau
ringer asetat 100 cc/kgBB.
Cara pemberian:
 Kurang dari 1 tahun: 30 cc/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 70
cc/kgBB dalam 5 jam berikutnya.
 Lebih dari 1 tahun : 30 cc/kgBB dalam ½ jam pertama, dilanjutkan 70
cc/kgBB dalam 2 ½ jam berikutnya.
 Minum diberikan jika pasien sudah mau minum, 5 cc/kgBB selama proses
rehidrasi.

11
Tabel 1. Perbedaan oralit Lama dan Baru[1]

Bedanya terdapat pada tingkat osmolaritas. Osmolaritas oralit baru lebih


rendah yaitu 245 mmol/l dibanding total osmolaritas oralit lama yaitu 331
mmol/l.
Penelitan menunjukkan bahwa oralit formula baru mampu:
a. Mengurangi volume tinja hingga 25%
b. Mengurangi mual-muntah hingga 30%
c. Mengurangi secara bermakna pemberian cairan melalui intravena

2. Medikamentosa
a. Tidak boleh diberikan obat anti diare
b. Pemberian antibiotik sesuai hasil pemeriksaan penunjang. Sebagai pilihan
adalah kotrimoksazol 8 –10 mg/kgBB/hari, amoksisilin 40 – 50 mg/kg bb,
di bagi dalam 3 dosis, atau sesuai hasil uji sensitivitas.
c. Antiparasit: metronidazol 30 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
d. Zinc
Beri Zinc 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat
diberikan dengan cara dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air
matang atau ASI.
- Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) per hari
- Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari.
e. Probiotik
Ketidak seimbangan mikroflora usus akibat diare dapat diatasi dengan
pemberian mikroorganisme hidup lactobacillus species, antara lain lactobacillus

12
acidopillus dan lactobacillus bulgaricus namun di indonesia yang beredar jenis
lactobacillus lainnya. Mikroflora dari GIT memegang peranan yang signifikan
dalam menjaga kerja usus. Probiotik ini dapat menurunkan kolonisasi bakteri
patogen seperti fibrio colcera dan E.Coli, minuman yougurt juga kaya dengan
probiotik, penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan
keseimbangan mikroflora usus berubah sehingga akan terjadi gangguan
pencernaan dan penggunaan probiotik masih kontrofersi di karnakan uji kliniknya
belum lengkap.

3. Nutrisi
Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi
sering (lebih kurang 6 x sehari), makan rendah serat.

4. Koreksi gangguan elektrolit


yaitu jika:
a) Hipernatremia (Na>155mEq/L). Koreksi dilakukan secara bertahap
dengan pemberian dekstrosa 5% + ½ salin. Penurunan tidak boleh
>10mEq/hari karena dapat menyebabkan udem otak.
b) Hiponatremi (Na <130mEq/L). koreksi dilakkan bersamaan dengan
koreksi cairan rehidrasi yaitu memakai ringer laktat atau normal salin, atau
dengan memakai rumus: Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na
serum x 0,6 x BB; diberikan dalam 24 jam.
c) Hiperkalemi (K>5mEq/L), koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium
glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB IV perlahan-lahan dalam 5 – 10 menit,
sambil memantau detak jantung.
d) Hipokalemi (K< 3,5mEq/L), koreksi dilakuakan menurut kadar K, yaitu:
Jika kadar K 2,5 – 3,5mEq/L, berikan 75 mEq/kgBB per oral/hari dibagi
dalam 3 dosis.

Jika kadar K<2,5mEq/L, berikan secara drip intra vena dengan dosis:
 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam dalam 4
jam pertama.

13
 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB dalam 20
jam berikutnya.

B. Kejang Demam Komplek

Pengertian

Kejang demam adalah kelainan neurologis yang sering terjadi pada bayi dan
anak-anak. Keadaan ini termasuk keadaan darurat. Dari penelitian yang pernah
dilakukan sekitar 2,5 – 5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum umur
5 tahun. Kejang demam banyak mengenai anak usia 14- 18 bulan. 2,3 Kejang
demam terjadi lebih dari 90% pada anak usia di bawah 5 tahun. 4 Hampir 5% anak
berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama
hidupnya.
Kejang demam terjadi karena suatu proses dari ekstrakranium. Kejang
terjadi akibat perubahan fungsi otak secara tiba-tiba dan sementara sebagai akibat
dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan sehingga menyebabkan renjatan berupa kejang.
Gejala klinis akan terjadi kenaikan suhu tubuh yang berpengaruh ke otak
akibat potensi listrik serebral yang berlebih sehingga terjadi kejang.

Etiologi

Faktor- faktor penyebab kejang demam yang sering muncul pada anak, antara
lain:
a. Efek produk toksik daripada mikroorganisme terhadap otak

b. Neoplasma toksin

c. Respon alergik yang abnormal oleh infeksi

d. Gangguan metabolik : hipoglikemi, gagal ginjal, hipoksia, hipokalsemia,


hiponatremia, hiperbilirubinemia, aminoasiduria, hipomagnesemia.

e. Infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis, tonsilitis,


bronkitis.

14
f. Keracunan alkohol dan teofilin

g. Gangguan vaskular : petekia akibat anoksia dan asfiksia terjadi di


intraserebral dan intraventrikuler, perdarahan akibat trauma langsung terjadi
di daerah subaraknoidal dan subdural, trombosis, defisiensi vitamin K,
sindrom hiperviskositas.
h. Idiopatik

Epidemiologi

Dari penelitian yang pernah dilakukan sekitar 2,5 – 5% anak pernah


mengalami kejang demam sebelum umur 5 tahun.1 Kejang demam banyak
mengenai anak usia 3 bulan – 5 tahun dan terbanyak umur 14- 18 bulan. 2,3
Kejang demam terjadi lebih dari 90% pada anak usia di bawah 5 tahun. 4 Hampir
5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang
selama hidupnya.
Insiden dan prevalensi kejadian kejang demam di setiap negara berbeda.
Prevalensi kejang demam di Eropa dan Amerika Serikat terjadi 2-5 %. 5,7 Kejang
demam di Asia nilainya cukup tinggi, sekitar 20% meningkat 2 kali lipat dari
Eropa dan Amerika Serikat.
Umumnya dari banyak kasus kejang demam dapat sembuh sempurna, sekitar
2-7% yang akan kambuh menjadi epilepsi. Sekitar 4% penderita kejang demam
mengalami penurunan intelegensi. Pada tahun 2009, di Indonesia khususnya kota
Tegal, Jawa Tengah tercatat 6 balita meninggal, dari jumlah pasien kejang
demam sebanyak 62 balita. Dimana presentasi kejadian kejang demam yang
dialami oleh laki-laki 52,8% dan perempuan 47,2%. Angka mortalitas akibat
kejang demam tergolong rendah. Angka kematian berkisar 0,64%-0,75%.

Patofisiologi

Patofisiologi kejang demam idiopatik. Penyebab terbanyak kejang demam


terjadi pada infeksi luar kranial dari bakteri, seperti tonsilitis, bronkitis dan otitis
media akut akibat bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan menyebar

15
ke seluruh tubuh secara hematogen ataupun limfogen.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit, dan jaringan tubuh yang lain akan
mengeluarkan mediator kimia berupa epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran
mediator kimia ini merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Pada
keadaan kejang demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh, sehingga reaksi-
reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan menyebabkan oksigen cepat habis sehingga
terjadi hipoksia. Pada kejadian ini transport ATP terganggu sehingga Na intrasel
dan K ekstrasel meningkat dan menyebabkan potensial membran cenderung
turun dan aktifitas sel saraf meningkat terjadi fase depolarisasi neuron dengan
cepat sehingga timbul kejang.

Manifestasi klinis dan Klasifikasi

Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006 membuat klasifikasi kejang demam
pada anak menjadi:

Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di antara


seluruh kejang demam
- Kejang demam berlangsung singkat.

- Durasi kurang dari 15 menit.

16
- Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik.

- Umumnya akan berhenti sendiri.

- Tanpa gerakan fokal.

- Tidak berulang dalam 24 jam

Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure).

- Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.

- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahuluikejang
parsial.
- Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam. 24,25

Penatalaksanaan pada Kejang Demam Kompleks

Edukasi pada Orang Tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis


baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus


diingat adanya efek samping obat.
Beberapa hal yang harus dikerjakan apabila terjadi kejang pada anak:

1. Tetap tenang dan tidak panik

2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.


Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang

17
5. Tetap bersama pasien selama kejang

6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.

7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih

Terapi Farmakologi

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang
kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling
cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20
mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal
adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam
rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg
untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah
2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis
awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai
12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka
pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian
obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
a. Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko

18
terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III,
rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/
kg/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan,
sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III,
rekomendasi E).
b. Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%60% kasus, begitu pula
dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 oC
(level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan
ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25- 39% kasus

Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna


untuk mencegah kejang demam (level II rekomendasi E)
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah
bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat
menyebabkan efek samping, maka pengobatan dengan obat ini hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku
dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per
hari dalam 1-2 dosis.

C. Bronkopneumonia

Definisi

19
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.
Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi jamur dan seperti bakteri, virus, dan benda asing.
Bronkopneumonia adalah bronkolius terminal yang tersumbat oleh eksudat,
kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi atau membentuk gabungan di dekat
lobules, disebut juga pneumonia lobaris. Bronkopneumonia berasal dari kata
bronchus dan pneumonia berarti peradangan pada jaringan paru-paru dan juga
cabang tenggorokan (broncus).

Etiologi
Secara umum individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh
adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme
pathogen. Orang yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glottis dan batuk, adanya
lapisan mucus, gerakan silia yang menggerakan kuman keluar dari organ, dan
sekresi humoral setempat. Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur, protozoa, mikrobakteri, mikoplasma, dan riketsia. antara lain:
1. Bakteri : Streptococcus, Staphylococus,H. Influenza, Klebsiella.
2. Virus : Legionella pneumonia
3. Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
4. Aspirasi makanan, sekresi orofariengal atau isi lambung kedalam paru
5. Terjadi karena kongesti paru yang lama.
Sebab lain dari pneumonia adalah akibat flora normal yang terjadi pada pasien
yang daya tahannya terganggu, atau terjadi aspirasi flora normal yang terdapat
dalam mulut dank arena adanya pneumocystis crania, Mycoplasma.

Patofisiologi
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophilus influenza atau karena
aspirasi makanan dan minuman. Dari saluran pernafasan dengan gambaran
sebagai berikut:

20
1. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi
pembuluh darah alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan
alveoli 20
2. Ekspansi kuman melaui pembuluh darah kemudian masuk kedalam saluran
pencernaan dam menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan
flora normal dalam usus, peristaltic meningkat akibat usus mengalami
malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang beresiko terhadap
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Manifestasi Klinik
Manifestasi Klinik Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
traktusrespiratoris bagian atas selama beberapa hari suhu tubuh naik sangat
mendadak sampai 39-40 derajat celcius dan kadang disertai kejang karena demam
yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispenia pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung dan mulut, kadang juga
disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan
penyakit tapi setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi
produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan
fisik tetapi dengan adanya nafs dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung dan
sianosis sekitar hidung dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil
pemeriksaan fisik tergantung luas daerah auskultasi yang terkena, pada perkusi
sering tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar
ronchi basah nyaring halus dan sedang.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang Untuk dapat menegakkan diagnose keperawatan dapat
digunakan cara:
1. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah Pada kasus bronkopneumonia oleh bakteri akan terjadi
leukositosis ( meningkatnya jumlah neutrofil) ( Sandra M,Nettina 2001:
684).
 Pemeriksaan sputum Bahan pemeriksaan diperoleh dari batuk yang
spontan dan dalam. Digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis dan untuk

21
kultur serta tes sensifitas untuk mendeteksi agen infeksius (Barbara C,
Long, 1996 : 435)
 Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam
basa (Sandra M, Nettina, 2001 : 684)
 Kultur darah untuk mendeteksi bakterimia
 Sampel darah, sputum, dan urin untuk tes imunologi untuk mendeteksi
antigen mikroba (Sandra M, Nettina 2001 : 684)

2. Pemeriksaan radiologi
a) Rontgenogram thoraks Menunujukan konsolidasi lobar yang seringkali
dijumpai pada infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infilrate multiple
seringkali dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus (Barbara C,
Long, 1996 : 435). Laringoskopi / bronkoskopi untuk menentukan apkah
jalan nafas tersumbat oleh benda padat (Sandra M, Nettina, 2001).

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri dari 2
macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012; Bradley et.al.,
2011) : 10
 Penatalaksaan Umum sampai sesak nafas
 Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit hilang atau PaO2 pada analisis
gas darah ≥ 60 torr.
 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
 Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
 Penatalaksanaan Khusus
 Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti
awal.
 Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
 Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
amoksisilin 10-25 manifestasi klinis. Pneumonia ringan mg/kgBB/dosis

22
(di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan
menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

23

Anda mungkin juga menyukai