Anda di halaman 1dari 79

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA URIP MAKASSAR
GELOMBANG I
PERIODE 03 – 29 OKTOBER 2022

ISWANTO
N014221073

SEMESTER AWAL 2022-2023


PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
2

PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)


FARMASI PERAPOTEKAN

PELAYANAN RESEP
DI APOTEK KIMIA FARMA URIP MAKASSAR
GELOMBANG I
PERIODE 03 – 29 OKTOBER 2022

ISWANTO
N014221073

Mengetahui, Menyetujui,
Koordinator PKPA Farmasi Perapotekan Pembimbing PKPA Farmasi Perapotekan
Program Studi Profesi Apoteker Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Latifah Rahman, DESS., Apt. Muhammad Nur Amir, S.Si., M.Si., Apt.
NIP. 19570615 198403 2 002 NIP. 19861111 201504 1 001

Makassar, 2022

2
KATA PENGANTAR

Bismillaahirahmaanirraahiim, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan kegiatan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Kimia
Farma Urip dan menyelesaikan laporan ini untuk memenuhi persyaratan dalam
menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar apoteker (apt.) pada Program Studi
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-
sahabatnya dan kepada seluruh umatnya.
Perjuangan yang panjang untuk menyelesaikan laporan ini tidak lepas dari
bantuan banyak pihak, terkhusus orang-orang terdekat penulis. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua tercinta, Bapak Ismail dan Ibu Saiba yang telah memberikan
banyak kasih sayang, doa, motivasi, dan dukungannya baik dalam bentuk materi
maupun non materi kepada penulis. Penulis juga ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada adik tercinta Randy Maulana dan nenek Cinang yang juga
selalu memberikan doa dan motivasi kepada penulis.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih dengan
hormat dan tulus kepada berbagai pihak, terutama kepada:
1. Bapak Muhammad Nur Amir, S.Si., M.Si., Apt. selaku pembimbing PKPA
Perapotekan Program Studi Profesi Apoteker yang telah membimbing penulis
dalam proses penyusunan laporan akhir PKPA Perapotekan,
2. Ibu A. Dhiza Tenripadang, S.Farm., Apt. selaku Pharmacy manager, Ibu
Almaidah Engelen S.Si., Apt. selaku Apoteker Pendamping serta seluruh staf
Apotek Kimia Farma Urip Makassar yang telah memberikan bimbingan teknis
dan manajerial Apotek kepada penulis selama menjalankan PKPA Farmasi
Perapotekan.
3. Ibu Prof. Dr. Latifah Rahman, DESS., Apt. selaku koordinator PKPA Farmasi
Perapotekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.

iii
4. Bapak Abdul Rahim, S.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
5. Dekan dan Wakil Dekan beserta jajarannya yang selalu memberikan kontribusi
dalam hal peningkatan mutu dan kualitas Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin sehingga kami dapat menikmati hasil terbaik dari kerja keras
mereka.
6. Bapak dan Ibu dosen, serta seluruh sivitas akademika Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin yang telah memberikan dan mengajarkan banyak ilmu,
serta memberikan banyak bantuan dari awal penulis menyandang status
mahasiswa Farmasi Unhas hingga saat ini.
7. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin angkatan 2022/2023.

Penulis tidak akan pernah bisa membalas segala dukungan dan doa yang
mereka berikan. Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan hal-hal
yang jauh lebih baik, Aamiin. Akhir kata, semoga karya ini dapat memberikan
manfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan Ilmu pengetahuan dalam bidang
kefarmasian.

Makassar, Oktober 2022

Iswanto

iv
DAFTAR ISI

halaman
KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB I PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang 1

I.2 Tujuan Pelayanan Resep 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

II.1 Apotek 3

II.1.1 Perizinan dan Persyaratan Pendirian Apotek 3

II.1.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek 6

II.2 Apoteker 14

II.3 Resep 14

II.4 Penggolongan Obat 16

II.4.1 Obat Bebas 16

II.4.2 Obat Bebas Terbatas 16

II.4.3 Obat Keras 18

II.4.4 Obat Wajib Apotek 18

II.4.5 Psikotropika 19

II.4.6 Narkotika 22

II.4.7 Prekursor Farmasi 26

v
II.4.8 Obat Tradisional 28

BAB III PELAYANAN RESEP DI APOTEK 32

III.1 Resep Asli 32

III.2 Skrining Resep 32

III.2.1 Skrining Administratif 32

III.2.2 Skrining Farmasetik 34

III.2.3 Skrining Klinis 34

III.3 Uraian Obat 44

III.3.1 Erysanbe® Tablet Kunyah 44

III.3.2 Tremenza® 45

III.3.3 Ambroxol 46

III.3.4 Salbutamol 47

III.3.5 Sinocort® 48

III.3.6 Longatin® 49

III.3.7 Sanprima® 50

III.3.8 Sanmol® Drops 51

III.4 Penyiapan Obat 52

III.4.1 Resep Racikaan 52

III.4.2 Resep Non-racikan 53

III.5 Etiket dan Salinan Resep 53

III.5.1 Etiket 53

III.5.2 Salinan resep 54

III.6 Penyerahan Obat 55

BAB IV PENUTUP 57

IV.1 Kesimpulan 57

vi
IV.2 Saran 57

DAFTAR PUSTAKA 58

LAMPIRAN 60

vii
DAFTAR TABEL

Tabel halaman

1. Skrining administratif resep 32

2. Perhitungan bahan resep racikan 52

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Penandaan obat bebas 16

2. Penandaan obat bebas terbatas 16

3. Penandaan P. No. 1 17

4. Penandaan P. No. 2 17

5. Penandaan P. No. 3 17

6. Penandaan P. No. 4 17

7. Penandaan P. No. 5 18

8. Penandaan P. No. 6 18

9. Penandaan obat keras 18

10. Penandaan obat narkotika 22

11. Penandaan jamu 29

12. Penandaan obat herbal terstandar 30

13. Penandaan fitofarmaka 31

14. Contoh resep 32

15. Etiket resep racikan 53

16. Etiket Sanmol® Drops 53

17. Salinan resep 45

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Form surat pesanan narkotika 60

2. Form surat pesanan narkotika 61

3. Form surat pesanan prekursor 62

4. Contoh laporan penggunaan sediaan jadi narkotika 63

5. Contoh laporan penggunaan Morphin, Pethidin, dan


derivatnya 64

6. Contoh laporan penggunaan sediaan jadi psikotropika 65

7. Contoh laporan penggunaan sediaan mengandung prekursor 66

x
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien
(PerMenKes RI No. 34, 2021). Saat ini, telah terjadi perkembangan kegiatan
pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat
(drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif (pharmaceutical
care) meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Perkembangan yang terjadi pada pelayanan kefarmasian tentu akan
berjalan dengan baik jika didukung oleh tenaga kefarmasian khususnya apoteker
yang berkompeten. Untuk itu, apoteker harus meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan perilaku agar dapat menjalankan profesi secara profesional dan
berinteraksi langsung dengan pasien, termasuk untuk pemberian informasi obat
dan konseling kepada pasien yang membutuhkan (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan kefarmasian
guna menghindari terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam
proses pelayanan. Apoteker juga harus memiliki kemampuan komunikasi yang
baik kepada pasien ataupun tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi
untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Dalam melakukan praktik
kefarmasian, apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan
obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya
(PerMenKes RI No. 73, 2016). Apoteker melakukan praktik kefarmasian di sarana
pelayanan kefarmasian yaitu di apotek (PerMenKes No. 9, 2017).
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek harus menjamin ketersediaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu,
bermanfaat, dan terjangkau (PerMenKes RI No. 73, 2016).

1
2

Berdasarkan uraian di atas, tentunya kita sadar bahwa peran dan tanggung
jawab seorang apoteker sangat besar khususnya pada pelayanan kefarmasian di
apotek. Seorang apoteker harus memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan
komunikasi dan keterampilan yang baik agar dapat menjalankan pekerjaan
kefarmasian sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Oleh karena
itu, Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
bekerja sama dengan apotek Kimia Farma menyelenggarakan Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) untuk memberikan pengalaman secara langsung kepada
mahasiswa calon apoteker dalam melakukan dan menerapkan standar pelayanan
kefarmasian di apotek.
I.2 Tujuan Pelayanan Resep
Pelayanan resep pada Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang
dilaksanakan di apotek bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan memahami alur pelayanan resep yang benar dan
meningkatkan keterampilan dalam memberikan pelayanan resep mulai dari
penerimaan resep hingga penyerahan obat kepada pasien.
2. Memastikan kesesuaian komponen-komponen resep yang meliputi
kelengkapan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis.
3. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi adanya kesalahan dalam resep agar
meminimalisir terjadinya kesalahan dalam pengobatan.
4. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif serta dengan
mengedepankan sopan santun dalam memberikan informasi terkait obat yang
diberikan kepada pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh apoteker. Apotek menyelenggarakan fungsi: (a) pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan (b) pelayanan
farmasi klinik, termasuk di komunitas (PerMenKes RI No. 9, 2017). Pelayanan
kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian di apotek harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan
terjangkau (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Pengaturan apotek bertujuan untuk (PerMenKes RI No. 9, 2017):
a. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek;
b. Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kefarmasian di apotek; dan
c. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan
pelayanan kefarmasian di apotek.
II.1.1 Perizinan dan Persyaratan Pendirian Apotek
Setiap pendirian apotek wajib memiliki izin dari menteri. Menteri
melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana kepada pemerintah daerah
kabupaten/ kota. Izin yang dimaksud berupa SIA (Surat Izin Apotek) yang berlaku
5 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Apoteker dalam
memperoleh SIA, harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota, yang ditandatangani oleh apoteker disertai dengan
kelengkapan dokumen administratif meliputi (PerMenKes RI No. 9, 2017):
1. Fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dengan menunjukkan
STRA asli

3
4

2. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)


3. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Apoteker
4. Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan
5. Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan
dan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan
pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek. Tim pemeriksa yang dimaksud
harus melibatkan unsur Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang terdiri atas tenaga
kefarmasian dan tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.
Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim
pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Paling
lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menerima laporan dan dinyatakan memenuhi persyaratan,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan organisasi profesi. Apabila dinyatakan
masih belum memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus
mengeluarkan surat penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja.
Jika permohonan dinyatakan belum memenuhi persyaratan, maka pemohon dapat
melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat
penundaan diterima. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan
persyaratan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan surat
penolakan. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA
melebihi jangka waktu yang ditetapkan, Apoteker pemohon dapat
menyelenggarakan apotek dengan menggunakan BAP sebagai pengganti SIA.
Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA, maka penerbitannya bersama
dengan penerbitan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) untuk Apoteker pemegang
SIA. Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA (PerMenKes RI No. 9,
2017).
5

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun


2017 tentang Apotek, Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan, meliputi:
a. Lokasi
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di
wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan
pelayanan kefarmasian.
b. Bangunan
Bangunan apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan
keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan
orang lanjut usia. Bangunan apotek harus bersifat permanen, dapat merupakan
bagian dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko,
rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.
c. Sarana, Prasarana, dan Peralatan
Bangunan apotek paling sedikit memiliki sarana ruang yang berfungsi
sebagai penerimaan resep; pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan
secara terbatas); penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan; konseling;
penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan tempat arsip.
Prasarana apotek paling sedikit terdiri atas instalasi air bersih, instalasi
listrik, sistem tata udara, dan sistem proteksi kebakaran.
Peralatan apotek meliputi semua peralatan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian. Peralatan yang dimaksud antara lain
meliputi rak obat, alat peracikan, bahan pengemas obat, lemari pendingin,
meja, kursi, komputer, sistem pencatatan mutasi obat, formulir catatan
pengobatan pasien dan peralatan lain sesuai dengan kebutuhan. Sarana,
prasarana, dan peralatan apotek harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi
dengan baik (PerMenKes RI No. 9, 2017).
d. Ketenagaan
Apoteker pemegang SIA (Surat Izin Apotek) dalam menyelenggarakan
Apotek dapat dibantu oleh Apoteker lain, tenaga teknis kefarmasian dan/atau
tenaga administrasi. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana
6

yang dimaksud wajib memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Surat izin praktik yang dimaksud yaitu SIPA
(Surat Izin Praktik Apoteker) untuk Apoteker, dan SIPTTK (Surat Izin Praktik
Tenaga Teknis Kefarmasian) untuk Tenaga Teknis Kefarmasian yang diberikan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai pemberian kewenangan
untuk menjalankan praktik kefarmasian (PerMenKes RI No. 9, 2017).
II.1.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek bertujuan untuk
meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian; menjamin kepastian hukum bagi
tenaga kefarmasian; dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Standar
pelayanan kefarmasian di apotek terbagi menjadi 2 standar yakni pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, danbahan medis habis; dan pelayanan farmasi
(PerMenKes RI No. 73, 2016).
II.1.2.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Apotek sesuai dengan ketentuan
yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat dan keamanannya. Pengelolaan
sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan bahan medis habis pakai harus dilaksanakan
secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk
menjamin kendali mutu dan kendali biaya (KeMenKes RI, 2019). Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan
dan pelaporan (PerMenKes RI No. 73, 2016).
7

1. Perencanaan
Perencanaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
merupakan tahap awal untuk menetapkan jenis serta jumlah sediaan farmasi,
alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang sesuai dengan kebutuhan
(KeMenKes RI, 2019). Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan
pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat
(PerMenKes RI No. 73, 2016).
2. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang
telah direncanakan dan disetujui, melalui pembelian (KeMenKes RI, 2019).
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan
Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Dalam proses Pengadaan harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut
(KeMenKes RI, 2019):
a. Sediaan farmasi diperoleh dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang
memiliki izin.
b. Alat Kesehatan dan bahan medis habis pakai diperoleh dari Penyalur Alat
Kesehatan (PAK) yang memiliki izin.
c. Terjaminnya keaslian, legalitas dan kualitas setiap sediaan farmasi, alat
kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dibeli.
d. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dipesan
datang tepat waktu.
e. Dokumen terkait sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai mudah ditelusuri
f. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai lengkap
sesuai dengan perencanaan
3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
8

surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima (PerMenKes RI No. 73,
2016). Penerimaan sediaan farmasi di Apotek harus dilakukan oleh Apoteker.
Bila Apoteker berhalangan hadir, penerimaan sediaan farmasi dapat
didelegasikan kepada Tenaga Kefarmasian yang ditunjuk oleh Apoteker
Pemegang SIA (KeMenKes RI, 2019).
Pemeriksaan sediaan farmasi yang dilakukan meliputi (KeMenKes RI,
2019):
a. Kondisi kemasan termasuk segel, label/penandaan dalam keadaan baik.
b. Kesesuaian nama, bentuk, kekuatan sediaan obat, isi kemasan antara arsip
surat pesanan dengan obat yang diterima.
c. Kesesuaian antara fisik obat dengan Faktur pembelian dan/atau Surat
Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi kebenaran nama produsen, nama
pemasok, nama obat, jumlah, bentuk, kekuatan sediaan obat dan isi
kemasan; dan nomor bets dan tanggal kedaluwarsa.
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai
aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu sediaan
farmasi. Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara mutu sediaan farmasi,
menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menjaga ketersediaan,
serta memudahkan pencarian dan pengawasan (KeMenKes RI, 2019).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan meliputi
(PerMenKes RI No. 73, 2016):
a. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Pengecualian untuk keadaan darurat obat dipindahkan pada wadah lain,
dengan tetap mencegah terjadinya kontaminasi dan tetap memperhatikan
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya
memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
b. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
9

c. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang


lainnya yang menyebabkan kontaminasi
d. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan
kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
e. Pengeluaran obat menggunakan sistem FEFO (First Expire First Out) dan
FIFO (First In First Out)
5. Pemusnahan dan Penarikan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemusnahan dan penarikan
meliputi (PerMenKes RI No. 73, 2016):
a. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat
selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan
oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat
izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
b. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan
oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau
cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan
Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
c. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
d. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall)
dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
e. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dilakukan terhadap
produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
10

6. Pengendalian
Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan
tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang
telah ditetapkan (KeMenKes RI, 2019). Pengendalian dilakukan untuk
mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan,
melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan
pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan,
kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya
memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah
pengeluaran dan sisa persediaan (PerMenKes RI No. 73, 2016). Pengendalian
persediaan obat terdiri atas pengendalian ketersediaan; pengendalian
penggunaan; dan penanganan ketika terjadi kerusakan, recall dan kedaluwarsa
(KeMenKes RI, 2019).
7. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor
transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di apotek. Adanya
pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila
terjadi adanya mutu sediaan farmasi yang sub standar dan harus ditarik dari
peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk digital
maupun manual (KeMenKes RI, 2019). Pencatatan dilakukan pada setiap
proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan
dengan kebutuhan (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi
sediaan farmasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada
pihak yang berkepentingan (KeMenKes RI, 2019). Pelaporan terdiri dari
pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan
11

laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk


memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya (PerMenKes
RI No. 73, 2016).
III.1.2.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan
Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan
dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
(PerMenKes RI No 73, 2016).
Pelayanan farmasi klinik meliputi (PerMenKes RI No 73, 2016):
1. Pengkajian Resep
Pengkajian suatu resep terdiri atas kegiatan administrasi, kajian
farmasetik, dan pertimbangan klinis. Pengkajian administrasi meliputi nama
dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon serta paraf,
tanggal penulisan resep, nama pasien, umur, jenis kelamin, dan bobot badan
pasien. Kajian farmasetik meliputi bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas obat,
dan kompatibilitas (ketercampuran obat). Serta pertimbangan klinis meliputi
ketepatan indikasi dan dosis obat, aturan, cara, dan lama penggunaan obat,
duplikasi dan atau polifarmasi, reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek
samping obat, manifestasi klinis lain), kontraindikasi dan interaksi obat.
2. Dispensing
Dispensing adalah proses yang terdiri atas penyiapan, penyerahan dan
pemberian informasi obat kepada pasien. Kegiatan dispensing dilakukan
setelah kegiatan pengkajian resep telah selesai. Hal yang dilakukan saat proses
dispensing yaitu:
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep. Hal ini meliputi
melakukan perhitungan mengenai jumlah kebutuhan obat dalam resep dan
mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kedaluwarsa dan keadaan fisik obat.
b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.
12

c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi warna etiket putih untuk


obat yang melalui mulut atau penggunaan dalam (oral), warna etiket biru
untuk obat pemakaian luar dan obat suntik, dan menempelkan label
“kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan
yang salah.
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan informasi obat adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang
apoteker dalam memberikan informasi mengenai obat kepada profesi kesehatan
lain, pasien atau masyarakat. Pemberian informasi mengenai obat termasuk
obat resep, obat bebas dan herbal.
4. Konseling
Konseling adalah proses interaktif antara apoteker dengan pasien atau
keluarga pasien untuk membantu meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan dalam penggunaan obat sehingga terjadi perubahan
perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi
pasien. Tahap-tahap kegiatan konseling apoteker di apotek:
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three prime
questions.
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat.
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
13

5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)


Pelayanan kefarmasian di rumah adalah salah satu pelayanan apoteker
kepada pasien, khususnya pasien lansia atau yang telah memiliki riwayat
penyakit kronis. Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan
oleh apoteker, meliputi:
a. Melakukan penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan
dengan pengobatan.
b. Mengidentifikasi kepatuhan pasien.
c. Melakukan pendampingan pengelolaan obat atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.
d. Melakukan konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.
e. Melakukan monitoring pelaksanaan, efektivitas dan keamanan penggunaan
obat berdasarkan catatan pengobatan pasien.
f. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses untuk memastikan
bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau
dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Dalam
proses pemantauan terapi obat terdapat beberapa kriteria pasien di antaranya
meliputi anak-anak dan pasien lanjut usia, ibu hamil dan menyusui, pasien
yang menerima obat lebih dari lima jenis, pasien dengan multidiagnosis, pasien
dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, pasien yang menerima obat dengan
indeks terapi sempit dan obat yang diketahui sering menyebabkan reaksi obat
yang merugikan.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada
dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis
dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
14

II.2 Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker (PerMenKes RI No. 34, 2021). Apoteker
memiliki peranan yang besar dalam permasalahan obat. Selain itu, apoteker juga
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat
menjalankan profesi secara professional dan berinteraksi langsung dengan pasien,
termasuk untuk pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang
membutuhkan. Apoteker harus juga memahami dan menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error), mengidentifikasi, mencegah,
mengatasi masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial
(sociopharmacoeconomy). Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan
obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, Apoteker juga dituntut
untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta
mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Dalam menjalankan praktik kefarmasian, apoteker harus menerapkan
standar pelayanan kefarmasian sehingga pelayanan yang diberikan optimal dan
bermutu, mampu melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang
tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety), serta menjamin
kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian (PerMenKes RI No. 34, 2021).
II.3 Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter
hewan kepada Apoteker, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik untuk
menyediakan dan menyerahkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan bagi
pasien. Resep harus disimpan di Apotek dengan baik paling singkat 5 (lima) tahun
(PerMenKes RI No. 9, 2017). Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu
5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep
dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota (PerMenKes
RI No. 73, 2016).
15

Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,


penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk
peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada
setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya
kesalahan pemberian obat (medication error) (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Resep terdiri dari enam bagian, antara lain (Dina & Sukohar, 2014):
1. Inscriptio terdiri dari nama, alamat, dan nomor surat izin praktik (SIP) dokter,
tanggal penulisan resep.
2. Invocatio merupakan tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.
Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = recipe” artinya ambilah.
3. Prescriptio terdiri dari nama obat yang diinginkan, bentuk sediaan obat, dosis
obat, dan jumlah obat yang diminta.
4. Signatura merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri dari
aturan pakai, regimen dosis pemberian, interval waktu pemberian. Penulisan
signatura harus jelas untuk keamanan penggunaan obat dan keberhasilan terapi
5. Subscriptio merupakan tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang berperan
sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.
6. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien.
Jenis-jenis resep dibagi menjadi (Dina, T. A., & Sukohar, A. 2014):
1. Resep standar (Resep Officinalis/Pre Compounded)
Resep standar merupakan resep dengan komposisi yang telah dibakukan dan
dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya. Resep standar
menuliskan obat jadi (campuran dari zat aktif) yang dibuat oleh pabrik farmasi
dengan merk dagang dalam sediaan standar atau nama generik.
2. Resep polifarmasi (Resep magistrales/Compounded)
Resep polifarmasi merupakan resep yang telah dimodifikasi atau diformat oleh
dokter penulis resep. Resep ini dapat berupa campuran atau obat tunggal yang
diencerkan dan dalam pelayanannya perlu diracik terlebih dahulu.
16

II.4 Penggolongan Obat


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 tahun 2021 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Klinik, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk
produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
Berdasarkan peraturan yang ditetapkan pemerintah, obat-obat dapat dibagi
menjadi beberapa golongan. Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan
keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya (DepKes RI,
2007).
II.4.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa
resep dokter (DepKes RI, 2007). Sesuai dengan SK MenKes RI
No.2380/A/SK/VI/83, tanda khusus untuk obat bebas yaitu lingkaran berwarna
hijau dengan garis tepi berwana hitam. Contoh: Parasetamol

Gambar 1. Penandaan obat bebas


(DepKes RI, 2007)

II.4.2 Obat Bebas Terbatas


Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras
tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan
tanda peringatan (DepKes RI, 2007). Sesuai dengan SK MenKes RI
No.2380/A/SK/VI/83, tanda khusus umtuk obat bebas terbatas lingkaran berwarna
biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Gambar 2. Penandaan obat bebas terbatas


(DepKes RI, 2007)
17

Selain penandaan di atas, terdapat juga tanda peringatan yang tercantum


pada kemasan obat bebas terbatas. Peringatan yang dimaksud adalah tanda
peringatan P. No. 1, P. No. 2, P. No. 3, P. No. 4, P. No. 5, atau P. No. 6 sesuai
dengan golongan obat yang bersangkutan.
1. P. No. 1 Awas! Obat Keras. Bacalah aturan pemakaiannya. Misalnya, Mextril,
Biogesic, dan Procold Tablet.

Gambar 3. Penandaan P. No. 1


(DepKes RI, 2007)
2. P. No. 2 Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Misalnya
Listerin, Betadine obat kumur.

Gambar 4. Penandaan P. No. 2


(DepKes RI, 2007)

3. P. No. 3 Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan, misalnya,
Canesten, Kalpanax, Peditox, Insto.

Gambar 5. Penandaan P. No. 3


(DepKes RI, 2007)

4. P. No. 4 Awas! Obat Keras. hanya untuk dibakar, misalnya skapolamin (obat
asma).

Gambar 6. Penandaan P. No. 4


(DepKes RI, 2007)
18

5. P. No: 5 Awas! Obat Keras, tidak boleh ditelan, misalnya Dentasol.

Gambar 7. Penandaan P. No. 5


(DepKes RI, 2007)

6. P. No: 6 Awas! Obat Keras, obat wasir, jangan ditelan, misalnya Anusol dan
Superhoid.

Gambar 8. Penandaan P. No. 6


(DepKes RI, 2007)

II.4.3 Obat Keras


Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek melalui resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat keras berupa lingkaran
berwarna merah dengan garis tepi berwana hitam dan dengan huruf K yang
menyentuh garis tepi (DepKes RI, 2007). Contoh: Asam Mefenamat

Gambar 9. Penandaan obat keras


(DepKes RI, 2007)

II.4.4 Obat Wajib Apotek


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, Obat Wajib Apotek
(OWA) merupakan obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien
di apotek tanpa resep dokter. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang
memerlukan obat wajib apotek diwajibkan untuk (KepMenKes RI No. 347, 1990):
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam obat wajib apotek yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
19

3. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek


samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
II.4.5 Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis, bukan
narkotika, yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Berdasarkan sindroma ketergantungan, psikotropika digolongkan menjadi 4
golongan (UU No.5, 1997) dan daftarnya tercantum dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022 tentang penetapan dan
perubahan penggolongan psikotropika.
1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh dari psikotropika golongan I yaitu deskloroketamin, 2F-
deskloroketamin, flubromazolam, flualprazolam, dan klonazolam.
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh dari psikotropika golongan II yaitu amineptina,
metilfenidat, secobarbital, etilfenidat, etizolam, dan diclazepam.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh
dari psikotropika golongan III yaitu amobarbital, bultalbital, flunitrazepam,
glutetimida, katina, pentazosina, pentobarbital, dan siklobarbital.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh dari psikotropika golongan IV yaitu allobarbital, alprazolam,
amfepramone, aminoreks, barbital, benzfetamina, bromazepam, brotizolam,
butobarbital, dan delorazepam.
20

Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan


kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan I hanya dapat
digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan. Selain penggunaan tersebut,
psikotropika golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang (UU No.5, 1997).
Dalam pengelolaan obat Psikotropika terdapat perlakuan khusus mulai dari
pemesanan, penyimpanan, penyerahan, pelaporan dan cara pemusnahannya
(PerMenKes RI No. 3, 2015).
1. Cara pemesanan psikotropika
Pemesanan psikotropika menggunakan Surat Pesanan (SP) khusus
Psikotropika yang terdiri sekurang-kurangnya 3 rangkap yang ditanda tangani
oleh APA yang dikirim ke Pedagang Besar Farmasi (PBF) serta dilengkapi
dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA dan SIA, nama distributor
(alamat dan nomor telepon), nama psikotropika yang dipesan (nama obat,
bentuk sediaan, kekuatan sediaan, jumlah dalam bentuk angka dan huruf),
tujuan pemesanan psikotropika. Satu surat pesanan bisa digunakan untuk satu
atau beberapa jenis obat psikotropika dan harus terpisah dari pesanan barang
lain (PerMenKes RI No. 3, 2015).
2. Cara penyimpanan psikotropika
Tempat penyimpanan psikotropika harus mampu untuk menjaga
keamanan, khasiat, dan mutu dari psikotropika. Tempat penyimpanannya dapat
berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus. Lemari khusus yang dimaksud
harus terbuat dari bahan yang kuat, tidak mudah dipindahkan, dan mempunyai
2 buah kunci yang berbeda, serta diletakkan di tempat yang aman dan tidak
terlihat oleh orang umum di apotek, dan kunci lemari khusus dikuasai oleh
Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang
dikuasakan. Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain Psikotropika (PerMenKes RI No. 3, 2015).
3. Cara penyerahan psikotropika
Penyerahan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh apotek, puskesmas,
instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik dan dokter. Maksud dari
penyerahan oleh apotek adalah apotek hanya dapat menyerahkan psikotropika
21

kepada apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi


farmasi klinik, dokter dan pasien. Penyerahan kepada pasien hanya boleh
dilakukan berdasarkan resep dari dokter (PerMenKes RI No. 3, 2015).
4. Cara pemusnahan psikotropika
Pemusnahan psikotropika dilakukan apabila diproduksi tanpa memenuhi
standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali, telah
kedaluwarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dibatalkan izin
edarnya dan jika berhubungan dengan tindak pidana. Pemusnahan psikotropika
dilakukan tanpa mencemari lingkungan dan tidak membahayakan Kesehatan
masyarakat. Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara pemusnahan
yang memuat hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; tempat pemusnahan;
nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan; nama
petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut;
nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; dan tanda
tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
(PerMenKes RI No. 3, 2015).
5. Pencatatan dan pelaporan psikotropika
Apotek yang melakukan penyerahan psikotropika wajib membuat
pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran psikotropika.
Pencatatan terdiri atas (PerMenKes RI No. 3, 2015):
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika.
b. Jumlah persediaan.
c. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
d. Jumlah yang diterima.
e. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan.
f. Jumlah yang disalurkan.
22

g. Nomor batch dan tanggal kadaluwarsa setiap penerimaan atau


penyaluran/penyerahan.
h. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,


dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan psikotropika wajib
disimpan secara terpisah paling singkat 3 tahun (PerMenKes RI No. 3, 2015).
Apotek wajib membuat, meyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan psikotropika setiap bulan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai
setempat. Pelaporan psikotropika disampaikan paling lambat setiap tanggal 10
bulan berikutnya. Pelaporan terdiri atas (PerMenKes RI No. 3, 2015):
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika.
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c. Jumlah yang diterima.
d. Jumlah yang diserahkan.
II.4.6 Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU. No. 35, 2009)

Gambar 10. Penandaan obat narkotika


(DepKes RI, 2007)

Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika membedakan


Narkotika ke dalam tiga golongan dan daftarnya tercantum dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan
Narkotika:
23

1. Narkotika golongan I
Narkotika golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Hal ini
menyebabkna narkottika golongan I dilarang diproduksi dan atau digunakan
dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan
pengawasan secara ketat oleh Badan Pengawa Obat dan Makanan (BPOM).
Contoh dari narkotika golongan I yaitu heroin, asetorfina, kokain, tanaman
ganja, dan opium.
2. Narkotika golongan II
Narkotika golongan II adalah adalah Narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contoh dari narkotika golongan II yaitu
alfasetilmetadol, morfin, isometadona, petidin, dan fentanil.
3. Narkotika golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Contoh dari narkotika golongan III yaitu asetildihidrokodeina, kodein,
propiram, polkodina, dan norkodeina.

Terdapat perlakuan khusus pada pengelolaan obat narkotika mulai dari


pemesanan, penyimpanan, penyerahan, pelaporan dan cara pemusnahannya adalah
sebagai berikut (PerMenKes RI No. 3, 2015):
1. Cara pemesanan narkotika
Apotek memesan narkotika ke pedagang besar farmasi (PBF) dengan
menggunakan surat pesanan khusus narkotika yang ditandatangani oleh APA,
serta dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA dan SIA,
nama distributor (alamat dan nomor telepon), nama narkotika yang dipesan
(nama obat, bentuk sediaan, kekuatan sediaan, jumlah dalam bentuk angka dan
24

huruf), tujuan pemesanan narkotika. Satu surat pesanan terdiri dari sekurang-
kurangnya 3 rangkap dan tiap surat pesanan hanya untuk satu jenis obat
narkotika serta terpisah dari barang lain (PerMenKes RI No. 3, 2015).
2. Cara penyimpanan narkotika
Tempat penyimpanan narkotika harus mampu untuk menjaga keamanan,
khasiat, dan mutu dari narkotika. Tempat penyimpanannya dapat berupa
gudang, ruangan, atau lemari khusus. Lemari khusus yang dimaksud harus
terbuat dari bahan yang kuat, tidak mudah dipindahkan, dan mempunyai 2
buah kunci yang berbeda, serta diletakkan di tempat yang aman dan tidak
terlihat oleh orang umum di apotek, dan kunci lemari khusus dikuasai oleh
Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang
dikuasakan. Tempat penyimpanan narkotika dilarang digunakan untuk
menyimpan barang selain narkotika (PerMenKes RI No. 3, 2015).
3. Cara penyerahan narkotika
Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek, puskesmas,
instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik dan dokter. Maksud dari
penyerahan oleh apotek adalah apotek hanya dapat menyerahkan narkotikaa
kepada apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi
farmasi klinik, dokter dan pasien. Penyerahan kepada pasien hanya boleh
dilakukan berdasarkan resep dari dokter (PerMenKes RI No. 3, 2015).
4. Cara pemusnahan narkotika
Pemusnahan narkotika dilakukan apabila diproduksi tanpa memenuhi
standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali, telah
kedaluwarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dibatalkan izin
edarnya dan jika berhubungan dengan tindak pidana. Pemusnahan narkotika
dilakukan tanpa mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan
masyarakat. Pemusnahan narkotika wajib dibuat berita acara pemusnahan yang
memuat hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; tempat pemusnahan;
nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan; nama
25

petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut;
nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; dan tanda
tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
(PerMenKes RI No. 3, 2015).
5. Cara pencatatan dan pelaporan narkotika
Apotek yang melakukan penyerahan narkotika wajib membuat pencatatan
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika. Pencatatan terdiri atas
(PerMenKes RI No. 3, 2015):
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan narkotika.
b. Jumlah persediaan.
c. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan.
d. Jumlah yang diterima.
e. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan.
f. Jumlah yang disalurkan.
g. Nomor batch dan kadaluwarsa setiap penerimaan atau
penyaluran/penyerahan.
h. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran,


dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan narkotika wajib
disimpan secara terpisah paling singkat 3 tahun (PerMenKes RI No. 3, 2015).
Apotek wajib membuat, meyimpan, dan menyampaikan laporan
pemasukan dan penyerahan/penggunaan narkotika setiap bulan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.
Pelaporan narkotika disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan
berikutnya. Pelaporan terdiri atas (PerMenKes RI No. 3, 2015):
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan psikotropika.
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan.
c. Jumlah yang diterima.
d. Jumlah yang diserahkan.
26

II.4.7 Prekursor Farmasi


Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika. Prekursor Farmasi
adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai
bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau
produk antara, produk ruahan dan produk jadi (PerMenKes RI No. 26, 2014).
Prekursor digolongkan dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II.
Prekursor dalam penggolongan Tabel I merupakan bahan awal dan pelarut yang
sering digunakan dan diawasi lebih ketat dibandingkan Prekursor dalam
penggolongan pada Tabel II. Contoh Prekursor Tabel I dan II adalah sebagai
berikut (PP RI No. 44, 2010):
1. Tabel I yaitu Acetic Anhydride, N-Acetylanthranilic Acid, Ephedrine,
Ergometrine, Ergotamine, Isosafrole, Lysergic Acid, 3,4-
Methylenedioxyphenyl-2-propanone, Norephedrine, 1-Phenyl-2-Propanone,
Piperonal, Potassium Permanganat, Pseudoephedrine dan Safrole.
2. Tabel II yaitu Acetone, Anthranilic Acid, Ethyl Ether, Hydrochloric Acid,
Methyl Ethyl Ketone, Phenylacetic Acid, Piperidine, Sulphuric Acid dan
Toluene.
Dalam pengelolaan prekursor farmasi terdapat perlakuan khusus mulai
dari pemesanan, penyimpanan, penyerahan, dan cara pemusnahannya, menurut
PerMenKes RI nomor 3 tahun 2015 yaitu:
1. Pemesanan prekursor farmasi
Pemesanan prekursor farmasi dalam bentuk bahan baku/obat jadi
menggunakan Surat Pesanan (SP) khusus bahan baku prekursor farmasi dalam
bentuk bahan baku/obat jadi yang terdiri sekurang-kurangnya 3 rangkap yang
ditanda tangani oleh APA yang dikirim ke Pedagang Besar Farmasi (PBF)
serta dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA dan SIA,
nama distributor (alamat dan nomor telepon), nama bahan baku prekursor
farmasi yang dipesan (nama bahan baku dan jumlah dalam bentuk angka dan
huruf) atau nama obat jadi prekursor farmasi yang dipesan (nama obat, bentuk
sediaan, kekuatan, jumlah dalam bentuk angka dan huruf), tujuan pemesanan
27

prekursor farmasi dalam bentuk bahan baku/obat jadi. Satu surat pesanan bisa
digunakan untuk satu atau beberapa jenis prekursor farmasi dalam bentuk
bahan baku/obat jadi dan harus terpisah dari pesanan barang lain (PerMenKes
RI No. 3, 2015).
2. Cara penyimpanan prekursor farmasi
Tempat penyimpanan prekursor farmasi harus mampu untuk menjaga
keamanan, khasiat, dan mutu dari prekursor farmasi. Tempat penyimpanannya
dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus. Lemari khusus yang
dimaksud harus terbuat dari bahan yang kuat, tidak mudah dipindahkan, dan
mempunyai 2 buah kunci yang berbeda, serta diletakkan di tempat yang aman
dan tidak terlihat oleh orang umum di apotek, dan kunci lemari khusus dikuasai
oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain
yang dikuasakan. Tempat penyimpanan prekursor farmasi dalam bentuk bahan
baku dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain prekursor farmasi
dalam bentuk bahan baku. Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi disimpan
di tempat penyimpanan obat yang aman berdasarkan analisis risiko
(PerMenKes RI No. 3, 2015).
3. Cara penyerahan prekursor farmasi
Penyerahan prekursor farmasi hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat
jadi. Penyerahan prekursor farmasi hanya dapat dilakukan oleh apotek,
puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, dokter, dan
toko obat. Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat
keras kepada kepada apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit,
instalasi farmasi klinik, dokter dan pasien. Penyerahan kepada pasien hanya
boleh dilakukan berdasarkan resep dari dokter (PerMenKes RI No. 3, 2015).
Penyerahan Prekursor Farmasi golongan obat keras oleh apotek kepada
apotek lainnya, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi
klinik hanya dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Prekursor Farmasi
golongan obat keras berdasarkan resep yang telah diterima. Penyerahan
Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas oleh Apotek kepada Apotek
lainnya, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
28

dan Toko Obat hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan
harian Prekursor Farmasi golongan obat bebas terbatas yang diperlukan untuk
pengobatan. Penyerahan Prekursor Farmasi oleh Apotek kepada dokter hanya
dapat dilakukan apabila diperlukan untuk menjalankan tugas/praktik di daerah
terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (PerMenKes RI No. 3, 2015).
4. Cara pemusnahan prekursor farmasi
Pemusnahan prekursor farmasi dilakukan apabila diproduksi tanpa
memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah
kembali, telah kedaluwarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada
pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan,
dibatalkan izin edarnya dan jika berhubungan dengan tindak pidana.
Pemusnahan prekursor farmasi dilakukan tanpa mencemari lingkungan dan
tidak membahayakan kesehatan masyarakat. Pemusnahan prekursor farmasi
wajib dibuat berita acara pemusnahan yang memuat hari, tanggal, bulan, dan
tahun pemusnahan; tempat pemusnahan; nama penanggung jawab fasilitas
produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan
lembaga/dokter praktik perorangan; nama petugas kesehatan yang menjadi
saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut; nama dan jumlah prekursor farmasi
yang dimusnahkan; cara pemusnahan; dan tanda tangan penanggung jawab
fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan
lembaga/dokter praktik perorangan (PerMenKes RI No. 3, 2015).
II.4.8 Obat Tradisional
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan,
dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (PerBPOM
No. 32, 2019).
Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat
pembuktian khasiat, obat tradisional dikelompokkan menjad (Keputusan Kepala
BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004):
29

1. Jamu
Jamu adalah Obat Tradisional yang dibuat di Indonesia (PerBPOM No. 32,
2019). Jamu harus memenuhi beberapa kriteria yaitu aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data
empiris, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim
penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat
pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.
Penandaan obat golongan jamu berupa tulisan “JAMU” dan logo “Ranting
daun terletak dalam lingkaran” ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/ pembungkus/ brosur. Tulisan “JAMU” harus jelas dan mudah dibaca,
dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang
menyolok kontras dengan tulisan “JAMU”. Logo dicetak dengan warna hijau
di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna
logo (Keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004). Contoh obat
jamu adalah Antangin® Junior, Entrostop® anak, Tolak Angin® Anak, Woods’
Naturals, Nutrafor Wazzir, Curcuma Plus Fruit & Veggie.

Gambar 11. Penandaan jamu


(Keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004)

2. Obat Herbal Terstandar


Obat herbal terstandar adalah produk yang mengandung bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah
distandardisasi (PerBPOM No. 32, 2019). Obat herbal terstandar harus
memenuhi beberapa kriteria yaitu aman sesuai dengan persyaratan yang
30

ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik, telah dilakukan
standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi, dan
memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai
dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium
(Keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004).
Obat herbal terstandar harus mencantumkan logo dan tulisan “OBAT
HERBAL TERSTANDAR”. Logo yang dimaksud berupa” JARI-JARI DAUN
(3 PASANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, dan ditempatkan pada
bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur. Logo (jari-jari daun
dalam lingkaran) sebagaimana dicetak dengan warna hijau di atas warna putih
atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo. Tulisan “OBAT
HERBAL TERSTANDAR” yang harus jelas dan mudah dibaca, dicetak
dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang mencolok
kontras dengan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” (Keputusan
Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004). Contoh obat herbal terstandar
adalah Gastin Force, Tulak®, Lelap®, Tolak angin®, dan OB Herbal®.

Gambar 12. Penandaan obat herbal terstandar


(Keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004)

3. Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah produk yang mengandung bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan
baku dan produk jadinya telah distandardisasi (PerBPOM No. 32, 2019).
Fitofarmaka harus memenuhi beberapa kriteria yaitu, aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan, kaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik,
telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
31

produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim
penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi (Keputusan
Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004).
Obat golongan Fitofarmaka harus mencantumkan logo dan tulisan
“FITOFARMAKA”. Logo yang dimaksud berupa “JARI-JARI DAUN (YANG
KEMUDIAN MEMBENTUK BINTANG) TERLETAK DALAM
LINGKARAN”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/
pembungkus/ brosur. Logo (jari-jari daun dalam lingkaran) dicetak dengan
warna hijau di atas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan
warna logo. Tulisan “FITOFARMAKA” yang dimaksud harus jelas dan mudah
dibaca, dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain
yang menyolok kontras dengan tulisan “FITOFARMAKA” (Keputusan Kepala
BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004). Contoh fitofarmaka adalah
Diabetadex, X-gra®, Stimuno® Forte, VipAlbumin® Plus, dan Tensigard®.

Gambar 13. Penandaan fitofarmaka


(Keputusan Kepala BPOM RI No. HK. 00.05.4.2411, 2004)
BAB III
PELAYANAN RESEP DI APOTEK

III.1 Resep Asli


Berikut adalah resep yang akan dikaji oleh penulis.

Gambar 14. Contoh resep

III.2 Skrining Resep


III.2.1 Skrining Administratif
Skrining administratif resep dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Skrining administratif resep
Kelengkapan
No. Komponen Resep Keterangan
Ada Tidak ada
1 Nama dokter √ - dr. Iswanto, Sp.A.
2 Nomor SIP dokter √ - N014221073/SIP-KES/2019
3 Alamat praktik dokter √ - RSIA Paramount
4 Nomor telepon dokter - √ Tidak tercantum
Paraf atau tanda tangan
5 √ - Tercantum
doker
6 Tanggal penulisan resep √ - 01-10-2022

32
33

Kelengkapan
No. Komponen Resep Keterangan
Ada Tidak ada
7 Tanda R/ √ - Terdapat 2 tanda R/

1. R/ Erysanbe chew 100 mg


Tremenza 1/8 tablet
Ambroxol 5 mg
Nama obat, bentuk Salbutamol 1 mg
8 sediaan, dosis, jumlah √ - Sinocort 1 mg
yang diminta Longatin 5 mg
Sanprima 100 mg
m.f pulv dtd No. XV

2. R/ Sanmol Drops I
1. S. 3 d.d. I
9 Aturan pakai √ -
2. S. 3 d.d. I 1 ml
10 Nama pasien √ - BY. MHH
11 Umur pasien √ - 0 tahun 9 bulan 0 hari
12 Alamat Pasien - √ Tidak tercantum
13 Nomor telepon pasien - √ Tidak tercantum
14 Bobot badan pasien - √ Tidak tercantum
15 Jenis kelamin pasien - √ Tidak tercantum

Setelah dilakukan skrining administratif pada resep diperoleh beberapa


data yang tidak lengkap di antaranya:
1. Nomor telepon dokter
Nomor telepon dokter merupakan salah satu persyaratan administratif dari
resep (PerMenKes RI No. 73, 2016). Nomor telpon dokter diperlukan untuk
memudahkan dalam menghubungi dokter penulis resep jika terdapat
permasalahan pada resep dan jika perlu melakukan konfirmasi terkait resep
yang diberikan oleh dokter penulis resep. Pada resep di atas tidak tercantum
nomor telpon dokter penulis namun hal ini bisa diatasi dengan menghubungi
rumah sakit tempat praktik dari dokter penulis resep.
2. Alamat dan nomor telepon pasien
Alamat dan nomor telepon merupakan salah satu persyaratan administratif
dari resep. Nomor telepon dan alamat pasien sangat penting karena dapat
memudahkan apoteker untuk menghubungi/menelusuri keberadaan pasien jika
terjadi kesalahan dalam resep. Selain itu, alamat pasien juga dapat digunakan
34

untuk memudahkan berjalannya salah satu pelayanan farmasi klinik yakni


pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care).
3. Bobot badan dan jenis kelamin pasien
Bobot badan dan jenis kelamin pasien merupakan salah satu persyaratan
administratif dari resep (KepMenKes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004). Bobot
badan dapat digunakan untuk menghitung dosis obat yang diresepkan secara
tepat. Pada resep di atas tidak dicantumkan bobot badan dan jenis kelamin
pasien. Namun, pada reep dicantumkan usia pasien sehingga untuk menghitung
dosis obat yang diresepkan digunakan perhitungan berdasarkan usia pasien.
Bobot badan dan jenis kelamin dari pasien dapat ditanyakan langsung kepada
keluarga pasien saat pelayanan resep. Selain itu, jenis kelamin dari pasien juga
dapat diketahui dari nama pasien.
III.2.2 Skrining Farmasetik
1. Kesesuaian bentuk sediaan
Bentuk sediaan yang diberikan kepada pasien dalam bentuk puyer dan
sediaan drops. Pasien merupakan bayi dengan usia 9 bulan, sehingga bentuk
sediaan obat yang diberikan sudah tepat.
2. Stabilitas
Obat-obatan yang dituliskan dalam resep sebaiknya disimpan pada tempat
yang kering, suhu 15 - 30oC (suhu kamar), dan hindarkan dari cahaya matahari
langsung.
3. Inkompabilitas
Tidak terdapat inkompatibilitas secara farmasetika pada obat-obat yang
diresepkan dalam resep racikan.
III.2.3 Skrining Klinis
III.2.3.1 Kesesuaian Dosis
1. Resep racikan
a. Erysanbe® Tablet Kunyah
Tiap tablet Erysanbe® Tablet Kunyah mengandung eritromisin etilsuksinat
yang setara dengan 200 mg eritromisin
35

Dosis Lazim (DL) (Depkes RI, 1979):


sekali pakai = 250 – 500 mg
sehari pakai = 1 – 2 g

Dosis Maksimum (DM) (Depkes RI, 1979):


sekali pakai = 500 mg
sehari pakai = 4 g

DL untuk umur 9 bulan:


9
sekali pakai = × 250 - 500 mg = 15 - 30 mg
150
9
sehari pakai = × 1 - 2 g = 0,06 - 0,12 g = 60 - 120 mg
150

DM untuk umur 9 bulan:


9
sekali pakai = × 500 mg = 30 mg
150
9
sehari pakai = × 4 g = 0,24 g = 240 mg
150

Dosis berdasarkan resep = 100 mg, 3 kali sehari


sekali pakai = 100 mg (melampaui DL)
sehari pakai = 3 x 100 = 300 mg (melampaui DL)
100
% DM sekali pakai = × 100 % = 333,33 % (melampaui DM)
30
300
% DM sehari pakai = × 100 % = 125 % (melampaui DM)
240

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis Erysanbe® Tablet Kunyah


yang diberikan untuk pasien melampaui dosis lazim baik untuk sekali
pakai maupun sehari pakai dan juga melampaui dosis maksimum baik
untuk sekali pakai maupun sehari pakai. Untuk itu, perlu konfirmasi ke
dokter penulis resep untuk menurunkan dosis dari Erysanbe® Tablet
36

Kunyah.

b. Tremenza®
Tiap tablet mengandung 60 mg Pseuodoefedrin HCl dan 2,5
mg Triprolidine HCl
Pseuodoefedrin HCl (Brayfield, 2014)
Dosis lazim sekali pakai = 60 mg (setara dengan kandungan pseudoefedrin
pada 1 tablet tremenza)
Dosis maksimum sehari pakai = 240 mg (setara dengan kandungan
pseudoefedrin pada 4 tablet tremenza)

Triprolidine (Brayfield, 2014)


DL sekali pakai = 2,5 mg (setara dengan kandungan triprolidine pada 1
tablet tremenza)
DM Sehari pakai = 10 mg (setara dengan kandungan triprolidine pada 4
tablet tremenza)

Sehingga dosis untuk tremenza,


DL sekali pakai = 1 tablet
DM sehari pakai = 4 tablet

Dosis untuk umur 9 bulan;


9
DL sekali pakai = × 1 tablet = 0,06 tablet
150
9
DM sehari pakai = × 4 tablet = 0,24 tablet
150
Dosis berdasarkan resep = 1/8 tablet (0,125 tablet), 3 kali sehari
sekali pakai = 0,125 tablet (melampaui DL)
sehari pakai = 3 x 0,125 = 0,375 tablet
0,375
% DM sehari pakai = × 100 % = 156,25 % ( melampaui DM)
0,24
Berdasarkan perhitungan di atas, dosis Tremenza yang diberikan
37

melampaui dosiz lasim untuk sekali pakai dan melampaui dosis


maksimum untuk sehari pakai. Untuk itu sebaiknya dikonfirmasikan ke
dokter penulis resep untuk menurunkan dosisnya.
c. Ambroxol
Tiap tablet mengandung 30 mg Ambroxol
Dosis Lazim (DL) (Brayfield, 2014):
sekali pakai = 30 – 60 mg
sehari pakai = 60- 120 mg

DL untuk umur 9 bulan:


9
sekali pakai = × 30 - 60 mg = 1,8 - 3,6 mg
150
9
sehari pakai = × 60 - 120 mg = 3,6 - 7,2 mg
150

Dosis berdasarkan resep = 5 mg, 3 kali sehari


sekali pakai = 5 mg (melampaui DL)
sehari pakai = 3 x 5 = 15 mg (melampaui DL)

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis ambroxol yang diberikan untuk


pasien melampaui dosis lazim baik untuk sekali pakai maupun sehari
pakai.

d. Salbutamol
Dosis Maksimum (DM) (1–24 bulan) (Brayfield, 2014):
sekali pakai = 2 mg
sehari pakai = 8 mg

Dosis berdasarkan resep = 1 mg, 3 kali sehari


sekali pakai = 1 mg
sehari pakai = 3 x 1 = 3 mg
1
% DM sekali pakai = × 100 % = 50 % (tidak melampaui DM)
2
38

3
% DM sehari pakai = × 100 % = 37,5 % ( tidak melampaui DM)
8

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis salbbutamol yang diberikan


tidak melampaui dosis maksimum baik untuk sekali maupun sehari pakai.
e. Sinocort®
Tiap tablet mengandung 4 mg triamcinolone
Dosis Triamcinolon (Brayfield, 2014):
DL sekali pakai = 4 mg
DM sehari pakai = 48 mg

Dosis untuk umur 9 bulan:


9
DL sekali pakai = = × 4 mg = 0,24 mg
150
9
DM sehari pakai = × 48 mg = 2,88 mg
150

Dosis berdasarkan resep = 1 mg, 3 kali sehari


sekali pakai = 1 mg (melampaui DL)
sehari pakai = 3 x 1 = 3 mg
3
% DM sehari pakai = × 100 % = 104,1 % (melampaui DM)
2,88

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis Sinocort® yang diberikan untuk


sekali pakai melampaui DL dan dosis untuk sehari pakai melampaui DM.
Untuk itu sebaiknya dikonfirmasikan ke dokter penulis resep untuk
menurunkan dosisnya.

f. Longatin®
Kandungan dari longatin® adalah noscapine
Dosis Maksimum (DM) (Brayfield, 2014):
sekali pakai = 50 mg
sehari pakai = 150 mg
39

DM untuk umur 9 bulan:


9
sekali pakai = × 50 mg = 3 mg
150
9
sehari pakai = × 150 mg = 9 mg
150

Dosis berdasarkan resep = 5 mg, 3 kali sehari


sekali pakai = 5 mg
sehari pakai = 3 x 5 = 15 mg
5
% DM sekali pakai = × 100 % = 166,67 % ( melampaui DM)
3
15
% DM sehari pakai = × 100 % = 166,67 % ( melampaui DM)
9

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis Longatin® yang melampaui


DM baik untuk sekali pakai maupun sehari pakai. Untuk itu sebaiknya
dikonfirmasikan ke dokter penulis resep untuk menurunkan dosisnya.

g. Sanprima®
Tiap tablet sanprima® megandung 80 mg trimethoprim dan 400 mg
sulfametoksazol
Dosis Lazim (DL) 6 bulan – 6 tahun (Brayfield, 2014):
sekali pakai = 240 mg
sehari pakai = 480 mg

Dosis berdasarkan resep = 100 mg, 3 kali sehari


sekali pakai = 100 mg (tidak memenuhi DL)
sehari pakai = 3 x 100 = 300 mg (tidak memenuhi DL)

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis Sanprima® yang diberikan


tidak memenuhi DL baik untuk sekali pakai maupun sehari pakai.
2. Resep non-racikan
a. Sanmol® Drops
40

Tiap 0,6 mL Sanmol® Drops mengandung 60 mg paracetamol

Dosis Lazim (DepKes RI, 1979):


sekali pakai = 500 mg
sehari pakai = 500 mg – 2 g

Dosis Lazim untuk umur 9 bulan:


9
sekali pakai = × 50 0 mg = 30 mg
150
9
sehari pakai = × 50 0 mg - 2 g = 30 mg - 120 mg
150

Dosis maksimum (DM), 6 – 24 bulan (Brayfield, 2014):


sekali pakai = 120 mg
sehari pakai = 480 mg

Dosis berdasarkan resep = 1 ml (100 mg), 3 kali sehari


sekali pakai = 100 mg (melampaui DL)
sehari pakai = 3 x 100 = 300 mg (melampaui DL)
100
% DM sehari pakai = × 100 % = 83,33 % ( tidak melampaui DM)
120
300
% DM sehari pakai = × 100 % = 62,5 % (tidak melampaui DM)
480

Berdasarkan perhitungan di atas, dosis sanmol Drops yang diberikan


melampaui DL baik untuk sekalii pakai maupun sehari pakai dan tidak
melampaui DM untuk sehari pakai.

III.2.3.2 Pertimbangan Klinis


Resep yang dikaji oleh penulis merupakan resep yang diberikan kepada
pasien dengan inisial BY. MHH yang berusia 9 bulan. Berdasarkan penelurusan
rekam medik, pasien didiagnosis terkena infeksi saluran pernapasan akut bagian
41

atas (Acute Upper Respiratory Tract Infection). Infeksi saluran pernapasan atas
yang akut dapat mempengaruhi hidung, tenggorokan, saluran udara dan sinus.
Infeksi saluran pernapasan atas umumnya disebabkan oleh bermacam jenis virus
dan bakteri. Anak-anak sangat rentan terhadap penyakit ini khusunya mereka yang
berusia di bawah lima tahun. Gejala-gejala yang terjadi saat terkena infeksi saluran
pernapasan akut adalah hidung tersumbat atau berair, batuk, sakit tenggorokan
biasanya terjadi peradangan, demam, dan nafsu makan berkurang. Gejala-gejala
pada infeksi saluran pernapasan akut bagian atas biasanya bersifat ringan dan akan
mulai membaik selama beberapa hari. Infeksi saluran pernapasan atas akut
meliputi pilek, sinusitis akut, faringitis akut, laringotrakeobronkitis akut,
epiglotitis akut, rinosinusitis akut dan otitis media akut (OMA) (Hao, et al. 2015;
St George’s Hospital, 2022).
Pada resep yang diberikan kepada pasien terdapat 2 R/. R/ yang pertama
merupakan resep racikan yang mengandung eritromisin, triprolidine HCl,
pseudoefedrin HCl, ambroxol, salbutamol, triamcinolon, noscapine, trimetoprim,
dan sulfametoksasol. Resep racikan ini dibuat dalam bentuk puyer sebanyak 15
bungkus dengan aturan pakai 3 kali sehari sebanyak 1 bungkus. Resep racikan ini
diberikan untuk pengobatan batuk, flu, radang tenggorokan, gangguan pernapasan
dan infkesi bakteri. R/ yang kedua merupakan resep non racikan yaitu Sanmol®
drops yang mengandung paracetamol untuk pengobatan demam pada pasien.
Pasien diberi 2 jenis antibiotik yakni Erysanbe® tablet kunyah yang
mengandung eritromisin dan Sanprima® yakni kombinasi antara sulfametoksazol
dan trimetorpim. Eritromisin adalah antibiotik yang digunakan pada pengobatan
infeksi saluran pernapasan. Eritromisin merupakan golongan makrolida yang
bersifat bakteriosid dengan mekanisme kerja menghambat sintesis protein melalui
pengikatan pada subunit 50S ribosom di dekat peptidiltransferase. Eitromisin
merupakan pilihan pengobatan bagi pasien infkesi saluran pernapasan yang
memiliki riwayat alergi dengan antibiotik penisilin (Katzung, 2018). Antibiotik
kedua yakni kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim. Sulfametoksazol akan
mengganggu sintesis dari asam nukleat dalam mikroba dengan cara menghalangi
konversi asam p-aminobenzoat menjadi koenzim asam dihidrofolat. Trimethoprim
42

adalah inhibitor reduktase dihidrofolat yang akan menghambat konversi asam


dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat yang diperlukan untuk sintesis asam
amino tertentu, purin, timidin, dan akhirnya DNA (Brayfield, 2014). Penggunaan
trimetoprim-sulfametoksazol direkomendasikan untuk pasien yang memiliki
penyakit pada saluran pernapasan atas (Zeind & Carvalho, 2018). Pada resep
diberikan 2 jenis antibiotik yang berbeda. Pada pasien BY. MHH yang didiagnosis
infeksi saluran pernpasan bagian atas, sebaiknya diberikan pengobatan eritromisin
saja sebagai antibiotik. Lini pertama pengobatan utnuk infeksi saluran pernapasan
atas adalah antibiotik golongan penisilin (DiPiro, 2017). Namun jika pasien
memiliki riwayat terhadap antibiotik golongan penisilin maka dapat digantikan
menggunakan eritromisin (Katzung, 2018). Pada resep yang diberikan, dosis
eritromisin yang diresepkan melampaui dari dosis maksimum untuk pasien. Untuk
itu, dosis dari eritromisin perlu diturunkan agar tidak terjadi efek toksik.
Tremenza® yang mengandung triprolidine HCl dan pseudoefedrin HCl
merupakan obat yang digunakan untuk mengatasi flu dan alergi yang disebabkan
oleh infeksi saluran pernapasan atas pada pasien. Triprolidine hidroklorida
merupakan obat golongan antihistamin dengan efek sedasi ringan yang berguna
untuk pencegahan dan penekanan gejala rhinitis alergi serta alergi saluran
pernapasan lainnya. Triprolidine HCl bekerja sebagai antagonis kompetitif untuk
reseptor histamin H1. Triprolidine HCl akan memblokir aksi histamin endogen
dengan mengikat reseptor H1 sehingga menghambat kemampuan histamin untuk
berikatan dengan reseptornya. Pseudoefedrin HCl mempunyai aktivitas
simpatomimetik langsung maupun tidak langsung dan merupakan dekongestan
saluran nafas bagian atas. Pseudoefedrin HCl secara langsung akan merangsang
reseptor adrenergik α- dan β- sehingga menyebabkan vasokonstriksi mukosa
pernapasan, relaksasi otot bronkial dan kontraktilitas (Brayfield, 2014).
Berdasarkan perhitungan dosis di atas, dosis Tremenza® yang diberikan
melampaui dosis maksimum baik sehari pakai. Sebaiknya dosis dari Tremenza®
perlu diturunkan agar tidak menyebabkan efek toksik bagi pasien.
Ambroxol merupakan obat batuk golongan mukolitik. Golongan mukolitik
digunakan untuk mengatasi batuk produktif dengan dahak yang berlebih.
43

Ambroxol bekerja dengan cara mengurangi viskositas lendir dari sekresi saluran
napas sehingga memudahkan membuangnya dengan cara meludah (Brayfield,
2014). Pemberian ambroxol pada pasien akan mengatasi produksi dahak berlebih
yang dialami oleh pasien. Pemberian ambroxol untuk pasien sudah tepat indikasi
dan juga tepat dosis sesuai perhitungan dosis ambroxol untuk pasien.
Salbutamol merupakan obat golongan beta adrenergik agonis yang
digunakan sebagai agen bronkodilator. Salbutamol akan bekerja dengan cara
melemaskan otot-otot di bagian bronkus atau sekitar saluran pernapasan yang
menyempit. Hal ini akan menyebabkan udara dapat mengalir lancar ke dalam
paru-paru (Brayfield, 2014). Pemberian salbutamol pada pasien akan meringankan
gangguan pernapasan yang dialami oleh pasien akibat infeksi saluran pernapasan
atas. Pemberian salbutamol untuk pasien sudah tepat indikasi dan juga tepat dosis
sesuai perhitungan dosis salbutamol untuk pasien.
Sinocort® tablet mengandung triamcinolone yang digunakan untuk
meredakan peradangan tenggorokan pada pasien. Triamcinolone merupakan
golongan kortikosteroid dan bekerja dengan masuk ke dalam sel dan berikatan
dengan reseptor sitosol yang mengangkut steroid ke dalam nukleus. Kompleks
(ikatan) steroid-reseptor mengubah ekspresi gen dengan mengikat elemen respon
glukokortikoid atau elemen spesifik mineralokortikoid (Brayfield, 2014).
Berdasarkan perhitungan dosis, dosis Sinocort® yang berikan melampaui dosis
maksimum sehari pakai untuk pasien. Oleh karena itu, perlu dilakukan penurunan
dosis agar tidak menimbulkan efek toksik.
Longatin® mengandung noscapine yang merupakan obat untuk menekan
batuk. Obat ini bekerja pada refleks batuk di sistem saraf pusat atau perifer atau
kombinasi keduanya. Mekanisme kerja untuk sistem saraf pusat akan
meningkatkan ambang batas pusat batuk di otak terhadap rangsangan yang masuk
sedangkan yang bekerja di sistem saraf perifer akan mengurangi sensitivitas
reseptor di saluran pernapasan (Brayfield, 2014). Berdasarkan perhitungan, dosis
Longatin® yang diberikan untuk pasien melampaui dosis maksimum baik sekali
pakai maupun sehari pakai. Untuk itu, perlu dilakukan penurunan dosis agar tidak
terjadi efek toksik.
44

Permasalahan lain pada resep racikan adalah pencampuran obat golongan


antibiotik (eritromisin dan kombinasi sulfametoksazol-trimetoprim) dengan obat
yang bersifat simptomatik (tremenza®, ambroxol, salbutamol, sinocort®, dan
longatin®). Antibitik merupakan obat kausatif (obat yang harus diberikan dalam
jangka waktu tertentu meskipun gejala utama sudah berhenti), sedangkan obat
simptomatik dapat dihentikan bila gejala penyakitnya sudah hilang untuk
meminimalisir timbulnya efek samping. Oleh karena itu, obat yang bersifat
kausatif sebaiknya tidak dicampurkan dengan obat yang bersifat simptomatik
(Greenwood et al, 2007).
Untuk resep non racikan, diberikan obat sanmol® drops yang mengandung
paracetamol. Paracetamol bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin
di jaringan dan sistem saraf pusat (Brayfield, 2014). Pemberian paracetamol pada
pasien akan meringankan demam yang dialami oleh pasien akibat infeksi saluran
pernapasan atas. Pemberian paracetamol untuk pasien sudah tepat indikasi dan
juga tepat dosis sesuai perhitungan dosis paracetamol untuk pasien.
Pada resep yang diberikan terdapat interaksi antara eritromisin dan
ambroksol. Eritromisin merupakan penghambat enzim CYP3A4, sedangkan
ambroksol merupakan obat yang dimetabolisme oleh enzim CYP3A4. Pemberian
secara bersamaan akan menurunkan metabolism dari ambroksol, sehingga
konsentrasi dalam serum akan meningkat dan meningkatkan tingkat keparahan
efek samping.
III.3 Uraian Obat
III.3.1 Erysanbe® Tablet Kunyah (Katzung, 2018; Preston, 2015; Brayfield,
2014)
a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Tiap tablet Erysanbe® Tablet Kunyah mengandung 200 mg eritromisin
etilsuksinat.
a. Nama generik
Erythromycin
b. Farmakologi
45

Eritromisin merupakan obat antibiotik golongan makrolida yang bersifat


bateriosid yang bekerja dengan cara menghambat sintesis protein melalui
pengikatan pada subunit 50S ribosom di dekat peptidiltransferase. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya pencegahan pemanjangan rantai peptide
(penghambatan translokasi peptide).
c. Indikasi
Pengobatan pada infeksi difteri (hidung dan tenggorokan), eritrasma (kulit) dan
pada saluran pernapasan.
d. Kontra indikasi
Hipersensitivitas, pasien dengan riwayat gangguan hati.
e. Efek samping
Mual, muntah, diare dan reaksi alergi seperti ruam.
f. Peringatan dan perhatian
Eritromisin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat
aritmia atau kecenderungan perpanjangan interval QT.
g. Interaksi
Eritromisin memiliki potensi untuk berinteraksi dengan banyak obat melalui
penghambatan enzim CYP3A4. Hal ini akan menghambat metabolisme obat-
obat yang dimetabolisme oleh enzim tersebut. Jika digunakan bersamaan
dengan teofilin akan meningkatkan resiko toksisitas dari teofilin
h. Dosis dan aturan pakai
Untuk pemakaian oral, dapat diberi dosis lazim 1 – 2 g dan maksimal 4 g dosis
terbagi untuk sehari pemakaian.
III.3.2 Tremenza® (Brayfield, 2014)
a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Tiap tablet mengandung :
Triprolidine HCl 2,5 mg
Pseudoefedrin HCl 60 mg
b. Nama dagang
Trifed®, crofed®
c. Farmakologi
46

Triprolidine HCl membantu meringankan gejala alergi. Senyawa dari golongan


pyrolidine ini bekerja sebagai antagonis kompetitif untuk reseptor histamin H 1
dan mampu menekan sistem saraf pusat, sehingga menyebabkan kantuk.
Triprolidine HCl akan memblokir aksi histamin endogen dengan mengikat
reseptor H1 sehingga menghambat kemampuan histamin untuk berikatan
dengan reseptornya. Pseudoefedrin HCl mempunyai aktivitas simpatomimetik
langsung maupun tidak langsung dan merupakan dekongestan saluran nafas
bagian atas. Pseudoefedrin HCl secara langsung akan merangsang reseptor
adrenergik α- dan β- sehingga menyebabkan vasokonstriksi mukosa
pernapasan, relaksasi otot bronkial dan kontraktilitas.
d. Indikasi
Untuk meringankan gejala flu karena alergi pada saluran pernafasan bagian
atas.
e. Kontra indikasi
Tidak diberikan pada penderita yang peka terhadap obat simpatomimetik lain,
penderita tekanan darah tinggi berat, dan yang mendapat terapi obat anti
depresan tipe penghambat Monoamine Oksidase (MAO).
f. Efek samping
Mengantuk, gangguan pencernaan, sakit kepala, sulit berkemih.
g. Peringatan dan perhatian
Selama minum obat ini tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor atau
menjalankan mesin. Hati-hati penggunaan bersamaan dengan obat-obat lain
yang menekan susunan saraf pusat.
h. Interaksi
Penggunaan bersamaan dengan antidepresan trisiklik, penekan nafsu makan
dan psikostimulan sejenis amfetamin atau dengan penghambat monoamine
oksidase yang mengganggu katabolisme dari simpatomimetik amin, dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah.
i. Dosis dan aturan pakai
Dosis untuk pemakaian oral yaitu 1 – tablet untuk sehari pemakaian.
47

III.3.3 Ambroxol (Brayfield, 2014; Seifar C, et al, 2005)


a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Tiap tablet mengandung 30 mg ambroxol
b. Nama dagang
Epexol®, Mucera®
c. Farmakologi
Ambroxol merupakan obat golongan mukolitik yang bekerja dengan cara
mengurangi viskositas lendir dari sekresi saluran napas sehingga memudahkan
membuangnya dengan cara meludah.
d. Indikasi
Ambroxol merupakan  obat yang digunakan untuk memecah dahak, digunakan
pada terapi gangguan pernafasan terkait mukus yang kental atau berlebih.
e. Kontra indikasi
Penggunaan pada trisemester pertama kehamilan tidak dianjurkan.
f. Efek samping
Dermatitis kontak
g. Peringatan dan perhatian
Ambroxol tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang lama tanpa
konsultasi dokter; dalam beberapa kasus insufisiensi ginjal, akumulasi dari
metabolit ambroxol terbentuk di hati.
h. Dosis dan aturan pakai
Untuk pemakaian oral, dosis harian ambroxol yaitu 60 hingga 120 mg dalam 2
dosis terbagi. Ambroxol juga telah diberikan melalui inhalasi, injeksi, atau
rektal.
III.3.4 Salbutamol (Brayfield, 2014)
a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Terdapat 2 kekuatan sediaan untuk salbutamol tablet. Tiap tablet mengandung
salbutamol 2 mg dan 4 mg.
b. Nama dagang
Astharol®, Lasal®
c. Farmakologi
48

Salbutamol digunakan sebagai bronkodilator yaitu bekerja dengn cara


melemaskan otot-otot di bagian bronkus atau sekitar saluran pernapasan yang
menyempit. Hal ini akan menyebabkan udara dapat mengalir lancar ke dalam
paru-paru.
d. Indikasi
Salbutamol diindikasikan pada pasien asma dan pasien penyakit paru obstruktif
kronis (PPOK)
e. Kontra indikasi
Pasien wanitta yang dirawat karena melahirkan prematur, infeksi intrauterin,
kematian janin intrauterin, perdarahan antepartum (yang harus segera
melahirkan), pasien yang terancam keguguran.
f. Efek samping
Tremor, takikardia, ketegangan saraf, sakit kepala.
g. Peringatan dan penandaan
Salbutamol harus diberikan dengan hati-hati pada hipertiroidisme, infark
miokard, aritmia, kerentanan terhadap perpanjangan interval QT, hipertensi,
dan diabetes mellitus.
h. Interaksi
Penggunaan salbutamol dengan obat-obat golongan kortikosteroid, diuretik,
atau xantin dapat meningkatkan risiko hipokalemia, dan pemantauan
konsentrasi kalium direkomendasikan pada asma berat.
i. Dosis dan aturan pakai
Usia 1 bulan sampai 2 tahun, 2 mg tiga atau empat kali sehari untuk pemakaian
oral

III.3.5 Sinocort® (Katzung, 2018; Brayfield, 2014)


a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Tiap tablet Sinocort® mengandung 4 mg triamcinolon
b. Nama generik
Triamcinolone
c. Farmakologi
49

Triamcinolone merupakan golongan kortikosteroid terutama memiliki aktivitas


glukokortikoid. Kortikosteroid masuk ke dalam sel dan berikatan dengan
reseptor sitosol yang mengangkut steroid ke dalam nukleus. Kompleks (ikatan)
steroid-reseptor mengubah ekspresi gen dengan mengikat elemen respon
glukokortikoid atau elemen spesifik mineralokortikoid.
d. Indikasi
Diindikasikan untuk meredakan peradangan, rhinitis alergi, asma
e. Kontra indikasi
Pasien dengan tukak lambung, penyakit jantung atau hipertensi dengan gagal
jantung, penyakit menular tertentu seperti varicella dan tuberkulosis, psikosis,
diabetes, osteoporosis, atau glaukoma.
f. Efek samping
Hiperglikemia, pada penderita diabetes dapat meningkatlan kebutuhan insulin,
peningkatan nafsu makan sering dilaporkan.
g. Peringatan dan penandaan
Pasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid harus dipantau dengan hati-
hati untuk perkembangan hiperglikemia, glikosuria, retensi natrium
h. Interaksi
Penggunaan bersamaan dengan barbiturat, karbamazepin, fenitoin, primidon,
atau rifampisin dapat meningkatkan metabolisme sehingga mengurangi efek
dari golongan kortikosteroid.
i. Dosis dan aturan pakai
Untuk pemakaian oral triamcinolone digunakan dalam dosis mulai dari 4
hingga 48 mg setiap hari
III.3.6 Longatin® (Brayfield, 2014)
a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Terdapat 2 kekuatan sediaan untuk Longatin ® tablet. Tiap tablet mengandung
noscapine 25 mg dan 50 mg.
b. Nama generik
Terdapat beberapa obat yang mengandung noscapine dan dikombinasikan
dengan zat aktif lain. Contoh: Paratusin®, Flucodin®
50

c. Farmakologi
Noscapine merupakan obat untuk menekan batuk. Obat ini bekerja pada refleks
batuk di sistem saraf pusat atau perifer atau kombinasi keduanya. Mekanisme
kerja untuk sistem saraf pusat akan meningkatkan ambang batas pusat batuk di
otak terhadap rangsangan yang masuk sedangkan yang bekerja di sistem saraf
perifer akan mengurangi sensitivitas reseptor di saluran pernapasan.
d. Indikasi
Diindikasikan untuk meredakan batuk
e. Kontra indikasi
Hipersensitivitas tidak boleh diberikan kepada pasien yang berisiko terjadi
gagal napas
f. Efek samping
Pusing dan gangguan pencernaan
g. Peringatan dan penandaan
Jangan konsumsi bersamaan dengan alkohol atau obat antidepressan.
h. Interaksi
Jika digunakan bersamaan dengan warfarin maka akan meningkatkan aktivitas
antikoagulan dari warfarin
i. Dosis dan aturan pakai
Diberikan dalam dosis oral hingga 50 mg tiga kali kali sehari.
III.3.7 Sanprima® (Brayfield, 2014)
a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Tiap tablet Sanprima® mengandung
Trimetoprim 80 mg
Sulfametoksazol 400 mg
b. Nama generik dan nama dagang
Cotrimoxazole (generik), Bactrim®, Erphatrim®
c. Farmakologi
Sulfametoksazol akan mengganggu sintesis dari asam nukleat dalam mikroba
dengan cara menghalangi konversi asam p-aminobenzoat menjadi koenzim
asam dihidrofolat. Trimethoprim adalah inhibitor reduktase dihidrofolat yang
51

akan menghambat konversi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat


yang diperlukan untuk sintesis asam amino tertentu, purin, timidin, dan
akhirnya DNA.
d. Indikasi
Diindikasikan untuk mengobati infeksi pada saluran kemih, saluran
pernapasan, dan saluran pencernaan,
e. Kontra indikasi
Dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitivitas dengan
sulfametoksazol dan trimetoprim, jangan berikan pada pasien dengan gangguan
hati berat.

f. Efek samping
Gangguan pencernaan (terutama mual dan muntah) dan reaksi alergi pada kulit
seperi gatal
g. Peringatan dan penandaan
Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan gangguan hati ringan
h. Interaksi
Jika diberikan bersamaan dengan obat methotrexate akan mengakibatkan
terjadinya anemia megaloblastik. Jika diberikan bersamaan dengan warfarin
akan meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin. Dapat menghambat proses
metabolism dari fenitoin jika diberikan secara bersamaan.
i. Dosis dan aturan pakai
Untuk pemakaian secara oral diberikan dalam dosis 960 mg (trimetoprim 160
mg dan sulfametoksazol 800 mg) dua kali sehari
III.3.8 Sanmol® Drops (Brayfield, 2014)
a. Komposisi dan kekuatan sediaan
Tiap 0,6 ml Sanmol® Drops mengandung 60 mg paracetamol
b. Nama generik
Paracetamol
c. Farmakologi
52

Memiliki efek inhibisi sintesis prostaglandin di jaringan dan sistem saraf pusat.
Menghambat COX-1 dan COX-2, dengan mekanisme penghambatan yang
lemah. Paracetamol tidak memiliki efek antiinflamasi yang signifikan.
d. Indikasi
Parasetamol memiliki altivitas analgesic, antipiretik dan anti-inflamasi. Obat
ini berguna untuk mengatasi nyeri sedang seperti sakit kepala, mialgia, nyeri
postpartum.
e. Kontra indikasi
Dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat,
hipersensitivitas.

f. Efek samping
Hepatotoksisitas, Ruam dan reaksi hipersensitivitas lainnya kadang-kadang
terjadi.
g. Peringatan dan penandaan
Parasetamol harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal atau hati.
h. Interaksi
Risiko toksisitas parasetamol dapat meningkat pada pasien menerima obat lain
yang berpotensi mengakibatkan hepatotoksik Penyerapan parasetamol dapat
dipercepat oleh obat-obatan seperti metoklopramid. Ekskresi akan terpengaruh
dan konsentrasi dalam plasma akan berubah ketika diberikan dengan
probenesid. Colestyrantine mengurangi penyerapan parasetamol jika diberikan
dalam waktu 1 jam setelah pemberianparasetamol.
i. Dosis dan aturan pakai
Untuk pemakaian oral dapat diberikan Untuk pemakaian oral, dapat diberikan
dosis 0,5 hingga 1 g setiap 6 jam (maksimal 4 g) setiap hari.
III.4 Penyiapan Obat
III.4.1 Resep Racikaan
1. Perhitungan bahan
53

Pada resep pertama yaitu resep racikan puyer dibuat sebanyak 15 bungkus,
perhitungan bahannya sebagai berikut:
Tabel 2. Perhitungan bahan resep racikan
Dosis resep per Kekuatan
Nama Obat Jumlah tablet
puyer sediaan
Erysanbe® Tablet Kunyah 100 mg 200 mg (15 x 100) : 200 = 7,5
Tremenza® 1/8 tablet 62,5 mg 15 x 1/8 = 1,875 ≈ 1,5

Ambroxol 5 mg 30 mg (15 x 5) : 30 = 2,5


Salbutamol 1 mg 4 mg (15 x 1) : 4 = 3,75
Sinocort® 1 mg 4 mg (15 x 1) : 4 = 3,75
Longatin® 5 mg 50 mg (15 x 5) : 50 = 1,5
Sanprima® 100 mg 480 mg (15 x 100) : 480 = 3,125 ≈ 3

2. Peracikan obat
Setelah semua bahan telah dihitung, selanjutnya dilakukan peracikan obat
dengan langkah – langkah sebagai berikut:
a. Disiapkan semua alat dan bahan.
b. Disiapkan obat sesuai dengan perhitungan bahan.
c. Dimasukkan Erysanbe® Tablet Kunyah, Tremenza®, Ambroxol, Salbutamol,
Sinocort®, Longatin®, dan Sanprima® sesuai perhitungan ke dalam blender,
kemudian diblender hingga halus dan homogen.
d. Setetelah serbuk homogen, dituang campuran serbuk di atas kertas perkamen.
e. Serbuk kemudian dibagi rata ke dalam 15 bungkus.
f. Serbuk puyer dikemas, kemudian dimasukkan ke dalam sak obat dan diberi
etiket berwarna putih dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 bungkus sesudah
makan.
III.4.2 Resep Non-racikan
Obat non racikan dalam resep yaitu Sanmol® drops sebanyak 1 botol.
Diambil Sanmol® drops sebanyak 1 botol, kemudian dimasukkan ke dalam sak
obat dan diberi etiket berwarna putih dengan aturan pakai 3 kali sehari 1 ml
sesudah makan.
54

III.5 Etiket dan Salinan Resep


III.5.1 Etiket
55

Gambar 15. Etiket resep racikan Gambar 16. Etiket Sanmol® Drops

III.5.2 Salinan resep

Gambar 17. Salinan resep


56

III.6 Penyerahan Obat


Sebelum obat diserahkan kepada pasien, dilakukan kembali pengecekan
(double check) terhadap kesesuaian antara resep dan obat pasien. Selanjutnya,
dilakukan penyerahan obat kepada pasien disertai dengan Pelayanan Informasi
Obat (PIO). Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan
Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai
Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal (PerMenKes RI No. 73, 2016).
Pelayanan Informasi Obat (PIO) wajib dilakukan oleh apoteker dalam penyediaan
dan pemberian informasi mengenai obat. Adapun informasi yang harus
disampaikan kepada pasien terkait obat yang diberikan antara lain:
a. Memberikan penjelasan dan informasi kepada pasien bahwa obat racikan puyer
merupakan obat untuk mengobati penyakit batuk, flu, gangguan pernapasan
radang tenggorokan dan infeksi bakteri. Menjelaskan ke pasien agar meminum
obat 3 kali sehari 1 bungkus sesudah makan tiap 8 jam. Obat ini harus
dihabiskan walaupun gejala yang dialami sudah berhenti atau berkurang.
b. Memberi penjelasan kepada pasien mengenai obat sanmol® drops yang
merupakan obat untuk meredakan demam. Menjelaskan aturan minum kepada
pasien agar meminum sebanyak 1 ml, 3 kali sehari sesudah makan pagi, makan
siang dan makan malam. Jika gejala sudah hilang, maka penggunaan obat
dapat dihentikan.
c. Memberikan penjelasan dan pemahaman kepada pasien apabila pasien lupa
meminum obat dan waktu minum obat selanjutnya sudah dekat, maka
disarankan pasien tidak meminum obat untuk waktu yang telah berlalu namun
jika waktu minum obat selanjutnya masih jauh, maka pasien dapat meminum
obatnya saat itu juga.
57

d. Memberikan informasi mengenai penyimpanan obat kepada pasien, yaitu obat


harus disimpan di tempat yang kering dan sejuk serta menjaga kemasan
tertutup rapat dan jauh dari jangkauan anak-anak.
e. Apabila selama pemakaian obat, gejala yang dialami tidak berkurang maka
dapat menghubungi dokter segera.
BAB IV
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan resep yang telah dikaji, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan skrining administratif, terdapat kekurangan kelengkapan resep
seperti nomor telepon dokter, bobot badan pasien, jenis kelamin pasien,
nomor telepon pasien dan alamat pasien.
2. Berdasarkan pertimbangan klinis, terapat beberapa obat yang melampaui
dosis maksimum, sperti Erysanbe® Tablet Kunyah, Tremenza®, Sinocort®, dan
Longatin®.
3. Pada resep, terdapat pencampuran obat kausatif yang diracik bersamaan
dengan obat simptomatik.

IV.2 Saran
Dalam melakukan pelayanan kefarmasian di apotek, seorang apoteker
sebaiknya meningkatkan ketelititian dalam melakukan skrining resep meliputi
kelengkapan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis saat
melayani resep. Seorang apoteker juga sebaiknya memberikan pelayanan
konseling serta edukasi terkait obat yang diberikan kepada pasien agar dapat
meningkatkan ketepatan serta kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat serta
meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek. Selain itu, dokter penulis
resep sebaiknya memperhatikan kelengkapan administratif resep, dan
mempertimbangkan aspek klinis dalam peresepan obat.

58
59

DAFTAR PUSTAKA

Brayfield, A. 2014. Martindale: The Complete Drug Reference. London:


Pharmaceutical Press.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III.


Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penggunaan Obat


Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Dina, T. A., & Sukohar, A. 2014. Rational Drug Prescription Writing. Jurnal
Kedokteran, 4(7), 1-30.

DiPiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., & DiPiro, C. V. 2017.


Pharmacotherapy Handbook. McGraw-Hill Education.

Greenwood, D., Finch, R., Davey, P., Wilcox, M., 2007. Handbook of
Antimicrobial Chemotheraphy, 5th edition. Oxford: Oxford University
Press.

Hao, Q., Dong, B. R., & Wu, T. 2015. Probiotics for Preventing Acute Upper
Respiratory Tract Infections. Cochrane database of systematic reviews.

Katzung, B. G. 2018. Basic Clinical & Pharmacology 14th Edition. McGraw-Hill


Education

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Petunjuk Teknis Standar


Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia


Nomor HK. 00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan Dan
Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Jakarta.

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 32 Tahun 2019 tentang
Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional. Jakarta.
60

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 tentang


Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang


Apotek. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2022 tentang


Penetapan dan Perubahan Penggolongan Psikotropika. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014 tentang


Rencana Kebutuhan Tahunan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor.
Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2021 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Klinik. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010 tentang


Prekursor. Jakarta.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.

Preston, C. L. 2015. Stockley's Drug Interactions. London: Pharmaceutical Press.

Seifart, C., Clostermann, U., Seifart, U., Müller, B., Vogelmeier, C., von Wichert,
P., & Fehrenbach, H. 2005. Cell-Specific Modulation of Surfactant Proteins
by Ambroxol Treatment. Toxicology and Applied Pharmacology, 203(1),
27-35.

St George’s Hospital. 2022. Upper Respiratory Tract Infection (URTI). NHS


Foundation Trust.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/83


tentang Tanda Khusus untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.


Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


Jakarta.

Zeind, C. S., & Carvalho, M. G. 2018. Applied Therapeutics: The Clinical Use of
Drugs. Wolters Kluwer.
61

LAMPIRAN

Lampiran 1. Form surat pesanan narkotika

SURAT PESANAN NARKOTIKA


Nomor SP : ………………………

Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
Mengajukan pesanan Narkotika kepada :
Nama distributor : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telp : ………………………………………
Dengan Narkotika yang dipesan dalah:
(Sebutkan nama obat, bentuk sediaan, kekuatan/potensi, jumlah dalam
bentuk angka dan huruf)
Narkotika tersebut akan dipergunakan untuk :
Nama sarana :……………………………………..
(Apotek/Instalasi Farmasi Rumah Sakit/Instalasi Farmasi Klinik)*
Alamat Sarana : ……………………………………..
Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun
Pemesanan

TandaTangan dan Stempel

Nama Apoteker
No.SIPA
*Coret yang tidak perlu
Cat:
- Satu surat pesanan hanya berlaku untuk satu jenis Narkotika
- Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) Rangkap
62
63

Lampiran 2. Form surat pesanan psikotropika

SURAT PESANAN PSIKOTROPIKA


Nomor SP : ………………………

Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
Nomor SIPA : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Mengajukan pesanan Psikotropika Farmasi* kepada :
Nama PBF : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
No. Telp : ………………………………………
Jenis obat yang mengandung obat keras yang dipesan sebagai berikut:
Bentuk dan
No. Nama Obat Zat Aktif Kekuataan Satuan Jumlah Ket.
sediaan

Obat mengandung Psikotropika farmasi tersebut akan digunakan untuk memenuhi


kebutuhan
Nama Apotek : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
No. Telepon : ………………………………………
SIA : ………………………………………

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesanan

TandaTangan dan Stempel

Nama Apoteker
No.SIPA
*Coret yang tidak perlu
Cat:
Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
64

Lampiran 3. Form surat pesanan prekursor

SURAT PESANAN OBAT/BAHAN OBAT/PREKURSOR


FARMASI*
Nomor SP : ………………………

Yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : ………………………………………
Jabatan : ………………………………………
Nomor SIPA : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Mengajukan pesanan Obat/Bahan Obat/Prekursor Farmasi* kepada :
Nama PBF : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
No. Telp : ………………………………………
Jenis peanan obat/bahan obat/prekursor farmasi sebagai berikut:
No. Nama Obat Jumlah Keterangan

Nama Kota, Tangal, Bulan, Tahun


Pemesanan

TandaTangan dan Stempel

Nama Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian


No.SIPA/SIKTTK
*Coret yang tidak perlu
Cat:
Surat pesanan dibuat sekurang-kurangnya 3 (tiga) rangkap
65
Lampiran 4. Contoh laporan penggunaan sediaan jadi narkotika (PerMenKes, No. 73, 2016)

Formulir Pelaporan Pemakaian Narkotika

Nama Saldo Pemasukan Pemasukan Penggunaan Penggunaan


Satuan Saldo Akhir
Narkotika Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah

……………………, ………………….. 20…

Apoteker

66
Lampiran 5. Contoh laporan penggunaan Morphin, Pethidin, dan derivatnya (PerMenKes, No. 3, 2015)

LAPORAN PENGGUNAAN MORPHIN, PETHIDIN, DAN DERIVATNYA


NAMA APOTEK : ………………………… BULAN : …………………………
NO. IZIN APOTEK : ………………………… TAHUN : …………………………
ALAMAT : …………………………
TELEPON : …………………………

PEMASUKAN PASIEN DOKTER


NAMA TANGGAL
NO SATUAN NAMA KET
NARKOTIKA NOMOR PENYERAHAN JUMLAH NAMA ALAMAT
ALAMAT
SPESIALIS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Makassar,……………… 20……. Apoteker


Pengelola Apotek

(...........................................)
No. SIPA

67
Lampiran 6. Contoh laporan penggunaan sediaan jadi psikotropika (PerMenKes, No. 73, 2016)

Formulir Pelaporan Pemakaian Psikotropika

Nama Saldo Pemasukan Pemasukan Penggunaan Penggunaan


Satuan Saldo Akhir
Narkotika Awal Dari Jumlah Untuk Jumlah

……………………, ………………….. 20…

Apoteker

68
Lampiran 7. Contoh laporan penggunaan sediaan mengandung prekursor (PerMenKes, No. 3, 2015)

LAPORAN PENGGUNAAN SEDIAAN MENGANDUNG PREKURSOR


NAMA APOTEK : ………………………… BULAN : …………………………
NO. IZIN APOTEK : ………………………… TAHUN : …………………………
ALAMAT : …………………………
TELEPON : …………………………

Pengeluaran
Nama Persediaan Jumlah Untuk Persediaan
Pemasukan
No Bahan Satuan Awal Keseluruhan Akhir Ket.
Lain Jumlah
Sediaan Bulan (4+7) Pembuatan (8-11)
Tgl Dari Jumlah -lain
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Makassar,……………… 20…….
Apoteker Pengelola Apotek

(...........................................)
No. SIPA

69

Anda mungkin juga menyukai