Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN BLOK PRODUK BIOLOGI

MONOCLONAL ANTIBODY RITUXIMAB

OLEH:

Nama : Rosfiani Nursakinah Rosman

NIM : 70100119001

Kelas : A1

Dosen Pembimbing : Indah, S.Si., M.Si., Apt.

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

GOWA

2022
NAMA PRODUK : RITU-ALL

NAMA PERUSAHAAN : PT.A1 FARMA

Filosofi : Yang dimana terdiri dari dua suku kata RITU DAN ALL
Kata ritu sendiri diambil dari 4 huruf pertama dari zat aktif
yaitu rituximab sedangkan untuk penggunaan kata all dari
bahasa inggris yang artinya semua. Besar harapan dari obat
yg dibuat dalam semua komponen yg terdapat didalam obat
ini bisa berefek dan dapat menyembuhkan semua keluhan
sakit berdasarkan indikasi nya.

FARMAKOLOGI

Deskripsi : Rituximab adalah antibody monoclonal chimeric terhadap


antigen CD20 yang diekspresikan oleh sel B (Sweetman,
2009 : 768)

Efek Samping : Nyeri abdominal, anemia, anemia aplastic, arthralgia,


asthenia, gangguan pada darah, depresi, dyspepsia, sakit
kepala, reaksi pada tempat penyuntikan, trombositopenia,
kram otot (BNF, 2016 : 758); demam, hipotensi,
bronkospasme, urtikaria dan angioedema kemungkinan
muncul 8% setelah pemberian secara infus; reaksi stevens-
johnsons dan nekrolisis dari sel bagian epidermal kulit,
infeksi dengan lysis syndrome, dan hepatitis (Indrayuni et
al., 2021 : 3).
Perhatian : Riwayat penyakit kardiovaskular; pada orang dewasa,
eksaserbasi angina, aritmia, dan gagal jantung telah
dilaporkan terhadap pasien yang menerima kemoterapi
kardiotoksik. Hipotensi sementara timbul selama infuse
(antihipertensi mungkin dibutuhkan 12 jam sebelum
pemberian infus) (BNF, 2016 : 758).
Indikasi : Limfoma non-hodgkin (Sweetman, 2009 : 768)
Kontraindikasi : Gagal jantung parah; infeksi parah; penyakit hati yang
tidak terkontrol dan parah (BNF, 2016 : 758)
Interaksi : Interaksi serius dengan adenovirus hidup tipe 4 atau 7
secara oral; axicabtagene ciloleucel, certolizumab pegol;
baricitinib; ciltacabtagene autoleucel; vaksin zoster hidup;
vaksin rubella; vaksin virus varicella hidup; vaksin yellow
fever, palifermin; vaksin smallpox hidup, disarankan
menggunakan alternative. Monitoring secara ketat
terhadap penggunaan bersama amphotericin B
deoxycholate; belatacept; vaksin kolera; cisplatin; vaksin
dengue; denosumab; vaksin HIC; vaksin hepatitis B;
vaksin Human papillomavirus nonavalent; vaksin rabies;
dan masih banyak lagi (Medscape).
Dosis : 375 mg/m2 secara intravena sekali seminggu sebanyak 4
dosis, atau hingga 8 dosis (Sweetman, 2009 : 768).

Kondisi Penyimpanan : -20oC (MSDS Regulation European Chemical Agencies


Number 1907, 2006).

Kategori Kehamilan : Meskipun jarang ditemukan adanya efek pada


penggunaannya selama masa kehamilan, kebanyakan
produk berlisensi menyarankan pelarangan penggunaan
Rituximab pada masa kehamilan, mengingat adanya
potensi deplesi sel-B pada fetus. Wanita yang berpotensi
melahirkan perlu menggunakan metode kontrasepsi yang
efektif selama pengobatan dan hingga 12 bulan setelah
terapi (Sweetman, 2009 : 768)
FARMAKOKINETIK

Rituximab adalah antibody monoclonal chimeric terhadap antigen CD20 yang digunakan
dalam pengobatan limfoma non-hodgkin (Sweetman, 2009 : 768). Rituximab menargetkan
antigen CD20 yang diekspresikan oleh sel-B. CD20 merupakan molekul yang secara universal
diekspresikan oleh sel-B normal dalam segala tahap perkembangannya, mulai dari tahap pra-sel-
B, sel plasma dewasa hingga pada kebannyakan sel-B yang mengalami keganasan (Stashenko et
al., 1980; Anderson et al., 1984 in Freeman et al., 2018).

Molekul CD20 secara luas berada pada permukaan sel-B. Jadi, antibody monoclonal
yang diarahkan ke CD20 tidak dapat bergantung pada pengiriman bagian sitotoksik ke dalam sel,
melainkan konsekuensi dari pengikatan antigen CD20 dan perekrutan respon inang ke sel yang
teropsonisasi (Freeman et al., 2018 : 30).

Rituximab akan mengikat secara spesifik pada bagian sel CD20 dari sel limfosit B
dengan memicu tiga jenis proses, yakni apoptosis sel limfosit atau Complement-Dependent
Cytotoxicity atau Antibody-Dependent Cell-Mediated Citotoxicity sehingga menyebabkan
kematian sel (Indrayuni et al., 2021 : 2).

Rituximab disebut sebagai antibody tipe I, dimana antibody jenis ini memiliki
karakteristik yakni melokalisasi CD20 ke bentuk lipid dan tampaknya memberikan efek Direct
Cell Death yang minimal tetapi menginduksi sitotoksisitas yang terdiri atas dua, yakni CDC dan
ADCC (Freeman et al., 2018 : 30).

Pemberian obat secara intravena atau langsung ke dalam pembuluh darah tidak
mengalami absorbsi, maka semua obat (dosis yang diberikan) yang ada dalam sediaan masuk ke
dalam tubuh (Nasution, A, 2015 : 3). Rituximab adalah dua kompartemen dengan waktu paruh
rata-rata 87 ± 18 jam dan distribusi volume 1,3 L (Indrayuni et al., 2021 : 2).

Pada jurnal lain, disebutkan bahwa kinetika distribusi antibodi dipengaruhi oleh laju
transpor konvektif, pengikatan ke situs jaringan, dan laju katabolisme dalam jaringan. Setelah
pemberian secara intravena, terjadi distribusi pada tingkat pembuluh darah jaringan. Difusi
Rituximab melintasi sel endotel vaskular sangat lambat dan pergerakan Rituximab melalui atau
di antara membran sel terutama terjadi melalui mekanisme transelular (endositosis) atau
paraseluler, yaitu transpor konvektif antibodi dalam pergerakan aliran cairan. Volume distribusi
RTX pada kondisi tunak kira-kira 9,6 L. Karena volume plasma hanya 3–3,5 L, ini menunjukkan
bahwa mAb terdistribusi ke ruang ekstraseluler jaringan, kecuali SSP (Golay et al., 2013 : 829-
830).

Rituximab menunjukkan farmakokinetik yang bergantung pada dosis. Pada dosis 375
mg/m2, waktu paruh serum rata-rata adalah 76 jam setelah satu dosis dan 206 jam setelah dosis
terakhir, dengan variasi interindividual yang sangat besar (Goodman & Gillman, 2002 : 857).

Rituximab diberikan dalam bentuk intravena (Sweetman, 2009 : 768) yang langsung
memasuki sirkulasi sistemik, sehingga metabolism Rituximab terjadi di peredaran darah, dimana
untuk bentuk sediaan intravena, hampir seluruh bahan obat diubah menjadi metabolit dengan
konsentrasi mendekati 100% (Nasution, A, 2015 : 61 dan 65).

Dengan meningkatnya konsentrasi Rituximab, pembersihan total (CL) menurun secara


nyata (dan waktu paruh eliminasi meningkat). pada dasarnya, dalam membahas eliminasi yang
diperantarai target, perlu diingat bahwa CD20 biasanya tidak secara cepat atau efisien
diinternalisasi oleh sel B setelah pengikatan antibody (Golay et al., 2013 : 829-830).

ALASAN PEMILIHAN BAHAN TAMBAHAN

1. Pembawa (Water For Injection)


Pelarut dalam formulasi injeksi merupakan komponen terbesar dan dimana pelarut
yang paling sering digunakan untuk rute parenteral adalah Water for Injection (Akers,
2010 : 58). Ini juga merupakan jenis pembawa air yang paling sering digunakan untuk
pembuatan sediaan injeksi (Ansel, 2014 : 514).
Menurut European Medicines Agency, kualitas minimum air yang dapat diterima
untuk sediaan parenteral adalah WFI (European Medicines Agency, 2020 : 6).
Pada dasarnya, pembawa selain air, dalam hal ini oleaginous vehicle, tidak
dianjurkan penggunaannya pada intravena karena dapat mengakibatkan penutupan
mikrosirkulasi pernapasan (Ansel, 2014 : 521).
Berdasarnya pemeriannya, senyawa ini bersifat larut air sehingga penggunaan
pembawa air dianggap tepat (MSDS Regulation European Chemical Agencies Number
1907, 2006).
Water for Injection adalah air yang telah dimurnikan dengan cara destilasi atau
proses pemurnian lain yang setara atau lebih baik dari destilasi untuk menurunkan
kontaminan mikroba dan zat kimia (Dirjen POM, 2020 : 71).
2. Surfaktan (Polisorbat 80)
Surfaktan adalah zat yang dapat memberikan efeknya pada permukaan larutan, baik yang
padat-padat, padat-cair, maupun cair-cair, hingga udara-cair karena komposisi kimianya
yang mengandung gugus hidrofilik dan hidrofobik. Bahan-bahan ini mengurangi
konsentrasi protein dalam larutan encer pada antarmuka udara-air dan/atau air-padat
dimana protein dapat diabsorbsi dan berpotensi diagregasi. Surfaktan dapat mengikat
antarmuka hidrofobik dalam formulasi dan pengemasan protein. Surfaktan tidak hanya
dapat mendenaturasi protein, tetapi juga menstabilkannya terhadap denaturasi
permukaan. Sebagian besar surfaktan nonionic yang dapat diterima secara parenteral
berasal dari kelompok polisorbat, dalam hal ini polisorbat 80 adalah salah satu surfaktan
sekaligus penstabil yang efektif dan dapat diterima dalam formulasi protein yang
dipasarkan (Hovgaard et al., 2013 : 167-169). Polisorbat 80 tidak inkom dengan bahan
aktif maupun bahan tambahan lainnya sehingga aman digunakan dalam formulasi ini
(Rowe, 2009 : 551).

Sejumlah aditif telah diidentifikasi yang dapat mengurangi laju agregasi


protein. Sebuah spektrum yang agak luas dari agen dapat mengurangi tingkat agregasi
protein: urea, guanidinium klorida, asam amino (khususnya glisin dan arginin), berbagai
gula, polialkohol, polimer (termasuk polietilen glikol dan dekstrans), surfaktan, dan
bahkan antibodi itu sendiri. Penelitian telah menunjukkan bahwa protein yang berbeda
mendapat manfaat dari berbagai jenis faktor antiagregasi, konsisten dengan gagasan
bahwa permukaan antarmuka yang mendorong interaksi yang mengarah ke agregasi
adalah spesifik protein. Secara konseptual, agen antiagregasi mungkin termasuk dalam
salah satu dari dua kategori: agen kecil yang masuk ke dalam saluran atau alur dan agen
besar yang mungkin berinteraksi dengan permukaan protein yang melengkung lebih
rendah. Pada dasarnya, agen kecil akan bertindak untuk menstabilkan protein dari
memperoleh konformasi yang mungkin lebih reaktif terhadap agregasi, sementara agen
besar mungkin bertindak untuk mengurangi frekuensi kontak permukaan yang mengarah
ke peristiwa agregasi. Dalam kasus formulasi antibodi, salah satu atau keduanya mungkin
penting (S.J.shine, 2010)

Perlindungan dari agregasi dapat dibatasi dalam formulasi antibodi dengan


penambahan zat aktif permukaan seperti deterjen, baik yang bermuatan maupun yang
tidak bermuatan. Sebagai tambahan yang menarik, zat aktif permukaan tersebut dapat
membantu mengurangi kehilangan protein karena perlekatan pada permukaan yang dapat
terjadi dengan formulasi protein konsentrasi rendah. Polisorbat 20 dan 80 (sekarang
tersedia dari sumber nabati) adalah contoh deterjen yang banyak digunakan untuk
mengurangi laju agregasi protein dalam formulasi obat antibodi konsentrasi tinggi.
Namun, peringatan kehati-hatian harus dibunyikan, karena deterjen melakukan fungsi ini
secara optimal pada konsentrasi rendah (0,01-0,05%) dan dapat bertindak merugikan
untuk berpartisipasi dalam pembukaan protein pada konsentrasi yang lebih tinggi,
misalnya 1% (S.J.shine, 2010)

Sebuah studi yang dilakukan pada antibodi IgG1 menemukan bahwa ukuran
agregat yang dihasilkan oleh kedua metode tersebut sebanding (Mahler et al. 2005).
Disimpulkan bahwa uji throughput yang lebih tinggi dapat dibangun dengan
menggunakan pengadukan yang dianalisis dengan pengukuran absorbansi. Dalam
penelitian tersebut, sampel yang diaduk menunjukkan absorbansi yang jauh lebih tinggi
dan spesies partikel kedua dalam DLS, yang menunjukkan bahwa tekanan pengadukan
menghasilkan jumlah agregat protein yang lebih kecil yang lebih tinggi. Sementara
Mahler menemukan polisorbat 80 melindungi terhadap agregasi, sampel yang diaduk
mengalami peningkatan kekeruhan dan lebih banyak produk agregat terdeteksi oleh DLS
dibandingkan dengan formulasi bebas surfaktan. Polysorbate 80 menstabilkan agregat
kecil dan mencegah kemajuan lebih lanjut dalam proses agregasi (S.J.shine, 2010)

3. Pendapar (Histidine)
Buffer digunakan untuk mencegah perubahan kecil pada pH larutan yang dapat
mempengaruhi kelarutan dan stabilitas protein. Buffer terdiri dari garam senyawa ionik, yang
paling umum adalah asetat, sitrat, dan fosfat. Selain buffer asetat, sitrat dan fosfat, pada
produk antibody monoclonal, digunakan asam amino sebagai pendapar (Hovgaard, Sven, &
Weert, 2013).

Histidin telah ditemukan menjadi komponen penyangga yang sangat baik untuk antibodi
monoklonal yang stabil secara maksimal di sekitar pH 6. pKa histidin adalah 6.0, yang
membuatnya menjadi penyangga yang ideal pada pH 6,0. Histidin adalah satu-satunya asam
amino dengan pH 7,4 dalam kisaran penyangganya; oleh karena itu, telah ditemukan
pentingnya dalam formulasi parenteral yang membutuhkan buffering dalam kisaran pH
fisiologis (Hovgaard, Sven, & Weert, 2013). 10 mM histidin adalah buffer yang umum
digunakan (misalnya, formulasi akhir Rituximab) (Karow, Sven, & Garidel, 2013).

DOSIS RITUXIMAB

Di Inggris untuk pengobatan limfoma folikular refrakter atau limfoma kambuhan, dosis
rituximab adalah 375 mg/m2 secara intravena sekali seminggu sebanyak 4 dosis. Sedangkan di
US, biasanya diberikan sebanyak 8 dosis. Di beberapa Negara lain, pasien dapat diberikan
retreatment setelah kambuh sebanyak 4 dosis (Sweetman, 2009 : 768).

Menurut Goodman & Gillman (2008), dosis antibody monoclonal Rituximab adalah infus
intravena 375 mg/m2 per minggu selama 4 minggu (Goodman & Gillman, 2008 : 859).

Dosis Rituximab yang dianjurkan menurut Ansel 10 th Edition adalah 375 mg/m2
diberikan sebagai infus intravena setiap minggu selama empat dosis (hari 1, 8, 15, dan 22). Dan
dapat juga diberikan pada pasien rawat jalan (Ansel, 2014 : 704).
Adapun bentuk sediaan monoclonal antibody Rituximab biasanya dalam single-dose
vials larutan injeksi 10 mg/mL, yang biasanya berada dalam 10 mL atau 50 mL vial (Medscape).
Hal ini juga dikuatkan pada Ansel 10 th Edition, dimana dijelaskan bahwa Rituximab tersedia
dalam single-unit vials 10 dan 50 mL (10 mg/mL) (Ansel, 2014 : 704). Dalam hal ini dilansir
dari BNF Edisi 74 dan 81, volume sediaan yang paling umum digunakan adalah 10 mL (BNF,
2021: 929; BNF, 2018 : 820). Sehingga :

Dik. Sediaan yang akan dibuat 10 mL

Rituximab single-dose injeksi 10 mg/mL

1mL 10 mg
Dalam 10 mL mengandung  =  x = 100 mg
10 mL x mg

Maka setiap 10 mL sediaan injeksi intravena mengandung 100 mg Rituximab.


DAFTAR PUSTAKA

Akers, M. J. (2010). Drug Sterile Product : Formulation, Packaging, Manufacturing, and


Quality. Informa Healthcare. New York, USA

Ansel, H. C. (2014). Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery Systems 10th Edition.
Lippincott Williams & Willkins. Baltimore, USA

BNF. (2018). British National Formulary 74th Edition. Royal Pharmaceutical Society BMA.
London, UK

BNF. (2021). British National Formulary 81st Edition. Royal Pharmaceutical Society BMA.
London, UK

Dirjen POM. (2020). Farmakope Indonesia Edisi VI. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta, Indonesia

European Medicines Agency. (2020). Guideline on The Quality of Water for Pharmaceutical
Use. Netherland

Freeman, C. L. et al. (2018). A Tale of Two Antibodies : Obinutuzumab versus Rituximab. British
Journal of Hematology Review : 29-45

Gibson, M. (2004). Pharmaceutical Preformulation and Formulation : A Practical Guide from


Candidate Drug Selection to Commercial Dosage Form. CRC Press LLC. Florida,
US

Golay, J. et al. (2013). Lessons for The Clinic from Rituximab Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics. Landes Bioscience Volume 5 Issue 6 : 826-837

Goodman & Gillman. (2008). Manual Farmakologi dan Terapi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta, Indonesia

Havgaard, L. et al. (2013). Pharmaceutical Formulation Development of Peptides and Proteins.


CRC Press, Taylor & Francis Group. New York, USA

Hovgaard, L., Sven, F., & Weert, a. M. (2013). Pharmaceutical Formulation Development of Peptides
and Proteins 2nd Edition. U.S: CRC Press.
Karow, A. R., Sven, B., & Garidel, P. (2013). Buffer Capacity of Biologics—From Buffer Salts to
Buffering by Antibodies. American Institute of Chemical Engineers Biotechnol. Prog., 2013, Vol.
29, No. 2, 484.

Indrayuni, et al. (2021). A Review On : Novel Drug Delivery Technology of Rituximab. World
Journal of Pharmaceutical Research Volume 10 Issue 2 : 1-5

Medscape Drug Reference. Rituximab. Online access at 28 June 2022


<reference.medscape.com>

MSDS Regulation European Chemical Agencies Number 1907. (2006). Material Safety Data
Sheet : Rituximab. USA

Nasution, A. (2016). Farmakokinetika Klinis. USU Press. Medan, Indonesia

Rowe, R. C. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Edition. Pharmaceutical Press.


New York, USA

S.J.shine, W. Gombotz, K. Bachtold-Peters, J Andya. 2010. Current Trends in Monoclonal


Antibody Developmentand Manufacturing. Volume XI. American Association Of
Pharmaceutical Scientists.

Sweetman, S. C. (2009). Martindale 36th Edition : The Complete Drug Reference.


Pharmaceutical Press. London, Chicago
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai