Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH FARMAKOKINETIKA KLINIK

PERUBAHAN ASPEK FARMAKOKINETIKA VANCOMYCIN

PADA KONDISI SEPSIS

Oleh :

GABRIELLA NATHASYA TAROREH

051915153012

MAGISTER FARMASI KLINIK


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
PENDAHULUAN

Sepsis merupakan kondisi klinis yang disebabkan oleh respon sistemik


tubuh terhadap infeksi. Secara global insiden sepsis mengalami peningkatan
dengan angka kematian yang terus bertambah. Kondisi ini menyebabkan pasien
sepsis termasuk dalam kategori pasien dengan keadaan kritis (critically ill).
Tingginya angka mortalitas baik karena sepsis, sepsis berat, maupun syok sepsis
menyebabkan diperlukannya identifikasi awal serta terapi yang tepat dan segera
untuk mencegah semakin buruknya keadaan pasien. Surviving Sepsis Campaign
(SSC) merekomendasikan pemberian antibiotik segera saat satu jam pertama
setelah terdiagnosa sepsis berat dan syok septik. Hal ini dikarenakan
keterlambatan dalam pemberian antibiotik berkorelasi dengan kematian, setiap
jam penundaan dikaitkan dengan kenaikan mortalitas sebesar 6 %.
Antibiotik merupakan salah satu terapi yang terbukti dapat menurunkan angka
kematian pada syok septik dan harus diberikan segera setelah sepsis terdiagnosa.
Ketepatan penggunaan antibiotik merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan terapi pada pasien dengan infeksi termasuk pada kondisi sepsis
(Rukmana, 2018).

Pasien dengan keadaan kritis memiliki kondisi patofisiologis yang berbeda


dibandingkan dengan kelompok pasien non-kritis, dan perbedaan kondisi
patofisiologis tersebut dapat berdampak pada perbedaan profil farmakokinetik
obat dalam tubuh pasien kritis, termasuk profil farmakokinetik antibiotik.
Perubahan profil farmakokinetik yang paling menonjol adalah perubahan pada
volume distribusi (Vd) obat larut air (hidrofilik) dan klirens ginjal (Cl). Pada
pasien kritis, umumnya, Vd lebih besar dan Cl akan meningkat nilainya
dibandingkan dengan pasien non-kritis. Adanya perubahan nilai Vd dan Cll
tersebut dapat menyebabkan turunnya konsentrasi obat dalam darah, tanpa
terkecuali juga pada penggunaan antibiotik. Hal tersebut dapat berpengaruh pada
kegagalan mencapai minimum inhibitory concentration (MIC) yang mutlak
diperlukan dalam proses eradikasi bakteri (Hidayat, et al., 2017).
Dalam penatalaksanaan pasien dengan kondisi sepsis, selain diberikan
antibiotika dilakukan juga pemberian terapi adjuvant dan penunjang
hemodinamik. Pemberian tambahan terapi ini dapat juga mempengaruhi aspek
farmakokinetika dari antibiotik. Salah satu antibiotik yang digunakan dalam
penanganan kondisi sepsis adalah vancomycin. Vancomycin merupakan antibiotik
concentration dependent yang berisfat hidrofilik. Volume distribusi (Vd)
antibiotik yang bersifat hidrofilik pada pasien kritis cenderung lebih besar
dibandingkan dengan nilai Vd pada pasien yang relatif lebih stabil dan subyek
sehat. Peningkatan Vd tersebut terjadi sebagai akibat dari beberapa hal, antara lain
perpindahan cairan intravaskuler ke daerah interstitial, penurunan kadar albumin
(hipoalbuminemia), dan terapi cairan khususnya yang diberikan secara agresif.
Perbedaan profil farmakokinetika tersebut berpotensi menyebabkan kegagalan
untuk mencapai target farmakokinetik-farmakodinamik (PK-PD) apabila tidak
dilakukan penyesuaian dosis antibiotik pada pasien kritis. Penyesuaian dosis dapat
dilakukan dengan menggunakan prinsip PK-PD. Pemberian terapi antibiotik yang
tepat kepada pasien kritis merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh
tenaga kesehatan, termasuk tugas seorang apoteker untuk memastikan bahwa
terapi yang diberikan dapat memberikan efek sesuai dengan yang diharapkan agar
dapat dicapai target farmakokinetik-farmakodinamik yang sesuai dengan kondisi
pasien (Setiawan, et al., 2019).
PEMBAHASAN

1. Deskripsi Penyakit (Wells, et al., 2017)


Definisi yang berkaitan dengan sepsis adalah sebagai berikut :
No Kondisi Definisi
1. Bakterimia Adanya bakteri/jamur hidup di aliran darah
2. Sindroma Respon Respon inflamasi terhadap gangguan klinik yang
Inflamasi Sistemik penyebabnya baik infeksi maupun bukan infeksi.
(SRII) Respon muncul pada ≥ 2 kondisi berikut : temperatur
> 38°C atau < 36°C, frekuensi denyut jantung > 90
detak/menit, frekuensi pernafasan > 20 tarikan
nafas/menit atau PaCO2 < 32 torr, sel darah putih >
12.000 sel/mL atau < 4000 sel/mL atau > 10% dalam
bentuk belum matang.
3. Sepsis Sindrom respon inflamasi sistemik sekunder terhadap
infeksi
4. Sepsis Berat Sepsis yang berkaitan dengan tidak berfungsinya
organ, hipoperfusi atau hipotensi, hipoperfusi dan
ketidaknormalan perfusi termasuk (tetapi tidak
terbatas) asidosis laktat, oligouria, atau perubahan
mental akut.
5. Syok Sepsis Sepsis dengan hipotensi, walaupun diberikan resusitasi
cairan, bersamaan dengan adanya ketidaknormalan
perfusi. Pasien yang menggunakan obat initropik atau
vasopreso mungkin tidak mengalami hipotensi pada
waktu ketidaknormalan perfusi diukur.
6. Multiple Organ Terjadinya perubahan fungsi organ yang
Dysfunction membutuhkan intervensi untuk mempertahankan
Syndrome (MODS) homeostasis.
7. Compensatory anti- Respons kompensasi fisiologis terhadap sindroma
inflamatory respons inflamasi sistemik yang sekunder terhadap
response syndrome mediator antiinflamasi sitokin.
(CARS)

2. Patofisiologi (Wells, et al., 2017)


 Tempat infeksi penyebab
saluran pernafasan (40%), saluran urin (18%), intraabdomen (14%)
 Penyebab : bakteri gram + / - , fungi atau lainnya
 Bakteri gram negatif : Escherichia coli, Klebsiella spp,
Enterobacter spp, Proteus spp.
 Pseudomonas aeruginosa : tersering → Fatal
 Bakteri gram positif : Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, coagulase-negative staphylococci, dan Enterococcus
species. Candida albicans penyebab utama sepsis di rumah sakit
 Fokus patofisiologi dari sepsis gram negative adalah endotoksin
dari dinding sel. Endotoksin berikatan dengan lipopolysaccharide-
binding protein di plasma, komplek ini kemudian mengikat
reseptor CD14 pada permukaan makrofag sehingga terjadi
pelepasan mediator inflamasi.
 Sepsis melibatkan kompleks interaksi antara proinflamatory factor
dan mediator antiinflamasi. Proinflamatory factor (TNF α, IL-1,
IL-6); antiinflamatory ( IL-1 antagonis, IL-4, IL-10); IL-8, platelet-
activating factor, leukotrin, dan thromboxane A2 juga berperan
penting.
 TNF α merupakan mediator utama sepsis yang mengaktifkan
sitokin sehingga terjadi kerusakan membrane, pelepasan metabolit
asam arakhidonat. Imbangan pro dan anti inflamasi faktor
menentukan derajat sepsis. Awalnya dapat terjadi sepsis (karena
adanya kelebihan sitokin proinflamasi) kemudian terjadi SIRS
yang diikuti dengan CARS

3. Manifestasi Klinis (Wells, et al., 2017)


 Awal (bervariasi) : demam, menggigil, perubahan mental, letargi
dan malaise, hipotermi, takipnea, takikardi, SDP meningkat,
glukosa meningkat, dan hipoksia.
 Perkembangan cepat : tidak berfungsinya organ, oligouria,
hipotensi, syok, asidosis laktat, hipo/hiperglikemia, leukopenia,
DIC, thrombositopenia, perdarahan, dan koma.

4. Terapi (Wells, et al., 2017)


 Langkah terapi : menetapkan pathogen, eliminasi pathogen, terapi
antimikroba secara agresif, menghentikan kemungkinan terjadinya
syok, dan menghindari kegagalan fungsi organ
 Terapi empirik : regimen antimikroba

Tabel 1. Terapi Empiris Antibiotik pada Sepsis (Wells, et al., 2017)

 Penunjang hemodinamik : resusitasi cairan (Na, Cl, RL, Albumin)


dan Inotropik (Dopamin, dobutamin, norepinefrin, epinefrin
 Terapi adjuvant : glukortikoid (5-7 hari onset ARDS), activated
protein untuk merangsang fibrinolysis (Deep vein thrombosis
prophylaxis), Pengontrol glukosa, dan profilaksis stress ulcer

5. Parameter Farmakokinetik – Farmakodinanik Antibiotik

Tabel 2. Farmakokinetik - Farmakodinamik Antibiotik (Tsai, et al., 2015)


Gambar 1. Kurva PK-PD Antibiotik (Tsai, et al., 2015)

Prinsip PK-PD berperan penting sebagai “kompas” dalam menentukan dosis


antibiotik dengan cara mengintegrasikan informasi terkait profil PK yang dimiliki
pasien dan efek farmakodinamik (pharmacodynamic; PD) antibiotik pada patogen
penyebab infeksi. Salah satu ukuran kuantitatif yang dapat digunakan untuk
merepresentasikan efek PD antibiotik terhadap patogen adalah minimum
inhibitory concentration (MIC). Nilai MIC menggambarkan konsentrasi terkecil
suatu antibiotik yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan suatu patogen
dan dapat ditentukan dengan berbagai macam metode pengukuran, antara lain
broth microdilution test (BMD) atau E-test. Nilai MIC bersifat spesifik yang
berarti setiap jenis antibiotik tertentu memiliki nilai MIC yang berbeda untuk jenis
patogen yang berbeda (Setiawan, et al., 2019). Pedoman yang dikeluarkan oleh
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) dan European Committee on
Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST) dapat digunakan sebagai acuan
untuk menentukan kepekaan patogen terhadap antibiotik berdasarkan nilai MIC-
nya (CLSI, 2014; EUCAST, 2018). Terdapat tiga indeks PK-PD, atau disebut juga
sebagai PK-PD target yang terbukti memiliki keterkaitan dengan efektivitas
penggunaan antibiotik, yaitu: rasio antara konsentrasi antibiotik maksimum
dibandingkan dengan nilai MIC (Cmax/MIC); rasio antara area dibawah kurva
konsentrasi antibiotik persatuan waktu selama interval waktu 24 jam
dibandingkan dengan nilai MIC (AUC0- 24/MIC); dan persentase waktu dalam
suatu interval dosis pemberian dimana konsentrasi antibiotik berada diatas nilai
MIC (%T>MIC) (Kuti, 2016). Gambar kurva dapat digunakan sebagai ilustrasi
untuk menggambarkan masing-masing PK-PD target. Apabila dijumpai tanda “f”
didepan PK-PD target, perlu diingat bahwa target tersebut ditentukan dengan
mempertimbangkan kadar antibiotik bebas (free) saja. Umumnya apabila tidak
terdapat tanda “f”, target PK-PD dibuat atas dasar pengukuran konsentrasi obat
total (Setiawan, et al., 2019). Target PK-PD untuk masing-masing antibiotik
ditentukan oleh karakteristik bacterial killing dari antibiotik. Umumnya terdapat
tiga klasifikasi antibiotik berdasarkan karakteristik bacterial killing, yaitu
antibiotik dengan aktivitas bacterial killing yang ditentukan oleh konsentrasi
(concentration-dependent antibiotics); antibiotik dengan aktivitas bacterial killing
yang ditentukan oleh durasi waktu (time-dependent antibiotics); dan antibiotik
dengan aktivitas bacterial killing yang ditentukan baik oleh konsentrasi maupun
durasi waktu (concentration- and time-dependent kill antimicrobials) (Kuti, 2016)

6. Perubahan Farmakokinetika pada Sepsis

Gambar 2. Skema perubahan patofisiologis pada kondisi sepsis (Yang ditandai dengan lingkaran
biru merupakan perubahan Farmakokinetika yang terjadi pada sepsis) (Blot, et
al., 2014)
Volume distribusi (Vd) obat sangat ditentukan oleh sifat obat. Obat dengan
sifat lipofilik memiliki Vd yang besar karena mampu terdistribusi ke jaringan
adiposa dan intraseluler, sedangkan Vd obat dengan sifat hidrofilik lebih kecil
karena hanya didistribusikan ke area interstitial, yakni cairan ekstraseluler
(extracellular). Obat yang bersifat hidrofilik, umumnya, akan mengalami proses
eliminasi melalui ginjal (clearance (Cl) ginjal) sehingga besarnya proses
“pembersihan” dari tubuh akan sangat ditentukan oleh fungsi ginjal.
Beberapa golongan antibiotik yang bersifat hidrofilik, antara lain: β-laktam,
aminoglikosida, dan glikopeptida, sedangkan yang bersifat lipofilik, antara lain:
fluorokuinolon dan makrolida. Volume distribusi (Vd) antibiotik yang bersifat
hidrofilik pada pasien kritis di ICU cenderung lebih besar dibandingkan dengan
nilai Vd pada pasien yang relatif lebih stabil dan subyek sehat. Peningkatan Vd
tersebut terjadi sebagai akibat dari beberapa hal, antara lain perpindahan cairan
intravaskuler ke daerah interstitial, penurunan kadar albumin (hipoalbuminemia),
dan terapi cairan khususnya yang diberikan secara agresif (Setiawan, et al., 2019).

Proses inflamasi yang terjadi saat pasien mengalami infeksi, khususnya sepsis
akan memicu pelepasan dan pendistribusian secara sistemik beberapa sitokin yang
memiliki sifat pro- inflamasi, antara lain: interleukin (IL)- 1, IL-6, interferon,
dan tumor necrosis factor (TNF)-α. Distribusi sitokin pro-inflamasi tersebut
secara sistemik menyebabkan beberapa dampak dan salah satu dampak yang
utama adalah peningkatan permeabilitas lapisan endotel yang terdapat pada
membran pembuluh darah. Salah satu fungsi utama dari lapisan endotel adalah
mempertahankan albumin dan zat terlarut lainnya agar tetap berada dalam
pembuluh. Glycocalyx, lapisan tipis yang menyerupai gel dengan ketebalan 0,2-
0,5 mm, merupakan salah satu komponen yang menentukan kemampuan lapisan
endotel dalam menghalangi perpindahan albumin dan zat terlarut lainnya.
Pada kondisi sepsis, pelepasan TNF- α menjadi salah satu penyebab berkurangnya
glycocalyx yang pada akhirnya berdampak pada perpindahan albumin dari dalam
pembuluh darah menuju ke daerah interstitial. Perpindahan albumin yang pada
dasarnya memiliki peran sebagai pengendali tekanan onkotik intravaskular,
berdampak lebih lanjut pada perpindahan cairan dari intravaskular menuju area
interstitial. Perpindahan cairan ke area interstitial antibiotik hidrofilik berdampak
pada peningkatan Vd antibiotik hidrofilik (Setiawan, et al., 2019).

Penurunan kadar albumin dibawah rentang normal (hipoalbuminemia)


berpotensi menyebakan peningkatan Vd obat hidrofilik, termasuk antibiotik.
Kadar albumin dalam darah pada manusia dewasa sehat berkisar antara 33-52 g/L.
Hipoalbuminemia dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu penurunan sintesis
atau produksi, peningkatan katabolisme, perubahan distribusi albumin,
dan peningkatan kehilangan albumin melalui ginjal atau kulit atau saluran cerna.
Peningkatan proses katabolisme albumin terjadi pada berbagai kondisi klinis,
dan salah satunya adalah sepsis. Perpindahan albumin dari intravaskular menuju
area interstitial merupakan bentuk dari perubahan distribusi albumin.
Prevalensi hipoalbuminemia dapat berbeda tergantung pada nilai ambang batas
yang digunakan dalam mendefinisikan hipoalbuminemia.
Kondisi hipoalbuminemia akan menyebabkan peningkatan jumlah fraksi obat
bebas (free fraction), atau dikenal juga dengan istilah fraksi obat tidak terikat
(unbound fraction). Peningkatan jumlah fraksi obat bebas tersebut akan
menambah jumlah fraksi obat yang didistribusikan ke jaringan atau organ dan
secara farmakokinetik proses tersebut dikenal dengan peningkatan Vd.
Kondisi hipoalbuminemia, apapun penyebabnya, dapat memicu berkurangnya
volume cairan intravaskular yang berdampak lebih lanjut pada penurunan tekanan
dalam darah (Setiawan, et al., 2019). Pada pasien sepsis, penurunan tekanan
intravaskular tersebut semakin besar sebagai dampak dari vasodilatasi pembuluh
darah yang disebabkan oleh pelepasan sitokin pro- inflamasi (Hotchkiss, et al.,
2016). Pemberian cairan eksternal akan dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi
penurunan tekanan intravaskular. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan kepada
pasien sangat ditentukan oleh derajat keparahan pasien. Umumnya, pada kondisi
penurunan tekanan yang parah, terapi cairan akan diberikan secara agresif.
Penambahan cairan eksternal secara agresif pada pasien sepsis akan semakin
memperbesar volume cairan yang berpindah ke area interstitial karena adanya
gangguan lapisan endotel sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dengan demikian, pemberian cairan eksternal dapat semakin meningkatkan Vd
obat yang bersifat hidrofilik (Blot, et al., 2014; Wells, et al., 2017).
Selain memiliki Vd yang relatif lebih besar, variasi Cl pada pasien kritis di
ICU cukup luas. Pasien dengan augmented renal clearance (ARC) cenderung
mengalami peningkatan Cl khususnya pada penggunaan antibiotik yang bersifat
hidrofilik. Augmented renal clearance (ARC) merupakan suatu kondisi
peningkatan Cl obat diatas kemampuan fisiologi renal dalam melakukan eliminasi
obat dan umumnya didefinisikan dengan clearance creatinine (ClCr) ≥ 120- 130
mL/min/1,73m2 (Campassi et al., 2014; Kawano et al., 2016; (Blot, et al., 2014).
ARC dapat terjadi pada pasien dengan nilai plasma kreatinin yang normal.
Usia pasien merupakan salah satu faktor penentu ARC dan risiko mengalami
ARC lebih tinggi pada pasien usia muda (Campassi et al., 2014; Kawano et al.,
2016). Peningkatan curah jantung (cardiac output; CO) merupakan mekanisme
yang diduga menyebabkan ARC (Campassi et al., 2014; Kawano et al., 2016).
Peningkatan tersebut dapat terjadi sebagai respon fisiologis tubuh terhadap
penurunan tekanan intravaskular atau sebagai akibat dari penggunaan obat,
contoh: vasopressor untuk mengatasi penurunan tekanan intravaskular (Campassi
et al., 2014). Kerusakan lapisan endotel dan hipoalbuminemia yang terjadi pada
pasien sepsis, seperti telah dijelaskan pada beberapa bagian diatas menyebabkan
penurunan tekanan intravaskular yang akan memicu respon alamiah tubuh untuk
meningkatkan CO. Peningkatan tersebut akan menyebabkan peningkatan aliran
darah ke organ (termasuk ginjal), dan berdampak pada peningkatan Cl khususnya
untuk obat yang dieliminasi melalui ginjal. Apabila mekanisme tubuh tersebut
tidak dapat mengatasi penurunan tekanan intravaskular, obat golongan
vasopressor dapat digunakan untuk membantu meningkatkan tekanan
intravaskular, dimana obat ini biasanya diberikan sebagai terapi penunjang
hemodinamik pada pasien sepsis. Salah satu efek dari penggunaan obat golongan
vasopressor adalah peningkatan CO yang pada akhirnya juga berdampak pada
peningkatan Cl.
7. Farmakokinetika dan Adjustment dose Vancomycin pada Sepsis

Gambar 3. Farmakokinetika dan Adjustment antibiotik untuk kondisi sepsis (Blot, et


al., 2014)

Farmakokinetika antibiotik hidrofilik (Glycopeptides → Vancomycin)


dipengaruhi oleh adanya kondisi sepsis, hal ini terkait dengan distribusi jaringan
yang terbatas dari golongan antibiotik yang bersifat hidrofilik yang biasanya
terbatas pada ruang ekstraseluler, sehingga dilusi antibiotik yang signifikan dapat
terjadi setiap kali cairan intravaskular keluar ke jaringan. Selain itu, karena hampir
semua agen ini biasanya “dibersihkan” melalui rute ginjal, ini berarti bahwa
fluktuasi fungsi ginjal yang biasanya terjadi pada pasien sepsis dapat
meningkatkan atau menurunkan tingkat eliminasi antibiotika.
Tabel 3. Perubahan Parameter Farmakokinetik pada Sepsis (Setiawan, et al., 2019)

Penelitian menunjukkan adanya peningkatan nilai Vd dan Cl (pada Tabel 3)


untuk beberapa jenis antibiotik pada pasien dengan kondisi kritis yang
mendapatkan perawatan di ICU dibandingkan dengan pasien yang relatif lebih
stabil di ruang rawat non-ICU (Setiawan, et al., 2019). Penggunaan vancomycin
untuk kasus sepsis (critically ill) mengalami perubahan nilai Vd dan Cl (terjadi
peningkatan) oleh karena itu antibiotik hidrofilik (vancomycin) sering
membutuhkan loading dose yang lebih tinggi serta diperlukan untuk
meningkatkan atau mengurangi maintenance dose pada pasien sepsis (critically
ill) dibandingkan dengan pasien stabil yang tidak kritis, dosis maintenance
(disesuaikan dengan kondisi pasien, kadar dan respon yang terukur, serta ClCr
dari pasien) (Blot, et al., 2014). Dosis muatan (loading dose) vancomycin pada
pasien normal tidak dengan kondisi penyakit kritis adalah 15 – 20 mg/kgBB,
sedangkan pada kondisi sepsis diperlukan adjustment dose untuk pemberian
loading dose awal dimana dosis disarankan untuk penggunaan vancomycin
loading dose adalah 25–30 mg/kgBB (maksimal 2 g) (BNF, 2019).
Direkomendasikan pemberian loading dose 35 mg/KgBB pada pasien dengan
kondisi intensif (termasuk sepsis) (PERDICI, 2019). Diperlukan peningkatan
loading dose karena kondisi peningkatan Vd pada pasien sepsis dapat
menurunkan kadar vancomycin (subterapeutik) sehingga peningkatan loading
dose dibutuhkan untuk membantu mencapai konsentrasi terapeutik plasma dengan
cepat (Katip, et al., 2016)
Daftar Pustaka

Blot, S. I., Pea, F. & Lipman, J., 2014. The effect of pathophysiology on
pharmacokinetics in the critically ill patient — Concepts appraised by the
example of antimicrobial agents. Advanced Drug Delivery Reviews,
Volume 77, pp. 1-9.

Breakpoint tables for interpretation of MICs and zone diameters. Version


8.1;2018. (2018). Retrieved from: The European Committee on
Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST) website:
http://www.eucast.org/fileadmin/src/media/PDFs/EUCAST_files/
Breakpoi nt_tables/v_8.1_Breakpoint_Tables.pdf.

Campassi, M.L., Gonzalez, M.C., Masevicius, F.D., Vazquez, A.R., Moseinco,


M., Navarro, N.C., et al. 2014. Augmented renal clearance in critically ill
patients: incidence, associated factors and effects on vancomycin treatment.
Revista Brasileira de Terapia Intensiva, XXVI(1), pp.13-20.

Clinical and Laboratory and Standards Institute. 2014. Performance standards


for antimicrobial susceptibility testing: Twenty-Fourth Informational
Supplement M100-S24. Wayne, PA, USA: CLSI.

BNF, 2019. British National Formulary 76. 76th ed. London: BMJ Group -
Pharmaceutical Press.

Hidayat, F., Setiadi, A. P. & Setiawan, E., 2017. Analisis Penggunaan dan Biaya
Antibiotik di Ruang Rawat Intensif Sebuah Rumah Sakit di Surabaya.
Pharmaciana, VII(2), pp. 217-230.

Hotchkiss, R. S. et al., 2016. Sepsis and septic shock. Nature Reviews Disease
Primers, Volume II, pp. 1-21.

Katip, W. et al., 2016. The Pharmacokinetics of Vancomycin during the Initial


Loading Dose in Patients with Septic Shock. Infection and Drug
Resistance, Volume IX, pp. 253-260.

Kawano, Y., Morimoto, S., Izutani, Y., Muranishi, K., Kaneyama, H., Hoshino,
K., et al. 2016. Augmented renal clearance in Japanese intensive care unit
patients: a prospective study. Journal of Intensive Care, 4, 62.

Kuti, J. L., 2016. Optimizing antimicrobial pharmacodynamics: a guide for your


stewardship program. Revista Médica Clínica Las Condes, XXVII(5), pp.
615-624.
PERDICI, 2019. Pedomam Antibiotik Empirik di Ruang Rawat Intensif. Jakarta:
PERDICI.

Rukmana, R. W., 2018. Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien


Sepsis di Intensive Care Unit (ICU) RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Tahun 2016-2017. pp. 1-20.

Setiawan, E. et al., 2019. Kajian Narrative terhadap Profil Farmakokinetik


Antibiotik. Pharmaceutical Sciences and Research (PSR), VI(1),
pp. 1-12.

Tsai, D., Lipman, J. & Roberts, J., 2015. Pharmacokinetic/Pharmacodynamic


Considerations for the Optimisation of Antimicrobial Delivery in the
Critically ill. Current Opinion in Critical Care, XXI(5), pp. 412-420.

Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., Dipiro, J. T. & Dipiro, C. V., 2017.


Pharmacoterapy Handook. 10th ed. United States of America: McGraw
- Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai