oleh
Ilya Farida, S.Kep
NIM 192311101058
1.3 Epidemiologi
Menururt data WHO pada tahun 2010 kejadian sepsis merupakan salah satu
penyebab kematian di dunia di ruang perawatan ICU dimana setiap tahunnya
mengalami kenaikan. Setiap tahunnya di beberapa negara maju mengalami
kenaikan kejadian sepsis hampir 750.000 kasus di Amerika Serikat (Bataar et all,
2010). Sebanyak 10% pasien yang dirawat di ICU merupakan pasien sepsis dan
terdapat 750.000 pasien sepsis yang dirawat di rumah sakit per tahun dengan angka
kematian >200.000 pasien per tahun.2 Tingkat mortalitas sepsis berat berkisar
antara 15%-40% dan tingkat mortalitas karena syok septik berkisar antara 20%-
72% (Backer, 2017).
Istilah Kriteria
SIRS 2 dari 4 kriteria
Temperatur > 380C atau < 360C
Laju Nadi > 90x/menit
Hiperventilasi dengan laju nafas >
20x/menit atau CO2 arterial kurang
dari 32mmHg
Sepsis SIRS (systemic inflamatory response
syndrome) dengan adanya infeksi
(diduga atau sudah terbukti)
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ
Syok Septik Sepsis dengan hipotensi walaupun
sudah diberikan resusitasi yang
adekuat. Kriteria Klinis : adanya
hipotensi persisten yang membutuhkan
vasopressor untuk menjaga mean
arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg,
dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L.
Pada sepsis syok prosesnya mungkin sangat cepat, khususnya bila dikaitkan
dengan organisme gram-negatif, pemberian antibiotik intravena yang dini,
penggantian cairan, vasopresor, dan oksigen adalah komponen esensial dalam
penatalaksanaan pasien ini (Brunner dan Suddarth, 2002).
Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sulit dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam,
tekanan darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala
takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang
melebar (Brunner dan Suddarth, 2002).
1.7 Patofisiologi
Penderita sepsis sebagian besar menunjukkan adanya suatu infeksi lokal
jaringan sebagai sumber bakteriemia. Bakteri gram negatif merupakan bakteri
normal dalam tubuh yang kemudian dapat menyebar ke berbagai organ. Septikimia
karena hasil gram negatif infeksi ekstrapulmonal merupakan faktor penyebab
penting edema paru karena peningkatan permeabilitas kapiler paru. Edema paru
difusi dapat terjadi tanpa multiplikasi aktif mikroorganisme dalam paru. Edema
paru adalah gambaran yang sering dijumpai pada syok sepsis.
Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan
sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme
gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme
gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan
komponen parasit. Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan
kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan
sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui
sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam
monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi
sitokin pro-inflamasi. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan
peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi
molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik
menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil.
Neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan
demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam
ruang ekstravaskular yang terinfeksi dan mengarah ke syok septik. Oksida nitrat
dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan mikrotrombosis, serta
permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat
dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja
vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang
membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ
dan bahkan kematian.
a. WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature
b. Hiperglikemia > 120 mg/dl
c. Peningkatan Plasma C-reaktif protein dan plasma procalcitonin.
d. Serum laktat > 1 mMol/L
e. Creatinin > 0,5 mg/dl
f. INR > 1,5
g. APTT > 60
h. Trombosit < 100.000/mm3
i. Total bilirubin > 4 mg/dl
j. Biakan darah, urine, sputum hasil positif
1.9 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab
infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila
diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan
organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap
kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi
respons imun maladaptif host terhadap infeksi (Chandrasoma dan Taylor,
2006):
a. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan
oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik,
dan transfusi bila diperlukan. Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat
atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12
mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi
oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak
mencapai 70% dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka
dilakukan transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau
pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).
b. Eliminasi sumber infeksi
Tujuannya adalah menghilangkan patogen penyebab, oleh karena
antibiotik pada umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti abses,
viskus yang mengalami obstruksi dan implan prostesis yang terinfeksi.
Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang
adekuat.
c. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis.
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu
atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri atau
jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis. Oleh
karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan
antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem
memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses
inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis
berat dan gagal multi organ. Pemberian antimikrobial dinilai kembali
setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali
patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi
lebih baik daripada monoterapi.
2. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan
1) Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.
2) Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
3) Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila
kadar Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard
dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
c. Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor
diberikan mulai dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP
60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8 μg/kg.menit, norepinefrin 0.03-1.5 μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-8
μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit. Inotropik dapat
digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit,
epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan
milrinone)
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat
<9 mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan
untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun
secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal
ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi
lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis,
kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral
perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan
mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan
insulin untuk mencapai kadar gula darah antara 80-110 mg/dL
dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan bila kadar
gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut
dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada
risiko hipoglikemia.
h. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison
dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan
renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol.
Keadaan tanpa syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi
sepsis.
1.10 Clinical Pathway
Bakteri (mikroorganisme)
Endotoksin eksotalmus
Sitoksin, akutrofil
Perubahan biokimia dan
imun
Risiko infeksi Anti inflamasi
Inflamasi
Kompensasi
tubuh
Gangguan seluler
berbagai organ
Panas, takikardi,
takipnea
Disfungsi
Ginjal hasil Produksi
Ketidakefektifan Paru metabolisme urine
endotel
pola nafas
Urea Anaerob Fasedilatasi
O2 yg tdk Disfungsi d/d
Panas kehilangan nitrogen
adekuat mionard vol,
cairan dalam keringat Proses Vol.darah darah dlm otot
(periver) yg berlebih Oligaria pembakaran jntung menurun
Hambatan tdk adekuat
pertukaran Hipo perfusi jaringan
Risiko defisien gas Penurunan
volume cairan Takipnea curah jantung
O2 dalam darah/
jar. Tidak adekuat
Misal: asam Otak
laktat
Ketidakefektifan
Kesadaran perfusi jaringan perifer
2.1 Pengkajian/Assesment
a. Identitas
1) Identitas Klien
Meliputi nama, No. RM, usia, status perkawinan, pekerjaan, agama,
pendidikan, suku, alamat rumah, sumber biaya, tanggal masuk RS,
diagnosa medis.
2) Identitas penanggungjawab
Meliputi nama, umur, hubungan dengan pasien, pendidikan, dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik
difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami dan efek
gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2) Riwayat Kesehatan Sekarang ( PQRST )
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di
anamnesa meliputi palliative, provocative, quality, quantity, region,
radiaton, severity scale dan time.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji adanya riwayat pada masa sebelumnya. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya. Biasanya sebelumnya mempunyai penyakit infeksi seperti
pneumonia, dan lain-lain.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Genogram atau penyakit yang pernah diderita oleh anggota keluarga
yang mejadi faktor resiko, tiga generasi.
5) Riwayat psikososial dan spiritual
a) Support sistem terdiri dari dukungan keluarga, lingkungan, fasilitas
kesehatan terhadap penyakitnya, mengkaji dampak penyakit pasien
pada keluarga dalam hal perawatan di rumah, perubahan hubungan,
masalah keuangan, keterbatasan waktu dan masalah-masalah dalam
keluarga.
b) Komunikasi terdiri dari pola interaksi sosial sebelum dan saat sakit.
c) Sistem nilai kepercayaan sebelum dan saat sakit.
6) Lingkungan
Kaji lingkungan rumah dan pekerjaan dari kebersihan, polusi dan bahaya.
7) Pola kebiasaan sehari-hari sebelum dan saat sakit
Riwayat gizi dikaji untuk mengkaji asupan diet dan intoleransi terhadap
makanan serta makanan yang disukai. Kaji pola cairan, pola eliminasi,
insensible water loss, pola personal hygiene, pola istirahat tidur, pola
aktivitas dan latihan, pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan.
Guntur H. 2007. Sepsis. In : Sudoyo, Aru (et all). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.