Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN DENGAN KARSINOMA NASOFARING (KNF) DI RUANG 19
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. SAIFUL ANWAR
MALANG

oleh
Ilya Farida, S.Kep
NIM 192311101058

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan berikut disusun oleh:


Nama : Ilya Farida, S.Kep
NIM : 192311101058
Judul : Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Karsinoma Nasofaring (KNF) di Ruang 19 Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Saiful Anwar Malang
telah diperiksan dan disahkan oleh pembimbing pada:
Hari, Tanggal :
Tempat :

Malang, Januari 2020

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Bedah Ruang 19
FKep Universitas Jember RSUD Dr. Saiful Anwar
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Anatomi Fisiologi


Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di
belakangan hidung. Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga dan
terletak di bagian lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang hidung.
Nasofaring berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke tenggorokan
yang akhirnya ke paru-paru (American Cancer Society, 2013).

Bagian atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os
oksipital. Sebelah anterior oleh koana dan pallatum mole, dan sebelah posterior
dibentuk oleh vertebra vertikalis, sebelah inferior nasofaring dilanjutkan oleh
orofaring. Orificium tuba eustachius terletak pada dinding lateral dari nasofaring,
dibelakang ujung konka inferior. Di sebelah atas dan belakang dari orifisium tuba
eustachius terdapat penonjolan yang dibentuk oleh kartilago eustachius. Dibawah
dari ujung posterior penonjolan tersebut terdapat suatu lipatan yang kuat yaitu
membran salpingofaringeal. Lipatan membran mukosa yang tidak terlalu menonjol
yaitu membran salpingopalatina, meluas ke bagian bawah di depan orifisium
eustachius. Kantung disudut faring diantara tepi posterior kartilago eustachius dan
dinding posterior dikenal sebagai fosa rosenmuller. Jaringan adenoid juga sering
kali ditemukan disekitar orifisium tuba. Atap serta dinding posterior nasofaring
merupakan tempat kedudukan jaringan limfoid. Nasofaring sendiri diliputi oleh
epitel torak bersilia berlapis semu (Kahathuduwa, 2016).

Jaringan adeniod di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan


posterior, walaupun dapat meluas ke fosa rossenmuller dan orifisium tuba
eustachius. Adenoid terdiri dari jaringan limfoid, yang termasuk dalam retikulum
jaringan ikat fibrosa yang kuat walaupun lunak. Keadan patologi pada adenoid
ditandai oleh adanya hiperplasia jaringan limfoid nasofaring. Epitel yang menutupi
permukaan adenoid yang terbuka dan masuk ke dalam resesus dan kripta adalah
lapisan epitel torak bersilia berlapis semu, yang merupakan lanjutan dari epitel
pernapasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring (Kahathuduwa,
2016).

Nasofaring diperdarahi melalu cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal


desenden dan asenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena keluar
dari pembuluh darah balik faring di permukaan luar dari dinding muskuler yang
menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring mendapat
persarafan dari saraf sensorik yang terdiri dari saraf glossofaringeus (N.IX) serta
cabang maxilla dari nervus trigeminus (N.V), yang menuju kebagian anterior
nasofaring. Sistem limfatik nasofaring tersusun atas pembuluh getah bening yang
saling bersilangan dibagian tengah dan menuju ke kelenjar rouviere yang terletak
dibagian ujung dari retrofaring, seterusnya akan menuju ke kelenjar limfa
disepannjang vena (Roezin dan Adham, 2007; Kahathuduwa, 2016).
1.2 Definisi Karsinoma Nasofaring (KNF)
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring yang berasal dari sel-sel epitel dinding dalam dan luar nasofaring
(American Cancer Society, 2013). Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan
karsinoma yang muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di
belakang hidung) yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa
mikroskopik ringan atau ultrastruktur (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Manurut
Kahathuduwa (2016) kanker nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi dan sel epitel di Fosa Rossenmuller dan atap
nasofaring yang menutupi permukaan nasofaring (Kahathuduwa, 2016).

1.3 Etiologi Karsinoma Nasofaring


Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2016), faktor risiko yang dapat
menyebabkan KNF sebagai berikut:
1. Usia
Insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun – 50 tahun.
2. Jenis Kelamin
Hormon laki-laki lebih didominasi oleh testosteron yang dimana memberikan
suatu efek imunosupresif dengan penekanan poliferasi limfosit dan pengurangan
produksi limfosit. Akibat dari respon imun yang tidak optimal maka infeksi dari
VEB terus berlanjut hingga menjadi keganasan.
3. Makanan yang diawetkan
Menurut penelitian Guangdong dan Guangxi, Cina, menyatakan bahwa ikan asin
yang diawetkan berpengaruh kuat pada risiko KNF. Selain ikan asin, paparan
terhadap makanan yang diawetkan lain seperti pasta udang, fermentasi kacang
kedelai, telur asin, dan jenis sayuran mengandung garam lain meningkatkan
risiko KNF (Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Hal ini diakibatkan oleh adanya
kandungan nitrosamin dalam bahan-bahan tersebut yang menginduksi
perkembangan tumor di rongga hidung dan nasofaring. Selain itu, bahan-bahan
tersebut juga mengandung bakteri mutagen, genotoksin,dan substansi yang
mengaktivasi VEB yang berkontribusi pada KNF (Tabuchi dkk., 2011).
4. Infeksi virus Epstein-Barr
Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik
seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA),
dan antigen nuklir (EBNA). Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca
Nasofaring (Haq, 2011).
5. Genetik
Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte Antigen)
serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) adalah gen yang rentan
terhadap karsinoma nasofaring (Nasir, 2009).
6. Merokok dan Minum Alkohol
International Agency for Research on Cancer (IARC) tahun 2012 melaporkan
hubungan kausal antara merokok dengan KNF. Hal tersebut menunjukkan hasil
KNF lebih tinggi pada kelompok perokok dibandingkan yang tidak merokok.
Faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan risiko KNF adalah kebiasaan
mengonsumsi alkohol dan paparan formaldehid (Lingen, 2015).

1.4 Epidemiologi Karsinoma Nasofaring


Berdasarkan GLOBOCAN (2012) sebanyak 87.000 kasus baru nasofaring
muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000
kasus baru pada perempuan), 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki,
dan 15.000 pada perempuan). Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak
keempat setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru
(Kementerian Kesehatan RI, 2016). KNF terutama ditemukan pada pria usia
produktif (perbandinganpasien pria dan wanita adalah 2,18 : 1) dan 60% pasien
berusia antara 25 hingga 60 tahun. Berdasarkan wilayah, insidensi KNF di
Indonesia tertinggi di Malang diikuti Denpasar, Surabaya, dan Bandung (Adham
dkk., 2012).
1.5 Manifestasi Klinis
Pada karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal.
Perluasan infiltratif karsinoma nasofaring dapat membangkitkan perdarahan dan
penyumbatan jalan lintasan napas melalui hidung. Pada tahap berikutnya dapat
timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis okular)
(Muttaqin, 2008). Menurut Nurarif dan Kusuma (2013), gejala nasofaring sebagai
berikut:
a. Gejala Hidung
 Epiktasis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan
 Sumbatan Hidung : sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam
rongga nasofaring dan menutupi koana, gejala yang timbul biasanya pilek
kronis dan gangguan penciuman.
b. Gejala Telinga
 Kataralis/Oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula pada fossa rosenmuler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba
(berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
 Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
c. Gejala Mata
 Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan
ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
menimbulkan gangguan N.IV dan N.VI.
d. Gejala Lanjut
 Limfadenopati servikal: melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat
mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh
dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan di
leher bagian samping, lama-kelamaan kelenjar akan berkembang dan
melekat pada otot sehingga sulit digerakkan
e. Gejala Kranial
Gejala Kranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf
kranialis.
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang
 Kerusakan pada waktu menelan
 Sindrom jugular jackson mengenai N.IX, N.X, N.XI, N.XII dengan tanda-
tanda kelumpuhan pada Lidah, palatum, faring atau laring.

1.6 Patofisiologi

Suatu keganasan pada umumnya dapat terjadi melalu dua mekanisme, yaitu
disebabkan oleh lamanya waktu kematian sel yang disebabkan oleh gangguan
apoptosis dan menurunnya waktu siklus sel sehingga sel yang di hasilkan semakin
banyak. Gangguan pada gen penekan tumor (TSGs) dan gangguan pada berbagai
protoonkogen yang menghambat penghentian siklus sel. Pada keadaan fisiologi
berbagai kegiatan pembelahan sel diatur oleh protoonkogen, dimana apabila terjadi
mutasi maka dapat timbul suatu onkogen. Onkogen dapat memicu terjadinya kanker
karena pembelahan dan pertumbuhan sel terjadi secara patologis.Virus Epstein-
Barr (VEB) sangat dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring. VEB dapat
menular antar manusia. Infeksi awalnya terjadi pada usia anak-anak. Pada infeksi
laten, VEB banyak dijumpai di cairan saliva manusia, sehingga penularannya dapat
terjadi secara oral maupun kontak makanan. Pada infeksi laten, DNA dari VEB
akan tetap ada didalam sel yang diinfeksinya sebagai episom dalam waktu yang
lama yaitu sekitar 20-25 tahun tanpa menimbulkan gejala yang kemudian dapat
memicu poliferasi sel dan menyebabkan keganasan. VEB menginfeksi jaringan
epitel di nasofaring dan limfosit B melalui reseptor CR2 (complemen receptor type
2) atau molekul CD21 yang dapat berikatan dengan VEB. Percobaan in vitro
menunjukan bahwa virus ini merupakan aktivator poliferasi poliklonal sel B, dan
mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi tidak dapat dihancurkan, yang
selanjutnya dapat berubah menjadi ganas.
1.7 Pemeriksaan
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2016), pemeriksaan dalam
mendiagnosa karsinoma nasofaring sebagai berikut:
a. Anamnesis
Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus, otalgia, hidung
tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut dapat ditemukan
benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopa, dan neuralgia trigeminal
(saraf III, IV, V, VI).
b. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan nasofaring: rinoskopi posterioro, nasofaringoskop (fiber/
rigid), dan laringoskopi
2. Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan
untuk skrining, melihat mukosa dengankecurigaan kanker nasofaring.
c. Pemeriksaan Radiologik
CT Scan: pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi
sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial, dan sagital,
tanpa dan dengan kontras. CT scan berguna untuk melihat tumor primer dan
penyebaran ke jaringan sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening
regional.
d. Pemeriksaan Patologi Anatomik
Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring bukan dari
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsi insisional/eksisional kelenjar
getah bening leher.Pemeriksaan ini dilakukan dengan tang biopsi lewat hidung
atau mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau tuntunan nasofaringoskopi
rigid/fiber. Biopsi Aspirasi Jarum Halus Kelenjar Leher yang diduga keras
sebagai metastasis tumor ganas nasofaring yaitu internal jugular chain superior,
posterior cervical triangle node, dan supraclavicular node jangan di biopsi
terlebih dulu sebelum ditemukan tumor induknya.
e. Pemeriksaan Laboratorium
•Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
•Alkali fosfatase, LDH, SGPT-SGOT
1.8 Klasifikasi Stadium

Pengelompokan stadium (Kemenkes RI, 2016)


1.9 Penatalaksanaan
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala

a. Radioterapi
Radiasi dapat diberikan dengan lapangan radiasi plan parallel laterolateral
dan supraklavikula. Batas-batas lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer
dan sekitarnya/ potensi penjalaran per kontinuitatum, serta kelenjar getah bening
regional (kelenjar leher sepanjang jugular serta sternokleidomastoideus dan
supraklavikula).
b. Obat-obatan Simptomatik
Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah akibat reaksi
akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan. Keluhan ini
dapat dikurangi dengan obat kumur yang mengandung tanda septik dan adstringent,
(diberikan 3 –4 sehari). Bila ada tanda-tanda moniliasis, dapat diberikan
antimikotik. Pemberian obat-obat yang mengandung anestesi lokal dapat
mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk keluhan umum, misalnya
nausea, anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi simptomatik.
c. Kemoterapi
Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada
pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan
preparat platinum based 30-40 mg/m2sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5
sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat
diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu sekali,
dan dapat juga diberikan pada kasus rekuren atau metastatik.
Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring adalah dengan kemoradiasi
dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan
Cisplatin/5-FU atau Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali.
Terapi sistemik pada karsinoma nasofaring kasus rekuren atau metastatik:
dapat diberikan:
 Cisplatin or carboplatin + docetaxel or paclitaxel
 Cisplatin/5-FU
 Carboplatin  Paclitaxel
 Cisplatin/gemcitabine  Docetaxel
 Gemcitabine  5-FU
 Taxans + Patinum +5FU  Methotrexate
 Terapi Tunggal  Gemcitabine
 Cisplatin  Capecitabine
 Carboplatin

d. Dukungan Nutrisi
Pasien karsinoma nasofaring sering mengalami malnutrisi (35%) dan
malnutrisi berat (6,7%). Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk
KNF) dapat mencapai 67%. Pasien KNF juga sering mengalami efek samping
terapi, berupa mukositis, xerostomia, mual, muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain.
Berbagai kondisi tersebut dapat meningkatkan meningkatkan stres metabolisme,
sehingga pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal.
1. Kebutuhan energi: Penghitungan kebutuhan energi pada pasien kanker juga
dapat dilakukan dengan rumus rule of thumb:
- Pasien ambulatory: 30-35 kkal/kg BB/hari
- Pasien bedridden: 20-25 kkal/kg BB/hari
- Pasien obesitas: menggunakan berat badan ideal
2. Makronutrien
- Kebutuhan protein: 1,2-2,0 g/kg BB/hari, pemberian protein perlu
disesuaikan dengan fungsi ginjal dan hati.
- Kebutuhan lemak: 25-30% dari energi total
- 35-50% dari energi total untuk pasien kanker stadium lanjut dengan
penurunan BB
- Kebutuhan karbohidrat (KH) : sisa dari perhitungan protein dan
lemakc.
3. Mikronutrien: Pemberian vitamin dan mineral dapat diberikan sesuai dengan
angka kecukupan gizi.
4. Cairan:
Kebutuhan cairan pada pasien kanker umumnya sebesar:
- Usia kurang dari 55 tahun: 30-40 mL/kgBB/hari
- Usia 55−65 tahun: 30 mL/kgBB/hari
- Usia lebih dari 65 tahun: 25 mL/kgBB/hari
Kebutuhan cairan pasien kanker perlu diperhatikan dengan baik, terutama
pada pasien kanker yang menjalani radio-dan/atau kemo-terapi, karena
pasien rentan mengalami dehidrasi. Dengan demikian, kebutuhan cairan
dapat berubah, sesuai dengan kondisi klinis pasien.
1.10 Clinical Pathway
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
A. Identitas
a. Nama
b. Tempat tanggal lahir
c. Umur: meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun
d. Jenis Kelamin: lebih dominan Laki-laki daripada perempuan
e. Pendidikan: bagi orang yang tingkat pendidikan rendah/minim mendapatkan
pengetahuan penyakit ini maka akan mengabaikan bahayanya penyakit ini
f. Pekerjaan : bagi orang yang tempat kerjaannya sering kontak dengan zat
karsinogen dan penghasilan kurang sehingga kebutuhan sosial ekonomi
rendah maka akan menyebabkan dan memperparah penyakit ini
g. Alamat : mungkin dipengaruhi lingkungan dan kebiasaan hidup di rumah
yang kurang sehat
B. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluahan yang pertama kali dirasakan dan pasien mengeluh leher terasa
nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, hidung terasa
tersumbat, telinga seperti tidak bisa mendengar, penglihatan berkunang-
kunang, badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
P : Nyeri karena gangguan pada nasofaring
Q : Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan, terlihat membesar
pada bagian leher dan terasa banyak gangguan pada hidung, telinga, dan
mata, nyeri dirasakan setiap waktu
R : Keluhan dirasakan pada bagian dalam hidung, telinga, mulut dan
menyebar
S : Keluhan yang dirasa mengganggu aktivitas, skala nyeri (0-10)
T : Nyeri hilang timbul dan lebih sering saat bernafas dan menelan, keluhan
muncul secara bertahap
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Tanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit yang mempermudah
terjadinya ca nasofaring misalnya mempunyai profil HLA, pernah
menderita radang kronis nasofaring
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan apakah ada kluarga yang menderita penyakit yang menyebabkan
ca nasofaring
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Tanyakan tentang lingkungan pasien (terbiasa terhadap lingkungan
karsinogen)
C. Pengkajian Pola Gordon
a. Pola persepsi kesehatan – pemeliharaan kesehatan
Pada pasien ca nasofaring terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup
sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak sehingga
menimbulkan presepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan
untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh
karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti
pasien.
b. Pola metabolisme nutrisi
Akibat adanya pembekakan pada saluran pernafasan atas shingga
menimbulkan keluahan nyeri pada leher, susah menelan, berat badan
menurun dan lemas. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status
kesehatan penderita.
c. Pola eliminasi
Akibat kurangnya konsumsi cairan menyebabkan volume kencing
berkurang. Pada eliminasi terdapat gangguan, pasien buang air besar tidak
teratur.
d. Pola aktivitas
Adanya Ca nasofaring menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan
aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami lemah
dan letih. Pasien biasanya bekerja diluar rumah, tapi saat ini pasien hanya
beristirahat di Rumah Sakit.
f. Pola istirahat – tidur
Adanya Ca nasofaring membuat pasien mengalami perubahan pada pola
tidur. Pasien kurang tidur baik pada waktu siang maupun malam hari. Pasien
tampak tergangu dengan kondisi ruang perawatan yang ramai. Dan adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas.
g. Pola kognitif – persepsi
Pasien mampu menerima pengetahuan, ide persepsi, dan bahasa. Pasien
mampu melihat, mendengar, mencium, meraba, dan merasa dengan baik.
h. Pola persepsi diri – konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga. Pasien mengalami cemas
karena kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan
diagnostik dan tujuan tindakan yang diprogramkan.
i. Pola hubungan – peran
Ca nasofaring yang sukar sembuh menyebabkan penderita malu dan
manarik diri dari pergaulan.
j. Pola seksual – reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas
maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
Selama dirawat di rumah sakit pasien tidak dapat melakukan hubungan
seksual seperti biasanya.
k. Pola penanganan masalah – strees – toleransi
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit kronik, perasaan tidak
berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang
negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung, kehilangan kontrol,
dan menarik diri dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang konstruktif/adaptif. Pasien merasa sedikit stress
menghadapi tindakan kemoterapi/sitotraktika karena kurangnya
pengetahuan.
l. Pola keyakinan – nilai-nilai
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta Ca
nasofaring tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pada ibadah penderita.
D. Pemeriksaan Fisik
a. Penampilan atau keadaan umum
Secara keseluruhan keadaan tidak baik, BB menurun
b. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien tidak begitu terkontrol, respon mata, verbal, dan motor.
Indra penciuman terganggu, ketajaman terganggu, berjalan sempoyongan,
tidak bisa seimbang.
c. Tanda-Tanda Vital
Suhu Tubuh
Tekanan Darah
Nadi
RR
d. Pemeriksaan Head to Toe
1. Pemeriksaan Kepala
- Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, bulat sempurna, tidak
ada deformitas, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (tidak ada nyeri tekan)
- Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala bersih, tidak ada lesi, tidak ada
skuama, tidak ada kemerahan, tidak ada nevus)
- Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah bingung, keadaan simetris, tidak ada
edema, dan tidak ada massa) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
- Rambut : Inspeksi (rambut kotor, ada ketombe, ada uban) Palpasi
(rambut rontok)
2. Mata
- Inspeksi (bulat besar, bersih tidak cowong, simestris, konjungtiva tidak
anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter 3 mm, reflek cahaya
positif, gerakan mata tidak normal, fungsi penglihatan tidak terlalu
baik)
- Palpasi (bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
3. Hidung
- Inspeksi (keadaan kotor, ada lendir, ada polip, ada pernafasan cuping
hidung, ada deviasi septum, mukosa lembab, kesulitan bernafas, warna
cokelat, tidak ada benda asing)
- Palpasi (tidak ada nyeri tekan)
4. Telinga
- Inpeksi (Simetris, bersih, fungsi pendengaran kurang baik, tidak ada
serumen, tidak terdapat kelainan bentuk)
- Palpasi (normal tidak ada lipatan, ada nyeri)
5. Mulut
- Inspeksi (kotor, tidak ada stomatitis, mukosa bibir lembab, lidah
simetris, lidah kotor, gigi kotor, ada sisa makanan, berbau, gigi atas
dan bawah tanggal 3/2, sebagian goyang, faring ada pembekakan,
tonsil ukuran tidak normal, uvula tidak simetris)
- Palpasi (tidak ada lesi)
6. Leher
- Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, ada pembesaran limfe,
leher panas)
7. Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada tidak normal, tidak ada batuk,
nafas dada, frekuensi nafas 24 x/menit.
- Palpasi : Suara fremitus kanan-kiri, tidak ada nyeri tekan, .
- Perkusi : Sonor pada saluran lapang paru.
- Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler, tidak ada weezing.
8. Jantung
- Inspeksi : Normal (Iktus kordis tidak tampak).
- Palpasi : Normal (Iktus kordis teraba pada ICS 5)
- Perkusi : Normal (Pekak)
- Auskultasi : Normal (BJ I-II Murni, tidak ada gallop, tidak ada murmur)
9. Pemeriksaan Payudara
- Inspeksi : Bersih, tidak ada pembekakan, bentuk simetris
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
10. Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, tidak ada bekas post operasi, warna cokelat,
permukaan normal
- Auskultasi : Bising usus 10x/menit
- Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, tidak ada
ascites, tidak ada nyeri tekan
- Perkusi : Timpani, tidak ada cairan atau udara
11. Pemeriksaan Anus dan Genitalia
- Anus
Inspeksi : Warna cokelat, tidak ada bengkak atau inflamasi
Palpasi : Feses keras, tidak ada darah, tidak ada pus, tidak ada darah
- Genitalia Laki-Laki
Inspeksi : Ada rambut pubis, kulit penis normal, lubang penis ditengah,
kulit skrotum halus, tidak ada pembekakan, posisi testis norma
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada batang penis dan skrotum
12. Pemeriksaan Ekstremitas
- Inspeksi : Jari tangan lengkap, kuku bersih, bentuk simetris, tidak ada
sianosis di lengan kanan atas, tidak ada edema.
- Palpasi : Denyut nadi 94 x/menit, kuku normal, kekuatan otot, tidak ada
nyeri tekan
13. Kulit
- Inspeksi : Kulit bersih, kulit kering, tidak ada lesi
- Palpasi : Tekstur tidak normal pada bagian leher, ada turgor
2.2 Diagnosis Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d adanya benda asing (tumor ganas)
2. Nyeri akut b.d metastase sel kanker
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
yang kurang
4. Hambatan komunikasi verbal b.d gangguan status organ sekunder metastase
tumor
2.3 Nursing Care Plan
No Diagnosa NOC NIC
1. Ketidakefektifan Setelah diberikan tindakan keperawatan selama Terapi Oksigen (3320)
bersihan jalan nafas 3x24 jam, status pernapasan meningkat dengan
1. Berikan oksigen tambahan seperti yang
kriteria hasil:
diperintahkan
Status pernapasan (0415)
2. Monitor aliran oksigen
Tujuan
No Indikator Awal 3. Monitor efektifitas terapi oksigen
1 2 3 4 5
1. Frekuensi 4. Pantau adanya tanda-tanda keracunan
pernapasan oksigen
2. Irama Pengaturan Posisi (0840)
pernapasan 1. Posisikan pasien untuk mengurangi
3. Suara dyspnea (semifowler)
auskultasi
2. Sangga dengan sandaran yang sesuai
napas
4. Mendengkur
3. Jangan menempatkan pasien pada posisi
5. Saturasi yang dapat mengurangi ventilasi
oksigen Monitor Pernapasan (3350)
Keterangan: 1. Monitor kecepatan, irama pernapasan
1. Deviasi berat dari kisaran normal/sangat berat 2. Monitor suara napas tambahan seperti
2. Deviasi yang cukup berat dari kisaran ngorok atau mengi
normal/berat 3. Monitor saturasi oksigen
3. Deviasi sedang dari kisaran normal/cukup 4. Monitor keluhan sesak napas
4. Deviasi ringan dari kisaran normal/ringan
5. Tidak ada deviasi
2. Nyeri akut Setelah diberikan tindakan keperawatan selama Pemberian analgesik (2210)
3x24 jam, nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil: 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
Tingkat nyeri (2102) dan keparahan nyeri
Tujuan 2. Cek perintah pengobatan meliputi obat,
No Indikator Awal
1 2 3 4 5 dosis, dan frekuensi obat analgesik yang
1. Ekspresi diresepkan
nyeri 3. Cek adanya riwayat alergi obat
2. Panjang 4. Dokumentasi respon terhadap analgesik
episode nyeri dan adanya efek samping
3. Tanda-tanda
vital
Keterangan:
1. Sangat Berat
2. Berat
3. Cukup
4. Ringan
5. Tidak Ada
3. Ketidakseimbangan Setelah diberikan tindakan keperawatan selama Monitor Nutrisi (1160)
nutrisi kurang dari 3x24 jam, status nutrisi meningkat dengan kriteria
1. Lakukan pengukuran antropometrik
kebutuhan tubuh hasil:
pada komposisi tubuh (misalnya: IMT)
Status Nutrisi: Asupan Makanan dan Cairan
2. Monitor turgor kulit
(1008)
3. Identifikasi adanya abnormalitas
Tujuan
No Indikator Awal rambut (misalnya kering, mudah patah,
1 2 3 4 5
1. Asupan tipis, kasar)
makanan 4. Monitor adanya mual dan muntah
secara oral 5. Monitor diet dan asupan kalori
2. Asupan 6. Monitor adanya pucat pada konjungtiva
cairan secara
oral
Keterangan: 7. Lakukan evaluasi menelan (misalnya
1. Tidak adekuat fungsi motorik wajah, mulut, otot otot
2. Sedikit adekuat lidah, reflek menelan)
3. Cukup adekuat
4. Sebagian besar adekuat
5. Sepenuhnya adekuat
Status Menelan (1010)
Tujuan
No Indikator Awal
1 2 3 4 5
1. Jumlah
menelan
sesuai tekstur
2. Peningkatan
usaha
menelan
3. Tidak
nyaman saat
menelan
4. tersedak
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

Anda mungkin juga menyukai